Fakta Bab 5, ttg ziarah kubur, talqin dan tahlil
BAB 5
Ziarah Kubur, Membaca ayat-ayat Al-Qur'an, Talqin dan Tahlil untuk orang yang telah wafat
Daftar isi Bab 5 ini diantaranya:
|
5.1. Dalil-dalil Ziarah kubur
5.2. Ziarah kubur bagi wanita
5.3. Adab berziarah dan berdo'a didepan pusara Rasulallah saw.
5.4. Dalil-dalil yang melarang ziarah
kubur dan jawabannya.
5.5. Pembacaan Al-Qur’an di kuburan dan hadiah pahala bacaan
untuk orang yang telah wafat
5.6. Keterangan dari Ustadz Quraish Shihab
5.7. Fatwa-fatwa ulama Syafi'iyah
5.8. Celaan orang yang tidak setuju dengah hadiah pahala bacaan
5.9. Contoh-contoh fatwa imam Syafi'i yang ditahqiq (dikritisi)
kembali
5.10.Pahalanya
membaca Al-Qur’an
5.11.Amalan orang
hidup yang bermanfaat bagi si mayyit
5.12.Kehidupan
ruh-ruh manusia yang telah wafat
5.13.Talqin (mengajari dan memberi
pemahaman/peringatan) mayyit yang baru dimakamkan
5.14.Pembacaan
Tahlil/Yasinan
5.15.Keterangan
singkat tentang Haul (peringatan tahunan)
5.16.Dalil-dalil
orang yang membantah dan jawabannya
5.17.Pahala
sedekah untuk orang yang telah wafat
5.18.Pahala Puasa
dan Sholat untuk orang yang telah wafat
5.19.Pahala Haji
untuk orang yang telah wafat
5.20.Keterangan
singkat sholat jenazah yang ghoib
5.21.Membangun
masjid disisi kuburan
5.22.Memberi
penerangan terhadap kuburan
5.23.Membangun
kubbah diatas kuburan
|
5.1. Dalil-dalil Ziarah kubur
Setiap kaum muslimin mengetahui
kewajibannya terhadap saudara kita muslimin yang telah wafat yaitu harus
memandikannya, mensalatkannya dan mengantarkannya sampai keliang kubur. Ini
adalah merupakan fardhu kifayah (kewajiban bila telah dilakukan oleh
sebagian orang, maka gugurlah kewajiban seluruh muslimin).
Insya Allah dengan adanya kutipan
dan kumpulan dalil-dalil berikut ini, cukup jelas bagi kita bahwa ziarah kubur,
membaca ayat suci al-Qur’an yang pahalanya di hadiahkan pada si mayit dan
sebagainya, itu semua menurut tuntunan syariat Islam yang benar serta
diamalkan oleh para salaf dan para pakar Islam.
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan
Muslim dari Abu Hurairah sebagai berikut:
انّ النّبيّ .ص. كان يُؤتى
بالرّجُل المُتوفّى عليه الدّينُ فيسألُ هل ترك لدينـه فضلا ؟ فان
حُدث انّهُ ترك وفاءً صلى, والاّ قال للمُسـلمين "صلُّوا على
صاحبكُم" (رواه البخاري و مسلم)
Artinya: “Bahwa seorang lelaki yang wafat dalam
keadaan berhutang, disampaikan beritanya pada Nabi saw. Maka Nabi saw. menanyakan
apakah ia ada meninggalkan kelebihan buat membayar hutangnya. Jika dikatakan
bahwa ia ada meninggalkan harta untuk membayarnya, maka beliau menyalatkannya.
Jika tidak beliau akan memerintahkan kaum muslimin; ‘Shalatkanlah teman
sejawatmu’ “.
Begitu juga masih banyak hadits yang menyebutkan pahala
orang yang menyalatkan mayat dan mengantarkannya sampai keliang kubur.
Shalat jenazah juga mempunyai rukun-rukun yang dapat
mewujudkan hakikatnya, hingga bila salah satu rukun tersebut tak terpenuhi,
maka ia dianggap kurang sempurna oleh syara’. Jumlah rukun-rukun tersebut
menurut ahli fiqih ada delapan. Sudah tentu yang pertama niat, takbir dan
terakhir salam, sebagaimana syarat dari semua macam shalat. Diantara
rukun-rukun tersebut yaitu do’a untuk si mayat tersebut.
Sebagaimana sabda
Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Abud Daud dan Baihaqi serta disahkan oleh Ibnu
Hibban sebagai berikut :
اذا
صلّيتُم على الميّت فأخلصُوا لهُ الدُّعاء(رواه أيو داود والبيهقي وابن الحبّان
وصححه)
Artinya:
“Jika kamu menyalatkan jenazah, maka
berdo’alah untuknya dengan tulus ikhlas”.
Banyak juga riwayat hadits Rasulallah saw. yang
mengajarkan kita kalimat-kalimat doa yang diucapkan dalam shalat jenazah
tersebut. Rasulallah saw. menganjurkan pada kaum muslimin yang masih hidup
untuk menyalatkan yang mana do’a itu sebagai salah satu rukun
daripadanya pada saudaranya muslim-muslimah yang wafat. Ini membuktikan bahwa
semua amalan-amalan tersebut di antaranya do’a pengampunan dan lain sebagainya
sangat bermanfaat baik bagi si mayat khususnya maupun kaum muslimin yang
menyalatinya. Juga menunjukkan bahwa kita harus doa mendoakan sesama kaum
muslimin baik waktu masih hidup atau sudah wafat, bukan sesat
mensesatkan, kafir mengafirkan antara sesama muslimnya. Doa ini tidak hanya
dianjurkan pada waktu shalat jenazah saja, tapi untuk setiap waktu baik setelah
shalat wajib atau dalam hidup sehari-hari, sebagaimana banyak hadits yang
mengungkapkan hal tersebut dan ayat-ayat Qur’an yang menyebutkan do’a-do’a yang
diucapkan oleh manusia, baik untuk pribadi mereka sendiri maupun untuk muslimin
lainnya.
Dalil-dalil Ziarah Kubur
Ziarah kubur itu adalah sunnah
Rasulallah saw., sebagaimana hadits dari Sulaiman bin Buraidah yang diterima
dari bapaknya, bahwa Nabi saw bersada:
كُنتُ نهيتُكُم عن زيارة
القُبُور, فزُورُوها, وفي روايةٍ فإنّها تُذكّرُ
بالآخرة ...
Artinya:“Dahulu saya melarang kalian berziarah kubur, namun
kini berziarahlah kalian!. Dalam riwayat lain; ‘(Maka siapa yang ingin
berziarah kekubur, hendaknya berziarah), karena sesungguhnya (ziarah
kubur) itu mengingatkan kepada akhirat’. (HR.Muslim)
– Juga ada hadits yang serupa diatas
tapi berbeda sedikit versinya dari Buraidah ra. bahwa Nabi saw. bersabda:
“Dahulu saya melarang kalian
menziarahi kubur, sekarang telah di-izinkan dengan Muhammad untuk berziarah
pada kubur ibunya, karena itu berziarahlah ke perkuburan, sebab hal itu dapat
mengingatkan pada akhirat”.(HR. Muslim [lht.shohih Muslim jilid 2 hal.366 Kitab
al-Jana’iz], Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i, Ahmad).
– Imam Syafi’i dalam kitabnya Al
Umm meriwayatkan hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulallah saw.
bersabda:
“Saya pernah melarang kamu berziarah
kubur, maka berziarahlah padanya dan jangan kamu mengatakan ucapan yang mungkar
[Hajaran]”. (Tartib Musnad Imam
Syafi’i, pembahasan tentang sholat, bab ke 23 ‘Sholat jenazah dan hukum-hukumnya’
hadits nr. 603 jilid 1 hal. 217)
Hadits-hadits diatas jelaslah bahwa
Nabi saw. pernah melarang ziarah kubur namun lantas kemudian membolehkannya
setelah turunnya pensyariatan (legalitas) ziarah kubur dari Allah swt Dzat
Penentu hukum (Syari’ al-Muqaddas).
Larangan Rasulallah saw. pada
permulaan itu, ialah karena masih dekatnya masa mereka dengan zaman jahiliyah,
dan dalam suasana dimana mereka masih belum dapat menjauhi sepenuhnya
ucapan-ucapan kotor dan keji. Tatkala mereka telah menganut Islam dan
merasa tenteram dengannya, di-izinkanlah mereka oleh syari’at buat
menziarahinya. Anjuran sunnah untuk berziarah itu berlaku baik untuk lelaki
maupun wanita dan berlaku untuk selamanya. Karena dalam hadits ini tidak
disebutkan kekhususan hanya untuk kaum pria saja dan untuk sementara waktu
saja.
– Dalam kitab Makrifatul as-Sunan
wal Atsar jilid 3 halaman 203 bab ziarah kubur disebutkan bahwa Imam
Syafi’i telah mengatakan: “Ziarah kubur hukumnya tidak apa-apa (boleh).
Namun sewaktu menziarahi kubur hendaknya tidak mengatakan hal-hal yang menyebab
kan murka Allah”.
– Al-Hakim an-Naisaburi dalam
kitab Mustadrak Ala as-Shahihain jilid 1 halaman 377 menyatakan: “Ziarah
kubur merupakan sunnah yang sangat di tekankan”.
Hal yang sama juga dapat kita jumpai
dalam kitab-kitab para ulama dan tokoh Ahlusunah seperti Ibnu Hazm dalam
kitab al-Mahalli jilid 5 halaman 160; Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam
kitab Ihya’ Ulumuddin jilid 4 halaman 531; Abdurrahman al-Jaziri dalam kitab al-Fikh
alal Madzahibil Arba’ah jilid 1 halaman 540 (dalam penutupan kajian ziarah
kubur) dan banyak lagi ulama dari Ahlusunah lainnya. Atas dasar itulah Syeikh
Manshur Ali Nashif dalam kitab at-Tajul Jami’ lil Ushul jilid 1 halaman
381 menyatakan: “Menurut mayoritas Ahlusunah dinyatakan bahwa ziarah
kubur adalah sunnah”.
Selain riwayat diatas, masih ada
lagi hadits Nabi saw. yang memerintahkan untuk ziarah kubur, tapi kami
hanya ingin menambahkan dua hadits lagi, insya Allah akan
lebih jelas buat pembaca bahwa ziarah kubur dan pemberian salam terhadap
ahli kubur itu adalah sunnah Rasulallah saw.
– Hadits dari Ibnu Abbas berkata:
Ketika Rasulallah saw. melewati perkuburan di kota Madinah maka beliau
menghadapkan wajahnya pada mereka seraya mengucapkan: ‘Semoga salam sejahtera
senantiasa tercurah atas kalian wahai penghuni perkuburan ini, semoga Allah
berkenan memberi ampun bagi kami dan bagi kalian. Kalian telah mendahului kami
dan kami akan menyusul kalian’. (HR. Turmudzi).
– Hadits dari Aisyah
ra.berkata:
كان النّبي .ص. كُلّما كان
ليلتها يخرُجُ من آخر اللّيل إلى البقيع فيقُولُ: السّلامُ عليكُم دار قومٍ
مُؤمنين, واتاكُم ما تُوعدُون غدًا مُؤجّلُون, وانّا انشا ء اللهُ بكُم لاحقُون
اللهُمّ اغفر لاهل بقيع الفرقد (رواه
المسلم)
Artinya: “Adalah Nabi saw. pada tiap
malam gilirannya keluar pada tengah malam kekuburan Baqi’ lalu bersabda:
‘Selamat sejahtera padamu tempat kaum mukminin, dan nanti pada waktu yang telah
ditentukan kamu akan menemui apa yang dijanjikan. Dan insya Allah kami akan
menyusulmu dibelakang. Ya Allah berilah ampunan bagi penduduk Baqi’ yang
berbahagia ini’”. (HR. Muslim).
5.2. Ziarah Kubur Bagi Wanita
Golongan madzhab Wahabi/Salafi
(pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab) melarang wanita ziarah kubur dengan
berpegang kepada kalimat hadits yang diriwayatkan di kitab-kitab as-Sunan
-kecuali Bukhori dan Muslim- yaitu: “Allah melaknat perempuan-perempuan yang
menziarahi kubur” ( kitab Mushannaf Abdur Razzaq jilid 3 hal. 569).
Sebenarnya hadits ini telah dihapus
(mansukh) dengan hadits yang menyebutkan bahwa ‘Aisyah ra. menziarahi
kuburan saudaranya, yang diungkapkan oleh adz-Dzahabi dalam kitab Sunan
al-Kubra, Abdur Razaq dalam kitab Mushannaf, al-Hakim
an-Naisaburi dalam kitab Mustadrak Alas Shahihain dan hadits riwayat Imam
Muslim (lihat catatan pada halaman selanjutnya ).
Begitu juga jika kita teliti lebih
detail lagi, ternyata sanad hadits yang menyebutkan “Allah melaknat
perempuan-perempuan yang menziarahi kubur” itu melalui tiga jalur utama:
1. Hasan bin Tsabit. 2. Ibnu Abbas dan 3. Abu Hurairah [ra].
Ibnu Majah dalam kitab Sunan Ibnu
Majah jilid 1 halaman 502 menukil hadits tersebut melalui tiga jalur
diatas.
Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab
Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 3 menukil hadits tersebut melalui dua jalur
yaitu Hasan bin Tsabit (Lihat jilid 3 halaman 442) dan Abu Hurairah (Lihat
jilid 3 halaman 337/356). At-Turmudzi dalam kitab al-Jami’ as-Shahih jilid 2
halaman 370 hanya menukil dari satu jalur saja yaitu Abu Hurairah. Abu
Dawud dalam kitab Sunan Abu Dawud jilid 3 halaman 317 hanya menukil melalui satu
jalur saja yaitu Ibnu Abbas.
Sedangkan Imam Bukhari dan Imam
Muslim tidak meriwayatkan hadits itu sama sekali. Begitu juga –jika dilihat
dari sisi jalur sanad haditsnya– tidak ada kesepakatan di antara para penulis
kitab as-Sunan dalam menukil hadits tersebut.
Ibnu Majah, Imam Ahmad bin Hanbal
dan Turmudzi sepakat meriwayatkan melalui jalur Abu Hurairah. Sedangkan dari
jalur Hasan bin Tsabit hanya dinukil oleh Ibnu Majah dan Imam Ahmad
saja, sedangkan jalur Ibnu Abbas dinukil oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah.
Dari jalur pertama yang berakhir pada Hasan bin Tsabit
–yang dinukil oleh Ibnu Majah dan Imam Ahmad– terdapat pribadi yang bernama
Abdullah bin Utsman bin Khatsim. Semua hadits yang diriwayatkan olehnya
dihukumi tidak kuat/lemah. Hal itu sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Daruqi
dari Ibnu Mu’in. Ibnu Abi Hatim sewaktu berbicara tentang Abdullah bin Utsman
tadi menyatakan bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Utsman tidak
dapat dijadikan dalil. An-Nasa’i dalam menjelaskan kepribadian Ibnu Usman tadi
mengatakan: “Ia sangat mudah meriwayatkan (menganggap remeh periwayatan.-red)
hadits” (Lihat kitab Mizan al-I’tidal jilid 2 halaman 459). Dan melalui jalur
tersebut juga terdapat pribadi seperti Abdurrahman bin Bahman. Tidak ada yang
meriwayatkan hadits darinya selain Ibnu Khatsim. Ibnu al-Madyani mengatakan:
“Aku tidak mengenal pribadinya” (Lihat kitab Mizan al-I’tidal jilid 2 halaman
551).
Dari jalur kedua yang berakhir pada Ibnu Abbas ra.
terdapat pribadi seperti Abu Shaleh yang aslinya bernama Badzan.
Abu Hatim berkata tentang dia:
“Hadits-hadits dia tidak dapat dipakai sebagai dalil”. An-Nasa’i menyatakan:
“Dia bukanlah orang yang dapat dipercaya”. Ibnu ‘Adi mengatakan: “Tak seorang
pun dari para pendahulu yang tak kuketahui dimana mereka tidak menunjukkan
kerelaannya (ridho) terhadap pribadinya (Badzan)” (Lihat kitab Tahdzib al-Kamal
jilid 4 halaman 6).
Dari jalur ketiga yang berakhir pada Abu Hurairah ra
terdapat pribadi seperti Umar bin Abi Salmah yang an-Nasa’i mengatakan tentang
dirinya: “Dia tidak kuat (dalam periwayatan .red)”. Ibnu Khuzaimah mengatakan:
“Haditsnya tidak dapat dijadikan dalil”. Ibnu Mu’in mengatakan: “Dia
orang yang lemah”. Sedangkan Abu Hatim menyatakan: “Haditsnya tidak dapat
dijadikan dalil” (Lihat kitab Siar A’lam an-Nubala’ jilid 6 halaman 133).
Mungkin karena sanad haditsnya tidak
sehat inilah akhirnya Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkan hadits
tadi. Bukankah dua karya besar itu memiliki gelar shahih sehingga terhindar
dari hadits-hadits yang tidak jelas sanadnya? Melihat hal-hal tadi maka hadits
pelarangan ziarah kubur buat perempuan di atas tadi tidak dapat dijadikan dalil
pengharaman.
– Salah seorang ulama madzhab
Wahabi/Salafi yang bernama Nashiruddin al-Albani pernah menyatakan
tentang hadits pelaknatan penziarah wanita tadi dengan ungkapan berikut ini:
“Di antara sekian banyak hadits
tidak kutemui hadits-hadits yang menguatkan hadits tadi. Sebagaimana tidak
kutemui hadits-hadits lain yang dapat memberi kesaksian atas hal tersebut.
Hadits ini adalah penggalan dari hadits: “Laknat Allah atas perempuan-perempuan
yang menziarahi kubur dan orang-orang yang menjadikannya (kuburan) sebagai
masjid dan tempat yang terang benderang” yang disifati sebagai hadits lemah
(Dha’if). Walau pun sebagian saudara-saudara dari pengikut Salaf (baca: Wahabi)
suka menggunakan hadits ini sebagai dalil. Namun saya nasehatkan kepada mereka
agar tidak menyandarkan hadits tersebut kepada Nabi, karena hadits itu adalah
hadits yang lemah” (Lihat kitab Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah wa
Atsaruha as-Salbi fil Ummah halaman 260).
Tetapi sayangnya sampai sekarang
bisa kita lihat dan alami kaum wanita –pelaksana haji atau umrah di Makkah dan
Madinah– , masih tetap dilarang oleh ulama Madzhab Wahabi untuk berziarah di
kuburan Baqi’ (Madinah) dan di Ma’la (di Makkah), untuk menziarahi makam para
keluarga dan sahabat Rasulallah saw.. Mereka menvonis saudara-saudara mereka
sesama muslim dengan sebutan penghamba Kubur (Quburiyuun), bahkan mereka
berkepala keras menyatakan bahwa ziarah kubur bagi perempuan adalah haram
menurut ajaran Rasulallah saw dan para Salaf Sholeh ?
Menurut
ahli fiqh, adanya hadits yang melarang wanita ziarah kubur bila ini
shohih, karena umumnya sifat wanita itu ialah lemah, sedikitnya kesabaran
sehingga mengakibat- kan jeritan tangis yang meraung-raung (An-Niyahah),
menampar pipinya sendiri dan perbuatan-perbuatan jahiliyah dikuburan itu, yang
mana ini semua tidak dibenarkan oleh agama Islam. Begitu juga sifat wanita
senang berhias atau mempersolek dirinya sedemikian rupa atau tidak mengenakan
hijab sehingga dikuatirkan –dengan campur baurnya antara lelaki dan
wanita– mereka ini tidak bisa menjaga dirinya dikuburan itu sehingga
menggairahkan para ziarah kaum lelaki.
Hal
tersebut dipertegas dalam kitab I’anatut Thalibin jilid 2/142. Begitupun
juga Al-Hafidz Ibnu Arabi (435-543H), pensyarah hadits Turmudzi dalam
mengomentari masalah ini berkata: ‘Yang benar adalah bahwa Nabi saw.
membolehkan ziarah kubur untuk laki-laki dan wanita. Jika ada sebagian orang
menganggapnya makruh bagi kaum wanita, maka hal itu dikarenakan lemahnya
kemampuan wanita itu untuk bersikap tabah dan sabar sewaktu berada diatas
pekuburan atau dikarenakan penampilannya yang tidak mengenakan hijab (menutup
aurat nya) dengan sempurna’.
Kalimat semacam diatas juga
dinyatakan dalam kitab at-Taajul Jami’ lil Ushul jilid 2 halaman 381,
atau kitab Mirqotul Mafatih karya Mula Ali Qori jilid 4 halaman 248.
Rasulallah saw. membolehkan dan
bahkan menekankan kepada umatnya untuk menziarahi kubur, hal itu berarti
mencakup kaum perempuan juga. Walau dalam hadits tadi Rasulallah saw.
menggunakan kata ganti (Dhamir) lelaki, namun hal itu tidak lain dikarenakan
hukum kebanyakan (Taghlib) pelaku ziarah tersebut adalah dari kaum lelaki. Ini
sebagaimana yang diungkapkan oleh Mula Ali Qori dalam kitab Mirqotul Mafatih
jilid 4 halaman 248 dan at-Turmudzi dalam kitab al-Jami’ as-Shahih jilid 3
halaman 372 hadits ke-1056. Kalaupun kita harus berbicara tentang
jumlah obyek yang diajak bicara (mukhatab), terbukti dalam tata bahasa Arab
walau ada seribu perempuan dan lelaki hanya segelintir saja jumlahnya, maka
kata ganti yang dipakai untuk berbicara kepada semua –yang sesuai dengan tata
bahasa yang baik dan benar– yang hadir tadi adalah menggunakan kata ganti
lelaki.
Jadi kesimpulannya ialah ziarah
kubur itu tidak dianjurkan untuk wanita bila para wanita diwaktu berziarah
melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama atau dimakruhkan seperti
yang tersebut diatas, tapi kalau semuanya ini bisa dijaga dengan baik, maka
tidak ada halangan bagi wanita tersebut untuk berziarah kubur seperti halnya
kaum lelaki. Dengan demikian bukan ziarah kuburnya yang dilarang, tetapi
kelakuan wanita yang berziarah itulah yang harus diperhatikan.
Mari
kita lanjutkan dalil-dalil mengenai ziarah kubur bagi wanita:
– Imam Malik, sebagian golongan
Hanafi, berita dari Imam Ahmad dan kebanyakan ulama memberi keringanan bagi
wanita untuk ziarah kubur. Mereka berdasarkan sabda Nabi saw. terhadap Aisyah
ra. yang diriyatkan oleh Imam Muslim. Beliau saw. didatangi malaikat Jibril as.
dan disuruh menyampaikan kepada Aisyah ra.sebagai berikut :
إنّ ربّك بأمرك أن تـأتي أهل البقيع
وتستغفرلهُم
Artinya:“Sesungguhnya Tuhanmu
menyuruhmu untuk menziarahi para penghuni perkuburan Baqi’ untuk engkau
mintakan ampun bagi mereka”.
Kata Aisyah ra; Wahai Rasulallah,Apa yang harus aku
ucapkan bila berziarah pada mereka? Sabda beliau saw. :
قُولي:
السّـلامُ على أهـل الدّيـار من المُؤمنـين والمُسلمين ويرحمُ الله المُستقدمين
منّا والمُستأخرين, وإنّا إنشاء الله بكُم لآحقُون
Artinya: ‘Ucapkanlah; salam
atasmu wahai penduduk kampung, dari golongan mukminin dan muslimin. Semoga
Allah melimpahkan rahmat-Nya pada kita bersama, baik yang telah terdahulu
maupun yang terbelakang, dan insya Allah kami akan menyusul kemudian’ “.
Untuk lebih jelasnya hadits yang
dimaksud diatas adalah bahwasanya Nabi saw. bersabda pada Aisyah ra.:
“Jibril telah datang padaku seraya
berkata: ‘Sesungguhnya Tuhanmu menyuruhmu untuk menziarahi para penghuni
perkuburan Baqi’ untuk engkau mintakan ampun bagi mereka.’ Kata Aisyah; ‘Wahai Rasulallah, apa
yang harus aku ucapkan bagi mereka?Sabda beliau saw: ‘Ucapkanlah: Semoga
salam sejahtera senantiasa tercurah bagi para penduduk perkuburan ini dari
orang-orang beriman dan orang-orang Islam, semoga Allah merahmati orang-orang
kami yang terdahulu maupun yang terkemudian, insya Allah kamipun akan menyusul
kalian’ “. (HR.Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan: ‘Semoga
salam sejahtera senantiasa tercurahkan bagi para penghuni perkuburan dari
orang-orang beriman dan Islam, dan kamipun insya Allah akan menyusul kalian,
kami berharap semoga Allah berkenan memberi keselamatan bagi kami dan kalian’.
Juga riwayat dari Abdullah bin Abi Mulaikah,
bahwa pada suatu hari Aisyah datang dari pekuburan, maka dia bertanya:
“Ya Ummul Mukminin, darimana anda?
Ujarnya: Dari makam, saudaraku Abdurrahman. Lalu saya tanyakan pula: Bukankah
Nabi saw. telah melarang ziarah kubur? Benar, ujarnya, mula-mula Nabi melarang
ziarah kubur, kemudian menyuruh menziarahinya”. ( Adz-Dzahabi dalam kitab Sunan
al-Kubra jilid 4 halaman 131, Abdur Razaq dalam kitab Mushannaf
Abdurazaq jilid 3 halaman 572/574 dan dalam kitab Mustadrak alas
Shahihain karya al-Hakim an-Naisaburi jilid 1 halaman 532 hadits ke-1392).
Adz-Dzahabi telah menyatakan kesahihannyasebagaimana yang telah
tercantum dalam catatan kaki yang ia tulis dalam kitab Mustadrak karya
al-Hakim an-Naisaburi tersebut. (Lihat: Mustadrak al-Hakim an-Naisaburi Jil:1
Hal: 374)
Dalam kitab-kitab itu juga diriwayatkan bahwa
Siti Fathimah Az-Zahrah ra, puteri tercinta Rasulullah saw. hampir setiap
minggu dua atau tiga kali menziarahi para syuhada perang Uhud, khususnya paman
beliau Sayyidina Hamzah ra.
Dalam kitab Sunan at-Tirmidzi disebutkan:
“Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa hadits itu (larangan ziarah kubur bagi
perempuan) diucapkan sebelum Nabi saw membolehkan untuk melakukan
ziarah kubur. Setelah Rasulullah saw membolehkannya, laki-laki dan perempuan
tercakup dalam kebolehan itu”. (Sunan At-TIrmidzi: 976)
Aisyah ra. melakukan ziarah kubur,
berarti apa yang dilakukan Aisyah adalah sebaik-baik dalil dalam mengungkap
hakekat hukum penziarah kubur dari kalangan perempuan. Hal itu dikarenakan
selain Aisyah sebagai istri Rasulallah saw. yang bergelar ummul mukminin (ibu
kaum mukmin) sekaligus sebagai Salaf Sholeh. Karena Salaf Sholeh tidak hanya
dikhususkan buat sahabat dari kaum lelaki saja, namun mencakup kaum perempuan
juga (shahabiyah).
Hadits dari Anas bin Malik
berkata:
عن أنسٍ إبن مالكٍ
(ر) مار النّبيّ (ص) بأمرأةٍ تبكي عند قبر فقال: إتّقي
الله واصبري , فقالت: إليك عنّي فإنّك لم تُصب بمُصيبتي ولم تعرفـهُ, فقيل لها إنّهُ النّبيّ (ص) فاتت بابـهُ فلم
تجد عندهُ بوّابـين فقالت لم أعرفُك, فقال: إنّما الصّبرُ عند
صدمة الأُولى
Artinya: “Pada suatu hari Rasulallah saw. berjalan
melalui seorang wanita yang sedang menangis diatas kuburan.Maka Nabi saw.
bersabda: ‘Takut lah kepada Allah dan sabarlah’. Dijawab oleh
wanita itu: ‘Tinggalkanlah aku dengan musibah yang sedang menimpaku dan
tidak menimpamu!’ Wanita itu tidak tahu kepada siapakah dia berbicara. Ketika
dia diberitahu, bahwa orang yang berkata padanya itu adalah Nabi saw., maka ia
segera datang ke rumah Nabi saw. yang kebetulan pada waktu itu tidak dijaga
oleh seorang pun. Kata wanita itu: ‘Sesungguhnya saya tadi tidak
mengetahui bahwa yang berbicara adalah engkau ya Rasulallah. Sabda beliau saw.:
“Sesungguh nya kesabaran itu hanyalah pada pukulan yang pertama dari datangnya
musibah’. (HR Bukhori dan Muslim). Al-Bukhari
memberi terjemah (judul bab) untuk hadits ini dengan judul “Bab tentang ziarah
kubur,” menunjukkan bahwa beliau tidak membedakan antara laki-laki dan wanita
dalam berziarah kubur. ( Shohih Al-Bukhari 3/110-116).
Lihat hadits terakhir diatas ini,
Rasulallah saw melihat seorang wanita dipekuburan dan tidak
melarangnya untuk berziarah, hanya di anjurkan agar sabar menerima atas
kewafatan anaknya (yang diziarahi tersebut).
– Al-Imam Al-Qurthubi
berkata : “Laknat yang disebutkan didalam hadits adalah bagi wanita-wanita yang
memperbanyak ziarah karena bentuk lafadhnya menunjukkan mubalaghah (berlebih-lebihan)”.
Dan sebabnya mungkin karena hal itu akan membawa wanita kepada penyelewengan
hak suami, berhias diri belebihan dan akan memunculkan teriakan,
raungan-raungan dan semisalnya.Jika semua hal tersebut tidak terjadi, maka
tidak ada yang bisa mencegah untuk memberikan izin kepada para wanita untuk
ziarah kubur, sebab mengingat mati diperlukan bagi laki-laki maupun wanita”.
(Lihat: Al Jami’ li Ahkamul Qur`an).
Muhibbuddin at-Thabari pun dalam kitabnya yang
berjudul ar-Riyadh an-Nadhirah jilid 2 halaman 330 menyebutkan bahwa: “
Suatu saat, ketika Umar bin Khatab (Khalifah kedua ) ra. bersama beberapa sahabatnya
pergi untuk melaksanakan ibadah haji ditengah jalan ia berjumpa dengan seorang
tua yang meminta tolong kepadanya. Sepulang dari haji kembali ia melewati
tempat dimana orang tua itu tinggal dan menanyakan keadaan orang tua tadi.
Penduduk daerah itu mengatakan: ‘Ia telah meninggal dunia’. Perawi
berkata: Kulihat Umar bergegas menuju kuburan orang tua itu dan di sana ia
melakukan shalat. Kemudian dipeluknya kuburan itu sambil menangis”.
Nah, insya Allah jelas bagi
kita bahwa ziarah kubur itu sunnah Rasulallah saw. dan berlaku baik bagi
lelaki maupun wanita. Sebab hikmah ziarah kubur adalah untuk mendapat pelajaran
dan ingat akhirat serta mendoakan ahli kubur agar mendapat ampunan dari Allah
swt. Ziarah kubur yang dilarang adalah pemujaan, menyembah dan meminta-minta
kepada penghuni kubur. Adapun hadits yang menyatakan larangan ziarah kubur bagi
wanita itu (mengenai hadits larangan ini silahkan rujuk uraian diatas)
telah dicabut/dihapus dengan dalil-dalil berziarah baik laki-laki maupun
perempuan adalah sunnah.
Yang lebih heran lagi kami pernah
mendengar dari saudara muslim bahwa ada orang yang pergi ke tanah suci untuk
menunaikan Haji atau Umrah tapi tidak mau ziarah pada junjungan kita Rasulallah
saw., karena hal ini dianggapbid’ah sesat. Mungkin saudara-saudara
kita ini mendapat kesalahan informasi tentang ziarah kubur. Kita telah
membaca keterangan diatas banyak hadits shohih Rasulallah saw. yang
menganjurkan kaum muslimin untuk berziarah, berdo’a untuk si mayit baik pada
waktu sholat jenazah maupun pada waktu berziarah tersebut, dengan tujuan agar
kita lebih mengingat pada Allah swt. dan akhirat.
Kalau kita disunnahkan ziarah kubur
pada kaum muslimin, bagaimana kita bisa melupakan ziarah kubur makhluk Ilahi
yang paling mulya dan taqwa Rasulallah saw. Tanpa beliau kita tidak mengetahui
syariat-syariat Islam, juga dengan berdiri dimuka makam beliau saw. kita
akan lebih konsentrasi untuk ingat pada Allah dan Rasul-Nya !.
5.3. Adab Berziarah Dan Berdo’a Di Depan Makam Rasulallah
Saw.
Sebagaimana
yang telah kami kemukakan tadi, bahwa adab berziarah ke kuburan orang muslimin
yang diajarkan oleh Rasulallah sw. yaitu menghadapkan wajah kita kekuburan itu
kemudian memberi salam dan berdo’a. Tetapi golongan Wahabi/Salafi yang menjaga
disekitar makam Rasulallah saw. sering membentak orang-orang yang sedang
berziarah agar waktu berdo’a harus menghadap ke kiblat.
Padahal
banyak fatwa ulama yang mengatakan, bahwa diperbolehkan bagi orang yang
berziarah kemakam Rasulallah saw., berdiri mengucapkan do’a mohon kepada Allah
swt. agar dikarunia kebajikan dan kebaikan apa saja yang di-inginkan, dan tidak
harus menghadap kearah kiblat (Ka’bah). Berdiri seperti ini bukan bid’ah,
bukan perbuatan sesat dan bukan pula perbuatan syirik. Para ulama telah
menfatwakan masalah itu bahkan ada diantara mereka yang memandangnya
mustahab/baik.
Masalah
tersebut pada mulanya berasal dari peristiwa yang dialami oleh Imam Malik
bin Anas ra., yaitu ketika beliau mendapat tegoran dari Khalifah Abu
Ja’far Al-Manshur di dalam masjid Nabawi di Madinah. Ketika itu Imam Malik
menjawab: “Ya Amirul-Mu’minin, janganlah anda bersuara keras di dalam masjid
ini, karena Allah swt. telah mengajarkan tatakrama kepada ummat ini dengan
firman-Nya: ‘Janganlah kalian memperkeras suara kalian (dalam berbicara)
melebihi suara Nabi….dan seterusnya’ (QS.Al-Hujurat:2). Allah swt.
juga memuji sejumlah orang dengan firman-Nya: ‘Sesungguhnya mereka yang
melirihkan suaranya dihadapan Rasulallah…dan seterusnya’ (QS.Al-Hujurat:3).
Begitu juga Allah swt. mencela sejumlah orang dengan firman-Nya: ‘Sesungguhnya
orang-orang yang memanggil-manggilmu dari luar kamar…dan seterusnya’.
(QS.Al-Hujurat :4).
Rasulallah
saw. adalah tetap mulia, baik selagi beliau masih hidup maupun setelah
wafat. Mendengar jawaban itu Abu Ja’far terdiam, tetapi kemudian bertanya:
‘Hai Abu ‘Abdullah (nama panggilan Imam Malik), apakah aku harus berdo’a sambil
menghadap Kiblat, atau menghadap (pusara) Rasulallah saw.?’. Imam Malik
menjawab: ‘ Mengapa anda memalingkan muka dari beliau saw., padahal beliau saw.
adalah wasilah anda dan wasilah Bapak anda, Adam as., kepada Allah swt.
pada hari kiamat kelak? Hadapkanlah wajah anda kepada beliau saw. dan mohonlah
syafa’at beliau, beliau pasti akan memberi syafa’at kepada anda di sisi Allah
swt. Allah telah berfirman: ‘Sesungguhnya jikalau mereka ketika berbuat
dhalim terhadap dirinya sendiri (lalu segera) datang menghadapmu
(Muhammad saw.)…dan seterusnya’ "(QS. An-Nisa:64) . (Kisah
ini diriwayatkan oleh Al-Qadhi ‘Iyadh dengan isnadnya yang terdapat
didalam kitabnya Al-Ma’ruf Bisy-Syifa Fit-Ta’rif pada bab Ziarah.)
Banyak ulama yang menyebut peristiwa/riwayat diatas ini.
Ibnu
Taimiyyah sendiri dalam Iqtidha-us Shiratul-Mustaqim halaman 397,
menuturkan apa yang pernah diriwayatkan oleh Ibnu Wahb mengenai Imam
Malik bin Anas. “Tiap saat ia (Imam Malik) mengucapkan salam kepada Nabi saw.,
ia berdiri dan menghadapkan wajahnya ke arah pusara Nabi saw., tidak kearah
kiblat. Ia mendekat, mengucap kan salam dan berdo’a, tetapi tidak menyentuh
pusara dengan tangannya” (Mengenai riwayat menyentuh pusara silahkan baca bab Tawassul/Tabarruk
di website ini—pen).
Imam
Nawawi didalam kitabnya yang berjudul Al-Idhah Fi Babiz-Ziyarah mengetengahkan
juga kisah itu. Demikian juga didalam Al-Majmu jilid VIII halalam 272.
Al-Khufajiy
didalam Syarhusy-Syifa menyebut, bahwa As-Sabki mengatakan sebagai
berikut: “ Sahabat-sahabat kami menyatakan, adalah mustahab jika orang pada
saat datang berziarah ke pusara Rasulallah saw. menghadapkan wajah
kepadanya (Rasulallah saw) dan membelakangi Kiblat, kemudian mengucapkan salam
kepada beliau saw., beserta keluarganya (ahlu-bait beliau saw.) dan para
sahabatnya, lalu mendatangi pusara dua orang sahabat beliau saw. (Khalifah
Abubakar dan Umar –radhiyallhu ‘anhuma). Setelah itu lalu kembali ketempat
semula dan berdiri sambil berdo’a “. (Syarhusy-Syifa jilid III halaman
398). Lihat pula Mafahim Yajibu An Tushahhah, oleh As-Sayyid
Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani, seorang ulama di Tanah Suci,
Makkah.
Dengan
demikian tidak ada ulama yang mengatakan cara berziarah sambil berdoa menghadap
makam Rasulalallah saw, adalah haram, bid’ah sesat dan lain sebagainya,
kecuali golongan Wahabi/Salafi dan pengikutnya. Lebih heran lagi
muthowwik wahabi sekitar makam Rasulallah saw tsb. tidak berani
melarang famili Raja Saud atau pejabat tinggi Saudi yang ziarah
disana dan berdoa menghadap kemakam beliau saw. dan tidak menghadap kekiblat
(untuk bukti klik situs www.abusalafy.com. fotonya
raja Abdullah ketika ziarah kemakam Rasulallah saw). Mereka hanya
berani kepada para pendatang dari jamaah haji. Bila mereka ingin melakukan amal
ma'ruf dan nahi mungkar, maka seharusnya melarang setiap orang –baik itu
Raja,President maupun rakyat biasa– untuk tidak melaksanakan perbuatan
yang mereka anggap haram tersebut, jadi tidak membeda-bedakannya.
5.4. Dalil-Dalil Yang Melarang
Ziarah Kubur Dan Jawabannya.
Golongan
yang melarang ziarah kubur menukil dalil-dalil sebagai berikut:
1. Fatwa Ibnu Taimiyah dalam kitab Minhaj
as-Sunah jilid 2 halaman 441 menyatakan: “Semua hadits-hadits Nabi yang
berkaitan dengan menziarahi kuburnya merupakan hadits yang lemah(Dzaif),
bahkan dibuat-buat (Ja’li) ”.
Dan
dalam kitab yang berjudul at-Tawassul wal Wasilah halaman 156 kembali
Ibnu Taimiyah mengatakan: “Semua hadits yang berkaitan dengan ziarah kubur Nabi
adalah hadits lemah, bahkan hadits bohong”. Ungkapan Ibnu Taimiyah ini di-ikuti
secara fanatik oleh semua ulama Wahabi, termasuk Abdul Aziz bin Baz
dalam kitab kumpulan fatwanya yang berjudul Majmuatul Fatawa bin Baz
jilid: 2 halaman 754, dan banyak lagi ulama Wahabi lainnya.
2. Disamping dalil diatas, mereka juga
berdalil dengan ayat al-Qur’an yang sama sekali tidak bisa diterapkan
kepada kaum muslimin, yakni firman Allah swt. dalam surat at-Taubah:84: “Dan
janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang mati di
antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendo’akan) dikuburnya”.
Kaum
pengikut Wahabi menganggap bahwa ayat itu membuktikan akan pelarangan
ziarah kubur secara mutlak. Padahal, mayoritas ulama Ahlusunah yang
menafsirkan ayat tadi dengan tegas menyatakan bahwa ayat itu berkaitan
dengan kuburan kaummunafik, bukan kaum muslim, apalagi kaum mukmin. Jadi
ayat tersebut tidak berlaku jika penghuni kubur itu adalah seorang muslim dan
mukmin sejati, apalagi jika penghuni kubur tadi tergolong kekasih (Wali)
Allah swt.. Sebagaimana yang dikatakan Al-Baidhawi dalam kitab Anwarut
Tanzil jilid 1 hal.416 dan al-Alusi dalam kitab Ruhul Ma’ani jilid
10 hal.155 dalam menafsirkan ayat tadi menyatakan bahwa ayat itu diturunkan
untuk penghuni kubur yang tergolong kaum munafik dan kafir.
Bagaimana
mungkin kelompok Wahabi memutlakkannya, yang berarti mencakup segenap kaum
muslimin secara keseluruhan, termasuk mencakup kuburan wali Allah? Apakah kaum
Wahabi telah menganggap bahwa segenap kaum muslimin dihukumi sama dengan kaum
kafir dan munafik? Apakah hanya yang meyakini akidah Wahabi yang dianggap
muslim dan monoteis (Muwahhid) sejati? Pikiran
semacam itu adalah pikiran yang dangkal sekali.
Kita
ingin bertanya lagi pada golongan pengingkar itu; “Bagaimana dengan
argumentasi hadits-hadits diatas dan hadits-hadits lainnya yang tercantum dalam
kitab-kitab standart dan karya para ulama terkemuka Ahlusunah wal Jama’ah?
Dalam kitab-kitab hadits disebutkan bahwa Nabi saw. bukan hanya tidak melarang
umatnya untuk menziarahi kubur, bahkan beliau menganjurkan hal tersebut, guna
mengingat kematian dan akherat. Hal itu dikarenakan dengan ziarah kubur
manusia akan mengingat akhirat. Dan dengan itu akan meniscayakan manusia yang
beriman akan semakin ingat dengan Tuhannya. Malah beliau saw. mengajarkan
kepada kita bagaimana adab atau cara berziarah. Begitu juga beberapa
fatwa para Imam madzhab fikih Ahlusunah wal Jama’ah yang membuktikan bahwa
ziarah kubur disunnahkan.
Apakah
Ibnu Taimiyyah dan golongan Wahabi serta pengikutnya akan meragukan keshahihan
Shahih Muslim dan para perawi lainnya yang tersebut diatas, sehingga mereka
mengatakan bahwa legalitas hadits ziarah kubur merupakan kebohongan?
Jika menziarahi kuburan muslim biasa saja diperbolehkan secara syariat, lantas
apa alasan mereka mengatakan bahwa menziarahi kubur manusia agung seperti
Muhammad Rasulullah saw. yang merupakan kekasih sejati Allah pun adalah
kebohongan?
Mengapa golongan
pengingkar itu tidak menvonis Umar bin Khatab ra. yang shalat dan
menangis didepan kuburan orang tua itu sebagai seorang yang musyrik?
Mengapa mereka tidak mengatakan bahwa ummul mukminin Aisyah ra. dan Umar
bin Khattab ra. telah melakukan hal yang tanpa dalil (bid’ah)? Mengapa
golongan pengingkar ini tidak mengatakan bahwa shalat, berdo’a dan tangisan Umar
bin Khatab di sisi kuburan orang tua tadi merupakan perbuatan Syirik?Mungkinkah
khalifah kedua dan ummul mukiminin Aisyah melakukan syirik,
perbuatan yang paling dibenci oleh Allah? Bukankah mereka berdua adalah tokoh
dari Salaf Sholeh yang konon ajarannya akan di hidupkan kembali oleh
pengikut Wahabi, lantas mengapa mereka ini berfatwa tidak sesuai dengan ajaran
mereka berdua, dan tidak sesuai dengan ajaran Rasulallah saw.?
Jika
benar bahwa kelompok Wahabi memiliki misi untuk menghidupkan kembali ajaran
Salaf Sholeh maka hendaknya mereka membolehkan berziarah kubur, melaksana kan
shalat di sisi kuburan atau menangis disamping kubur sebagaimana yang
dilakukan Umar bin Khattab (khalifah kedua)!
3.Ada lagi dari golongan pengingkar yang melarang ziarah
kemakam Nabi saw. dengan alasan hadits berikut ini: “Jangan susah-payah
bepergian jauh kecuali ke tiga buah masjid; Al-Masjidul-Haram, masjidku
ini (di Madinah) dan Al-Masjidul-Aqsha (di Palestina)”.
Sebenarnya hadits diatas ini berkaitan
dengan masalah sembahyang, jadi bukan masalah ziarah kubur. Yang
dimaksud hadits tersebut ialah ‘jangan bersusah-payah bepergian jauh hanya
karena ingin bersembahyang di masjid lain, kecuali tiga masjid yang disebutkan
dalam hadits itu’. Karena sembahyang disemua masjid itu sama pahalanya kecuali
tiga masjid tersebut.
Makna ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad bin Hanbal yaitu Rasulallah saw. pernah bersabda: “Orang tidak
perlu bepergian jauh dengan niat mendatangi masjid karena ingin menunaikan sholat
didalamnya, kecuali Al-Masjidul-Haram (di Makkah), Al-Masjidul-Aqsha (di
Palestina) dan masjidku (di Madinah)” Imam Al-Hafidz Ibnu
Hajar mengatakan bahwa hadits ini terkenal luas (masyhur) dan baik.
Hadits yang semakna diatas tapi sedikit perbedaan
kalimatnya yang di riwayatkan oleh ‘Aisyah ra. dan dipandang sebagai hadits
baik dan masyhur oleh Imam Al-Hafidz Al-Haitsami yaitu: “Orang tidak perlu
berniat hendak bepergian jauh mendatangi sebuah masjid karena ingin menunaikan sholatdidalamnya
kecuali Al-Masjidul-Haram, Al-Masjidul-Aqsha (di Palestina) dan masjidku
ini (di Madinah)”. (Majma’uz-Zawa’id jilid 4/3). Dan beredar banyak
hadits yang semakna tapi berbeda versinya.
Dengan
demikian hadits-hadits diatas ini semuanya berkaitan dengan sholat bukan
sebagai larangan untuk berziarah kubur kepada Rasulallah saw. dan kaum
muslimin lainnya!
4. Ada lagi pikiran yang aneh dari golongan
pengingkar, yang mengatakan bahwa ziarah kubur dilarang pada masa awal perkembangan
Islam karena masalah ini memang akan bisa menjatuhkan orangdalam bahaya
kesyirikan dan kondisi keimanan seseorang. Jadi sebagai tindakan hati-hati
sangatlah wajar jika kita kaum muslimin untuk tidak melakukan ziarah
kubur. Lebih lanjut kata mereka: Sering
terjadi kekeliruan waktu Ziarah Kubur misalnya:
-Mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk berziarah
(bulan Sya’ban, idul Fithri dll)
-Menaburkan bunga-bunga dan meletakkan pelepah pepohonan
di atas pusara kubur. Adapun apa yang dilakukan Nabi saw. ketika meletakkan
pelepah kurma di atas kubur adalah kekhususan untuk beliau dan berkaitan dengan
perkara ghaib, karena Allah memperlihatkan kepada beliau keadaan penghuni kubur
yang sedang disiksa.
-Sujud, membungkuk ke arah kuburan kemudian mencium
dan mengusapnya
-Berdo’a kepada penghuni kubur. Begitu juga sering orang
mempunyai persangkaan bahwa berdo’a di kubur itu lebih terkabulkan, sehingga memilih
tempat tersebut
-Memakai sandal ketika memasuki pekuburan
-Duduk, sholat di atas kubur.
Shalat diatas kuburan ini tidak diperbolehkan
kecuali shalat jenazah dan Nabi saw. bersabda (Janganlah kalian sholat di atas
kubur)
Jawabannya:
Pemikiran-pemikiran
seperti diatas dari golongan pengingkar sebagai alasan untuk mengharamkan
atau melarang ziarah kubur adalah tidak berdasarkan dalil dari Sunnah
Rasulallah saw., tidak lain berdasarkan pikiran, logika dan angan-angan
mereka sendiri. Begitu juga
bila pemikiran diatas dijadikan alasan untuk melarang ziarah kubur
maka hal itu akan berbenturan dengan hadits-hadits shohih Rasulallah saw. yang membolehkan
dan menganjurkan ziarah kubur, memberi salam dan berdo’a untuk dimuka makam
ahli kubur, dan lain sebagainya (baca keterangan diatas dan selanjutnya pada
bab ziarah kubur ini dan lihat juga bab tawassul/tabarruk dll. dibuku
ini).
Hadits Nabi saw. yang menyebutkan ‘Dahulu
saya melarang ziarah kubur, namun kini berziarahlah….’. jelas sekali bagi orang yang mau berpikir hukum yang
lama yaitu ‘larangan ziarah kubur’ akan terhapus/mansukh dengan hukum
yang baru yaitu ‘diperbolehkannya’ ziarah tersebut dan adanya
dalil-dalil shohih mengenai ziarah kubur yang telah kami kemukakan. Mengapa
golongan pengingkar ini selalu takut-takut sendiri orang jatuh kedalam
kesyirikan bila berziarah kekuburan? Sedangkan manusia yang paling taqwa dan
mulia disisi Allah swt. Muhammad Rasulallah saw. telah menganjurkannya!!
Apakah beliau saw. akan menganjurkan
sesuatu amalan yang mengakibatkan kesyirikan atau kemungkaran?Apakah para
sahabat Nabi saw. yang mulia dan tokoh dari para Salaf Sholeh serta
para pakar islam baik pada zaman Rasulallah saw., sahabat, tabi'in maupun
pada zaman berikutnya yang berziarah kemakam Rasulallah saw., kemakam para
sholihin serta bertawassul dan bertabarruk (baca bab tawassul/tabarruk dibuku ini) kepada
mereka tidak mengerti hukum syari’at Islam?, dan hanya ulama dari pengikut
madzhab Wahabi/Salafi saja yang memahaminya? Kami kira para pembaca
yang budiman bisa menjawabnya dengan mudah sekali.
Waktu-waktu tertentu untuk berziarah:
Rasulallah saw. tidak pernah
mewajibkan maupun mengharamkan waktu-waktu tertentu untuk berziarah
kubur, orang boleh berziarah pada waktu apapun baik itu malam, pagi, siang hari
dan pada bulan Sya’ban, Idul Fihtri dan lain sebagainya. Dimana dalilnya
bahwa Rasulallah saw. mengharamkan ziarah kubur pada waktu-waktu tertentu?
Mengapa justru golongan pengingkar ini yang melarangnya?
Dalam syari’at Islam telah
menyatakan adanya bulan dan hari yang mulia umpama bulan-bulan Hurum/suci
(Muharram, Dzul-Kiddah, Dzul-Hijjah, Rajab) begitu juga bulan Sya’ban,
Ramadhan, hari Kamis, Jum’at dan lain sebagainya (mengenai hal ini silahkan
baca keterangan pada bab nishfu Sya’ban, majlis dzikir dan lainnya pada bab
lain diwebsite ini atau dikitab-kitab ulama ahli fiqih). Pada bulan-bulan dan
hari-hari yang mulia tersebut, Allah swt. lebih meluaskan Rahmat dan
Ampunan-Nya kepada makhluk yang berdo’a, beramal sholeh dan mengharapkan Rahmat
dan Ampunan Ilahi.
Disamping bulan-bulan atau hari-hari
biasa kaum muslimin berziarah ke pekuburan, mereka juga lebih memanfaatkannya
pada bulan dan hari yang mulia tersebut untuk beramal sholeh, diantaranya
berziarah kekuburan kerabatnya atau para sholihin. Jadi tidak ada diantara kaum
muslimin yang berfirasat hanya (khusus) pada bulan atau hari tertentu orang
dibolehkan berziarah, ini tidak lain hanya pikiran, karangan dan dongengan
golongan pengingkar sendiri!!
Apakah mereka ini tahu hukumnya
dalam Islam orang yang melarangsesuatu amalan yang halal dan menghalalkansuatu
amalan yang haram? Kalau sudah mengetahui hukumnya mengapa kok masih sering
berani menghukumi setiap amalan yang tidak sepaham dengannya sebagai
amalan munkar, haram, syirik dan lain sebagainya? Ingat firman Allah
swt.dalam surat An-Nahl:116; “ Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa
yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘Ini halal dan in haram’
untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah…sampai akhir ayat”.
Sebagaimana yang sering kami kemukakan, bahwa golongan
pengingkar ini sering mengharamkan, memunkarkan, membid'ahkan sesat suatu
amalan yang tidak sepaham dengan mereka dengan alasan bahwa Nabi saw.
atau para sahabat tidak pernah melakukan, mengapa kita melakukan hal
itu?. Kaedah seperti inilah yang sering digembar-gemborkan oleh mereka. Padahal
kalau kita teliti ,berikut ini, firman Allah swt. dalam surat Al-Hasyr
:7:
وما
اتاكُمُ الرّسُولُ فخُذُوهُ وما نهاكُم عنهُ فانتهُوا
Artinya: Apa saja yang didatangkan oleh Rasul
kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamu dilarang daripadanya,
maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr :7). Dalam ayat ini
jelas bahwa perintah untuk tidak mengerjakan sesuatu itu adalah apabila telah
tegas dan jelas larangannya dari Rasulallah saw. !
Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan :
ومالم
يفعلهُ
فانتهُوا
Artinya:‘Dan apa saja yang tidak pernah
dikerjakannya (oleh Rasulallah), maka berhentilah (mengerjakannya)’.
Juga dalam hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh
Bukhori:
اذا أمرتُكُم
بأمرٍ فأتُوا منهُ مااستطعتُم واذا نهيتُكُم عن شيئٍ فاجتنبُوه
Artinya:
‘Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan
jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah dia' !
Dalam hadits ini Rasulallah saw. tidak
mengatakan:
واذا لم أفعل شيئًا فاجتنبُوه
Artinya: ‘Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku
kerjakan, maka jauhilah dia'!
Menaburkan bunga, menanam pelepah pohon:
Dengan adanya hadits-hadits tentang kehidupan
ruh-ruh itu itu, para penziarah ada yang menaburkan bunga diatas
kuburan, tidak lain hanya sebagai penghormatan atau kecintaan
kepada ahli kubur itu, sebagaimana orang yang masih hidup yang sering antara
satu dan lain memberi bunga untuk penghormatan. Itu semua tidak ada salahnya,
selama penghormatan kepada manusia baik yang hidup maupun yang telah mati tidak
dibarengi dengan keyakinan bahwa obyek yang dihormati itu memiliki sifat
ketuhanan.
Sedangkan menaruh atau menanam pelepah diatas kuburan
juga tidak ada salahnya, Nabi saw. sendiri telah mencontohkannya didalam
haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan lain-lain dari Ibnu Abbas
ra.. Dalam hadits itu Nabi saw. ...minta pelepah pucuk kurma lalu dibelahnya
satu ditanamkannya kepada satu kubur dan satu lagi pada kubur yang lain dengan
berdo’a semoga mereka berdua diberi keringanan (dari siksa kubur) selama
pelepah ini belum kering.
Dengan adanya hadits itu ummat Nabi saw. juga
mencontoh perbuatan beliau saw. yakni menanamkan pelepah pohonan diatas kubur
sambil berdo’a kepada ahli kubur. Dalam hadits itu tidak ada isyarat yang melarang
atau menyuruh umatnya untuk berbuat seperti beliau saw.. Dengan
demikian bila ada kaum muslimin yang meniru perbuatan beliau saw., tidak lain
karena beliau saw. sebagai contoh dari umatnya. Malah ada hadits shohih yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhori bahwa Buraidah Aslami berpesan agar pada
kuburnya ditanamkan dua pucuk pelepah kurma. Ada juga riwayat hadits bahwa
binatang-binatang yang hidup dan pepohonan itu selalu bertasbih kepada
Allah swt. Nah, apa salahnya dalam hal ini?
Pertanyaan sekarang terhadap golongan pengingkar, mengapa
mereka mengharamkanperbuatan itu sedangkan Nabi saw. tidak melarang bila
ada ummatnya yang meniru perbuatannya tersebut? Manadalilnya dari Nabi saw.
bahwa orang tidak boleh menaburkan bunga atau menanam pelepah diatas
kuburan? Apakah Buraidah Aslami waktu berwasiat itu tidak mengerti hukum
syari’at Islam?
Berdiri secara khidmat, atau berbuat tawadhu’ (rendah
diri) dan sopan dihadapankuburan:
Ini tidak ada salahnya selama perbuatan itu
sebagai penghormatan/ta’dim saja terhadap ahli kubur dan bukan sebagai ibadah.
Begitu juga mencium atau mengusap-usap kuburan tidak ada salahnya selama
niatnya sebagai tabarruk/pengambilan barokah (ketereangan lebih
mendetail baca bab tawassul/tabarruk). Apakah golongan pengingkar ini masih
ingat ayat Al-Qur’an yang menyebutkan tentang sujudnya para malaikat
kepada Adam as. dan sujudnya saudara-saudara Yusuf as. kepada Nabi Yusuf
as. Semua ahli tafsir mengatakan bahwa sujud diayat itu sebagai sujud
penghormatan yang tinggi, bukan sebagai ibadah kepada obyek
yang dihormati.
Kalau sujud disitu tidak dicela oleh
Allah swt. karena tidak lain hanya merupakan penghormatan tinggi bukan sebagai
ibadah, mengapa golongan pengingkar berani mengharamkan sampai berani
mensyirikkan orang yang berdiri khidmat dan lain sebagainya dihadapan
kuburan Rasulallah saw., para sahabat atau para sholihin lainnya? Semua
amalan itu tergantung dari niatnya....(hadits shohih) dan niat dihati
seseorang tidak ada orang yang mengetahuinya. Kalau niat orang itu untuk
menghormat atau bertabarruk kepada ahli kubur, maka tidak ada masalahnya,
tetapi kalau niatnya beribadah kepada kuburan, maka inilah yang tidak
dibolehkan oleh syari’at.
Sama halnya orang yang rukuk dan sujud dimuka
bangunan dari batu yaitu Ka’bah, bila dia rukuk atau sujud menganggap sebagai ibadah
kepada Ka’bah maka akan hancur lah keimanannya, karena ibadah hanya ditujukan
kepada Allah swt.!!
Bila ada penziarah kubur berkeyakinan bahwa
ahli kubur (obyek yang diziarahi) itu bisa merdeka (tanpa izin Allah
swt.) memberi syafa’at pada penziarah kubur, keyakinan inilah yang dilarang
oleh agama. Jadi sekali lagi semua itu terletak pada keyakinan seseorang. Kita
tidak boleh mengharamkan ziarah kubur karena perbuatan perorangan/
individu yang berkeyakinan salah itu. Karena ziarah kubur ini sejalan dengan
hukum syari’at Islam !
Janganlah kita seenaknya sendiri tanpa dalil
agama yang jelas mensyirikkan seseorang karena melihat secara lahir
perbuatan orang tersebut, karena kita tidak mengetahui keyakinan dihati
setiap orang. Ingatlah hadits riwayat Muslim (Shahih Muslim Bab 41 no.158 dan hadits yang sama no.159)
bahwa Usamah bin Zaid ra membunuh seorang pimpinan Laskar Kafir yang telah
terjatuh pedangnya, lalu dengan wajah tidak serius ia (laskar kafir) mengucap
syahadat, lalu Usamah membunuhnya. Betapa murkanya Rasulallah saw. saat
mendengar kabar itu.., seraya bersabda: Apakah engkau membunuhnya padahal ia
mengatakan Laa ilaaha Illallah!!? Lalu Usamah ra. berkata: Kafir itu hanya
bermaksud ingin menyelamatkan diri Wahai Rasulullah.., maka beliau saw. bangkit
dari duduknya dengan wajah merah padam dan membentak: Apakah engkau telah
belah sanubarinya hingga engkau tahu isi hatinya (perkataan ini diulangi
tiga kali) … ..sampai akhir hadits ? Renungkanlah !
Berdoa dipekuburan:
Cukup banyak riwayat hadits bahwa Rasulallah
saw dan para sahabatnya ketika ziarah kubur mendoakan dan memberi
salam kepada ahli kubur dan berdoa juga untuk diri- nya. Begitu juga banyak
riwayat bahwa para sahabat, para salaf dan khalaf ketika ziarah kemakam-makam;
Rasulallah saw, para sholihin sambil tawassul, bertabarruk
kepada mereka. Allah swt. akan mengabulkan do’a para hamba-Nya dimanapun
dia berada, tetapi bila kita berdo’a disekitar Ka’bah, Maqam Ibrahim dan
tempat-tempat lain yang mulia disisi Allah swt. termasuk juga disekitar kuburan
Rasulallah saw., kuburan para Nabi lainnya, para sahabat Rasulallah saw. dan
para kaum sholihin yang pribadi mereka di muliakan oleh Allah swt. harapan cepat terkabulnya do’a lebih besar,
daripada kalaukita berdo’a kepada Allah swt. dirumah atau dipasar. Banyak
riwayat yang menceriterakan tempat-tempat mustajab do’a, jadi tidak semua
tempat sama !
Syari’at Islam telah menyatakan adanya kehidupan
ruh-ruh orang mu’min yang telah wafat dialam barzakh (bisa mengerjakan sholat,
bisa menghadiri tempat kuburnya, terbang kemana-mana menurut kehendaknya,
berdo’a kepada Allah swt. untuk para kerabatnya yang masih hidup, mendengar
omongan orang yang hidup dan lain sebagainya baca keteranganselanjutnya dibab
ini dan pada bab tawassul/tabarruk diwebsite ini.
Kalau ruhnya orang mu’min biasa saja bisa
berbuat demikian, apalagi dengan Ruhnya Rasulallah saw., para Nabi, para wali,
dan kaum sholihin. Dengan adanya hadits-hadits itu, para penziarah berdo’a
kepada Allah swt. untuk ahli kubur bukan berdo’a kepadaahli
kubur tetapi untuk ahli kubur juga bertawassul,bertabarruk
dengan penghuni kubur Rasulallah saw dan keluarganya, sahabatnya dan
para wali/sholihin, yang pribadi dan amal mereka telah
dibanggakan oleh Allah swt agar penghuni kubur itu ikut berdo’a kepada Allah
swt.untuk penziarah itu. Sekali lagi silahkan rujuk ke bab
Tawassul/Tabarruk di website ini.
Memakai sandal di kuburan:
Para ulama berbeda pendapat hukumnya. Kebanyakan
ulama berpendapat tak ada salahnya berjalan di pekuburan dengan
memakai terompah dan ada lagi ulama yang memakruhkan memakai terompah
yang mewah bila tidak ada udzurnya (banyak duri dll). Jureir bin
Ibnu Hazim berkata: ‘Saya melihat Hasan dan Ibnu Sirin berjalan diantara
kubur-kubur dengan memakai terompah’.
Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhori,
Muslim, Abu Daud dan Nasa’i dari Anas bin Malik ra. bahwa Nabi saw. bersabda: “Seorang
hamba bila ia telah diletakkan dalam kuburnya dan teman-temannya telah
berpaling, maka sesungguhnya ia (si mayyit) mendengar bunyi
terompah-terompah mereka”.
Hadits ini sebagai alasan atau dalil dibolehkannya
berjalan di kuburan memakai terompah. Karena tidaklah akan didengar oleh
simayyit bunyi terompah itu jika tidak dipakai!
Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal telah
menganggap makruh memakai terompah Sibtitterompah mewah
dipekuburan, berdasarkan riwayat Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah dari Basyir
bekas budak Nabi saw. yang berkata: “Rasulallah saw. melihat seorang lelaki
yang berjalan di pekuburan dengan berterompah, maka sabdanya; ‘Hai orang
yang berterompah Sibtit, lemparkanlah terompahmu itu’!. Lelaki
itu pun menoleh, dan demi dikenalnya Rasulallah saw. maka ditanggalkannya
terompahnya lalu dilemparkannya”. Imam Ahmad mengatakan makruh ialah
jika tidak ada udzur. Maka jika terdapat sesuatu keudzuran yang
mengharuskan seseorang buat memakai terompah misalnya karena banyak duri atau
najis, lenyaplah hukum makruh itu !!
Berkata Khathabi: “Tampaknya hal itu dimakruhkan
ialah karena menunjukkan kemewahan, sebab terompah Sibtititu biasanya
dipakai oleh golongan mampu yang bermewah-mewah. Lalu katanya lagi: ‘Maka
Keinginan Nabi saw. hendaklah memasuki pekuburan itu dengan sikap tawadhu’(rendah
diri)dan berpakaian seperti orang khusyu’ “.
Dengan adanya dalil-dalil diatas para
pembaca bisa menilai sendiri apakah benar komentar golongan pengingkar yang mengharamkan
orang yang pakai sandal di pekubur
an? Hukum makruhnya saja masih belum mutlak!
Duduk, sholat diatas kubur:
Duduk diatas kubur, dianggap kurang
penghargaan terhadap penghuni kubur, maka dari itu para ulama berbeda pendapat
juga waktu menerangkan hadits Rasulallah saw. yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim, Ahmad, Abu Daud dan lainnya dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw.
bersabda: “Lebih baik jika seseorang diantaramu duduk diatas bara panas
hingga membakar pakaiannya dan tembus kekulitnya daripada ia duduk diatas kubur
”.
Dengan adanya hadits itu, jumhur (pada
umumnya) ulama memakruhkan hal itu, ada lagi yang membolehkan dan
ada lagi yang mengharamkan. Untuk mempersingkat halaman marilah kita
ambil dalil dari jumhur ulama yang memakruhkan. Hadits ini juga bisa dijadikan dalil
bahwa orang yang telah wafat layak untuk dihormati, bila tidak demikian
halnya, maka tidak perlu adanya hadits yang memakruhkan untuk duduk diatas
pusara kubur.
Imam Nawawi berkata: “Melihat gelagat ucapan Imam Syafi’i
dalam kitab Al-Umm, begitu pun golongan terbesar dari kawan-kawan
sealiran, dimakruhkanduduk dikubur, maksudnya larangan itu adalah buat
makruh, sebagaimana biasa terdapat dalam pengertian fukaha, bahkan banyak
diantara mereka yang menyatakannya dengan tegas. Ulasnya pula: Demikian pula
halnya pendapat jumhur ulama, termasuk didalamnya Nakh’i, Laits, Ahmad dan
Abu Daud’. Imam Nawawi melanjutkan; Juga sama makruh hukumnya, bertelekan
diatasnya dan bersandar padanya”.
Sebaliknya Ibnu Umar dari golongan sahabat,
Imam Abu Hanifah, dan Imam Malik menyatakan tidak ada salahnya
(boleh)duduk di kubur. Sedangkan pendapat yang mengharamkan ialah Ibnu
Hazmin. (Keterangan diatas mengenai memakai sandal dan duduk diatas kubur
dinukil dari kitab Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq jilid 4 cet.pertama th 1978
hal.175 dan 181).
Sedangkan hadits ,riwayat Imam Bukhori,
mengenai membina masjid diatas (bukan disisi) kubur “Mereka
(Yahudi dan Nasrani) itu, jika ada seorang yang sholeh di- antara
mereka meninggal, mereka binalah diatas makamnya sebuah masjid dan mereka buat
didalamnya patung-patung....sampai akhir hadits”dan hadits lainnya tentang sholat
diatas kuburan, itu masih belum
jelas apakah pelarangan (tempat ibadah dan arah kiblat) menjurus kepada hukum haram
ataupun hanya sekedar makruh (tidak sampai pada derajat haram) saja. Hal
itu dikarenakan Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya (lihat kitab Shahih
al-Bukhari jilid 2 hal.111) dimana beliau mengumpul- kan hadits-hadits semacam
itu ke dalam topik “Bab apa yang dimakruhkan dari menjadikan masjid di atas
kuburan” (Bab maa yukrahu min ittikhodz al-Masajid ‘alal Qubur) dimana ini
meniscayakan bahwa hal itu sekedar pelarangan yang bersifat makruh saja
yang selayaknya dihindari, bukan mutlak haram. Begitu juga
hadits diatas itu jelas makruh membina masjid atau sholat diatas kuburan
bukan disisi kuburan.
Larangan Nabi saw. dalam hadits tadi dapat diambil suatu
pelajaran bahwa kaum Yahudi dan Nasrani telah menjadikan kuburan para nabi dan
manusia sholeh dari mereka bukan hanya sebagai tempat ibadah melainkan
sekaligus sebagai kiblat (arah ibadah). Lainnya halnya dengan orang
muslimin yang mengambil tempat sholat disisi kuburan orang sholeh hanya sebagai
tabarrukan (pengambilan barokah) bukan sebagai arah kiblat.
Imam Syafi’i dalam kitabnya Al Umm bab
‘Pekerjaan setelah penguburan’ mengatakan: “Saya memandang makruh
membangun masjid di atas kuburan, atau diratakan kemudian sholat
diatasnya. Namun apabila ia telah sholat, maka ia tidak mengapa, tapi
ia telah berbuat yang tidak baik”.
Memahami omongan imam Syafi'i, bahwa sholat diatas
kuburan adalah makruh jadi tidak sampai derajat haram. Begitu juga yang
dimakruhkan adalah sholat diatas kuburan bukan disisi kuburan. Kalau
golongan pengingkar tetap bersikeras mengharamkan sholat disisi atau
menghadap kuburan dan lain sebagainya seperti yang telah dikemukakan, kami
ingin bertanya kepada mereka: Dimana letak kuburan Rasulallah saw., khalifah
Abubakar dan khalifah Umar bin Khattab [ra], apakah tidak terletak
didalam masjid Nabawi? Mengapa ulama-ulama mereka yang di Madinah
membiarkan orang muslimin sholat dihadapan, dibelakang, disamping kuburan
tersebut? Malah kebanyakan kaum muslimin ingin sholat dekat atau disekitar
kuburan Rasulallah saw. dan dua sahabatnya itu, sebagai tabarukkan. Keterangan lebih mendetail, silahkan baca halaman
selanjutnya mengenai membina masjid disisi kuburan dan memberi penerangan
dikuburan diwebsite ini. Wallahu a’lam
5.5. Pembacaan Al-Qur’an Di
Kuburan Dan Hadiah Pahala Bacaan Untuk Orang Yang Telah Wafat
Membaca Al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan untuk orang yang telah
wafat adalah pendapat jumhur (umum) dari golongan Ahlus-Sunnah. Menurut
Imam Ahmad bin Hanbal dan segolongan dari sahabat Imam Syafi’i mengatakan bahwa
pahalanya akan sampai kepada si mayit. Si pembaca sebaiknya mengucapkan do’a
setelah pembacaan Al-Qur’an: ‘Ya Allah sampaikanlah pahala seperti pahala
bacaan saya itu kepada si Anu’.
Marilah kita ikuti
,berikut ini, wejangan para pakar Islam mengenai pahala bacaan untuk
orang yang telah wafat.
Berkata Muhamad bin
Ahmad al-Marwazi: “Saya mendengar Ahmad bin Hambal berkata: ‘Jika kamu masuk
kepekuburan, maka bacalah Fatihatul kitab, al-ikhlas, al-Falaq dan an-Nas
dan jadikanlah pahalanya untuk para penghuni kubur. Maka sesungguhnya pahala
itu sampai kepada mereka. Tetapi yang lebih baik adalah agar si pembaca itu
berdoa sesudah selesai dengan: ‘Ya Allah, sampaikanlah pahala ayat
yang telah aku baca ini kepada si fulan….’”.(Hujjatu Ahlis Sunnah
Wal-Jamaah hal.15).
Ibnu ‘Ukeil berkata: “Jika seseorang melakukan amal kebaikan
seperti sholat, puasa dan membaca Al-Qur’an dan dihadiahkannya –artinya
pahalanya diperuntukkan bagi mayat Muslim– maka pahala itu (sebaiknya)
didahului oleh niat yang segera disertai dengan perbuatan”. Pendapat
beliau ini diperkuat juga oleh Ibnul Qayyim, disetiap negeri dan membaca
Al-Qur’an lalu menghadiahkan kepada orang-orang yang telah meninggal diantara
mereka, dan tak seorangpun yang membantahnya, hingga telah merupakan ijma
(kesepakatan)”.
Berkata Ibnul Qayyim: “Ibadat itu dua macam; mengenai harta (maliyah)
dan mengenai badan (badaniyah). Dengan sampainya pahala sedekah, syara’
mengisyaratkan sampainya pada sekalian ibadat yang menyangkut harta, dan dengan
sampainya pahala puasa, di-isyaratkan pula sampainya sekalian ibadah
badaniyah. Kemudian dinyata kan pula sampainya pahala ibadah haji, suatu
gabungan dari ibadah maliyah dan badaniyah. Maka ketiga macam
bentuk ibadah itu –jelaslah sampainya (hadiah pahala)– baik dengan keterangan
dari nash maupun dengan jalan perbandingan (Qiyas). (keterangan pembacaan
Al-Qur’an kami nukil dari kitab Fiqih Sunnah oleh Sayid Sabiq jilid 4 hal.
217-218 cet. pertama th.1978).
Menurut madzhab Hanafi,
setiap orang yang melakukan ibadah –baik berupa do’a, istiqhfar, shadaqah,
tilawatul Qur’an, dzikir, shalat, puasa, thawaf, haji, ‘umrah maupun
bentuk-bentuk ibadah lainnya yang bersifat ketaatan dan kebaktian– dan berniat menghadiahkan
pahalanya kepada orang lain, baik yang masih hidup atau yang telah wafat,
pahala ibadah yang dilakukannya itu akan sampai kepadamereka dan juga akan
diperolehnya sendiri. Demikianlah sebagaimana disebut dalam Al-Hidayah,
Al-Bahr dan kitab-kitab lainnya. Di dalam kitab Al-Kamal
terdapat penjelasan panjang lebar mengenai itu.
Ditinjau dari dalil Ijma’ (sepakat) ulama dan Qiyas bahwa do’a
dalam sholat jenazah akan bermanfaat bagi mayit, bebasnya hutang mayit yang di
tanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga (HR.Ahmad dari Abi
Qatadah) dan lain sebagainya, semuanya ini bisa bermanfaat bagi mayit. Pahala
itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya
yang muslim, maka hal itu tidak ada halangan sebagaimana tidak dilarang
menghadiahkan harta atau membebaskan hutang untuk orang lain diwaktu hidupnya
dan setelah wafatnya. Begitu juga menghadiahkan pahala kurban untuk
orang yang belum sempat berkurban, padahal kurban adalah melalui menumpahkan
darah.
Begitu juga kita perhatikan arti fardhu kifayah, dimana
sebagian orang bisa mewakili sebagian yang lain. Persoalan menghadiahkan
pahala itu boleh/ mustahab, jadi bukan menggantikan pahala, sebagaimana
seorang buruh tidak boleh digantikan orang lain, tapi gajiannya/upahnya boleh
diberikan kepada orang lain jika ia mau. Islam telah memberikan penjelasan
sampainya pahala ibadah badaniyyah seperti membaca Al-Qur’an dan lainnya
diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa adalah menahan diri dari yang
membatalkan disertai niat, dan itu pahalanya bisa sampai kepada mayit. Jika
demikian bagaimana mungkin tidak sampainya pahala membaca Alqur’an yang berupa
perbuatan dan niat juga?
Hubungan melalui agama merupakan
sebab yang paling besar bagi sampainya manfaat orang Islam kepada saudaranya
dikala hidup dan sesudah wafatnya. Bahkan do’a orang Islam dapat bermanfa’at
untuk orang Islam lain. Al-Qur’an tidak menafikan seseorang mengambil manfaat
dari usaha orang lain. Adapun amal orang lain adalah miliknya, jika orang lain
tersebut menghadiahkan amalnya untuk dia, maka pahalanya akan sampai kepadanya bukan
pahala amalnya. Allah swt. menjelaskan bahwa Dia tidak menyiksa seseorang
karena kesalahan orang lain, dan seseorang tidak mendapatkan kebahagiaan
kecuali dengan usahanya sendiri. Dan dalam firman-Nya itu, Allah swt. tidak
menyatakan bahwa orang tidak dapat mengambil manfaat kecuali dari usahanya
sendiri. Ini tidak lain menunjukkan keadilan Allah swt.
– Ibnu Taimiyyah didalam Fatawa-nya
mengatakan: Adalah benar bahwa orang yang telah wafat beroleh manfaat dari
semua ibadah jasmaniah seperti shalat, puasa, membaca Al-Qur’an dan
lain-lain –yang dilakukan orang yang masih hidup baginya–. Ia (si mayit) pun
beroleh manfaat juga dari ibadah maliyah seperti shadaqah dan
sebagainya. Semua ini sama halnya jika orang yang masih hidup berdo’a dan
beristiqhfar baginya. Mengenai ini para Imam madzhab sepakat.
– Ibnu Taimiyah mengatakan juga:
"Sesungguhnya mayit itu dapat beroleh manfaat dengan bacaan Al-Qur'an
sebagaimana dia beroleh manfaat dengan ibadah-ibadah kebendaan seperti sedekah
dan yang seumpamanya" (Yasaluunaka fid din wal hayat jilid 1/442)
Berkata Syeikh Ali bin
Muhamad bin Abil Iz: “Adapun membaca Al-Qur’an dan menghadiahkan
(pahala)nya kepada orang mati secara sukarela dengan tanpa upah, maka pahalanya
akan sampai kepadanya sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji”. (Syarah
Aqidah Thahawiyah hal.457)
Berkata Dr.Ahmad
Syarbasi : “Sesungguhnya jumhur ulama telah menyebutkan bahwa bacaan Al-Qur’an
Karim dapat memberi manfaat kepada mayit atau sampai pahala bacaan itu
kepadanya. Dan terhadap yang demikian sekelompok ulama yang
lain tidak menyetujui. Dan menurut mereka yang menyukai hal tersebut, akan
menjadi bagus jika si pembaca berdoa sesudah selesai dengan: ‘Ya Allah,
sampaikanlah seumpama pahala ayat yang telah aku baca kepada si fulan atau
fulanah’”. (Yasaluunaka fid din wal hayat jilid 111/413).
Ibnul
Qayyim juga berkata dalam kitabnya Ar-Ruh: “Al-Khallal dalam kitabnya Al-Jami’
sewaktu membahas ‘Bacaan disamping kubur’, berkata: Menceriterakan
kepada kami Abbas bin Muhamad ad-Dauri, menceriterakan kepada kami Yahya bin
Mu’in, menceriterakan kepada kami Mubassyar al-Halabi, menceriterakan kepada
kami Abdurrahman bin Ala’ bin al-Lajlaj dari bapaknya, dia berkata : Berkata
bapakku: ‘Jika aku telah mati, maka letakkanlah aku diliang lahad dan
ucapkanlah Bismillah wa ala sunnati Rasulillah dan ratakanlah tanah atasku dan
baca permulaan al-Baqarah disamping kepalaku karena sesungguhnya aku mendengar
Abdullah bin Umar mengatakan yang demikian. Ibnul Qayyim ini didalam kitab dan
halaman yang sama juga mengutip ucapan Al-Khallal:
“Mengkabarkan
kepadaku Hasan bin Ahmad al-Warraq, menceriterakan kepadaku Ali bin Musa
al-Haddad dan dia adalah seorang yang sangat jujur, dia berkata: ‘Pernah aku
bersama Ahmad bin Hambal dan Muhamad bin Qudomah al-Jauhari menghadiri jenazah,
maka tatkala mayit itu telah dimakamkan, seorang lelaki yang kurus duduk
disamping kubur (sambil membaca Al-Qur’an). Melihat itu berkatalah Imam Ahmad
kepadanya: ‘Hai, sesungguhnya membaca Al-Qur’an disamping kubur itu bid’ah’!
Maka tatkala kami keluar dari kubur berkatalah Muhamad bin Qudomah kepada Ahmad
bin Hambal: ‘Wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapatmu tentang Mubassyar
al-Halabi? Imam Ahmad menjawab: ‘Beliau orang yang tsiqah (terpercaya), apakah
engkau ada meriwayatkan sesuatu darinya? Muhamad bin Qudomah berkata: ‘Ya,
mengkabarkan kepadaku Mubassyar dari Abdurrahman bin Ala’ bin al-Lajlaj dari
bapaknya bahwa dia berwasiat apabila telah dikuburkan agar dibaca akan
disamping kepalanya permulaan surat al-Baqarah dan akhirnya, dan dia berkata:
Aku telah mendengar Ibnu Umar berwasiat dengan yang demikian itu’. Mendengar
riwayat tersebut Imam Ahmad berkata: ‘Kembalilah dan katakan kepada lelaki itu
agar diteruskan bacaan Al-Qur’annya’”.
Ibnul
Qayyim Al-Jauziyyah juga berkata: "Sesuatu yang paling utama dihadiahkan
kepada mayit adalah sedekah, istighfar, berdoa untuknya dan berhaji atas nama
dia. Adapun membaca Al-Qur'an dan menghadiahkan pahalanya kepada si mayit
dengan cara sukarela tanpa imbalan, maka akan sampai kepadanya, sebagaimana
pahala puasa dan haji juga akan sampai kepadanya"(Yasaluunaka fid din wal
hayat jilid 1/442)
Berkata
Syeikh Hasanain Muhamad Makhluf ,mantan mufti Mesir, : “Tokoh-tokoh madzhab
Hanafi berpendapat bahwa tiap-tiap orang yang melakukan ibadah baik sedekah
atau membaca al-Qur’an atau selain yang demikian daripada bermacam-macam
kebaikan, boleh baginya menghadiahkan pahalanya kepada orang lain dan pahalanya
itu akan sampai kepadanya”.
Berkata
Syeikh Ali Ma’shum: “Dalam madzhab Maliki tidak ada khilaf dalam hal sampainya
pahala sedekah kepada mayit. Yang ada khilafnya adalah masalah boleh tidak- nya
membaca Al-Qur’an untuk mayit. Menurut dasar madzhab, hukumnya makruh.
Namun ulama-ulama mutaakhhirin berpendapat boleh dan itulah yang diamalkan.
Dengan demikian, maka pahala bacaan tersebut sampai kepada mayit dan Ibnu
Farhun menukil bahwa pendapat inilah yang rojih (kuat)”. (Hujjatu Ahlis Sunnah
wal-jamaah hal.13).
Berkata
Allamah Muhamad al-Arobi: “Sesungguhnya membaca Al-Qur’an untuk orang-orang
yang sudah meninggal hukumnya boleh dan sampai pahalanya kepada mereka menurut
jumhur fuqaha Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah, walaupun dengan adanya imbalan
berdasarkan pendapat yang tahqiq”. (Majmu’ Tsalatsi rosaail).
Berkata Imam Qurtubi : “Telah ijmak ulama atas sampainya pahala
sedekah untuk orang-orang yang sudah wafat, maka seperti itu pula pendapat
ulama dalam hal bacaan Al-Qur’an, doa dan istiqfar karena masing-masingnya
termasuk sedekah dan dikuatkan hal ini oleh hadits: ‘Setiap kebaikan adalah
sedekah’. Disini tidak dikhususkan sedekah itu dengan harta”. (Tadzkirah
Al-Qurtubi hal.26).
Berkata Imam Sya’bi: “Orang-orang Anshar jika ada diantara mereka
yang wafat, maka mereka berbondong-bondong kekuburnya sambil membaca Al-Qur’an
disamping- nya”. (ucapan Sya’bi ini dikutip oleh Ibnul Qayim dalam kitabnya Ar-Ruh
hal.13).
Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang bacaan Al-Qur’an untuk mayit
dan juga tentang tasbih, tahmid, tahlil dan takbir jika dihadiahkan kepada
mayit, sampaikah pahalanya atau tidak? Beliau menjawab sebagaimana tersebut
dalam kitab beliau Majmu’ Fatawa jilid 24 hal.324: “Sampai kepada
mayit pahala bacaan Al-Qur’an dari keluarganya. Dan tasbih, takbir serta
seluruh dzikir mereka kepada Allah Taala apabila mereka menghadiahkan pahalanya
kepada mayit akan sampai pula kepadanya”.
Dengan adanya kutipan kami yang singkat ini ,dapatlah kita ketahui
bahwa banyak para ulama selain madzhab Syafi’i, yang menyetujui hadiah pahala
bacaan Al-Qur’an. Mari kita ikuti kajian berikut ini.
Hadits tentang wasiat Ibnu Umar ra yang tertulis dalam syarah
Aqidah Thahawiyah hal. 458:
عن إبن عُمر(ر) أوصى أن يُقرأ على قبره
وقت الدفن بفواتح سُورة البقرة وخواتمها
Artinya: “Dari Ibnu Umar ra: “Bahwasanya
beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan
awal-awal surat al-Baqarah dan akhir-
nya.. ".
Hadits ini menjadi pegangan Muhammad
bin Hasan dan Imam Ahmad bin Hanbal padahal Imam Ahmad ini
sebelumnya termasuk orang yang mengingkari sampainya pahala amalan dari orang
yang hidup pada orang yang telah mati. Namun setelah beliau mendengar dari
orang-orang kepercayaan tentang wasiat Ibnu Umar ini beliaupun mencabut
pengingkarannya itu (Mukhtasar Tazkirah Qurtubi hal. 25).
– Ada hadits yang serupa
diatas, dalam Sunan Baihaqi dengan isnad Hasan:“Bahwasanya Ibnu Umar
menyukai agar dibaca diatas pekuburan sesudah pemakaman awal surat Al-Baqarah
dan akhirnya”.
Perbedaan dua hadits terakhir diatas
ialah yang pertama adalah wasiat Ibnu Umar sedangkan yang kedua adalah
pernyataan bahwa beliau menyukai hal tersebut.
Hadits dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulallah saw.bersabda:”Jika
mati seorang dari kamu, maka janganlah kamu menahannya dan segeralah membawanya
kekubur dan bacakanlah Fatihatul Kitab disamping kepalanya”. (HR.
Thabrani dan Baihaqi)
Abu Hurairah ra.meriwayatkan bahwasanya Nabi saw.
bersabda: “Barangsiapa yang berziarah di kuburan, kemudian ia membaca ‘Al-Fatihah’,‘Qul
Huwallahu Ahad’ dan ‘Alhaakumut takatsur’, lalu ia berdo’a Ya Allah,
kuhadiahkan pahala pembacaan firman-Mu pada kaum Mu’minin dan Mu’minat
penghuni kubur ini, maka mereka akan menjadi penolong baginya (pemberi
syafa’at) pada hari kiamat”.
Hadits-hadits diatas atau
hadits-hadits lainnya dijadikan dalil yang kuat oleh para ulama untuk
menfatwakan sampainya pahala pembacaan Al-Qur’an bagi orang yang telah
wafat. Apa mungkin para sahabat Nabi seperti Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah [ra]
mengeluarkan kata-kata yang mengandung ilmu ghaib (yaitu mengenai imbalan
pahala) kalau tidak dari Rasulallah saw.? Mungkinkah para sahabat itu
meriwayatkan sesuatu amalan yang berbau kesyirikan atau larangan
dalam agama Islam? Mereka berdua adalah termasuk salah satu tokoh dari golongan
Salaf Sholeh, mengapa golongan pengingkar ini menolaknya ?
5.6. Keterangan Ustadz
Quraish Shihab
Ustadz Quraish Shihab ,seorang ulama di Indonesia, dalam bukunya Fatwa-fatwa Seputar ibadah dan Muamalah
halaman 27 mengenai ‘berdo’a dan membacakan Al-Qur’an untuk orang mati’
adalah sebagai
berikut:
“Berdo’a untuk kaum Muslimin yang hidup
atau yang sudah wafat adalah anjuran agama. Membaca Al-Qur’an juga
merupakan salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan. Hanya saja, terdapat
perbedaan paham di kalangan para ulama masalah bermanfaat atau tidaknya
bacaan itu bagi orang yang telah wafat. Memang, dalam kitab-kitab hadits,
ditemukan yang menganjurkan pembacaan Al-Qur’an bagi orang yang akan atau telah
wafat. Diantaranya, Abu Dawud meriwayatkan bahwa sahabat Nabi, Ma’qil bin
Yasar, menyatakan bahwa Nabi saw. bersabda: ‘Bacalah surat Yaa Sin untuk
orang-orang yang (akan atau sudah) mati (dari kaum Muslim)’.
Nilai keshohihan hadits diatas ini
dan semacamnya masih ada yang memperselisihkannya. Sekalipun ada golongan yang
mengatakan hadits-hadits tersebut lemah atau tidak ada sama sekali
tidak ada halangan untuk membaca ayat Al-Qur’an bagi orang yang akan wafat atau
telah wafat. Dikalangan para ulama hadits, dikenal kaidah yang menyatakan bahwa
hadits-hadits yang tidak terlalu lemah dapat diamalkan khususnya dalam bidang
fadhail (keutamaan) !
Para Ulama juga menyatakan bahwa
membaca Al-Qur’an pada dasarnya dibenarkan oleh agama
dan mendapat pahala, kapan (kecuali orang yang sedang junub/haid--pen.) dan
dimanapun berada (kecuali di WC--pen.). Diantara perselisihan ulama itu adalah
‘Apakah dapat diterima hadiah pahala bacaan tersebut oleh almarhum atau
tidak! (Jadi bukan masalah pembacaannya! --pen.)
Syekh Muhammad Al-Syarabashi dalam
bukunya Yas’alunaka mengutip pendapat Al-Qarafi dalam kitab Al-Furuq
bahwa kebaikan yang dilakukan seseorang untuk orang lain yang telah meninggal
mencakup tiga kategori:
a). Disepakati tidak
bermanfaat: memberi pahalakeimanan kepada orang yang telah wafat.
b). Disepakati
bermanfaat: seperti shodaqah yang pahalanya diberikan kepada orang
telah wafat.
c) Diperselisihkan
apakah bermanfaat atau tidak: seperti menghajikan, berpuasa dan membaca
Al-Qur’an untuk orang yang telah meninggal.
Sementara madzhab Abu Hanifah, Ahmad
bin Hanbal, berpendapat pahalanya dapat diterima oleh yang telah mati.
Kemudian Imam Al-Qarafi yang bermadzhab Maliki ini menutup
keterangannya bahwa persoalan ini (pahala untuk yang wafat), walaupun
diperselisihkan, tidak wajar untuk ditinggalkan dalam hal pengamalannya.
Sebab, siapa tahu, hal itu benar-benar dapat diterima oleh orang yang telah
wafat, karena yang demikian itu berada diluar jangkauan pengetahuan
kita.
Perbedaan pendapat terjadi bukan
pada hukum boleh tidaknya membaca Al-Qur’an untuk orang yang akan atau
telah wafat, melainkan pada kenyataan sampai tidaknyapahalabacaan itu
kepada si mayit!“ Demikianlah keterangan yang diungkapkan oleh Ustadz Quraish
Shihab dalam bukunya ‘Fatwa-fatwa seputar ibadah dan muamalah’.
Dengan demikian dapat kita simpulkan
bahwa para pakar Islam yang mengakui sampainya hadiah pahala
bacaan, yang ditujukan untuk simayit diantaranya sebagai berikut:
"Imam Ahmad bin Hanbal; ulama-ulama dalam madzhab
Hanafi, Maliki dan madzhab Syafi’i; Muhammad bin Ahmad al-Marwazi dalam kitab
Hujjatu Ahli Sunnah Wal-Jama’ah hal.15 ; Syaikh Ali bin Muhammad bin Abil
Iz (Syarah Aqidah Thahawiyah hal. 457); Dr. Ahmad Syarbasi ( Yasaluunaka
fid din wal-hayat 3/413 ); Ibnu Taimiyyah (Yasaluunaka fid din wal-hayat
jilid 1/442 ) ; Ibnul Qayyim al-Jauziyyah (Yasaluunaka fid din wal-hayat
jilid 1/442) juga Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ar-Ruh mengatakan
bahwa “Al-Khallal dalam kitabnya Al-Jami’ “ sewaktu membahas
‘Bacaan disamping kubur’ ; Al-Allamah Muhammad al-Arobi (Majmu’
Tsholatsi Rosaail ) ; Imam Qurtubi (Tazkirah Al-Qurtubi hal. 26 ) ;
Imam Sya’bi mengatakan: ‘Orang-orang Anshor jika ada diantara mereka yang
wafat, maka mereka berbondong-bondong kekuburnya sambil membaca Al-Qur’an
disampingnya (kuburan nya)’. Ucapan Syekh Sya’bi ini dikutip oleh Ibnul
Qayyim dalam kitabnya Ar-Ruh halaman 13; Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’
Fatawa.
Dan masih banyak lagi para ulama berbeda
madzhab yang membenarkan hadiah pahala bacaan ini. Jadi jelas bagi kita
setelah membaca dan meneliti kutipan pada lembaran sebelum dan berikut ini
banyak hadits Nabi saw. serta anjuran para sahabat dan para pakar
Islam tentang dibolehkannya serta sampainya pahala amalan orang
yang masih hidup ditujukan kepada si mayyit. Disamping itu, semua
madzhab sepakat bahwa pembacaan Al-Qur’an akan mendapat pahala bagi
pembacanya kapan dan dimana pun, yang mana pahala itu selalu diharapkan
oleh setiap muslim.
Kita tidak boleh langsung menuduh semua amalan yang
menurut pendapat sebagian ulama haditsnya terputus, lemah, palsu, atau tidak
ada haditsnya dan sebagainya itu haram untuk diamalkannya. Kita harus
meneliti lebih jauh lagi bagaimana pendapat ulama lainnya dan harus meneliti
apakah amalan tersebut menyalahi atau keluar dari syariat yang telah
digariskan Islam atau tidak?, bila tidak menyalahi syari’at Islam, boleh
diamalkan! Apalagi amalan-amalan yang masih mempunyai dalil maka tidak ada
alasan orang untuk mengharamkan, mensesatkan atau membid’ahkanmunkar
amalan-amalan tersebut karena tidak sependapat dengan mereka, menghukum suatu
amalan sebagai haram, harus mengemukakan dalil yang jelas dan shohih dari Rasulallah saw.
5.7. Fatwa -fatwa ulama madzhab
Syafi’i adalah sebagai berikut :
Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar hal.140: “Dalam
hal sampainya bacaan Al-Qur’an para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang
masyhur dari madzhab Syafi’i dan sekelompok ulama bahwa pahalanya tidak sampai.
Namun Ahmad bin Hambal beserta sekelompok ulama dan juga sekelompok para sahabat
Syafi’i berpendapat bahwa pahalanya sampai. Maka yang lebih baik adalah si
pembaca menghaturkan doa: ‘Ya Allah sampaikanlah pahala ayat yang aku baca
ini kepada si fulan…”.
Dalam kitab Al-Majmu’ jilid 15/522: “Berkata Ibnu Nahwi
dalam syarah Minhaj: ‘Dalam madzhab Syafi’i menurut qaul yang masyhur,
pahala bacaan tidak sampai. Tetapi menurut qaul yang mukhtar sampai apabila
dimohonkan kepada Allah agar disampaikan pahala bacaan tersebut. Dan
seyogyannya memantapkan pendapat ini karena dia adalah doa. Maka jika boleh
berdoa untuk mayit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh si pendoa, maka
kebolehan berdoa dengan sesuatu yang dimiliki oleh si penulis adalah lebih
utama’”.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa dalam madzhab Syafi’i terdapat dua qaul dalam hal pahala bacaan:
1.Qaul yang masyhur; pahala bacaan tidak sampai 2.
Qaul yang mukhtar; pahala bacaan sampai.
Untuk menanggapi qaul yang masyhur tersebut Syeikh Zakaria al-Anshari
pengarang dalam kitab Fathul Wahhab jilid II/19 mengatakan: “Apa yang
dikatakan sebagai qaul yang masyhur dalam madzhab Syafi’i itu dibawa atas satu
pengertian: ‘Jika Al-Qur’an itu tidak dibaca dihadapan mayit dan tidak pula
meniatkan pahala bacaan itu untuknya’”.
Sedangkan syarat-syarat untuk sampainya pahala bacaan, Syeikh Sulaiman
al-Jamal dalam kitabnya Hasiyatul Jamal jilid 4/67 mengatakan: “Berkata
Syeikh Muhamad Ramli: ‘ Sampai pahala bacaan jika terdapat salah satu dari tiga
perkara yaitu: 1. Pembacaan dilakukan disamping kuburnya. 2.
Berdoa untuk mayit sesudah membaca Al-Qur’an yakni memohon agar pahalanya
disampaikan kepadanya.3.Meniatkan sampainya pahalanya bacaan itu
kepadanya’ “.
Hal yang senada diatas diungkapkan juga oleh Syeikh Ahmad bin Qasim al-Ubbadi
dalam Hasiyah Tuhfatul Muhtaj jild 7/74: “Kesimpulannya bahwa jika
seseorang meniatkan pahala bacaan kepada mayit atau dia mendoakan sampainya
pahala bacaan itu kepada mayit sesudah membaca Al-Qur’an atau dia membaca
disamping kuburnya, maka hasillah bagi mayit itu seumpama pahala bacaannya dan
hasil pula pahala bagi orang yang membaca’ ”.
Namun demikian akan menjadi lebih
baik dan lebih terjamin jika: 1. Pembacaan yang dilakukan dihadapan
mayit di-iringi pula dengan meniatkan pahala bacaan itu kepada- nya. 2.
Pembacaan yang dilakukan bukan dihadapan mayit agar disamping meniatkannya
untuk si mayit juga disertai dengan doa penyampaian pahala sesudah selesai
membaca. Langkah seperti ini dijadikan syarat oleh sebagian ulama seperti
tersebut dalam kitab Tuhfah dan Syarah Minhaj (lihat I’anatut Thalibin jilid
3/24).
5.8. Celaan orang yang
tidak setuju dengan hadiah pahala
Golongan pengingkar bacaan pahala
sering kali mengecam dan mencela orang yang mengamalkannya. Yang mereka anggap
senjata ampuh terhadap kelompok madzhab Syafi’i untuk penolakan hadiah pahala
dengan ucapan mereka : “Imam Syafi’i sendiri toh mengatakan bahwa pahala
bacaan Al-Qur’an tidak akan sampai kepada mayit, walaupun didoakan kepada Allah
agar disampaikan….?
Menanggapi pertanyaan seperti ini,
perlu dikemukakan bahwa Imam Syafi’i tidak pernah mengatakan amalan tersebut
sebagai bid’ah atau melarang apalagi mencela orang-orang yang mengamalkannya.
Beliau jelas mengetahui bahwa para tokoh ulama madzhab Hanafi, Maliki dan Imam
Ahmad bin Hambal sendiri berpendapat bahwa pahala bacaan itu sampai kepada
mayit. Kalau imam Syafi’i sampai mengecam apalagi menuduh sebagai amalan
bid’ah, maka sama saja dengan beliau menuduh para imam penganut tiga madzhab
tersebut sebagai ahli bid’ah yang akan masuk neraka. Harus dibedakan antara
‘pendapat madzhab Syafi’i’ dan ‘pendapat Imam Syafi’i’. Tidak semua produk
hukum yang ada dan berlaku dalam madzhab Syafi’i bersesuaian dengan pendapat
Imam Syafi’i sendiri, karena terdapat kemungkinan dan kebolehan untuk mentahqiqkembali
pendapat sang Imam ini.Tidak terdapat juga ucapan imam Syafi’i yang mengatakan,
bahwa pendapat yang sudah beliau kemukakan harus diamalkan dan tidak boleh
diganggu gugat oleh pengikut-pengikut beliau yang sesudahnya. Justru beliau sendiri
mengatakan :“Jika kamu dapatkan didalam kitabku sesuatu yang menyalahi
sunnah Rasulallah saw, maka ambillah sunnah Rasulallah saw itu dan tinggalkan
ucapanku”.
Ucapan beliau ini walaupun merupakan
pertanda ketawadhu’an namun dengan penuh pertimbangan dan semangat
kehati-hatian telah dilaksanakan oleh para ulama pengikut beliau. Jadi tidak
benar kalau dikatakan bahwa para ulama Syafi’iyah mengikuti saja secara membabi
buta ucapan imam Syafi’i, karena kalau itu dilakukan berarti menentang perintah
Imam Syafi'i sendiri.
5.9. Contoh-contoh fatwa imam
Syafi’i yang ditahqiq (dikritisi) kembali
Ada beberapa masalah yang sudah
diputuskan oleh Imam Syafi’i, tetapi dengan pertimbangan-pertimbangan yang
teliti ditahqiq kembali oleh para ulama madzhab Syafi’i belakangan dan hasil
pentahqiqan mereka itulah yang berlaku dan
diamalkan didalam madzhab Syafi’i. Contoh diantara masalah-masalah tersebut
ialah:
– Hukum shalat idul fithri dan idul
Adha ,menurut imam Syafi’i, wajib atas orang-orang yang berkewajiban menghadiri
shalat Jum’at. Beliau mengatakan didalam Al-Mukhtasar: “Barangsiapa
wajib atasnya menghadiri jum’at, maka wajib atasnya menghadiri idul fithri dan
idul adha”.
Pendapat beliau ini oleh para
sahabat Syafi’i dibawa kepada pengertian yang tidak seperti dhohirnya, karena
menimbulkan hukum kewajiban (fardhu a’in) atas sholat dua hari raya tersebut
dan ini menyalahi ijmak kaum muslimin. Oleh karena itulah
beberapa tokoh madzhab Syafi’i seperti Abu Ishaq dan Al-Istakhri memberi
komentar sebagai berikut: a.Menurut Abu Ishaq, ucapan imam Syafi’i itu
adalah: “Barangsiapa dituntut shalat jum’at secara wajib, maka dia dituntut
shalat id secara sunnah”.
b. Menurut Al-Istakhry, maknanya ialah: “Barangsiapa
dituntut shalat jum’at secara fardhu, maka dia dituntut shalat id secara
(fardhu) kifayah”. Dan ternyata yang terpakai dalam madzhab Syafi’i adalah
bahwa hukum sholat dua hari raya itu bukan wajib melainkan sunnah muakkadah.
– Dua qaul dari Imam Syafi’i yakni
qaul jadid dan qaul qadim. Tujuan beliau dengan qaul jadid ialah agar inilah
yang dipakai dan diamalkan sedangkan qaul qadimnya ditnggalkan. Namun oleh para
ulama madzhab Syafi’i dengan pertimbangan yang teliti, mengecualikan 20
masalah. Dalam 20 masalah ini yang dipakai adalah qaul qadim, sedangkan qaul
jadidnya ditinggalkan.
– Masalah hadiah pahala bacaan
Al-Qur’an. Imam Syafi’i ,kalau itu memang benar, mengatakan tidak
sampainya pahala bacaan, namun dengan pertimbangan beberapa dalil para ulama
Syafi’iyah , sebagian nama ulama telah kami kemukakan, pahala bacaan itu akan
sampai dan fatwa inilah yang berlaku dan diamalkan dalam madzhab
Syafi’i.
a. Didalam kitab Bujairimi Minhaj jilid 3/286 :
“Perkataan: ‘Sesungguhnya tidak sampai pahala bacaan’ adalah dhoif, sedangkan
perkataan : ‘Dan sebagian ashab Syafi’i mengatakan sampai’ adalah muktamad
(terpegang)”.
b. Memahami bahwa pernyataan Imam Syafi’i itu
mengandung pengertian jika Al-Qur’an tidak dibaca dihadapan mayit dan tidak
pula meniatkan pahala bacaan itu untuknya.
Pengertian seperti ini tersebut
dalam kitab Fathul Wahhab karangan Syeikh Zakaria al-Anshari jilid
II/19. Walaupun sekiranya imam Syafi’i mengatakan tidak sampai pahalanya,
tetapi beliau tetap mengakui adanya segi positif bacaan Al-Qur’an terhadap
orang mati. Hal ini karena terbukti beliau menyukai diamalkannya hal tersebut.
– Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar
hal.137 menulis: “Berkata imam Syafi’i dan para ashab: ‘Disunnahkan seseorang
membaca sebagian ayat Al-Qur’an untuk orang yang wafat. Para sahabat beliau
berkata: Jika dia menamatkan seluruh Al-Qur’an niscaya akan baik sekali’”.
– Dalam kitab Tuhfah jilid
VII/71, imam Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan: “Imam Syafi’i dan ashab
menashkan bahwa sunnah membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang mudah disamping mayit
dan berdoa sesudahnya, karena doa disitu lebih bisa diharapkan pengabulannya
dan karena mayit akan mendapatkan berkah bacaan Al-Qur’an seperti halnya orang
yang hadir”.
– Dalam kitab Ar-Ruh hal. 13 Ibnul
Qayyim menyebutkan: “Berkata Hasan bin Sholeh Az-Za’farani: ‘Aku pernah
bertanya kepada imam Syafi’i tentang membaca Al-Qur’an disamping kubur. Beliau
menjawab: Tidak mengapa…..’ “.
– Imam Nawawi dalam Syahrul
Muhadzdzib mengatakan: ‘Disunnahkan bagi orang yang berziarah kekuburan membaca
beberapa ayat Al-Qur’an dan berdo’a untuk penghuni kubur’. Imam
Nawawi menyimpulkan bahwa membaca Al-Qur’an bagi arwah orang-orang yang telah
wafat dilakukan juga oleh kaum Salaf (terdahulu). Pada akhirnya Imam Nawawi
mengutip penegasan Taqiyyuddin Abul Abbas Ahmad bin Taimiyah (Ibnu
Taimiyyah)sebagai berikut:
“Barangsiapa berkeyakinan bahwa
seorang hanya dapat memperoleh pahala dari amal perbuatannya sendiri, ia
menyimpang dari ijma’ para ulama dan di lihat dari berbagai sudut
pandang keyakinan demikian itu tidak dapat dibenarkan”.
Demikianlah keterangan fatwa imam
Syafi'i yang ditahqiq oleh para ulama madzhab Syafi'i.
5.10. Amalan orang hidup yang
bermanfaat bagi si mayit
– Mari kita telaah lagi amalan orang hidup yang
bermanfaat bagi si mayit. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu
Abbas ra berkata:
وعن ابن عبّـاسٍ رضي اللهُ
عنهُـما قال: سمعتُ رسُول الله .ص. يقُولُ ما من رجُلٍ مُسلمٍ
يمُوتُ فيقُومُ على جنـازته أربعُون رجُلاً لا يُشركُون بالله شيئًا الاّ
شفّعهُمُ اللهُ به (رواه مسلم)
Saya telah mendengar Rasulallah saw. bersabda: ‘Tiada
seorang muslim wafat, maka berdiri menyembahyangkannya empat puluh (40) orang
yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, melainkan dapat dipastikan
Allah menerima syafa’at dan permintaan ampun mereka itu’. (HR.
Muslim)
– Hadits dari Martsad bin Abdullah Alyazani berkata:
وعن
مرثـد ابن عبدالله اليزنيّ (ر) قال: كان مالكُ بنُ هُبيرة اذا صلّى على
الجنازة فتقالّ النّاس عليها جزّئهُم ثلاثة أجزاءٍ ثًمّ قال: قال رسُول الله
ص من صلّى عليه ثلاثةُ صُفُوفٍ فقد أوجب (رواه ابو داود و الترميذي)
"Adalah
Malik bin Hubairoh jika menyembahyangkan jenazah dan melihat orang-orangnya
hanya sedikit, maka dibagi mereka tiga (3) baris, kemudian ia berkata:
Rasulallah saw. bersabda: ‘Siapa yang disembahyangkan oleh
tiga barisan, maka telah dapat dipastikan’ ”. (HR. Abu Dawud,
At-Tirmidzi)
Maksud kata-kata dapat dipastikan dalam hadits itu
ialah pasti diampunkan mayitnya dan Allah akan menerima syafa’at dan permohonan
mereka.
– Hadits dari Abu Hurairah berkata: “Ada seorang
tukang sapu masjid, pada beberapa hari tidak terlihat oleh Rasulallah saw.
sehingga beliau bertanya tentang orang itu. Dijawab; Ia telah wafat. Nabi
bersabda: Mengapakah kamu tidak memberitahu padaku? Tunjukkan padaku
kuburannya. Maka orang-orang menunjukkan kepada Nabi saw. kuburan tukang sapu
itu, dan disitu Nabi sholat mayat (jenazah). Kemudian setelah sholat bersabda:
Sesungguhnya kubur-kubur ini tadi penuh kegelapan, dan Allah telah menerangi
padanya dengan sholatku pada mereka”. (HR.Bukhori, Muslim).
Hadits-hadits diatas ini menunjukkan juga bahwa seorang
yang telah wafat masih dapat tertolong oleh bantuan amalan orang yang
masih hidup, dan yang demikian ini terserah pada Allah, karena rahmat Allah
dan kurnia-Nya tidak terbatas. Juga hadits terakhir diatas menunjukkan
dibolehkannya orang yang ketinggalan sholat jenazah untuk bersholat
didepan kuburannya. Ini berlaku untuk semua muslimin karena dihadits itu tidak
disebutkan sholat jenazah ditempat kuburan tersebut hanya khusus berlaku
untuk Nabi saw. Beliau saw. adalah contoh bagi ummatnya, bila itu
dilarang atau khusus untuk beliau saja, maka beliau saw. pasti akan
memberitahunya!
Semuanya ini menunjukkan bahwa do’a itu manfaatnya
sangat banyak baik untuk orang yang masih hidup maupun yang sudah
wafat. Allah swt. sendiri telah menjanjikan [siapa yang berdo’a kepada-Nya
pasti akan dikabulkannya (“Dan Tuhanmu berfirman; ‘Berdo’alah kepada-Ku,
niscaya akan Kukabulkan bagimu’ ”. [Al- Mu’min :60]
dan Firman-Nya: “Dan seandainya hamba-hambaKu bertanya padamu (Muhammad)
mengenai Aku, maka sesungguhnya Aku ini Maha dekat. Aku akan mengabulkan
permohonan dari orang yang berdo’a, jika ia berdo’a pada-Ku”. [Al-Baqoroh
: 186] ).
Dia juga berfirman bahwa ada manusia yang berdo’a
baik untuk dirinya maupun untuk lainnya sebagaimana firman-Nya: “Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka
berdo’a; Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami
yang telah beriman lebih dahulu dari kami ”. (Al-Hasyr:10).
– Ibnu Hajr dalam kitabnya Khatimatul Fatwa
mengatakan bahwa manfaat terbesar yang dapat diperoleh dengan do’a ialah
orang yang berdo’a tidak akan dikecewakan sama sekali. Bila takdirnya
bergantung pada do’a, maka ia akan melihat manfaat do’anya, namun bila
takdirnya itu tidak bergantung pada do’a maka manfaat do’a adalah ganjaran
pahala, karena do’a termasuk ibadah.
– Hadits dari Salman Farisi bahwa Rasulallah saw.
bersabda; "Tidak dapat menolak gadha/takdir (Allah swt.) kecuali
do’a’, dan tidak bisa menambah umur kecuali kebaikan !" (HR.At-Tirmidzi).
– Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Bazzar
dan Thabrani juga oleh Hakim yang menyatakan isnadnya sah
dari Aisyah ra. bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Tidak mempan (tidak bisa
menolak) sikap berhati-hati terhadap takdir, sedang do’a itu akan
memberi manfaat, baik terhadap hal-hal yang telah terjadi maupun yang belum
terjadi. Dan sungguh, malapetaka itu turun, lalu disambut oleh do’a, maka
bergulatlah keduanya sampai hari kiamat". Maksud hadits itu ialah Allah
swt. bisa merubah takdir mala-petaka yang akan dikenakan pada
hamba-Nya dikarenakan do'a hamba itu kepada-Nya.
Masih banyak lagi ayat Ilahi dan hadits Rasulallah
saw. mengenai do’a ini, yang tidak kami kemukakan satu persatu
disini. Kita dibolehkan berdo’a apa saja kepada Allah swt. yang penting
dalam kebaikan, tetapi bacaan atau kalimat do’a yang terbaik ialah yang
diajarkan oleh Rasulallah saw. termasuk disini ialah bacaan/kalimat do’a pada
waktu sholat jenazah atau waktu ziarah kubur. Sudah tentu dalam sholat jenazah
atau ziarah kubur kita dibolehkan membaca do’a selain yang diajarkan oleh
Rasulallah saw. yang terpenting semua ini terfokus (tertuju) untuk mohon
pengampunan bagi si mayat. (info: berdo’a pada waktu sholat banyak ahli fiqih
mengatakan harus berbahasa Arab, bila tidak, bisa membatalkan sholatnya).
Ini semua sunnah Rasulallah saw. serta menunjukkan bahwa
si mayit itu masih bisa menerima syafa’at dari amalan orang lain yang masih
hidup. Dengan demikian isi dan inti do’a dalam sholat jenazah dan ziarah
kubur ialah mohon ampunan untuk si mayit, ampunan ini adalah salah
satu syafa’at dan manfaat yang besar serta selalu diharapkan oleh
setiap muslimin. Begitu juga halnya dalam majlis tahlil/yasinan
(baca keterangan selanjutnya) tujuan utama setelah membaca ayat-ayat Al-Qur’an,
tasbih, tahmid, sholawat pada Nabi saw. dan sebagainya adalah berdo’a
pada Allah swt. khusus untuk si mayyit dan untuk semua muslimin. Rasulallah saw. menganjurkan
kita untuk ziarah kubur dan mengajarkan kalimat-kalimat salam dan do’a
untuk ahli kubur tersebut. Disini tidak ada bedanya orang yang baru
wafat atau sudah lama wafat semuanya adalah mayit.
Ingat sekali lagi, jangan melihat cara atau bagaimana
orang melakukan suatu amalan, tapi lihatlah apakah amalan tersebut melanggar
yang telah digariskan oleh syari’at Islam atau tidak.
5.10. Pahalanya Membaca Al-Qur’an
Setelah keterangan singkat tadi mengenai hadiah
pahala bacaan untuk si mayyit, marilah kita meneliti dalil-dalil dan
wejangan para pakar islam mengenai pahala orang yang membaca ayat
Al-Qur’an, juga anjuran-anjuran untuk membaca surat Yaasin, surat Al-Ikhlas dan
lainnya pada orang-orang yang akan atau sudah wafat. Dengan
demikian buat pembaca lebih jelas lagi bahwa bacaan yang dibaca
(didalam majlis-majlis dzikir termasuk tahlil/yasinan dan lainnya) pasti
akan mendapatkan pahala dari Allah swt., jadi bukan sebaliknya akan mendapat
dosa dan sebagainya sebagaimana yang dikatakan oleh golongan pengingkar .
– Ibn Mas’ud ra berkata: Rasulallah saw. bersabda:
عن
ابن مسعُود(ر) قال: قال رسُولُ الله.ص. من
قرأ حرفاً من كتاب الله فلهُ حسن, والحسنة بعشر أمثالها, لآ أقولُ الم حرفٌ,
بل ألف حرفٌ, ولام حرفٌ وميم حرفٌ. (رواه الترميذي)
Artinya: “Siapa yang membaca satu
huruf dari kitab Allah, maka mendapat hasanat/ kebaikan dan tiap hasanat
mempunyai pahala berlipat sepuluh kali. Saya tidak berkata: Alif lam mim itu
satu huruf, tetapi Alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf”.(HR. Attirmidzy).
Lihat Hadits ini siapa yang membaca al-Qur’an akan
dilipatkan pahala setiap hurufnya menjadi sepuluh kali. Pahala apa yang akan
diberikan Allah swt. setiap hurufnya itu tidak ada keterangan yang jelas. Untuk
lebih mudahnya kita ambil misal saja, bila pahala yang diberikan Allah
swt. untuk satu huruf tersebut misalnya sudah kita ketahui yaitu berupa satu
pohon di surga dan Dia akan melipatkan 10x pahalanya berarti kita akan
memperoleh 10 pohon untuk setiap hurufnya, jadi kita bisa hitung sendiri berapa
pohon yang akan kita peroleh hanya dengan bacaan surat Fatihah saja? Ingat
Rahmat dan Kurnia Allah swt. tidak ada batasnya. Jangan kita sendiri yang
membatasinya !
– Dalil-dalil lainnya tentang
pembacaan Al-Qur’an yang bermanfaat bagi orang yang akan atau
sudah wafat berikut ini:
Iqrauu yaasin ‘alaa mautaakum
Artinya: ‘Bacalah Yaa Siin
bagi orang-orang yang (akan atau telah) meninggal diantara kalian (muslimin)’.
Riwayat serupa oleh Abu Hurairah ra juga telah
dicatat oleh Abu Ya’la dalam Musnad beliau dan Hafidz ibn Katsir telah
mengklasifikasikan rantai periwayatnya (sanadnya) sebagai Hasan/baik (lihat
Tafsiir Ibn Katsiir Juz 3 hal. 570).
– Al-Baihaqi dalam Sya’bul Iman menjelaskan
sebuah hadits riwayat Mi’qal bin Yasar bahwa Rasulallah saw. bersabda :
من قرأ يس إبتغاء وجه الله غُفر لهُ ما تقدّم من ذنبه ,
فاقرؤُاهاعند موتاكُم.
Artinya:
“Barangsiapa membaca Yaa Sin semata-semata demi keridhaan Allah, ia memperoleh
ampunan atas dosa-dosanya yang telah lalu. Karena itu hendaklah kalian
membacakan Yaa Sin bagi orang yang (akan atau telah) wafat diantara
kalian (muslimin)”. (Hadits ini disebutkan juga dalam Al-Jami’us
Shaghier dan Misykatul Mashabih).
– Ma'aqal ibn Yassaar ra
meriwayatkan bahwa Rasulallah saw. bersabda;
"Yasin adalah kalbu
(hati) dari Al-Quran. Tak seorang pun yang membacanya dengan niat menginginkan
Akhirat melainkan Allah akan mengampuninya. Bacalah atas orang-orang yang (akan
dan telah) wafat diantaramu." (Sunan Abu Dawud). Imam Hakim
mengklasifikasikan hadits ini sebagai Shohih/ Autentik, lihat Mustadrak
al-Haakim juz 1, halaman 565; lihat juga at-Targhiib juz 2 halaman
376. Hadits yang serupa juga diriwayatkan oleh Hafidz As–Salafi
(Mukhtasar Al-Qurtubi hal. 26).
– Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam Musnad-nya
dengan sanad dari Safwaan bahwa ia berkata: “Para ulama biasa berkata
bahwa jika Yaasin dibaca oleh orang-orang yang akan wafat, Allah akan
memudahkan maut itu baginya.”(Lihat tafsir Ibnu Katsir jild 3 halaman 571).
– Dari Jund bin Abdullah ra. meriwayatkan bahwa Nabi saw
bersabda: “Barang siapa membaca Surat Yaasin pada malam hari dengan niat
mencari ridha Allah dosa-dosanya akan diampuni” (Imam Malik bin Anas, dalam
kitabnya Al Muwattha’). Ibnu Hibban menshohihkannya (lihat shohih
Ibn Hibban jilid 6 halaman 312, juga lihat At Targhiib jilid 2 hal. 377).
Hadits ini menyebutkan pahala tertentu bacaan surat
Yaasin, Allah swt. akan mengampuni dosa-dosa si pembacanya. Manfaat pengampunan
ini yang selalu diharapkan oleh setiap Muslimin !!
– Riwayat serupa dari Abu Hurairah ra juga dicatat oleh
Abu Ya’la dalam Musnad-nya dan Ibnu Katsir telah
mengklasifikasikan rantai perawinya sebagai Hasan/baik. (Lihat tafsir
Ibnu Katsir jilid 3 hal.570).
– Syaikh Muhammad Al-‘Arabi At-Tibani, seorang ulama
Masjidil Haram dalam risalahnya yang berjudul Is’aful Muslimin wal Muslimat
bi Jawazil Qira’ah wa Wushulu Tsawabiha Lil Amwat mengatakan membaca
Al-Qur’an itu dapat sampai kepada arwah orang yang telah meninggal.
– Ma'aqal ibn Yassaar ra meriwayatkan bahwa
Rasulallah saw. bersabda;
من مرّ على المقبر وقرأ قُل هُوا الله احدٌ إحد عشرة
مرّةٌ, ثُمّ وهـب أجرُها للأموات , أعطي من الأجر بعدد الأموات
"Barangsiapa lewat melalui kuburan, kemudian ia membaca
‘Qul Huwallahu Ahad’ sebelas kali dengan niat menghadiahkan pahalanya pada para
penghuni kubur, ia sendiri akan memperoleh pahala sebanyak orang yang mati
disitu (atau
mendapat pahala yang diperoleh semua penghuni kubur)”.
Berdasarkan riwayat surat Yaasin yang cukup banyak maka
ulama-ulama pakar atau orang-orang lainnya yang memegang hadits-hadits ini,
meng- amalkannya baik secara individu atau berkelompok sebagai amalan
tambahan.
Mari kita rujuk lagi hadits-hadits mengenai
pahala-pahala dan keistemewaan tertentu surat Al-Qur’an selain surat Yaasin.
Walaupun kita setiap hari membaca berulang-ulang hanya satu surat saja dari
Al-Qur’an tersebut akan tetap dapat pahala bagi yang membacanya karena termasuk
ayat Al-Qur’an dan tidak ada satu hadits atau ayat ilahi yang melarang
orang membaca hanya satu ayat dari Al-Qur’an. Dan tidak ada satu orang pun dari
kaum muslimin yang mengamalkan ini berkeyakinan atau mengatakan bahwa
Al-Qur’an itu hanya terdiri dari satu ayat yang dibaca itu saja serta mengharuskan/mewajibkan
orang membaca hanya ayat itu saja. Itu hanya angan-angan dan dongengan golongan
pengingkar !
Golongan pengingkar ada yang mengatakan bahwa Ibnul
Qayyim berkata: "Barangsiapa membaca surat ini akan diberikan pahala
begini dan begitu semua hadits tentang itu adalah Palsu !
Beliau dengan alasan bahwa orang-orang yang memalsukan hadits-hadits itu telah
mengakuinya sendiri bahwa tujuan mereka membuat hadits palsu tersebut adalah
agar manusia sibuk dengan membaca surat-surat tertentu dari Al-Qur’an serta menjauhkan
mereka membaca isi Al-Quran yang lain "!!
Umpama saja Ibnul Qayyim benar berkata demikian, ini juga
bukan suatu dalil/hujjah untuk melarang membaca ayat-ayat tertentu
dari ayat Al-Qur’an, karena tidak sedikit hadits yang menyebutkan
keistemewaan tertentu dan pahala tertentu pada ayat-ayat Al-Quran, dengan
demikian pendapat Ibnul-Qayyim terbantah dengan hadits-hadits tentang
bacaan surat Yasin diatas dan surat-surat lain berikut ini:
– Hadits dari Abu Sa’id ra bahwa Nabi saw bersabda: “Apakah
kalian sanggup membaca sepertiga (1/3) Qur’an dalam satu malam?’ Rupanya hal
itu memang terasa berat bagi mereka, maka jawab mereka: ‘Siapa pula yang akan
sanggup melakukan itu diantara kami, ya Rasulallah!’. Maka sabda Nabi saw
’Allaahul wahidus shamad ’ maksudnya surat Al Ikhlas adalah sepertiga
dari Al- Qur’an”. (HR.Bukhori, Muslim dan An-Nasa’i). Ada
riwayat yang serupa dari Abu Hurairah ra yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim.
Lihat hadits diatas ini termasuk juga sebagai pahala
tertentu, siapa baca sekali surat Al-Ikhlas sudah memadai seperti baca
sepertiga ayat dari Al- Qur’an. Disini tidak berarti orang mempunyai
firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Ikhlas saja dan kita
hanya diharuskan membaca surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lain-
nya, seperti isu-isu belaka golongan pengingkar ini !
– Hadits dari Abu Sa’id Al Khudri ra bahwa Nabi saw
bersabda: 'Adanya Rasulallah saw. berlindung dari gangguan jin dan mata
manusia dengan beberapa do’a, tetapi setelah diturunkan kepadanya Almu’awwidatain
( Surat Al-Falaq dan An-Naas), beliau saw. membaca keduanya itu dan
meninggalkan segala do’a-do’a lainnya'. (HR At Tirmidzi).
Hadits diatas ini menunjukkan dua surat (Al-Falaq dan
An-Naas) mempunyai keistemewaan tertentu juga, bisa menghalangi dan menolak gangguan
jin dan mata manusia. Juga mendapat pahala yang membacanya. Disini tidak
berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Falaq
dan An-Naas saja dan kita hanya diharuskan membaca dua surat tersebut serta
menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya !
– Hadits dari Abu Mas’ud Al Badry ra berkata, bersabda Nabi
saw:: “Siapa yang membaca dua ayat dari akhir surat Al-Baqoroh pada waktu malam
telah “. (HR.Bukhori dan Muslim).
Kata-kata telah mencukupinya dalam hadits itu berarti ia
telah terjamin keselamatannya dari gangguan syaithon pada malam itu. Ini juga
termasuk keistemewaan tertentu dari dua ayat terakhir dari surat Al Baqoroh
(yaitu dimulai dari Aamanar Rosuulu bimaa unzila ilaihi ayat
285...sampai akhir ayat al Baqoroh). Disini tidak berarti orang mempunyai
firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Baqarah dan kita
hanya diharuskan membaca surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya!
– Hadits dari Abu Hurairah ra, Rasulallah saw bersabda:
‘Didalam Qur’an ada surat berisi tiga puluh ayat dapat membela seseorang hingga
diampunkan baginya yaitu Tabarokalladzi Biyadihil Mulku (surat
Al-Mulk)’. (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi).
Hadits ini menunjukkan keistemewaan dan pahala tertentu
juga bahwa siapa yang membacanya akan dapat membelanya dan mengampunkan
dosanya! Pahala pengampunan ini sangat diharapkan oleh semua kaum muslimin.
Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari
surat Al-Mulk saja dan kita hanya diharuskan membaca surat tersebut
serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya !
– Hadits dari Abu Hurairah ra Nabi saw bersabda: ‘Jangan
kamu menjadikan rumahmu bagaikan kubur (hanya untuk tidur belaka), sesungguhnya
setan lari dari rumah yang dibacakan padanya surat Al-Baqarah’. (HR.Muslim).
Hadits ini juga mempunyai keistemewaan tertentu Al-Baqarah
bisa mengusir setan dari rumah kita. Disini tidak berarti orang mempunyai
firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Baqoroh saja dan kita hanya
diharuskan membaca surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya !
– Hadits dari Abu Darda ra, Sabda Rasulallah saw.: ‘Siapa
yang hafal sepuluh ayat dari permulaan surat Al-Kahfi, akan terpelihara
dari godaan fitnah Dajjal’.(HR.Muslim). Dalam lain riwayat: ‘Sepuluh
ayat dari akhir surat Al- Kahfi’.
Hadits ini menunjukkan keistemewaan tertentu yaitu siapa
yang dapat menghafal dan membacanya dari ayat tersebut, terhindar dari fitnahan
Dajjal. Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya
terdiri dari sepuluh ayat dari surat Al-Kahfi saja dan kita hanya
diharuskan membaca surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an
lainnya!
Dan masih banyak lagi mengenai keistemewaan dan pahala
tertentu mengenai Ayat Kursi, ayat Al-Fatihah (Ummul Kitab/ibunya
Qur’an), mengenai keutamaan mengucapkan Laa ilaaha illallah, membaca Tasbih,
Takbir dan Sholawat atas Nabi saw. dan sebagainya yang tidak dikemukakan
satu persatu disini. Juga pahala-pahala tertentu amalan-amalan puasa, sholat
dan sebagainya.
Apakah semua hadits-hadits keistemewaan dan pahala
tertentu tersebut diatas yang diriwayatkan oleh perawi-perawi terkenal adalah
hadits palsu ?Apakah dengan adanya hadits-hadits tersebut, orang
mempunyai firasathanya harus membaca ayat-ayat tertentu itu dan meniadakan
ayat Al-Qur’an lainnya ? Sudah Tentu
Tidak !
Pandangan yang demikian itu menunjukkan kedangkalan ilmu
serta kefanatikan golongan pengingkar ini terhadap pahamnya sendiri sehingga
semua hadits yang tidak sefaham dengan mereka dianggap tidak ada, palsu,
lemah dan lain sebagainya ! Saya berlindung pada Allah swt.. dalam hal ini.
5.12. Kehidupan ruh-ruh manusia
yang telah wafat
Mari kita rujuk ayat-ayat ilahi dan
hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai ruh-ruh orang yang telah wafat.
Firman Allah swt.: “Janganlah
kalian berkata; bahwa orang-orang yang gugur dijalan Allah itu mati, bahkan
mereka hidup (dialam lain), tetapi kalian tidak menyadari nya”. (Al-Baqarah
: 154)
Dan firman-Nya: “Janganlah kalian
mengira bahwa orang-orang yang gugur dijalan Allah itu mati. Bahkan mereka itu
hidup disisi Tuhannya dan mereka memperoleh rizki (kenikmatan
besar)” ( Ali Imran : 169)
Firman-Nya juga: “Mereka bertanya
kepadamu (hai Muhammad) tentang ruh. Jawablah: ‘Itu termasuk urusan
Tuhanku’, dan tidaklah kamu diberi ilmu (pengetahuan) melainkan sedikit” (Al
Israa : 85)
Dua firman Allah diatas disamping menyebutkan
orang-orang yang gugur di jalan Allah itu tidak mati tetap hidup (ruhnya) mendapat
kenikmatan, juga dalam ayat-ayat itu tidak menyebutkan pembatasan yakni hanyaruh-ruh
orang-orang yang gugur dalam peperangan saja yang masih
hidup. Dengan demikian baik wafatnya itu waktu dalam peperangan sabil
maupun wafat diatas tempat tidur, ruh-ruh (jadi bukan jasadnya) ini semuanya
masih hidup di alam barzakh, makna yang demikian ini sejalan dengan
hadits-hadits Rasulallah saw. tentang ruh manusia yang telah wafat (baca
keterangan selanjutnya).
Ada pula riwayat waktu sahabat
selesai dari perang besar, mereka gembira tetapi Rasulallah saw. bersabda: Kita
sekarang selesai perang yang kecil dan menghadapi perang yang lebih besar.
Sahabat bertanya; Perang apakah itu Ya Rasulallah, beliau saw. menjawab ;
Memerangi hawa nafsu !
Firman Allah swt.:
“Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami
mendatangkan seseorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami
mendatang kan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai
umatmu).” (QS 4:41)
Firman-Nya juga; “Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat
pertengahan (yang adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
(perbuatan) kamu“ (QS 2:143)
Para Muthawwi’ sekitar makam Rasulallah saw. di Madinah
selalu berteriak-teriak kepada para penziarah dengan ucapan, ‘Wahai haji,
Rasul telah mati, berikan salam dan segera pergilah’ dan jika ada yang
sedikit berlama-lama dalam berziarah lantas diteriaki, ‘Wahai haji, itu
perbuatan syirik…!!’.
Bagi si pembaca bisa menyaksikan sendiri bila nantinya
berziarah ke makam Rasulallah saw.. Apa maksud kata-kata itu?.Apakah mereka ini
tidak memahami ayat-ayat ilahi diatas? Kalau golongan Wahabi mengatakan Rasulallah
sudah wafat, bagaimana beliau saw. akan menjadi saksi bagi ummatnya setelah
wafatnya beliau saw.? Tidak mungkin pula Nabi saw. dipanggil sebagai seorang
saksi atas apa yang tidak beliau ketahui atau tidak beliau lihat!!
Sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya jilid III
halaman 3 dari Abu ‘Amir, Abu ‘Amir menerimanya dari ‘Abdulmalik bin
Hasan Al-Haritsiy, ‘Abdulmalik menerimanya dari Sa’id bin ‘Amr bin Sulaim, yang
menuturkan sebagai berikut: "Saya mendengar dari seorang diantara kita,
namanya aku lupa, tetapi (menurut ingatanku) ia bernama Mu’awiyah atau Ibnu
Mu’awiyah. Ia menyampaikan hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri ra. yang mengatakan,
bahwasanya Rasulallah saw. pernah menyatakan; ‘Seorang mayyit mengetahui
siapa yang mengangkatnya, siapa yang memandikannya dan siapa yang menurunkannya
ke liang kubur’. Ketika dalam suatu majlis Ibnu ‘Umar mendengar
hadits tersebut ia bertanya; ‘Dari siapa anda mendengar hadits itu’? Orang yang
ditanya menjawab; ‘Dari Abu Sa’id Al-Khudri’. Ibnu ‘Umar pergi untuk menemui
Abu Sa’id, kepadanya ia bertanya; ‘Hai Abu Sa’id, dari siapakah anda mendengar
hadits itu ?’ Abu Sa’id menjawab; ‘Dari Rasulallah saw.’"
Ibnul Qayyim
didalam kitabnya Ar-Ruh menyatakan, bahwa ruh Abubakar Ash-Shiddiq
ra. tampak (setelah ia wafat) didalam suatu peperangan bertempur
bersama-sama pasukan muslimin melawan kaum musyrikin.
Ibnul-Wadhih pun dalam Tarikh-nya
mengemukakan kesaksian seorang yang melihat Rasulallah saw. (beliau saw. telah
lama wafat) membawa sebuah tombak pendek ikut berperang melawan musuh-musuh
Ahlul-Bait beliau di Karbala, medan perang tempat Al-Husain ra. gugur
sebagai pahlawan syahid.
Dalam hadits-hadits Nabi saw.
menerangkan bahwa ruh-ruh orang yang wafat itu hidup dialam barzakh, bisa
mendengar terompah-terompah kaki orang yang mengantarkan kekuburnya (HR
Bukhori, Muslim dan lain-lain), bisa mendo’akan kerabatnya dan sebagainya (HR
Ahmad dan Turmudzi dari Anas). Begitu juga
Imam Bukhori dan Muslim mengemukakan kisah perjalanan Isra-Mi’raj Nabi saw..
Setiap beliau saw. bertemu para
Nabi dan Rasul terdahulu, semua mendo’akan kebajikan bagi beliau saw..
Dengan demikian disini menunjukkan bahwa arwah orang yang telah wafat di
alam baqa bisa berdo’a.
Rasulallah saw.
juga bersabda bahwa arwah kaum mu’minin bisa terbang kemana saja yang mereka
kehendaki (dari Salman Al-Farisy yang ditulis oleh Ibnul Qayyim ‘Mengenai
soal ruh’ halaman 144, serta ada sabda Rasulallah saw. yang serupa juga
diriwayatkan oleh Imam Malik ra). Begitu juga mengenai adzab/siksa didalam kubur dan lain sebagainya.
Didalam buku fiqih Sunnah Sayid
Sabiq ,Indonesia, jilid 4 dari hal.221 bab pertanyaan didalam kubur, antara
lain ditulis:
“Berkata Ibnul Qayim:’Menurut madzhab golongan Salaf
serta para imam mereka, jika seseorang wafat, maka adakalanya ia akan
berbahagia dan adakalanya pula celaka, hal mana akan dirasakan oleh ruh dan
badannya. Ruhnya itu akan tetap ada setelah ia berpisah dari badan,
mengalami kebahagiaan atau kesengsaraan, dan sewaktu-waktu ia akan kembali
berhubungan dengan badannya, buat menikmati kebahagiaan atau menderitakan
kesengsaraan itu bersama-sama. Kemudian
bila datang saatnya kiamat besar, ruh-ruh itu pun kembali kepada tubuh
masing-masing, dan bangkit lah mereka dari kubur untuk menghadap Allah Rabbul
‘Alamin. Dan mengenai kembalinya badan-badan ini, disepakati bersama baik oleh
golongan Muslimin, Yahudi maupun Nasrani’ “.
Dalam halaman 223 dibuku fiqih
sunnah tersebut juga ditulis, bahwa Hafidz berkata dalam Al-Fath:
“Ahmad bin Hazmin dan Ibnu Hurairah berpendapat bahwa
pertanyaan (kubur) itu hanya diajukan kepada ruh saja, tanpa kembalinya kepada
tubuh. Pendapat ini
berbeda dengan pendapat jumhur yang mengatakan, Ruh itu dikembalikan kepada
tubuh atau kepada sebagian daripadanya sebagaimana diterangkan oleh hadits.
Seandainya hanya kepada ruh saja, maka badan tidak mempunyai keistemewaan
apa-apa. Dan tidak ada halangannya jika tubuh mayat telah terpisah-pisah,
karena Allah mampu mengembalikan kehidupan kepada satu bagian dari tubuh tsb.,
yang akan menjadi sasaran pertanyaan, disamping Dia mampu pula menghimpun
bagian-bagian tubuh yang telah berserakan”.
Yang menjadi alasan bagi orang yang mengatakan bahwa
pertanyaan kubur itu hanya ditujukan kepada ruh saja, ialah karena menurut
pengamatan, tidak ada tanda-tanda dan bekas tampak pada tubuh itu sewaktu
ditanya, seperti bangkit duduk, digencet atau dilapangkan tempat dan lain-lain.
Dan demikian pula halnya dengan
mayat yang tidak ditanam seperti yang disalib dan lain-lain. Sebagai
jawabannya, jumhur mengatakan bahwa itu tidak menjadi halangan dalam kodrat
Ilahi, bahkan ada bandingannya dalam kehidupan sehari-hari. Yaitu orang yang
tidur, kadang-kadang ia merasakan kesenangan atau kesakitan, sedang teman yang
didekatnya tidak mengetahuinya. Bahkan juga orang yang tidak tidur (sedang
bangun), kadang-kadang ia merasakan kesenangan atau kesakitan, sedang teman yang
didekatnya tidak mengetahuinya. Atau dia sedang merasa susah atau
senangdisebabkan apa yang sedang didengar atau dipikirkannya, padahal kawan
duduknya tidak menyadarinya.
Pokok pangkal kesalahan terletak dalam menyamaratakan
yang ghaib dengan yang nyata, suasana dialam barzakh dengan dialam
dunia.Rupanya Allah swt telah menurunkan hijab/tirai dan menutupi pandangan dan
pendengaran hamba dari menyaksikan peristiwa-peristiwa itu, agar mereka tidak
takut dan tidak melarikan diri. Apalagi alat-alat indera duniawi tidak mempunyai kemampuan buat menembus
soal-soal dialam malakut, kecualibagi orang-orang yang di-izinkan Allah swt.
Demikianlah antara lain yang dikutip
oleh Sayid Sabiq dalam Fiqih Sunnahnya. Kami sengaja sering mengutip dari
bukunya Sayid Sabiq karena sebagian besar pendapat- nya sepaham dengan golongan
Wahabi/Salafi.
Agama Islam mewajibkan mempercayai
adanya alam ruh walaupun semuanya ini belum terjangkau dengan akal
manusia. Semuanya ini telah dijelaskan baik dalam ayat ilahi maupun sunnah Rasulallah
saw.. Hadits-hadits diatas ini (bisa melihat siapa yang memandikannya, yang
mengantarkan keliang kubur, bisa terbang kealam mana saja yang dia dikehendaki
dan lain sebagainya) juga menunjukkan dan memperkuat kenyataan adanya kehidupan
dialam ghaib (barzakh).
Marilah
kita ikuti kajian berikutnya.
–Hadits dari Anas bin Malik sebagai
berikut :
عن أنسٍ بن مالكٍ (ر) أنّ رسُول الله .ص. ترك قتـلى بد
ٍر ثلاثًا ثُمّ أتاهُـم فقام عليهم فناداهُم فقال: يا أبا جهلٍ ابن
هشـامٍ يا أميّةُ ابن خلفٍ يا عُتبةُ ابن ربيعة يا شيبة ابن ربيـعة اليس قد
وجدتُم ما وعد ربُّكُم حقـًّا فانّي قد وجدتُ ما وعدني ربّي
حقـًّا.فسمع عُمرُ قول النّبي فقال: يا رسُول الله كيف يسمعُوا وأنّي يُجيبُوا و قد جيّفُوا. قال: والّـذي نفسي بيده ما
أنـتُم بأسمع لما أقُولُ منهُم ولـكنهُم لا يقـدرُون ان يجيبُوا (رواه
البخاري ومسلم)
Artinya: “Bahwa Rasulallah saw.
membiarkan mayyit orang kafir yang terbunuh dalam peperangan Badar selama tiga
hari. Kemudian beliau saw mendatangi mereka lalu berdiri sambil menyeru mereka:
‘ Hai Abu Jahal bin Hisyam, Hai Umayyah bin Khalaf, Hai Utbah bin
Rabi’ah, Hai Syaibah bin Rabi’ah! Bukankah kamu telah mendapatkan janji Tuhanku
sebagai sesuatu yang benar (yakni kalah dan terbunuh). Sesungguhnya aku
telah mendapatkan janji Tuhanku sebagai sesuatu yang benar (yakni
memperoleh kemenangan)’ Umar bin Khattab ra mendengar ucapan Nabi
saw. bertanya: ‘ Wahai Rasulallah, bagaimana mereka bisa mendengar dan
bagaimana pula mereka bisa menjawab sedangkan mereka telah menjadi bangkai ?
Maka Rasulallah saw. bersabda: ‘Demi zat yang diriku ada di tangan-Nya,
tidaklah kamu memiliki kemampuan mendengar yang melebihi mereka terhadap apa
yang aku ucapkan, akan tetapi mereka tidak mampu menjawab’ “. (HR.Bukhori,
Muslim).
Lihat hadits ini yang mana
Rasulallah saw. telah tegas menjawab pertanyaan khalifah Umar bin Khattab ra
bahwa mayit itu bisa mendengar perkataan Nabi saw. malah pendengaran mereka itu
lebih tajam dari para sahabat yang hadir. Hadits ini menunjukkan
kebolehan kita untuk memanggil orang yang telah wafat dengan kata-kata Ya Fulan
(Hai anu). Mengapa justru golongan pengingkar melarang kita memanggil
junjungan kita Muhammad saw. dengan kata-kata Ya Rasulallah…, apa salahnya
dalam hal ini? (silahkan baca bab tawassul dan tabarruk dalam website
ini).
Ada golongan yang senang memutar
balik makna hadits dari Anas bin Malik tersebut dengan mengatakan, hal ini
karena Rasulallah saw. yang berkata kepada si mayit, bila selain beliau saw.
maka mayit tersebut tidak akan bisa mendengar. Pikiran mereka semacam ini sudah
tentu salah karena yang pertama dalam hadits itu Rasulallah saw. tidak
mengatakan khusus untuk beliau mayit tersebut bisa mendengar ucapannya,
sedangkan selain beliau mayyit itu tidak bisa mendengar. Bila demikian
Rasulallah saw akan menjawab terhadap Umar ra ‘mereka itu mendengar karena
aku yang berbicara padanya dan selain aku maka mereka tidak bisa mendengarnya’
tapi jawaban beliau saw. adalah: ‘tidaklah kamu memiliki kemampuan mendengar
yang melebihi mereka terhadap apa yang aku ucapkan’..
Yang kedua; banyak hadits lain mengatakan
bahwa orang yang sudah dikuburkan itu dikembalikan ruhnya kedalam tubuhnya,
bisa mendengar terompah para pengantar jenazahnya, bisa merasakan hidup bahagia
atau sengsara (adzab kubur) di-alam barzakh, dan lain sebagainya. Dalam
hadits lain Rasulallah saw. menyuruh kita menziarahi kubur dan memberi
salam kepada mereka. Tidak lain yang menjadikan semua mayit bisa mendengar dan
sebagainya ini adalah Allah swt. dan tidak ada seorang pun yang meragukan bahwa
Allah swt. mampu melakukan yang demikian ini.
Telitilah hadits-hadits
Rasulallah baik yang telah kami kemukakan maupun pada halaman berikut ini yang
mana beliau saw. bisa menjawab semua salam yang disampai- kan kepadanya.
Beliau saw. juga bisa berdo'a kepada Allah swt. untuk kaum muslimin yang masih
hidup dan lain sebagainya, walaupun beliau saw. sudah wafat. Begitupun
juga ruh kaum mukminin lainnya.
Hadits dari Abu
Ya’la dalam mengemukakan persoalan Nabi ‘Isa as. dari Abu Hurairah ra
bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Jika orang berdiri diatas kuburku lalu
memanggil ‘Ya Muhammad Rasulallah’ pasti kujawab”. Hadits ini
dikemukakan juga oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Al-Mathalibil-Aliyah
jilid 4/23 pada bab: ‘Kehidupan Rasulallah saw. didalam kuburnya’.
– Anas bin Malik ra meriwayatkan sebuah hadits, bahwa
Rasulallah saw. pernah menerangkan: “Para Nabi hidup didalam kubur mereka
dan mereka bersembahyang”. Hadits ini diketengahkan oleh Abu Ya’la dan
Al-Bazaar di dalam kitab Majma’uz- Zawaid jilid 8/211. Imam Al-Baihaqi
juga mengetengahkan juga dalam bagian khusus dari risalahnya.
Anas bin Malik ra.
juga mengatakan, bahwa Rasulallah saw. pernah memberitahu para sahabatnya
bahwa: “Para Nabi tidak dibiarkan didalam kubur mereka setelah empat puluh
hari, tetapi mereka bersembah-sujud dihadapan Allah swt.hingga saat sangkala
ditiup (pada hari kiamat)”.
– Al-Baihaqi menanggapi hadits ini dengan tegas
mengatakan: ‘Tentang kehidupan para Nabi setelah mereka wafat banyak
diberitakan oleh hadits-hadits shohih’. Setelah itu ia menunjuk kepada
sebuah hadits shohih yang meriwayatkan bahwa Rasulallah saw. bersabda :“Aku
melewati Musa (dalam waktu Isra’) sedang berdiri sembahyang didalam
kuburnya”.
– Sebagaimana telah diketahui oleh kaum muslimin, bahwa
dalam perjalanan Isra’ Rasulallah saw. melihat Nabi Musa as. sedang berdiri
sholat, Nabi ‘Isa as. juga sedang berdiri sholat. Bahkan Rasulallah
saw. mengatakan bahwa Nabi ‘Isa as mirip dengan ‘Urwah bin Mas’ud
Ats-Tsaqafy. Beliau saw. juga melihat Nabi Ibrahim as. sedang berdiri
sholat dan Nabi ini mirip dengan beliau saw. Setiba saat sholat berjama’ah
beliaulah yang meng- imami para Nabi dan Rasul sebelumnya. Usai sholat malaikat
Jibril as berkata kepada beliau saw.: ‘Ya Rasulallah, lihatlah, itu malaikat
Malik, pengawal neraka, ucapkanlah salam kepadanya’. Akan tetapi baru saja
Rasulallah saw. menoleh ternyata malaikat Malik sudah mengucapkan salam lebih
dahulu.
Riwayat tentang Isra’ ini dapat kita baca dalam Shohih
Muslim yaitu riwayat yang berasal dari Anas bin Malik dan diketengahkan
oleh ‘Abdurrazzaq di dalam Al-Mushannaf jilid 3/577.
– Dalam Dala’ilun-Nubuwwah Al-Baihaqi
mengetengahkan sebuah hadits shohih dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulallah
saw. mengatakan setelah Isra’: “Pada malam Isra’ aku melihat Musa dibukit pasir
merah sedang berdiri sembahyang dalam kuburnya”.Hadits ini diketengahkan
juga oleh Muslim dan Shohih-nya jilid 11/268.
Banyak hadits dari Rasulallah saw. waktu beliau saw.
Isra’ dan Mi’raj telah melihat para Nabi dan Rasul ; Musa as. ‘Isa as. Ibrahim
as. Idris as., Yunus, Yusuf as. dan lain-lain. Ini juga membuktikan bahwa para
Nabi dan Rasul hidup di alam barzakh dengan kemuliaan, keagungan dan
keluhuran yang serba sempurna berkat karunia Allah swt. dan mereka tetap bersembah
sujud kepada Allah swt. Begitu juga dalam riwayat Isra’ dan Mi’raj ini,
setiap Rasulallah saw. bertemu para Rasul selalu berdo’a kepada Allah
swt. kebaikan dan kebajikan untuk Rasulallah saw. Dengan demikian menunjuk kan
bahwa orang yang telah wafat masih bisa juga berdo’a kepada Allah swt.
untuk orang yang masih hidup.
–Sedangkan hadits-hadits Nabi
saw. mengenai pertanyaan dan siksa kubur
diantaranya: Diriwayatkan oleh Muslim dari Zaid bin Tsabit, diriwayatkan
oleh Bukhori dan Muslim dari Qatadah yang diterimanya dari Anas bin Malik,
diriwayatkan oleh Bukhori, Muslim dan Ash Habus Sunan dari Barra’ bin ‘Azib,
dan yang tercantum dalam Musnad Imam Ahmad, dan shohih Abu Hatim, diriwayatkan
shohih Bukhori yang diterima dari Samurah bin Jundub, diriwayatkan oleh Thahawi
dari Ibnu Mas’ud, diriwayatkan oleh Nasa’i dan Muslim yang diterima dari Anas,
yang diriwayatkan oleh Nasa’I, Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar.
(Kami sengaja mencantumkan
perawi-perawinya saja dan tidak mencantumkan hadits-haditsnya karena cukup
panjang sehingga memerlukan halaman yang lebih banyak lagi. Bagi pembaca yang
ingin mengetahui hadits mengenai ruh-ruh dialam barzakh dan adzab kubur, lebih
mudahnya silahkan rujuk pada buku terjemahan bahasa Indonsia Fikih Sunnah oleh
Sayyid Sabiq jilid 4 dari hal. 221).
Jadi jelas sekali banyak riwayat
hadits mengenai ruh-ruh orang mukmin di alam barzakh, mereka bisa tetap
mendapat pahala, bisa berdo’a, terbang kemana-mana menurut kehendaknya dan
sebagainya. Semuanya ini adalah kekuasaan Ilahi yang kadang kala tidak
terjangkau oleh pikiran manusia biasa, yang belum diberi ilmu oleh Allah swt.
mengenai hal itu.
Nabi saw. juga mensunnahkan
memohonkan ampun bagi mayat pada waktu sholat jenazah, ziarah kubur dan waktu
lainnya atau berdo’a pada ketika baru selesai dimakam- kan, agar dikuatkan
pendiriannya. Sebuah hadits yang diterima dari Usman bin Affan di
riwayatkan oleh Abu Dawud dan oleh Hakim yang menyatakan sahnya, juga
oleh Al Bazzar.
كان النّبي.ص. إذا فُرغ من
الدّفن الميّت وقف عليه, فقال: إستغفرُوا لأخيكُم وسلوُا لهُ التثبـيت فإنّـهُ
الأن يُسألُ (رواه ابو داود والحكم وصححه والبزار)
Artinya:
“Bila selesai menguburkan mayat, Nabi saw., berdiri di depannya dan bersabda:
Mohonkanlah ampun bagi saudaramu, dan mintalah dikuatkanhatinya, karena
sekarang ini ia sedang ditanya(oleh Malaikat Munkar dan Nakir)”.
5.13. Talqin
Dengan adanya ayat ilahi dan
hadits-hadits tadi dari Anas bin Malik mengenai mendengarnya
gembong-gembong kafir yang telah wafat atas ucapan Rasulallah saw. dan hadits
terakhir diatas dari Utsman bin Affan serta hadits-hadits lainnya tentang kehidupan
ruh-ruh manusia yang telah wafat,
banyak para pakar membolehkan bacaan Talqin(berarti mengajari dan
memberi pemahaman/peringatan) dimuka kuburan mayyit yang baru selesai di
makamkan, yang akan berhadapan dengan malaikat Munkar dan Nakir untuk
menanyainya. Sudah tentu semua orang itu tergantung dari amal sholehnya waktu
dia masih hidup bukan hanya tergantung dari Talqin ini. Tapi ini bukan
berarti si mayit tidak bisa mengambil manfa’at dari amalan orang yang masih
hidup (diantaranya Talqin ini), juga bukan berarti Allah swt. telah menutup
manfa’at amalan orang yang masih hidup, yang ditujukan pada si mayyit
ini. Rahmat, Kurnia dan Ampunan Ilahi sangat luas sekali, janganlah kita
sendiri yang membatasinya !
Menurut istilah talqin ini memiliki
dua pengertian yaitu; Mengajarkan kepada orang yang akan wafat kalimat
tauhid yakini Laa ilaaha illallah yang kedua ialah: Mengingatkan
orang yang sudah wafat, yang baru saja dikuburkan beberapa hal yang
penting baginya untuk menghadapi dua malaikat yang akan datang padanya.
Salah satu hadits mengenai
talqin adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, imam Abi Dawud, dan
imam An Nasai :
لقنوا موتاكم لا إله إلا الله
“Talqinilah orang-orang mati kalian dengan لا إله إلا الله “
Memang mayoritas ulama mengatakan bahwa yang dimaksud
lafadz موتاكم dalam hadits diatas ialah orang-orang yang hampir mati
bukan orang-orang yang telah mati, sehingga hadits tersebut menggunakan
arti majas (arti kiasan) bukan arti aslinya. Akan tetapi, tidak salah juga jika kita artikan lafadz
tersebut dengan arti aslinya yaitu orang yang telah mati. Karena menurut
kaidah bahasa arab, untuk mengarahkan suatu lafadz kepada makna majasnya
diperlukan adanya qorinah (indikasi) baik berupa kata atau keadaan yang
menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan perkataan tersebut adalah makna majasnya
bukan makna aslinya.
Sebagai contoh jika kita katakan “talqinillah mayit
kalian sebelum matinya” maka kata-kata “sebelum matinya” merupakan qorinah
yang mengindikasikan bahwa yang dimaksud dengan kata mayit dalam kalimat ini
bukan makna aslinya (yaitu orang yang telah mati), tapi makna majasnya (orang
yang hampir mati).Sedangkan dalam hadits tersebut tidak diketemukan Qorinah untuk
mengarahkan lafadz موتاكم kepada makna majasnya, maka sah saja jika kita
mengartikannya dengan makna aslinya yaitu orang-orang yang telah mati
bukan makna majasnya. Pendapat
inilah yang dipilih oleh sebagian ulama seperti Imam Ath Thobary, Ibnul
Humam, Asy Syaukany, dan Ulama lainya.
– Selain hadits diatas, didalam
kitab Fikih Sunnah (bahasa Indonesia) oleh Sayyid Sabiq bab Hukum
menalkinkan mayyit jilid 4 halaman 168-169 cetakan pertama 1978, cetakan
(angka terakhir) 2019181716151413 diterbitkan oleh PT Alma’arif, dihalaman buku
ini ditulis:
" Dianggap sunnah oleh Imam
Syafi’i dan sebagian ulama lainnya menalkinkan mayat yakni yang telah
mukallaf, bukan anak kecil setelah ia (mayit) dikuburkan, berdasar- kan apa
yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dari Rasyid bin Sa’ad dan Dhamrah bin
Habib dan Hakim bin ‘Umeir (ketiga mereka ini adalah tabi’in yakni yang
bertemu dengan para sahabat dan tidak menjumpai Nabi saw.) kata mereka:
“Jika kubur mayat itu telah selesai
diratakan dan orang-orang telah berpaling mereka menganggap sunnah mengajarkan
kepada mayat dikuburnya itu sebagai berikut: ‘ Hai Anu (nama si mayit disebutkan),
ucapkanlah Laa ilaaha illallah asyhadu an laa ilaaha illallah’, sebanyak tiga
kali ! Hai Anu, katakanlah; ‘Tuhanku ialah Allah, agama- ku ialah Islam dan
Nabiku Muhammad saw.’ Setelah mengajarkan itu barulah orang tadi
berpaling ". Riwayat dari tabi’in ini ada disebutkan juga oleh Hafidzdalam
At-Takhlis dan beliau berdiam diri mengenai hal itu.
Imam Thabarani meriwayatkan sebuah hadits dari Abu
Umamah yang katanya sebagai berikut:
“Jika salah seorang diantara saudaramu meninggal dunia,
dan kuburnya telah kamu ratakan, maka hendaklah salah seorang diantaramu
berdiri dekat kepala kubur itu dan mengatakan: ‘Hai Anu anak si Anu ! Karena
sebenarnya ia (si mayit) bisa mendengarnya tetapi tidak dapat menjawab. Lalu
hendaklah dipanggilnya lagi; Hai Anu anak si Anu! Maka mayit itu akan duduk
lurus. Lalu dipanggilnya lagi; Hai Anu anak si Anu ! Maka ia (si mayit) akan
menjawab; Ajarilah kami ini! Hanya kamu (orang-orang yang masih hidup) tidak
menyadarinya. Maka hendaklah diajarinya (sebagai berikut):
‘Ingatlah apa yang kaubawa sebagai
bekal tatkala meninggalkan dunia ini, yaitu mengakui bahwa tiada Tuhan,
melainkan Allah, dan bahwa Muhammad itu hamba dan utusan-Nya, dan bahwa engkau
telah meridhoi Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi
dan Al-Qur’an sebagai Imam’. Maka Munkar dan Nakir akan saling
memegang tangan sahabatnya dan mengatakan: Ayolah kita berangkat ! Apa perlunya
klita menunggu orang yang diajari jawabannya yang benar ini ! Seorang lelaki
bertanya: Ya Rasulallah, bagaimana kalau ibunya tidak dikenal? Ujarnya (Nabi
saw.) ‘Hubungkan saja dengan neneknya Hawa dan katakan; Hai Anu anak Hawa ‘ “.
Berdasarkan hadits ini, para ulama
Syafi`iyah, sebagian besar ulama Hanbaliyah, dan sebagian ulama Hanafiyah serta
Malikiyah menyatakan bahwa mentalqini mayit adalah mustahab (sunah).
Berkata Hafidz dalam At-Talkhish: ‘Isnad hadits itu baik dan
dikuatkan oleh Dhiya’ dalam buku Ahkam-nya. Dan pada sanadnya
terdapat: ‘Ashim bin Abdullah, seorang yang lemah. Berkata Haritsani
setelah mengemukakan hadits diatas ini: ‘Pada sanadnya terdapat sejumlah orang
yang tidak saya kenal’.
Sedangkan kata Imam Nawawi:
‘Hadits ini walaupun lemah, tapi dapat diterima’! Para ulama hadits dan
lain-lain telah menyetujui sikap yang luwes dalam menerima hadits-hadits
mengenai keutamaan-keutamaan, anjuran-anjuran dan ancaman-ancaman. Apalagi ia
telah dikuatkan oleh keterangan-keterangan lain seperti hadits yang lalu
'danmohonlah agar hatinya dikuatkan'. Danwasiat dari Amr bin Ash,
sedang keduanya merupakan keterangan yang sah. Dan hal ini tetap dilakukan oleh
penduduk Syria, dari masa Amr itu hingga sekarang. Sedangkan menurut keterangan
yang masyhur pendapat golongan Maliki dan sebagian golongan Hambali, talqin itu
hukumnya makruh".
Demikianlah yang ditulis oleh Sayid
Sabiq.
– Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim
r.a :
وعن عمرو بن العاص رضي الله عنه – ، قال : إذا دفنتُمُوني ، فأقيمُوا حول قبري قدر ما تُنحرُ
جزُورٌ ، ويُقسمُ لحمُها حتى أستأنس بكُم ، وأعلم ماذا أُراجعُ به رُسُل ربي . رواه مسلم
Artinya: Diriwayatkan dari `Amr bin Al `Ash, beliau
berkata : Apabila kalian menguburkanku, maka hendaklah kalian menetap di
sekeliling kuburanku seukuran disembelih- nya unta dan dibagi dagingnya sampai
aku merasa terhibur dengan kalian dan saya mengetahui apa yang akan saya jawab
apabila ditanya Mungkar dan Nakir.
Semua hadits ini menunjukkan bahwa talqin mayit
memiliki dasar yang kuat. Juga menunjukkan bahwa mayit bisa mendengar apa yang
dikatakan pentalqin dan merasa terhibur dengannya. Salah satu ayat yang
mendukung hadits di atas adalah firman Allah swt.:
وذكر فإن الذكرى تنفعُ المُؤمنين
Artinya: “Dan tetaplah memberi peringatan,
karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. “
Ayat ini memerintah kita untuk
memberi peringatan secara mutlak tanpa mengkhususkan orang yang masih hidup.
Karena mayit bisa mendengar perkataan pentalqin, maka talqin bisa juga
dikatakan peringatan bagi mayit, sebab salah satu tujuannya adalah mengingatkan
mayit kepada Allah agar bisa menjawab pertanyaan malaikat kubur dan memang
mayit di dalam kuburnya sangat membutuhkan peringatan tersebut. Jadi ucapan
pentalqin bukanlah ucapan sia-sia karena semua bentuk peringatan pasti
bermanfaat bagi orang-orang mukmin.
Lebih mudahnya, kami anjurkan
bagi pembaca yang ingin tahu mendetail mengenai dalil-dalil dan wejangan
para pakar tentang pembolehan talqin ini bisa membaca buku yang berjudul Argumentasi
Ulama Syafi’iyah oleh Ust.H.Mujiburrahman atau langsung merujuk kitab-kitab
ulama berikut ini ,yang disebutkan dibuku
itu, antara lain ialah: Imam Nawawi dalam kitabnya Majmu’
Syarah Muhazzab 5/303 dan kitabnya Al-Azkar hal.206 didalam kitab
ini disebutkan juga nama ulama salaf yang membolehkan talqin.
Syaikh Dr. Wahbah Zuhaily dalam
kitabnya Al-Fighul Islami 11/536
Syaikh Yusuf Ardubeli dalam kitabnya
Al-Anwar 1/124
Syaikh Khatib Syarbini dalam
kitabnya Al-Iqna’/183
Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam
kitabnya Tuhfatul Muhtaj 3/207
Imam Ramli dalam kitabnya Nihayatul
Muhtaj 3/40. Dan masih ada lagi para pakar lainnya yang membolehkan talqin
ini, tidak lain semuanya merupakan Fadha’ilul A’mal amalan-amalan yang
mengandung keutamaan yang terdiri dari do’a-do’a dan dzikir .
Dengan demikian amalan Talqinsudah
dikenal dan diamalkan oleh para salaf serta para pakar dari zaman dahulu.
Bagi orang yang tidak mau mengamalkan hal ini karena mengikuti wejangan
ulamanya silahkan, karena hal ini bukan amalan wajib, tapi
janganlah mencela, mensesatkan, mengharamkan sampai-sampai berani
mensyirik- kan orang yang mau mengamalkan talqin ini, karena mereka
ini juga mempunyai dalil dan mengikuti wejangan para pakar Islam serta
para salaf.
Sekalipun ada golongan yang
mengatakan hadits-hadits mengenai talqin diatas adalah lemah atau tidak
ada sama sekali, tidak ada halangan untuk mengamalkan amalan-amalan yang
mengandung keutamaan yang terdiri dari do’a-do’a dan dzikir.
Sebagaimana kaidah yang dikenal para pakar hadits diantaranya Ibnu Hajr
dalam kitab Fathul Mubin :32 yang mengatakan: ‘Sesungguhnya para
ulama sepakat bahwa hadits lemah boleh dipakai/diamalkan pada
Fadha’ilul ‘Amal (amal-amal yang mengandung ke utamaan)’.
Sudah tentau hadits Fadha'ilul Amal
yang lemah ini tidak boleh bertentangan dengan hadits shohih.
Mari kita rujuk lagi
dalil-dalil bahwa manusia yang telah wafat dapat berdo’a dan melihat amalan
para kerabatnya yang masih hidup didunia:
–Firman Allah swt. dalam
At-Taubah:105: “Dan katakanlah (hai Muhammad); Hendaklah kalian
berbuat. Allah dan Rasul-Nya serta kaum Mu’minin akan
melihat perbuatan/pekerjaaan kalian. Kemudian kalian akan dikembalikan
kepada-Nya yang Maha Mengetahui segala yang ghaib dan yang nyata, lalu oleh-Nya
kalian akan di beritahukan apa yang telah kalian perbuat/kerjakan”.
Sekaitan dengan makna ayat diatas
ini, ada beberapa hadits Nabi yang menerangkan bahwa semua perbuatan kaum
Mu’minin akan dihadapkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad saw. dan
kepada sanak-keluarga dan kaum kerabat yang telah wafat. Mereka yang telah
meninggal itu akan bersedih hati bila kerabat mereka yang didunia
melakukan amalan-amalan yang dilarang oleh Allah swt., sehingga mereka berdo’a
pada Allah swt. agar kerabatnya yang didunia mendapat hidayah dari Allah
sebelum mereka wafat. Mereka juga akan merasa bahagia bila mendengar
amalan-amalan baik dari kerabatnya yang didunia. Ibnu Mas’ud ra
menuturkan, bahwa Rasulallah saw. telah menyatakan:
......حياتي
خيرُ لكُم فاذا أنامتُّ كانت وفاتى خيرًا لكُم تُعرضُ علىّ أعمالكُم فان رأيتُ
خيرًا حمدتُ الله وأن رأيتُ شرًّا استغفرتُ لكُم
Artinya:"Hidupku didunia adalah suatu
kebaikan bagi kalian. Bila aku telah wafat, maka wafatku pun kebaikan bagi kalian. Amal perbuatan
kalian akan diperlihatkan kepadaku. Jika aku melihat sesuatu baik, kupanjatkan
puji syukurkehadirat Allah, dan jika aku melihat sesuatu yang buruk aku
mohonkan ampunan kepada-Nya bagi kalian"
Hadits diatas ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar dalam
Musnadnya dengan sanad yang jayyid (bagus) dari Ibnu Mas’ud danpara
perawi yang shahih, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Al-Hafidz As-Suyuthi
dalam Khasa’is Kubra 2/281, Al-Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid
8/594 no 14250, Al-Hafidz Al-Iraqi dalam Tharh Tatsrib Fi Syarh Taqrib
3/275 dan lain-lainya. Hadits ini di riwayatkan dari Abdul Majid bin Abdul
Aziz bin Abi Rawad. Beberapa ulama menolaknya dengan alasan dia adalah
paham Irja’, padahal penolakan dengan alasan itu bukan merusak kredibilitas
Abdul Majid sebagai perawi hadits. Demikian juga Adz-Dzahabi dalam Man
Takallamu Fiihi Wa Huwa Muwats- tsaq 1/124 no 220 mengetahui bahwa Abdul
Majid seorang Murjiah yang menyebarkan pahamnya, beliau tetap menyatakan
Abdul Majid itu tsiqat.
Hadits diatas juga diriwayatkan dengan sanad yang shahih
sampai ke Bakr bin Abdullah Al-Muzanni. Dalam sanad hadits dari Bakr bin
Abdullah ini tidak ada satupun yang memuat nama Abdul Majid bin Abdul Aziz bin
Abi Rawad.Qadhi Ismail bin Ishaq dalam kitab Fadhail Shalatu Ala Nabi
no 25 dan no 26 meriwayatkan hadis tersebut dengan sanad dari Bakr bin Abdullah
Al-Muzani,. begitu juga Ibnu Sa’ad dengan sanad yang shahih dalam Thabaqat
Ibnu Sa’ad 2/194.Dengan demikian Abdul Majid tidak menyendiri ketika
meriwayatkan hadits ini.
Hadits yang diriwayatkan Ibnu Jarir dari Abu Hurairah
ra., sebagai berikut
إنّ أعمالـكُم تُعرضُ على اقربائكُم من
موتاكـُم فإن رأوا خيرًا فرحُوا به, وإذا رأوا شرًّا كرهُوا (رواه ابن جرير
Artinya: Sesungguhnya perbuatanmu
akan dihadapkan pada kaum kerabatmu yang telah meninggal. Jika dilihatnya baik,
maka mereka akan gembira, dan jika dilihatnya jelek, mereka akan kecewa”. (Riwayat
Ibnu Jarir dari Abu Hurairah
–Ibnu Katsir juga menerangkan bahwa amal perbuatan
orang-orang yang masih hidup diperlihatkan kepada sanak-keluarga dan kaum
kerabat yang telah wafat, dialam barzakh.
Kemudian ia mengetengahkan hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud At-Thayalaisi, berasal dari Jabir ra.
yang menuturkan, bahwasanya Rasulallah saw. telah menegaskan: Amal perbuatan
kalian akan diperlihatkan kepada sanak-keluarga dan kaum kerabat (yang telah
wafat). Jika amal kalian itu baik mereka menyambutnya dengan gembira jika sebaliknya mereka berdo’a; ‘Ya
Allah berilah mereka ilham agar berbuat baik dan ta’at kepada-Mu’ “. Selanjutnya Ibnu Katsir
mengetengahkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad berasal dari
Anas bin Malik ra. yang menuturkan bahwa Rasulallah saw. bersabda:
إنّ أعمالـكُم تُعرضُ على اقاربكُم وعشائركُم من
اللأموات فإن كان خيرًا إستبـشرُوا به, وإن
كان غيرذالك قالُوا: اللّـهُمّ لا تمُتهُم حتىّ تُهديـهم كما هديتنا. (رواه احمد و
الترميذي)
Artinya: “Sesungguhnya amal
perbuatanmu akan dihadapkan kepada kaum kerabat dan keluargamu yang telah
wafat. Jika baik, mereka akan gembira karenanya, dan jika tidak mereka akan
memohon: ‘Ya Allah, janganlah mereka diwafat kan sebelum mereka Engkau tunjuki,
sebagaimana Engkau telah menunjuki kami’“.(HR. Ahmad dan Turmudzi dari
Anas).
Begitu juga masih banyak hadits yang
serupa tapi versinya berbeda. Tidak lain semuanya menunjukkan bahwa rahmat dan
karunia Allah ta’ala tidak ada batasnya. Jika kita tidak mempercayai kehidupan
selain di alam dunia saja, seperti yang disebutkan oleh ayat-ayat Ilahi dan
hadits-hadits Nabi saw. serta tidak mau tahu hal-hal ghaib maka kita bukan
tergolong sebagai orang yang beriman. Allah sendiri menerangkan bahwa urusan
ruh tersebut adalah urusan Allah swt.(Al-Israa : 85), karena ilmu manusia
yang sangat minim ini sangatlah sulit untuk menjangkau hal-hal yang ghaib,
kecuali orang-orang pilihan yang diberi ilmu oleh Allah swt. untuk
mengetahuinya.
Mungkin golongan pengingkar akan mengatakan sebagaimana
kebiasaan mereka bahwa hadits-hadits yang telah dikemukakan semuanya tidak
dapat dipercaya, bukan hadits shohih ! Baiklah, tetapi apakah mereka ini
dapat membuktikan atas dasar kesaksiannya sendiri bahwa hadits itu bohong atau
tidak shohih? Tidak lain mereka ini akan mengemukakan hadits atau wejangan
menurut pandangan ulama mereka mengenai masalah diatas. Apakah mereka hendak
memaksakan dan mewajibkan kepada orang lain supaya mempercayai atau mengikuti
ulama mereka mengenai ‘kebenarannya hadits atau wejangan ulamanya ’ ?
Renungkanlah !
Banyak sekali contoh pada zaman modern ini yang kita
lihat dan dengar sendiri tentang kejadian yang menakjubkan, tapi tidak semua
yang terjadi tersebut terjangkau oleh setiap akal manusia. Begitu juga
ayat-ayat Ilahi yang menerangkan kisah-kisah yang semuanya masih diluar jangkauan
akal manusia, seperti kisah pada zaman Nabi Sulaiman as. yang tercantum
didalam surat An-Naml; 38-40, kisah para pemuda yang berada di gua Kahfi
(Al-Kahfi: 9-12), juga mengenai orang yang dimatikan oleh Allah swt. selama
seratus tahun kemudian dihidupkannya kembali ( Al-Baqarah: 259) dan masih
banyak ayat-ayat lainnya yang tidak terjangkau dengan akal manusia. Semua kisah
ini adalah firman Ilahi yang harus kita imani/percayai walaupun belum bisa
terjangkau dengan akal manusia kecuali mereka yang telah diberikan ilmu oleh
Allah swt. Wallahu
a'lam .
5.14. Pembacaan Tahlil/Yasinan (amalan
atau hadiah pahala untuk orang mati serta dalilnya)
Setelah kita membaca
uraian sebelumnya mengenai amalan orang hidup yang bisa bermanfaat bagi si
mayit, hadiah pahala pembacaan Al-Qur’an dikuburan, ruh-ruh kaum muslimin,
talqin dan lain sebagainya, insya Allah jelas bagi pembaca bahwa amalan-amalan
yang diamalkan saudara-saudara kita ,selain sekte Wahabi dan pengikutnya, itu
mempunyai dalil dan akar yang kuat. Begitu juga dengan majlis dzikir tahlil/yasinan
yang sering kita lihat, dengar atau kita alami sendiri terutama di Indonesia.
Didalam majlis ini dikumandangkan pembacaan bersama ayat Al-Qur’an, berdo’a
yang ditujukan untuk kita, kaum muslimin umumnya dan khususnya untuk
saudara-saudara kita muslimin yang baru wafat atau yang telah lama wafat.
Tahlilan boleh diamalkan baik secara bersama maupun perorangan. Hal yang sama
ini dilakukan juga baik oleh ulama maupun orang awam di beberapa kawasan dunia
umpamanya: Malaysia, Singapore, Yaman dan lainnya.
Memang berkumpul untuk membaca tahlil ini tidak
pernah diamalkan pada zamannya Rasulallah saw.. Itu memang bid’ah
(rekayasa), tetapi bid’ah hasanah (rekayasa baik), karena sejalan dengan
dalil-dalil hukum syara’ dan sejalan pula dengan kaidah-kaidah umum agama.
Sifat rekayasa terletak pada bentuk berkumpulnya jama’ah (secara
massal), bukan terletak pada bacaan yang dibaca pada majlis tersebut.
Karena bacaan yang dibaca di sana banyak diriwayatkan dalam hadits Rasulallah
saw. Tidak lain semuanya ini sebagai ijtihad para
ulama-ulama pakar untuk mengumpulkan orang dan mengamalkan hal tersebut.
Bentuk atau cara bacaan Tahlil/Yasinan yang
dibaca di Indonesia, Malaysia, Singapora, Yaman Selatan ialah: Pertama-tama berdo’a dengan di-iringi niat untuk
orang muslimin yang telah lama wafat dan baru wafat tersebut, kemudian
disambung dengan bacaan
surat Al-Fatihah, surat Yaasin, ayat Kursi (Al-Baqoroh :255) dan beberapa ayat
lainnya dari Al-Qur’an, tahlil (Pengucapan Lailahaillallah), tasbih (Pengucapan
subhanallah), sholawat Nabi saw. dan sebagainya. Setelah itu ditutup dengan
do’a kepada Allah swt. agar pahala bacaan yang telah dibaca itu dihadiahkan
untuk orang orang yang telah wafat terutama dikhususkan untuk orang yang baru
wafat itu, yang oleh karenanya berkumpulnya orang-orang ini untuk dia. Juga
berdo'a pada Allah swt. agar dosa-dosa orang muslimin baik yang masih
hidup maupun telah wafat di- ampuni oleh-Nya dan lain sebagainya. Nah,
dalam hal ini apanya yang salah...? Allah swt. Maha Pengampun dan Dia telah
berfirman akan mengabulkan do'a seseorang yang berdo'a pada-Nya !
Sedangkan mengenai makanan-makanan yang
dihidangkan oleh sipembuat hajat itu bukan masalah pokok tahlilan ini,
tidak lain hanya untuk menggembirakan dan menyemarakkan para hadirin sebagai
amalan sedekah dan dan tidak ada paksaan! Bila ada orang yang sampai
hutang-hutang untuk mengeluarkan jamuan yang mewah, ini bukan anjuran
dari agama untuk berbuat demikian, setiap orang boleh mengamalkan menurut
kemampuannya. Dengan adanya ini nanti dibuat alasan oleh golongan pengingkar
untuk mengharamkan tahlil dan makan disitu. Pengharaman dengan alasan seperti
itu sebenarnya bukan alasan yang tepat karena tahlil tidak harus diharamkan
atau ditutup karena penjamuan tersebut. Sekali lagi penjamuan tamu itu
bukan suatu larangan, kewajiban dan paksaan, setiap orang boleh mengamalkan
menurut kemampuannya, tidak ada hadits yang mengharamkan atau melarang
keluarga mayyit untuk menjamu tamu yang ta’ziah atau yang berkumpul untuk
membaca tahlil untuk si mayyit..
– Imam Syafi’i dalam kitabnya Al
Umm mengatakan bahwa disunnahkan agar orang membuat makanan untuk
keluarga mayyit sehingga dapat menyenangkan mereka, yang mana hal ini telah
diriwayatkan dalam hadits bahwa Rasulallah saw. tatkala datang berita wafatnya
Ja’far bersabda; ‘Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah
datang kepada mereka urusan yang menyibukkan’ (Tartib Musnad Imam Syafi’i, pembahasan tentang sholat,
bab ke 23 ‘Sholat jenazah dan hukum-hukumnya’ hadits nr. 602 jilid 1 hal.
216).
Tetapi riwayat itu bukan berarti keluarga si
mayyit haram untuk mengeluarkan jamuan kepada para tamu yang hadir.
Begitu juga orang yang hadir tidak diharamkan untuk menyuap makanan yang
disediakan oleh keluarga mayyit. Penjamuaan itu semua adalah sebagai amalan
sedekah dan suka rela terserah pada keluarga mayyit. Rasulallah saw. sendiri
setelah mengubur mayit pernah diundang makan oleh keluarga si mayyit dan beliau
memakannya.
.–Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu dawud dan Baihaqi
dari Ashim bin Kulaib dari ayah seorang sahabat Anshar, berkata:
“Kami telah keluar menyertai Rasulallah saw. mengiringi
jenazah, maka kulihat Rasulallah saw. berpesan kepada penggali kubur, kata
beliau saw., ‘perluaslah arah kedua kakinya, perluaslah arah
kepalanya’. Ketika beliau pulang ditemuilah orang yang mengundang dari pihak
istrinya (istri mayyit), beliau pun memenuhi undangan itu dan kami menyertainya
lalu dihidangkan makanan, maka beliau mengulurkan tangannya, kemudian hadirin
mengulurkan tangan mereka, lalu mereka makan, dan aku melihat Rasulallah saw.
mengunyah suapan di mulutnya”.
–Ada riwayat
hadits dari Thawus al-Yamaniseorang tabi`in terkemuka dari kalangan penduduk
Yaman yang bertemu dengan para sahabat Nabi saw. yang
menyatakan; ’bahwa orang-orang mati di fitnah atau
di uji atau di soal dalam kubur-kubur mereka selama tujuh hari, maka mereka
menyukai untuk di berikan makanan sebagai sedekah bagi pihak si mayit sepanjang
waktu tersebut’.
Hadits Thawus ini dikategorikan oleh para
ulama kita sebagai mursal marfu’ yang sahih. Dinamakan mursal marfu’
karena riwayat ini hanya terhenti kepada Thawus tanpa di beritahu siapa
perawinya dari kalangan sahabat dan seterusnya dari Rasulallah saw.. Tetapi
walaupun demikian, hadits yang melibatkan perkara ghaib (keadaan di alam
barzakh), tidak akan diketahui oleh seorang pun kalau tidak dari Rasulallah
saw. (penerima wahyu Ilahi).
Para ulama dalam tiga madzhab (Hanafi, Maliki
dan Hanbali) menyatakan bahwa hadits mursal marfu’ ini boleh dijadikan
hujjah/dalil secara mutlak, sedangkan ulama madzhab Syafi`i menyatakan boleh
dijadikan hujjah jika mempunyai penyokong (selain dari mursal Ibnu Mutsayyib).
Dalam konteks hadits Thawus ini, ada dua riwayat penyokongnya yaitu hadits dari
‘Ubaid dan dari Mujahid.
Sebagaimana yang telah dibahas oleh Imam Ibnu
Hajar al-Haitami dalam ’al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah’jilid 2 halaman
30. Beliau ini ditanya dengan satu pertanyaan yang berhubungan dengan
adanya pendapat ulama yang mengatakan bahwa orang mati itu difitnah/diuji
atau disoal tujuh hari dalam kuburmereka, apa hadits ini mempunyai asal
dari syari’at? Imam Ibnu Hajar menjawab;
Bahwa pendapat tersebut mempunyai asal yang
kokoh (ashlun ashilun) dalam syara’ di mana sejumlah ulama telah meriwayatkan;
1). Dari Thawusdengan sanad yang shahih, 2). Dari ‘Ubaid
bin ‘Umair, dengan bersanad dalilnya dengan Ibnu ‘Abdul Bar,
yang merupakan seorang yang lebih terkenal kedudukannya (maqamnya) dari
kalangan tabi`in daripada Thawus, bahkan ada yang berkata dan menyatakan
bahwa ‘Ubaid bin ‘Umair ini adalah seorang sahabat karena beliau
dilahirkan dalam zaman Nabi saw. dan hidup pada sebagian zaman Sayyidina ‘Umar
di Makkah. 3). Dari Mujahid. Dan tiga riwayat ini adalah hadits
mursal marfu’ karena masalah yang dikatakan itu (berkaitan dengan orang
mati) adalah perkara ghaib yang tidak bisa diketahui melalui/secara
akal. Apabila masalah semacam ini datangnya dari tabi`in maka ia dihukum
kan mursal marfu’ kepada Rasulallah s.a.w. sebagaimana dijelaskan oleh
para imam hadits:
’Hadits Mursal boleh dijadikan hujjah
menurut tiga imam (Hanafi, Maliki dan Hanbali) dan juga di sisi kita
(yakni Syafi`i) apabila ia (hadits ini) disokong oleh riwayat lain. Dan Mursal
Thawus telah disokong dengan dua (riwayat) mursal yang lain (yaitu
Mursal ‘Ubaid dan Mursal Mujahid), bahkan jika kita berpendapat bahwa ‘Ubaid
itu seorang sahabat niscaya bersambungan riwayat nya dengan junjungan Nabi
saw.’.
Selanjutnya Imam Ibnu Hajar menyatakan bahwa telah sah riwayat daripada Thawus, ’mereka menyukai/memustahabkan untuk diberi makan bagi pihak si
mati selama waktu tujuh hari tersebut’. Imam Ibnu Hajar
menyatakan bahwa ’mereka’ disini (dalam
kalimat hadits itu--pen) mempunyai dua pengertian disisi ahli
haditsdanushul. Pengertian pertama ialah ’mereka’
adalah ’umat pada zaman Nabi saw. dimana
mereka melakukannya dengan diketahui dan di persetujui oleh Nabi saw.’.
Pengertian kedua mengenai ’mereka’
berarti ’para sahabat saja tanpa dilanjutkan
kepada Nabi saw.’. (yakni hanya di lakukan oleh para sahabat saja)”.
Imam as-Sayuthi juga telah
membahas masalah ini dengan panjang lebar dalam kitabnya ’al-Hawi lil Fatawi’ jilid 2 dalam bab ’Thulu’ ats-Tsarayaa bi idhzhaari maa kaana khafayaa’, dimana antara lain yang dikemukakan
pada halaman 194 ialah: ”Sesungguhnya sunnat memberi makan tujuh hari, telah sampai kepadaku (yakni Imam as-Sayuthi) bahwasanya amalan ini selalu
diamalkan sehingga sekarang (yakni zaman Imam as-Sayuthi) di Makkah dan
Madinah. Maka dzahirnya amalan ini tidak pernah ditinggalkan sejak masa para
sahabat sehingga sekarang, dan generasi yang datang kemudian telah mengambilnya
dari generasi terdahulu sehingga ke generasi awal Islam lagi (ash-shadrul
awwal). Dan aku telah melihat kitab-kitab sejarah sewaktu membicarakan biografi
para imam, banyak menyebut: ’dan telah berhenti/berdiri manusia atas
kuburnya selama tujuh hari di mana mereka membacakan al-Quran’ ”.
Telah dikemukakan juga oleh al-Hafidz
al-Kabir Abul Qasim Ibnu ‘Asaakir dalam kitabnya yang berjudul ’Tabyiin
Kadzibil Muftari fi ma nusiba ilal Imam Abil Hasan al-’Asy’ariy ’ bahwa dia
telah mendengar asy-Syaikh al-Faqih Abul Fath NashrUllah bin Muhammad bin
‘Abdul Qawi al-Mashishi berkata: ”Telah wafat asy-Syaikh Nashr bin
Ibrahim al-Maqdisi pada hari Selasa 9 Muharram tahun 490 H di Damsyik. Kami
telah berdiri/berhenti/berada dikuburnya selama tujuh malam, membaca
al-Qur’an pada setiap malam duapuluh kali khatam”.
Ibnu Taimiyyah
pernah ditanyai mengenai (hadits): “Bertahlil 70,000 kali dan dihadiahkan
(pahalanya) kepada orang mati, agar menjadi kebebasan bagi si mayit dari api
neraka, adakah hadits tersebut shohih atau tidak? Dan apabila bertahlil
seseorang dan dihadiahkan (pahalanya) kepada orang mati apakah pahalanya sampai
kepada si mati atau tidak” ? Maka dijawab (oleh Ibnu Taimiyyah): ‘Apabila
seseorang bertahlil dengan yang demikian 70,000 atau kurang atau lebih dan
dihadiahkan (pahalanya) kepada si mati, Allah menjadikannya bermanfaat baginya
dengan yang sedemikian itu. Dan hadits tersebut tidaklah shohih dan tidak
juga dhoif . Allahlah yang Maha Mengetahui (majmu al-fatawa jilid 24
hal.324).
Dengan demikian amalan pembacaan alqur’an dan
shodaqah pemberian makanan yang dihadiahkan kepada si mayit itu telah
dikenal sejak zamannya para salaf sholeh. Bahkan Imam ar-Rafi`i
menyatakan bahwa amalan ini masyhur dikalangan para sahabat tanpa di-ingkari.
Amalan memberi makan atau sedekah kematian selama tujuh hari mempunyai
nash yang kokoh dan merupakan amalan yang dianjurkan oleh generasi pertama
Islam. Begitu juga pembacaan alqur’an sudah pasti mendapat pahala bagi siapa
yang membacanya dan banyak para ulama pakar yang menyatakan sampai pahalanya
kepada si mayit bila si pembaca meniatkan pahala bacaannya itu dihadiahkan
kepada si mayit itu.
Bentuk atau cara pengamalan itu terserah
kepada keluarga si mayyit, hanya yang perlu diperhatikan disini adalah amalan
memberi makanan atau itu sebagai amalan suka rela dan niat sebagai
amalan shodaqah untuk si mayit. Dengan demikian amalan tersebut mustahab/baik
dan akan sampai pahalanya kepada si mayit. Tetapi bila keluarga si mayit
mengamalkannya dengan terpaksa atau dengan alasan hanya menurut adat
istiadat setempat maka amalan ini menurut sebagian ulama menjadi makruh
hukum- nya.
Lebih jauh lagi,
golongan pengingkar majlis tahlil ada yang mengatakan, bahwa membaca
Tahlil/Yasinan dirumah si mayyit yang baru wafat, diadopsi oleh para
Da’i terdahulu dari upacara kepercayaan Animisme, agama Budha dan Hindu.
Menurut kepercayaan Animesme ruh-ruh keluarga yang wafat akan datang kerumahnya
masing-masing setelah pada hari 1-3-7 dan seterusnya, dan ruh-ruh ini mengharap
sajian-sajian dari keluarganya, bila tidak mereka akan marah dan lain-lain.
Setelah mereka masuk Islam, akidah yang sama tersebut masih dijalankan golongan
ini (repot untuk dihilangkannya).Maka para Da’i –penyebar Islam di Indonesia
termasuk wali songo– merubah keyakinan mereka dan memasukkan ajaran-ajaran
dzikir untuk orang yang telah wafat.
Penafsiran golongan ini –bahwa
majlis tahlil sebagai adopsi dari Hindu yang tidak beragama Islam serta
mempunyai banyak Tuhan dan sebagainya– adalah pemikiran yang tidak
benar dan tidak berdasarkan dalil serta pikiran yang dangkal sekali !
Sejarah mencatat bahwa penyebaran agama Islam ke Indonesia dimulai pada
permulaan abad ke 12-13 M ialah orang-orang Arab, khususnya kaum Alawiyin dari
hadramaut/yaman selatan. Dari negaranya ini, mereka menyebar ke Gujarat
(India), ada diantara mereka ini yang kenegeri Cina,
Kamboja, Siam (thailand) sampai tiba ke Indonesia (baca riwayat singkat pada
bab kemuliaan keturunan Nabi saw diwebsite ini). Para Da’i ini adalah para
ulama yang sangat besar ketakwaannya kepada Allah swt dan mengenal baik apa
yang dihalalkan dan diharamkan oleh Syari’at Islam. Mereka mengetahui banyak
hadits Rasulallah saw mengenai hadiah pahala bacaan atau hadiah pahala amalan
yang ditujukan kepada orang-orang yang telah wafat.
Semuanya ini telah diterangkan
dan dijelaskan dalam hadits Nabi saw dan diriwayatkan para rawi yang dapat
dipercaya, beberapa ratus tahun sebelum para Da’i datang ke Indonesia.
Amalan penghadiahan pahala bacaan kepada mayit ini di Indonesia terkenal dengan
nama majlis tahlilan/yasinan. Cara pengamalan
majlis tahlilan bisa juga setiap negara berbeda-beda, tapi inti dan maknanya
sama yaitu pembacaan doa dan penghadiahan pahala bacaan khususnya kepada
orang yang telah wafat. Ada yang mengamalkannya sendirian/perorangan saja
dan ada yang mengamalkan dengan mengumpulkan orang banyak untuk berdoa
bersama yang ditujukan untuk simayyit. Bertambah banyak orang yang
berkumpul untuk berdoa kepada Allah swt sudah tentu bertambah besar
kemungkinan terkabulnya doa dan lebih besar syafa’at yang diterima untuk si
mayyit itu.
Begitu juga majlis peringatan hari lahir Nabi saw (silahkan baca bab maulidin
Nabi saw dalam website ini), peringatan kelahiran dan kewafatan Amirul Mukminin
Ali bin Abi Thalib kw, peringatan kelahiran dan kewafatan Sayyidah Fatimah
Az-Zahra putri Muhammad saw dan lain sebagainya, sudah sering diadakan dan
diamalkan juga oleh kaum muslimin dari berbagai madzhab: Madzhab Hanafi,
Maliki, Syafi’i dan lainnya diseluruh dunia. Pengikut madzhab-madzhab ini
sudah ada dimulai pertengahan abad ke 8 M atau sekitar tahun 100 Hijriah yaitu
mulai zamannya Imam Ja’far Shodiq ( 80-148 H/ 699-765 M) bin Muhamad Al-Baqir
bin Ali Zainal Abidin bin Husin bin Ali bin Abi Thalib kw, yang mana Imam
Hanafi, Imam Malik [ra] pernah berguru pada Imam Ja’far ini. Malah sekarang
,peringatan maulid Nabi saw khususnya, sudah menyebar serta dilaksanakan
oleh sebagian besar kaum muslimin diseluruh dunia diantaranya: Malaysia,
Indonesia, Mesir, Irak, Iran, Afrika,Turki, Yemen, Marokko, negara Saudi
Arabia, Pakistan dan orang-orang muslimin yang berdomisili di Eropa dan
Amerika.Tidak lain mengumpulkan orang untuk peringatan keagamaan
ini atau ntuk membaca dzikir tahlil adalah hasil ijtihad yang baik
dari para pakar Islam, yang semuanya ini tidak keluar dari garis yang telah
ditentukan oleh syari’at.
Didalam Islam kita dibolehkan serta
dianjurkan untuk berdakwah dengan cara apapun selama cara tersebut tidak keluar
dari garis-garis syariat akidah Islam. Para Da’i masa
lalu memasukkan unsur-unsur ajaran islam yang mudah diserap, dengan merubah
beberapa kata dan kalimat keyakinan orang-orang Hindu yang muallaf ini, kepada
kalimat dan tauhid yang benar. Jadi para Da’i/ahli dakwah ini tidak merubah
adat mereka ini tapi memberi wejangan agar mereka berkumpul tersebut
membaca dzikir pada Allah swt dan berdoa untuk si mayat, sedangkan
sajian-sajian tersebut tidak ditujukan pada ruh mayat tapi diberikan
para hadirin sebagai sedekah/penghormatan untuk tamu!
Dengan demikian para
Da’i merubah keyakinan orang-orang hindu yang salah
kepada yang benar, yang sesuai dengan syari’at Islam. Dakwah mereka ini sangat
hebat sekali mudah diterima dan dipraktekkan oleh orang-orang yang fanatik
dengan agama dan adatnya sehingga –yang tadinya di Jawa 85 % beragama
Hindu menjadi 85% beragama Islam– mereka memeluk agama yang bertauhid
satu! Berdzikir pada Allah swt itu boleh diamalkan setiap detik, menit,
hari, bulan dan lain-lain lebih sering lebih baik. Dakwah yang
bisa merubah adat buruk suatu kaum kepada adat yang sejalan dengan
syari’at Islam serta bernafaskan tauhid adalah dakwah yang
sangat baik sekali. Dengan demikian kaum itu akan kembali kejalan yang
benar, yang diridhoi Allah swt. Jadi para Da’i waktu itu bukannya mengadopsi adat-adat
hindu –sebagaimana isu-isu golongan pengingkar– tetapi mengajari
pengikut adat Hindu ini kepada jalan yang benar yang dibolehkan oleh
syari'at Islam. Dalam hal ini apanya yang
salah....?
Umpama saja, kita toleran dan benarkan sejarah yang
ditulis oleh golongan pengingkar ini mengenai majlis tahlil tersebut, sekali
lagi umpamanya diketemukan sejarah yang benar/authentik dari zamannya para Da'i
ke Indonesia yaitu meneruskan adat Hindu ini dengan mengarahkan kepada
amalan-amalan dzikir/tahlil yang ditujukan untuk yang hadir dan si mayit apanya
yang salah dalam hal ini? Para Da'i merubah dan mengarahkan adat hindu yang
keliru ini yang mempercayai akan marahnya ruh kerabat-kerabat mereka yang
baru wafat bila tidak diberi sajian-sajian kepada si mayyit ini selama
1-3-7 hari kepada adat yang dibolehkan dan sejalan dengan syari'at
Islam. Dengan demikian adat-adat hindu yang masih dilakukan oleh
orang-orang yang baru memeluk agama Islam/muallaf ini, diteruskan dengan
bacaan-bacaan dzikir serta do'a-do'a pada Allah swt. yang bisa bermanfaat baik
untuk si mayit khususnya maupun untuk orang yang masih hidup. Sedangkan
sajian-sajian yang biasanya oleh kaum hindu disajikan kepada ruh si mayyit,
dirubah oleh para Da'i untuk disajikan kepada para kerabat mereka atau kepada
para hadirin yang ada disitu.
Rasulallah saw sendiri menganjurkan kepada kita untuk
puasa Asyurah (10 muharram), padahal kalau kita kaji riwayatnya bahwa beliau
saw. melihat kaum Yahudi di Madinah puasa pada hari 10 Muharram tersebut.
Beliau saw. bertanya kepada kaum Yahudi mengapa mereka ini berpuasa pada hari
itu ? Mereka menjawab; Pada hari ini Allah swt. menyelamatkan nabi mereka dan
menenggelamkan musuh mereka. Kemudian Nabi saw. menjawab: Kami lebih berhak
memperingati Musa daripada kalian! (Nahnu aula bi muusaa
minkum).Walaupun puasa Asyura ini meniru perbuatan kaum yahudi, tetapi
baik untuk diamalkan karena tujuannya sangat baik sekali yaitu menghormati dan
bersyukur kepada Allah yang menyelamatkan Nabi Musa as.
Jika pikiran golongan pengingkar yang telah dikemukakan
dituruti, beranikah mereka ini menuduh puasa sunnah ‘Asyura (10 Muharram)
yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. dan beliau anjurkan kepada para
sahabatnya sebagai perbuatan meniru-niru orang Yahudi atau sebagai adopsi
dari kaum ini, dan dilarang oleh syariat karena meniru orang kafir?
Sedangkan waktu pelaksanaan berdzikir dan berdo'a
kepada Allah swt. untuk si mayyit selama 1-3-7 hari atau lebih banyak
hari lagi, ini semua boleh diamalkan. Karena didalam syari'at Islam
tidak ada larangan waktu tertentu setiap waktu untuk berdzikir dan berdo'a
kepada Allah swt. yang ditujukan baik untuk orang yang masih hidup
maupun yang sudah wafat. Malah sebaliknya banyak riwayat Ilahi dan hadits
Rasulallah saw. yang menganjurkan baik secara langsung maupun tidak langsung
untuk berdzikir dan berdo'a setiap saat, lebih banyak waktu yang digunakan
untuk berdzikir dan berdo'a itu malah lebih baik!!
Sekali lagi bahwa para Da'i waktu itu bukannya mengadopsi adat-adat
hindu sebagaimana pandangan golongan pengingkar tetapi mengajaripengikut
adat Hindu ini kepada jalan yang benar yang dibolehkan oleh syari'at Islam.
Dua kata-kata mengadopsi dan mengajari itu mempunyai arti yang
berbeda!
Wahai golongan pengingkar majlis tahlil, janganlah kalian
selalu mencari-cari alasan untuk melarang orang tahlil dengan memasukkan
macam-macam riwayat atau sejarah yang mana semuanya ini tidak ada sangkut
pautnya dengan larangan agama untuk membaca tahlil/yasinan dan hanya menambah
dosa kalian saja !! Jadi selama ini yang mengatakan menurut ceritera bahwa
tahlil/yasinan adalah warisan atau adopsi dari kepercayaan
Animesme, Hindu atau Budha adalah tidak benar! Ini hanya sekedar Dongengan
Belaka yang diada-adakan oleh mereka yang anti majlis dzikir.
Ingatlah saudara-saudaraku, mereka ini berkumpul untuk
berdzikir pada Allah swt. dengan niat dan tujuan untuk mendekatkan diri
kepada-Nya, yang mana pembacaan dzikir ini sudah pasti mendapat pahala,
karena banyak ayat ilahi dan hadits Rasulallah saw. mengenai pahala
bacaan-bacaan dzikir (tahmid, sholawat, takbir, tahlil dan lain-lain) yang
dibaca dimajlis-majlis tersebut (rujuklah pahala baca Al-Qur’an).
Bila golongan yang tidak senang amalan tersebut serta
ingin menyerukan yang baik dan melarang yang munkar/jelek, laranglah
dan nasehatilah secara baik pada orang-orang yang melanggar agama yang
pelanggaran tersebut sudah di sepakati oleh seluruh ulama madzhab Sunnah
tentang haramnya (pelacuran, peminum alkohol dan lain-lain). Janganlah selalu
menteror, mensesatkan atau mengharamkan majlis dzikir, tawassul, tabarruk dan
sebagainya, yang semuanya masih mempunyai dalil.
Dan janganlah mudah mengafirkan golongan muslimin
yang berdosa tersebut selama mereka masih mentauhidkan Allah swt. dan
mengakui kesalahan-kesalahan yang di perbuatnya. Camkanlah hadits Rasulallah
saw. yang mengecam orang yang menuduh muslimin sebagai kafir, fasiq, munafik
dan lain sebagainya !
Bila golongan pengingkar ini tidak mau mengamalkan
tawassul, tabarruk, ziarah kubur, kumpulan majlis dzikir dan sebagainya,
disebab kan mengikuti wejangan ulama mereka yang melarang hal tersebut, silahkan
dan itu adalah urusan mereka sendiri dan tidak ada kaum muslimin lainnya yang mencela,
mensesatkan mereka atau merasa rugi dalam hal ini, karena semuanya
itu amalan sunnah bukan wajib. Tapi janganlah, karena keegoisan dan kefanatikannya
pada wejangan ulamanya sendiri, menyuruh dan mewajibkan muslimin seluruh
dunia untuk tidak melaksanakan tawassul, tabarruk, kumpulan dzikir
bersama dan sebagainya, sampai-sampai berani mengkafirkan, menghalalkan
darahnya, mensesatkan dan memunkarkan mereka karena mengamalkan hal-hal
tersebut. Orang-orang yang mengamalkan kebaikan ini sebagai amalan
tambahannya serta tidak ada diantara mereka yang mensyariatkan atau
mewajibkan amalan-amalan tersebut.
Pikiran mereka seperti itu juga akan dibodohkan oleh
muslimin, karena banyak wejangan para pakar yang berkaitan dengan
amalan-amalan diatas, serta mereka ini ikut bercengkerama didalam majlis-majlis
tersebut! Bagi non-muslim akan lebih mempunyai bukti atas kelemahan muslimin
dan mereka akan berpikiran bahwa agama Islam adalah agama yang suka mencela,
tidak toleransi, dengan sesama agamanya saja mereka mensesatkan atau
mensyirikkan, apalagi dengan kita yang non-muslim !
Perselisihan/perbedaan dalam hal tersebut
seharusnya diselesaikan secara baik oleh sesama ulama-ulama Islam, sehingga
bisa mewujudkan persatuan dan kesatuan ummat Islam.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perbedaan pendapat
setiap manusia atau golongan itu selalu ada, tetapi bukan untuk diperuncing
atau di pertajam. Setiap golongan muslimin berdalil pada Kitabullah dan Sunnah
Rasulallah saw., tetapi berbeda cara penafsiran dan penguraiannya. Alangkah
baiknya kalau sesama muslim satu sama lain tidak mengkafirkan, mensesatkan pada
orang yang senang mengamalkan amalan-amalan sunnah yang baik itu! Begitupun
juga kita harus saling toleransi baik antara muslimin sesamanya maupun antara
muslimin dan non-muslimin (yang tidak memerangi kita). Dengan demikian
keharmonisan hidup akan terlaksana dengan baik.
Telah dikemukakan juga bahwa kita dibolehkan
mengeritik/meluruskan paham atau keyakinan suatu golongan muslimin yang sudah
jelas dan tegas dilarang oleh agama umpamanya; menyembah berhala, mengatakan
bahwa Nabi Muhammad sebagai anak Allah swt., menyerupakan/tasybih dan
tajsim/penjasmanian Allah swt. dengan makhluk-Nya secara hakiki, tidak
mempercayai adanya Malaikat, menghalalkan makan babi, main judi, membolehkan
orang meninggalkan sholat wajib dengan sengaja dan sebagainya, ini semua
sudah jelas bertentangan dengan ajaran syariat Islam. Semoga kita semua diberi
Taufiq oleh Allah swt. Amin
5.15. Keterangan Singkat Mengenai Peringatan Haul
Sebenarnya
peringatan Haul (peringatan tahunan) ini tidak perlu kami kutip disini, karena
keterangan ziarah kubur, kehidupan ruh-ruh, tahlil/yasinan dan semua yang
tercantum dibab ziarah kubur ini, telah mencakup juga keabsahan dari
peringatan Haul ini. Tetapi selama masih ada orang yang salah paham mengenai
Haul ini, tidak ada salahnya kalau kami uraikan lagi berikut ini.
Friman
Allah swt: ‘Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka
berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut
(membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikir lah lebih banyak
dari itu’ (QS.Al-Baqarah: 200).
Firman
Allah swt ini, berkaitan dengan orang-orang Arab pada zaman
Jahiliyyah, yang setelah menunaikan haji mereka hanya bermegah-megahan
tentang kebesaran nenek moyangnya saja. Kemudian turun perintah Allah swt ,
agar mereka –sebagaimana mereka menyebut-yebut nenek moyangnya– banyak
berdzikir pada Allah swt. Dalam ayat ini, tidak ada isyarat yang melarang adat
mereka setiap tahun usai haji menceriterakan riwayat hidup dan
membangga-banggakan nenek moyangnya, hanya Allah swt menghendaki agar orang
Arab Jahiliyah disamping membangga-banggakan nenek moyangnya, juga banyak
berdzikir pada Allah swt!
Sebagian
ulama mengatakan, ayat ini bisa dijadikan sebagai dalil dibolehkannya
orang setiap tahun memperingati para wali atau sholihin yang telah wafat
(Haul). Karena dalam peringatan ini, para hadirin berdzikir kepada Allah
swt dan para ulama akan mengumandangkan pada hadirin, riwayat
hidup para wali/sholihin yang diperingati tersebut. Kemudian diakhiri dengan
berdoa kepada Allah swt, agar amalan-amalan para wali/sholihin ini diterima
oleh Allah swt, dan para hadirin serta semua muslimin diberi taufiq oleh
Allah, sehingga bisa mencontoh amal perbuatan para sholihin yang terpuji,
dimasa hidupnya mereka.
Diriwayatkan
juga bahwa Rasulallah saw, setiap tahun selalu berziarah ke makam para syuhada
dibukit Uhud. Sesampainya di Uhud, beliau mengucapkan salam, yang kalimatnya
termaktub dalam al-qur’an surat Ar-Ra’d ayat 24, yang artinya: ‘Keselamatan
atasmu berkat kesabaran mu, maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu”.
Para
sahabat pun melakukan apa yang telah dilakukan Rasulullah saw, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dari Al-Wakidi:
“bahwa
Nabi saw senantiasa berziarah kemakam para syuhada dibukit Uhud setiap tahun.
Dan sesampainya disana beliau mengucapkan salam dengan mengeraskan suaranya, “Salamun
alaikum bima shabartum fani’ma uqbad daar” –[QS Ar-Ra’d: 24]– (artinya,
Keselamatan atasmu berkat kesabaranmu, maka alangkah baiknya tempat kesudahan
itu).
Lanjutan
riwayat: Abu Bakar juga melakukan hal itu setiap tahun, kemudian
Umar, lalu Utsman. Fatimah juga pernah berziarah ke bukit Uhud dan berdoa. Saad
bin Abi Waqqash mengucapkan salam kepada para syuhada tersebut, kemudian ia
menghadap kepada para sahabatnya lalu berkata, ‘Mengapa kalian tidak
mengucapkan salam kepada orang-orang yang akan menjawab salam kalian?’
Demikianlah
dalam kitab syarah Al-Ihya juz 10 pada pasal tentang ziarah kubur. Lalu dalam
kitab Najhul Balaghah dan kitab Manaqib As-Sayyidis Syuhada Hamzah ra
oleh Sayid Ja’far Al-Barzanji, dijelaskan bahwa hadits itu menjadi sandaran
hukum bagi orang-orang Madinah yang melakukan Ziarah Rajabiyah (ziarah tahunan
setiap bulan Rajab) kemakam Sayidina Hamzah, yang ditradisikan oleh keluarga
Syeikh Junaid al-Masra’i, yang pernah bermimpi dengan Sayidina Hamzah,
yang menyuruhnya melakukan ziarah tersebut.
Kami
telah mengemukakan, bahwa kaum mukminin apalagi kaum sholihin yang telah wafat
bisa mendengar, berdoa pada Allah swt, baik untuk para kerabatnya maupun para
hadirin yang berziarah dimakam-makam mereka. Ruh-ruh mereka bisa hadir ditempat
makamnya atau tempat lainnya yang mereka kehendaki setiap waktu. Dengan
demikian peringatan Haul ini banyak manfaat baik bagi orang yang masih hidup
maupun yang sudah wafat. Bagi yang sudah wafat mendapat doa dari jama’ah,
fadhilah atau hadiah pahala pembacaan al-qur’an, yang ditujukan kepadanya.
Sedangkan berkumpulnya jama’ah (para hadirin) yang membaca doa ini sudah tentu
akan mendapat pahala, rahmat dan berkah dari Allah swt, karena ziarah kubur
pada orang muslim yang biasa saja, sudah termasuk sunnah Rasulallah saw apalagi
menziarahi para ulama, para sholihin dan para wali yakni, orang-orang yang
dibanggakan, dipuji oleh Allah swt dan Rasul-Nya.
Dalam Jala’ Adh-Dholaam ‘Ala
‘Aqidatil Awam disebutkan:
“Ketahuilah, bahwa sangat dianjurkan
bagi setiap muslim, yang menginginkan anugerah Allah dan kebaikan-kebaikannya
untuk selalu menghadang barokah pemberian, makbulnya doa dan turunnya
rahmat dihadapan para wali (waliyullah), pada majlis-majlis perkumpulan mereka,
baik ketika masih hidup atau setelah wafatnya.Begitu juga ketika berada dimakamnya
atau ketika berziarah menyebut keutamaannya atau membaca
manaqib-manaqibnya”.
Jika haul –yakni berkumpulnya orang
banyak untuk ziarah dimuka kuburan para wali– sebagai bid’ah, itu sungguh
merupakan bid’ah mahmudah (bid’ah yang terpuji) atau bid’ah hasanah
(bid’ah yang baik) karena sejalan dengan kaidah hukum syariat Islam.
Tidak ada alasan untuk menuduh
penyelenggaraan Haul itu bid’ah dholalah (bid’ah sesat) atau haram, selagi
tuduhan itu tidak didasarkan pada nash-nash Kitabullah dan Sunnah Rasulallah
saw, yang dengan tegas dan jelas mengharamkan Haul tersebut. Mengharamkan
sesuatu yang oleh syara’ tidak diharamkan, apalagi jika tidak disertai dalil
yang tegas dari Kitabullah dan Sunnah Rasulallah, itu bukan lain hanyalah omong
kosong dan semata-mata mengada-adakan kedustaan terhadap Allah dan Rasul-Nya,
dan sama sekali bukan dari ajaran agama! Ingat firman Allah swt dalam surat
Asy-Syuraa:21: “....mereka yang mensyariatkan sebagian dari agama sesuatu yang
tidak di-izinkan Allah”, dan dalam surat an-Nahl : 116; Dan janganlah kamu
mengatakan terhadap apa yang disebut-disebut oleh lidahmu secara dusta ‘Ini
halal dan ini haram untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah...”.
Jadi sesuatu yang menurut asalnya
(pada dasarnya) halal, tidak boleh di haramkan kecuali atas dasar dalil
yang benar dan jelas, serta sejalan dengan penegasan Allah dan Rasul-Nya
tentang pengharamannya. Wallahua'lam.
Demikianlah keterangan singkat
tentang Haul. Semoga Allah swt memberi petunjuk pada kita. Amin
5.16. Dalil-dalil orang yang
membantah hadiah pahala bacaan untuk mayit dan jawabannya
Banyak orang salah mengartikan makna
beberapa hadits atau ayat ilahi berikut ini, dengan adanya salah penafsiran
tersebut mereka mudah mengharamkan atau mensesatkan amalan-amalan orang hidup
yang ditujukan pahalanya untuk orang yang mati.
Golongan yang menolak hadiah pahala
bacaan kepada simayit, berdalil dengan riwayat-riwayat berikut ini:
1. Hadits riwayat Muslim, dari Abu
Hurairah ra :
عن
أبى هُريرة (ر) أنّ رسُول الله .ص. قال: إذا مات الإنسانُ انقطع عملُهُ إلاّ من
ثلاثٍ: صدقةٍ جاريةٍ او علمٍ يُنتفعُ به, اوولدٍ صالحٍ
يدعُولهُ
Artinya: “Apabila seorang manusia
meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah (terus
menerus berjalan)atau ilmu yang bermanfaat sesudahnyaatau anak
shalih yang mendo’akannya”.
Golongan pengingkar berkata: Kata-kata ingata’a
amaluhu (putus amalnya) pada hadits tersebut menunjukkan bahwa
amalan-amalan apapun kecuali yang tiga itu tidak akan sampai pahalanya
kepada mayyit !
Pikiran seperti itu adalah tidak tepat, karena sebenarnya
yang dimaksud hadits tersebut sangat jelas bahwa tiap mayit telah selesai
dan putus amalnya, karena ia tidak di wajibkan lagi untuk beramal. Tetapi
ini bukan berarti putus pengambilan manfaat dari amalan orang yang masih
hidup untuk si mayit itu. Begitu juga tidak ada keterangan dalam hadits
tersebut bahwa si mayit tidak dapat menerima syafa’at, hadiahbantuan
do’a dan sebagainya dari orang lain selain dari anaknya yang sholeh.
– Dalam syarah Thahawiyah halaman 456 disebutkan: bahwa
dalam hadits tersebut tidak dikatakan ingata’a intifa’uhu (terputus
keadaannya untuk memperoleh manfaat) hanya disebutkan ingata’a amaluhu (terputus
amalnya). Adapun amalan orang lain maka itu adalah milik orang yang
mengamalkannya, jika dia menghadiahkannya kepada si mayit, maka akan sampailah
pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi yang sampai itu adalah pahala
orang yang mengamalkan bukan pahala amal si mayit itu.
Banyak hadits Nabi saw. yang menyebutkan bahwa
amalan-amalan orang yang hidup bermanfaat bagi si mayit diantaranya ialah do’a kaum
muslimin (jadi bukan hanya doa dari anaknya saja) untuk si mayit
pada sholat jenazah dan sebagainya (baca keterangan sebelumnya),
yang mana do’a ini akan diterima oleh Allah swt., pelunasan hutang setelah
wafat, pahala haji, pahala puasa dan sebagainya (baca haditsnya
dihalaman selanjutnya) serta do’a kaum muslimin untuk sesama muslimin ,baik
yang masih hidup maupun yang sudah wafat, sebagaimana yang tercantum pada ayat
Ilahi Al-Hasyr.10 .
Mengapa dalam hadits diatas dicontohkan do’a anak
yang sholeh karena dialah yang bakal selalu ingat pada orang tuanya,
dimana orang-orang lain telah melupakan ayah- nya. Sedangkan anak yang tidak
pernah atau tidak mau mendo’akan orang tuanya yang telah wafat itu berarti
tidak termasuk sebagai anak yang sholeh.
Dari anak sholeh ini si mayit sudah pasti dan selalu
(kontinu) menerima syafa’at darinya. Begitulah yang dimaksud makna dari hadits
ini. Dengan demikian hadits ini tidak akan berlawanan/berbenturan maknanya
dengan hadits-hadits lain yang menerangkan akan sampainya pahala amalan orang
yang masih hidup (penebusan hutang, puasa, haji, sholat dan
lain-lain) yang ditujukan kepada simayit. Begitu juga mengenai amal
jariahnya dan ilmu yang bermanfaat, selama dua hal ini masih
diamalkan oleh manusia yang masih hidup, maka si mayit selalu (kontinu) menerima
juga syafa’at darinya.
Kalau kita tetap memakai penafsiran golongan pengingkar
yang hanya membatasi do'a dari anak sholeh yang bisa sampai kepada
mayit, bagaimana halnya dengan orang yang tidak mempunyai anak? Apakah orang
yang tidak punya anak ini tidak bisa mendapat syafa'at/manfaat do'a dari
amalan orang yang masih hidup? Bagaimana do’a kaum muslimin pada waktu sholat
jenazah, apakah tidak akan sampai kepada si mayyit? Sekali lagi penafsiran
dan pembatasan hanya do'a anak sholeh yang bermanfa’at bagi si mayit
adalah tafsiran yang salah, karena bertentangan dengan hadits-hadits shohih
mengenai amalan-amalan orang hidup yang bermanfaat buat si mayyit.
– Dalam Al-Majmu’ jilid
15/522 Imam Nawawi telah menghikayatkan ijma’ ulama
bahwa ‘sedekah itu dapat terjadi untuk mayyit dan sampai pahalanya dan
beliau tidak mengaitkan bahwa sedekah itu harus dari seorang anak
’.
Hal yang serupa ini juga diungkapkan
oleh Syaikh Bakri Syatha Dimyati dalam kitab I’anatut Thalibin jilid
3/218: ‘ Dan sedekah untuk mayyit dapat memberi manfaat kepadanya baik
sedekah itu dari ahli warisnya maupun dari yang selainnya’
– Juga hadits-hadits Nabi saw.
mengenai hadiah pahala Qurban diantaranya yang diriyayatkan oleh Muslim
dari Anas bin Malik ra:
عن أنس (ر) عن علىّ (كرّمهُ اللهُ
وجهه) انّهُ كان يُضحّى بكبشين احدُهُما عن النّبى.ص.
والآخرُ
عن نفسه فقيل لهُ فقال امرني به يعنىالنّبى ص فلآ ادعُهُ
ابدًا.
Artinya: “Dari Anas bahwasanya
Ali kw. berkorban dengan dua ekor kambing kibas. Yang satu (pahalanya) untuk
Nabi Muhammad saw.dan yang kedua (pahalanya) untuk beliau sendiri. Maka
ditanyakanlah hal itu kepadanya (Ali kw.) dan beliau menjawab :‘Nabi
saw.memerintahkan saya untuk melakukan hal demikian maka saya selalu memperbuat
dan tidak meninggalkannya‘ ”. (HR Turmudzi).
– Aisyah ra mengatakan bahwasanya
Rasulallah saw. menyuruh didatangkan seekor kibas untuk dikorbankan. Setelah
didatangkan beliau saw. berdo’a :
بسم الله
اللّهُمّ تقبّل من مُحمّدٍ وآل مُحمّدٍ ومن اُمّة مُحمّدٍ ثُمّ ضحّى
به
Artinya: “Dengan nama Allah ! Ya, Allah terimalah (pahala korban ini)
dari Muhamad, keluarga Muhamad dan dari ummat Muhammad ! Kemudian Nabi
menyembelihnya”. (HR. Muslim)
– Begitu juga hadits yang senada diatas dari Jabir ra yang
diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi yang menerangkan bahwa ia
pernah shalat 'Iedul Adha bersama Rasulallah saw., setelah selesai
shalat beliau diberikan seekor domba lalu beliau menyembelihnya seraya
mengucapkan:
“Dengan nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah,kurban
ini untukku dan untuk umatku yang belum melakukan qurban”.
Tiga hadits diatas ini menunjukkan hadiah pahala korban dari
Sayyidina Ali kw untuk dirinya dan untuk Nabi saw., begitu juga pahala
korban dari Nabi saw. untuk diri beliau saw., para keluarganya dan
bahkan untuk segenap ummatnya. Hadits-hadits ini malah membolehkan hadiah
pahala amalan yang ditujukan kepada orang yang masih hidup yang belum
sempat berqurban, padahal orang yang hidup itu masih bisa beramal sendiri
didunia ini.
– Imam Nawawi dalam syarah Muslim jilid 8/187 mengomentari hadits
diatas ini dengan katanya: ‘Diperoleh dalil dari hadits ini bahwa
seseorang boleh berkorban untuk dirinya dan untuk segenap keluarganya, serta
menyatukan mereka bersama dirinya dalam hal pahala. Inilah madzhab
kita dan madzhab jumhur’.
– Juga pengarang kitab Bariqatul Muhammadiyah mengkomentari
hadits diatas tersebut dengan katanya; “Do’a Nabi saw. itu menunjukkan bahwa
Nabi menghadiahkan pahala korbannya kepada ummatnya dan ini
merupakan pengajaran dari beliau bahwa seseorang itu bisa memperoleh manfaat
dari amalan orang lain. Dan mengikuti petunjuk beliau saw. tersebut berarti
berpegang dengan tali yang teguh”.
– Juga sepakat kaum muslimin bahwa membayarkan hutang dapat menggugurkan
tanggungan mayyit walaupun pembayaran tersebut dilakukan oleh orang yang
lain yang bukan dari keluarga mayyit. Hal yang demikian ini ditunjukkan
oleh Abi Qatadah dimana beliau menanggung hutang seorang mayyit sebesar
dua dinar. Tatkala beliau telah membayarkan yang dua dinar itu Nabi saw.
bersabda: ‘Sekarang bisalah dingin kulitnya’. (HR. Imam Ahmad).
Walaupun cukup banyak hadits yang membolehkan amalan orang yang hidup (hadiah
pahala dan lain-lain) yang berguna untuk si mayit tanpa menyebutkan
syarat-syarat tertentu, tapi ada golongan yang berbeda pendapat mengenai hukumnya
penghadiahan pahala ini. Ada golongan yang membedakan antara ibadah
badaniyah (jasmani)dan ibadah maliyah (harta).
Sebagian dari mereka berkata; pahala ibadah maliyah seperti sedekah
dan haji sampai kepada mayit, sedangkan ibadah badaniyah seperti shalat
dan bacaan Alqur'an tidak sampai. Mereka ini juga berpendapat bahwa
ibadah badaniyah adalah termasuk kategori ibadah yang tidak bisa
digantikan orang lain, sebagaimana sewaktu hidup seseorang tidak boleh
menyertakan ibadah tersebut untuk menggantikan orang lain. Hal ini sesuai
dengan sabda Rasulallah saw.: ‘Seseorang tidak boleh melakukan shalat
untuk menggantikan orang lain, dan seseorang tidak boleh melakukan shaum
(puasa) untuk menggantikan orang lain, tetapi ia memberikan makanan untuk satu
hari sebanyak satu mud gandum?’(HR An-Nasa'i).
Sebenarnya yang dimaksud hadits terakhir ini ialah: Misalnya si A
malas untuk sholat Ashar maka si A minta pada Si B untuk menggantikannya,
inilah yang dilarang oleh agama. Karena orang yang masih hidup harus
menunaikan sholat sendiri-sendiri tidak boleh diwakilkan pada orang lain.
Begitu juga bila orang yang masih hidup tidak mampu puasa lagi karena
alasan-alasan tertentu yang dibolehkan agama umpama sudah tua sekali atau
mempunyai penyakit chronis dan lain sebagainya tidak boleh digantikan oleh
orang lain, tetapi yang bersangkutan setiap harinya harus mengeluarkan sedekah
(fidyah) untuk memberi makan orang miskin satu mud ( ± 800
gram).
Dengan demikian hadits terakhir diatas ini tidak tepat sekali untuk
digunakan sebagai dalil melarang amalan ibadah badaniyah yang pahala
amalannya dihadiahkan kepada orang yang telah wafat. Karena cukup banyak
hadits Rasulallah saw. ,baik secara langsung maupun tidak langsung, yang
membolehkan penghadiahan pahala amalan untuk orang yang telah wafat baik yang
berupa ibadah badaniyah maupun ibadah maliyah.(baca haditsnya pada halaman
berikut)
Sedangkan golongan ulama yang berpendapat bahwa penghadiahan pahala
,baik itu ibadah badaniyah maupun ibadah maliyah, akan
sampai kepada simayyit umpama pembacaan Al-Qur’an, puasa, haji, pelunasan
hutang setelah wafat, sedekah dan lain-lainnya, dengan mengqiyaskan hal ini
pada hadits-hadits Nabi saw mengenai sampai nya pahala ibadah puasa, haji,
sholat, pelunasan hutang setelah wafat, do’a kaum muslimin untuk muslimin yang
telah wafat dan sebagainya.
Golongan ini berkata: "Pahala adalah hak orang yang
beramal, jika ia menghadiahkan kepada sesama muslim maka hal itu
mustahab/ baik, sebagaimana tidak adanya larangan menghadiahkan harta untuk
orang lain diwaktu hidupnya atau membebaskan hutang setelah wafatnya".
Begitupun juga tidak ada dalil jelas yang mengatakan pembacaan
Al-Qur’an tidak akan sampai pada si mayit. Jadi dengan banyaknya
hadits dari Nabi saw. mengenai sampainya pahala amalan atau manfaat
do’a untuk si mayit bisa dipakai sebagai dalil sampainya juga pahala
pembacaan Al-Qur’an pada si mayit. Sayang sekali kalau hal ini kita remehkan
dan tinggalkan, karena Rahmat dan Karunia Ilahi tidak ada batasnya.
2. Golongan pengingkar menyebutkan beberapa
dalil lagi untuk menolak hadiah pahala untuk si mayit diantaranya, firman Allah
dalam surat an-Najm ayat 39: ‘Tidaklah ada bagi seseorang itu kecuali apa
yang dia usahakan’.
Mereka berkata: Bukankah ini menunjukkan bahwa amal orang lain tidak
akan bermanfaat bagi orang yang sudah mati karena itu bukan usahanya? Dengan
demikian dalam Islam tidak ada yang dinamakan hadiah pahala !
Ayat tersebut dijadikan oleh mereka sebagai dalil untuk menolak adanya hadiah
pahala untuk si mayit, ini juga tidak tepat sekali. Banyak sekali jawaban
para pakar islam terhadap dimajukannya ayat tersebut sebagai dalil untuk
menolak adanya hadiah pahala. Dalam ayat ini Allah swt. tidak
mengatakan bahwa si mayit tidak dapat mengambil manfa’at kecuali
dari usahanya sendiri. Untuk menafsirkan Al-Qur’an
orang tidak boleh berpikir seenaknya sendiri dan menyimpang dari
pengertian-pengertian yang ada didalam Al-Qur’an secara keseluruhan. Agar kita
tidak terperosok kedalam penafsiran yang salah tentang ayat An-Najm:39 itu,
baiklah kita ketengahkan saja pendapat beberapa ulama mengenai persoalan yang
ada kaitannya dengan pengertian ayat tersebut.
A. Dalam kitab Syarah Thahawiyah
hal. 455 diterangkan dua jawaban untuk ayat tersebut, garis besarnya antara
lain:
1. Manusia dengan usaha dan pergaulannya yang santun akan memperoleh
banyak kawan dan sahabat, menikahi istri dan melahirkan anak, melakukan hal-hal
yang baik untuk masyarakat dan menyebabkan orang-orang cinta serta suka
padanya.. Manusia yang banyak sahabat dan kawan yang cinta padanya itu bila
wafat akan memperoleh manfaat dari doa para sahabat dan kawan-kawannya tersebut
(umpama pada waktu sholat jenazah, ziarah kuburnya dan sebagainya—pen). Dalam
satu penjelasan Allah swt juga menjadikan iman sebagai sebab untuk memperoleh
kemanfaatan dengan doa serta usaha dari kaum mukminin yang lain. Maka jika
seseorang sudah berada dalam iman, maka dia sudah berusaha mencari sebab yang
akan menyampaikannya kepada yang demikian itu. (Dengan demikian pahala ketaatan
yang dihadiahkan kepadanya oleh kaum mukiminin adalah sebenarnya bagian dari
usahanya sendiri).
2. Ayat Al-Qur’an tidak menafikan adanya kemanfaatan untuk seseorang
dengan sebab usaha orang lain. Ayat Al-Qur’an hanya menafi kan kepemilikan
seseorang terhadap usaha orang lain. Dua perkara ini jelas berbeda. Allah swt
hanya menfirmankan bahwa 'orang itu tidak akan memiliki kecuali apa yang dia
usahakan sendiri'. Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik
bagi siapa yang mengusahakannya. Jika dia mau, dia boleh memberikannya kepada
orang lain atau boleh menetapkannya untuk dirinya sendiri.(jadi pada kata kata lil-insan
pada ayat itu adalah lil-istihqaq yakni menunjukkan arti ‘milik‘).
Beginilah dua jawaban yang dipilih oleh pengarang kitab Syarah Thahawiyah.
B. Pengarang tafsir Khazin berkata:
'Yang demikian itu adalah untuk kaum Ibrahim dan Musa. Adapun umat Islam, maka
mereka bisa mendapat pahala dari usahanya dan juga dari usaha orang lain'.
Jadi ayat An-Najm:39 menerangkan hukum yang terjadi pada syariat Nabi
Ibrahim dan Nabi Musa, bukan hukum dalam syariat Nabi Muhammada saw. Hal ini
dikarenakan pangkal ayat tersebut berbunyi, yang artinya: 'Atau belumkah
dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab-kitab Musa dan Ibrahim yang
telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa
orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain yang
diusahakannya'.
C. Menurut ahli
tafsir Ibnu Abbas ra dalam menafsirkan ayat An-Najm : 39 mengatakan :
الحقُنابهم هذا منسُوخُ الحُكم في هذه الشّريعة بقوله
تعالى ذُرّيّتهُم فاُدخل
الأبناءُ الجنّة بصلاح الآباء
Artinya: “Ini (ayat) telah dinaskh
(dikesampingkan) hukumnya dalam syari’at kita dengan firman Allah Ta’ala; ‘Kami
hubungkan dengan mereka anak-anak mereka’, maka dimasukkanlah anak (yang
beriman) kedalam surga berkat kebaikan yang diperbuat oleh bapaknya”.(Tafsir
Khazin jilid 4/223).
Firman Allah swt yang dimaksud oleh Ibnu Abbas sebagai
pengenyampingan surat An-Najm: 39 adalah surat At-Thur ayat 21
yang artinya sebagai berikut:
“Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka
mengikuti mereka dengan iman, maka Kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan
mereka dan Kami tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap
orang terikat dengan apa yang dikerjakannya”. (At-Thur ayat 21) .
Dengan demikian menurut Ibnu Abbas surat An-Najm; 39
itu sudah dikesampingkan hukumnya, berarti sudah tidak bisa dimajukan sebagai
dalil.
Kalau kita baca ayat At-Thur ini menunjukkan bahwa
amalan-amalan datuk-datuk kita yang beriman, yang telah wafat bisa memberi
syafa’at bagi kerabatnya yang beriman, yang masih hidup. Nah, bukan hanya
amalan-amalan orang yang hidup saja yang bisa bermanfaat bagi si
mayyit, tetapi orang yang beriman yang telah wafatpun bisa memberi
syafa’at.Tidak lain ini semua menunjukkan Rahmat dan Karunia Ilahi yang sangat
luas sekali.
D. Dalam Nailul
Authar jilid 4/102 disebutkan: Bahwa kata-kata 'Tidak ada bagi seseorang
itu....'
maksudnyailah 'tidak ada dari segi
keadilan (min thariqil adli), adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli),
maka ada bagi seseorang itu apa yang tidak dia usahakan.
– Al-Jalalain (yaitu Jalaluddin Al-Hamali dan Jalaluddin As-Sayuthi) dalam
tafsirnya mengenai ayat An-Najm:39 antara lain mengatakan: “Yang dimaksud
dengan kalimat ‘apa yang telah diusahakan’ (maa sa’aa) pada ayat
tersebut ialah; hal-hal yang berupa kebajikan. (dengan demikian) Manusia tidak
memperoleh suatu apa dari hal-hal yang bukan kebajikan”.
Sebagai uraian terhadap tafsir Al-Jalalain itu, Syeikh Sulaiman bin Umar
Al-Ajili terkenal dengan nama Al-Jamal menerangkan bahwa ayat tersebut
merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya, yaitu ayat An-Najm:38 yang
menegaskan; ‘Seseorang yang berdosa tidak memikul dosa orang lain’
. Al-Jamal mengatakan, karena dosa orang lain tidak menjadi beban orang
yang tidak melakukan perbuatan salah.
Lebih jauh Al-Jamal menerangkan penafsiran ayat An-Najm:39 itu harus
dikaitkan dengan ayat At-Thur:21, yaitu firman Allah: ‘Dan orang-orang
yang beriman, yang anak cucu keturunannya mengikuti mereka dalam keimanan,
mereka ini (anak cucunya) akan Kami susulkan/kumpulkan kepada mereka
(orang-orang yang beriman). sedikit pun Kami tidak mengurangi pahala amal
perbuatan mereka’. Selain itu, penafsiran ayat An-Najm:39 harus dihubungkan
pula dengan hadits-hadits nabi saw, antara lain hadits yang mengatakan:
‘Apabila seorang anak Adam wafat, putuslah semua amalnya kecuali tiga perkara;
Ilmu bermanfaat (yang ditinggalkan), shadaqah jariyah dan anak sholeh yang
berdoa untuknya (orang tuanya)’. Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat tersebut
dinaskh (mansukh, terkesampingkan) oleh ayat At-thur:21.
Sebagai dalil/hujjah ia mengemukakan ayat At-Thur:21
itu bersifat pemberitaan dari Allah swt. Semua ayat yang bersifat pemberitaan
tidak terkena naskh (tidak mansukh). Ibnu Abbas mengatakan juga bahwa ayat
An-najm:39 itu pada hakikatnya semakna dengan hadits terakhir tersebut diatas.
Sebab jika dipikirkan secara mendalam apa sebab anak yang sholeh berdoa untuk
orang tuanya, sesungguh- nya itu merupakan hasil amal kebajikan orang tua yang
mengasuhnya dengan baik sejak kecil. Jadi berarti orangtua memetik hasil
usahanya sendiri. Selanjutnya ia mengatakan bahwa kebajikan atau amal sholeh
yang dilakukan oleh seseorang dapat mendatangkan manfaat atau pahala bagi orang
lain. Hal ini dibenarkan oleh hadits-hadits shohih yang menerangkan bahwa para
Nabi dan orang-orang sholeh atas izin Allah swt. dapat memberi pertolongan
(syafaat) kepada orang lain. Barangsiapa yang memikirkan dan merenungkan
nash-nash Al-Qur’an dan hadits mengenai persoalan itu, ia akan menemukan banyak
pengertian tentang kenyataan itu. Karenanya, tidaklah semestinya kalau ayat
An-Najm:39 itu ditafsirkan terlepas dari kaitan ayat-ayat lain dan
hadits-hadits Nabi saw. Sesuatu yang kelihatannya bersifat umum ternyata
mengandung banyak kekhususan.
Didalam tafsir Khazin dan hadits-hadits Ibnu
Abbas ra, terdapat dalil-dalil madzhab Syafi’i, Maliki, Hanbali dan lain-lain
yang mengatakan; bahwa ibadah haji yang dilakukan oleh anak kecil (sebelum
akil-baligh) adalah sah, dan anak itu mendapat pahala, walau pun ibadah haji
baginya belum merupakan ibadah wajib, tetapi hanya bersifat tathawwu’ (mustahab).
Imam Abu Hanifah mengenai soal itu berpendapat, bahwa ibadah haji yang
dilakukan oleh anak kecil tidak dapat dipandang sah sebagai penunaian rukun
Islam, tetapi hanya sekedar latihan ibadah saja. Demikian pula mengenai
shodaqah yang dilakukan seseorang atas nama orang lain yang telah wafat.
Mengenai soal itu para ulama bersepakat bulat bahwa pahala
shodaqah itu diterima oleh orang yang telah wafat. Begitu juga soal doa,
pelunasan hutang, ibadah haji dan puasa yang diperuntukkan/diniatkan
(pahalanya) untuk orang yang telah wafat.
Akan tetapi mengenai soal puasa bagi orang yang telah
wafat, para ulama berbeda pendapat. Sebagian memandang sah puasa yang dilakukan
secara tathawwu’ bagi orang lain yang kedahuluan wafat sebelum sempat memenuhi
kewajiban puasa yang tertinggal. Sebagian yang lainnya memandang puasa seperti
itu tidak sah. Imam Syafi’i berpendapat bahwa membaca Al-Qur’an pahalanya tidak
dapat sampai kepada orang yang telah wafat (baca uraian sebelumnya mengenai
pendapat imam syafi' i yang ditahqiq oleh para ulama syafi'iyah).
Akan tetapi para ulama sahabat Imam Syafi’i berpendapat, bahwa pembacaan
Al-Qur’an pahalanya dapat sampai kepada orang yang telah wafat. Dalam hal itu
Imam Ahmad bin Hanbal sependapat dengan para sahabat Imam Syafi’i. Begitu
juga mengenai sholat sunnah yang diperuntukkan bagi orang yang telah wafat,
Imam Syafi’i dan para ulama lainnya sependapat, bahwa pahalanya tidak dapat
diterima oleh orang yang telah wafat. Akan tetapi Imam Ahmad bin Hanbal
berpendapat, semua ibadah sunnah yang di peruntukkan bagi orang yang telah
wafat, pahalanya dapat sampai kepadanya.
Mari kita rujuk pendapat Ibnu Taimiyah ulama yang diandalkan oleh
golongan pengingkar dalam tafsir Jamal jilid 4 bahwa beliau berkata
: “Barangsiapa
meyakini bahwa seseorang tidak dapat mengambil manfaat kecuali dengan amalnya
sendiri, maka sungguh dia telah melanggar ijma’ dan yang demikian itu adalah
batil ”.
Sebagai dalil/hujjah
Ibnu Taimiyah menguraikan keterangan-keterangan secara rinci masalah ini (antara lain yang tertulis dalam kitab Al-Futuhatul
Ilahiyyah hal.235 sampai hal. 237) mengatakan:
a. Kisah dua anak yatim dari
orangtua yang sholeh, sebagaimana termaktub surat Al-Kahfi:82. Itu pun
sepenuhnya merupakan manfaat yang diperoleh dari orang lain, bukan dari amal
kebajikan dua anak yatim itu sendiri.
b. Rasulallah saw menangguhkan
sholat mayyit bagi orang yang wafat dalam keadaan berhutang hingga hutangnya
dilunasi oleh orang lain, seperti yang dilakukan oleh Qatadah ra dan Imam Ali
bin Abi Thalib ra. Itupun merupakan kenyataan bahwa manfaat dapat di peroleh dari
amal kebajikan orang lain.
c.Zakat fitrah diwajibkan atas
anak kecil ( yang belum baligh) yang menjadi tanggungan orangtua atau walinya.
Hal ini merupakan ketentuan syara’ yang mengandung pengertian, bahwa manfaat
pahala yang diperoleh anak itu datang dari amal kebajikan orang lain yang
menginfakkan zakat tersebut, bukan dari amal dan usaha anak itu sendiri.--Wajib
zakat yang dikenakan atas harta kekayaan anak yang masih kecil (harta waris
peninggalan orangtuanya), atau yang dikenakan atas harta kekayaan orang yang
sakit ingatan ini semua merupakan petunjuk bahwa mereka itu dapat memperoleh
pahala dari zakat yang dikeluarkan dari hartanya. Sekalipun mereka itu tidak
mempunyai kesanggupan berpikir dan beramal, tetapi dengan hartanya yang diatur
dan dilakukan orang lain mereka memperoleh pahalanya
d.Nabi saw. akan memberi syafa’at terhadap
orang-orang dipadang mahsyar dalam hal hisab dan terhadap calon-calon penghuni
surga dalam hal masuk kedalamnya. Dan nabi saw. akan memberi syafa’at terhadap
para pelaku dosa besar dalam hal keluar dari neraka. Ini semua berarti
seseorang mengambil manfaat dengan usaha orang lain.
e.Anak-anak orang mukmin (yang wafat dalam
keimanan) akan masuk surga dengan amal bapak mereka (yang mukmin) dan ini
juga berarti mengambil manfaat semata-mata amal orang lain. (QS at-Thur :
21--pen.).
f.Orang yang duduk dengan ahli dzikir akan
diberi rahmat (ampunan) dengan berkah ahli dzikir itu sedangkan dia bukanlah
diantara mereka dan duduknya itupun bukan untuk dzikir melainkan untuk
keperluan tertentu, maka nyatalah bahwa orang itu telah mengambil manfaat
dengan amalan orang lain. (HR Bukhori, Muslim dari Abu Hurairah, baca haditsnya
pada bab Faedah majlis dzikir di buku ini--pen).
g. Shalat untuk mayyit (baca: sholat
jenazah) dan berdo’a untuk si mayyit didalam shalat ini, adalah pemberian
syafa'at untuk mayyit dengan shalatnya itu, ini juga pengambilan manfaat dengan
amalan orang lain yang masih hidup.
h. Allah swt berfirman pada Rasulallah
saw : ‘Tidaklah Allah akan mengadzab/menyiksa mereka sedangkan engkau
masih ada diantara mereka’. ‘Kalaulah bukan karena laki-laki yang mukmin dan
wanita-wanita yang mukmin..’ (Al Fath: 25). ‘ Seandainya Allah
tidak menolak (keganasan) sebagian manusia terhadap sebagian yang lain niscaya
rusaklah bumi ini’. (Al Baqarah :25). Dalam ayat-ayat ini Allah swt
mengangkat adzab/siksa (adzab umum—pen.) terhadap sebagian manusia dengan sebab
sebagian yang lain dan ini juga termasuk pengambilan manfaat dengan amalan
orang lain.
Jelaslah bahwa pahala bukan dari amal atau usaha mereka sendiri, melainkan berkat amal dan bantuan orang lain.Tidak diragukan lagi,
barangsiapa yang mau berpikir mendalami persoalan seperti sampai
sekecil-kecilnya, ia pasti akan menemukan banyak kenyataan yang menunjukkan
bahwa manfaat dapat diperoleh dari kebajikan, amal dan usaha orang lain.
Setelah kesemuanya ini terang dan jelas, lantas bagaimanakah kita hendak
menafsirkan ayat suci itu (An-Najm:39) dengan pengertian yang berlainan dari
makna seluruh Al-qur’an dan sunnah Rasulallah saw, serta ijma’ umat nabi
Muhamad saw?
Demikianlah sebagian alasan-alasan yang diungkapkan
oleh Ibnu Taimiyah mengenai pengambilan manfaat dari amalan-amalan orang lain
untuk si mayit. Sebenarnya masih banyak lagi alasan Ibnu Taimiyah mengenai ini
tapi kami tidak cantumkan semua disini.
Juga kesimpulan Ibnul Qayyim dalam kitab Al-Ulama wa aqwaaluhum fii
sya’nil amwat wa ahwaalihim hal.36-37 :
“Nash-nash ini jelas menerangkan sampainya pahala amalan untuk mayyit
apabila dikerjakan oleh orang yang hidup untuknya karena pahala itu adalah hak
bagi yang mengamalkan, maka apabila dia menghadiahkan kepada saudaranya yang
muslim tidaklah tercegah yang demikian itu sebagaimana tidak tercegah orang
yang menghadiahkan hartanya dimasa hidupnya dan membebaskan piutangnya untuk
seseorang sesudah matinya. Rasulallah saw. menegaskan sampainya pahala puasa
yang hanya terdiri dari niat dan tidak makan minum yang semua itu
hanya diketahui oleh Allah, maka sampainya pahala bacaan yang merupakan amalan
lisan yang didengar oleh telinga dan disaksikan oleh mata adalah lebih
utama”.
Banyaknya penafsiran ini adalah demi untuk tidak terjebak kepada
pengamalan dengan dhohir ayat semata-mata karena kalau itu dilakukan, maka akan
banyak sekali dalil baik dari Al-Qur'an maupun hadits shohih yang akan
ditentang oleh ayat tersebut, sehingga akan menjadi gugur dan tidak terpakai
lagi. Wallahua'lam.
3. Dalil lainnya dari golongan
pengingkar yaitu firman Allah swt. dalam surat Al-Baqarah ayat 286, yang
artinya:
“Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kesanggupannya. Baginya
apa yang dia usahakan (daripada kebaikan) dan akan menimpanya
apa yang dia usahakan (daripada kejahatan)”.
Mereka ini berkata : Bukankah ayat ini menunjukkan bahwa usaha orang
lain tidak akan didapatkan pahalanya dan kejahatan orang lain tidak akan
dipikulkan dosanya.
Pengertian yang seperti itu adalah tidak benar sekali ! Karena dalam ayat
itu juga tidak menafikan seseorang akan mendapatkan manfaat dari usaha orang
lain. Hal ini sama dengan ucapan: Seorang akan memperoleh harta dari usahanya
sendiri. Ucapan ini bukan berarti dia tidak bisa memperoleh harta yang bukan
dari usahanya sendiri, karena bisa saja dia memperoleh harta dari warisan orang
tuanya, pemberian hadiah dari orang lain. Lain halnya kalau ayat diatas
mengandung pembatasan (hasr) umpama bunyi- nya sebagai berikut
:
الاّ ماكسبت ليس لها
"Tidak ada baginya kecuali apa
yang dia usahakan atau seseorang hanya bisa mendapat apa yang dia
usahakan”.
Sebagai tambahan
jawaban silahkan rujuk kembali kolom nr. 2 diatas .
4. Mereka juga berdalil pada firman Allah swt.
dalam surat Yaasin ayat 54, yang artinya :
“ Tidaklah mereka diberi balasan
kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”.
Dengan berdalil dengan ayat ini
mereka meniadakan pahala dari orang lain, pikiran seperti ini juga tidak tepat
sekali karena dalam ayat ini jelas Allah swt juga tidak menafi- kan hadiah
pahala terhadap orang lain karena pangkal ayat tersebut adalah :
“Pada hari dimana seseorang tidak
akan didzalimi sedikitpun dan seseorang tidak akan diberi balasan kecuali
terhadap apa yang mereka kerjakan”.
Dengan memperhatikan konteks ayat
tersebut dapatlah dipahami bahwa seseorang tidak akan disiksa sebab kejahatan
orang lain, jadi bukan berarti seseorang tidak bisa memperoleh pahala sebab
amal kebaikan orang lain (baca Syarah Thahawiyah hal. 456).
Sebagai tambahan
jawaban silahkan rujuk keterangan jawaban kolom nr. 2
diatas .
5. Golongan pengingkar ini juga berkata bahwa
membaca Al-Qur’an untuk mayit tidak dikenal dan tidak diamalkan
oleh para salaf dan juga tidak ada petunjuk dari Nabi saw. lalu mengapa
hal itu dilakukan oleh orang-orang sekarang ? Juga kata mereka: Yang
sudah nyata-nyata disyariatkan adalah berdo’a untuk mayit. Mengapa tidak itu
saja yang dilakukan tanpa harus capek-capek membaca Al-Qur’an, tahlil dan
dzikir terlebih dahulu…”.
Sebagaimana telah dikemukakan pada
bab Bid'ah diwebsite ini bahwa Nabi saw. sendiri meridhoi amalan
bacaan para sahabatnya tambahan bacaan dalam sholat yang diamalkan oleh
sahabat beliau saw, yang mana amalan bacaan
tersebut tidak pernah adanya petunjuk sebelumnya dari Nabi saw.serta
tidak pernah sesudahnya di perintahkan oleh beliau saw.!
Tidak ada petunjuk Nabi saw. atau
tidak diamalkan oleh para salaf bukanlah sebagai satu dalil atau hujjah
untuk melarang dan mengharamkan hal tersebut, apalagi mereka memutuskan
bahwa pahala bacaan tersebut tidakakan sampai pada si mayyit!!
Pikiran dan pertanyaan semacam
diatas ini juga bukan sebagai dalil atau hujjah untuk tidak
sampainya pahala bacaan. Kalau mereka mengakui hadits shohih mengenai sampainya
pahalahaji, puasa dan do’a, makaapakah perbedaan yang demikian itu dengan
sampainya pahala membaca Al-Qur’an? Janganlah kita membatasi
sendiri Rahmat Ilahi, karena Rahmat-Nya sangat luas sekali !!
“Rasulallah saw. waktu itu ditanya
mengenai haji untuk orang yang sudah wafat, puasa untuk orang yang sudah wafat
dan sedekah untuk orang yang sudah wafat, beliau mengizinkan semuanya ini dan
amalan-amalan tersebut akan sampai pada si mayit serta beliau saw. tidak
melarang untuk selain yang demikian. Lalu apakah perbedaan sampainya
pahala puasa yang semata-mata niatdan imsak dengan sampainya pahala
bacaan dan dzikir (yang di-iringi dengan niat juga)?” ( Syarah
Aqidah Thahawiyah hal.457).
Orang yang membaca Al-Qur’an, tahlil
dan dzikir, sudah tentu akan mendapat pahala, karena banyak sekali hadits yang
meriwayatkan pahala bacaan Al-Qur’an dan dzikir. Pahala itu adalah hak milik
orang yang berdzikir, kemudian dia berdo’a kepada Allah swt agar pahala
yang dimiliki itu disampaikan kepada orang yang sudah wafat baik itu orang
tuanya, sanak kerabatnya atau orang lain. Dalam hal ini apanya yang dilarang…?
– Imam Syaukani dalam Nailul Authar jilid 4/101
bersabda:
فإذاجاز
الدُّعاءُ للميّت بما ليس للدّاعي فلأن يجُوز بماهُوا لهُ أولى
Artinya: “Kalau boleh berdo’a
untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh sipendo’a, maka
tentu kebolehan berdo’a untuk mayyit dengan sesuatu yang dimiliki oleh
sipendo’a (yaitu pahala)adalah terlebih utama”.
Jadi kita dibolehkan do’a apa saja
kepada Allah swt. walaupun isi do’a itu belum kita miliki sendiri umpamanya ‘Ya
Allah berikanlah pada dia seorang keturunan yang sholeh, rizki yang makmur dan
kesuksesan’ . Do’a seperti ini tidak ada yang membantah apalagi melarang
bahkan sangat dianjurkan. Jadi mengapa orang yang berdo’a untuk
menghadiahkan sesuatu yang telah dimiliki yaitu pahala, malah justru
dilarang ?
– Hadits dari Auf bin Malik ia
berkata: Saya telah mendengar Rasulallah saw. bersabda –yakni ketika
menyalatkan jenazah– : ‘Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia,
maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah
kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari
segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah
untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang
lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan
peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka’. (HR Muslim).
Diterima dari Waila bin Asqa’
katanya; Nabi saw. menyalatkan seorang lelaki Islam bersama kami, maka saya
dengar beliau mengucapkan : “Ya Allah, sesungguhnya si Anu anak si Anu
adalah dalam tanggungan dan ikatan perlindungan-Mu, maka lindungilah ia dari bencana
kubur dan siksa neraka, sungguh Engkau Penepat janji dan Penegak kebenaran. Ya
Allah, ampunilah dia dan kasihanilah dia, karena sesungguhnya Engkau Maha
Pengampun lagi Penyayang”. (HR.Ahmad dan Abu Daud)
Rasulallah saw. yang mengajarkan
pada kita bacaan do’a dalam sholat jenazah diatas ini untuk si mayat yang mana
isi do'a tersebut belum semuanya dimiliki oleh si pendo’a sendiri dan do’a ini
toh akan bermanfaat pada si mayyit. Apa gunanya atau keistemewaannya
Rasulallah saw. mengajarkan dan menganjurkan agar muslimin membaca do'a-do'a
tersebut pada sholat jenazah kalau semuanya tidak ada manfa'at/syafa'at untuk
mayyit ? Wallahu a'lam.
Mari kita rujuk dalil-dalil hadiah
pahala amalan yang bisa sampai kepada mayyit, diantaranya adalah :
5.17. Pahala
Sedekah
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiahkan pahala
ibadah kepada orang yang telah meninggal dunia. Masalah ini seringkali menjadi
titik perbedaan antara berbagai kelompok masyarakat. Dan tidak jarang menjadi
bahan perseteruan yang berujung kepada terurainya benang persaudaraan.
Seandainya umat Islam ini mau duduk bersama mengkaji semua dalil
yang ada, seharusnya perbedaan itu bisa disikapi dengan lebih dewasa dan
elegan.
Kita akan mempelajari tiga pendapat yang terkait dengan masalah ini
lengkap dengan dalil yang mereka pakai. Baik yang cenderung mengatakan tidak
sampainya pahala kepada orang yang sudah wafat, atau yang mengatakan sampai
atau yang memilah antara keduanya. Sedangkan pilihan Anda mau yang mana, semua
kembali kepada Anda masing-masing.
Kalau kita cermati pendapat yang berkembang di tengah umat Islam,
paling tidak kita mendapati tiga pendapat besar yang utama.
1. Pendapat Pertama: Pahala Tidak Bisa Dikirim-kirim kepada Mayit
Pendapat pertama mengatakan bahwa orang mati tidak bisa menerima pahala ibadah orang yang masih hidup. Baik pahala yang bersifat ibadah jasadiyah maupun ibadah maliyah. Sebab setiap orang sudah punya tugas dan tanggung-jawab masing-masing.
Pendapat pertama mengatakan bahwa orang mati tidak bisa menerima pahala ibadah orang yang masih hidup. Baik pahala yang bersifat ibadah jasadiyah maupun ibadah maliyah. Sebab setiap orang sudah punya tugas dan tanggung-jawab masing-masing.
Dalil atau hujjah yang digunakan adalah berdasarkan dalil:
`Yaitu bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa
orang lain dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya`
`Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan
kamu tidak dibalasi kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan`
`Ia mendapat pahala yang diusahakannya dan mendapat siksa yang
dikerjakannya`.
Ayat-ayat di atas adalah sebagai jawaban dari keterangan yang
mempunyai maksud yang sama, bahwa orang yang telah mati tidak bisa mendapat
tambahan pahala kecuali yang disebutkan dalam hadits:
`Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali
tiga hal: Sedekah jariyah, anak yang shalih yang mendo’akannya atau ilmu yang
bermanfaat sesudahnya` .
Bila Anda menemukan orang yang berpendapat bahwa orang yang sudah
wafat tidak bisa menerima pahala ibadah dari orang yang masih hidup, maka dasar
pendapatnya antara lain adalah dalil-dalil di atas.
Tentu saja tidak semua orang sepakat dengan pendapat ini, karena
memang ada juga dalil lainnya yang menjelaskan bahwa masih ada kemungkinan
sampainya pahala ibadah yang dikirmkan/ dihadiahkan kepada orang yang sudah
mati.
2. Pendapat Kedua: Ibadah Maliyah Sampai dan Ibadah Badaniyah Tidak
Sampai
Pendapat ini membedakan antara ibadah badaniyah dan ibadah maliyah. Pahala ibadah maliyah seperti shadaqah dan hajji, bila diniatkan untuk dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal akan sampai kepada mayyit.
Pendapat ini membedakan antara ibadah badaniyah dan ibadah maliyah. Pahala ibadah maliyah seperti shadaqah dan hajji, bila diniatkan untuk dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal akan sampai kepada mayyit.
Sedangkan ibadah badaniyah seperti shalat dan bacaan Alqur’an tidak
sampai. Pendapat ini merupakan pendapat yang masyhur dari Madzhab Syafi’i dan
pendapat Madzhab Malik.
Mereka berpendapat bahwa ibadah badaniyah adalah termasuk kategori
ibadah yang tidak bisa digantikan orang lain, sebagaimana sewaktu hidup
seseorang tidak boleh menyertakan ibadah tersebut untuk menggantikan orang
lain. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul SAW:
Seseorang tidak boleh melakukan shalat untuk menggantikan orang
lain, dan seseorang tidak boleh melakukan shaum untuk menggantikan orang lain,
tetapi ia memberikan makanan untuk satu hari sebanyak satu mud gandum.
Namun bila ibadah itu menggunakan harta benda seperti ibadah haji
yang memerlukan pengeluaran dana yang tidak sedikit, maka pahalanya bisa
dihadiahkan kepada orang lain termasuk kepada orang yang sudah mati. Karena
bila seseorang memiliki harta benda, maka dia berhak untuk memberikan kepada
siapa pun yang dia inginkan. Begitu juga bila harta itu disedekahkan tapi
niatnya untuk orang lain, hal itu bisa saja terjadi dan diterima pahalanya
untuk orang lain. Termasuk kepada orang yang sudah mati.
Ada hadits-hadits yang menjelaskan bahwa sedekah dan haji yang
dilakukan oleh seorang hamba bisa diniatkan pahalanya untuk orang yang sudah
meninggal. Misalnya dua hadits berikut ini:
Dari Abdullah bin Abbas ra. bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal
dunia ketika ia tidak ada ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW unntuk
bertanya, Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya
tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya?
Rasul SAW menjawab, Ya. Saad berkata, Saksikanlah bahwa kebunku yang banyak
buahnya aku sedekahkan untuknya. .
Dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang
kepada Nabi SAW dan bertanya, Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun
belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya?
Rasul menjawab, Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah
kamu membayarnya? Bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk
dibayar.
3. Pendapat Ketiga: Semua Jenis Ibadah Bisa Dikirimkan kepada Mayit
Do’a dan ibadah baik maliyah maupun badaniyah bisa bermanfaat untuk mayyit
berdasarkan dalil berikut ini:
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka , mereka berdo’a, Ya
Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudar-saudar kami yang telah beriman lebih
dahulu dari kami.
Dalam ayat ini Allah SWT menyanjung orang-orang yang beriman karena
mereka memohonkan ampun untuk orang-orang beriman sebelum mereka. Ini
menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal dapat manfaat dari istighfar orang
yang masih hidup.
a.
Shalat Jenazah.
Tentang do’a shalat jenazah antara lain, hadits:
Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW
– setelah selesai shalat jenazah-bersabda, Ya Allah ampunilah dosanya,
sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya,
luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun,
bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran,
gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya,
keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari
pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka.
b.
Doa Kepada Mayyit Saat Dikuburkan
Tentang do’a setelah
mayyit dikuburkan,
Dari Ustman bin ‘Affan ra. berkata: Adalah Nabi SAW apabila selesai
menguburkan mayyit beliau beridiri lalu bersabda, Mohonkan ampun untuk
saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena sekarang dia sedang
ditanya.
c.
Doa Saat Ziarah Kubur
Sedangkan tentang do’a ziarah kubur antara lain diriwayatkan oleh
‘Aisyah ra bahwa ia bertanya kepada Nabi SAW, Bagaimana pendapatmu kalau saya
memohonkan ampun untuk ahli kubur? Rasul SAW menjawab, Ucapkan: . .
d.
Sampainya Pahala Sedekah untuk Mayit
Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal
dunia ketika ia tidak ada di tempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW untuk
bertanya, Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya
tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya? Rasul
SAW menjawab, Ya. Saad berkata:, Saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya
aku sedekahkan untuknya. .
e.
Sampainya Pahala Saum untuk Mayit
Dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, Barang siapa yang
meninggal dengan mempunyai kewajiban shaum maka keluarganya berpuasa untuknya.
f.
Sampainya Pahala Haji Badal untuk Mayit
Dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang
kepada Nabi SAW dan bertanya, Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun
belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya?
Rasul menjawab, Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah
kamu membayarnya? Bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk
dibayar.
g.
Membayarkan Hutang Mayit
Bebasnya utang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun
bukan keluarga. Ini berdasarkan hadits Abu Qotadah di mana ia telah menjamin
untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah
membayarnya nabi SAW bersabda:
Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya.
h.
Dalil Qiyas
Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan
kepada saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ad halangan sebagaimana tidak
dilarang menghadiahkan harta untuk orang lain di waktu hidupnya dan membebaskan
utang setelah wafatnya. Islam telah memberikan penjelasan sampainya pahala
ibadah badaniyah seperti membaca Al-Qur’an dan lainnya diqiyaskan dengan
sampainya puasa, karena puasa dalah menahan diri dari yang membatalkan disertai
niat, dan itu pahalanya bisa sampai kepada mayyit. Jika demikian bagaimana
tidak sampai pahala membaca Al-Qur’an yang berupa perbuatan dan niat.
Menurut pendapat ketiga ini, maka bila seseorang membaca Al-Fatihah
dengan benar, akan mendatangkan pahala dari Allah. Sebagai pemilik pahala, dia
berhak untuk memberikan pahala itu kepada siapa pun yang dikehendakinya
termasuk kepada orang yang sudah mati sekalipun. Dan nampaknya, dengan
dalil-dalil inilah kebanyakan masyarakat di negeri kita tetap mempraktekkan
baca Al-Fatihah untuk disampaikan pahalanya buat orang tua atau kerabat dan
saudra mereka yang telah wafat.
Tentu saja masing-masing pendapat akan mengklaim bahwa
pendapatnyalah yang paling benar dan hujjah mereka yang paling kuat. Namun
sebagai muslim yang baik, sikap kita atas perbedaan itu tidak dengan
menjelekkan atau melecehkan pendapat yang kiranya tidak sama dengan pendapat
yang telah kita pegang selama ini. Karena bila hal itu yang diupayakan, hanya
akan menghasilkan perpecahan dan kerusakan persaudaraan Islam.
Demikian sekilas yg bisa sampaikan semoga ada manfaatnya .Aamiin.
Demikian sekilas yg bisa sampaikan semoga ada manfaatnya .Aamiin.
Wallahu a’lam bish-shawab, wassalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh.
Mohamad Sartono Anggota Dewan Pembina Yys Masjid Akbar Kota Tangerang Selatan .
Mohamad Sartono Anggota Dewan Pembina Yys Masjid Akbar Kota Tangerang Selatan .
Posted by mohamad sartono on Feb 4th, 2012 and filed under RAGAM. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response via following comment form or trackback to this entry from
5.18. Pahala Puasa Dan Sholat.
– Hadits dari Aisyah ra. Rasulallah
saw. bersabda:
عن عائشة رضي الله عنها عن النّبى قال: من مات وعليه
صيام, صام عنهُوليُّـهُ.
‘Barang siapa yang wafat
dengan mempunyai kewajiban shaum (puasa) maka walinya berpuasa
untuknya’. (Yang
dimaksud wali disini yaitu kerabat- nya walaupun bukan termasuk ahli
waris). (HR.Bukhari dan Muslim, Abu Daud dan Nasa’i )
– Hadits dari Ibnu Abbas :
جاء رجُلٌ إلى النّبى.ص. فقال: يا رسُول الله انّ أمّي ما تت
وعليها صوم شهر فأقـضيه عنها ؟
قال لو كان
على أمّك دين أكنت قاضيهُ عنها ؟ قال: نعم, قال: فدينُ الله أحقُّ أن يُقضى.
“Seorang lelaki datang menemui
Rasulallah saw. ia berkata : ‘Ya Rasulallah, ibuku meninggal dunia, sedang ia
mempunyai kewajiban berpuasa selama sebulan. Apakah saya wajib kadha atas
namanya?’ Nabi saw. berkata; Bagaimana jika ibumu mempunyai hutang,
apakah akan kamu bayarkan untuknya? ‘Benar’ jawabnya. Nabi berkata, maka hutang
kepada Allah lebih layak untuk dibayar!” (HR.Bukhori dan Muslim)
– Hadits riwayat Daruquthni :
أنّ
رجُلاً قال: يا رسُول الله انّهُ كان لى أبوان أبرُّهُما في حياتهما فكيف لي
ببرّهما بعد موتها ؟
فقـال : انّ من البرّ بعد
الموت أن تُصلّي لهُما مع صلاتـك, وأن تصُومُ لهُما مع صيامك
“Bahwa seorang laki-laki berkata : ‘Ya Rasulallah, saya mempunyai
ibu dan bapak yang selagi mereka hidup saya berbakti kepadanya. Maka bagaimana
caranya saya berbakti kepada mereka, setelah mereka meninggal dunia?’ Jawab
Nabi saw : Berbakti setelah mereka wafat ! , caranya adalah dengan melakukan
sholat untuk mereka disamping shalatmu, dan berpuasa untuk mereka disamping
puasamu !”.
5.19. Pahala Haji.
عن ابن عبّاس رضي اللهُ عنهُـما انّ
امرأة من جُهينـة جائت الى النّبى .ص. فقالت: انّ أمّي نذرت ان
تُحجّ فلـم تحج حتّى ماتت أفأحجّ عنها؟ قال : حجّي عنها, لو كان على أمّـك
دين أكنت قاضيـتهُ ؟ اُقضـُوا
فالله احقُّ بالقضاء. وفى رواية : فالله احـقُّ بالوفـاء
Artinya: Dari Ibnu Abbas
–radhiyallahu ‘anhuma- bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi
saw. dan bertanya: ‘Sesungguhnya ibuku nadzar untuk haji, namun belum
terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukan haji
untuknya? Rasulallah saw. menjawab: Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu
mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya?, bayarlah hutang Allah, karena
hutang Allah lebih berhak untuk dibayar’. (HR Bukhari)
Pada hadits ini Nabi saw. memberi
perintah agar membayar haji ibunya yang sudah wafat. Namun bila si mayyit tidak
memiliki harta, maka disunnahkan bagi ahli warisnya untuk
menghajikannya. Apabila alasan sesuatu atau lain- nya sehingga hal ini tidak
bisa dihajikan oleh ahli warisnya, maka penggantian hajinya itu boleh
dilimpahkan kepada orang lain, dengan syarat orang ini sendiri harus sudah
menunaikan haji, bila belum maka haji yang dikerjakan tersebut berlaku untuk
dirinya. Cara seperti ini biasa disebut dengan badal haji.
Dalilnya ialah hadits dari Ibnu
Abbas :
“Bahwa Nabi saw.pernah mendengar
seorang laki-laki berkata: Labbaik an Syubrumah (Ya Allah, saya
perkenankan perintahMu untuk si Syubrumah). Nabi bertanya: Siapa Syubrumah
itu ? Dia menjawab : Saudara saya atau teman dekat saya. Nabi bertanya: Apakah
engkau sudah berhaji untuk dirimu? Dia menjawab: belum! Nabi bersabda:
Berhajilah untuk dirimu kemudian berhajilah untuk Syubrumah ! ”. (HR.Abu
Daud)
Ditinjau dari dalil Ijma’ (sepakat) ulama dan Qiyas bahwa
do’a dalam sholat jenazah akan bermanfaat bagi mayit, bebasnya hutang mayit
yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga (HR.Ahmad dari
Abi Qatadah) dan lain sebagainya, semuanya ini bisa bermanfaat bagi mayit.
Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada
saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ada halangan sebagaimana tidak
dilarang menghadiahkan harta atau membebaskan hutang untuk orang lain diwaktu
hidupnya dan setelah wafatnya.
Demikian juga Rasulallah saw.
menganjurkan puasa untuk menggantikan puasa orang yang telah meninggal.
Rasulallah saw. menghadiahkan pahala qurban untuk keluarga dan ummatnya
yang tidak mampu berqurban, padahal qurban adalah melalui menumpahkan darah.
Ibadah haji merupakan ibadah
badaniyah (bagi yang dekat). Harta bukan merupakan rukun dalam haji tetapi sarana. Hal itu karena
seorang penduduk Makkah wajib melaku kan ibadah haji apabila ia mampu
berjalan ke Arafah tanpa disyaratkan harus memiliki harta. Jadi ibadah haji
bukan ibadah yang terdiri dari harta dan badan, namun ibadah badan saja
(bagi yang mampu berjalan). Begitu juga kita perhatikan arti fardhu kifayah, dimana sebagian orang bisa
mewakili sebagian yang lain. Persoalan menghadiah- kan pahala itu
mustahab/boleh, jadi bukan menggantikan pahala, sebagaimana seorang
buruh tidak boleh digantikan orang lain, tapi gajiannya/upahnya boleh diberi-
kan kepada orang lain jika ia mau.
Islam telah memberikan penjelasan sampainya pahala ibadah
badaniyah seperti membaca Al-Qur'an dan lainnya diqiyaskan dengan sampainya
puasa, karena puasa adalah menahan diri dari yang membatalkan disertai niat,
dan itu pahalanya bisa sampai kepada mayit. Jika demikian bagaimana mungkin tidak sampainya pahala
membaca Alqur'an yang berupa perbuatan dan niat juga?
Hubungan melalui agama merupakan
sebab yang paling besar bagi sampainya manfaat orang Islam kepada saudaranya
dikala hidup dan sesudah wafatnya. Bahkan do'a orang Islam dapat bermanfa’at
untuk orang Islam lain. Al-Qur'an tidak menafikan seseorang mengambil manfaat
dari usaha orang lain. Adapun amal
orang lain adalah milik nya, jika orang lain tersebut menghadiahkan amalnya
untuk dia, maka pahalanya akan sampai kepadanya bukan pahala amalnya,
sebagaimana dalam pembebasan utang.
Allah swt. menjelaskan bahwa Dia
tidak menyiksa seseorang karena kesalahan orang lain, dan seseorang tidak
mendapatkan kebahagiaan kecuali dengan usahanya sendiri. Dan dalam firman-Nya
itu, Allah swt. tidak menyatakan bahwa orang tidak dapat mengambil
manfaat kecuali dari usahanya sendiri. Ini tidak lain menunjukkan keadilan
Allah swt..
Menurut madzhab Hanafi, setiap orang
yang melakukan ibadah baik berupa do’a, istiqhfar, shadaqah, tilawatul Qur’an,
dzikir, shalat, puasa, thawaf, haji, ‘umrah maupun bentuk-bentuk ibadah lainnya
yang bersifat ketaatan dan kebaktian dan ia berniat menghadiahkan pahalanya
kepada orang lain, baik yang masih hidup atau yang telah wafat, pahala
ibadah yang dilakukannya itu akan sampai kepada mereka dan juga akan
diperolehnya sendiri. Demikianlah sebagaimana disebut dalam Al-Hidayah,
Al-Bahr dan kitab-kitab lainnya. Didalam kitab Al-Kamal terdapat
penjelasan panjang lebar mengenai itu.
Didalam sebuah hadits shahih yang keshahihannya setaraf
dengan hadits mutawatir menuturkan, bahwa barangsiapa meniatkan amal
kebajikan bagi orang lain, dengan amal kebajikannya itu Allah swt. berkenan
memberikan manfaat kepada orang lain yang diniatinya. Hal ini sama dengan hadits mengenai
shalat dan puasanya seorang anak untuk kedua orang tuanya, yang dilakukan
bersama shalat dan puasanya sendiri. Begitu juga masih banyak hadits shahih dan
mutawatir yang berasal dari Rasulallah saw., berita-berita riwayat terpercaya,
pendapat-pendapat para ulama baik dari kalangan kaum Salaf dan Khalaf yang
menerangkan dan membenarkan bahwa pahala membaca Al-Qur’an, do’a dan istiqhfar
yang diniatkan pahalanya untuk orang yang telah wafat benar-benar
akan sampai kepada orang yang telah wafat itu.
Ibnu Taimiyyah didalam Fatawa-nya mengatakan:
Adalah benar bahwa orang yang telah wafat beroleh manfaat dari semua ibadah
jasmaniah seperti shalat, puasa, membaca Al-Qur’an dan lain-lain yang
dilakukan orang yang masih hidup baginya. Ia (si
mayyit) pun beroleh manfaat juga dari ibadah maliyah seperti shadaqah
dan sebagainya. Semua ini sama halnya jika orang yang masih hidup berdo’a dan
beristiqhfar baginya. Mengenai ini para Imam madzhab sepakat.
Dengan adanya hadits-hadits dan
wejangan para pakar baik dalam Ijma’ maupun Qiyas yang cukup banyak pada buku
ini, insya Allah jelas bagi kita bahwa penghadiahan pahala baik itu
membaca Al-Quran, tahlilan, do’a maupun amalan-amalan sedekah yang ditujukan
atau dihadiahkan untuk si mayit, semuanya akan sampai pahalanya. Ingat jangan
lupa Rahmat dan Karunia Ilahi sangat luas sekali jangan kita sendiri yang
membatasinya!
Setelah membaca
keterangan-keterangan dan dalil-dalil yang telah di kemukakan, insya
Allah saudara-saudara kita yang menerima kesalahan informasi tersebut
bisa menjawab dan meneliti sendiri masalah-masalah yang masih diragukan !
5.20. Keterangan Singkat
Mengenai Sholat Jenazah Yang Ghaib
Sholat ghaib ialah
sholat untuk mayit yang tidak hadir (ghaib) disitu yakni yang berada diluar
kota atau negeri lain. Biasanya di Indonesia dikerjakan seusai sholat Jum’at
pada masjid-masjid Syafi’iyyah. Cara melakukan sholat ghaib ini sama seperti
apa yang dilakukan dalam sholat jenazah hanya diniatkan untuk mayit yang ghaib.
Sholat ini pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw yaitu pada waktu wafatnya
Najasyi Raja Habsyi.
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhori dan Muslim dari Jabir ra: “Bahwa Nabi saw menyalatkan Najasi (Raja
Habsyi), maka beliau membaca takbir empat kali”. Dan hadits Rasulallah saw dari
Abu Hurairah ra: “Bahwa Nabi saw mengumumkan wafatnya Najasi kepada khalayak
ramai pada hari ia wafat, dan pergi bersama mereka (para sahabat) menuju
kelapangan. Maka
dibariskannya para sahabatnya, dan disholatkannya dengan empat kali
takbir”.
Ibnu Hazm berkata:
“Mayat ghaib itu dishalatkan secara berjama’ah dengan memakai imam. Rasulallah
saw telah menyalatkan Najasyi ra yang wafat di Habsyi bersama para sahabat yang
berdiri bershaf-shaf. Ini merupakan ijma/yang tidak dapat dipungkiri”.Ini sudah
cukup sebagai dalil bahwa sholat ghaib pernah diamalkan oleh Rasulallah saw dan
tidak ada satu haditspun yang melarang orang sholat Ghaib, dengan demikian
bahwa sholat ghaib adalah termasuk sunnah Rasulallah sawoleh
Dalam kitab fiqih lima madzhab oleh Jawad
Mughniyah, disitu ditulis bahwa Imam Syafi'í dan Imam Ahmad membolehkan sholat
ghaib dengan dalil hadits diatas ini, tetapi Imam Malik, Imam Hanafi tidak
membolehkan sholat ghaib dengan alasan; Bahwa sholat gaib waktu itu khusus
untuk Rasulallah saw atau khusus untuk Najasi, dan setelah itu beliau
saw tidak pernah sholat ghaib terhadap kematian para sahabat walaupun mereka
jauh dari Nabi saw.
Dengan demikian orang yang mengamalkan sholat
ghaib adalah mengikuti hadits Rasulallah saw dan wejangan para imam diantaranya
Imam Syafi'í, para ulama madzhab Syafi'i dan Imam Ahmad -radhiyallahu'anhuma-.
Wallahua'lam
5.21. Membangun Masjid Disisi
Kuburan
Salah satu keyakinan Ahlusunah yang mempunyai dasar dalil
al-Qur’an, as-Sunnah dan prilaku Salaf Sholeh –yang dituduhkan sebagai perilaku
syirik oleh kelompok Wahabi– adalah tentang diperbolehkannya membangun masjid disisi
kuburan para Rasul, nabi dan waliyullah. Golongan pengingkar melarang hal ini,
sebagaimana yang di nyatakan (fatwa) oleh Ibnu Taimiyah –yang kemudian di-ikuti
(secara taklid buta) oleh segenap kelompok Wahabi– yang tercantum dalam
kitab al-Qaidah al-Jalilah hal. 22.
Ibn Taimiyah mengatakan: “Nabi melarang
menjadikan kuburannya sebagai masjid, yaitu tidak memperbolehkan seseorang pada
waktu-waktu shalat untuk mendatangi, shalat dan berdo’a di sisi kuburannya,
walaupun dengan maksud beribadah untuk Allah sekalipun. Hal
itu dikarenakan tempat-tempat semacam itu menjadi sarana untuk perbuatan
syirik. Yaitu boleh jadi nanti mengakibatkan seseorang melakukan do’a dan
shalat untuk ahli kubur dengan mengagungkan dan menghormatinya. Atas dasar itu
maka membangun masjid di sisi kuburan para waliyullah merupakan perbuatan haram.
Oleh karenanya walaupun pembangunan masjid itu sendiri merupakan sesuatu yang
ditekankan namun dikarenakan perbuatan seperti tadi dapat menjerumuskan
seseorang kedalam prilaku syirik maka hukumnya secara mutlak haram”.
Apa dalil dari ungkapan Ibnu Taimiyah diatas? Memang Ibnu
Taimiyah menyandarkan fatwanya tadi dengan hadits-hadits yang diriwayatkan
dalam beberapa kitab Ahlus- sunah. Namun sayangnya beliau tidak memiliki
analisa dan penerapan yang tepat dan bagus dalam memahami hadits-hadits tadi
sehingga menyebabkannya terjerumus kedalam kejumudan (kekakuan) dalam
menerapkannya. Selain pemahaman Ibnu Taimiyah terhadap hadits-hadits tadi
terlampau kaku, juga tidak sesuai dengan ayat al-Qur’an, as-Sunnah dan perilaku
Salaf Sholeh.
Ibnu Taimiyah menyandarkan fatwanya tersebut dengan
hadits-hadits sebagai berikut :
Pertama:
Rasulallah bersabda: “Allah melaknat kaum Yahudi dan
Nasrani dikarenakan mereka telah menjadikan kubur para nabinya sebagai tempat
ibadah”. (lihat kitab Shahih Bukhari jilid 2 halaman 111 dalam kitab al-Jana’iz
(jenazah-jenazah), hadits serupa juga dapat ditemukan dalam kitab Sunan
an-Nasa’i jilid 2 halaman 871 kitab al-Jana’iz) .
Kedua:
Sewaktu Ummu Habibah dan Ummu Salamah menemui Rasulallah
dan berbincang-bincang tentang tempat ibadah (gereja) yang pernah dilihatnya di
Habasyah, lantas Rasulallah bersabda: “Mereka adalah kaum yang setiap ada
orang sholeh dari mereka yang meninggal niscaya mereka akan membangun tempat
ibadah diatasnya dan mereka pun menghadapkanmukanya ke situ.
Mereka di akhirat kelak tergolong makhluk yang buruk di sisi Allah”. (
Shahih Muslim jilid 2 halaman 66 kitab al-Masajid)
Ketiga:
Dari Jundab bin Abdullah al-Bajli yang mengatakan; aku
mendengar lima hari sebelum Rasulallah meninggal, beliau bersabda: “Ketahuilah,
sesungguhnya sebelum kalian terdapat kaum yang menjadikan kuburan para nabi
mereka sebagai tempat ibadah. Namun janganlah kalian melakukan semacam
itu. Aku ingatkan hal tersebut pada kalian”. (lihat kitab Shahih Muslim
jilid 1 halaman 378)
Keempat:
Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau pernah bermunajat
kepada Allah swt dengan mengatakan: “Ya Allah, jangan Kau jadikan kuburku
sebagai tempat penyembahan berhala. Allah melaknat kaum yang menjadikan
kuburan para nabi sebagai tempat ibadah”. (lihat kitab Musnad Ahmad bin
Hanbal jilid 2 halaman 246)
Ini adalah riwayat-riwayat yang dijadikan dalil para
pengikut Wahabi/Salafi untuk mengatakan syirik terhadap kaum Ahlusunah
–termasuk di Indonesia– yang ingin membangun masjid disisi kubur para kekasih
Allah (waliyullah). Di Indonesia para sekte Wahabi tadi mengejek dan
menghinakan kuburan para sunan (dari Wali Songo) yang rata-rata disisi
makam mereka terdapat bangunan yang disebut masjid. Lantas apakah benar bahwa
hadits-hadits itu mengandung larangan pembuatan masjid disisi kubur para
waliyullah secara mutlak? Disini kita akan telaah dan kritisi cara berdalil
kaum Wahabi dalam menggunakan hadits-hadits shohih tadi sebagai sandarannya.
Ada beberapa poin yang harus diperhatikan dalam
mengkritisi dalil kaum Wahabi yang menjadikan hadits-hadits diatas sebagai
pelarangan pembangunan masjid disisi makam waliyullah secara
mutlak:
a. Untuk memahami
hadits-hadits tadi maka kita harus memahami terlebih dahulu tujuan/niat
kaum Yahudi dan Nasrani dari pembikinan tempat ibadah di sisi para manusia
sholeh mereka tadi. Dikarenakan melihat “tujuan buruk” kaum Yahudi dan Nasrani
dalam membangun tempat ibadah di sisi kuburan itu maka keluarlah larangan
Rasulallah. Dari hadits-hadits tadi dapat diambil suatu pelajaran bahwa kaum
Yahudi dan Nasrani telah menjadikan kuburan para nabi dan manusia sholeh dari
mereka bukan hanya sebagai tempat ibadah melainkan sekaligus sebagai kiblat (arah
ibadah). Kepada kuburan itulah mereka menghadapkan muka mereka sewaktu bersujud
(sebagai kiblat dan beribadah yang ditujukan pada penghuni kubur itu --pen.).
Hakekat perilaku inilah yang meniscayakan sama hukumnya dengan menyembah kuburan-kuburan
itu. Inilah yang dilarang dengan tegas oleh Rasulallah Muhammad
saw.
Jadi jika seorang muslim membangun masjid disisi kuburan
seorang waliyullah sekedar untuk mengambil berkah (baca bab
Tabarruk—pen.) dari tempat tersebut dan sewaktu ia melakukan shalat tidak
ada niatan sedikit pun untuk menyembah kubur tadi maka hal ini
tidak bertentangan dengan hadits-hadits di atas tadi, terkhusus hadits dari
Ummu Salamah dan Ummu Habibah yang menjelaskan kekhususan kaum Yahudi dan Nasrani
dalam menjadikan kubur manusia sholeh dari mereka sebagai tempat ibadah.
Al-Baidhawi dalam mensyarahi hadits tadi menyatakan: “Hal itu dikarenakan kaum
Yahudi dan Nasrani selalu mengagungkan kubur para nabi dengan melakukan sujud
dan menjadikannya sebagai kiblat (arah ibadah). Atas dasar inilah akhirnya kaum
muslimin dilarang untuk melakukan hal yang sama dikarenakan perbuatan ini
merupakan perbuatan syirik yang nyata. Namun jika masjid dibangun di sisi
kuburan seorang hamba sholeh dengan niatan ber-tabarruk(mencari berkah) maka pelarangan hadits tadi tidak
dapat diterapkan padanya”.
Hal serupa juga dinyatakan oleh As-Sanadi dalam
mensyarahi kitab Sunan an-Nasa’i jilid 2 halaman 41 dimana ia menyatakan: “Nabi
melarang umatnya untuk melakukan perbuatan yang mirip prilaku Yahudi dan
Nasrani dalam memperlakukan kuburan para nabi mereka, baik dengan menjadikannya
sebagai tempat sujud dan tempat pengagungan (pada kuburnya) maupun
arah kiblat dimana mereka akan menghadapkan wajahnya ke arahnya (kubur)
sewaktu ibadah”.
b. Sebagian
hadits di atas menyatakan akan pelarangan membangun masjid “diatas”
kuburan, bukan disisi (disamping) kuburan. Letak perbedaan redaksi
inilah yang kurang diperhatikan oleh kaum Wahabi dalam berdalil.
c. Begitu
juga tidak jelas apakah pelarangan (tempat ibadah dan arah kiblat) dalam hadits
itu menjurus kepada hukum haram ataupun hanya sekedar makruh
(tidak sampai pada derajat haram) saja. Hal itu dikarenakan Imam Bukhari dalam
kitab Shahihnya (lihat kitab Shahih al-Bukhari jilid 2 halaman 111) dimana
beliau mengumpulkan hadits-hadits itu ke dalam topik “Bab apa yang
dimakruhkan dari menjadikan masjid di atas kuburan” (Bab maa yukrahu min
ittikhodz al-Masajid ‘alal Qubur) dimana ini meniscayakan bahwa hal itu sekedar
pelarangan yang bersifat makruh saja yang selayaknya dihindari, bukan mutlak
haram.
Atas dasar itu, dalam kitab al-Maqolaat as-Saniyah
halaman 427 disebutkan bahwa Syeikh Abdullah Harawi dalam menjelaskan hadits
diatas tadi mengatakan: “Hadits tadi diperuntukkan bagi orang yang hendak
melakukan ibadah diatas kuburan para nabi dengan niat untuk mengagungkan
(menyembah) kubur mereka. Ini terjadi jika posisi kuburan itu nampak
(menonjol .red) dan terbuka. Jika tidak maka melaksanakan shalat di situ tidak
haram hukumnya”.
Begitu pula apa yang dinyatakan oleh
salah seorang ulama Ahlusunah lain yang bermadzhab Hanafi yang bernama Abdul
Ghani an-Nablusi dalam kitab al-Hadiqoh ast-Tsaniyah jilid 2 halaman 631. Ia menyatakan:
“Jika sebuah masjid dibangun di sisi kuburan (makam) orang sholeh ataupun di samping kuburannya
yang hanya berfungsi untuk mengambil berkahnyasaja, tanpa ada niatan
untuk mengagungkannya (maksud:menyembahnya) maka hal itu tidak mengapa.
Sebagaimana kuburan Ismail as terletakdi Hathim di dalam MasjidilHaram
dimana tempat itu adalah sebaik-baik tempat untuk melaksanakan shalat”.
Allamah Badruddin al-Hautsi pun menyatakan hal
serupa dalam kitab Ziarah al-Qubur halaman 28: “Arti dari mejadikan
kuburan sebuah masjid adalah seseorang menjadikan kuburan sebagai kiblat (arah
ibadah) dan untuknya dilaksanakan peribadatan”.
d. Bahkan
terbukti bahwa at-Tabrani dalam kitab al-Mu'jam al-Kabir jilid 3
halaman 204 menyatakan bahwa di dalam masjid Khaif (di Mina dekat Makkah
.red) terdapat delapan puluh makam para nabi, padahal masjid itu telah
ada semenjak zaman Salaf Sholeh. Lantas kenapa para Salaf Sholeh tetap
mempertahankan berdiri tegaknya masjid tersebut. Jika itu merupakan perbuatan
syirik (haram) maka selayaknya sejak dari dulu telah dihancurkan oleh
Rasulallah besrta para sahabat mulai beliau.
Dalil lain yang dijadikan oleh kaum Wahabi/Salafi
–terkhusus Ibnu Qoyyim al-Jauziyah– adalah kaidah Sadd adz-Dzarayi’
dimana kaidah itu menyatakan:
“Jika sebuah perbuatan secara dzatnya (esensial) dihukumi boleh ataupun sunah, namun dengan
melalui perbuatan itu menjadikan seseorang mungkin akan terjerumus kedalam
perbuatan haram maka untuk menghindari hal buruk tersebut –agar orang
tadi tidak terjerumus ke dalam jurang tersebut– perbuatan itupun lantas
dihukumi haram”. (lihat kembali kitab A’lam al-Muwaqi’in jilid 3 halaman
148).
Dalil diatas itu secara ringkas dapat kita jawab bahwa;
Dalam pembahasan Ushul Fikih disebutkan “Hanya mukadimah untuk pelaksanaan
perbuatan wajib yang menjurus secara langsungkepada kewajiban itu saja
yang juga dihukumi wajib” seperti kita tahu kewajiban wudu' karena ia
merupakan mukadimah langsung dari shalat yang wajib. Begitu juga dengan “mukadimah
yang menjurus langsung kepada hal haram, hukumnya pun haram”, jadi
tidak mutlak berlaku untu semua mukadimah.
Atas dasar ini maka membangun masjid disisi kuburan
manusia mulia (para nabi atau waliyullah) jika tidak untuk tujuan syirik,
maka tidak menjadi apa-apa (boleh). Dan terbukti mutlak bahwa mayoritas mutlak
masyarakat muslim disaat melakukan hal tersebut dengan niatan penghambaan
terhadap Allah (tidak untuk menyekutukan Allah/Syirik). Kalaupun ada seorang
muslim yang berniat melakukan syirik, itu merupakan hal yang sangat jarang
(minim) sekali (dan dosanya ditanggung orang ini karena kita tidak bisa
mengharam kan pembangunan masjid disisi kuburan disebabkan perbuatan
perorangan/ individu ini--pen).
Dalil inti yang dapat dijadikan argument diskusi dengan
pengikut Wahabi dalam masalah pelarangan membangun masjid di sisi makam para
manusia Sholeh adalah ayat dan perilaku Salaf Sholeh. Berikut ini
akan kami sebutkan beberapa dalil saja untuk meringkas pembahasan.
– Dalam ayat 21 dari surat al-Kahfi disebutkan: “Ketika
orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata:
“dirikanlah sebuah bangunan diatas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih
mengetahui tentang mereka”. orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka
berkata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan
diatasnya”.
Jelas sekali bahwa mayoritas masyarakat ahli tauhid
(monoteis) kala itu sepakat untuk membangun masjid disisi makam para penghuni
gua (Ashabul-Kahfi). Tentu kaum Wahabi pun sepakat dengan kaum muslimin lainnya
bahwa al-Qur’an bukan hanya sekedar kitab cerita yang hanya begitu saja
menceritakan peristiwa-peristiwa menarik zaman dahulu tanpa memuat ajaran untuk
dijadikan pedoman hidup kaum muslimin. Jika kisah pembuatan masjid di sisi
makam Ashabul-Kahfi merupakan perbuatan syirik maka pasti Allah swt menyindir
dan mencela hal itu dalam lanjutan kisah al-Qur’an tadi, karena syirik adalah
perbuatan yang paling dibenci oleh Allah swt. Namun terbukti Allah swt tidak
melakukan peneguran baik secara langsung maupun secara tidak langsung
(sindiran).
Atas dasar itu pula terbukti para ulama tafsir
Ahlusunah menyatakan, bahwa para penguasa kala itu adalah orang-orang yang
bertauhid kepada Allah swt., bukan kaum musyrik penyembah kuburan
(Quburiyuun). Hal ini seperti yang dikemukakan oleh az-Zamakhsari dalam kitab Tafsir
al-Kassyaf jilid 2 hal. 245, Fakhrurrazi dalam kitab Mafatihul Ghaib
jilid 21 hal. 105, Abu Hayyan al-Andalusy dalam kitab al-Bahrul Muhith
dalam menjelaskan ayat 21 dari surat al-Kahfi tadi dan Abu Sa’ud dalam kitab Tafsir
Abi Sa’ud jilid 5 hal. 215.
– Sebagai penutup akan kita lihat
perilaku Salaf Sholeh yang dalam hal ini diwakili oleh Abu Jundal salah
seorang sahabat mulia Rasulallah. Para Ahli sejarah menjelaskan peristiwa yang
dialami oleh Abu Jundal dengan menyatakan:
“Suatu saat, sepucuk surat Rasulallah
sampai ke tangan Abu Jundal. Kala surat itu sampai, Abu Bashir (juga sahabat mulia Rasulallah yang
menemani Abu Jundal .red) tengah mengalami sakaratul-maut (naza’). Beliau meninggal dengan posisi menggenggam surat
Rasulallah. Kemudian Abu Jundal mengebumikan beliau (Abu Bashir .red) di
tempat itu dan membangun masjid diatasnya”.
Kisah ini dapat dilihat dalam karya Ibnu Asakir dalam
kitab Tarikh Ibnu Asakirjilid 8
hal.334 dan atau kitab al-Isti’ab jilid 4 hal. 21-23 karya Ibnu Hajar.
Apakah mungkin seorang sahabat Rasulallah seperti Abu
Jundal melakukan perbuatan syirik? Jika itu syirik, mengapa Rasulallah saw. sendiri atau para sahabatnya
tidak menegurnya?Apakah Rasulallah dan sahabat-sahabat lain nya tidak tahu akan
peristiwa itu? Jika mereka tahu, kenapa mereka tetap membiarkannya
melakukan kesyirikkan? Jelas bahwa membangun masjid di sisi kuburan merupakan hal
yang diperbolehkan oleh Islam sesuai dengan dalil ayat al-Qur’an dan
prilaku Salaf Sholeh, hukumnya tidak seperti yang diklaimkan oleh kelompok
Wahabi yang berkedok Salafi itu. Wallahua’lam.
Dengan demikian golongan Wahabi/Salafi –sebagaimana
yang telah kami kemukakan– tidak bisa membedakan antara ibadah dan ta’dzim
(penghormatan tinggi), antara ibadah dan tabarruk pada
Rasulallah dan pada orang sholeh atau antaraibadah dan tawassul
pada Rasulallah, pada orang sholeh dan lain sebagainya. Golongan Wahabi
ini tidak bisa memahami tolok ukur Tauhid dan Syirik serta memahami
ayat-ayat ilahi dan sunnah Rasulallah secara tekstual dan literal saja tanpa
melihat motif dan makna yang dimaksudkan dalam ayat Ilahi atau Sunnah
Rasulallah saw. tersebut.
Telah kami kemukakan juga bahwa didalam masjid Nabawi
Madinah ada kuburan manusia yang termulia yaitu Rasulallah saw. dan
kuburan Sayidina Abubakar dan Sayidina Umar bin Khattab [ra], yang mana kaum
muslimin sholat disamping, dibelakang, dimuka kuburan yang mulia ini.
Kuburan ini –walaupun sekarang sekelilingnya diberi pagar besi–
letaknya malah bukan disisi masjid tetapi didalam
masjid Nabawi. Begitu juga kuburan (ibu) Nabi Ismail a.s di Hathim
didalam Masjidil Haram Makkah.
Jutaan muslimin setiap tahunnya berebutan untuk
bisa sholat disamping kiri dan kanan atau dimuka makam Nabi saw dan
di Hathim didalam Masjidil Haram Makkah. Kalau memang ini perbuatan syirik
dan haram, tidak mungkin dilaksanakan oleh jutaan muslimin yang sholat
di tempat-tempat ini –––baik dari kalangan ulama maupun kalangan awam. Tidak
lain semuanya bukan termasuk beribadah kepada kuburan (yakni tidak ada keniatan
untuk beribadah kepada kuburan melainkan hanya pengambilan barokah/tabarruk
pada tempat yang mulia itu—pen.) dan bukan perbuatan haram. Wallahu a'lam.
5.22. Memberi Penerangan Terhadap
Kuburan
Salah satu hal yang sangat dibenci dan diharamkan oleh
kaum Wahabi/ Salafi adalah memberi penerangan terhadap kuburan. Lepas dari
apakah fungsi dari pemberian penerangan tersebut, namun ketika mereka ditanya
tentang boleh atau tidaknya memberikan penerangan tersebut niscaya mereka akan
menjawab secara mutlak Haram. Apalagi selain memberi penerangan atas
kuburan juga ditambah dengan memberikan hiasan-hiasan pada makam para wali
(kekasih) Allah maka menurut mereka adalah haram di atas haram.
Golongan pengingkar ini menyandarkan pendapatnya dengan
riwayat yang dinukil oleh an-Nasa’i dalam kitab Sunan-nya jilid 4
halaman 95 atau kitab Mustadrak ala Shahihain jilid 1 halaman 530 hadits
ke-1384 yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasulallah saw. bersabda:
“Allah melaknat perempuan yang datang guna menziarahi kubur dan orang yang
menjadikan kubur sebagai masjid, juga buat orang yang meneranginya(kuburan)
dengan penerang”.
Padahal jika kita melihat pendapat para
ulama Ahlusunah lainnya, maka akan kita dapati bahwa mereka
membolehkannya, bahkan dalam beberapa hal justru sangat menganjurkannya. Lantas
apakah ulama Ahlusunah ini lupa atau lalai terhadap hadits terakhir diatas itu,
sehingga mereka menfatwakan yang bertentangan dengan hadits tersebut, bahkan
dengan tegas mereka menyatakan “boleh” untuk memberi penerangan dikuburan ?
Kami telah kemukakan sebelumnya mengenai argumentasi
hadits diatas itu, umpamanya pengakuan seorang ulama yang sangat diandalkan
oleh kelompok Wahabi sendiri
,Nashiruddin al-Albani, dalam kitabnya yang berjudul Tahdzirul
Masajid min it-Tikhodzil Qubur Masajid halaman 43-44 dimana ia mengatakan:
“Hadits ini telah dinukil oleh Abu Dawud dan selainnya. Namun dari sisi sanad(urutan
perawi) ternyata Hadits ini dihukumi lemah (Dha’if)”. )”.
Al-Albani kembali mengatakan: “Kelemahan hadits ini telah saya tetapkan
dalam kitab al-Ahadits adh-Dho’ifah wal Maudhu’ah wa Atsaruha as-Sayi’ fi
al-Ummah”.
Tetapi nyatanya banyak dari kelompok Salafi/Wahabi
sendiri tidak mengikuti wejangan ulamanya ini dan mengharamkan menerangi
kuburan dengan berdalil pada hadits diatas itu.
Diantara yang menyatakan bahwa hadits itu lemah adalah al-Muslim
(pemilik kitab shahih). Beliau dalam karyanya yang berjudul at-Tafshil mengatakan:
“Hadits ini tidak jelas. Masyarakat tidak berpegangan terhadap hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Shaleh Badzam. Orang itulah yang meriwayatkan hadits tadi
dari Ibnu Abbas. Tidak jelas apakah benar bahwa ia telah mendengarkan hadits
tersebut darinya (Ibnu Abbas)”.
Taruhlah bahwa analisa Nashiruddin al-Albani (ahli
hadits Wahabi) tadi tidak dapat kita terima, namun kembali harus kita lihat
argumentasi (dilalah) yang dapat kita lihat dari hadits tersebut. Jika kita
melihat kandungan haditsnya niscaya akan semakin terlihat kelemahan hadits
diatas tadi yang dijadikan landasan berpikir dan bertindak kaum Wahabi/Salafi
dan pengikutnya.
Pertama:
Tentu hadits itu tidak dapat diterapkan secara mutlak
pada semua kuburan, umpamanya;. kuburan para nabi, Rasulallah, waliyullah, imam
dan para ulama sholeh. Dimana mengagungkan kuburan mereka ini merupakan
perwujudan dari “Ta’dhim Sya’airallah” (pengagungan syiar-syiar Allah)
yang tercantum dalam ayat 32 surat al-Hajj dimana Allah swt berfirman: “Dan
barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari
ketakwaan hati”.
Bagaimana tidak, Shofa dan Marwah yang hanya dikarenakan
larian-larian kecil Siti Hajar (ibu nabi Ismail as.) yang bukan nabi saja
tergolong syiar Allah sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya Shafa dan
Marwah merupakan sebagian dari syiar Allah” (QS al-Baqarah: 158), apalagi
jika itu adalah bekas-bekas penghulu para nabi dan Rasul yang bernama Muhammad
saw. Ataupun bekas-bekas para ulama dan kekasih Allah (Waliyullah) dari umat
Muhammad yang dinyatakan sebagai pewaris para nabi dan ummat yang terbaik.
Kedua:
Hadits tadi hanya dapat diterapkan pada hal-hal yang
tidak ada manfaatnya sama sekali. Terkhusus kuburan orang biasa yang jarang
diziarahi oleh keluarga dan sanak familinya. Dengan memberi penerangan kuburan
semacam itu niscaya akan menyebabkan membuang-buang harta bukan pada tempatnya
(Israf /Mubadzir) yang tidak di anjurkan oleh Islam. Jadi pengharaman pada
hadits tadi lebih dikarenakan sesuatu yang lain, membuang-buang harta tanpa
tujuan (Mubadzir), bukanmasalah pemberian penerangan itu sendiri secara
mutlak.
Namun jika penerangan kuburan tersebut dipakai untuk
menerangi kuburan orang-orang mulia –seperti contoh di atas tadi–, dimana
kuburan tersebut sering dipakai orang untuk berziarah, membaca al-Qur’an,
membaca do’a, melaksanakan shalat dan kegiatan-kegiatan berfaedah lain yang
dihalalkan oleh Allah, maka dalam kondisi semacam ini bukan hanya tidak dapat
divonis haram atau makruh melainkan sangat dianjurkan. Karena hal ini menjadi
perwujudan dari ungkapan Ta’awun ‘alal Birri wat Taqwa (tolong menolong
dalam kebaikan dan takwa) sebagaimana yang diperintahkan dan dijelaskan dalam
al-Qur’an surat al-Maidah ayat 2 dimana Allah berfirman: “Dan tolong
menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong
menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran”.
Jelas hal itu bukan termasuk kategori dosa dan
pelanggaran, karena jika itu kenyataannya maka mungkinkah Rasulallah yang
kemudian diikuti oleh para Salaf Sholeh melakukan dosa dan pelanggaran,
sebagaimana nanti yang akan kita singgung ? Atas dasar itu pula akhirnya
para ulama Ahlusunah menyatakan “boleh” memberikan penerangan terhadap kuburan
para nabi, para Rasul dan para kekasih Ilahi (Waliyullah) lainnya.
Azizi dalam kitab Syarh Jami’ as-Shaghir jilid
tiga halaman 198 dalam rangka mensyarahi/menjelaskan makna hadits tadi
mengatakan: “Hadits tadi menjelaskan tentang ketidakperluan orang-orang yang
masih hidup akan penerang. Namun jika hal tadi menyebabkan manfaat (buat yang
masih hidup) maka tidak menjadi masalah”.
Sanadi dalam
mensyarahi kitab Sunan an-Nasa’i jilid keempat halaman 95 mengatakan: “Larangan
memberikan penerangan tersebut dikarenakan penggunaan lampu untuk hal tersebut
merupakan membuang-buang harta tanpa ada manfaat yang berarti. Hal ini meniscayakan
bahwa jika terdapat manfaat di balik itu semua maka hal itu telah
mengeluarkannya dari pelarangan”.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Syeikh Ali Nashif dalam
kitab at-Tajul Jami’ lil Ushul jilid pertama halaman 381: “Memberi
penerangan pada kubur merupakan perbuatan yang dilarang. Hal itu dikarenakan
membuang-buang harta. Kecuali jika disisi kuburan tersebut terdapat seorang
yang masih hidup (yang memerlukan penerangan) maka hukumnya tidak apa-apa”.
Dan terbukti bahwa penerangan terhadap kuburan
merupakan hal lumrah yang telah dilakukan oleh para Salaf Sholeh semenjak
dahulu. Khatib al-Baghdadi dalam kitab Tarikh al-Baghdadi jilid 1
halaman 154 yang pengisahannya disandarkan kepada seorang syeikh penduduk
Palestina, dimana ia menyatakan: “Kulihat terdapat bangunan yang terang yang
terletak di bawah tembok Kostantiniyah. Lantas kutanyakan perihal bangunan
tersebut. Mereka menjawab: “Ini adalah makam Abu Ayyub al-Anshari
seorang sahabat Rasulallah”. Kudatang mendekati makam tersebut. Kulihat makam
beliau terletak di dalam bangunan tersebut dimana terdapat lampu yang
tergantung dengan rantai dari arah atas atap”.
Ibnu Jauzi dalam kitab al-Muntadham jilid
14 halaman 383 menyatakan: “Salah satu kejadian tahun 386 Hijriyah adalah para
penghuni kota Basrah mengaku bahwa mereka telah berhasil menemukan kuburan tua
yang ternyata kuburan Zubair bin Awam. Setelah itu berbagai peralatan
penerangan dan penghias diletakkan (dalam pemakaman) dan lantas ditunjuk
seseorang yang bertugas sebagai penjaga. Dan tanah yang berada di sekitarnya
pun diwakafkan”.
Minimalnya, semua argument diatas merupakan bukti bahwa
pelarangan tersebut tidak sampai pada derajad haram, paling maksimal
hanyalah dapat divonis sebagai makruh (kurang disenangi) saja, dan (makruh)
inipun tidakmutlak. Terbukti ada beberapa hal yang menyebabkan
pemberian penerangan itu dihukumi boleh (Ja’iz). Malah jika itu termasuk
kategori Ta’dhim Sya’airallah atau Ta’awun ‘alal Birri wat Takwa –sebagaimana
yang telah kita singgung di atas tadi– maka tergolong sesuatu yang sangat
ditekankan/ dianjurkan.
Begitu juga hadits di atas tadi –larangan pemberian lampu
penerang– yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bertentangan dengan hadits lainnya
yang diriwayatkan juga oleh Ibnu Abbas yang pernah dinukil oleh at-Turmudzi
dalam kitab al-Jami’ as-Shahih jilid 3 halaman 372 bab ke-62 dimana Ibnu
Abbas berkata: “Suatu malam Rasulallah memasuki areal pemakaman (untuk
berziarah). Saat itu ada seseorang yang menyiapkan penerang buat beliau”.
Ini membuktikan bahwa menerangi pemakaman dengan lampu penerang tidak dapat
dihukumi haram secara mutlak, namun sangat bergantung terhadap tujuan dan
faedah di balik hal tersebut. Wallahua'lam.
5.23. Membuat Bangunan (Kubbah) Diatas
Kuburan
Kami tambahkan sedikit keterangan pendapat para
ulama pakar mengenai pembangunan kubbah dan memberi penerangan diatas
kuburan. Membuat bangunan diatas kuburan para sahabat Nabi, Ahlul-Bait, para
waliyullah dan para ulama dibolehkan (ja’iz), bahkan dipasang penutup (kain dan
sebagainya) pun dibolehkan.
Mengenai pemasangan kubbah diatasnya, para ulama berbeda
pendapat, jika kuburan itu terletak pada tanah wakaf atau diwakafkan
fi sabilillah. Lain halnya jika kuburan itu terletak pada tanah hak milik,
dalam hal ini tidak dilarang dan para ulama pun sepakat atas kebolehannya.
Menyalakan lampu diatas kuburan pun dibolehkan apabila bangun annya digunakan
sebagai musholla, atau sebagai tempat belajar ilmu, atau tempat
orang tidur didalam bangunan, membaca al-Qur’an atau untuk menerangi
lalu lintas sekitarnya. Semuanya ini dibolehkan.
Banyak riwayat diketengahkan oleh para ulama ahli hadits
dan para ulama ahli Fiqih mengenai ja’iznya (dibolehkannya) hal-hal
diatas itu. Bahkan diantara mereka ada yang berpendapat : ‘Meskipun
dengan maksud kemegahan’. Hal ini disebut dalam kitab Ad-Durr Al-Mukhtar.
Ada pula yang menegaskan ja’iznya pembuatan bangunan diatas kuburan, walau
berupa rumah. Demikian itulah yang dikatakan para ulama muhaqqiqun (para
ulama yang tidak diragukan kebenaran fatwa-fatwanya) dari empat madzhab
dan lain-lain.
Ibnu Hazm didalam Al-Muhalla mengatakan: “Jika
diatas kuburan itu dibangun sebuah rumah atau tempat persinggahan pun tidak
dimakruhkan (yakni boleh-boleh saja)”. Demikian juga yang dikatakan oleh Ibnu
Muflih didalam Al-Furu’, bagian dari Fiqh madzhab Hanbali.
Penulis Al-Mustau’ab dan Al-Muharrir
mengatakan: “Pembuatan kubbah (di kuburan), rumah dan tempat untuk berkumpul
diatas tanah milik sendiri tidak ada salahnya, karena penguburan jenazah
didalamnya dibolehkan”.
Demikian juga yang dikatakan oleh Ibnul-Qashshar dan
jama’ah madzhab Maliki, yaitu sebagaimana dikatakan oleh Al-Khattab didalam
Syarhul-Mukhtashar. Itu mengenai kuburan orang awam. Mengenai kuburan
orang-orang Sholeh, Ar-Rahmani mengatakan: “Diatas kuburan orang-orang sholeh
boleh didirikan bangunan, sekalipun berupa kubbah, guna menghidupkan ziarah dan
tabarruk”.
Murid Ibnu Taimiyyah yaitu Imam Ibnu Muflih dari
madzhab Hanbali menyatakan pendapatnya didalam Al-Fushul: ‘Mendirikan
bangunan berupa Kubbah, atau Hadhirah (tempat untuk berkumpul
jama’ah) diatas kuburan, boleh dilakukan asal saja kuburan itu berada ditanah
milik sendiri. Akan tetapi jika tanah itu telah diwakafkan di jalan Allah
(musbalah), hal itu makruh (tidak disukai), karena mengurangi luas tanah
tanpa guna’.
Mengenai Ibnu Muflih itu, Ibnul Qayyim yang juga
murid Ibnu Taimiyyah dari madzhab Hanbali, mengatakan : “Dibawah kolong langit
ini saya tidak melihat seorang ahli Fiqih (pada zamannya) madzhab Ahmad bin
Hanbal yang ilmunya melebihi dia (Ibnu Muflih)”. Wallahu a'lam.
Insya Allah semua keterangan dibab ini dan bab-bab
lainnya diwebsite ini, bisa memberi manfaat bagi kami sekeluarga khususnya
dan semua kaum muslimin, khususnya bagi orang yang mendapati kesalahan
informasi mengenai ziarah kubur dan lain-lain yang telah dikemukakan tadi.
Semoga hidayah Ilahi selalu mengiringi kita semua. Amin
Sebagai
manusia yang penuh kekurangan, kami mengharap masukan dan saran dari segenap
para pembaca budiman silahkan
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda