Fakta Bab 4, ttg bid'ah yg dipermasalahkan
BAB 4
Bid’ah
yang dipermasalahkan
Daftar isi Bab 4 ini diantaranya:
|
4.1. Apa yang dimaksud Bid'ah dalam hadits
Rasulallah saw.?
4.2. Contoh-contoh Bid’ah yang diamalkan para
Sahabat pada zaman Nabi saw.
4.3. Dalil-dalil yang berkaitan dengan Qadha
dalam Sholat
4.4. Sholat sunnah Qabliyah (sebelum) sholat Jum’at
4.5. Mengangkat
tangan waktu berdo'a
4.6. Menyebut nama
Rasul saw.dengan awalan kata sayyidina
4.7. Mengusap
wajah seusai berdo'a
4.8. Penggunaan Tasbih waktu berdzikir
bukanlah bid’ah sesat.
4.9. Keterangan singkat membaca Qunut
dalam sholat Shubuh dan dalil-dalinya
4.10.Tempat qunut, sesudah atau sebelum ruku'?
4.11.Hukum mengangkat tangan waktu qunut
4.12.Mengusap wajah sesudah qunut dalam shalat
4.13.Lafadh doa qunut
4.14.Alasan orang-orang yang membantah dan jawabannya
|
4.1. Apa Yang Dimaksud
Bid'ah Dalam Hadits Rasulallah Saw.?
Sunnah dan bid’ah adalah dua soal yang
saling berhadap-hadapan dalam memahami ucapan-ucapan Rasulallah saw. sebagai
Shohibusy-Syara’ (yang berwenang menetapkan hukum syari’at). Sunnah dan bid’ah
masing-masing tidak dapat ditentukan batas-batas pengertiannya, kecuali jika yang
satu sudah ditentukan batas pengertian nya lebih dulu. Tidak sedikit orang yang
menetapkan batas pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu batas
pengertian sunnah.
Karena itu mereka terperosok kedalam pemikiran sempit dan
tidak dapat keluar meninggalkannya, dan akhirnya mereka terbentur pada
dalil-dalil yang berlawanan dengan pengertian mereka sendiri tentang bid’ah.
Seandainya mereka menetapkan batas pengertian sunnah lebih dulu, tentu mereka
akan memperoleh kesimpulan yang tidak berlainan. Umpamanya dalam hadits berikut
ini tampak jelas bahwa Rasulallah saw. menekankan soal sunnah lebih
dulu, baru kemudian memperingatkan soal bid’ah.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya
dari Jabir ra.bahwa Rasulallah saw. bila berkhutbah tampak matanya
kemerah-merahan dan dengan suara keras bersabda: ‘Amma ba’du, sesungguhnya
tutur kata yang terbaik ialah Kitabullah (Al-Qur’an) dan petunjuk (huda)
yang terbaik ialah petunjuk Muhammad saw. Sedangkan persoalan yang terburuk
ialah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal yang diada-adakan ialah bid’ah,
dan setiap bid’ah adalah sesat’. (diketengahkan juga oleh Imam Bukhori
hadits dari Ibnu Mas’ud ra).
Makna hadits diatas ini diperjelas dengan hadits berikut
ini, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jarir ra.bahwa Rasulallah saw.
bersabda: ‘Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kebajikan ia
memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa
dikurangi sedikit pun juga. Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan
kejahatan ia memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya sesudah dia
tanpa dikurangi sedikit pun juga’ (Shohih Muslim V11 hal.61... Shahih Muslim hadits
no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi
Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi). Hadits ini
menjelaskan makna Bid’ah hasanah dan Bid’ah dhalalah.
Nabi saw mengetahui
bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan
berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman ─modernisasi, merajalela kemaksiatan
dan lain sebagainya─ maka dibolehkannya hal-hal yang baru, yang diadakan
─selama berada dalam kebaikan dan tidak keluar dari garis-garis yang telah
ditentukan oleh syariát Islam─, demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam
kemuliaan. Demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini, yang tetap akan bisa
dipakai hingga akhir zaman.
Mengenai pendapat yang
mengatakan bahwa hadits terakhir diatas ini adalah khusus untuk sedekah
saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam pemahaman
syariah, karena hadits diatas jelas sekali tidak menyebutkan pembatasan hanya
untuk sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah yang diamalkan
oleh para Sahabat dan Tabi’in. Begitu juga kaidah pokok yang telah
disepakati bulat oleh para ulama menetapkan; ‘Pengertian berdasarkan
keumuman lafadh, bukan ber- dasarkan kekhususan sebab’.
Dari hadits Jabir yang pertama diatas kita mengetahui dengan
jelas bahwa Kitabullah dan petunjuk Rasulallah saw., berhadap-hadapan dengan
bid’ah, yaitu sesuatu yang diada-adakan yang menyalahi Kitabullah dan
petunjuk Rasulallah saw. Dari hadits berikutnya kita melihat bahwa jalan
kebajikan (sunnah hasanah) berhadap-hadapan dengan jalan kejahatan (sunnah
sayyiah). Jadi jelaslah, bahwa yang pokok adalah Sunnah, sedangkan yang
menyimpang dan berlawanan dengan sunnah adalah Bid’ah dholalah.
- Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam kitab Mufradatul-Qur’an Bab
Sunan hal.245 mengatakan: ‘Sunan adalah jamak dari kata sunnah.
Sunnah sesuatu berarti jalan sesuatu, sunnah Rasulallah saw. berarti Jalan
Rasulallah saw. yaitu jalan yang ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau. Sunnatullah
dapat diartikan Jalan hikmah-Nya dan jalan mentaati-Nya. Contoh
firman Allah swt.dalam surat Al-Fatah : 23 : ‘Sunnatullah yang telah berlaku
sejak dahulu. Kalian tidak akan menemukan perubahan pada Sunnatullah itu’
.
Penjelasannya ialah bahwa cabang-cabang hukum syari’at
sekalipun berlainan bentuknya, tetapi tujuan dan maksudnya tidak berbeda dan tidak
berubah, yaitu membersihkan jiwa manusia dan mengantarkan kepada keridhoan
Allah swt. Demikianlah Ar-Raghib Al-Ashfahani.
- Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratul
Mustaqim hal.76 mengatakan: ‘Sunnah Jahiliyah adalah adat kebiasaan yang
berlaku dikalangan masyarakat jahiliyyah. Jadi kata sunnah dalam hal itu
berarti adat kebiasaan yaitu jalan atau cara yang berulang-ulang
dilakukan oleh orang banyak, baik mengenai soal-soal yang dianggap sebagai
peribadatan maupun yang tidak dianggap sebagai peribadatan’.
- Demikian juga dikatakan oleh Imam Al-Hafidh didalam Al-Fath
dalam tafsirnya mengenai makna kata Fithrah.Ia mengatakan, bahwa
beberapa riwayat hadits menggunakan kata sunnah sebagai pengganti kata fithrah,
dan bermakna thariqah atau jalan. Imam Abu Hamid dan
Al-Mawardi juga mengartikan kata sunnah dengan thariqah (jalan).
Karena itu kita harus dapat memahami sunnah Rasulallah saw.
dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi pada zamannya, yaitu
persoalan-persoalan yang tidak di lakukan, tidak diucapkan dan tidak
diperintahkan oleh beliau saw., tetapi dipahami dan diamalkan
oleh orang-orang yang berijtihad menurut kesanggupan akal pikirannya
dengan tetap berpedoman pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulallah saw.
Kita juga harus mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan
itu agar kita dapat memahami jalan atau sunnah yang ditempuh Rasulallah saw.
dalam membenarkan, menerima atau menolak sesuatu yang diamalkan orang. Dengan
mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu kita dapat mempunyai keyakinan
yang benar dalam memahami sunnah beliau saw. mengenai soal-soal baru yang
terjadi sepeninggal Rasulallah saw. Mana yang baik dan sesuai dengan Sunnah
beliau saw., itulah yang kita namakan Sunnah, dan mana yang buruk, tidak
sesuai dan bertentangan dengan Sunnah Rasulallah saw., itulah yang kita namakan
Bid’ah dholalah. Ini semua baru dapat kita ketahui setelah kita dapat membedakan
lebih dahulu mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.
Mungkin ada orang yang mengatakan bahwa sesuatu kejadian
yang dibiarkan (tidak dicela dan tidak dilarang) oleh Rasulallah saw. termasuk
kategori sunnah. Itu memang benar, akan tetapi kejadian yang dibiarkan
oleh beliau itu merupakan petunjuk juga bagi kita untuk dapat mengetahui
bagaimana cara Rasulallah saw. membiarkan atau menerima kenyataan yang terjadi.
Perlu juga diketahui bahwa banyak sekali kejadian yang dibiarkan Rasulallah
saw. tidak menjadi sunnah dan tidak ada seorangpun yang mengatakan itu
sunnah. Sebab, apa yang diperbuat dan dilakukan oleh beliau saw. pasti lebih
utama, lebih afdhal dan lebih mustahak di-ikuti. Begitu juga suatu kejadian
atau perbuatan yang didiamkan atau dibiarkan oleh beliau saw. merupakan
petunjuk bagi kita bahwa beliau saw. tidak menolak sesuatu yang baik,
jika yang baik itu tidak bertentangan dengan tuntunan dan petunjuk beliau saw.
serta tidak mendatangkan akibat buruk! Itulah yang dimaksud oleh
kesimpulan para ulama yang mengatakan, bahwa sesuatu yang diminta oleh
syara’ baik yang bersifat khusus maupun umum, bukanlah bid’ah, kendati pun
sesuatu itu tidak dilakukan dan tidak diperintahkan secara khusus oleh
Rasulallah saw.!
Mengenai persoalan itu banyak sekali hadits shohih dan hasan
yang menunjukkan bahwa Rasulallah saw. sering membenarkan prakarsa baik (umpama
amal perbuatan, dzikir, do’a dan lain sebagainya) yang diamalkan oleh para
sahabatnya.(silahkan baca uraian selanjutnya).
Tidak lain para sahabat mengambil prakarsa dan
mengerjakannya berdasarkan pemikiran dan keyakinannya sendiri, bahwa yang
dilakukannya itu merupakan kebajikan yang dianjurkan oleh agama Islam dan
secara umum diserukan oleh Rasulallah saw. Mereka juga berpedoman pada
firman Allah swt.dalam surat Al-Hajj:77: ‘Hendaklah kalian berbuat
kebajikan, agar kalian memperoleh keberuntungan’ .
Walaupun para sahabat berbuat amalan atas dasar prakarsa
masing-masing, itu tidak berartisetiap orang dapat mengambil prakarsa,
karena agama Islam mempunyai kaidah-kaidah dan pedoman-pedoman yang telah
ditetapkan batas-batasnya. Amal kebajikan yang prakarsanya diambil oleh para
sahabat Nabi saw. berdasarkanijtihad dapat dipandang sejalan dengan
sunnah Rasulallah saw. jika amal kebajikan itu sesuai dan tidak bertentangan
dengan syari’at. Jika menyalahi ketentuan syari’at maka prakarsa itu tidak
dapat dibenarkan dan harus ditolak !
Pada dasarnya semua amal kebajikan yang
sejalan dengan tuntutan syari’at, tidak bertentangan dengan Kitabullah dan
Sunnah Rasulallah saw, dan tidak mendatangkan madharat/akibat buruk, tidak dapat
disebut Bid’ah menurut pengertian istilah syara’. Nama yang tepat adalah
Sunnah Hasanah, sebagaimana yang terdapat dalam hadits Rasulallah saw.
yang lalu. Amal kebajikan seperti itu dapat disebut ‘Bid’ah’ hanya
menurut pengertian bahasa, karena apa saja yang baru diadakandisebut
dengan nama Bid’ah.
Ada orang berpegang bahwa istilah
bid’ah itu hanya satu saja dengan berdalil sabda Rasulallah saw. “Setiap
bid’ah adalah sesat...” (Kullu bid’atin dholalah), serta tidak ada
istilah bid'ah hasanah, wajib dan sebagainya. Setiap amal yang
dikategorikan sebagai bid'ah, mereka hukumkan haram untuk diamalkan,
karena bid'ah dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang haram dikerjakan
secara mutlak. Sayangnya mereka ini tidak mau berpegang kepada hadits–hadits lain
(ikutilah uraian selanjut nya), yang membuktikan sikap Rasulallah saw.
yang membenarkan dan meridhoi berbagai amal kebajikan tertentu (yang baru
‘diadakan’), yang diamalkan para sahabatnya, yang sebelum dan sesudahnya
tidak ada perintah dari beliau saw.!
Disamping itu banyak
sekali amal kebajikan yang diamalkan ,setelah wafatnya Rasulallah
saw, oleh isteri Nabi saw. ,'Aisyah ra, Khalifah 'Umar bin
Khattab serta para sahabat lainnya yang mana amalan-amalan ini
tidak pernah adanya petunjuk dari Rasulallah saw dan
mereka kategorikan atau ucapkan sendiri sebagai amalan bid'ah. Tidak
ada satupun dari para sahabat yang mencela atau mengatakan kepada mereka ini,
bahwa sebutan bid'ah itu adalah otomatis haram, sesat
dan tidak ada kata bid'ah selain haram. Untuk mencegah timbulnya kesalah-pahaman mengenai kata
Bid’ah itulah para Imam dan ulama Fiqih memisahkan makna Bid’ah menjadi
beberapa jenis, misalnya:
Menurut Imam Syafi’i tentang pemahaman bid’ah
ada dua riwayat yang menjelaskannya.
اَلبِدعَة بِدعَتَانِ , بِدعَة
ٌمَحمودَةٌ وَبِدعَةِ مَذمومَةٌ فِمَا وَافَقَ السّنَّةَ فَهوَ
مَحمودَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهو
مَذموم
Artinya: ‘Bid’ah itu ada dua
macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah
yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid’ah yang terpuji sedangkan yang
menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela’.
Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam
Syafi’i :
اَلمحدَثَات
ضَربَانِ, مَا احدِثَ يخَالِف كِتَابًا اَو سنَّةً اَو أثَرًا اَو اِجمَاعًا
فَهَذِهِ بِدعَة الضّلالَة وَمَا احدِثَ مِنَ الخَيرِ لاَ يخَالِف شَيئًا ِمن
ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدعَةٌ غَيرمَذمومَةٌ
Artinya: 'Perkara-perkara baru itu ada dua
macam. Pertama, perkara-perkara baru yang menyalahi Al-Qur’an, Hadits,
Atsar atau Ijma’, inilah bid’ah dholalah/sesat. Kedua,
adalah perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan
dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini
tidaklah tercela’.
Didalam kitab tafsirImam Qurtubi juz. 2
halaman 86-87 mengatakan: “ Imam Syafi’i berkata, bahwa bid’ah terbagi dua,
yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela),
maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan
sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra
mengenai shalat tarawih: ‘inilah sebaik-baik bid’ah’ “.
Selanjutnya Al-Hafidh Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubi rahimahullah berkata:
Selanjutnya Al-Hafidh Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubi rahimahullah berkata:
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam
Syafi’i), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yg
berbunyi: ‘seburuk buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bid’ah
adalah dhalalah’ (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin
dhalaalah), yang dimaksud adalah hal-hal yang tidak sejalan dengan
Alqur’an dan Sunnah Rasul saw., atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum,
sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya: ‘Barangsiapa
membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahala dan pahala
orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan
barang siapa membuat-buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosa
dan dosa orang yg mengikutinya’ (Shahih Muslim hadits no.1017--red), dan
hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik
(hasanah) dan bid’ah yang sesat (dholalah)”. (Tafsir Imam Qurtubi
juz 2 hal. 87)
Menurut kenyataan memang demikian, ada bid’ah yang baik dan terpuji dan ada pula bid’ah yang buruk dan tercela. Banyak sekali para Imam dan para pakar yang sependapat dengan Imam Syafi’i itu. Bahkan banyak lagi yang menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti; Imam Nawawi, Imam Ibnu ‘Abdussalam, Imam Al-Qurafi, Imam Ibnul-‘Arabi, Imam Al-Hafidh Ibnu Hajar dan lain-lain.
Al-Muhaddits Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin
Syaraf Annawawi rahimahullah (Imam Nawawi) “Penjelasan mengenai hadits: ‘Barangsiapa
membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala
orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan
barangsiapa membuat-buat hal baru yang dosanya….’, hadits ini merupakan
anjuran untuk membuat kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat
kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda
beliau saw: ‘semua yang baru adalah Bid’ah, dan semua yang Bid’ah adalah
sesat’, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan
Bid’ah yang tercela ” . (Syarh An-nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal
104-105).
Dan berkata pula Imam Nawawi:
Dan berkata pula Imam Nawawi:
“Bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi
lima bagian, yaitu bid’ah wajib, bid’ah mandub, bid’ah mubah,
bid’ah makruh dan bid’ah haram. Bid’ah wajib contohnya
adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemungkaran,
contoh bid’ah mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat
dosa bila ditinggal kan) adalah membuat buku-buku ilmu syariah, membangun
majelis ta’lim dan pesantren. Contoh bid’ah mubah adalah bermacam-macam
dari jenis makanan dan bid’ah makruhdan haram sudah jelas di ketahui,
demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana
ucapan Umar ra atas jama’ah tarawih bahwa ‘inilah sebaik-baik bid’ah’ ”.
(Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya
Fathul Baari 4/318 sebagai berikut: “Pada asalnya bid’ah itu berarti sesuatu
yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Menurut syara’
bid’ah itu dipergunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan
sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat bahwa bid’ah itu apabila dia
termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka dia
menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh
syara’, maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk bagian
yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima”.
Pendapat beliau ini senada juga yang
diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut ini :
Jalaluddin as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul
Maqooshid fii ‘Amalil Maulid dan juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii
Sholaatit Taroowih; Az-Zarqooni dalam Syarah al Muwattho’ ; Izzuddin
bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa’id ; As-Syaukani dalam Nailul Author
; Ali al Qoori’ dalam Syarhul Misykaat; Al-Qastholaani dalam Irsyaadus
Saari Syarah Shahih Bukhori, dan masih banyak lagi ulama lainnya yang
senada dengan Ibnu Hajr ini, yang tidak kami kutip disini.
Ada golongan lagi yang tidak
mengakui adanya bid'ah hasanah/mahmudah, tetapi mereka sendiri ada yang membagi
bid'ah menjadi beberapa macam. Ada bid'ah mukaffarah (bid'ah kufur),
bid'ah muharramah (bidáh haram) dan bid'ah makruh (bidáh yang tidak disukai).
Mereka tidak menetapkan adanya bid'ah mubah, seolah-olah mubah itu tidak
termasuk ketentuan hukum syari'at, atau seolah-olah bid'ah diluar bidang ibadah
tidak perlu dibicarakan.
Bila semua bid’ah (masalah yang baru) adalah
dholalah/sesat atau haram, maka amalan-amalan para sahabat serta para
ulama ,contoh berikut ini, yang belum pernah dilakukan atau diperintahkan
Rasulallah saw. semuanya itu akan menjadi sesat/dholalah atau haram, misalnya:
a). Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an,
penulisannya serta pengumpulannya (kodifikasinya) sebagai Mushhaf (Kitab)
yang dilakukan oleh sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit [ra]
adalah haram. Padahal tujuan mereka untuk menyelamatkan dan melestarikan
keutuhan dan keautentikan ayat-ayat Allah. Mereka khawatir kemungkinan ada
ayat-ayat Al-Qur’an yang hilang karena orang-orang yang menghafalnya meninggal.
b). Perbuatan khalifah Umar bin Khattab
ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih bermakmum pada seorang
imam adalah haram. Bahkan ketika itu beliau sendiri berkata : ‘Bid’ah
ini sungguh nikmat’. ( Shohih Bukhori hadits nr.1906)
c). Pemberian gelar atau titel
kesarjanaan seperti; doktor, drs dan sebagainya pada universitas Islam adalah
haram, karena pada zaman Rasulallah saw. cukup banyak para sahabat yang pandai
dalam belajar ilmu agama, tapi tidak satupun dari mereka memakai titel
dibelakang namanya.
d). Mengumandangkan adzan dengan
pengeras suara, membangun rumah sakit, panti asuhan untuk anak yatim piatu,
membangun penjara untuk mengurung orang yang bersalah berbulan-bulan atau
bertahun-tahun baik itu kesalahan kecil maupun besar dan sebagainya adalah
haram. Sebab dahulu orang yang bersalah diberi hukumannya tidak harus
dikurung dahulu.
e). Tambahan adzan sebelum khotbah
Jum’at, yang dilaksanakan pada zamannya khalifah Usman ra. Sampai sekarang bisa
kita lihat dan dengar pada waktu sholat Jum’at baik di Indonesia, di masjid
Haram Mekkah dan Madinah dan negara-negara Islam lainnya. Hal ini dilakukan
oleh khalifah Usman karena bertambah banyaknya ummat Islam (HR,Bukhori
hadits nr.873) .
f). Menata ayat-ayat Al-Qur’an dan
memberi titik pada huruf-hurufnya, memberi nomer pada ayat-ayatnya. Mengatur
juz dan rubu’nya dan tempat-tempat dimana dilakukan sujud tilawah, menjelaskan
ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap surat dan sebagainya.
g). Begitu juga masalah menyusun
kekuatan yang diperintahkan Allah swt. kepada ummat Muhammad saw. Kita tidak
terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa dilaku- kan oleh kaum muslimin
pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau melarang penggunaan
pesawat-pesawat tempur, tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, roket-roket
dan persenjataan modern lainnya.
Masih banyak lagi contoh-contoh bid’ah,
yang berkaitan dengan peribadatan, seperti mengadakan bacaan syukuran
waktu memperingati hari kemerdekaan, halal bihalal, memperingati hari ulang
tahun berdirinya sebuah negara atau pabrik dan sebagainya (pada
waktu memperingati semua ini, mereka sering mengadakan bacaan
syukuran), yang mana semua ini belum pernah dilakukan pada masa hidupnya
Rasulallah saw. serta para pendahulu kita dimasa lampau. Juga didalam manasik
haji banyak kita lihat dalam hal peribadatan tidak sesuai dengan zamannya
Rasulallah saw. atau pada zamannya para sahabat dan tabi'in, umpamanya;
pembangunan hotel-hotel disekitar Mina dan tenda-tenda yang pakai full a/c
sehingga orang tidak akan kepanasan, nyenyak tidur, menaiki mobil yang
tertutup (beratap) untuk ke Arafat, Mina atau kelain tempat yang dituju
untuk manasik Haji tersebut dan lain sebagainya.
Sesungguhnya bid'ah (masalah baru)
tersebut ,walaupun tidak pernah dilakukan pada masa Nabi saw. serta para
pendahulu kita, selama masalah ini tidak menyalahi syari’at Islam, bukan
berarti haram untuk dilakukan. Kalau semua masalah baru tersebut dianggap
bid’ah dholalah (sesat), maka akan tertutup pintu ijtihad para ulama, terutama
pada zaman sekarang tehnologi yang sangat maju sekali, tapi alhamdulillah
pikiran dan akidah sebagian besar umat muslim tidak sedangkal itu.
Sebagaimana telah kami cantumkan
sebelumnya, bahwa para ulama diantaranya Imam Syafi’i, Al-Izz bin Abdis Salam,
Imam Nawawi dan Ibnu Atsir ra. serta para ulama lain nya menerangkan:
“Bid’ah/masalah baru yang diadakan ini bila tidak menyalahi atau menyimpang
dari garis-garis syari’at, semuanya mustahab (dibolehkan) apalagi dalam hal
kebaikan dan sejalan dengan dalil syar’i adalah bagian dari agama”.
Semua amal kebaikan yang dilakukan para
sahabat, kaum salaf sepeninggal Rasulallah saw. telah diteliti para ulama dan
diuji dengan Kitabullah, Sunnah Rasulallah saw. dan kaidah-kaidah hukum
syari’at. Dan setelah diuji ternyata baik, maka prakarsa tersebut dinilai baik
dan dapat diterima. Sebaliknya, bila setelah diuji ternyata buruk, maka hal
tersebut dinilai buruk dan dipandang sebagai bid’ah tercela.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha'us
Shiratil-Mustaqim banyak menyebutkan bentuk-bentuk kebaikan dan sunnah yang
dilakukan oleh generasi-generasi yang hidup pada abad-abad permulaan
Hijriyyah dan zaman berikutnya. Kebajikan-kebajikan yang belum pernah
dikenal pada masa hidupnya Nabi Muhammad saw. itu diakui kebaikannya
oleh Ibnu Taimiyyah. Beliau tidak melontarkan celaan terhadap ulama-ulama
terdahulu yang mensunnahkan kebajikan tersebut, seperti Imam Ahmad bin Hanbal,
Ibnu Abbas, Umar bin Khattab dan lain-lainnya. Diantara kebajikan
yang disebutkan oleh beliau dalam kitabnya itu ialah pendapat Imam Ahmad bin
Hanbal diantaranya : Mensunnahkan orang berhenti sejenak disebuah tempat dekat
gunung 'Arafah sebelum wukuf dipadang 'Arafah bukannya didalam masjid
tertentu sebelum Mekkah , mengusap-usap mimbar Nabi saw. didalam
masjid Nabawi di Madinah, dan lain sebagainya.
Ibnu Taimiyyah membenarkan pendapat
kaum muslimin di Syam yang mensunnahkan shalat disebuah tempat dalam
masjid Al-aqsha (Palestina), tempat khalifah Umar dahulu pernah
menunaikan sholat. Padahal sama sekali tidak ada nash mengenai sunnahnya
hal-hal tersebut diatas. Semuanya hanyalah pemikiran atau ijtihad mereka
sendiri dalam rangka usaha memperbanyak kebajikan, hal mana kemudian diikuti
oleh orang banyak dengan i’tikad jujur dan niat baik.
Meskipun begitu, dikalangan muslimin
pada masa itu tidak ada yang mengatakan: "Kalau hal-hal itu baik, tentu
sudah diamalkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada zaman sebelumnya”
(perkataan semacam ini sering diungkapkan oleh golongan pengingkar).
Masalah-masalah serupa itu banyak
disebut oleh Ibnu Taimiyyah dikitab Iqtidha ini, antara lain soal tawassul
(doá perantaran) yang dilakukan oleh isteri Rasulallah saw. ,'Aisyah ra.,
yaitu; ketika ia membuka penutup makam Nabi saw. lalu sholat istisqa
(sholat mohon hujan) ditempat itu, tidak beberapa lama turunlah hujan di
Madinah, padahal tidak ada nash sama sekali mengenai cara-cara seperti
itu. Walaupun itu adalah hal yang baru (bid'ah) tapi dipandang baik oleh kaum
muslimin, dan tidak ada sahabat yang mencela dan mengatakan bid’ah
dholalah/sesat.
Sebuah hadits yang diketengahkan oleh Imam
Bukhori dalam shohihnya jilid 1 halaman 304 dari Siti 'Aisyah ra.,
bahwasanya ia selalu sholat Dhuha, padahal Aisyah ra. sendiri berkata
bahwa ia tidak pernah menyaksikan Rasulallah saw. sholat dhuha.
Pada halaman 305 dibuku ini Imam
Bukhori juga mengetengahkan sebuah riwayat yang berasal dari Mujahid yang
mengatakan: "Saya bersama Úrwah bin Zubair masuk kedalam masjid Nabi saw..
Tiba-tiba kami melihat Abdullah bin Zubair sedang duduk dekat kamar 'Aisyah ra
dan banyak orang lainnya sedang sholat dhuha. Ketika hal itu kami tanyakan
kepada 'Abudllah bin Zubair (mengenai sholat dhuha ini) ia menjawab : "Bidáh". Kami
hanya memberi contoh sholat dhuha, tetapi tidak bermaksud untuk membahasnya
dalam website ini.
'Aisyah ra seorang isteri Nabi saw.
yang terkenal cerdas, telah mengatakan sendiri bahwa dia sholat dhuha tetapi
menurut kesaksiannya Nabi saw. tidak pernah mengamalkannya. Begitu
juga 'Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mengucapkan kata-kata bid'ah
untuk sholat dhuha, tetapi tidak seorangpun yang mengatakan bahwa bid'ah itu bid'ah
dholalah, yang pelakunya akan dimasukkan keneraka! Dengan demikian masalah
baru yang dinilai baik dan dapat diterima ini disebut bid’ah hasanah.
Sesuatu amalan yang dikerjakan oleh isteri Nabi atau para sahabat yang
tersebut diatas bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya itu bisa disebut
bid’ah, tapi sebagai bid’ah hasanah. Semuanya ini dalam pandangan hukum
syari’at bukan bid’ah melainkan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang
ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad.
Dalam makalah As-Sayyid Muhammad bin Alawiy
Al-Maliki Al-Hasani rh yang berjudul Haulal Ihtifal bil Mauliddin
Nabawiyyisy Syarif tersebut disebutkan: Yang dikatakan oleh orang fanatik
(extreem) bahwa apa-apa yang belum pernah dilakukan oleh kaum salaf, tidaklah
mempunyai dalil bahkan tiada dalil sama sekali bagi hal itu. Ini bisa di jawab
bahwa tiap orang yang mendalami ilmu ushuluddin mengetahui bahwa
Asy-Syar’i (Rasulallah saw.) menyebutnya bid’ahtul hadyi (bid’ah dalam
menentukan petunjuk pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya) sunnah, dan menjanjikan
pahala bagi
pelakunya.
Firman Allah swt. ‘Dan hendaklah ada
diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung’. (Ali
Imran (3) : 104).
Allah swt. berfirman : ‘Hendaklah
kalian berbuat kebaikan agar kalian memperoleh keuntungan”. (Al-Hajj:77)
Abu Mas’ud (Uqbah) bin Amru
Al-Anshory ra berkata; bersabda Rasulallah saw.;
وَعَن أبِي مَسعودِ (ر) عقبَة ِبن عَمرو الأ
نصَارِيّ قَالَ: قَالَ رَسول الله .صَ. : مَن دَلَّ عَلىَ خَيرٍ فَلَه
مِثـل أَجر فَاعِله(رواه مسلم)
Artinya: ‘Siapa
yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala sama dengan yang
mengerjakannya’. ( HR.Muslim)
Dalam hadits riwayat Muslim Rasulallah
saw. bersabda:
‘Barangsiapa menciptakan satu gagasan
yang baik dalam Islam maka dia memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang
melaksanakannya dengan tanpa di kurangi sedikitpun, dan barangsiapa menciptakan
satu gagasan yang jelek dalam Islam maka dia terkena dosanya dan juga dosa
orang-orang yang mengamalkan nya dengan tanpa dikurangi sedikitpun”. Masih banyak lagi hadits yang
serupa/semakna, yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah dan dari Ibnu Mas’ud
ra.
Sebagian golongan memberi takwil bahwa
yang dimaksud dengan kalimat sunnah dalam hadits diatas adalah; Apa-apa
yang telah ditetapkan oleh Rasulallah saw. dan para Khulafa’ur Roosyidin, bukan
gagasan-gagasan baik yang tidak terjadi pada masa Rasulallah saw dan Khulafa’ur
Rosyidin. Yang lain lagi memberikan takwil bahwa yang dimaksud dengan
kalimat sunnah hasanah dalam hadits itu adalah; sesuatu yang
diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang
mendatang kan manfaat, sedangkan maksud sunnah sayyiah/buruk adalah sesuatu
yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang
mendatangkan bahaya dan kemudharatan.
Dua macam pembatasan mereka diatas ini
mengenai makna hadits yang telah kami kemukakan itu merupakan satu bentuk
pembatasan hadits dengan tanpa dalil, karena secara jelas hadits
tersebut membenarkan adanya gagasan-gagasan kebaikan pada masa
kapanpundengan tanpa ada pembatasan pada masa-masa tertentu. Juga secara
jelas hadits itu menunjuk kepada semua perkarayang diadakan dengan tanpa ada
contoh yang mendahului, baik dia itu dari perkara-perkara dunia ataupun
perkara-perkara agama!
Sedangkan makna atau keterangan hadits
Rasulallah saw. berikut ini: "Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku
dan sunnah para Khalifah Rasyidun sepeninggalku". (HR.Abu Daud dan
Tirmidzi) ialah:
Yang dimaksud sunnah dalam
hadits itu adalah thariqah yakni jalan (baca keterangan sebelumnya),
cara atau kebijakan; dan yang dimaksud Khalifah Rasyidun ialah para
penerus kepemimpinan beliau yang lurus .Sebutan itu tidak terbatas
berlaku bagi empat Khalifah sepeninggal Rasulallah saw. saja, tetapi
dapat diartikan lebih luas, berdasarkan makna Hadits yang lain : "Para
ulama adalah ahli-waris para Nabi ".
Dengan demikian hadits itu dapat
berarti dan berlaku pula untuk para ulama dikalangan kaum muslimin berbagai
zaman, mulai dari zaman kaum Salaf (dahulu), zaman kaum Tabi'in,
Tabi'it-Tabi'in dan seterusnya; dari generasi ke generasi, mereka adalah
Ulul-amri yang disebut dalam Al-Qur'an surat An-Nisa : 63 : "Sekiranya
mereka menyerah- kan (urusan itu) kepada Rasulallah dan Ulul-amri
(orang-orang yang mengurus kemaslahatan ummat) dari mereka sendiri, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui
dari mereka (ulul-amri)”.
Para alim-ulamabukan kaum awam adalah yang mengurus kemaslahatan ummat
Islam, khususnya dalam kehidupan beragama. Sebab, mereka itulah yang mengetahui
ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum agama. Ibnu Mas'ud ra. menegaskan :
"Allah telah memilih Muhammad saw. (sebagai Nabi dan Rasulallah)
dan telah pula memilih sahabat-sahabatnya. Karena itu apa yang dipandang baik
oleh kaum muslimin, baik pula dalam pandangan Allah " .
Demikian yang diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnad-nya dan
dinilainya sebagai hadits Hasan (hadits baik).
Dengan pengertian penakwilan kalimat sunnah
dalam hadits yang salah ini, golongan tertentu ini dengan mudah
membawa keumuman hadits kullu bid’atin dholalah (semua bid’ah adalah
sesat) terhadap semua perkara baru, baik yang bertentangan dengan nash dan
dasar-dasar syari’at maupun yang tidak. Berarti mereka telah mencampur-aduk
kata bid’ah itu antara penggunaannya yang syar’i dan yang lughawi
(secara bahasa), dan mereka telah terjebak dengan ketidak pahaman bahwa
keumuman yang terdapat pada hadits hanyalah terhadap bid’ah yang syar’i yaitu
setiap perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar syari'at. Jadi
bukan terhadap bid’ah yang lughawi yaitu setiap perkara baru yang
diadakan dengan tanpa adanya contoh.
Bid’ah lughawi inilah yang terbagi dua
yang pertama adalah mardud yaitu perkara baru yang bertentangan
dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang disebut bid’ah dholalah,
sedangkan yang kedua adalah kepada yang maqbul yaitu perkara baru yang tidak
bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at, dan inilah yang dapat
diterima walaupun terjadinya itu pada masa-masa dahulu/pertama atau sesudahnya.
Barangsiapa yang memasukkan semua
perkara baru yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw, para sahabat dan
mereka yang hidup pada abad-abad pertama itu dalam bid’ah dholalah, maka dia haruslah mendatangkan
terlebih dahulu nash-nash yang khos (khusus) untuk masalah yang baru itu
maupun yang ‘am (umum), agar yang demikian itu tidak bercampur-aduk
dengan bid’ah yang maqbul berdasarkan penggunaannya yang lughawi. Karena tuduhan
bid’ah dholalah pada suatu amalan sama halnya dengan tuduhan mengharamkan
amalan tersebut.
Kalau kita baca hadits dan firman Ilahi
diwebsite ini, kita malah diharuskan sebanyak mungkin menjalankan ma’ruf
(kebaikan) yaitu semua perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah
swt., dan menjauhi yang mungkar (keburukan) yaitu semua perbuatan yang menjauhkan
kita dari pada-Nya, agar kita memperoleh keuntungan (pahala dan kebahagian
didunia maupun diakhirat kelak). Begitupun juga orang yang menunjukkan kepada
kebaikan tersebut akan diberi oleh Allah swt. pahala yang sama dengan orang
yang mengerjakannya.
Apakah kita hanya berpegang pada satu
hadits yang kalimatnya: semua bid'ah dholalah dan kita
buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain, yang menganjurkan manusia
selalu berbuat kepada kebaikan? Sudah tentu Tidak! Yang benar ialah bahwa
kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima kebenarannya
oleh jumhurul-ulama serta tidak hanya melihat tekstual kalimatnya saja tapi
memahami makna dan motif setiap ayat Ilahi dan sunnah Rasulallah saw., sehingga
ayat ilahi dan sunnah ini satu sama lain tidak akan berlawanan maknanya.
Berbuat kebaikan itu sangat luas sekali
maknanya bukan hanya masalah peribadatan saja. Termasuk juga kebaikan adalah
hubungan baik antara sesama manusia (toleransi) baik antara sesama muslimin
maupun antara muslim dan non-muslim (yang tidak memerangi kita), antara manusia
dengan hewan, antara manusia dan alam semesta. Sebagaimana para pakar
Islam klasik pendahulu kita sudah menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi
manusia tidak akan diampuni kecuali oleh orang yang bersangkutan, sementara
hak asasi Tuhan diurus oleh diri-Nya sendiri. Manusia manapun tidak pernah
diperkenankan membuat klaim-klaim yang dianggap mewakili hak Tuhan. Dalam
konsep tauhid, Allah lebih dari mampu untuk melindungi hak-hak pribadi-Nya. Karena
itu, kita harus berhati-hati untuk tidak melanggar hak-hak asasi manusia. Dalam
Islam, Tuhan sendiri pun tidak akan mengampuni pelanggaran terhadap hak
asasi orang lain, kecuali yang bersangkutan telah memberi maaf.
4.2. Contoh-contoh bid’ah yang
diamalkan para sahabat
Marilah kita sekarang rujuk
hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai amal kebaikan yang dilakukan oleh
para sahabat Nabi saw. atas prakarsa mereka sendiri, bukan perintah Allah swt.
atau Nabi saw., dan bagaimana Rasulallah saw. menanggapi masalah itu.
Insya Allah dengan adanya beberapa hadits ini saja, para pembaca cukup jelas
bahwa semua hal-hal yang baru (bid’ah) sebelum atau sesudahnya tidak pernah
diamalkan, diajarkan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. selama tidak merubah
dan keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at boleh diamalkan, apalagi
dalam bidang kebaikan itu malah dianjurkan oleh agama.
a. Hadits dari Abu Hurairah:
“Rasulallah saw. bertanya pada Bilal ra seusai sholat Shubuh : ‘Hai Bilal,
katakanlah padaku apa yang paling engkau harapkan dari amal yang telah engkau
perbuat, sebab aku mendengar suara terompahmu didalam surga’. Bilal
menjawab : Bagiku amal yang paling kuharapkan ialah aku selalu suci tiap waktu
(yakni selalu dalam keadaan berwudhu) siang-malam sebagaimana aku menunaikan
shalat “. (HR Bukhori, Muslim dan Ahmad bin Hanbal).
Dalam hadits lain yang diketengahkan
oleh Tirmidzi dan disebutnya sebagai hadits hasan dan shohih, oleh Al-Hakim dan
Ad-Dzahabi yang mengakui juga sebagai hadits shohih ialah Rasulallah saw.
meridhoi prakarsa Bilal yang tidak pernah meninggalkan sholat dua rakaat
setelah adzan dan pada tiap saat wudhu’nya batal, dia segera mengambil air
wudhu dan sholat dua raka’at demi karena Allah swt. (lillah).
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitab Al-Fath mengatakan:
Dari hadits tersebut dapat diperoleh pengertian, bahwa ijtihad
menetapkan waktu ibadah diperbolehkan. Apa yang dikatakan oleh Bilal
kepada Rasulallah saw.adalah hasil istinbath (ijtihad)-nya sendiri dan ternyata
dibenarkan oleh beliau saw. (Fathul Bari jilid 111/276).
b. Hadits lain berasal dari Khabbab dalam
Shahih Bukhori mengenai perbuatan Khabbab shalat dua rakaat sebagai pernyataan
sabar (bela sungkawa) disaat menghadapi orang muslim yang mati terbunuh.
(Fathul Bari jilid 8/313).
Dua hadits tersebut kita mengetahui
jelas, bahwa Bilal dan Khabbab telah menetapkan waktu-waktu ibadah atas dasar
prakarsanya sendiri-sendiri. Rasulallah saw. tidak memerintahkan hal itu dan
tidak pula melakukannya, beliau hanya secara umum menganjurkan supaya kaum
muslimin banyak beribadah. Sekalipun demikian beliau saw. tidak melarang,
bahkan membenarkan prakarsa dua orang sahabat itu.
c. Hadits riwayat Imam
Bukhori dalam shohihnya II :284, hadits berasal dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi
yang menerangkan bahwa:
“Pada suatu hari aku
sesudah shalat dibelakang Rasulallah saw. Ketika berdiri (I’tidal) sesudah
ruku’ beliau saw. mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’. Salah seorang yang
ma’mum menyusul ucapan beliau itu dengan berdo’a: ‘Rabbana lakal hamdu
hamdan katsiiran thayyiban mubarakan fiihi’ (Ya Tuhan kami, puji syukur
sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya atas limpahan keberkahan-Mu). Setelah
shalat Rasulallah saw. bertanya : ‘Siapa tadi yang berdo’a?’. Orang yang
bersangkutan menjawab: Aku, ya Rasul- Allah. Rasulallah saw. berkata : ‘Aku
melihat lebih dari 30 malaikat ber-rebut ingin mencatat do’a itu lebih dulu’ “.
Ibnu Hajar Al-Asqalani
dalam Al-Fath II:287 mengatakan: ' Hadits tersebut dijadikan
dalil untuk membolehkan membaca suatu dzikir dalam sholat yang tidak diberi
contoh oleh Nabi saw. (ghair ma'tsur) jika ternyata dzikir tersebut tidak
bertolak belakang atau bertentangan dengan dzikir yang ma'tsurdicontohkan
langsung oleh Nabi Muhammad saw. Disamping itu, hadits tersebut
mengisyaratkan bolehnya mengeraskan suara bagi makmumselama tidak mengganggu
orang yang ada didekatnya...'.
Al-Hafidh dalam Al-Fath
mengatakan bahwa hadits tersebut menunjukkan juga diperbolehkannya orang
berdo’a atau berdzikir diwaktu shalat selain dari yang sudah biasa, asalkan
maknanya tidak berlawanan dengan kebiasaan yang telah ditentukan (diwajibkan).
Juga hadits itu memperbolehkan orang mengeraskan suara diwaktu shalat dalam
batas tidak menimbulkan keberisikan.
Lihat pula kitab Itqan
Ash-Shan'ah Fi Tahqiq untuk mengetahui makna al-bid'ah karangan Imam
Muhaddis Abdullah bin Shiddiq Al-Ghimary.
d. Hadits serupa diatas yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik ra. “Seorang dengan terengah-engah
(Hafazahu Al-Nafs) masuk kedalam barisan (shaf). Kemudian dia mengatakan (dalam
sholatnya) al-hamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi
(segala puji hanya bagi Allah dengan pujian yang banyak, bagus dan penuh
berkah). Setelah Rasulallah saw. selesai dari sholatnya, beliau bersabda : ‘Siapakah
diantaramu yang mengatakan beberapa kata (kalimat) (tadi)’ ? Orang-orang
diam. Lalu beliau saw. bertanya lagi: ‘Siapakah diantaramu yang
mengatakannya ? Sesungguhnya dia tidak mengatakan sesuatu yang percuma’.
Orang yang datang tadi berkata: ‘Aku datang sambil terengah-engah
(kelelahan) sehingga aku mengatakannya’. Maka Rasulallah saw. bersabda: ‘Sungguh
aku melihat dua belas malaikat memburunya dengan cepat, siapakah diantara
mereka (para malaikat) yang mengangkatkannya (amalannya ke Hadhirat
Allah) “. (Shohih Muslim 1:419 ).
e. Dalam Kitabut-Tauhid
Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra. yang mengatakan: “Pada
suatu saat Rasulallah saw. menugaskan seorang dengan beberapa temannya kesuatu
daerah untuk menangkal serangan kaum musyrikin. Tiap sholat berjama’ah, selaku
imam ia selalu membaca Surat Al-Ikhlas disamping Surah lainnya sesudah
Al-Fatihah. Setelah mereka pulang ke Madinah, seorang diantaranya
memberitahukan persoalan itu kepada Rasulallah saw. Beliau saw.menjawab :
‘Tanyakanlah kepadanya apa yang dimaksud’. Atas pertanyaan temannya itu
orang yang bersangkutan menjawab : ‘Karena Surat Al-Ikhlas itu
menerangkan sifat ar-Rahman, dan aku suka sekali membacanya’. Ketika
jawaban itu disampaikan kepada Rasulallah saw. beliau berpesan : ‘Sampaikan
kepadanya bahwa Allah menyukai nya’ .
Apa yang dilakukan oleh orang tadi
tidak pernah dilakukan dan tidak pernah diperintahkan oleh Rasulallah saw.. Itu
hanya merupakan prakarsa orang itu sendiri. Sekalipun begitu Rasulallah saw.
tidak mempersalahkan dan tidak pula mencelanya, bahkan memuji dan meridhoinya
dengan ucapan “Allah menyukainya”.
f. Bukhori dalam Kitabus Sholah
hadits yang serupa diatas dari Anas bin Malik yang menceriterakan bahwa:
“Beberapa orang menunaikan shalat dimasjid Quba. Orang yang mengimami shalat
itu setelah membaca surah Al-Fatihah dan satu surah yang lain selalu menambah
lagi dengan surah Al-Ikhlas. Dan ini dilakukannya setiap rakaat. Setelah shalat
para ma’mum menegurnya: Kenapa anda setelah baca Fatihah dan surah lainnya
selalu menambah dengan surah Al-Ikhlas? Anda kan bisa memilih surah yang lain
dan meninggalkan surah Al-Ikhlas atau membaca surah Al-Ikhlas tanpa membaca
surah yang lain ! Imam tersebut menjawab : Tidak !, aku tidak mau meninggalkan
surah Al-Ikhlas kalau kalian setuju, aku mau mengimami kalian untuk seterusnya
tapi kalau kalian tidak suka aku tidak mau mengimami kalian. Karena para ma’mum
tidak melihat orang lain yang lebih baik dan utama dari imam tadi mereka tidak
mau diimami oleh orang lain. Setiba di Madinah mereka menemui Rasulallah saw.
dan menceriterakan hal tersebut pada beliau. Kepada imam tersebut Rasulallah
saw. bertanya: ‘Hai, fulan, apa sesungguhnya yang membuatmu tidak mau
menuruti permintaan teman-temanmu dan terus menerus membaca surat Al-Ikhlas
pada setiap rakaat’? Imam tersebut menjawab: ‘Ya Rasulallah, aku
sangat mencintai Surah itu’. Beliau saw. berkata: ‘Kecintaanmu kepada Surah
itu akan memasukkan dirimu ke dalam surga’ “..
Mengenai makna hadits ini Imam
Al-Hafidh dalam kitabnya Al-Fath mengatakan antara lain; ‘Orang
itu berbuat melebihi kebiasaan yang telah ditentukan karena terdorong oleh
kecintaannya kepada surah tersebut. Namun Rasulallah saw. menggembirakan orang
itu dengan pernyataan bahwa ia akan masuk surga. Hal ini menunjukkan bahwa
beliau saw. meridhainya’.
Imam Nashiruddin Ibnul Munir menjelaskan makna hadits tersebut
dengan menegaskan : ‘Niat atau tujuan dapat mengubah kedudukan hukum
suatu perbuatan’. Selanjutnya ia menerangkan; ‘Seumpama orang itu menjawab
dengan alasan karena ia tidak hafal Surah yang lain, mungkin Rasulallah saw. akan
menyuruhnya supaya belajar menghafal Surah-surah selain yang selalu dibacanya
berulang-ulang. Akan tetapi karena ia mengemukakan alasan karena sangat
mencintai Surah itu (yakni Al-Ikhlas), Rasulallah saw. dapat
membenarkannya, sebab alasan itu menunjukkan niat baik dan tujuan yang sehat’.
Lebih jauh Imam Nashiruddin mengatakan ; ‘Hadits tersebut juga menunjukkan,
bahwa orang boleh membaca berulang-ulang Surah atau ayat-ayat khusus dalam
Al-Qur’an menurut kesukaannya. Kesukaan demikian itu tidak dapat diartikan
bahwa orang yang bersangkutan tidak menyukai seluruh isi Al-Qur’an atau
meninggalkannya’.
Menurut kenyataan, baik para ulama
zaman Salaf maupun pada zaman-zaman berikutnya, tidak ada yang mengatakan
perbuatan seperti itu merupakan suatu bid’ah sesat, dan tidak ada juga yang
mengatakan bahwa perbuatan itu merupakan sunnah yang tetap. Sebab sunnah yang
tetap dan wajib dipertahankan serta dipelihara baik-baik ialah sunnah yang
dilakukan dan diperintahkan oleh Rasulallah saw. Sedangkan sunnah-sunnah yang
tidak pernah dijalankan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. bila tidak
keluar dari ketentuan syari’at dan tetap berada didalam kerangka amal kebajikan
yang diminta oleh agama Islam itu boleh diamalkan apalagi dalam persoalan
berdzikir kepada Allah swt.
g. Al-Bukhori
mengetengahkan sebuah hadits tentang Fadha’il (keutamaan) Surah
Al-Ikhlas berasal dari Sa’id Al-Khudriy ra. yang mengatakan, bahwa ia mendengar
seorang mengulang-ulang bacaan Qul huwallahu ahad…. Keesokan harinya ia
( Sa’id Al-Khudriy ra) memberitahukan hal itu kepada Rasulallah saw., dalam
keadaan orang yang dilaporkan itu masih terus mengulang-ulang bacaannya.
Menanggapi laporan Sa’id itu Rasulallah saw.berkata : ‘Demi Allah yang
nyawaku berada ditanganNya, itu sama dengan membaca sepertiga Qur’an’.
Imam Al-Hafidh mengatakan didalam Al-Fathul-Bari;
bahwa orang yang disebut dalam hadits itu ialah Qatadah bin Nu’man.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ahmad bin Tharif dari Abu Sa’id, yang
mengatakan, bahwa sepanjang malam Qatadah bin Nu’man terus-menerus membaca Qul
huwallahu ahad, tidak lebih. Mungkin yang mendengar adalah saudaranya seibu
(dari lain ayah), yaitu Abu Sa’id yang tempat tinggalnya berdekatan sekali
dengan Qatadah bin Nu’man. Hadits yang sama diriwayatkan juga oleh Malik bin
Anas, bahwa Abu Sa’id mengatakan: ‘Tetanggaku selalu bersembahyang di malam
hari dan terus-menerus membaca Qul huwallahu ahad’.
h. Ashabus-Sunan, Imam Ahmad bin Hanbal
dan Ibnu Hibban dalam Shohih-nya meriwayatkan sebuah hadits berasal dari
ayah Abu Buraidah yang menceriterakan kesaksiannya sendiri sebagai berikut:
‘Pada suatu hari aku bersama Rasulallah saw. masuk kedalam masjid Nabawi
(masjid Madinah). Didalamnya terdapat seorang sedang menunaikan sholat sambil
berdo’a; Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa tiada tuhan
selain Engkau. Engkaulah Al-Ahad, As-Shamad, Lam yalid wa lam yuulad wa lam
yakullahu kufuwan ahad’. Mendengar do’a itu Rasulallah saw. bersabda; ‘Demi
Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya, dia mohon kepada Allah dengan Asma-Nya
Yang Maha Besar, yang bila dimintai akan memberi dan bila orang berdo’a
kepada-Nya Dia akan menjawab’.
Tidak diragukan lagi, bahwa do'a yang
mendapat tanggapan sangat menggembirakan dari Rasulallah saw. itu disusun
atas dasar prakarsa orang yang berdo’a itu sendiri, bukan do’a yang
diajarkan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. kepadanya. Karena susunan do’a
itu sesuai dengan ketentuan syari’at dan bernafaskan tauhid, maka beliau saw.
menanggapinya dengan baik, membenarkan dan meridhoinya.
i. Hadits dari Ibnu Umar katanya;
“Ketika kami sedang melakukan shalat bersama Nabi saw. ada seorang lelaki dari
yang hadir yang mengucapkan ‘Allahu Akbaru Kabiiran Wal Hamdu Lillahi
Katsiiran Wa Subhaanallahi Bukratan Wa Ashiila’. Setelah selesai sholatnya,
maka Rasulallah saw. bertanya; ‘Siapakah yang mengucapkan kalimat-kalimat
tadi? Jawab seseorang dari kaum; Wahai Rasulallah, akulah yang mengucapkan
kalimat-kalimat tadi. Sabda beliau saw.; ‘Aku sangat kagum dengan
kalimat-kalimat tadi sesungguhnya langit telah dibuka pintu-pintunya karenanya'.
Kata Ibnu Umar: Sejak aku mendengar ucapan itu dari Nabi saw. maka aku tidak
pernah meninggalkan untuk mengucapkan kalimat-kalimat tadi.” (HR. Muslim
dan Tirmidzi). As-Shan’ani ‘Abdurrazzaq juga mengutipnya dalam Al-Mushannaf.
Demikianlah bukti yang berkaitan dengan
pembenaran dan keridhaan Rasulallah saw. terhadap prakarsa-prakarsa
baru yang berupa do’a-do’a dan bacaan surah di dalam sholat, walaupun
beliau saw. sendiri tidak pernah melakukannya atau memerintahkannya. Kemudian
Ibnu Umar mengamalkan hal tersebut bukan karena anjuran dari Rasulallah saw.,
tapi karena mendengar jawaban beliau saw. mengenai bacaan itu.
Pada hadits-hadits tadi Rasulallah
saw. tidak melarang orang untuk berdo’a dalam waktu sholat dengan
lafadz-lafadz do’a ,yang tidak pernah diajarkan atau diperintahkan oleh beliau
saw., dan membaca surah Al-Ikhlas berulang-ulang baik dalam waktu sholat maupun
diluar sholat, malah beliau memberi kabar gembira bagi orang yang
mengamalkannya. Mengapa justru golongan pengingkar berani mengharamkan,
membid’ahkan munkar orang membaca tahlil/yasinan berulang-ulang padahal
dimajlis itu bukan hanya satu surat saja dari Al-Qur'an yang dibaca dan
do’a-do’a yang baik? Kalau mereka mengatakan sebagai pengikut para Salaf,
mengapa tidak mencontoh bagaimana cara Rasulallah saw. Raja dan
Guru terbesarnya para Salaf menanggapi amalan-amalan bid’ah (baru) yang telah
dikemukakan tadi?
j. Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri
tentang Ruqyah yakni sistem pengobatan dengan jalan berdo’a kepada Allah
swt. atau dengan jalan bertabarruk pada ayat-ayat Al-Qur’an. Sekelompok
sahabat Nabi saw. yang sempat singgah pada pemukiman suku arab badui sewaktu
mereka dalam perjalanan. Karena sangat lapar mereka minta pada orang-orang suku
tersebut agar bersedia untuk menjamu mereka. Tapi permintaan ini ditolak. Pada
saat itu kepala suku arab badui itu disengat binatang berbisa sehingga tidak
dapat jalan. Karena tidak ada orang dari suku tersebut yang bisa mengobatinya,
akhirnya mereka mendekati sahabat Nabi seraya berkata: Siapa diantara kalian
yang bisa mengobati kepala suku kami yang disengat binatang berbisa? Salah
seorang sahabat sanggup menyembuhkannya tapi dengan syarat suku badui mau
memberikan makanan pada mereka. Hal ini disetujui oleh suku badui tersebut.
Maka sahabat Nabi itu segera mendatangi kepala suku lalu membacakannya surah
al-Fatihah, seketika itu juga dia sembuh dan langsung bisa berjalan. Maka
segeralah diberikan pada para sahabat beberapa ekor kambing sesuai dengan
perjanjian. Para sahabat belum berani membagi kambing itu sebelum menghadap
Rasulallah saw.. Setiba dihadapan Rasulallah saw, mereka menceriterakan apa
yang telah mereka lakukan terhadap kepala suku itu. Rasulallah saw. bertanya ; ‘Bagaimana
engkau tahu bahwa surah al-Fatihah itu dapat menyembuhkan’? Rasulallah saw.
membenarkan mereka dan ikut memakan sebagian dari daging kambing
tersebut “. (HR.Bukhori)
k. Abu Daud, At-Tirmudzi dan An-Nasa’i
mengetengahkan sebuah riwayat hadits berasal dari paman Kharijah bin Shilt yang
mengatakan; “Pada suatu hari ia melihat banyak orang bergerombol dan
ditengah-tengah mereka terdapat seorang gila dalam keadaan terikat dengan
rantai besi. Kepada paman Kharijah itu mereka berkata: ‘Anda tampaknya datang
membawa kebajikan dari orang itu (yang dimaksud Rasulallah saw.), tolonglah
sembuhkan orang gila ini’. Paman Kharijah kemudian dengan suara lirih membaca
surat Al-Fatihah, dan ternyata orang gila itu menjadi sembuh”. (Hadits ini juga
diketengahkan oleh Al-Hafidh didalam Al-Fath)
Masih banyak hadits yang tidak
tercantum disini, yang meriwayatkan amal perbuatan para sahabat atas dasar
prakarsa dan ijtihadnya sendiri, yang tidak dijalani serta dianjurkan oleh
Rasulallah saw.. Semuanya itu diridhoi oleh Rasulallah saw. dan beliau
memberi kabar gembira pada mereka. Selama amalan-amalan semua itu
bertujuan baik dan tidak melanggar syari'at maka hal tersebut mustahab untuk
diamalkan.
Kalau kita teliti lagi riwayat-riwayat
diatas banyak yang berkaitan dengan masalah shalat yaitu suatu
ibadah pokok dan terpenting dalam Islam. Sebagaimana Rasulallah saw. telah
bersabda:
صَلوا كَمَا رَأيتمونِي أصَلِي
(رواه البخاري
Artinya: ‘Hendaklah kamu sholat sebagaimana kalian melihat
aku sholat’. (HR Bukhori).
Sekalipun demikian beliau saw. dapat
membenarkan dan meridhoi tambahan tambahan tertentu yang berupa do’a dan
bacaan surah atas prakarsa mereka itu. Karena beliau saw. memandang do’a dan
bacaan surah tersebut diatas tidak keluar dari batas-batas yang telah
ditentukan oleh syari’at dan juga bernafaskan tauhid. Bila ijtihad dan amalan
para sahabat itu melanggar dan merubah hukum-hukum yang telah ditentukan
oleh syari'at, pasti akan ditegur dan dilarang oleh Rasulallah saw.
Mungkin ada orang yang bertanya-tanya
lagi; Bagaimanakah pendapat orang tentang penetapan sesuatu yang disebut
sunnah atau mustahab, yaitu penetapan yang dilakukan oleh masyarakat muslimin
pada abad pertama Hijriyah, padahal apa yang dikatakan sunnah atau mustahab itu
tidak pernah dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.?
Memang benar, bahwa masyarakat yang
hidup pada zaman abad pertama Hijriyah dan generasi berikutnya, banyak
menetapkan hal-hal yang bersifat mustahab dan baik. Pada masa itu banyak sekali
para ulama yang menurut kesanggupannya masing-masing dalam menguasai ilmu
pengetahuan, giat melakukan ijtihad (studi mendalam untuk mengambil kesimpulan
hukum) dan menetapkan suatu cara yang dipandang baik atau mustahab.
Untuk menerangkan hal ini baiklah kita
ambil contoh yang paling mudah dipahami dan yang pada umumnya telah dimengerti
oleh kaum muslimin, yaitu soal kodifikasi (pengitaban) ayat-ayat suci
Al-Qur’an, sebagaimana yang telah kita kenal sekarang ini. Al-Quran waktu zaman Nabi saw. dan zaman khalifah Abubakar
ra, masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para sahabat ra
yang hanya sebagian dituliskan. Namun dengan adanya pengitaban tersebut,
sekarang kita masih mengenal Al-Quran secara utuh dan dengan adanya bid’ah
hasanah ini pula kita masih mengenal hadits-hadits Rasulullah saw, maka jadilah
Islam ini kokoh dan abadi.
Bila hal tersebut tidak
terjadi, maka akan muncul beribu-ribu Versi Al-Quran di zaman sekarang, karena
semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, yang masing-masing dengan
riwayatnya sendiri, maka hancurlah Al-Quran dan hancurlah Islam.
Para sahabat Nabi saw. sendiri pada
masa-masa sepeninggal beliau saw. berpendapat bahwa pengkodifikasian ayat-ayat
suci Al-Qur’an adalah bid’ah sayyiah. Mereka khawatir kalau-kalau
pengkodifikasian itu akan mengakibatkan rusaknya kemurnian agama Allah swt.,
Islam. ‘Umar bin Khattab ra. sendiri sampai merasa takut kalau-kalau dikemudian
hari ayat-ayat Al-Qur’an akan lenyap karena wafatnya para sahabat Nabi saw.
yang hafal ayat-ayat Al-Qur’an.
Ia mengemukakan kekhawatirannya itu kepada
Khalifah Abu Bakra ra. dan mengusulkan supaya Khalifah memerintahkan pengitaban
ayat-ayat Al-Qur’an. Tetapi ketika itu Khalifah Abu Bakar menolak usul ‘Umar
dan berkata kepada ‘Umar; Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak
dilakukan oleh Rasulallah saw.? ‘Umar bin Khattab ra. menjawab; Itu
merupakan hal yang baik. Namun, tidak berapa lama kemudian Allah swt.
membukakan pikiran Khalifah Abu Bakar ra seperti yang dibukakan lebih dulu pada
pikiran ‘Umar bin Khattab ra, dan akhirnya bersepakatlah dua orang sahabat Nabi
itu untuk mengitabkaan ayat-ayat Al-Qur’an. Khalifah Abu Bakar memanggil Zaid
bin Tsabit dan diperintahkan supaya melaksanakan pengitabatan ayat-ayat
Al-Qur’an itu. Zaid bin Tsabit ra. juga menjawab kepada Abu Bakar; Bagaimana
mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulallah saw.?
Abu Bakar menjawab kepadanya; Itu pekerjaan yang baik!
Untuk lebih detail
keterangannya sebagai berikut:
Ketika terjadi pembunuhan
besar-besaran atas para Huffadh (yang hafal) Alqur’an dan Ahli Alqur’an dari
sahabat Rasulallah saw. (Ahlul yamaamah) di zaman Khalifah Abubakar Asshiddiq
ra, berkata Abubakar Ashiddiq ra kepada Zaid bin Tsabit ra : “Sungguh Umar (ra)
telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlul- yamaamah dan
ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlul-qur’an, lalu ia
menyarankan agar aku (Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis
Al-qur’an, aku berkata: Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat
oleh Rasulullah..?, maka Umar berkata padaku; Demi Allah ini adalah demi
kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah
menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar, dan
engkau (zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah
berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan
kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah Alqur’an..!”. Berkata Zaid: “Demi Allah
sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung-gunung
tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian
berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw?”, maka Abubakar
ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun meyakinkanku
sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan
mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Alqur’an”. (Shahih Bukhari hadits
no.4402 dan 6768). Riwayat ini juga dikemukakan oleh Imam Bukhori dalam
Shohih-nya jilid 4 halaman 243 mengenai pengitaban ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Penulisan Al-qur’an selesai dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga Alqur’an
kini dikenal dengan nama Mushaf Utsmani, dan Ali bin Abi Thalib kw
menghadiri dan menyetujui hal itu.
Jelaslah sudah, baik Abu Bakar, Umar
maupun Zaid bin Tsabit [ra] pada masa itu telah melakukan suatu cara yang tidak
pernah dikenal pada waktu Rasulallah saw masih hidup. Bahkan sebelum melakukan
pengitaban Al-Qur’an itu Khalifah Abu Bakar dan Zaid bin Tsabit sendiri
masing-masing telah menolak lebih dulu, tetapi akhirnya mereka dibukakan
dadanya oleh Allah saw. sehingga dapat menyetujui dan menerima baik prakarsa
‘Umar bin Khattab ra. Demikianlah contoh suatu amalan yang tidak pernah di
kenal pada zaman hidupnya Nabi saw.
Secara umum bid’ah adalah sesat karena berada diluar
perintah Allah swt.dan Rasul-Nya. Akan tetapi banyak kenyataan membuktikan,
bahwa Nabi saw. membenarkan dan meridhoi banyak persoalan antara lain
yang telah kami kemukakan dan prakarsa para sahabat setelah wafatnya beliau
saw, yang berada diluar perintah Allah dan perintah beliau saw. Dengan
demikian hadits-hadits tadi mengisyaratkan adanya bid’ah hasanah.
Dari semua riwayat ini, kita bisa ambil
kesimpulan lagi bahwa semua bentuk amalan-amalan, baik itu dijalankan
atau tidak pada masa Rasulallah saw. atau zaman dahulu setelah zaman Nabi
saw. selama tidak melanggar syari'at serta mempunyai tujuan dan niat
mendekatkan diri untuk mendapatkan ridha Allah swt., itu adalah bagian dari
agama dan dapat diterima.
Sebagaimana hadits Rasulallah saw.:
اِنَّمَا الأَعمَال بِالنـِّيَّاتِ
وَاِنَّمَا لِكلِّ امرِئٍ مَا نَوَى, فَمَن
كَانَت
هجرَته الَى اللهِ وَرَسولِهِ فَهِجرَته
اِلى اللهِ وَرَسولِهِ (رواه البخاري
Artinya:
‘Sesungguhnya segala perbuatan tergantung kepada niat, dan setiap manusia akan
mendapat sekadar apa yang diniatkan, siapa yang hijrahnya (tujuannya)
karena Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya itu adalah karena Allah dan
Rasul-Nya (berhasil)’. (HR. Bukhori).
Sekiranya orang-orang yang gemar
melontarkan tuduhan bid’ah dapat memahami hikmah apa yang ada pada sikap
Rasulallah saw. dalam menghadapi amal kebajikan yang dilakukan oleh para
sahabatnya sebagaimana yang telah kami kemukakan dalil-dalil haditsnya tentu
mereka mau dan akan menghargai orang lain yang tidak sependapat atau sepaham
dengan mereka.
Tetapi sayangnya golongan pengingkar
ini tetap sering mencela dan mensesatkan para ulama yang tidak sepaham
dengannya. Mereka ini malah mengatakan; ‘Bahwa para ulama dan Imam yang
memilah-milahkan bid’ah menjadi beberapa jenis telah membuka pintu
selebar-lebarnya bagi kaum Muslim untuk berbuat segala macam bid’ah!! Kemudian
mereka ini tanpa pengertian yang benar mengatakan, bahwa semua bid’ah adalah
dhalalah (sesat) dan semua kesesatan didalam neraka!".
Dalil-dalil yang membantah dan
jawabannya
Seperti yang telah dikemukakan dalam
bab 2 diwebsite ini, bahwa golongan pengingkar ini selalu menafsirkan Al-Qur’an
dan Sunnah secara tekstual, oleh karenanya sering mencela semua amalan yang
tidak sesuai dengan paham mereka. Misalnya, mereka melarang semua bentuk bid’ah
dengan berdalil hadits Rasulallah saw. ,berikut ini, secara tekstual:
كلّ محدَثَةٍ بِدعَةٌ, وَكلّ بِدعَةٍ ضَلاَ لَة
Artinya:"Setiap yang
diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’.
Juga hadits Nabi saw.:
مَن أحدَثَ فِي اَمرِنَا هَذَا لَيسَ
مِنه فَهوَ رَدٌّ (رواه البخاري و
مسلم)
Artinya: 'Barangsiapa yang didalam
agama kami mengadakan sesuatu yang tidak dari agama ia tertolak’.
Hadits-hadits tersebut oleh golongan
pengingkar dipandang sebagai pengkhususan hadits Kullu bid’atin dhalalah
yang bersifat umum, karena terdapat penegasan dalam hadits tersebut, yang tidak
dari agama ia tertolak, yakni dholalah/sesat. Dengan adanya kata Kullu
(setiap/semua) pada hadits tersebut, mereka menetapkan apa saja yang terjadi
setelah zaman Rasulallah saw. serta sebelumnya tidak pernah dikerjakan oleh
Rasulallah saw adalah bi’dah dholalah. Mereka tidak memandang apakah hal
yang baru itu membawa maslahat/kebaikan dan termasuk yang dikehendaki oleh
agama atau tidak. Mereka juga tidak mau meneliti dan membaca contoh-contoh
hadits diatas mengenai prakarsa para sahabat yang menambahkan bacaan-bacaan
dalam sholat yang mana sebelum dan sesudahnya tidak pernah diperintahkan
Rasulallah saw. Mereka juga tidak mau mengerti bahwa memperbanyak kebaikan
adalah kebaikan. Jika ilmu agama sedangkal itu orang tidak perlu bersusah-payah
memperoleh kebaikan.
Ada lagi kaidah yang dipegang dan
sering dipakai oleh golongan pengingkar dan pelontar tuduhan-tuduhan bid’ah
mengenai suatu amalan, adalah kata-kata sebagai berikut:
“Rasulallah saw. tidak pernah
memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya tidak ada
satupun diantara mereka yang mengerjakannya. Demikian pula para tabi'in
dan tabi'ut-tabi'in.Dan kalausekiranya amalan itu baik, mengapa
hal itu tidak dilakukan oleh Rasulallah, sahabat dan para tabi'in?"
Atau ucapan mereka : “Kita kaum
muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi yakni mengikuti segala perbuatan
Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa justru kita yang
melakukannya..? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak
pernah dilakukan Nabi saw., para sahabat, ulama-ulama salaf..? Karena melakukan
sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah bid’ah”.
Kaidah-kaidah seperti itulah yang
sering dijadikan pegangan dan dipakai sebagai perlindungan oleh golongan
pengingkar ini juga sering mereka jadikan sebagai dalil/ hujjah untuk
melegitimasi tuduhan bid’ah mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru
termasuk tahlil/yasinan, peringatan Maulid Nabi saw dan sebagainya.
Terhadap semua ini mereka langsung menghukumnya dengan ‘sesat, haram,
mungkar, syirik dan sebagainya’, tanpa mau mengembalikannya kepada
kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok/asal
agama.
Ucapan mereka seperti diatas ini adalah
ucapan yang awalnya haq/benar namun akhirnya batil atau awalnya shohih
namun akhirnya fasid. Yang benar adalah keadaan Nabi saw. atau para
sahabat yang tidak pernah mengamalkannya (umpamanya; berkumpul untuk tahlil/yasinan,
peringatan keagamaan dan lain sebagainya).
Sedangkan yang batil/salah atau fasid
adalah penghukuman mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru itu
dengan hukumharam, sesat, syirik, mungkar dan sebagainya. Yang
demikian itu karena Nabi saw. atau salafus sholih yang tidak mengerjakan satu
perbuatan bukanlah termasuk dalil, bahkan penghukuman dengan ber- dasarkan
kaidah diatas tersebut adalah penghukuman tanpa dalil/nash. Dalil untuk
mengharamkan sesuatu perbuatan haruslah menggunakan nash yang jelas,
baik itu dari Al-Qur’an maupun hadits yang melarang dan mengingkari perbuatan
tersebut. Dengan demikian tidak bisa suatu perbuatan diharamkan
hanya karena Nabi saw. atau salafus sholih tidak pernah melakukannya.
Telitilah lagi hadits-hadits diatas yakni
amalan-amalan bid'ah yang diada-adakan para sahabat, yang belum pernah
dikerjakan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. dan bagaimana
Rasulallah saw. menanggapinya. Cara penanggapan Rasulallah saw.
inilah yang harus kita contoh !
Kalau kita teliti perbedaan paham
setiap ulama atau setiap madzhab selalu ada, dan tidak bisa disatukan.
Sebagaimana yang sering kita baca dikitab-kitab fiqih para pakar Islam yaitu Satu
hadits bisa dishohihkan oleh sebagian ulama hadits dan hadits yang sama
ini bisa dilemahkan atau dipalsukanoleh ulama hadits lainnya. Kedua
kelompok ulama ini sama-sama berdalil kepada Kitabullah dan Sunnah
Rasulallah saw., tetapi berbeda cara penguraiannya. Dengan
demikian status keshahihan itu masih bersifat subjektif kepada yang
mengatakannya. Dari sini saja kita sudah bisa ambil kesimpulan; Kalau hukum
atas derajat suatu hadits itu masih berbeda-beda diantara para ulama, tentu
saja ketika para ulama mengambil kesimpulan apakah suatu amal itu merupakan
sunnah dari Rasulullah saw. pun berbeda juga !!
Para ulama pun berbeda pandangan ketika
menyimpulkan hasil dari sekian banyak hadits yang berserakan. Umpamanya mereka
berbeda dalam mengambil kesimpulan hukum atas suatu amal, walaupun amal ini
disebutkan didalam suatu hadits yang shohih. Para ulama juga mengenal beberapa
macam sunnah yang sumbernya langsung dari Rasulallah saw., umpamanya; Sunnah
Qauliyyah, Sunnah Fi’liyyah dan Sunnah Taqriyyah.
Sunnah Qauliyyah ialah sunnah di mana Rasulullah saw.
sendiri menganjurkan atau mensarankan suatu amalan, tetapi belum tentu
kita mendapatkan dalil bahwa Rasulllah saw. pernah mengerjakannya secara
langsung. Jadi sunnah Qauliyyah ini adalah sunnah Rasulallah saw. yang dalilnya/riwayatnya
sampai kepada kita bukan dengan cara dicontohkan, melainkan dengan diucapkan
saja oleh beliau saw. Dimana ucapan itu tidak selalu berbentuk fi'il amr
(kata perintah), tetapi bisa saja dalam bentuk anjuran, janji pahala dan
sebagainya. Contoh sunnah qauliyyah yang mudah saja: Ada hadits Rasulallah saw.
yang menganjurkan orang untuk belajar berenang, tetapi kita belum pernah
mendengar bahwa Rasulallah saw. atau para sahabat telah belajar atau kursus
berenang !!
Sunnah Fi'liyahialahsunnah yang ada dalilnya dan
pernah dilakukan langsung oleh Rasulallah saw. Misalnya ibadah shalat sunnah
seperti shalat istisqa’, puasa sunnah Senin Kamis, makan dengan tangan kanan
dan lain sebagainya. Para shahabat melihat langsung beliau saw. melakukannya,
kemudian meriwayatkannya kepada kita.
SedangkanSunnah Taqriyyahialah
sunnah di mana Rasulullah saw. tidak melakukannya langsung, juga tidak
pernah memerintahkannya dengan lisannya, namun hanya mendiamkannya saja.
Sunnah yang terakhir ini seringkali disebut dengan sunnah taqriyyah.
Contohnya ialah beberapa amalan para sahabat yang telah kami kemukakan
sebelumnya.
Begitu juga dengan amalan-amalan ibadah
yang belum pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw. atau para sahabatnya, tetapi
diamalkan oleh para ulama salaf (ulama terdahulu) atau ulama khalaf (ulama
belakangan) misalnya mengadakan majlis maulidin Nabi saw., majlis
tahlil/yasinan dan lain sebagainya (baca keterangannya pada bab Maulid Nabi
saw.dan bab Ziarah kubur). Tidak lain para ulama yang mengamalkan ini mengambil
dalil-dalil baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasulallah saw. yang menganjur kan
agar manusia selalu berbuat kebaikan atau dalil-dalil tentang pahala bacaan,
hadiah pahala bacaan dan lain sebagainya. Berbuat kebaikan ini
banyak macam dan caranya, semuanya baik untuk diamalkan, asalkan tidak tidak
bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Apalagi didalam majlis-majlis
(maulidin-Nabi, tahlil/yasinan, Istighotsah dll.) yang sering diteror oleh
golongan tertentu, disitu sering didengungkan kalimat Tauhid, Tasbih, Takbir
dan Sholawat kepada Rasulallah saw. ,yang semuanya itu dianjurkan oleh Allah
swt. dan Rasul-Nya. Semuanya ini tidak lain bertujuan untuk
mendekatkan/taqarrub kita kepada Allah swt.!!
Firman Allah swt. dalam ayat Al-Hasyr :
7):
وَمَا
اَتَاكم الرَّسول فَخذوه وَمَا نَهَاكم عَنه
فَانتَهوا
Artinya:
‘Apa saja yang didatangkanoleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa
saja yang kamu dilarang daripadanya, maka berhentilah (mengerjakan-
nya). (QS. Al-Hasyr : 7).
Dalam ayat ini jelas bahwa perintah
untuk tidak mengerjakan sesuatu itu adalah apabila telah tegas dan jelas
larangannya dari Rasulallah saw. !
Dalam ayat diatas ini tidak
dikatakan :
وَماَلَم يَفعَله
فَانتَهوا
Artinya: ‘Dan apa saja yang tidak
pernah dikerjakannya (oleh Rasulallah), maka berhentilah
(mengerjakannya)’.
Juga dalam hadits Nabi saw yang
diriwayatkan oleh Bukhori:
فَاجتَنِبوه اِذَا أمَرتكم بِأمرٍ فَأتوا مِنه
مَااستَطَعتم وَاِذَا نَهَيتكم عَن شَيئٍ
Artinya:‘Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka
lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka
jauhilah dia !‘
Dalam hadits ini Rasulallah saw. tidak
mengatakan:
وَاِذَا لَم أفعَل شَيئًا فَاجتَنِبوه
Artinya:‘Dan apabila sesuatu itu tidak
pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia!’
Jadi pemahaman
golongan yang melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil dua hadits yang
telah kami kemukakan, 'Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah..dst.nya.
dan hadits Barangsiapa yang didalam agama..dst.nya.' adalah tidak
benar. Karena adanya beberapa keterangan dari Rasulallah saw. didalam
hadits-hadits yang lain dimana beliau merestui banyak perkara yang merupakan
prakarsa para sahabat sedangkan beliau saw. sendiri tidak pernah melakukan
apalagi memerintahkan. Maka para ulama menarik kesimpulan bahwa bid’ah
(prakarsa) yang dianggap sesat ialah yang mensyari’atkan sebagian
dari agama yang tidak diizinkan Allah swt. (QS Asy-Syura :21),serta
prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang telah digariskan oleh syari’at
Islam baik yang termaktub dalam Al-Qur’an maupun sunnah Rasulallah saw.,
contohnya yang mudah ialah:
Sengaja sholat tidak menghadap kearah
kiblat, Shalat dimulai dengan salam dan diakhiri denga takbir ; Melakukan
sholat dengan satu sujud saja;Melakukan sholat Shubuh dengan sengaja sebanyak
tiga raka’at dan lain sebagainya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena bertentangan
dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Makna hadits
Rasulallah saw. diatas yang mengatakan, mengada-adakan sesuatu itu.... adalah
masalah pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya,
itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah. Kami ambil perumpamaan lagi
yang mudah saja, ada orang mengatakan bahwa sholat wajib itu setiap
harinya dua kali, padahal agama menetapkan lima kali sehari. Atau
orang yang sanggup tidak berhalangan karena sakit, musafir dan lain-lain
berpuasa wajib pada bulan Ramadhan mengatakan bahwa kita tidak perlu puasa pada
bulan tersebut tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apapun saja. Inilah
yang dinamakan menambah dan mengada-adakan agama. Jadi bukan masalah-masalah nafilah,
sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.
Telitilah isi
hadits Qudsi berikut ini, yang diriwayatkan Bukhori dari Abu Hurairah :
...... وَمَا
تَقَرَّبَ اِلَيَّ عَبدِي بِشَيئٍ أحَبَّ اِلَيَّ مِمَّا افتَرَطت
عَلَيهِ, وَمَا يَزَال عَبدِي يَتَقَرَّب أِلَيَّ بِالنّـَوَافِلِ حَتَّى
احِبَّه فَاِذَا أحبَبته كنت سَمـعَه الَّذِي يَسمَع بِهِ وَبَصَرَه اَلَّذِي
يبصِربِهِ, وَيَدَه اَلَّتِي يَبـطِش بِهَا وَرِجلـَه اَلَّتِي يَمشِي
بِهَا وَاِن سَألَنِي أعطَيته وَلَئِنِ استَعَـاذَنِي لا
عيذَنَّه. (رواه البخاري)
Artinya:“.... HambaKu yang mendekatkan diri
kepadaku dengan sesuatu yang lebih Ku sukai daripada yang telah Kuwajibkan
kepadanya, dan selagi hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan nawafil
(amalan-amalan atau sholat sunnah) sehingga Aku mencintainya, maka jika Aku
telah mencintainya. Akulah yang menjadi pendengarannya dan dengan itu ia
mendengar, Akulah yang menjadi penglihatannya dan dengan itu ia melihat, dan
Aku yang menjadi tangannya dengan itu ia memukul (musuh), dan Aku juga menjadi
kakinya dan dengan itu ia berjalan. Bila ia mohon kepadaKu itu pasti Kuberi dan
bila ia mohon perlindungan kepadaKu ia pasti Ku lindungi”.
Dalam hadits qudsi ini Allah swt.
mencintai orang-orang yang menambah amalan sunnah disamping amalan wajibnya.
Mari kita rujuk ayat-ayat ilahi yang
ada kata-kata Kullu,yang mana kata ini tidak harus berarti semua/setiap,
tapi bisa berarti khusus untuk beberapa hal saja.
- Dalam surat Al-Ahqaf ayat 25 Allah
swt.berfirman, yang artinya:
“[Angin taufan] itu telah
menghancurkan segala sesuatu atas perintah Tuhannya”. Namun demikian
keumuman pada ayat diatas ini tidak terpakai karena pada saat itu
gunung-gunung, langit dan bumi tidak ikut hancur.
- Dalam surat An-Naml ayat 23 Allah
swt.berfirman yang artinya:
“Ratu Balqis itu telah
diberikan segala sesuatu”. Keumuman pada ayat ini juga tidak
terpakai karena Ratu Balqis tidak diberi singgasana dan kekuasaan seperti yang
diberikan kepada Nabi Sulaiman as.
- Begitupun juga dalam surat An-Najm
ayat 39 Allah swt.berfirman, yang artinya:
“Bahwasanya setiap manusia itu tidak
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. Kalimat ‘selain apa yang telah
diusahakannya’ pada ayat ini bersifat umum, namun keumumannya itu tidak
terpakai, karena banyak sekali hadits shohih yang menunjukkan bahwa seorang
muslim yang telah wafat masih dapat memperoleh kebaikan dan manfaat dari muslim
yang masih hidup,seperti sholat jenazah, do’a, sedekah dan lain-lain.
- Dalam surat Thoha ayat 15 Allah swt.
berfirman, yang artinya:
“Agar setiap manusia menerima balasan
atas apa yang telah diusahakannya”. Kalimat ‘apa yang telah
diusahakannya’ mencakup semua amal baik yang hasanah (baik) maupun yang
sayyiah (jelek). Namun demikian amal yang sayyiah yang telah diampuni
oleh Allah swt. tidaklah termasuk yang akan memperoleh balasannya
(siksa).
- Dalam surat Aali 'Imran : 173 Allah
swt. berfirman mengenai suatu peristiwa dalam perang Uhud, yang artinya:
"Kepada mereka (kaum Muslimin) ada yang mengatakan
bahwa semua orang (di Mekkah) telah mengumpulkan pasukan untuk
menyerang...." Yang dimaksud semua orang (an-naas) dalam ayat
ini tidak bermakna secara harfiahnya, tetapi hanya untuk kaum musyrikin Quraisy
di Mekkah yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb, yang memerangi
Rasulallah saw. dan kaum Muslimin didaratan tinggi Uhud, jadi bukan semua orang
Mekkah atau semua orang Arab.
- Dalam surat Al-Anbiya : 98, yang
artinya:
"Sesungguhnya kalian dan apa yang
kalian sembah selain Alah adalah umpan neraka jahannam..". Ayat ini sama sekali tidak boleh
ditafsirkan bahwa Nabi 'Isa as dan bundanya yang dipertuhankan oleh kaum
Nasrani akan menjadi umpan neraka. Begitu juga para malaikat yang oleh kaum
musyrikin lainnya dianggap sebagai tuhan-tuhan mereka.
- Dalam surat Aali 'Imran : 159, yang
artinya:
"Ajaklah mereka bermusyawarah
dalam suatu urusan...". Kalimat dalam suatu urusan (fil amri) tidak
bermakna semua urusan termasuk urusan agama dan urusan
akhirat , yang dimaksud urusan dalam hal ini ialah urusan
duniawi. Allah swt. tidak memerintahkan Rasul-Nya supaya memusyawarahkan
soal-soal keagamaan atau keukhrawian dengan para sahabatnya atau dengan
ummatnya.
- Dalam surat Al-An'am : 44, yang
artinya:
'Kami bukakan bagi mereka pintu segala
sesuatu'. Akan tetapi
pengertian ayat ini terkait, Allah tidak membukakan pintu rahmat bagi mereka
(orang-orang kafir durhaka). Kalimat segala sesuatu adalah umum, tetapi
kalimat itu bermaksud khusus.
- Dalam surat Al-Isra : 70, yang
artinya:
"Dan sesungguhnya telah Kami
muliakan anak-anak Adam....dan seterusnya ". Firman Allah ini
bersifat umum, sebab Allah swt. juga telah berfirman, bahwa ada manusia-manusia
yang mempunyai hati tetapi tidak memahami ayat-ayat Allah, mempunyai mata
tetapi tidak menggunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan
mempunyai telinga tetapi tidak menggunakannya untuk mendengarkan firman-firman
Allah; mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi
(QS.Al-A'raf : 179). Jadi jelaslah, bahwa secara umum manusia adalah makhluk
yang mulia, tetapi secara khusus banyak manusia yang setaraf dengan binatang
ternak, bahkan lebih sesat.
- Firman Allah swt dalam Al-Kahfi: 79,
kisah Nabi Musa as. dengan Khidir (hamba Allah yang sholeh), yang artinya
sebagai berikut:
“Adapun perahu itu, maka dia adalah
miliknya orang orang miskin yang bermata pencaharian dilautan dan aku bertujuan
merusaknya karena dibelakang mereka terdapat seorang raja yang suka merampas semua
perahu”.
Ayat ini menunjukkan tidak semua perahu
yang akan dirampas oleh raja itu, melainkan perahu yang masih dalam kondisi
baik saja. Oleh karenanya Khidir/seorang hamba yang sholeh sengaja membocorkan
perahu orang-orang miskin itu agar terlihat sebagai perahu yang cacat/jelek
sehingga tidaklah dia ikut dirampas oleh raja itu. Dengan demikian maka kata
safiinah dalam Al-Qur’an itu maknanya adalah safiinah hasanah atau
perahu yang baik. Ini berarti safiinah diayat ini tidak bersifat umum dalam
arti tidak semua safiinah/perahu yang akan dirampas oleh raja melainkan
safiinah hasanah saja walaupun didalam ayat itu disebut Kullu safiinah
(semua/setiap perahu).
- Al-Qu’an surat Al-Anbiya’ ; 30 :
وَجَعَلنَا مِنَ المَاءِ كلَّ شَيءٍ حَيٍّ أَفَلاَ يؤمِنونَ
Artinya: “Dan dari air kami jadikan segala
sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” QS.
Al-Anbiya’:30.
Meskipun ayat ini menggunakan
kalimat kullu, namun tidak berarti semua makhluk hidup diciptakan dari
air.
- Dalam ayat al-Qur’an Ar-Rahman:15:
وَخَلَقَ الجَانَّ مِن مَارِجٍ مِن نَارٍ
Artinya: “Dan Allah SWT menciptakan Jin dari
percikan api yang menyala”. QS.
Begitu juga para malaikat, tidaklah
Allah ciptakan dari air.
- Hadits riwayat Imam Ahmad :
عَنِ
الأَشعَرِيِّ قَالَ قَالَ رَسول اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيهِ وَسَلَّمَ كل عَينٍ
زَانِيَةٌ
Artinya:Dari al-Asyari berkata: “ Rasulullah saw bersabda:
“setiap mata berzina” (musnad Imam Ahmad)
Sekalipun hadits di atas menggunakan
kata kullu, namun bukan bermakna keseluruhan/semua, akan tetapi bermakna
sebagian, yaitu mata yang melihat kepada wanita ajnabiyah (yang bukan
muhrim).
Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy ,rahimahullah, berkata: ”Mengenai
hadits ‘Bid’ah Dhalalah’ ini bermakna ‘Aammun makhsush’, [sesuatu
yang umum yang ada pengecualiannya], seperti firman Allah: ‘… yang menghancurkan
segala sesuatu’ [QS Al-Ahqaf 25] dan kenyataannya tidak segalanya hancur,
(atau ayat: ‘Sungguh telah kupastikan ketentuan-Ku untuk memenuhi jahannam
dengan jin dan manusia keseluruhannya’ QS Assajdah-13), dan pada
kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna
keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim--.pen) atau
hadits: ‘Aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini ’ [dan kenyataannya
kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw.] (Syarh Assuyuthiy Juz 3
hal 189).
Masih banyak lagi ayat Ilahi yang
walaupun didalamnya terdapat keumuman, namun ternyata keumumannya itu tidak
terpakai untuk semua hal atau masalah. !!
Sebuah hadits Nabi saw. yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulallah saw. bersabda, yang artinya: "Orang
yang menunaikan sholat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam
tidak akan masuk neraka".
Hadits ini bersifat umum, tidak dapat
diartikan secara harfiah. Yang dimaksud oleh hadits tersebut bukan berarti
bahwa seorang Muslim cukup dengan sholat shubuh dan maghrib saja, tidak
diwajibkan menunaikan sholat wajib yang lain seperti dhuhur, ashar
dan isya !
Ibnu Hajar mengatakan;
' Hadits-hadits shahih yang mengenai satu persoalan harus dihubungkan
satu sama lain untuk dapat diketahui dengan jelas maknanya yang mutlak
dan yang muqayyad. Dengan demikian maka semua yang di-isyaratkan oleh
hadits-hadits itu semuanya dapat dilaksanakan'.
Dalam shohih Bukhori dan juga
dalam Al-Muwattha terdapat penegasan Rasulallah saw. yang menyatakan
bahwa jasad semua anak Adam akan hancur dimakan tanah. Mengenai itu Ibnu
'Abdul Birr ,rahimahullah, dalam At-Tamhid mengatakan: Hadits
mengenai itu menurut lahirnya dan menurut keumuman maknanya adalah, bahwa semua
anak Adam sama dalam hal itu. Akan tetapi dalam hadits yang lain Rasulallah
saw. menegaskan pula, bahwa jasad para Nabi dan para pahlawan syahid tidak
akan di makan tanah (hancur) !
Dengan demikian hadits nabi saw.
“kullu bid’atin dholalah’ itu bersifat umum, namun demikian tidak semua dalil
–baik dari Al-Qur’an maupun hadits– yang bersifat umum itu akan otomatis
terpakai diatas keumumannya. Hal itu sangat ditentukan oleh ada tidaknya
dalil-dalil lain atau qoroo’inul ahwal (indikasi-indikasi) yang menolak
keumumannya.
Golongan pengingkar ada
yang mengajukan firman Allah swt berikut ini:
كلّ نفس ذَا ئٍقَة المَوتِ
Artinya: ‘Setiap yang
bernyawa itu akan merasakan mati’.
Mereka mengatakan bahwa
kata ‘kullu’ pada firman Allah diatas harus diartikan dengan ‘setiap’
yakni bersifat umum, karena kalau arti kullu itu diartikan dengan ‘sebagian’,
maka akan timbullah makna bahwa ‘sebagian yang bernyawa akan merasakan mati
dan sebagiannya lagi tidak’.Kata mereka selanjutnya, begitu pula halnya makna kullu
pada hadits ‘kullu bid’atin dholalah, wa kullu dholalatin fin naar’.Mereka
yang mengajukan ayat diatas sebagai alasan untuk menguatkan tuduhan-tuduhan
bid’ahnya, jelas termasuk orang yang berwawasan keagamaan sempit dan tidak
mengetahui kaidah-kaidah mantiq.Kami katakan berwawasan sempit karena mereka
hanya mengandalkan ayat yang diajukan nya itu, yang menunjukkan bahwa Al-qur’an
dan hadits kalau memang mengandung kata-kata umum (seperti kullu), maka
haruslah dipakai keumumannya.
Dan ,sebagai kebiasaan
golongan ini, mereka mengabaikan ayat-ayat Al-qur’an maupun
hadits-hadits lainnya, yang mengandung kata-kata umum tapi tidak terpakai
keumuman nya, seperti yang telah kami kemukakan contoh-contohnya. Begitu juga
dikatakan tidak mengetahui kaidah-kaidah mantiq, karena bagi mereka kata-kata kullu
itu harus bermakna ‘setiap’ dan tidak ada yang bermakna
‘sebagian’. Padahal menurut ilmu mantiq, kullu
itu ada dua macam, yaitu: Kullu majmu’ dan Kullu jami’.
Kullu majmu’ adalah
kullu yang berarti sebagian atau sekumpulan, bukan berarti setiap atau
keseluruhan. Dialah yang dimaksud dengan bab: Kulli. Sebagian
contohnya telah kami kemukakan. Begitu juga contoh lainnya ialah:
كلّ
رَجل مِن بِنى تَمِيم يحمِلالَصّخرَةً
العَظيمَةً
Artinya:‘Sebagian atau sekumpulan orang dari bani Tamim membawa batu yang
besar’.
Pada contoh diatas, kata kullu itu harus
diartikan dengan sebagian atau sekumpulan orang, bukan setiap orang.Karena pada
kenyataannya ada saja orang dari bani tamim yang tidak ikut membawa membawa
batu besar itu.
Sedangkan Kullu jami’ adalah kullu yang
berarti setiap atau keseluruhan, artinya melibatkan semua orang. Dan dialah
yang dimaksud dengan bab: Kulliyah.Contohnya ialah ayat ‘Kullu nafsin
dzaaiqotul maut’.Karenanya kullu disitu diartikan dengan setiap atau
keseluruhan yang bernyawa. Tidak bisa kullu diayat ini dijadikan sebagai kullu
majmu’, karena pada kenyataannya dan juga didukung oleh ayat-ayat Al-qur’an
yang lain, bahwa memang semua yang bernyawa akan mati.
Untuk membuktikan adanya dua macam makna ‘kullu’
ini, kami ketengahkan dua bait syair yang tercantum dalam kita mantiq ‘Sullamul
Munauruq’ oleh Imam Al-Akhdhori yang telah diberi syarah oleh Syeikh Ahmad
al-Malawi dan diberi Hasyiah oleh Syeikh Muhamad bin Ali as-Shobban:
الَكلّ حكمنَا عَلَى
المجموع ككل ذَاكَ لَيسَ ذَا وقَوع حيثمَا لكلّ فَرد حكمَا فَإنَّه
كلّيّة قَد
علمَا
Artinya: Kullu itu kita hukumkan untuk majmu’ (sebagian atau
sekelompok) seperti ‘Sebagian itu tidak pernah terjadi’. Dan jika kita hukumkan
untuk tiap-tiap satuan, maka dia adalah kulliyyah (jami’atau keseluruhan) yang
sudah dimaklumi.
Sebagaimana ucapan Nabi saw ketika ditanya oleh Zulyadain
pada waktu beliau sholat dhohor dan melakukan salam ketika baru mendapat dua
rakaat. Saat itu Zulyadain bertanya: ’Apakah shalat ini telah diringkas ataukah
engkau lupa wahai Rasulallah’?
Mendengar itu Nabi saw menjawab:كلٌّ ذَالِكَ لَم
يَكن
Artinya: ‘Sebagian yang engkau tanyakan itu
tidak terjadi’.
Dengan demikian maka kullu pada jawaban Nabi saw
itu tidak bermakna ’setiap atau semua’ melainkan dia bermakna ‘sebagian’,
karena kullu disitu adalah kullu majmu’, bukan kullu jami’.
Alasannya sebagai kullu majmu’ ialah karena pada kenyataannya ada yang terjadi
pada diri Nabi saw, yakni lupa. Adapun sholat dhuhur tetap empat rakaat karena
memang tidak diringkas.
Namun demikian, menurut penafsiran yang lain
kata kullu pada jawaban Nabi saw itu bisa juga dijadikan kullu jami’, sehigga
menimbulkan arti ‘Setiap yang demikian (diringkas atau kelupaan) tidak pernah
terjadi’. Hal ini karena dua alasan, yaitu:
1.Pertanyaan Zulyadain yang menggunakan kalimat ‘am nasiita’
itu berfungsi untuk ta’yin (penentuan) salah satu dari dua perkara atau untuk
menafikan semuanya yakni kedua-dua perkara itu. Karena Nabi saw tidak menjawab
dengan ta’yin, maka jadilah jawabannya itu untuk menafikan semuanya.
2. Adanya riwayat bahwa Nabi saw sesudah menjawab dengan ‘kullu
zaalika lam yakun’, Zulyadain lalu berkata kepada beliau:بَعض ذَالِكَ قَد كَانَ artinya ‘Sebagian itu telah terjadi’. Ini menunjukkan bahwa kata
kullu pada jawaban Nabi saw itu adalah kullu jami’ (menafikan keseluruhan) atau
termasuk bab Kulliyah. Karena kalau tidak demikian, maka apa arti nya
ucapan Zulyadain dengan بَعض
ذَالِكَ قَد كَانَ .
Dengan demikian dapat kita pahami berdasarkan penafsiran ini
bahwa walaupun kullu disitu termasuk kullu jami’ yakni bersifat umum,
namun tidak lama sesudah itu dia di takhsish dengan ucapan Zulyadain berikutnya
‘sebagian yang demikian itu telah terjadi’. Maka termasuklah dia itu ‘am
makhsush’ yakni umum yang sudah dikhususkan.
Kesimpulannya ialah bahwa kullu itu ada yang majmu’,
ada pula yang jami’. Kalau dia majmu’, maka jelas yang ditunjuk adalah
sebagian atau sekelompok, bukan keseluruhan. Sedangkan kalau dia jami’, maka
adakalanya dia ditakhsish, adakalanya pula tidak. Kalau dia ditakhsish, maka
jadilah dia ‘am makhsush dan kalau tidak, maka terpakailah dia diatas
keumumannya yakni bermakna keseluruhan.
Kata kullu pada hadits ‘kullu bid’atin dholalah’ bisa
saja sebagai kullu jami’ yang telah ditakhsish oleh dalil-dalil lainnya
––sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Dan bisa juga sebagai kullu
majmu’ sehingga artinya adalah ‘sebagian bid’ah itu sesat’ dan itulah dia
bid’ah yang sayyiah. Namun demikian kata kullu pada ‘wa kullu dholalatin fin
naar’ tidak bisa dijadikan sebagai kullu majmu’melainkan dia
tetap sebagai kullu jami’, sehingga artinya adalah ‘dan setiap yang sesat
itu didalam neraka’. Sebabnya demikian karena tidak terdapat dalil-dalil
lain yang mentakhsish keumumannya.
Ada lagi orang yang mengatakan bahwa kalau kullu pada “kullu
bíd’atin dholalah” itu diartikan dengan sebagian, maka begitulah pula
halnya dengan kullu pada hadits ‘wa kullu dhoalatin fin naar’
sehingga menimbulkan arti “dan sebagian kesesatan itu didalam neraka”.
Orang yang mengatakan hal ini jelas-jelas tidak mengetahui perbedaan antara
kulli dan kulliyah, tidak juga tahu bahwa kullu itu ada yang majmu’ dan ada
pula yang jami’. Terhadap orang seperti ini tidak perlu banyak dikomentari,
kami persilahkan belajar ilmu mantiq terlebih dahulu. Banyak sekali ayat Ilahi dan
hadits yang menurut kalimatnya bersifat umum, dan dalam ayat atau
hadits yang lain di khususkan maksud dan maknanya. Begitu banyaknya sehingga
ada sekelompok ulama mengatakan; 'Hal yang umum hendaknya tidak diamalkan
dulu sebelum dicari kekhususan-kekhususannya'. Begitu juga halnya dengan
hadits Nabi ‘Kullu bid’ atin dholalah’ walaupun sifatnya umum tapi
berdasarkan dalil hadits lainnya maka disimpulkanlah bahwa tidak semua
bid’ah (prakarsa) itu dholalah/sesat !
Mereka juga lupa yang disebut agama
bukan hanya masalah peribadatan saja. Allah swt. menetapkan agama Islam bagi
umat manusia mencakup semua perilaku dan segi kehidupan manusia. Yang
kesemuanya ini bisa dimasuki bid’ah baik yang hasanah maupun yang
sayyiah/buruk. Untuk itu tidak ada jalan yang lebih tepat daripada yang telah
ditunjukkan oleh para imam dan ulama Fiqih, yaitu sebagaimana yang telah
dipecahkan oleh Imam Syafi'i dan lain-lain. Wallahua'lam.
Insya Allah dengan keterangan
singkat masalah Bid’ah, akan bisa membuka pikiran kita untuk mengetahui
bid’ah mana yang haram dan bid’ah yang hasanah/baik.
4.3. Qadha (Penggantian) Sholat Yang
Ketinggalan Dan Dalil-Dalil Yang Berkaitan Dengannya:
Sebagian golongan muslimin telah
membid'ahkan, mengharamkan/membatalkan mengqadha/mengganti sholat yang sengaja
tidak dikerjakan pada waktunya. Mereka ini berpegang pada wejangan Ibnu Hazm
dan Ibnu Taimiyyah, yang mengatakan tidak sah orang yang ketinggalan
sholat fardhu dengan sengaja untuk menggantinya/qadha pada waktu sholat
lainnya, mereka harus menambah sholat-sholat sunnah untuk menutupi
kekurangannya tersebut. Tetapi pendapat Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah ini telah
terbantah oleh hadits-hadits berikut ini dan ijma’ (kesepakatan)
para pakar diantaranya Imam Hanafi, Malik dan Imam Syafi’i dan lainnya,
tentang kewajiban qadha bagi yang meninggalkan sholat baik dengan sengaja
maupun tidak sengaja.
Mari kita ikuti beberapa hadits yang
berkaitan dengan qadha sholat :
1). HR.Bukhori, Muslim dari Anas bin Malik
ra.: “Siapa yang lupa(melaksanakan) suatu sholat atau tertidur
dari (melaksanakan)nya, maka kifaratnya (tebusannya) adalah melakukannya jika
dia ingat”.
Ibnu Hajr Al-‘Asqalany dalam Al-Fath
II:71 ketika menerangkan makna hadits ini berkata; ‘Kewajiban menggadha
sholat atas orang yang sengaja meninggalkannya itu lebih utama. Karena
hal itu termasuk sasaran Khitab (perintah) untuk melaksanakan sholat, dan dia
harus melakukannya…’.
Yang dimaksud Ibnu Hajr ialah kalau
perintah Rasulallah saw. bagi orang yang ketinggalan sholat karena lupa dan
tertidur itu harus diqadha, apalagi untuk sholat yang disengaja
ditinggalkan itu malah lebih utama/wajib untuk menggadhanya. Begitu juga hadits
itu menunjukkan bahwa orang yang ketinggalan sholat karena lupa atau tertidur tidak
berdosa hanya wajib menggantinya. Tetapi orang yang meninggalkan sholat dengan
sengaja dia berdosa besar karena kesengajaannya meninggalkan sholat, sedang
kan kewajiban qadha tetap berlaku baginya. Maka bagaimana dan darimana dalilnya
orang bisa mengatakan bahwa sholat yang sengaja ditinggalkan itu tidak
sah (baca:batal) untuk diqadha ?
2). Rasulallah saw. setelah sholat Dhuhur
tidak sempat sholat sunnah dua raka’at setelah dhuhur, beliau langsung
membagi-bagikan harta, kemudian sampai dengar adzan sholat Ashar. Setelah
sholat Ashar beliau saw sholat dua rakaat ringan, sebagai ganti/qadha
sholat dua rakaat setelah dhuhur tersebut. (HR.Bukhori, Muslim dari Ummu
Salamah).
3). Rasulallah saw. bersabda: ‘Barangsiapa
tertidur atau terlupa dari mengerjakan shalat witir maka lakukanlah jika
ia ingat atau setelah ia terbangun’. (HR.Tirmidzi dan Abu Daud).(dikutip dari
at-taj 1:539)
4). Rasulallah saw. bila terhalang dari
shalat malam karena tidur atau sakit maka beliau saw. menggantikannya
dengan shalat dua belas rakaat diwaktu siang. (HR. Muslim dan Nasa’i
dari Aisyah ra).(dikutip dari at-taj 1:539).
Nah kalau ,menurut riwayat-riwayat
tadi, sholat sunnah muakkad setelah dhuhur, sholat witir dan sholat malam yang
tidak dikerjakan pada waktunya itu boleh diganti/diqadha oleh Rasulallah saw.
pada waktu setelah sholat Ashar dan waktu-waktu lainnya, maka sholat fardhu
yang sengaja ketinggalan itu lebih utama diganti dari- pada sholat-sholat
sunnah ini.
5). HR Muslim dari Abu Qatadah, mengatakan
bahwa ia teringat waktu safar pernah Rasulallah saw. ketiduran dan terbangun
waktu matahari menyinari punggungnya. Kami terbangun dengan terkejut.
Rasulallah saw. bersabda: Naiklah (ketunggangan masing-masing) dan kami
menunggangi (tunggangan kami) dan kami berjalan. Ketika matahari telah
meninggi, kami turun. Kemudian beliau saw. berwudu dan Bilal adzan untuk
melaksanakan sholat (shubuh yang ketinggalan). Rasulallah saw. melakukan sholat
sunnah sebelum shubuh kemudian sholat shubuh setelah selesai beliau saw.
menaiki tunggangannya.
Ada sementara yang berbisik pada
temannya; ‘Apakah kifarat (tebusan) terhadap apa yang kita lakukan dengan
mengurangi kesempurnaan shalat kita (at-tafrith fi ash-sholah)? Kemudian
Rasulallah saw. bersabda: ’Bukankah aku sebagai teladan bagi kalian’?, dan
selanjutnya beliau bersabda : ‘Sebetulnya jika karena tidur (atau lupa) berartitidak
adatafrith (kelalaian atau kekurangan dalam pelaksanaan ibadah, maknanya
juga tidak berdosa). Yang dinamakankekurangan dalam pelaksanaan ibadah
(tafrith) yaitu orang yang tidak melakukan (dengan sengaja) sholat
sampai datang lagi waktu sholat lainnya….’. (Juga Imam Muslim
meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Imaran bin Husain dengan kata-kata
yang mirip, begitu juga Imam Bukhori dari Imran bin Husain).
Hadits ini tidak lain berarti bahwa
orang yang dinamakan lalai/menggampangkan sholat ialah bila meninggalkan sholat
dengan sengaja dan dia berdosa, tapi bila karena tertidur atau lupa
maka dia tidak berdosa, kedua-duanya wajib menggadha sholat yang
ketinggalan tersebut. Dan dalam hadits ini tidak menyebutkan bahwa orang
tidak boleh/haram menggadha sholat yang ketinggalan kecuali selain dari yang
lupa atau tertidur, tapi hadits ini menyebutkan tidak ada kelalaian
(tidak berdosa) bagi orang yang meninggalkan sholat karena tertidur atau lupa.
Dengan demikian tidak ada dalam kalimat hadits larangan untuk menggadha sholat!
6). Jabir bin Abdullah ra.meriwayatkan
bahwa Umar bin Khattab ra. pernah datang pada hari (peperangan) Khandaq
setelah matahari terbenam. Dia mencela orang kafir Quraisy, kemudian berkata; ‘Wahai
Rasulallah, aku masih melakukan sholat Ashar hingga (ketika itu) matahari
hampir terbenam’. Maka Rasulallah saw. menjawab : ‘Demi Allah aku tidak (belum)
melakukan sholat Ashar itu’. Lalu kami berdiri (dan pergi) ke Bith-han. Beliau
saw. berwuduk untuk (melaksanakan) sholat dan kami pun berwuduk untuk
melakukannya. Beliau saw. (melakukan) sholat Ashar setelah matahari terbenam.
Kemudian setelah itu beliau saw. melaksanakan sholat Maghrib. (HR.Bukhori dalam
Bab ‘orang yg melakukan sholat bersama orang lain secara berjama’ah setelah
waktunya lewat’, Imam Muslim I ;438 hadits nr. 631, meriwayatkannya juga,
didalam Al-Fath II:68, dan pada bab ‘menggadha sholat yang paling utama’
dalam Al-Fath Al-Barri II:72)
7). Begitu juga dalam kitab Fiqih
empat madzhab atau Fiqih lima madzhab bab 25 sholat Qadha’ menulis: Para
ulama sepakat (termasuk Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan lainnya)
bahwa barangsiapa ketinggalan shalat fardhu maka ia wajib
menggantinya/menggadhanya. Baik shalat itu ditinggalkannya dengan sengaja,
lupa, tidak tahu maupun karena ketiduran. Memang terdapat perselisihan antara
imam madzhab (Hanafi, Malik, Syafi’i dan lainnya), perselisihan antara mereka
ini ialah apakah adakewajibanqadha atas oranggila, pingsan dan orang mabuk.
8). Dalam kitab fiqih Sunnah Sayyid
Sabiq (bahasa Indonesia) jilid 2 hal. 195 bab Menggadha Sholat
diterangkan: Menurut madzhab jumhur termasuk disini Imam Abu Hanifah,
Imam Malik dan Imam Syafi’i mengatakan orang yang sengaja meninggalkan sholat
itu berdosa dan ia tetap wajib menggadhanya. Yang menolak pendapat
qadha dan ijma’ ulama ialah Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah, mereka ini
membatalkan (tidak sah) untuk menggadha sholat !! Dalam buku ini diterangkan
panjang lebar alasan dua imam ini. (Tetapi alasan dua imam ini terbantah juga
oleh hadits-hadits diatas dan ijma’ para ulama pakar termasuk disini Imam
Hanafi, Malik, Syafi’i dan ulama pakar lain- nya yang mewajibkan qadha atas
sholat yang sengaja ditinggalkan. Mereka ini juga bathil dari sudut dalil dan
berlawanan dengan madzhab jumhur—pen.).
Kalau kita baca hadits-hadits diatas
semuanya masalah qadha sholat, dengan demikian buat kita insya Allah sudah
jelas bahwa menggadha/menggantikan sholat yang ke tinggalan baik secara
disengaja maupun tidak disengaja menurut ijma’ ulama hukumnya wajib, sebagaimana
yang diutarakan oleh para pakar islam ,yang telah diakui oleh para
ulama, yaitu Imam Hanafi, Imam Malik dan Imam Syafi’i. Hanya perbedaan
antara yang disengaja dan tidak disengaja ialah masalah dosanya jadi
bukan masalah qadhanya.
Semoga dengan adanya dalil-dalil yang
cukup jelas ini, bisa menjadikan manfaat bagi kita semua. Semoga kita semua
tidak saling cela-mencela atau merasa pahamnya/ anutannya yang paling
benar.
4.4. Sholat Sunnah Qabliyah (Sebelum) Sholat Jum’at
Sebagian orang telah membid’ahkan
sholat sunnah qabliyah jum’at ini. Menurut pandangan mereka, hal ini tidak
pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw. atau para sahabat. Padahal kalau kita
teliti cukup banyak hadits serta wejangan para pakar ahli fiqih dalam madzhab
Syafi’i dan lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung yang
berkaitan dengan sunnahnya sholat qabliyah jum’at ini. Mari kita
ikuti hadits-hadits yang berkaitan dengan sholat sunnah sebelum sholat wajib
dan sholat qabliyah jum'at, di antaranya:
Haditsriwayat Bukhori dan Muslim
: “Dari Abdullah bin Mughaffal al-Muzanni, ia berkata; Rasulallah saw.
bersabda: ‘Antara dua adzan itu terdapat shalat’”. Menurut para ulama
yang dimaksud antara dua adzan ialah antara adzan dan iqamah.
Mengenai hadits ini tidak ada seorang
ulamapun yang meragukan keshohihannya karena dia disamping diriwayatkan oleh
Bukhori Muslim, juga diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Ya’la dalam kitab
Musnadnya. Dari hadits ini saja kita sudah dapat memahami bahwa Nabi saw.
menganjurkan diantara adzan dan iqamah itu dilakukan sholat sunnah dahulu,
termasuk dalam katergori ini sholat sunnah qabliyah jum’at. Tetapi nyatanya
para golongan pengingkar tidak mengamalkan amalan sunnah ini karena
mereka anggap sebagai amalan bid’ah.
Riwayat dalam sunan Turmudzi II/18:
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwasanya beliau melakukan shalat
sunnah qabliyah jum’atsebanyak empat raka’at dan sholat
ba’diyah (setelah) jum’at sebanyak empat raka’at pula”.
Abdullah bin Mas’ud merupakan sahabat
Nabi saw. yang utama dan tertua, dipercayai oleh Nabi saw sebagai pembawa
amanah sehingga beliau selalu dekat dengan nabi saw. Beliau wafat pada tahun 32
H. Kalau seorang sahabat Nabi yang utama dan selalu dekat dengan beliau saw.
mengamalkan suatu ibadah, maka tentu ibadahnya itu di ambil dari sunnah Nabi
saw.
Penulis kitab Hujjatu Ahlis Sunnah
Wal-Jama’ah setelah mengutip riwayat Abdullah bin Mas’ud tersebut
mengatakan: “Secara dhohir (lahiriyah) apa yang dilakukan oleh Abdullah
bin Mas’ud itu adalah berdasarkan petunjuk langsung dari Nabi Muhammad saw.”
Dalam kitab Sunan Turmudzi itu
dikatakan pula bahwa Imam Sufyan ats-Tsauri dan Ibnul Mubarak beramal
sebagaimana yang diamalkan oleh Abdullah bin Mas’ud ( Al-Majmu’ 1V/10).
Hadits riwayat Abu Daud: “Dari Ibnu
Umar ra. bahwasanya ia senantiasa memanjangkanshalat qabliyyahjum’at.
Dan ia juga melakukan shalat ba’diyyah jum’at dua raka’at. Ia
menceriterakan bahwasanya Rasulallah saw. senantiasa melakukan hal yang
demikian”.(Nailul Authar III/313).
Penilaian beberapa ulama mengenai
hadits terakhir diatas ialah:
Imam Syaukani berkata: ‘Menurut Hafidz
al-Iraqi, hadits Ibnu Umar itu isnadnya shohih’.
Hafidz Ibnu Mulqin dalam kitabnya yang
berjudul Ar-Risalah berkata: ‘Isnadnya shohih tanpa ada
keraguan’.
Imam Nawawi dalam Al-Khulashah
mengatakan : ‘Hadits tersebut shohih menurut persyaratan Imam Bukhori.
Juga telah dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam shohihnya’.
Hadits riwayat Ibnu Majah : “Dari Abu
Hurairah dan Abu Sufyan dari Jabir, keduanya berkata; Telah datang Sulaik
al-Ghathfani diketika Rasulallah saw. tengah berkhutbah (khotbah jum’at). Lalu
Nabi saw bertanya kepadanya: ‘Apakah engkau sudah shalat dua raka’at sebelum
datang kesini ?’ Dia menjawab; Belum. Nabi saw. bersabda; ‘Shalatlah
kamu dua raka’at dan ringkaskan shalatmu itu’ “. (Nailul Authar
III/318).
Jelas sekali dalam hadits ini bagaimana
Rasulallah saw. menganjurkan (pada orang itu) shalat sunnah qabliyyah
jum’at dua raka’at sebelum duduk mendengarkan khutbah. Juga dalam menerangkan
hadits ini Syeikh Syihabuddin al-Qalyubi wafat 1070H mengatakan; bahwa hadits ini nyata dan jelas berkenaan
dengan shalat sunnah qabliyah jum’at, bukan shalat tahiyyatul masjid.
Hal ini dikarenakan tahiyyatul masjid tidak boleh dikerjakan dirumah
atau diluar masjid melainkan harus dikerjakan di masjid.
Syeikh Umairoh berkata: Andai ada orang
yang mengatakan bahwa yang disabdakan oleh Nabi itu mungkin sholat tahiyyatul
masjid, maka dapat dijawab “Tidak Mungkin”. Sebab shalat tahiyyatul
masjid tidak dapat dilakukan diluar masjid, sedangkan nabi saw. (waktu itu)
bertanya; Apakah engkau sudah sholat sebelum(dirumahnya)
datang kesini ? (Al-Qalyubi wa Umairoh 1/212).
Begitu juga Imam Syaukani ketika
mengomentari hadits riwayat Ibnu Majah tersebut mengatakan dengan tegas:
Sabda Nabi saw. ‘sebelum engkau
datang kesini’ menunjukkan bahwa sholat dua raka’at itu adalah sunnah qabliyyah
jum’at dan bukan sholat sunnah tahiyyatul masjid“.(Nailul Authar
III/318).
Mengenai derajat hadits riwayat Ibnu
Majah itu, Imam Syaukani berkata; ‘Hadits Ibnu Majah ini perawi-perawinya
adalah orang kepercayaan’. Begitu juga Hafidz al-Iraqi berkata: ‘Hadits Ibnu
Majah ini adalah hadits shohih’.
Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Thabrani:
“Dari Abdullah bin Zubair, ia berkata, Rasulallah saw. bersabda: ‘Tidak ada
satupun sholat yang fardhu kecuali disunnahkan sebelumnya shalat dua raka’at’
“. Menurut kandungan hadits ini jelas bahwa disunnahkan juga shalat qabliyyah
jum’at sebelum sholat fardhu jum’at dikerjakan.
Mengenai derajat hadits ini Imam
Hafidzas-Suyuthi mengatakan: ‘Ini adalah hadits shohih’ dan Ibnu
Hibban berkata ; ‘Hadits ini adalah shohih’. Sedangkan Syeikh
al-Kurdi berkata: “Dalil yang paling kuat untuk dijadikan pegangan dalam
hal disyariatkannya sholat sunnah dua raka’at qabliyyah jum’at
adalah hadits yang dipandang shohih oleh Ibnu Hibban yakni hadits Abdullah bin
Zubair yang marfu’ (bersambung sanadnya sampai kepada Nabi saw.) yang artinya:
‘Tidak ada satupun shalat yang fardhu kecuali disunnahkan sebelumnya shalat
dua raka’at’ “.
Demikianlah beberapa hadits shohih
diatas sebagai dalil disunnahkannya sholat qabliyyah jum’at. Sedangkan
kesimpulan beberapa ulama ahli fiqih khususnya dalam madzhab Syafi’i tentang
hukum sholat sunnah qabliyyah jum’at yang tertulis dalam kitab-kitab
mereka ialah :
Hasiyah al-Bajuri 1/137 :
“Shalat jum’at itu sama dengan shalat
Dhuhur dalam perkara yang disunnahkan untuknya. Maka disunnahkan sebelum jum’at
itu empat raka’at dan sesudahnya juga empat raka’at”.
Al-Majmu’ Syarah Muhazzab 1V/9 :
“Disunnahkan shalat sebelum dan sesudah
jum’at. Minimalnya adalah dua raka’at qabliyyah dan dua raka’at ba’diyyah
(setelah sholat jum’at). Dan yang lebih sempurna adalah empat raka’at qabliyyah
dan empat raka’at ba’diyyah’.
Iqna’ oleh Syeikh Khatib Syarbini 1/99
:
“Jum’at itu sama seperti shalat
Dhuhur.Disunnahkan sebelumnya empat raka’at dan sesudahnya juga empat raka’at”.
Minhajut Thalibin oleh Imam Nawawi :
“Disunnahkan shalat sebelum Jum’at sebagaimana shalat
sebelum Dzuhur”.
Begitu juga masih banyak pandangan
ulama pakar berbagai madzhab mengenai sunnahnya sholat qabliyyah jum'at ini.
Dengan keterangan-keterangan singkat mengenai kesunnahan sholat qabliyyah
jum’at, kita akan memahami bahwa ini semua adalah sunnah Rasulallah saw., bukan
sebagai amalan bid’ah. Semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah swt.
Wallahua'lam.
4.5. Keterangan Singkat Mengenai
Mengangkat Tangan Waktu Berdo'a
Sebagian golongan ada yang membid’ahkan
mengangkat kedua tangan waktu berdo’a. Sebenarnya ini sama sekali tidak ada
larangan dalam agama, malah sebaliknya ada hadits bahwa Rasulallah saw.
mengangkat tangan waktu berdo’a. Begitupun juga ulama-ulama pakar dari berbagai
madzhab (Hanafi, Maliki , Syafi’i dan lain sebagai nya) selalu mengangkat
tangan waktu berdo’a, karena hal ini termasuk adab atau tata tertib cara
berdo’a kepada Allah swt.
Dalam kitab Riyaadus Shalihin
jilid 2 terjemahan bahasa Indonesia oleh Almarhum H.Salim Bahreisj cetakan
keempat tahun 1978, meriwayatkan sebuah hadits :
"Sa’ad bin Abi Waqqash ra.berkata:
Kami bersama Rasulallah saw. keluar dari Makkah menuju ke Madinah, dan ketika
kami telah mendekati Azwara, tiba-tiba Rasulallah saw. turun dari kendaraannya,
kemudian mengangkat kedua tanganberdo’a sejenak lalu sujud lama
sekali, kemudian bangun mengangkat kedua tangannya berdo’a, kemudian
sujud kembali, diulanginya perbuatan itu tiga kali. Kemudian berkata:
‘Sesungguhnya saya minta kepada Tuhan supaya di-izinkan memberikan syafa’at
(bantuan) bagi ummatku, maka saya sujud syukur kepada Tuhanku, kemudian saya
mengangkat kepala dan minta pula kepada Tuhan dan diperkenankan untuk
sepertiga, maka saya sujud syukur kepada Tuhan, kemudian saya mengangkat kepala
berdo’a minta untuk ummatku, maka diterima oleh Tuhan, maka saya sujud syukur
kepada Tuhanku’ ". (HR.Abu Dawud).
Dalam hadits ini menerangkan bahwa
Rasulallah saw. tiga kali berdo’a sambil mengangkat tangannya setiap berdo’a,
dengan demikian berdo’a sambil mengangkat tangan adalah termasuk sunnah
Rasulallah saw..
Dalam Kitab Fiqih Sunnah Sayid
Sabiq (bahasa Indonesia) buku yang sering diandalkan juga oleh golongan
pengingkar jilid 4 cetakan pertama tahun 1978
halaman 274-275 diterbitkan oleh PT Alma’arif, Bandung Indonesia, dihalaman ini
ditulis sebagai berikut :
Berdasarkan
riwayat Abu Daud dari Ibnu Abbas ra., katanya: “Jika kamu meminta (berdo’a kepada Allah swt.) hendaklah
dengan mengangkatkedua tanganmu setentang kedua bahumu atau
kira-kira setentangnya, dan jika istiqhfar (mohon ampunan) ialah dengan
menunjuk dengan sebuah jari, dan jika berdo’a dengan melepas semua jari-jemari
tangan”.
Malah dalam hadits ini, kita diberi
tahu sampai dimana batas sunnahnya mengangkat tangan waktu berdo’a, dan
waktu mengangkat tangan tersebut disunnahkan dengan menunjuk sebuah jari waktu
mohon ampunan, melepas semua jari-jari tangan (membuka telapak tangannya) waktu
berdo’a selain istiqfar.
Diriwayatkan dari Malik bin Yasar bahwa
Rasulallah saw. bersabda:
“Jika kamu meminta Allah, maka mintalah dengan bagian dalam
telapak tanganmu, jangan dengan punggungnya !” Sedang dari Salman, sabda Nabi
saw : “Sesungguhnya Tuhanmu yang Mahaberkah dan Mahatinggi adalah Mahahidup
lagi Mahamurah, ia merasa malu terhadap hamba-Nya jika ia menadahkantangan (untuk berdo’a) kepada-Nya, akan menolaknya dengan tangan
hampa”.
Lihat hadits ini Allah swt. tidak akan
menolak do’a hamba-Nya waktu berdo’a sambil menadahkan tangan kepadaNya, dengan
demikian do’a kita akan lebih besar harapan dikabulkan oleh-Nya!
Sedangkan hadits yang diriwayatkan
Bukhori dan Muslim dari Anas bin Malik ra. menuturkan :
“Aku pernah melihat Rasulallah saw. mengangkat
dua tangan keatas saat berdo’a sehingga tampak warna keputih-putihan
pada ketiak beliau”.
Masih ada hadits yang beredar mengenai
mengangkat tangan waktu berdo’a. Dengan hadits-hadits diatas ini, cukup buat
kita sebagai dalil atas sunnahnya mengangkat tangan waktu berdo’a kepada
Allah swt. Bagi saudaraku muslim yang tidak mau angkat tangan waktu berdo’a,
silahkan, tapi janganlah mencela atau membid’ahkan saudara muslim lainnya
yang mengangkat tangan waktu berdo’a! Karena mengangkat tangan waktu berdo’a
adalah sebagai adab atau sopan santun cara berdo’a kepada Allah
swt. dan hal ini diamalkan juga oleh para salaf dan para ulama (Imam
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Imam Ahmad –radhiyallahu ‘anhum– dan para imam
lainnya).Wallahua'lam.
Janganlah kita cepat membid’ahkan sesuatu
amalan karena membaca satu hadits dan mengenyampingkan hadits lainnya. Semuanya
ini amalan-amalan sunnah, siapa yang mengamalkan tersebut akan dapat pahala,
dan yang tidak mengamalkan hal tersebut juga tidak berdosa. Karena membid'ahkan
sesat sama saja mengharamkan amalan tersebut.
4.6. Sekelumit Tentang Mengusap
Wajah Setelah Berdo'a.
Salah satu kebiasaan yang sering kita
lihat, setiap selesai berdoa ,baik setelah sholat maupun diluar waktu sholat,
umat Islam mengusapkan tangannya kewajahnya. Hal mengusap wajah setelah
berdoa ini berdasarkan beberapa hadits, bahwa Rasulullah saw setelah berdoa
mengusapkan kedua tangan ke wajahnya. Umpama hadits dari Saib bin Yazid dari
ayahnya, “Apabila Rasulullah saw berdoa, beliau selalu mengangkat kedua
tangannya, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya”(HR Abu Dawud, no1275,
1492). Dan hadits-hadits lainnya yang serupa dan semakna, dari Umar bin
Khattab, Ibnu Abbas dan lainnya, yang antara lain diriwayatkan oleh Abu Dawud, At Tirmidzi Ibnu ‘Asakir , Ibnu Majah, Ath Thabarani dan
lain-lain.
Memang benar ada beberapa
riwayat tentang masalah tersebut lemah, karena diantara rawinya terdapat
seorang yang dipandang lemah oleh pakar hadits. Namun karena terdapat
syawahid/para saksi atau penguatnya dan diriwayatkan dengan berbagai jalan,
maka menurut ulama hadits dhoif ini menjadi hadits hasan lighairih (Hasan
disebab kan adanya riwayat yang lain). Sebagaimana diterangkan dalam kitab Bulughul
Marammin Adillatil Ahkam oleh al-Hafiz Shaikh Ibn Hajar al-Asqolani,
berikut ini: “Diriwayatkan Umar ra yang katanya: Rasulullah saw menadah
tangannya ketika berdoa, beliau tidak menurunkan tangan itu hingga menyapu
dengan tangannya kewajah nya”. (HR at-Tirmidzi, sebagai syawahid hadits dari
Ibn Abbas ra disisi Abu Daud dan lainnya, dengan banyaknya beredar hadits itu
maka membuat hadits ini (naik derajat) Hasan).
Imam as-Son’ani
ketika memberi komentar kata-kata Ibn Hajar didalam kitabnya Subulus Salam
Syarh Bulughul Maram: “Dan padanya (hadits tersebut) menjadi dalil atas
disyariatkan menyapu wajah dengan kedua tangan setelah selesai
berdoa…”.
Imam as-Son’ani berkata:
“Ada ulama yang berkata bahwa hikmahnya adalah karena kedua tangan yang
diangkat ketika berdoa itu tidak kosong dari rahmat Allah. Maka wajarlah kalau
kedua tangan yang penuh dengan rahmat Allah itu disapukan terlebih dahulu
kewajahnya sebelum diturunkan, karena wajah itu dianggap sebagai anggota tubuh
manusia yang paling mulia dan paling terhormat”.
Hadits-hadits shohih ,berikut ini,
mengenai mengusap wajah seusai berdo’a:
“Rasulallah saw bila telah menuju
pembaringannya nafatsa (meniup disertai butiran kecil airliur) pada
kedua telapak tangannya dengan Qulhuwallahu ahad dan Mu’awwidzatain (QS
Alfalaq dan Annaas), lalu mengusapkan kewajahnya dan anggota tubuhnya yang
terjangkau dengan kedua tangan beliau saw. Berkata Aisyah ra, ketika beliau
sakit maka beliau menyuruhku untuk melakukannya untuk beliau saw (Bukhari
hadits no.5416). Sedangkan dalam kitab Bukhori hadits no.4729: bahwa Rasulallah
saw ketika dipembaringannya, merapatkan kedua telapak tangannya lalu nafatsa
(meniup dengan sedikit meludah) pada kedua telapak tangannya, lalu membaca
surat Al Ikhlas, Alfalaq dan Annaas, lalu mengusapkan kewajahnya, dan
seluruh tubuh yang mungkin dicapainya, beliau mengulanginya tiga kali.
Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha
dalam kitab I’anatut Thalibin juz I, hal 184-185 menyatakan: Imam Nawawi
dalam kitabnya al-Adzkar (hal. 69), dan kami juga meriwayatkan hadits
dalam kitab Ibnus Sunni dari sahabat Anas bahwa Rasulullah saw apabila
selesai melaksanakan shalat, beliau mengusap wajahnya dengan tangan
kanannya. Lalu berdoa: “Saya bersaksi tiada Tuhan kecuali Dia Dzat Yang maha
Pengasih dan penyayang. Ya Allah Hilangkan dariku kebingungan dan kesusahan”.
Juga didalam kitab
al-Adzkar ini pada bab adab-adab ketika berdoa, disebutkan: “Dan
telah berkata Abu Hamid al-Ghazali didalam ihya, adab/cara berdo’a itu
ada sepuluh..... Yang ketiga: menghadap qiblat, dan mengangkat kedua belah
tangan dan menyapu keduanya kewajah pada akhir do’a (setelah berdoa)
…”.
Didalam kitab Fathul
Muin (Al-Malibary): “Dan (disunahkan waktu berdoa itu) mengangkatkan kedua
tangan yang bersih sampai sejajar dengan dua bahu, dan disunnahkan menyapu muka
dengan kedua tangan itu seusai berdoa …”
Didalam Hasyiah
al-Baijuri juga disebutkan sunnahnya menyapu wajah setelah berdo’a diluar
waktu sholat.
Insya Allah jelas buat kita bahwa Nabi
saw pernah mencontohkan mengusap tangan kewajahnya setelah berdoa, terutama
saat akan tidur. Beliau saw sedang sakitpun menyuruh isterinya Aisyah ra untuk
melakukannya. Ini semua merupakan sunnah dan sebagai salah
satu etika berdoa. Begitu jug sebagai bukti bagi orang yang
meniadakan dan membid’ahkan munkar mengusap wajah setelah berdoa. Begitupun
juga tidak ada satu dalil pun dari Nabi saw yang mengharamkan mengusap
wajah setelah berdoa! Janganlah kita mudah menvonnis bid’ah munkar (baca:
haram), sesat, dan lain sebagainya, yang mengamalkan amalan-amalan sunnah atau
mubah. Jangan lagi yang masih ada dalilnya, umpama saja tidak ada satu
haditspun dari Nabi saw tentang mengusap wajah setelah berdoa diluar
waktu sholat, itupun bukan berarti haram untuk di lakukan. Orang boleh
melakukan amalan apapun setelah selesai sholat selama hal itu tidak
berlawanan yang telah digariskan oleh syari’at Islam. Dan yang penting lagi
orang tidak boleh mewajibkan/mensyariatkan amalan yang sunnah atau
mubah, dan sebaliknya mensunnahkan suatu amalan padahal amalan
ini wajib hukumnya. Wallahu’alam.
4.7. Menyebut Nama Rasulallah Saw. Dengan Awalan Kata
Sayyidina Atau Maulana
Sebagian orang membid’ahkan panggilan Sayyidinaa atau
Maulana didepan nama Muhammad Rasulallah saw., dengan alasan bahwa
Rasulallah saw. sendiri yang menganjurkan kepada kita tanpa mengagung-agungkan
dimuka nama beliau saw. Memang golongan ini mudah sekali membid’ahkan
sesuatu amalan tanpa melihat motif makna yang dimaksud Bid’ah itu apa. Mari
kita rujuk ayat-ayat Ilahi dan hadits-hadits Rasulallah saw. yang berkaitan
dengan kata-kata sayyid.
Syeikh Muhammad Sulaiman Faraj dalam
risalahnya yang berjudul panjang yaitu Dala’ilul-Mahabbah Wa Ta’dzimul-Maqam
Fis-Shalati Was-Salam ‘AN Sayyidil-Anam dengan tegas mengatakan: Menyebut
nama Rasulallah saw. dengan tambahan kata Sayyidina (junjungan kita)
didepannya merupakan suatu keharusan bagi setiap muslim yang mencintai
beliau saw. Sebab kata tersebut menunjukkan
kemuliaan martabat dan ketinggian kedudukan beliau. Allah swt.memerintahkan
ummat Islam supaya menjunjung tinggi martabat Rasulallah saw., menghormati dan
memuliakan beliau, bahkan melarang kita memanggil atau menyebut nama beliau
dengan cara sebagaimana kita menyebut nama orang diantara sesama kita. Larangan
tersebut tidak berarti lain kecuali untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan
Rasulallah saw. Allah swt.berfirman, yang artinya: “Janganlah kalian
memanggil Rasul (Muhammad) seperti kalian memanggil sesama orang
diantara kalian”. (S.An-Nur : 63).
Dalam tafsirnya mengenai ayat
An-Nur : 63 ini, Ash-Shawi mengatakan: Makna ayat itu ialah janganlah
kalian memanggil atau menyebut nama Rasulallah saw. cukup dengan nama beliau
saja, seperti Hai Muhammad atau cukup dengan nama julukannya saja Hai Abul
Qasim. Hendaklah kalian menyebut namanya
atau memanggilnya dengan penuh hormat, dengan menyebut kemuliaan dan
keagungannya.Demikianlah yang dimaksud oleh ayat tersebut diatas. Jadi, tidak
patut bagi kita menyebut nama beliau saw.tanpa menunjukkan penghormatan dan
pemuliaan kita kepada beliau saw., baik dikala beliau masih hidup didunia
maupun setelah beliau kembali keharibaan Allah swt. Yang sudah jelas ialah
bahwa orang yang tidak mengindahkan ayat tersebut berarti tidak mengindahkan
larangan Allah dalam Al-Qur’an.Sikap demikian bukanlah sikap orang beriman.
Menurut Ibnu Jarir, dalam menafsirkan ayat tersebut
Qatadah mengatakan : Dengan ayat itu (An-Nur:63) Allah memerintahkan ummat
Islam supaya memuliakan dan mengagungkan Rasulallah saw.
Dalam kitab Al-Iklil Fi
Istinbathit-Tanzil Imam Suyuthi mengatakan: Dengan turunnya ayat
tersebut Allah melarang ummat Islam menyebut beliau saw. atau memanggil beliau
hanya dengan namanya, tetapi harus menyebut atau memanggil beliau dengan Ya
Rasulallah atau Ya Nabiyullah. Menurut
kenyataan sebutan atau panggilan demikian itu tetap berlaku, kendati
beliau telah wafat.
Dalam kitab Fathul-Bari syarh
Shahihil Bukhori juga terdapat penegasan seperti tersebut diatas, dengan tambahan
keterangan sebuah riwayat berasal dari Ibnu ‘Abbas ra. yang diriwayatkan oleh
Ad-Dhahhak, bahwa sebelum ayat tersebut turun kaum Muslimin memanggil
Rasulallah saw. hanya dengan Hai Muhammad, Hai Ahmad, Hai Abul-Qasim dan
lain sebagainya. Dengan menurunkan ayat itu Allah
swt.melarang mereka menyebut atau memanggil Rasulallah saw. dengan
ucapan-ucapan tadi. Mereka kemudian menggantinya dengan kata-kata :Ya
Rasulallah, dan Ya Nabiyullah.
Hampir seluruh ulama Islam dan para ahli Fiqih berbagai
madzhab mempunyai pendapat yang sama mengenai soal tersebut, yaitu bahwa mereka
semuanya melarang orang menggunakan sebutan atau panggilan sebagaimana
yang dilakukan orang sebelum ayat tersebut diatas turun.
Didalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat yang mengisyaratkan
makna tersebut diatas. Antara lain firman Allah swt. dalam surat Al-A’raf : 157
; Al-Fath : 8-9, Al-Insyirah : 4 dan lain sebagainya. Dalam ayat-ayat ini Allah
swt.memuji kaum muslimin yang bersikap hormat dan memuliakan Rasulallah saw.,
bahkan menyebut mereka sebagai orang-orang yang beruntung. Juga firman Allah
swt.mengajarkan kepada kita tatakrama, yang mana dalam firman-Nya tidak pernah
memanggil atau menyebut Rasul-Nya dengan kalimat Hai Muhammad, tetapi
memanggil beliau dengan kalimat Hai Rasul atau Hai Nabi.
Firman-firman Allah swt.tersebut cukup gamblang dan jelas
membuktikan bahwa Allah swt. mengangkat dan menjunjung Rasul-Nya sedemikian
tinggi, hingga layak disebut sayyidina atau junjungan kita Muhammad
Rasulallah saw. Menyebut nama beliau saw. tanpa diawali dengan kata yang
menunjukkan penghormatan, seperti sayyidina tidak sesuai dengan
pengagungan yang selayaknya kepada kedudukan dan martabat beliau.
Ayat-ayat lain yang berkaitan dengan gelar sayid untuk
pribadi seseorang, antara lain:
Dalam surat Aali-‘Imran:39 Allah swt. menyebut Nabi Yahya
as. dengan predikat sayyid:
“…Allah memberi kabar gembira kepadamu (Hai Zakariya) akan kelahiran seorang puteramu, Yahya,
yang membenarkan kalimat (yang datang dari) Allah, seorang sayyid (terkemuka,
panutan), (sanggup) menahan diri (dari hawa nafsu) dan Nabi dari
keturunan orang-orang sholeh”.
Para penghuni neraka pun menyebut orang-orang yang
menjerumuskan mereka dengan istilah saadat (jamak dari kata sayyid),
yang berarti para pemimpin. Penyesalan mereka dilukiskan Allah swt.dalam
firman-Nya, yang artinya:
“Dan mereka (penghuni
neraka)berkata : ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati para
pemimpin (sadatanaa) dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan
kami dari jalan yang benar”. (S.Al-Ahzab:67).
Juga seorang suami dapat disebut dengan kata sayyid,
sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah swt. dalam surat Yusuf : 25, yang
artinya:
“Wanita itu menarik qamis (baju)
Yusuf dari belakang hingga koyak, kemudian kedua-duanya memergoki sayyid
(suami) wanita itu didepan pintu”.Dalam kisah ini yang dimaksud suami
ialah raja Mesir.
Demikian juga kata Maula yang berarti pengasuh,
penguasa, penolong dan lain sebagainya. Banyak terdapat didalam
Al-Qur’anul-Karim kata-kata ini, antara lain dalam surat Ad-Dukhan: 41 Allah
berfirman, yang artinya:
“…Hari (kiamat)
dimana seorang maula (pelindung) tidak dapat memberi manfaat apa pun
kepada maula (yang dilindunginya) dan mereka tidak akan tertolong”.
Juga dalam firman Allah swt.dalam Al-Maidah : 55 disebutkan
juga kalimat Maula untuk Allah swt., Rasul dan orang yang beriman.
Jadi kalau kata sayyid itu dapat digunakan untuk menyebut
Nabi Yahya putera Zakariya, dapat digunakan untuk menyebut raja Mesir, bahkan
dapat juga digunakan untuk menyebut pemimpin yang semuanya itu menunjuk kan
kedudukan seseorangalasan apa yang dapat digunakan untuk menolak sebutan sayyid
bagi junjungan kita Nabi Muhammad saw. Demikian pula soal penggunaan
kata maula . Apakah bid’ah jika seorang menyebut nama seorang Nabi yang
diimani dan dicintainya dengan awalan sayyidina atau maulana ?!
Mengapa orang yang menyebut nama seorang pejabat tinggi
pemerintahan, kepada para presiden, para raja atau menteri, atau kepada diri
seseorang dengan awalan ‘Yang Mulia’ , Pemimpin kita yang
mulia, dan lain sebagainya, tidak dituduh berbuat bid’ah?
Tidak salah kalau ada orang yang mengatakan, bahwa sikap menolak penggunaan
kata sayyid atau maula untuk mengawali penyebutan nama Rasulallah
saw. itu sesungguhnya dari pikiran meremehkan kedudukan dan martabat
beliau saw. Atau sekurang-kurang hendak menyamakan kedudukan dan martabat
beliau saw. dengan manusia awam/biasa.
Sebagaimana kita ketahui, dewasa ini masih banyak orang yang
menyebut nama Rasulallah saw. tanpa diawali dengan kata sayyidina dan tanpa
dilanjutkan dengan kalimat sallahu ‘alaihi wasallam (saw). Menyebut nama
Rasulallah dengan cara demikian menunjukkan sikap tak kenal hormat pada diri
orang yang bersangkutan. Cara demikian itu lazim dilakukan oleh orang-orang
diluar Islam, seperti kaum orientalis barat dan lain sebagainya.Sikap kaum
orientalis ini tidak boleh kita tiru.
Hadits-hadits yang berkaitan dengan kata sayyid,
beberapa diantaranya ialah :
“Setiap anak Adam adalah sayyid. Seorang suami adalah sayyid
bagi isterinya dan seorang isteri adalah sayyidah bagi keluarganya (rumah tangga nya)”.(HR Bukhori dan Adz-Dzahabi).
Jadi kalau setiap anak Adam saja dapat disebut sayyid,
apakah anak Adam yang paling tinggi martabatnya dan paling mulia kedudukannya
disisi Allah yaitu junjungan kita Nabi Muhammad saw. tidak boleh disebut sayyid ?
Hadits riwayat Imam
Bukhori, Rasulallah saw bersabda: "Janganlah kalian berkata (kepada
seorang budak kepada majikannya), 'beri makan Rabb mu, wudhu kan Rabb
mu, tapi ucapkanlah Sayyidi dan Maulaya (tuanku dan junjunganku)', dan jangan
pula kalian (para pemilik budak) berkata pada mereka,'wahai Hambaku, tapi
ucapkanlah : wahai anak, wahai pembantu" (shahih Bukhari hadits no.2414)
hadits semakna dalam Shahih Muslim hadits no.2249).
Rasulallah saw. membolehkan
ucapan sayyidi (tuanku) atau maulaya (tuan muliaku) seorang budak terhadap
tuannya, dan berkata para ahli hadits, kalau antara tuan yg memiliki budak saja
boleh menggunakan Sayyidi wa Maulaya., atau sayyidina wa maulana, maka sungguh
Nabi saw jauh lebih berhak dari semua pemilik budak itu.
Didalam shohih Muslim terdapat sebuah hadits, bahwasanya Rasulallah saw. memberitahu para sahabatnya, bahwa pada hari kiamat kelak Allah swt. akan menggugat hamba-hambaNya : “Bukankah engkau telah Ku-muliakan dan Ku-jadikan sayyid ?” (alam ukrimuka wa usawwiduka?)
Didalam shohih Muslim terdapat sebuah hadits, bahwasanya Rasulallah saw. memberitahu para sahabatnya, bahwa pada hari kiamat kelak Allah swt. akan menggugat hamba-hambaNya : “Bukankah engkau telah Ku-muliakan dan Ku-jadikan sayyid ?” (alam ukrimuka wa usawwiduka?)
Makna hadits itu ialah, bahwa Allah
swt.telah memberikan kemuliaan dan kedudukan tinggi kepada setiap manusia.
Kalau setiap manusia dikarunia kemuliaan dan kedudukan tinggi, apakah manusia
pilihan Allah yang diutus sebagai Nabi dan Rasul tidak jauh lebih mulia dan
lebih tinggi kedudukan dan martabatnya daripada manusia lainnya ? Kalau manusia-manusia biasa saja dapat disebut sayyid ,
mengapa Rasulallah saw. tidak boleh disebut sayyid atau maula ?
Dalil-dalil orang yang membantah dan jawabannya
Ada sementara orang terkelabui oleh pengarang hadits
palsu yang berbunyi: “Laa tusayyiduunii fis-shalah” artinya “Jangan
menyebutku (Nabi Muhammad saw) sayyid di dalam sholat”. Tampaknya pengarang
hadits palsu yang mengatas namakan Rasulallah saw. untuk mempertahankan
pendiriannya itu lupa atau memang tidak mengerti bahwa didalam bahasa Arab tidak
pernah terdapat kata kerja tusayyidu. Tidak ada kemungkinan sama
sekali Rasulallah saw.mengucapkan kata-kata dengan bahasa Arab gadungan
seperti yang dilukiskan oleh pengarang hadits palsu tersebut. Dilihat dari segi
bahasanya saja, haditsitu tampak jelas kepalsuannya.
Namun untuk lebih kuat membuktikan kepalsuan hadits
tersebut baiklah kami kemukakan ,berikut ini, beberapa pendapat yang dinyatakan
oleh para ulama.
– Dalam
kitab Al-Hawi , atas pertanyaan mengenai hadits tersebut Imam Jalaluddin
As-Suyuthi menjawab tegas : “Tidak pernah ada (hadits tersebut), itu bathil !”.
– Imam
Al-Hafidz As-Sakhawi dalam kitab Al-Maqashidul-Al-Hasanah menegaskan : “
Hadits itu tidak karuan sumbernya ! “
– Imam
Jalaluddin Al-Muhli, Imam As-Syamsur-Ramli, Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami, Imam
Al-Qari, para ahli Fiqih madzhab Sayfi’i dan madzhab Maliki dan lain-lainnya,
semuanya mengatakan : “Hadits itu sama sekali tidak benar”.
– Selain
hadits palsu diatas tersebut, masih ada hadits palsu lainnya yang semakna,
yaitu yang berbunyi : “La tu’adzdzimuunii fil-masjid” artinya ;
“Jangan mengagungkan aku (Nabi Muhammad saw.) di masjid”.
– Dalam
kitab Kasyful Khufa Imam Al-Hafidz Al-‘Ajluni dengan tegas mengatakan:
“Itu bathil !”.
– Demikian
pula Imam As-Sakhawi dalam kitab Maulid-nya yang berjudul Kanzul-‘Ifah
menyatakan tentang hadits ini: “Kebohongan yang diada-adakan”.
Memang masuk akal kalau ada orang yang berkata seperti itu
yakni jangan mengagungkan aku di masjid kepada para hadirin
didalam masjid, sebab ucapannya itu merupakan tawadhu’ (rendah hati).
Akan tetapi kalau dikatakan bahwa perkataan tersebut diucapkan oleh
Rasulallah saw.atau sebagai hadits beliau saw., jelas hal itu suatu pemalsuan
yang terlampau berani.
Mari kita lanjutkan tentang hadits-hadits yang menggunakan
kata sayyid berikut ini:
– Hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dalam Shohihnya bahwa Rasulallah
saw.bersabda : “Aku sayyid anak Adam…” . Jelaslah bahwa kata sayyid
dalam hal ini berarti pemimpin ummat, orang yang paling terhormat dan paling
mulia dan paling sempurna dalam segala hal sehingga dapat menjadi panutan serta
teladan bagi ummat yang dipimpinnya.
Ibnu ‘Abbas ra mengatakan, bahwa makna sayyid dalam
hadits tersebut ialah orang yang paling mulia disisi Allah. Qatadah ra.mengatakan,
bahwa Rasulallah saw. adalah seorang sayyid yang tidak pernah dapat
dikalahkan oleh amarahnya.
– Dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Majah dan
At-Turmudzi, Rasulallah saw. bersabda :
“Aku adalah sayyid anak Adam pada hari kiamat”. Surmber riwayat lain yang diketengahkan oleh Imam Ahmad bin
Hanbal, Imam Bukhori dan Imam Muslim, mengatakan bahwa Rasulallah saw. bersabda
:“Aku sayyid semua manusia pada hari kiamat”.
Hadit tersebut diberi makna oleh Rasulallah saw. sendiri dengan
penjelasannya: ‘Pada hari kiamat, Adam dan para Nabi keturunannya berada
dibawah panjiku”.
Sumber riwayat lain mengatakan lebih tegas lagi, yaitu bahwa
Rasulallah saw. bersabda :“Aku sayyid dua alam”.
– Riwayat
yang berasal dari Abu Nu’aim sebagaimana tercantum didalam kitab Dala’ilun-Nubuwwah
mengatakan bahwa Rasulallah saw. bersabda :“Aku sayyid kaum Mu’minin
pada saat mereka dibangkitkan kembali (pada hari kiamat)”.
– Hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Khatib mengatakan, bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Aku Imam kaum muslimin dan sayyid kaum yang bertaqwa”.
– Sebuah
hadits yang dengan terang mengisyaratkan keharusan menyebut nama Rasulallah
saw. diawali dengan kata sayyidina diketengahkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak.
Hadits yang mempunyai isnad shohih ini berasal dari Jabir bin ‘Abdullah ra.
yang mengatakan sebagai berikut:
“Pada suatu hari kulihat Rasulallah saw. naik keatas mimbar.
Setelah memanjatkan puji syukur kehadirat Allah saw. beliau bertanya : ‘Siapakah
aku ini ?’ Kami menyahut: Rasulallah ! Beliau bertanya lagi: ‘Ya, benar,
tetapi siapakah aku ini ?’. Kami menjawab : Muhammad bin ‘Abdullah bin
‘Abdul-Mutthalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf ! Beliau kemudian menyatakan :‘Aku
sayyid anak Adam….’.”
Riwayat hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa Rasulallah
saw. lebih suka kalau para sahabatnya menyebut nama beliau dengan kata sayyid.
Dengan kata sayyid itu menunjukkan perbedaan kedudukan beliau dari
kedudukan para Nabi dan Rasul terdahulu, bahkan dari semua manusia sejagat.
Semua hadits tersebut diatas menunjukkan dengan jelas, bahwa
Rasulallah saw. adalah sayyid anak Adam, sayyid kaum muslimin, sayyid dua alam
(al-‘alamain), sayyid kaum yang bertakwa. Tidak diragukan lagi bahwa
menggunakan kata sayyidina untuk mengawali penyebutan nama Rasulallah saw.
merupakan suatu yang dianjurkan bagi setiap muslim yang mencintai beliau saw.
– Demikian
pula soal kata Maula, Imam Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya,
Imam Turmduzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah mengetengahkan sebuah hadits, bahwa
Rasulallah saw. bersabda :
“Man kuntu maulahu fa ‘aliyyun maulahu” artinya :“Barangsiapa
aku menjadi maula-nya(pemimpinnya). ‘Ali (bin Abi Thalib) adalah maula-nya…”
– Dari
hadits semuanya diatas tersebut kita pun mengetahui dengan jelas bahwa
Rasulallah saw. adalahsayyidina dan maulana (pemimpin kita).
Demikian juga para ahlu-baitnya (keluarganya), semua adalah sayyidina.
Al-Bukhori meriwayatkan bahwa Rasulallah saw. pernah berkata kepada puteri
beliau, Siti Fathimah ra :
يَا
فَاطِمَة أَمَا تَرضينَ أَن تَكونِي سَيِّدَةَ نِسَاءِ المؤمِنِينَ اَو سَيِّدَةَ نِسَاءِ هَذِهِ الأمَّةِ
Artinya: “Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi
sayyidah kaum mu’minin (kaum orang-orang yang beriman) atau sayyidah
kaum wanita ummat ini ?”
– Dalam
shohih Muslim hadits tersebut berbunyi:
يَا فَاطِمَة أَمَا
تَرضينَ أَن تَكونِي سَيِّدَةَ نِسَاءِ المؤمِناَتِ اَو سَيِّدَةَ نِسَاءِ هَذِهِ الأمَّةِ
Artinya :“Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi
sayyidah mu’mininat (kaum wanitanya orang-orang yang beriman) atau
sayyidah kaum wanita ummat ini ?”
– Dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad, Rasulallah saw. berkata kepada
puterinya (Siti Fathimah ra) :
أَمَا تَرضينَ أَن تَكونِي سَيِّدَةَ نِسَاء هَذِهِ الأمَّةِ اَو نِسَاءِ العَالَمِينَ
Artinya : “…Apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah
kaum wanita ummat ini, atau sayyidah kaum wanita sedunia ?”
– Demikianlah
pula halnya terhadap dua orang cucu Rasulallah saw. Al-Hasan dan Al-Husain
radhiyallahu ‘anhuma.Imam Bukhori dan At-Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits
yang berisnad shohih bahwa pada suatu hari Rasulallah saw. bersabda :
الحَسَن وَ الحسَين سَيِّدَا شَبَابِ أَهلِ
الجَنَّةِ
Artinya :“Al-Hasan dan Al-Husain dua orang sayyid pemuda
ahli surga”.
Berdasarkan hadits-hadits diatas itu kita menyebut puteri
Rasulallah saw. Siti Fathimah Az-Zahra dengan kata awalan sayyidatuna.Demikianlah
pula terhadap dua orang cucu Rasulallah saw. Al-Hasan dan Al-Husain
radhiyallahu ‘anhuma.
– Ketika
Sa’ad bin Mu’adz ra. diangkat oleh Rasulallah saw. sebagai penguasa kaum Yahudi
Bani Quraidah (setelah mereka tunduk kepada kekuasaan kaum muslimin),
Rasulallah saw. mengutus seorang memanggil Sa’ad supaya datang menghadap
beliau. Sa’ad datang berkendaraan keledai, saat itu Rasulallah saw. berkata
kepada orang-orang yang hadir: “Guumuu ilaa sayyidikum au ilaa khoirikum”
artinya : “Berdirilah menghormati sayyid (pemimpin) kalian, atau
orang terbaik diantara kalian”.
Rasulallah saw. menyuruh mereka berdiri
bukan karena Sa’ad dalam keadaan sakit sementara fihak menafsirkan
mereka disuruh berdiri untuk menolong Sa’ad turun dari keledainya, karena dalam
keadaan sakit sebab jika Sa’ad dalam keadaan sakit, tentu Rasulallah saw.
tidak menyuruh mereka semua menghormat kedatangan Sa’ad, melainkan
menyuruh beberapa orang saja untuk berdiri menolong Sa’ad.
Sekalipun –misalnya– Rasulallah saw.
melarang para sahabatnya berdiri menghormati beliau saw, tetapi beliau sendiri
malah memerintahkan mereka supaya berdiri menghormati Sa’ad bin Mu’adz, apakah
artinya ? Itulah tatakrama Islam. Kita harus dapat memahami apa yang
dikehendaki oleh Rasulallah saw. dengan larangan dan perintahnya mengenai
soal yang sama itu. Tidak ada ayah, ibu , kakak dan guru yang secara terang-terangan
minta dihormati oleh anak, adik dan murid, akan tetapi si anak, si adik dan si
murid harus merasa dirinya wajib menghormati ayahnya, ibunya, kakaknya
dan gurunya. Tidak ada juga seorang yang bertitel prof., Drs dan lain-lain,
waktu mengenalkan namanya pada seseorang sambil menyebut titelnya
tersebut. Demikian juga Rasulallah saw. sekalipun beliau menyadari
kedudukan dan martabatnya yang sedemikian tinggi disisi Allah swt, beliau tidak
menuntut supaya ummatnya memuliakan dan mengagung-agungkan beliau. Akan
tetapi kita, ummat Rasulallah saw., harus merasa wajib menghormati,
memuliakan dan mengagungkan beliau saw.
Allah swt. berfirman dalam Al-Ahzab: 6,
yang artinya : “Bagi orang-orang yang beriman, Nabi (Muhammad saw.)
lebih utama daripada diri mereka sendiri, dan para isteri nya adalah ibu-ibu
mereka”.
Ibnu ‘Abbas ra. menyatakan: Beliau
adalah ayah mereka’ yakni ayah semua orang beiman! Ayat suci diatas ini jelas
maknanya, tidak memerlukan penjelasan apa pun juga, bahwa Rasulallah saw. lebih
utama dari semua orang beriman dan para isteri beliau wajib dipandang
sebagai ibu-ibu seluruh ummat Islam ! Apakah setelah keterangan semua diatas
ini orang yang menyebut nama beliau dengan tambahan kata awalan sayyidina
atau maulana pantas dituduh berbuat bid’ah? Semoga Allah swt. memberi
hidayah kepada kita semua. Amin
– Ibnu Mas’ud ra. mengatakan kepada
orang-orang yang menuntut ilmu kepadanya: “Apabila kalian mengucapkan shalawat
Nabi hendaklah kalian mengucapkan shalawat dengan sebaik-baiknya. Kalian tidak
tahu bahwa sholawat itu akan disampaikan kepada beliau saw., karena itu
ucapkanlah : ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu, rahmat-Mu dan berkah-Mu
kepada Sayyidul-Mursalin (pemimpin para Nabi dan Rasulallah) dan Imamul-Muttaqin
(Panutan orang-orang bertakwa)”
– Para sahabat Nabi juga menggunakan
kata sayyid untuk saling menyebut nama masing-masing, sebagai tanda
saling hormat-menghormati dan harga-menghargai. Didalam Al-Mustadrak
Al-Hakim mengetengahkan sebuah hadits dengan isnad shohih, bahwa “Abu Hurairah
ra. dalam menjawab ucapan salam Al-Hasan bin ‘Ali ra. selalu mengatakan “Alaikassalam
ya sayyidi”. Atas pertanyaan seorang sahabat ia menjawab: ‘Aku mendengar
sendiri Rasulallah saw. menyebutnya (Al-Hasan ra.) sayyid’ “.
– Ibnu ‘Athaillah dalam bukunya Miftahul-Falah
mengenai pembicaraannya soal sholawat Nabi mewanti-wanti pembacanya sebagai
berikut: “Hendaknya anda berhati-hati jangan sampai meninggalkan lafadz sayyidina
dalam bersholawat, karena didalam lafadz itu terdapat rahasia yang tampak
jelas bagi orang yang selalu mengamalkannya”. Dan masih banyak lagi wejangan
para ulama pakar cara sebaik-baiknya membaca sholawat pada Rasulallah saw. yang
tidak tercantum disini.
Nah, kiranya cukuplah sudah uraian
diatas mengenai penggunaan kata sayyidina atau maulana untuk mengawali
penyebutan nama Rasulallah saw. Setelah orang mengetahui banyak hadits Nabi
yang menerangkan persoalan itu yakni menggunakan kata awalan sayyid, apakah
masih ada yang bersikeras tidak mau menggunakan kata sayyidina dalam menyebut
nama beliau saw.?, dan apanya yang salah dalam hal ini ?
Apakah orang yang demikian itu hendak
mengingkari martabat Rasulallah saw. sebagai Sayyidul-Mursalin (penghulu para
Rasulallah) dan Habibu Rabbil-‘alamin (Kesayangan Allah Rabbul ‘alamin) ?
Bagaimana tercelanya orang yang berani membid’ahkan
penyebutan sayyidina atau maulana dimuka nama beliau saw.? Yang lebih aneh lagi
sekarang banyak diantara golongan pengingkar ini sendiri yang memanggil nama
satu sama lain diawali dengan sayyid atau minta juga agar mereka dipanggil
sayyid dimuka nama mereka! Begitu juga orang yang ekstrim ini, bila duduk
disatu majlis kemudian datang seorang ulama dimajlis tersebut, mereka ini
sampai-sampai berani mengharamkan orang untuk berdiri penghormatan
kepada ulama ini. Padahal banyak contoh dalam hadits antara lain yang
telah kami kemukakan, para sahabat berdiri untuk para pemimpinnya atau untuk
orang yang dipandang mulia oleh mereka. Berdiri untuk
penghormatan itu bukan suatu yang wajib tetapi tata krama yang diajarkan oleh
Rasulallah saw, untuk seorang yang berilmu atau para wauliya sholihin.
Sekali lagi untuk mengharamkan sesuatu itu harus ada dalilnya yg jelas dan
tegas masalah tsb.
4.8. Penggunaan Tasbih Bukanlah
Bid’ah Sesat.
Sering yang kita dengar
dari golongan muslimin diantaranya dari madzhab Wahabi/Salafi dan pengikutnya
yang melarang orang menggunakan Tasbih waktu berdzikir. Sudah tentu
sebagaimana kebiasaan golongan ini alasan mereka melarang dan sampai-sampai
berani membid’ahkan sesat karena menurut paham mereka bahwa Rasulallah saw.
para sahabat tidak ada yang menggunakan tasbih waktu berdzikir !
‘Tasbih’ atau yang dalam bahasa
Arab disebut dengan nama ‘Subhah’ adalah butiran-butiran yang dirangkai
untuk menghitung jumlah banyaknya dzikir yang diucapkan oleh seseorang, dengan
lidah atau dengan hati. Dalam bahasa Sanskerta
kuno, tasbih disebut dengan namaJibmala yang berarti hitungan dzikir.
Orang berbeda pendapat mengenai asal-usul
penggunaan tasbih.Ada yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari orang Arab,
tetapi ada pula yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari India yaitu dari
kebiasaan orang-orang Hindu.Ada pula orang yang mengatakan bahwa pada mulanya
kebiasaan memakai tasbih dilakukan oleh kaum Brahmana di India.Setelah Budhisme
lahir, para biksu Budha menggunakan tasbih menurut hitungan Wisnuisme, yaitu
108 butir.Ketika Budhisme menyebar keberbagai negeri, para rahib Nasrani juga
menggunakan tasbih, meniru biksu-biksu Budha. Semuanya ini terjadi pada zaman
sebelum islam.
Kemudian datanglah Islam, suatu agama yang
memerintahkan para pemeluk nya untuk berdzikir (ingat) juga kepada Allah
swt. sebagai salah satu bentuk peribadatan untuk mendekatkan diri kepada Allah
swt.. Perintah dzikir bersifat umum, tanpa pembatasan jumlah tertentu dan tidak
terikat juga oleh keadaan-keadaan tertentu.Banyak sekali firman Allah swt.dalam
Al-Qur’an agar orang banyak berdzikir dalam setiap keadaan atau situasi, umpama
berdzikir sambil berdiri, duduk, berbaring dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan itu terdapat banyak hadits
yang menganjurkan jumlah dan waktu berdzikir, misalnya seusai sholat fardhu
yaitu tiga puluh tiga kali dengan ucapan Subhanallah, tiga puluh tiga
kali Alhamdulillah dan tiga puluh tiga kali Allahu Akbar,
kemudian dilengkapi menjadi seratus dengan ucapan kalimat tauhid ‘Laa ilaaha
illallahu wahdahu….’. Kecuali itu terdapat pula hadits-hadits lain yang
menerangkan keutamaan berbagai ucapan dzikir bila disebut sepuluh atau seratus
kali.Dengan adanya hadits-hadits yang menetapkan jumlah dzikir seperti itu maka
dengan sendirinya orang yang berdzikir perlu mengetahui jumlahnya yang pasti.
Hadits-hadits yang berkaitan dengan cara
menghitung dzikir
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud,
Tirmidzi, An-Nasai dan Al-Hakim berasal dari Ibnu Umar ra.yang mengatakan:
“Rasulallah saw. menghitung dzikirnya dengan
jari-jari dan menyarankan para sahabatnya supaya mengikuti cara beliau saw.”.
Para Imam ahli hadits tersebut juga meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Bisrah,
seorang wanita dari kaum Muhajirin, yang mengatakan bahwa Rasulallah saw.
pernah berkata:
“Hendaklah kalian senantiasa bertasbih (berdzikir), bertahlil dan bertaqdis (yakni
berdzikir dengan menyebut ke–Esa-an dan ke-Suci-an Allah swt.). Janganlah
kalian sampai lupa hingga kalian akan melupakan tauhid. Hitunglah dzikir kalian
dengan jari, karena jari-jari kelak akan ditanya oleh Allah dan akan diminta
berbicara”.
Perhatikanlah: Anjuran menghitung dengan jari dalam hadits
itu tidak berarti melarang orang menghitung dzikir dengan cara lain !!!. Untuk
mengharamkan atau memunkarkan suatu amalan haruslah mendatangkan nash yang
khusus tentang itu, tidak seenaknya sendiri saja !
Imam Tirmidzi, Al-Hakim dan Thabarani meriwayatkan
sebuah hadits berasal dari Shofiyyah yang mengatakan: “Bahwa pada suatu
saat Rasulallah saw. datang kerumahnya. Beliau melihat empat ribu butir biji
kurma yang biasa digunakan oleh Shofiyyah untuk menghitung dzikir. Beliau
saw. bertanya; ‘Hai binti Huyay, apakah itu ?‘ Shofiyyah menjawab ;
‘Itulah yang kupergunakan untuk menghitung dzikir’. Beliau saw. berkata lagi; ‘Sesungguhnya
engkau dapat berdzikir lebih banyak dari itu’. Shofiyyah menyahut; ‘Ya
Rasulallah, ajarilah aku’. Rasulallah saw. kemudian berkata; ‘Sebutlah, Maha
Suci Allah sebanyak ciptaan-Nya’ ”. (Hadits shohih).
Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan sebuah
hadits yang dinilai sebagai hadits hasan/baik oleh An-Nasai, Ibnu Majah,
Ibnu Hibban dan Al-Hakim yaitu hadits yang berasal dari Sa’ad bin Abi Waqqash
ra. yang mengatakan:
“Bahwa pada suatu hari Rasulallah saw. singgah
dirumah seorang wanita. Beliau melihat banyak batu kerikil yang biasa
dipergunakan oleh wanita itu untuk menghitung dzikir. Beliau bertanya; ‘Maukah
engkau kuberitahu cara yang lebih mudah dari itu dan lebih afdhal/utama ?’
Sebut sajalah kalimat-kalimat sebagai berikut :
سبحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلـَقَ
فِى السَّماَءِ, سبحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَـقَ فِى الأَرضِ, سبحَانَ
اللهِ عَدَدَ مَا بَينَ ذَلِكَ, اَلله أَكيَر مِثـل ذَلِكَ, وَالحَمد
لِلَّهِ مِثل ذَلِكَ,وَ لإِلَهَ إلاَّ الله مِثل ذَلِكَ, وَلاَقوَّةَ
إلاَّ بِالله مِثل ذَلِكَ
Yang artinya : ‘Maha suci Allah sebanyak
makhluk-Nya yang dilangit, Maha suci Allah sebanyak makhluk-Nya yang dibumi,
Maha suci Allah sebanyak makhluk ciptaan-Nya. (sebutkan juga) Allah Maha Besar,
seperti tadi, Puji syukur kepada Allah seperti tadi, Tidak ada Tuhan selain
Allah, seperti tadi dan tidak ada kekuatan kecuali dari Allah, seperti tadi !’
“.
Lihat dua hadits diatas ini, Rasulallah saw.
melihat Shofiyyah menggunakan biji kurma untuk menghitung dzikirnya,
beliau saw. tidakmelarangnyaatau tidak mengatakan bahwa dia harus
berdzikir dengan jari-jarinya, malah beliau saw. berkata kepadanya engkau
dapat berdzikir lebih banyak dari itu !! Begitu juga beliau saw. tidak
melarang seorang wanita lainnya yang menggunakan batu kerikil untuk
menghitung dzikirnya dengan kata lain beliau saw. tidak mengatakan kepada
wanita itu, buanglah batu kerikil itu dan hitunglah dzikirmu dengan
jari-jarimu !
Beliau saw. malah mengajarkan kepada mereka
berdua bacaan-bacaan yang lebih utama dan lebih mudah dibaca. Sedangkan
berapa jumlah dzikir yang harus dibaca, tidak ditentukan oleh Rasulallah
saw. jadi terserah kemampuan mereka.
Banyak riwayat bahwa para sahabat Nabi saw. dan
kaum salaf yang sholeh pun menggunakan biji kurma, batu-batu kerikil,
bundelan-bundelan benang dan lain sebagai nya untuk menghitung dzikir yang
dibaca. Ternyata tidak ada orang yang menyalahkan atau membid’ahkan sesat
mereka !!
Imam
Ahmad bin Hanbal didalam Musnadnya meriwayatkan bahwa seorang sahabat
Nabi yang bernama Abu Shofiyyah menghitung dzikirnya dengan batu-batu
kerikil. Riwayat ini dikemukakan juga oleh Imam Al-Baihaqi dalam Mu’jamus
Shahabah; ”‘bahwa Abu Shofiyyah, maula Rasulallah saw. menghamparkan
selembar kulit kemudian mengambil sebuah kantong berisi batu-batu kerikil,
lalu duduk berdzikir hingga tengah hari. Setelah itu ia menyingkirkannya.
Seusai sholat dhuhur ia mengambilnya lagi lalu berdzikir hingga sore hari “.
Abu Dawud meriwayatkan; ‘bahwa Abu Hurairah
ra.mempunyai sebuah kantong berisi batu kerikil.Ia duduk bersimpuh
diatas tempat tidurnya ditunggui oleh seorang hamba sahaya wanita berkulit
hitam. Abu Hurairah berdzikir dan menghitungnya dengan batu-batu kerikil yang
berada dalam kantong itu.Bila batu-batu itu habis dipergunakan, hamba sahayanya
menyerahkan kembali batu-batu kerikil itu kepadanya’.
Abu Syaibah juga mengutip hadits ‘Ikrimah yang
mengatakan; ‘bahwa Abu Hurairah mempunyai seutas benang dengan bundelan
seribu buah.Ia baru tidur setelah berdzikir dua belas ribu kali’.
Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya bab
Zuhud mengemukakan; ‘bahwa Abu Darda ra. mempunyaisejumlah biji kurma
yang disimpan dalam kantong. Usai sholat shubuh biji kurma itu dikeluarkan satu
persatu untuk menghitung dzikir hingga habis’.
Abu Syaibah juga mengatakan; ‘bahwa Sa’ad bin
Abi Waqqash ra menghitung dzikirnya dengan batu kerikil atau biji kurma.
Demikian pula Abu Sa’id Al-Khudri ’.
Dalam kitab Al-Manahil Al-Musalsalah Abdulbaqi
mengetengahkan sebuah riwayat yang mengatakan; ‘bahwa Fathimah binti Al-Husain
ra mempunyai benang yang banyak bundelannya untuk menghitung dzikir ’.
Dalam kitab Al-Kamil , Al-Mubarrad
mengatakan; “bahwa ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas ra (wafat th 110 H)
mempunyai lima ratus butir biji zaitun. Tiap hari ia menghitung
raka’at-raka’at sholat sunnahnya dengan biji itu, sehingga banyak orang yang
menyebut namanya dengan ‘Dzu Nafatsat’ “.
Abul Qasim At-Thabari dalam kitab Karamatul-Auliya
mengatakan: ‘Banyak sekali orang-orang keramat yang menggunakan tasbih
untuk menghitung dzikir, antara lain Syeikh Abu Muslim Al-Khaulani dan
lain-lain’.
Menurut riwayat bentuk tasbih yang kita kenal
pada zaman sekarang ini baru dipergunakan orang mulai abad ke 2 Hijriah. Ketika
itu nama ‘tasbih’ belum digunakan untuk menyebut alat penghitung dzikir. Hal
itu diperkuat oleh Az-Zabidi yang mengutip keterangan dari gurunya
didalam kitab Tajul-‘Arus .Sejak masa itu tasbih mulai banyak
dipergunakan orang dimana-mana.Pada masa itu masih ada beberapa ulama yang
memandang penggunaan tasbih untuk menghitung dzikir sebagai hal yang kurang
baik. Oleh karena itu tidak aneh kalau ada orang yang pernah bertanya pada
seorang Waliyullah yang bernama Al-Junaid: ‘Apakah orang semulia anda mau
memegang tasbih ?. Al-Junaid menjawab: ‘Jalan yang mendekatkan diriku
kepada Allah swt. tidak akan kutinggalkan’.(Ar-Risalah Al-Qusyariyyah).
Sejak abad ke 5 Hijriah penggunaan tasbih makin
meluas dikalangan kaum muslimin, termasuk kaum wanitanya yang tekun beribadah.Tidak
ada berita riwayat, baik yang berasal dari kaum Salaf maupun dari kaum Khalaf (generasi
muslimin berikutnya) yang menyebutkan adanya larangan penggunaan tasbih, dan
tidak ada pula yang memandang penggunaan tasbih sebagai perbuatan munkar!!
Pada zaman kita sekarang ini bentuk tasbih terdiri
dari seratus buah butiran atau tiga puluh tiga butir, sesuai dengan jumlah
banyaknya dzikir yang disebut-sebut dalam hadits-hadits shohih. Bentuk tasbih
ini malah lebih praktis dan mudah dibandingkan pada masa zamannya
Rasulallah saw. dan masa sebelum abad kedua Hijriah. Begitu juga untuk
menghitung jumlah dzikir agama Islam tidakmenetapkan cara tertentu. Hal
itu diserahkan kepada masing-masing orang yang berdzikir.
Cara apa saja untuk menghitung bacaan dzikir itu
asalkan bacaan dan alat menghitung yang tidak yang dilarang menurut Kitabullah
dan Sunnah Rasulallah saw..
itu mustahab/baik untuk
diamalkan. Berdasarkan riwayat-riwayat hadits yang telah dikemukakan diatas
jelaslah, bahwa menghitung dzikir bukan dengan jari adalah sah/boleh. Begitu
juga benda apa pun yang digunakan sebagai tasbih untuk menghitung dzikir, tidak
bisa lain, orang tetap menggunakan tangan atau jarinya juga, bukan menggunakan
kakinya!! Dengan demikian jari-jari ini juga digunakan untuk kebaikan !!Malah
sekarang banyak kita para ulama pakar maupun kaum muslimin lainnya sering
menggunakan tasbih bila berdzikir.
Jadi masalah menghitung dengan butiran-butiran
tasbih sesungguhnya tidak perlu dipersoalkan, apalagi kalau ada orang yang
menganggapnya sebagai ‘bid’ah dholalah’.Yang perlu kita ketahui ialah :Manakah
yang lebih baik, menghitung dzikir dengan jari tanpa menggunakan tasbih ataukah
dengan menggunakan tasbih ?
Menurut Ibnu ‘Umar ra. menghitung dzikir dengan
jari (daripada dengan batu kerikil, biji kurma dll) lebih afdhal/utama. Akan
tetapi Ibnu ‘Umar juga mengatakan jika orang yang berdzikir tidak akan salah
hitung dengan menggunakan jari, itulah yang afdhal.Jika tidak demikian maka
menggunakan tasbih lebih afdhal.
Perlu juga diketahui, bahwa menghitung dzikir
dengan tasbih disunnahkan menggunakan tangan kanan, yaitu sebagaimana
yang dilakukan oleh kaum Salaf.Hal itu disebut dalam hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lain-lain. Dalam soal dzikir yang paling
penting dan wajib diperhatikan baik-baik ialah kekhusyu’an, apa yang diucapkan
dengan lisan juga dalam hati mengikutinya. Maksudnya bila lisan mengucapkan
Subhanallah maka dalam hati juga memantapkan kata-kata yang sama yaitu
Subhanallah. Allah swt.melihat apa yang ada didalam hati orang yang
berdzikir, bukan melihat kepada benda (tasbih) yang digunakan untuk menghitung
dzikir!!Wallahu a’lam.
Insya Allah dengan keterangan singkat ini, para
pembaca bisa menilai sendiri apakah benar yang dikatakan golongan pengingkar
bahwa penggunaan Tasbih adalah munkar, bid’ah dholalah/sesat dan lain
sebagainya ???Semoga Allah swt.memberi hidayah kepada semua kaum muslimin.
Amin.
4.9. Keterangan singkat mengenai membaca Qunut dalam Sholat Shubuh
Golongan pengingkar berpendapat lebih jauh lagi,
yaitu menganggap qunut dalam sholat shubuh sebagai bid’ah mungkar yang
harus dihindari. Karena ke-egoisan memegang pahamnya ini, mereka ini tanpa
segan-segan mencela orang yang mengamalkannya, dan melontarkan ucapan-ucapan
yang justru bisa mendatangkan dosa dan bertentangan dengan akhlak yang
diajarkan Nabi saw!!
Bagaimana mungkin doa qunut yang masih ada
haditsnya itu dikatakan bid’ah mungkar?, sedangkan para sahabat menambah bacaan
dalam sholat ,yang telah kami kemukakan, yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi
saw, tidak dipersalahkan oleh Nabi saw, malah diridhoi dan diberi kabar gembira
bagi pembacanya?
Sebelum kami mengutip beberapa hadits tentang
qunut, kami tekankan dahulu, bahwa menurut para pendukungnya, qunut pada
shalat shubuh itu mempunyai dasar dari amaliyah Rasulullah saw dan
beliau saw melakukannya, bukan hanya untuk qunut nazilah (bencana) saja.
Kedudukan riwayatnya pun cukup kuat, karena diriwayatkan para rawi yang
terpercaya, antara lain Al-Bukhari dan Muslim, dan diamalkan para Salaf, Imam
Syafi’i, Imam Malik dan lainnya.
Dalil-dalil kesunnatan yang
berkaitan membaca Qunut ketika sholat, khususnya sholat Subuh.
– Dalam buku Fiqih Sunnah, oleh Sayid Sabiq
,bhs.Indonesia, jilid 2, edisi kedua th.1977 hal.41 dan 43 disebutkan, bahwa
Imam Syafi’i mensunnahkan qunut dalam sholat shubuh, dengan berdalil
hadits, dari Anas bin Malik ra. Anas ra pernah ditanya, ‘apakah Nabi saw
berqunut dalam sholat shubuh? Ia (Anas ra) menjawab, Ya. Ditanya pula, ‘sebelum
rukuk atau sesudahnya’?Ia menjawab, ‘sesudah rukuk’ (HR.Jama’ah, kecuali
Turmudzi, dari Ibnu Sirin). Juga imam Syafi'i berdalil dengan hadits lainnya,
dari Anas bin Malik ra: “Rasulallah saw itu selalu berqunut dalam sholat
shubuh, hingga meninggalkan dunia” (HR. Ahmad, Bazzar, Daruquthni, dan dishohihkan
oleh Al-Baihaqi dan Al-Hakim). Imam Nawawi dalam kitabnya Adzkarun-Nawawiyyah
mengomentari, bahwa hadits tersebut shohih.
Adapun Ibn Hajar Al-Asqolani berkomentar dalam
takhrij-nya bahwa hadits tersebut hasan lighoirihi (baik, karena
didukung riwayat lainnya). Sedangkan lafadh qunut shubuh menurut Imam
Syafi’i, ialah yang diajarkan Nabi saw kepada Al-Hasan bin Ali ketika
qunut witir, yaitu “Allahummah diini fiiman hadaita …dan
seterusnya”(HR. At-Tirmidzi, Abu Daud, dan lain-lain).
– Hadits dari Al-Barra’ bin Azib ra yang berkata,
bahwa ‘Nabi saw dahulu melakukan qunut pada shalat maghrib dan shubuh’ (HR
Ahmad, Muslim dan At-Tirmidzi). At-Tirmidzi menshahihkan hadits ini.Hadits ini diriwayatkan
juga oleh Abu Daud dengan tanpa penyebutan shalat maghrib.
Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ II/505 mengatakan: “ Tidaklah mengapa
meninggalkan qunut pada shalat maghrib karena qunut bukanlah suatu yang wajib
atau karena ijmak ulama telah menunjukkan bahwa qunut pada shalat maghrib itu
sudah mansukh yakni terhapus hukumnya”.
– Abubakar Jabir Al-Jazairi
dalam kitabnya Minhajul Muslim mengatakan, bahwa disunnahkan qunut subuh
setelah rukuk dan dikomentari dalam tahkik kitab tersebut, bahwa qunut
subuh telah tsabit dalam shahihain!
– Seorang ulama golongan
tabi’in, Imam Hasan Basri, berkata, ‘aku pernah sholat dibelakang dua puluh
delapan orang dari pahlawan Badar (Ahlul Badar), mereka semua melakukan qunut
shubuh sesudah ruku’ (Irsyadussariy syarah Bukhori juz 3).
Al-Hafidh Al-Iraqi ,guru
dari Ibnu Hajar, sebagaimana dikutip oleh Al-Qasthalani dalam Irsyadussariy
syarah shahih Bukhari menjelaskan, bahwa qunut shubuh itu diriwayatkan
oleh Abubakar, Umar, Utsman, Ali dan Ibnu Abbas [ra]. Kemudian beliau (al-Hafidh) berkomentar,‘telah
sah dari mereka ( para shahabat ) dalil tentang qunut tatkala terjadi
pertentangan antara pendapat yang menetapkan dan meniadakan, maka didahulukan
pendapat yang menetapkan’.
Sebagian ulama yang mengingkari hadits qunut
shubuh,antara lain Ibnu Taimiyah, mengatakan sanad hadits itu lemah,
karena melalui seorang rawi yang bernama Abu Ja’far Ar-Razi, yang nama aslinya
Isa bin Abi Isa. Padahal menurut pakar hadits lainnya, bahwa Abu Ja’far
Ar-Razi, nama aslinya adalah Isa Bin Maahaan, layak diterima haditsnya. Yahya
bin Ma’in ,guru dari Imam Bukhori, mengatakan bahwa Abu Ja’far adalah orang Tsiqoh.
Abu Hatim pun berkata demikian, bahwa Abu Ja’far itu adalah Tsiqotun Shoduq
(terpercaya lagi jujur). Juga berdasarkan amalan para Salaf, para pakar fiqih,,
maka hadits qunut sholat shubuh dapat diterima!
– Hadits dari Anas ra.:“Bahwa Nabi saw pernah qunut selama satu bulan
sambil mendoakan kecelakaan atas mereka kemudian Nabi meninggalkannya. Adapun
pada shalat subuh, maka Nabi senantiasa melakukan qunut hingga beliau meninggal
dunia”.Diantara ulama yang mengakui kesahihan hadits ini adalah Hafiz Abu
Abdillah Muhamad Ali al-Bakhi dan Al-Hakim Abu Abdillah pada beberapa tempat
didalam kitabnya serta imam Baihaqi.Hadits ini juga diriwayatkan pula oleh
Daraquthni dari beberapa jalan dengan sanad-sanad yang sahih.
– Hadits dari Awam
bin Hamzah dimana beliau berkata: “Aku bertanya kepada Utsman tentang qunut pada shalat subuh. Beliau berkata: ‘Qunut itu sesudah ruku’. Aku bertanya : ‘Fatwa
siapa ? Beliau menjawab : ‘Fatwa Abubakar, Umar dan Utsman
radhiallahu’anhum’“. (HR.Baihaqi dan berkata hadits ini hasan). Baihaqi
meriwayatkan hadits ini dari Umar dengan beberapa jalan.
– Hadits dari Abdullah bin Ma’qil at-Thabi’i: “Ali ra qunut pada shalat subuh“. (HR.Baihaqi dan berkata hadits ini sahih
lagi masyhur).
– Hadits riwayat Baihaqi dari Abu Rofi’ : “ Umar melakukan qunut pada
shalat subuh sesudah ruku’ “.
Demikianlah beberapa dalil yang dipakai oleh para ulama Syafi’iyah tentang qunut
subuh.
Dalil-dalil tempat qunut (sesudah atau sebelum ruku’?)
– Didalam Al-Majmu’ jilid III/506 bahwa: “Tempat
qunut itu adalah sesudah mengangkat kepala dari ruku’. Ini adalah ucapan
Abubakar as Shiddiq, Umar bin Khattab dan Utsman serta Ali
radhiyallahu’anhum“.
– Hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah: “ Bahwa Nabi saw
qunut sesudah ruku “.
– Hadits diriwayatkan juga oleh Bukhori dan Muslim dari Ibnu Sirin, beliau
berkata: “Aku berkata kepada Anas : ‘Apakah Rasulallah
saw melakukan qunut pada shalat subuh’? Anas menjawab: ’Ya, begitu selesai ruku’
’“.
– Hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari Anas ra: Bahwa Nabi saw melakukan
qunut selama satu bulan sesudah ruku’ pada shalat subuh sambil mendoakan
kecelakaan atas Bani ‘Ushayyah “.
– Hadits riwayat dari Ashim al-Ahwal dari Anas: “ Bahwa Anas berfatwa
tentang qunut sesudah ruku’“.
– Hadits dari Abu Hurairah ra yang diriwayatkan Hakim dan disahihkan
olehnya: “Rasulallah saw jika beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ pada
rakaat kedua shalat subuh beliau mengangkat kedua tangannya lalu berdoa: Allahummah
dinii fiiman hadait ...hingga akhirnya ‘“.
– Hadits riwayat dari Salim dari Ibnu Umar ra: “ Bahwasanya ibnu Umar
mendengar Rasulallah saw apabila beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ pada
rakaat terakhir shalat subuh, beliau berkata : ‘Ya, Allah! Laknatlah si
fulan dan si fulan’!, sesudah beliau mengucapkan sami’allahu liman hamidah
robbana walakal hamdu. Maka Allah menurunkan ayat ‘Tidak ada bagimu sesuatu pun
dari urusan mereka itu atau dari pemberian taubat terhadap mereka atau juga daripada
penyiksaan mereka karena sesungguhnya mereka itu ada lah orang-orang yang
dzalim’ “. (HR.Bukhori).
Hadits ini menunjukkan qunut nazilah yang pernah dilakukan oleh
Nabi, juga dilakukan setelah ruku’ seperti halnya qunut dalam shalat
subuh.
Memang ada hadits yang menunjukkan pelaksanaan qunut sebelum ruku’, namun
dikatakan oleh Imam Baihaqi dalam kitab Al-Majmu’ : “ Dan
orang-orang yang meriwayatkan qunut sesudah ruku’ lebih banyak dan lebih kuat
menghafal hadits, maka dialah yang lebih utama dan inilah jalannya para
khalifah yang memperoleh petunjuk ---semoga Allah meridhoi mereka--- pada
sebagian besar riwayat dari mereka, wallahu’alam“
Hukum mengangkat tangan waktu qunut
Dalam masalah ini ada dua pendapat:
a.Tidak disunnatkan
mengangkat tangan pada waktu qunut. Pendapat ini dipilih oleh as-Syairozi,
al-Qaffal dan al-Baghawi serta dihikayatkan oleh Imam Haramain dari mayoritas
sahabat Syafi’i. Alasan mereka: ‘Karena doa didalam shalat tidak pakai angkat
tangan seperti doa sujud, doa tasyahhud dan doa iftitah.
b. Disunnatkan
mengangkat tangan pada waktu qunut. Pendapat inilah yang sahih dikalangan
madzhab Syafi’i dan dialah pilihan Abu Daud al-Mawazi, al-Qadhi Abu Thayib di
dalam ta’liqnya dan dalam al-Minhaj, Syeikh Abu Muhamad, Ibnu Shabbag, al-Mutawalli,
al-Ghazali, Syeikh Nasrun al-Maqdisi dalam tiga kitabnya yakni Al-Intikhab,
At-Tahzib dan Al-Kafi. Begitu juga dengan para ulama yang lain. Pengarang
al-Bayan berkata: ‘Imam Hafiz Abubakar al-Baihaqi yang merupakan ulama ahli
fiqh dan hadits, juga memilih pendapat ini dan beliau berhujjah dengan riwayat
Anas ra sewaktu menceriterakan para qurro’yang terbunuh. Anas berkata:
“Sesungguhnya aku melihat Rasulallah saw, setiap kali beliau shalat subuh,
beliau mengangkat kedua tangannya sambil mendoakan kecelakaan atas mereka yakni
orang membunuh para qurro”. (Hadits ini isnadnya sahih atau hasan).
Imam Baihaqi
mengatakan: “Dan karena sekelompok sahabat Nabi radhiyallahu ’anhum mengangkat
tangan mereka pada waktu qunut”.(Al-Baihaqi II/211)
Diriwayatkan dari
Rofi’, beliau berkata: “Aku pernah shalat dibelakang Umar bin Khattab ra.
Beliau qunut sesudah ruku’ dan mengangkat kedua tangannya serta membaca doa
dengan bersuara”. (Imam Baihaqi berkata: Hadits tentang Umar ini sahih).
Dengan demikian
dapatlah ditarik satu kesimpulan bahwa pendapat yang sahih dikalangan madzhab
Syafi’i adalah: ‘Sunnat mengangkat tangan pada waktu qunut, baik itu qunut
subuh, qunut nazilah maupun qunut witir dipertengahan bulan ramadhan
sebagaimana yang akan dijelaskan berikutnya’.
Mengusap wajah sesudah qunut dalam shalat
Adapun mengusap wajah sesudah qunut ketika sholat, maka menurut pendapat
yang sahih tidakdisunnatkan. Dalam kitab al-Majmu’ III/501 imam
Baihaqi mengatakan: “Aku tidak pernah menghafal dari seorang ulama salaf
perihal mengusap wajah sesudah qunut, walaupun mengusap wajah itu ada
diriwayatkan dari sebagian mereka (para salaf) pada waktu berdoa diluar
shalat. Adapun didalam shalat, maka mengusap wajah adalah satu perbuatan
yang tidak ada keterangannya baik dari hadits, atsar maupun qiyas.Maka yang
utama adalah tidak mengamalkannya dan mencukupkan saja dengan apa yang telah
dinukil dari para ulama salaf yakni ‘mengangkat dua tangan dengan tanpa
mengusap wajah’ ”.
Lafadh doa qunut
Sebuah hadits dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra., beliau berkata:
“Aku telah diajari oleh Rasulallah sw, beberapa kalimat yang aku ucapkan pada
waktu witir yakni: ’Allahummahdinii fiiman hadait, wa’aafinii fiimaan
‘aafait, watawallanii fiiman tawallait wabaariklii fiima a’thoit waginii syaara
maagodhoit fainnaka taqdhi walaa yugdha ‘alaik wainnahu laa yadzillu man
waalait tabaarakta rabbanaa wata’aalait ’ ”. (HR.Abudaud, Turmudzi, Nasa’I
dan selain mereka dengan isnad sahih) .
Imam Baihaqi meriwayatkan dari Muhamad bin Hanafiah dan beliau adalah
ibnu Ali bin Abi Thalib ra. Beliau berkata: “Sesungguhnya doa ini (doa qunut
diatas) ialah yang dipakai berdoa oleh ayahku (yakni Ali bin Abi Thalib
kw) pada waktu qunut dishalat subuh”.(HR.Al-Baihaqi II/209).
Imam Baihaqi juga meriwayatkan dari beberapa jalan yakni dari Ibnu Abbas
dan selainnya: “Bahwasanya Nabi saw, mengajarkan doa ini (yakni Allahummahdinii
fiiman hadait ....hingga akhirnya) kepada para sahabat agar mereka berdoa
dengannya pada waktu qunut dishalat subuh”. Dalam satu riwayat disebutkan:
“Bahwasanya Nabi saw melakukan qunut pada shalat subuh dan pada witir dimalam
hari dengan doa ini”.
Kemudian imam Baihaqi menyimpulkan: “Semua riwayat ini menunjukkan bahwa
Nabi mengajarkan doa Allahummahdinii fiiman hadait... hingga akhirnya itu,
adalah untuk qunut subuh dan qunut witir”.
Doa qunut dengan delapan kalimat seperti tsb. ,yang diajarkan Nabi saw
kepada Al-Hasan bin Ali ketika qunut witir, diatas itulah yang dinashkan oleh imam
Syafi’i didalam Mukhtashar al-Muzanni. Kalau ditambah pada doa itu
dengan وَلا يَعِزّمَن عَادَيتَ
(Dan
tidaklah mulia orang yang Engkau musuhi) sebelum تَبَارَكت رَبّنَاوَتَعَالَيتَ dan ditambah dengan فَلكََ الحمد عَلَى مَاقَضيتَ استَغفِركَ وَاَتوب اليكَ
sesudahnya, maka tidak mengapa. Berkata Syeikh Abu Hamid, Syeikh
al-Bandanij dan yang lainnya bahwa tambahan ini bagus.
Abu Thayyib tidak menyetujui penambahan وَلا يَعِزّمَن
عَادَيتَ itu, namun ibnu Shabbagh dan para sahabat yang lain membantahnya dengan
firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan
musuhKu dan musuhmu sebagai teman-teman setia” (QS al-Mumtahanah:1).Begitu
juga firman Allah: “Sesungguhnya Allah menjadi musuh bagi orang-orang kafir”
(QS al-Baqarah:98).
Kemudian sesudah doa ini, disunnatkan membaca sholawat atas Nabi saw,
berdasarkan hadits al-Hasan ra. Beliau berkata: “Rasulallah saw mengajariku
kalimat pada waktu qunut witir yakni Allahummahdinii, lalu disebutlah
hingga delapan kalimat itu dan berkata pada akhirnya dengan :‘tabaarakta wa
ta’aalait washollahu ‘alan nabi’ “.(Lafadh hadits ini terdapat pada riwayat
Nasa’i dengan isnad yang sahih atau hasan).
Begitu juga disunnatkan membaca salam kepada Rasulallah saw dan
keluarganya diakhir qunut, hal ini menurut Asnawi berdasarkan firman Allah swt: ‘Sesungguhnya
Allah dan para MalaikatNya menyampaikan shalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang
yang beriman sampaikanlah shalawat dan salam kepadanya’. Sedangkan shalawat
dan salam kepada keluarga Rasulallah saw adalah berdasarkan hadits antara lain
riwayat Ka’ab bin Ajroh yang bertanya kepada Nabi tentang bagaimana mengucapkan
shalawat kepada beliau, lalu beliau saw bersabda: “Ucapkanlah Allahumma
sholli ‘alaa Muhamad wa ‘ala aali Muhamad”.
Dengan
demikian tambahan-tambahan bacaan yang baik dalam waktu qunut, seperti
yang telah dikemukan diatas, itu adalah mustahab. Sebagaimana yang telah kami
kemukakan terdahulu, bahwa para sahabat telah menambah bacaan iftitah dan waktu
i'tidal ketika sholat, yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi saw. dan Nabi
saw meridhoinya.
Alasan orang-orang yang membantah
a. Ada orang yang membid’ahkan qunut
sholat subuh dengan dalil bahwa Nabi saw melakukan qunut satu bulan saja
berdasarkan hadits Anas ra: “Bahwasanya Nabi saw melakukan qunut selama satu
bulan sesudah ruku’ sambil mendoakan atas beberapa suku arab
kemudian beliau meninggalkannya”. (HR.Bukhori dan Muslim).
Jawaban
Memang
hadits Anas ra diatas tersebut kita akui sebagai hadits sahih karena terdapat
dalam sahih Bukhori dan Muslim.Akan tetapi yang menjadi permasalahan sekarang
adalah kata-kata ‘Thumma tarakahu’ (kemudian Nabi meninggalkannya) dalam hadits tersebut. Apakah yang
ditinggalkan oleh Nabi itu qunutnya atau doanya
yang mengandung kecelakaan atas suku arab?
Untuk menjawab permasalahan ini
marilah kita ikuti ,berikut ini, penjelasan para pakar hadits.
− Imam
Nawawi dalam Al-Majmu’ III/505: “Adapun jawaban terhadap hadits
Anas dan Abu Hurairah dalam hal ucapannya dengan ‘Thumma tarakahu’ ,
maksudnya adalah meninggalkan doa kecelakaan atas orang-orang kafir itu dan
meninggalkan pelaknatan terhadap mereka saja. Jadi bukan berarti meninggalkan
seluruh qunut, atau meninggalkan qunut subuh. Penafsiran seperti ini harus
dilakukan, karena hadits Anas (yang lain) yang menyebutkan: ‘ Senantiasa Nabi
qunut dalam shalat subuh sampai beliau meninggal dunia’, adalah hadits sahih
lagi jelas, maka wajiblah menggabungkan diantara keduanya”.
− Imam
Baihaqi meriwayatkan dari Abdurrahman bin Madiyyil imam bahwasanya beliau
berkata: “ ‘Innamaa tarakal la’nu’ (hanyalah yang beliau tinggalkan itu
adalah melaknat).
Lebih-lebih
lagi penafsiran seperti ini dijelaskan oleh riwayat Abu Hurairah ra yang
berbunyi: ‘Thumma tarakad du’a lahum’ (Kemudian Nabi menghentikan doa
kecelakaan atas mereka).
Dengan
demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa qunut Nabi yang satu bulan itu adalah qunut
nazilah (bencana) dan qunut inilah yang ditinggalkan, bukan
qunut pada shalat subuh.
b. Ada lagi yang mengajukan dalil
yakni hadits Sa’ad bihn Thariq, yang juga bernama Abu Malik al-Asja’i: “Dari
Abu Malik al-Asja’i, beliau berkata: Aku pernah bertanya kepada ayahku; ‘wahai
ayah! Sesungguhnya engkau pernah shalat dibelakang Rasulallah saw, Abubakar,
Utsman dan Ali bin Abi Thalib disini di Kufah selama kurang lebih lima tahun.
Apakah mereka melakukan qunut’? Dijawab oleh ayahnya: ‘Wahai anakku, itu adalah
bid’ah’ ”. (HR.Turmudzi).
Jawaban
Kalau benar
Saad bin Thariq mengatakan demikian, maka sungguh suatu hal yang mengherankan
karena hadits-hadits tentang Nabi dan para khalifah Rosyidin yang mengamalkan
qunut sangatlah banyak baik dalam kitab Bukhori, Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud,
Nasa’i dan Baihaqi. Oleh karena itu, ucapan Saad bin Thariq tersebut tidaklah
di akui dan tidak terpakai dalam madzhab Syafi’i dan juga madzhab Maliki. Hal
ini disebabkan karena beribu-ribu orang telah melihat Nabi mengamalkan qunut,
begitu pula dengan para sahabat beliau saw. Sedangkan hanya Thariq sendiri yang
mengatakan qunut itu sebagai amalan bid’ah. Maka dalam kasus ini berlakulah
kaidah ushul fiqih yakni: ‘Al-Mutsbit muqaddam ‘alan naafi’ (orang yang
menetapkan didahulukan atas orang yang menafikan). Terlebih lagi bahwa orang
yang mengatakan ‘ada’, jauh lebih banyak dibanding orang yang mengatakan ‘tidak
ada’.
Seperti
inilah jawaban Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ III/505. Beliau berkata: “Dan
jawaban kita terhadap hadits Saad bin Thariq adalah bahwa riwayat orang-orang
yang menetapkan qunut terdapat pada mereka itu tambahan ilmu dan juga mereka
lebih banyak. Oleh karenanya wajiblah mendahulukan mereka”.
Pensyarah
hadits Turmudzi yakni Ibnul Arabi juga memberikan komentar yang sama
terhadap hadits Saad itu. Beliau mengatakan:”Telah tetap bahwa Nabi Muhamad saw
melakukan qunut dalam shalat subuh. Telah tetap pula pula bahwa Nabi pernah
melakukan qunut sebelum ruku’ atau sesudah ruku’. Telah tetap pula bahwa Nabi
pernah melakukan qunut nazilah dan para khalifah di Madinah pun melakukan qunut
serta sayidina Umar mengatakan bahwa qunut itu sunnah, telah pula diamalkan
dimasjid Madinah. Oleh karena itu janganlah kamu ambil perhatian terhadap
ucapan yang lain daripada itu”.
Seorang
ulama ahli fiqih dari Jakarta ,KH Syafi’i Hazami dalam kitabnya ‘Taudhiihul
Adillah mengatakan ketika mengomentari hadits Saad itu: “Sudah jelas bahwa
qunut itu bukan bid’ah menurut segala riwayat yang ada, maka yang bid’ah itu
adalah yang meragukan kesunnatannya sehingga masih bertanya pula”.
Imam Uqaili
mengatakan dengan tegas bahwa Abu Malik itu jangan diikuti haditsnya dalam hal
qunut.(Mizanul I’tidal II/122).
c. Ada juga yang mengetengahkan dalil
riwayat dari Ibnu Mas’ud yang mengatakan: “Rasulallah saw tidak pernah
qunut didalam shalat apapun”.
Jawaban
Riwayat ini
menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ sangatlah lemah, karena
diantara para perawinya terdapat Muhamad bin Jabir as-Suahili yang ucapannya
selalu ditinggalkan oleh ahli hadits.
Dalam kitab Mizanul
I’tidal karangan Az-Zahabi disebutkan bahwa Muhamad bin Jabir
as-Suahili adalah orang yang dhaif menurut perkataan Ibnu Mu’in dan Imam
Nasa’i, imam Bukhori mengatakan: ‘Ia tidak kuat’. Imam Hatim mengatakan:’Ia
dalam waktu terakhirnya menjadi pelupa dan kitabnya telah hilang’.(Mizanul
I’tidal III/492).
Dan juga
dapat kita jawab dengan jawaban yang telah dikemukakan terdahulu yakni orang
yang mengatakan ‘ada’ lebih didahulukan daripada orang yang mengatakan ‘tidak
ada’ berdasarkan kaidah ‘Al-Mutsbit muqaddam ‘alan naafi’.
d. Ada lagi yang mengajukan dalil bahwa
Ibnu Abbas berkata: “Qunut pada shalat subuh itu bid’ah”.
Jawaban
Hadits ini
dhaif sekali, karena Baihaqi meriwayatkannya dari Abi Laila al-Kufi dan beliau
sendiri mengatakan bahwa hadits ini tidak sahih, karena Abu Laila itu adalah
matruk (Orang yang ditinggalkan haditsnya). Terlebih lagi pada haditsnya yang
lain, Ibnu Abbas sendiri mengatakan: ‘Annahu qunut fis subhi’ (Bahwasanya
Nabi saw melakukan qunut pada shalat subuh). Hadits ini juga bertentangan
dengan hadits-hadits yang kuat bahwa qunut shubuh adalah amalan Nabi saw
dan para sahabatnya.
e. Ada juga yang mengetengahkan dalil
bahwa Ummu Salamah berkata: “Bahwasanya Nabi saw melarangqunut
pada shalat subuh”.
Jawaban
Hadits ini
juga dhaif, karena diriwayatkan dari Muhamad bin Ya’la dari Anbasah bin
Abdurrahman dari Abdullah bin Nafi’ dari ayahnya dari Ummu Salamah. Berkata
Daraqutni: ‘Ketiga-tiga orang itu lemah dan tidak benar kalau Nafi’ mendengar
hadits itu dari Ummu Salamah’. Dalam Mizanul I’tidal disebutkan:
‘Muhamad bin Ya’la itu diperkatakan oleh Imam Bukhori bahwa ia banyak
menghilangkan hadits. Abu Hatim mengatakannya bahwa ia matruk’.(Mizanul I’tidal
IV/70).
Anbasah bin
Abdurrahman menurut Imam Bukhori haditsnya matruk. Sedangkan Abdullah bin Nafi’
adalah orang yang banyak meriwayatkan hadits mungkar.( Mizanul I’tidal II/422).
Pendapat empat madzhab tentang
Qunut:
− Madzhab
Hanafi: Disunnatkan qunut pada shalat witir dan tempatnya adalah sebelum ruku’.
Adapun qunut pada shalat subuh tidak disunnatkan.Sedangkan qunut nazilah
disunnatkan tetapi pada shalat yang jahriyah saja.
− Madzhab
Maliki: Disunnatkan qunut pada shalat subuh dan tempatnya yang lebih utama
adalah sebelum ruku’, tetapi boleh juga dilakukan sesudah ruku’. Adapun qunut
pada selain subuh yakni qunut witir dan qunut nazilah, maka keduanya
dimakruhkan.
− Madzhab
Syafi’i: Disunnatkan qunut pada shalat subuh dan tempatnya sesudah ruku’.
Begitu juga disunnatkan qunut nazilah dan qunut witir pada pertengahan bulan
ramadhan.
− Madzhab
Hambali: Disunnatkan qunut pada shalat witir dan tempatnya sesudah ruku’.
Adapun qunut pada shalat subuh tidak disunnatkan.
Sedangkan
qunut nazilah disunnatkan dan dilakukan pada shalat subuh saja.Qunut ini bukan amalan wajib, itu merupakan
dzikir dan doa yang dibaca ketika sholat. Demikianlah keterangan singkat
mengenai qunut
subuh. Wallahua’lam.
Semoga dengan keterangan dalam
bid’ah yang singkat ini, insya-Allah bisa membuka hati kita masing-masing agar
tidak mudah mensesatkan, mengkafirkan dan sebagainya pada saudara muslim kita
sendiri, yang sedang melakukan ritual-ritual Islam begitu juga yang berlainan
madzhab dengan madzhab kita.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda