Fakta Bab 7, ttg berbagai masalah
BAB 7
Sekelumit Macam-Macam Makalah
Daftar isi bab 7 ini antara lain :
7.1.
Benarkan sayidah Aisyah
ra umur 9 tahun waktu dinikahi Rasulallah saw?
7.2.
Fatwa-fatwa para ulama
tentang paham Hulul atau Ittihad (menyatunya Allah swt dengan
hamba-Nya)
7.3.
Fatwa-fatwa para ulama
mengenai ilmu Tarekat, Hakekat, Ma’rifat
7.4.
Fatwa-fatwa para ulama
mengenai pengertian Wali (waliyullah)
7.5.
Berjabatan tangan antara
lelaki dan wanita ajnabiyyah (bukan muhrim)
7.6.
Sekelumit tentang
berjabat tangan seusai sholat
7.7.
Membaca Ushalli sebelum
Takbiratul Ihram
7.8.
Dalil-dalil yang
berkaitan dengan Talaffudh bin niyyah (mengucapkan niat dengan lisan)
7.9.
Fatwa-fatwa para ulama
yang berkaitan dengan talaffudh bin niyyah
7.10.
Pendapat para ulama
madzhab yang empat dalam masalah talaffudh bin niyyah
7.11. Kewajiban
membaca Al-Fatihah didalam sholat baik untuk ma’mum maupun imam.
7.12. Kewajiban Membaca Basmalah di Awal surat
Al-Fatihah
7.13. Tidak
mengerak-gerakkan jari telunjuk ketika Tasyahhud
7.14. Sekelumit
tentang shalat Tarawih
7.15. Dalil-dalil
yang berkaitan dengan shalat pada bulan ramadhan
7.16. Jumlah rakaat
shalat Tarawih
7.17. Dalil-dalil
para imam Mujtahid shalat Tarawih 20 rakaat
7.18. Dalil orang
yang membantah shalat Tarawih 20 rakaat dan jawabannya
7.19. Mencukur
jenggot atau memelihara jenggot
7.20. Fatwa-fatwa
para ulama yang berkaitan dengan memelihara jenggot
7.21. Dalil mereka
yang mewajibkan memelihara jenggot dan jawabannya
7.22. Hukum
menjatuhkan Talak tiga sekaligus
7.23. Dalil-dalil
yang berkaitan dengan masalah talak tiga sekaligus
7.24. Hukum talak
tiga sekaligus dalam madzhab Maliki
7.25. Hukum talak
tiga sekali sekaligus dalam madzhab Syafi'i
7.26. Hukum talak
tiga sekaligus dalam madzhab Hambali
7.27. Tata cara
singkat Haji dan ‘Umrah dan urutannya
7.28. Keterangan
singkat mengenai Ru'ya Hilal
7.29.
Keterangan singkat mengenai ibadah
Puasa Ramadhan
|
|
{{Buku baru yang berjudul
Kamus Syirik (Edisi Revisi Telaah Kritis atas doktrin faham Wahabi/Salafi)
,sekitar 512 halaman, Alhamdulillah sudah terbit bulan Agustus 2009. Buku
ini belum beredar merata di Indonesia, bagi peminat mungkin
bisa datang pada toko-toko kitab di jl. Sasak, Surabaya, ditoko
Gramedia atau bisa hubungi langsung pengedar buku tersebut, telefon nr. (62)
031 60604235}}.
Daftar
Isi kitab kamus syirik ,mengingat jumlah halaman
buku, tidak selengkap isi website kami ini, tetapi cukup untuk
menjelaskan dalil-dalil amalan yang dikerjakan oleh golongan ahlus Sunnah wal
jamaah dan amalan yang sering diteror oleh golongan pengingkar, misalnya
tawassul/tabarruk, taklid imam madzhab, ziarah kubur, peringatan2 keagamaan,
majlis dzikir dan lain sebagainya.
7.1. Benarkah sayidah Aisyah ra
umur 9 th waktu dinikahi Rasulallah saw?
Para orientalis biasanya sering mengkritik
kehidupan Rasulallah saw dengan wanita. Rasulallah yang mulia saw selalu
digambarkan sebagai seorang -ma'af- budak sex. (naudzubillahi min dzalik).
Diantaranya dikatakan bahwa Nabi saw istrinya banyak karena gairah seksualnya
terlalu tinggi, dikatakan juga dalam satu malam semua istrinya dikumpuli
semua, Nabi saw suka wanita muda, gadis kecil dst.nya
Kita jangan kaget dengan
perkataan-perkataan mereka seperti itu, karena ironisnya rujukan-rujukan mereka
adalah hadits-hadits yang kita shahihkan termasuk dari kitab Imam Bukhori dan
Muslim.
Didalam harian "Sydney Morning
Herald" melaporkan tentang Islam di Australia. Dalam laporan khusus
tersebut seorang muslim ,Dr. Zacharia Matthews, diberi kesempatan menjawab
pertanyaan orang-orang yang note-bene non muslim. Dari salah satu pertanyaan
mereka ialah tentang prilaku Nabi saw yang tidur dengan seorang wanita yang
masih kanak-kanak (yang dimaksud adalah Aisyah ra). Karena berita yang masyhur
,sesuai riwayat imam Bukhori-Muslim, dikatakan bahwa Aisyah ra berumur 9 tahun
ketika dikawin oleh Rasulallah saw.
Mungkin kita akan membela bahwa pada zaman
itu, gadis seusia 9 tahun sudah baligh dan berpikir dewasa. Akan tetapi
alasan kita ini akan terbantahkan juga oleh hadits Bukhori-Muslim yang
mengatakan bahwa Aisyah ra masih suka bermain boneka ketika sudah dikawin oleh
Rasulallah saw. Hal ini menunjukkan bahwa Aisyah ra masih berperangai sebagai
kanak-kanak, bahkan suka digendong oleh Nabi saw.
Pertanyaannya sekarang: Sesuaikah hal ini
dengan pribadi Rasulallah saw. yang disebutkan oleh al-Qur'an bahwa beliau saw
adalah manusia yang paling mulia dan berperangai serta berkepribadian agung?
Dibawah ini kutipan pertanyaan di harian "Sydney
Morning Herald" tersebut!
{{ How are Islamic men ever going to
respect women when the Koran states that a woman' s word is worth half that of
a man, a man is allowed to lightly beat his wife and the prophet married and
slept with a 9 year girl? Is it not time for an intelligent Muslim to stand up
and say maybe the prophet and the Koran aren't so perfect?
When it comes to the testimony or
witness of a man versus a women, it is conditional upon qualification and roles
assigned by Islam. For example as some scholars have ruled, if a Muslim woman
is an expert on Islamic Finance then she is qualified to act as a witness or
give testimony within her filed of expertise.
With regard to the Prophet marrying a nine
year old, he did not incur any sanction from the people of his time including
his enemies since it was an accepted practice. The age of puberty differed
esepcially in warmer climates. Standards have changed over time.}}
Bagaimana orang Islam pernah akan menghormati wanita ketika Al-Quran berkata
bahwa wanita adalah setengah pria, seorang pria diperbolehkan untuk ringan
memukul istrinya dan nabi menikah dan tidur dengan seorang gadis 9 tahun?
Bukankah waktu untuk seorang muslim yang cerdas untuk berdiri dan mengatakan
mungkin nabi dan Qur'an tidak begitu sempurna?
Ketika datang ke kesaksian atau saksi seorang laki-laki versus perempuan, adalah tergantung pada kualifikasi dan peran yang ditugaskan oleh Islam. Misalnya karena beberapa ahli telah memutuskan, jika seorang wanita Muslim adalah seorang ahli Islamic Finance kemudian ia memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi atau memberikan kesaksian dalam dirinya mengajukan keahlian.
Berkenaan dengan Nabi menikahi dengan wanita berusia sembilan tahun, ia tidak dikenakan sanksi apapun dari orang-orang besar waktunya termasuk musuh-musuhnya karena itu adalah praktek yang diterima. Usia pubertas berbeda esepcially di iklim hangat. Standar telah berubah dari waktu ke waktu
Ketika datang ke kesaksian atau saksi seorang laki-laki versus perempuan, adalah tergantung pada kualifikasi dan peran yang ditugaskan oleh Islam. Misalnya karena beberapa ahli telah memutuskan, jika seorang wanita Muslim adalah seorang ahli Islamic Finance kemudian ia memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi atau memberikan kesaksian dalam dirinya mengajukan keahlian.
Berkenaan dengan Nabi menikahi dengan wanita berusia sembilan tahun, ia tidak dikenakan sanksi apapun dari orang-orang besar waktunya termasuk musuh-musuhnya karena itu adalah praktek yang diterima. Usia pubertas berbeda esepcially di iklim hangat. Standar telah berubah dari waktu ke waktu
Untuk membaca soal -jawab yang legkap di
harian "Sydney Morning Herald" silahkan meng-klik dibawah ini:
Mari kita teliti riwayat-riwayat dibawah
ini yang menjawab masalah diatas:
Artikel di bawah ini
adalah terjemahan tulisan dari situs "The Institute of Islamic Information
and Education (III&E )"
[judul asli artikel: Was
Ayesha A Six-Year -Old Bride? The Ancient Myth Exposed ] sedangkan tulisan asli
berbahasa Inggris silahkan klik disini : http://www
.iiie.net/ node/58
Artikel berkaitan: What
Was The Age of Ummul Mo'mineen Ayesha (May Allah be pleased with her ) When She
Married To Prophet Muhammad (Peace be upon him)?
--------------------------------------------------------------------------
Seorang beragama kristen
pernah bertanya: "Akankah anda menikahkan saudara perempuanmu yang berumur
7 tahun dengan seorang tua berumur 50 tahun?" Lebih lanjut tanyanya:
"Jika anda tidak akan melakukannya, bagaimana bisa anda menyetujui pernikahan
gadis polos berumur 7 tahun, Aisyah, dengan Nabi anda?"
Kebanyakan muslim akan
menjawab pertanyaan semacam itu ialah: Pernikahan seperti itu diterima
masyarakat pada saat itu, jika tidak, orang-orang akan merasa keberatan dengan
pernikahan Nabi saw dengan Aisyah ra. Bagaimanapun, penjelasan seperti ini
tidak cukup puas dan akan mudah menipu bagi orang-orang yang naif dalam
mempercayainya. Marilah kita membaca uraian jawaban berikut ini:
Nabi merupakan manusia
tauladan, semua tindakannya paling patut di contoh sehingga kaum muslimin dapat
meneladaninya. Bagaimanapun, kebanyakan orang tidak akan berpikir untuk
menunangkan saudara perempuannya yang berumur 7 tahun dengan seorang laki-laki
berumur 50 tahun. Jika orang tua wanita tsb. setuju dengan pernikahan seperti itu
,kebanyakan orang walaupun tidak semuanya, akan memandang rendah terhadap orang
tua dan suami tua tersebut.
Tahun 1923, pencatat
pernikahan di Mesir diberi intruksi untuk menolak pendaftaran dan menolak
mengeluarkan surat nikah bagi calon suami berumur di bawah 18 tahun, dan calon
isteri dibawah 16 tahun. Tahun 1931, Sidang dalam oraganisasi-oraganisi hukum
dan syariah menetapkan untuk tidak merespon pernikahan bagi pasangan dengan
umur diatas (Women in Muslim Family Law, John Esposito, 1982). Ini memperlihatkan
bahwa walaupun di negara Mesir yang mayoritas Muslim pernikahan usia anak-anak
adalah tidak dapat diterima.
Jadi, tanpa bukti yang
solidpun selain perhormatan kita terhadap Nabi saw, bahwa riwayat
pernikahan gadis berumur 7 tahun dengan Nabi berumur 50 tahun
adalah sangat diragukan kebenarannya. Bagaimanapun perjalanan panjang
dalam menyelelidiki kebenaran atas hal ini membuktikan intuisi benar adanya.
Nabi memang seorang yang
gentleman, beliau saw tidak akan menikahi gadis polos berumur 7 atau 9 tahun.
Kalau menurut riwayat, umur Aisyah ra telah dicatat secara salah dalam
literatur hadits. Lebih jauh, bahwa riwayat yang menyebutkan umur Aisyah ra ini
sangatlah diragukan.
Kita akan menyajikan
beberapa bukti yang berlawanan dengan riwayat dari Hisham ibnu `Urwah dan
untuk membersihkan nama Nabi saw dari sebutan seorang tua yang tidak
bertanggung jawab, yang menikahi gadis polos berumur 7 tahun .
Bukti-bukti:
#1: Pengujian
Terhadap Sumber
Sebagian besar riwayat
hadits masalah ini diriwayatkan hanya oleh Hisham ibn `Urwah, yang mencatat
atas otoritas dari bapaknya, yang mana seharusnya minimal 2 atau 3 orang harus
mencatat hadits serupa juga. Lebih aneh lagi bahwa tidak ada seorangpun yang di
Medinah ,dimana Hisham ibn `Urwah tinggal, sampai usia 71 tahun baru
menceritakan hal ini. Padahal kenyataannya waktu itu banyak para ulama di
Medinah ,antara lain yang terkenal Imam Malik ibn Anas, tidak menceritakan hal
ini.
Asal dari riwayat ini
adalah dari orang-orang Iraq, dimana Hisham tinggal disana dan pindah dari
Medinah ke Iraq pada usia tua.
Dalam Tehzibu'l -Tehzib,
Yaqub ibn Shaibah mencatat : "Hisham sangat bisa dipercaya, riwayatnya
dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq
" (Tehzi'bu'l-tehzi'b, Ibn Hajar Al-`asqala'ni , Dar Ihya al -turath
al-Islami , 15th century. Vol 11, p.50).
Dalam pernyataan lebih
lanjut bahwa Malik ibn Anas menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang
-orang Iraq: "Saya pernah diberi tahu bahwa Malik menolak riwayat Hisham
yang dicatat dari orang-orang Iraq" (Tehzi'b u'l -tehzi'b, IbnHajar Al -
`asqala'ni, Dar Ihya al-turath al -Islami, Vol.11, p. 50).
Dalam Mizanu'l-ai`tidal,
mencatat: "Ketika masa tua, ingatan Hisham mengalami kemunduran yang
menyolok" ( Mizanu'l-ai`tidal, Al-Zahbi, Al-Maktabatu'l -athriyyah,
Sheikhupura, Pakistan, Vol. 4, p . 301).
Kesimpulan:
Berdasarkan referensi
ini, ingatan Hisham sangatlah buruk dan riwayatnya setelah pindah ke Iraq
sangat tidak bisa dipercaya, sehingga riwayatnya mengenai umur pernikahan
Aisyah adalah tidak kredibel.
KRONOLOGI:
Adalah vital untuk
mencatat dan mengingat tahun penting dalam sejarah Islam:
610 M: Jahiliyah
(pra-Islamic era ) sebelum turun wahyu
610 M: turun wahyu
pertama, Abu Bakr menerima Islam
613 M: Nabi Muhammad
mulai mengajar ke Masyarakat
615 M: Hijrah ke
Abyssinia.
616 M: Umar bin al
Khattab menerima Islam.
620 M: dikatakan Nabi
meminang Aisyah
622 M: Hijrah ke
Yathrib, kemudian dinamai Medina
623/624 M: Diriwayatkan
Nabi saw berumah tangga dengan Aisyah ra
#2: Meminang
Menurut Tabari (juga
menurut Hisham ibn `Urwah, Ibn Hunbal and Ibn Sad), Aisyah dipinang pada usia 7
tahun dan mulai berumah tangga pada usia 9 tahun. Tetapi, dibagian lain,
Al-Tabari mengatakan: "Semua anak Abu Bakr (4 orang) dilahirkan pada masa
jahiliyahh dari dua isterinya" (Tarikhu'l-umam wa'l -mamlu'k,
Al-Tabari (died 922), Vol. 4,p. 50, Arabic, Dara'l-fikr, Beirut, 1979).
Jika Aisyah dipinang
620M (Aisyah umur 7 tahun) dan berumah tangga tahun 623/ 624 M (usia 9 tahun),
ini mengindikasikan bahwa Aisyah dilahirkan pada 613 M . Sehingga berdasarkan
tulisan Al-Tabari, Aisyah seharusnya dilahirkan pada 613M, Yaitu 3 tahun
sesudah masa Jahiliyahh usai (610 M).
Tabari juga menyatakan
bahwa Aisyah dilahirkan pada saat Jahiliyah. Jika Aisyah dilahirkan pada era
Jahiliyah, seharusnya minimal Aisyah berumur 14 tahun ketika dinikah. Tetapi
intinya Tabari mengalami kontradiksi dalam periwayatannya.
Kesimpulan:
Al-Tabari tidak reliable
mengenai umur Aisyah ketika menikah .
# 3: Umur Aisyah jika
dihubungkan dengan umur Fatimah
Menurut Ibn Hajar ,
"Fatimah dilahirkan ketika Ka`bah dibangun kembali, ketika Nabi saw
berusia 35 tahun… Fatimah 5 tahun lebih tua dari Aisyah" (Al-isabah fi
tamyizi'l-sahabah, Ibn Hajar al-Asqalani, Vol. 4, p. 377 , Maktabatu'l-Riyadh
al -haditha, al-Riyadh ,1978).
Jika statement Ibn Hajar
adalah factual, berarti Aisyah dilahirkan ketika Nabi berusia 40 tahun. Jika
Aisyah dinikahi Nabi pada saat usia Nabi 52 tahun, maka usia Aisyah ketika
menikah adalah 12 tahun.
Kesimpulan:
Ibn Hajar, Tabari, Ibn
Hisham, dan Ibn Humbal kontradiksi satu sama lain. Tetapi tampak nyata bahwa
riwayat Aisyah menikah usia 7 tahun adalah riwayat yang sangat diragukan kebenarannya
dan tidak dibenarkan.
# 4: Umur Aisyah
dihitung dari umur Asma'
Menurut Abdal-Rahman ibn
abi zanna'd: "Asma lebih tua 10 tahun di banding Aisyah” (Siyar
A`la'ma'l-nubala', Al -Zahabi, Vol. 2 , p. 289, Arabic , Mu'assasatu'l-risalah,
Beirut , 1992).
Menurut Ibn Katsir:
"Asma lebih tua 10 tahun dari adiknya [Aisyah]"
(Al-Bidayah wa'l
-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 371,Dar al- fikr al-`arabi, Al-jizah , 1933).
Menurut Ibn Katsir :
"Asma melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H, dan 5 hari kemudian Asma
meninggal. Menurut riwayat lainya, dia wafat 10 atau 20 hari kemudian, atau
beberapa hari lebih dari 20 hari , atau 100 hari kemudian. Riwayat yang paling
kuat adalah 100 hari kemudian. Pada waktu Asma Meninggal, dia berusia 100
tahun" (Al-Bidayah wa'l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8 , p. 372, Dar al-fikr
al-` arabi, Al- jizah, 1933 )
Menurut Ibn Hajar
Al-Asqalani : "Asma hidup sampai 100 tahun dan wafat pada 73 atau 74
H." (Taqribu'l-tehzib, Ibn Hajar Al-Asqalani, p. 654, Arabic, Bab
fi'l-nisa', al -harfu'l-alif, Lucknow ).
Menurut sebagian besar
ahli sejarah, Asma, saudara tertua dari Aisyah berselisih usia 10 tahun. Jika
Asma wafat pada usia 100 tahun di tahun 73 H, Asma seharusnya berusia 27 atau
28 tahun ketika hijrah 622M.
Jika Asma berusia 27
atau 28 tahun ketika hijrah (ketika Aisyah berumah tangga), Aisyah seharusnya
berusia 17 atau 18 tahun. Jadi, Aisyah, berusia 17 atau 18 tahun ketika hijrah
pada taun dimana Aisyah berumah tangga.
Berdasarkan Ibn Hajar,
Ibn Katsir, and Abdal-Rahman ibn abi zanna'd, usia Aisyah ketika beliau berumah
tangga dengan Rasulallah adalah 19 atau 20 tahun.
Dalam bukti # 3, Ibn
Hajar memperkirakan usia Aisyah 12 tahun dan dalam bukti #4 Ibn Hajar
mengkontradiksi dirinya sendiri dengan pernyataannya usia Aisyah 17 atau 18
tahun. Jadi mana usia yang benar ? 12 atau 18 ..?
Kesimpulan:
Ibn Hajar tidak
valid dalam periwayatan usia Aisyah.
#5: Perang BADAR dan
UHUD
Sebuah riwayat mengenai
partisipasi Aisyah dalam perang Badr dijabarkan dalam hadits Muslim,
(Kitabu'l-jihad wa'l -siyar, Bab karahiyati'l -isti`anah fi'l- ghazwi bikafir).
Aisyah, ketika menceritakan salah satu moment penting dalam perjalanan selama
perang Badar, mengatakan: "ketika kita mencapai Shajarah". Dari
pernyataan ini tampak jelas, Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju Badar.
Sebuah riwayat mengenai
pastisipasi Aisyah dalam Uhud tercatat dalam Bukhari (Kitabu'l-jihad
wa'l-siyar, Bab Ghazwi'l -nisa' wa qitalihinnama `a'lrijal):. [pada hari itu,]
Saya melihat Aisyah dan Umm-i-Sulaim dari jauh, Mereka "Anas mencatat
bahwa pada hari Uhud, Orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulallah
menyingsingkan sedikit pakaian-nya [untuk mencegah halangan gerak dalam
perjalanan tsb]."
Lagi-lagi, hal ini
menunjukkan bahwa Aisyah ikut berada dalam perang Uhud dan Badr.
Diriwayatkan oleh Imam
Bukhari (Kitabu'l-maghazi , Bab Ghazwati'l-khandaq wa hiya'l-ahza'b ):
"Ibn `Umar menyatakan bahwa Rasulallah tidak mengizinkan dirinya
berpastisispasi dalam Uhud, pada ketika itu, Ibnu Umar berusia 14 tahun .
Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengijinkan Ibnu
Umar ikut dalam perang tsb."
Berdasarkan riwayat
diatas, ( a) anak-anak berusia dibawah 15 tahun akan dipulangkan dan tidak
diperbolehkan ikut dalam perang, dan (b) Aisyah ra ikut dalam perang badar dan
Uhud.
Kesimpulah:
Aisyah ikut dalam perang
Badar dan Uhud jelas mengindikasikan bahwa beliau tidak berusia 9 tahun ketika
itu, tetapi minimal berusia 15 tahun. Disamping itu, wanita-wanita yang ikut
menemani para pria dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu,
bukan untuk menambah beban bagi mereka. Ini merupakan bukti lain dari
kontradiksi usia pernikahan Aisyah.
#6: Surat al-Qamar
(Bulan)
Menurut beberapa
riwayat, Aisyah dilahirkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah. Tetapi
menurut sumber lain dalam riwayat Bukhari, Aisyah mengatakan hal ini:
"Saya seorang gadis muda (jariyah dalam bahasa arab)" ketika Surah
Al- Qamar diturunkan” (Sahih Bukhari, Kitabu'l-tafsir, Bab Qaulihi Bal al
-sa`atu Maw `iduhum wa'l-sa` atu adha' wa amarr).
Surat 54 dari Al-qur'an
diturunkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah (The Bounteous Koran, M.M .
Khatib, 1985), ini menunjukkan bahwa surat tsb diturunkan pada tahun 614 M.
jika Aisyah ra memulai berumah tangga dengan Rasulallah pada usia 9 di tahun
623 M atau 624 M, Aisyah masih bayi yang baru lahir (sibyah in Arabic) pada
saat Surah Al-Qamar diturun kan. Menurut riwayat diatas, secara aktual tampak
bahwa Aisyah adalah gadis muda, bukan bayi yang baru lahir, ketika pewahyuan
Al-Qamar. Jariyah berarti gadis muda yang masih suka bermain (Lane's Arabic
English Lexicon).
Jadi, Aisyah, telah
menjadi jariyah bukan sibyah (bayi), jadi telah berusia 6 -13 tahun pada saat
turunnya surah Al -Qamar, dan oleh karena itu sudah pasti berusia 14-21 tahun
ketika dinikah Nabi.
Kesimpulan:
Riwayat ini
juga berlawanan riwayat pernikahan Aisyah yang berusia 9 tahun .
#7: Terminologi
bahasa Arab
Menurut riwayat dari Ahmad
ibn Hanbal, sesudah meninggalnya isteri pertama Rasulallah, Khadijah, Khaulah
datang kepada Nabi dan menasehati Nabi untuk menikah lagi. Nabi bertanya
kepadanya tentang pilihan yang ada dipikiran Khaulah. Khaulah berkata :
"Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang wanita yang pernah
menikah (thayyib)". Ketika Nabi bertanya tentang identitas gadis tersebut
(bikr), Khaulah menyebutkan nama Aisyah.
Bagi orang yang paham
bahasa Arab akan segera melihat bahwa kata bikr dalam bahasa Arab tidak digunakan
untuk gadis belia berusia 9 tahun. Kata yang tepat untuk gadis belia yang masih
suka bermain-main adalah , seperti dinyatakan dimuka, adalah jariyah.
Bikr disisi lain,
digunakan untuk seorang wanita yang belum menikah serta belum punya pertautan
pengalaman dengan pernikahan, sebagaimana kita pahami dalam bahasa Inggris
"virgin". Oleh karena itu, tampak jelas bahwa gadis belia 9 tahun
bukanlah "wanita" (bikr) (Musnad Ahmad ibn Hanbal, Vol . 6, p. .210,
Arabic, Dar Ihya al-turath al-`arabi, Beirut).
Kesimpulan:
Arti literal dari kata,
bikr (gadis), dalam hadits diatas adalah "wanita dewasa yang belum punya
pengalaman sexual dalam pernikahan." Oleh karena itu, Aisyah adalah
seorang wanita dewasa pada waktu menikahnya.
#8. Teks Qur'an
Seluruh muslim setuju
bahwa Quran adalah buku petunjuk. Jadi, kita perlu mencari petunjuk dari Qur'an
untuk membersihkan kabut kebingungan yang diciptakan oleh para periwayat pada
periode klasik Islam mengenai usia Aisyah dan pernikahannya. Apakah Quran
mengizinkan atau melarang pernikahan dari gadis belia berusia 7 tahun?
Tidak ada ayat yang
secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat ,yang bagaimanapun,
yang menuntun muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Petunjuk
Qur'an mengenai perlakuan anak Yatim juga valid diaplikasikan ada anak kita
sendiri sendiri.
Ayat tersebut
mengatakan: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai
pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”. (Qs. 4 :5)
“Dan ujilah anak yatim
itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu
mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya.’” ( Qs. 4:6)
Dalam hal seorang anak
yang ditingal orang tuanya, Seorang muslim di perintahkan untuk ( a) memberi
makan mereka , (b) memberi pakaian, (c) mendidik mereka, dan (d) menguji mereka
terhadap kedewasaan "sampai usia menikah" sebelum mempercayakan
mereka dalam pengelolaan keuangan .
Disini, ayat Qur'an
menyatakan tentang butuhnya bukti yang teliti terhadap tingkat kedewasaan
intelektual dan fisik melalui hasil test yang objektif sebelum memasuki usia
nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan harta-harta kepada mereka.
Dalam ayat yang sangat
jelas diatas, tidak ada seorangpun dari muslim yang bertanggungjawab akan
melakukan pengalihan pengelolaan keuangan pada seorang gadis belia berusia 7
tahun. Jika kita tidak bisa mempercayai gadis belia berusia 7 tahun dalam
pengelolaan keuangan, maka gadis tersebut tidak memenuhi syarat secara
intelektual maupun fisik untuk menikah.
Ibn Hambal (Musnad Ahmad
ibn Hambal, vol.6 , p. 33 and 99) menyatakan bahwa Aisyah yang berusia 9 tahun
lebih tertarik untuk bermain dengan mainannya daripada mengambil tugas sebagai
isteri .
Oleh karena itu
sangatlah sulit untuk mempercayai , bahwa Abu Bakar ra, seorang tokoh muslim,
akan menunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 tahun dengan Nabi yang
berusia 50 tahun. Sama sulitnya untuk membayangkan bahwa Nabi menikahi seorang
gadis belia berusia 7 tahun. Sebuah tugas penting lain dalam menjaga anak
adalah mendidiknya.
Kita akan bertanya pula:
"Berapa banyak diantara kita dapat mendidik anak dengan hasil memuaskan
sebelum mereka mencapai usia 7 atau 9 tahun?"
Logika kita berkata, adalah
tidak mungkin tugas mendidik anak kita dengan memuaskan sebelum mereka mencapai
usia 7 tahun, lalu bagaimana mungkin kita percaya bahwa Aisyah telah dididik
secara sempurna pada usia 7 tahun seperti diklaim sebagai usia pernikahannya?
Abu Bakr ra merupakan
seorang yang jauh lebih bijaksana dari kita semua, dia tidak mungkin akan
menikahkan Aisyah dalam usia tsb. kepada seorangpun. Abu Bakar ra akan merasa
dalam hatinya bahwa Aisyah masih seorang anak-anak yang belum sempurna
sebagaimana yang telah dinyatakan dalam al-Qur'an. Jika sebuah proposal
pernikahan dari gadis belia dan belum terdidik secara memuaskan datang kepada
Nabi, beliau saw akan menolak dengan tegas karena itu menentang hukum-hukum
Quran.
Kesimpulan:
Pernikahan Aisyah pada
usia 7 tahun akan menentang hukum kedewasaan yang dinyatakan Quran. Oleh karena
itu, riwayat pernikahan Aisyah gadis belia berusia 7 tahun adalah sangat
diragukan kebenarannya dan tidak dibenarkan.
#9: Izin dalam
pernikahan
Seorang wanita harus
ditanya dan diminta persetujuan agar pernikahan yang dia lakukan menjadi sah
(Mishakat al Masabiah, translation by James Robson, Vol. 1, p. 665). Secara
Islami, persetujuan yang kredible dari seorang wanita merupakan syarat dasar
bagi pengesahan sebuah pernikahan. Dengan mengembangkan kondisi logis ini,
persetujuan yang diberikan oleh gadis belum dewasa berusia 7 tahun tidak dapat
diautorisasi sebagai validitas sebuah pernikahan.
Adalah tidak
terbayangkan bahwa Abu Bakr, seorang laki-laki yang cerdas, akan berpikir dan
mananggapi secara keras tentang persetujuan pernikahan gadis 7 tahun (anaknya
sendiri ) dengan seorang laki -laki berusia 50 tahun.
Serupa dengan ini , Nabi
tidak mungkin menerima persetujuan dari seorang gadis yang menurut hadith dari
Muslim, masih suka bermain -main dengan bonekanya ketika berumah tangga dengan
Rasulallah saw.
Kesimpulan:
Rasulallah saw tidak
menikahi gadis berusia 7 tahun karena akan tidak memenuhi syarat dasar sebuah
pernikahan islami tentang klausa persetujuan dari pihak isteri. Oleh karena itu
, hanya ada satu kemungkinan Nabi saw. menikahi Aisyah ra seorang wanita yang
dewasa secara intelektual maupun fisik.
Summary:
Tidak ada tradisi Arab
untuk menikahkan anak perempuan atau laki-laki yang berusia 9 tahun, Demikian
juga tidak ada pernikahan Rasulallah saw dan Aisyah ra ketika berusia 9 tahun.
Jelas nyata, riwayat pernikahan Aisyah pada usia 9 tahun oleh Hisham ibn `Urwah
tidak bisa dianggap sebagai kebenaran, karena kontradisksi dengan riwayat-riwayat
lain. Lebih jauh, tidak ada alasan yang nyata untuk menerima riwayat Hisham ibn
`Urwah sebagai kebenaran ketika para pakar lain, termasuk Malik ibn Anas,
melihat riwayat Hisham ibn 'Urwah selama di Iraq adalah tidak reliable.
Pernyataan dari Tabari,
Bukhari dan Muslim menunjukkan mereka kontradiksi satu sama lain mengenai usia
menikah bagi Aisyah. Lebih jauh , beberapa pakar periwayat mengalami internal
kontradiksi dengan riwayat-riwayatnya sendiri. Jadi, riwayat usia Aisyah 9
tahun ketika menikah adalah tidak reliable karena adanya kontradiksi yang nyata
pada catatan klasik dari pakar sejarah Islam.
Oleh karena itu , tidak
ada alasan orang untuk menerima dan mempercayai usia Aisyah 9 tahun ketika
menikah sebagai sebuah kebenaran disebabkan cukup banyak latar belakang untuk
menolak riwayat tsb dan lebih layak disebut sebagai mitos semata. Lebih jauh,
Qur'an menolak pernikahan gadis dan lelaki yang belum dewasa sebagaimana tidak
layak membebankan kepada mereka tanggung jawab-tanggung jawab. Wallahu a'lam.
Note: The Ancient Myth Exposed
By T.O. Shanavas , di Michigan.
© 2001 Minaret
7.2. Fatwa-fatwa para ulama tentang paham Hulul atau
Ittihad (menyatunya Allah swt dengan hamba-Nya :
Fatwa As-Sayid Alwi bin Abbas
Al-Maliki (mufti Mekkah) dalam Majmu’ Fatawi Wa Rosail As-Sayid Alwi bin
Abbas Al-Maliki, hal. 185-186, tentang perkataan orang “yang menyembah
adalah yang disembah dan yang disembah adalah yang menyembah”.
Pertanyaan: “Apa pendapat Tuan –semoga anugerah Allah menyertai– tentang
seorang lelaki beriman yang mengaku berpegang tauhid mengatakan; ‘Bahwa antara
yang menyembah dan yang disembah itu hakekatnya satu jua’. Apakah dengan perkataan
ini, ia tergolong murtad atau perlu dibedakan antara seorang sufi dan yang
lainnya? Ketika kita menghukumi murtad, apakah boleh dikubur dipekuburan kaum
muslimin atau tidak diperbolehkan? Semoga
Allah membalas Tuan dengan balasan yang baik “.
As-Sayid Alwi menjawab:
"Segala puji untuk Allah atas
anugerahnya dan puji syukur atas pemberiannya. Sholawat dan salam semoga tetap
tercurah untuk baginda Muhamad, keluarga dan sahabat-sahabatnya yang menempuh
jalannya. Wa ba’du: “Ketahuilah, sesungguhnya jawaban atas persoalan ini
mencakup dua sub bahasan. Pertama; keterangan mengenai segala sesuatu yang
terkait dengan ucapan diatas. Kedua; mengenai segala sesuatu yang terkait
dengan hukum orang yang mengucapkannya. Akupun akan menjawab dengan memohon pertolongan
dari curahan ‘dzat pemberi nikmat’ dan juga terbukanya hati dari dzat yang
memberikan bisikan ilham untuk pembahasan pertama bahwa termasuk
sesuatu yang maklum dan tidak perlu dipikir panjang yaitu mengenai
perbedaan yang sangat jelas antara pencipta dan yang dicipta kan. Karena yang
namanya pencipta adalah dahulu tanpa permulaan, Maha Kaya dan Maha Agung
sedangkan makhluk adalah sesuatu yang baru datang danpenuh kehinaan. Apakah bisa disamakan antara bekas dan
yang memberikan bekas, antara ciptaan dan yang menciptakan? Tidak akan berkata
seperti itu kecuali orang bodoh, yang buta mata hatinya dan terhapus cahaya
hatinya. Dengan perkataan seperti ini, berarti dia memproklamirkan diri sebagai
pelaku zindiq, kesesatan lepas dari kendali taklif dan keluar dari wilayah
syari’at yang disucikan. Dia pun menyangka termasuk kedalam golongan sufi
agung, yang berpaham wahdah al-wujud. Padahal tasawuf yang terdapat pada
dirinya hanya tinggal nama dan agama, yang dipegang pun tinggal tanda-tandanya
belaka. Dengan begitu, setan pun tak henti-hentinya meniup kedua rahang
mulutnya, memberitahukan keindahan permainan berkata-kata sebagai tipu daya,
dengan sesuka hatinya memuji-muji hal-hal yang sebenarnya belum diketahui,
mengucapkan ucapan-ucapan yang tidak bisa diterima akal dan tanpa terasa
sebenarnya ia telah ke masukan aqidah orang-orang nasrani yang
berpendapat adanya penyatuan antara ketuhanan dan wujud kemanusiaan.
Dengan demikian ia termasuk orang-orang yang sesat”.
Fatwa Al-Mawardi ( Al-Haawi
Al-Kabir).:
Orang yang mempunyai paham hulul atau ittihad (bahasa jawanya
‘manunggaling kawula gusti’ artinya menyatunya Allah dengan hamba) bukan
termasuk orang-orang muslim. Mereka Islam, cuma menurut lahirnya dan sebutannya
saja. Mereka mengatakan Allah Maha Suci, namun juga berpendapat bahwa Allah itu
menyatu dengan makhluk-Nya. Paham semacam itu jelas-jelas sesat. Dikarenakan
bersatunya Allah ini, jika diartikan menyatunya sifat kepada yang lain berarti
Allah itu sifat. Atau jika diartikan menyatunya jasmani-jasmani, berarti
menganggap Allah itu jisim. Padahal pengertian semacam ini jelas-jelas keliru.
Kemudian jika yang dimaksud dengan hulul ini seluruh dzatnya, maka berarti
Allah dibatasi oleh badan kasar manusia. Atau hanya hulul sebagian saja, maka
berarti dzatnya Allah terbagi-bagi. Ini semua jelas merupakan kesalahan dan
kesesatan.
7.3. Fatwa-Fatwa Para Ulama
Mengenai Ilmu Tarekat, Hakekat, Ma’rifat :
Fatwa Syeikh Abdul Qadir Al-Jaelani (Sirr
Al-Asraar Wa Madhhar Al-Abraar, hal.140-142) tentang aliran sunni dan 12
aliran yang sesat :
Aliran-aliran tasawuf itu ada dua belas golongan, salah satunya adalah kaum
Suni, yaitu orang-orang yang perbuatan dan perkataannya sesuai dengan syari’at
dan tarekat (ini yang bukan termasuk aliran sesat). Mereka itu dinamakan ‘kelompok
ahl as-sunnah wal jamaah’ , sebagian masuk surga tanpa hisab dan sebagian
yang lain masuk surga setelah merasakan adzab/siksa.
Dua belas aliran sesat tersebut antara lain: Al-Huluwiyah, Al-Haliyah,
Al-Auliyaiyah, Ats-tsamrokhiyah, Al-Hububiyah, Al-Huriyah, Al-Ibaahiyah,
Al-Mutakaasilah, Al-Haddiyah, Al-Mutajahilah, Al-Waqifiyah dan
Al-Haamiyah.
Aliran Al-Hulwiyah: yaitu, sesuatu sekte yang mengatakan bahwa melihat wajah wanita
cantik atau amrod (pemuda tampan yang belum mencapai usia tumbuhnya
bulu wajah, jenggot) tampan hukumnya halal dan dibalik wajah itu
tersembunyi sifat-sifat Tuhan yang Maha Haq. Mereka itu suka menari-nari,
saling berciuman dan berpelukan. Sekte ini termasuk kafir murni.
Aliran Al-Haliyah: Suatu sekte yang mengatakan bahwa menari (berjoget) dan
tepuk tangan hukumnya halal. Mereka juga mengatakan bahwa guru tarekat itu
punya tingkatan spritual yang tidak bisa dijangkau hukum syara’. Paham seperti ini jelas bid’ah, yang tidak dijumpai pada sunnah
Rasulallah saw.
Aliran Al-Auliyaiyah: Suatu sekte yang mengatakan; ketika seorang hamba mencapai
martabat Auliya, maka terbebas dari semua tuntutan syar’i. Selain itu mereka
mengatakan; seorang wali lebih utama dari pada Nabi. Karena ilmunya nabi dengan
perantaraan Jibril as, sedangkan ilmunya para wali dengan tanpa perantaraan
(dengan ilham langsung dari Allah), penafsiran seperti ini jelas keliru. Mereka
ini termasuk golongan celaka, karena I’tiqod/keyakinan yang mengandung
kekufuran.
Aliran Atstsamrokhiyah: Suatu sekte yang mengatakan bahwa kebersamaan dengan Allah
adalah sesuatu yang azali, dengan sebab kebersamaan inilah perintah Allah dan
larangannya menjadi gugur. Mereka menghalalkan rebana, rebab dan alat musik
lainnya (menurut mereka halalnya memang secara Syar’i). Dan anak perempuan bagi mereka, halal
dikawini sendiri karena menurut mereka asalkan berjenis kelamin perempuan—halal
dinikahi. Mereka ini termasuk golongan orang-orang kafir, dan halal darahnya.
Aliran Al-Hububiyah: suatu sekte yang mengatakan bahwa, seorang hamba ketika
mencapai derajat mahabbah disisi Allah, akan bebas dari segala tuntutan
syar’i, selain itu mereka tidak menutup aurat diantara sesama mereka.
Aliran Al-Huriyah: sekte ini hampir sama dengan aliran Al-Haliyah, hanya ada
sedikit perbedaan bahwa, mereka mengaku menyetubuhi bidadari (alhuur)
dalam keadaan terbual dzikir, kemudian setelah sadar mereka mandi
wajib/jenabat. Mereka ini pembohong dan akan celaka.
Aliran Al-Ibaahiyah: sekte ini tidak mau melakukan amar ma’ruf, menghalalkan
perkara haram dan juga memperbolehkan menggauli wanita (bukan isterinya).
Aliran Al-Mutakaasilah (kelompok pemalas): golongan ini mengemis dari pintu
kepintu sementara itu, mereka mengaku meninggalkan urusan dunia dan
merekapun kelak akan celaka.
Aliran Al-Mutajahilah: suatu sekte yang lahiriyahnya memakai pakaian orang-orang
fasik dan mereka mengaku mementingkan urusan bathin/hati. Mereka juga
akan celaka. Seperti difirmankan Allah swt.: Dan janganlah kalian condong
kepada orang-orang dzalim, yang menyebabkan kalian tersentuh oleh api neraka
(QS.Hud:113).
Aliran Al-Waqifiyah: suatu sekte yang mengatakan, bahwa selainnya Allah tidak
akan bisa mengenali Allah. Mereka tidak mau berusaha untuk mencapai ma’rifat.
Dan merekapun akan celaka.
Aliran Al-Haamiyah: sekte ini mengabaikan ilmu, melarang pengajian, mereka
hanya mengikuti Hukama’ dan mengatakan; Bahwa Al-Qur’an itu menjadi hijab
sedangkan syair-syair itu sebagai al-Qur’annya ahli tarekat sehingga
merekapun meninggalkan Al-qur’an dan mengajarkan syair-syair kepada anak-anak
mereka. Selain itu juga mereka tidak mau membaca wirid. Dengan paham seperti
ini mereka akan celaka. Sementara dalam hati kecilnya yang rusak, mereka selalu
mengatakan; Kami ini ahlu sunnah wal jama’ah, yang mana sebenarnya mereka itu
bukan golongan ahli sunnah waljama’ah. Demikianlah pendapat syeikh Abdul Kadir
Al-jailani.
Al-Bujairomi,
Alal-khotib hal.8 juz 1 cet.Darul Fikr :
{{ Hakekat tanpa Syari’at batal (tidak diterima), Syari’at
tanpa Hakekat berakibat fatal (sia-sia).
Contoh yang pertama (hakekat tanpa syari’at batal)
adalah:
Ketika engkau berkata kepada seseorang; Sholatlah dzhuhur!, kemudian dia
menjawab; ‘Jika Allah menakdirkan aku beruntung, maka aku akan dimasukkan surga
meskipun aku tidak mengerjakan sholat’. Atau ia menjawab; ‘Jika Allah
menakdirkan aku sholat, maka aku pasti melaksanakannya’. Orang seperti ini, hanya melihat urusan dari tinjauan bathin
saja (hakekat).
Contoh yang kedua (syari’at tanpa hakekat berakibat fatal) adalah :
Ketika ada orang mengatakan; Saya
tidak mengerjakan sholat kecuali supaya masuk surga. Atau mengatakan; Saya tidak akan masuk
surga kecuali dengan mengerjakan sholat. Pelaksanaan syari’at seperti ini akan
sia-sia menurut pandang Kaum ‘Arifin. Maksud sia-sia adalah; Keberadaan
syari’at itu seolah-olah seperti tidak ada (tidak mendapat pahala) karena masuk
surga itu semata-mata anugerah Allah, bukan karena perantaraan amal, meskipun pelaksanaan
syari’at tersebut sudah menggugurkan kewajiban (menurut ilmu fiqih sudah
sah). }}
Syeikh Zainuddin bin Ali Al-Malaybari dalam Hidayatul-Adzkiya ilaa
Thoriqotil-Auliya hal.8-13, maktabah al-Hidayah:
“Sesungguhnya jalan terang itu, terdiri dari: Syari’at, Tarekat dan
Hakekat, dengarlah perumpamaan berikut ini: Syari’at itu ibarat
perahu, Tarekat itu ibarah samudera dan Hakekat itu ibara mutiara yang tak
ternilai harganya.
Syari’at adalah: Berpegang teguh pada agama Allah
Sang Pencipta, melakukan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Tarekat
adalah: Berpegang pada kehati-hatian, seperti berperilaku wira’i, dan juga
menahan keadaan yang berat, seperti terus menerus mengekang nafsu kesenangan.
Hakekat adalah: Sampainya seorang saalik pada maksud tujuan
(ma’rifat kepada Allah), seraya menyaksikan kilatan cahaya ilahiyyah. Barangsiapa ingin mendapatkan mutiara,
hendaknya naik perahu, menyelam kedasar samudera dan kemudian mengambilnya.
‘Wahai saudaraku! Tarekat dan Hakekat itu tidak akan bisa
engkau raih kecuali dengan menjalani Syari’at’. Hendaknya seorang saalik
menghiasi lahiriahnya dengan syari’at supaya kalbunya bercahaya. Kegelapan
sirna, dan tarekat pun bersemayam dalam kalbu.
‘Mereka kaum Sufi, masing-masing punya tarekat yang dipilih untuk
mengantarkannya menuju jalan terang. Ada yang duduk mengajar dan membimbing
umat manusia dan adapula yang memperbanyak wirid-wirid seperti puasa dan
sholat. Sebagian lagi berkhidmah melayani kepentingan masyarakat...bahkan
diantara mereka ada yang mencari kayu bakar dan menjualnya untuk disedekahkan
kepada sesama’.
Syeikh Abdul Wahhab As-Sya’roni (Kifayatul Atqiya’, syarh hidayatul
Adzkiya hal.27): Para guru tarekat telah sepakat bahwa, tidak diperbolehkan bagi seseorang
memberikan bimbingan kepada murid-murid tarekat kecuali ilmu syari’at dan
alatnya laksana samudera, sebagaimana difatwakan para guru tarekat Syadziliyah.
Oleh karena itu Syeikh Abu Hasan Asy-Sadzili, Syeikh Abbul Abbas Al-Mursyi,
Syeikh Yaqut Al-Ursyi dan Tajuddin Ibnu ‘Athoilah tidak mau menerima murid
Tarekat kecuali telah betul-betul menguasai ilmu syari’at, sekira bisa
mengalahkan para ulama dalam majlis munadzoroh. Jika tidak memenuhi syarat ini,
mereka tidak mau membaiatnya. Yang demikian ini untuk zaman sekarang (zamannya
Syeikh Abdul Wahhab ini) lebih langka dari pada belerang merah.
Fatwa As-Sayid Abdurrahman bin
Mushtofa Alaydrus tentang amalan yang bisa menyebabkan wushul kepada
Allah di akhir zaman. Allamah sayid Mushtofa ini (tinggal di Mesir)
menyatakan dalam penjelasan beliau tentang sholawatnya sayid Ahmad Al-Badawi.
Komentar ini ditulis dalam kitab Manaqibi Aali Al-Idrus : Bahwa di akhir zaman nanti, ketika
sudah tidak ditemukan seorang murobbi (mursyid) yang memenuhi syarat, tidak ada
satupun amalan yang bisa mengantarkan seseorang wushul (ma’rifat) kepada Allah
kecuali bacaan sholawat kepada Nabi saw, baik dalam keadaan tidur maupun
terjaga. Kemudian setiap amal itu mungkin diterima dan mungkin juga ditolak,
kecuali bacaan sholawat kepada Nabi saw (ini) yang pasti diterima, karena
memuliakan Nabi saw. Sayid Abdurrahman meriwayatkan keterangan tersebut
berdasarkan kesepakatan/ijma’ ulama.
Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz
Al-Malaibari (Fathul Mu’in, Hamisy Ianah Ath-Tholibin hal.134 juz 4,
syirkah Al-Maarif, Bandung) tentang membaca buku-buku yang menerangkan Ilmu
Hakekat yang ditulis oleh para Sufi:
“Bagi orang yang tidak paham istilah-istilah ahli ma’rifat dan tarekat yang
dijalani mereka, sama sekali tidak diperbolehkan membaca kitab-kitab karya
mereka. Karena banyak sekali orang yang
terjerumus dengan hanya melihat dhohirnya kata-kata para Sufi”.
Fatwa Ibnu
Hajar (Al-Fatawi Al-Haditsiyyah, hal. 210) tentang membaca kitab-kitab
karya Ibnu ‘Arobi:
(Ditanyakan kepada Ibnu Hajar),
semoga Allah melimpahkan berkahnya kepada kita, tentang bagaimana hukumnya
membaca kitab-kitab karya syeikh muhyidin Ibnu ‘Arabi? Beliau menjawab:
“Menurut keterangan yang aku kutip dari guru-guruku, para ulama yang bijak,
yang menjadi penyebab diturunkannya hujan, yang menjadi tumpuan dan rujukan
segenap umat dalam memecahkan hukum-hukum agama dan didalam menjelaskan ahwal,
ma’arif, maqomaat dan isyarat-isyarat”. Sesungguhnya Syeikh Muhyidin bin ‘Arobi
itu termasuk golongan Auliya Arifin, ulama ‘Amilin dan merekapun telah
sepakat mengenai predikat beliau (Ibnu ‘Arobi) sebagai orang paling alim pada
zamannya. Sehingga beliau menjadi panutan dalam segala cabang ilmu dan bukan
sebagai pengikut.
Didalam masalah pendalaman ilmu kasyf dan pembicaraan terkait dengan
pembedaan maupun penyamaan, beliau ini laksana gelombang lautan yang tidak
mungkin di-ikuti sebagai seorang imam, yang tidak pernah bersalah dan tidak
pula terbantahkan hujah-hujahnya. Selain itu Ibnu ‘Arobi terkenal sebagai ulama
paling wira’i pada zamannya, paling konsisten dengan Asu-Sunnah dan juga paling
kuat mujahadahnya. Termasuk tanda kebesaran itu adalah ketika beliau menulis
kitabnya yang berjudul “Al-Futuhaat Al-Makiyyah”. Kitab ini diletakkan
diatas Ka’bah dengan tanpa penutup dan setelah kurang lebih selama satu tahun
ternyata kitab ini sama sekali tidak tersentuh air hujan dan juga tidak pernah
terlempar oleh angin. Padahal waktu itu di Mekkah sering turun hujan dan
bertiup angin kencang. Penjagaan Allah dari hujan dan angin ini cukup sebagai
bukti, bahwa kitab ini diterima disisi-Nya, mendapatkan pahala dan pujian yang
layak. Oleh karena sebaiknya jangan sekali-kali ingkar terhadap isi
kitab ini. Karena hal itu akan menjadi racun yang siap membinasakan pada waktu
itu juga. Saya (Ibnu Hajar) sendiri telah melihat dan menyaksikan bencana dan
keburukan adzab/siksa yang ditimpakan kepada mereka yang ingkar terhadap isi
kitab-kitab karya Ibnu ‘Arobi. Adapun mengenai membaca kitab-kitab karya
beliau, sebaiknya dihindari saja baik dengan alasan apapun. Sebab didalam
kitab-kitab itu terdapat pembahasan-pembahasan hakekat, yang hanya bisa dipahami
oleh para ulama yang sudah mempelajari secara mendalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah dan sudah mencapai hakekatnya ma’rifat dan ma’rifatnya hakekat"
.
Ibnu Hajar dalam Al-Fatawi
Al-Haditsiyah, hal.56 menulis tentang perbedaan
antara murid Tabaruk dan murid Suluk:
“Mengambil ijazah dari para
guru yang lebih dari satu, harus dibedakan antara seorang murid yang hanya
sekedar menginginkan tabaruk dan seorang murid yang menginginkan
bimbingan suluk. Untuk macam murid yang pertama (yakni sekedar tabaruk)
diperbolehkan memcari ijazah dari siapapun, karena sama sekali tidak ada
larangan baginya. Sedangkan untuk murid yang kedua (menginginkan bimbingan
suluk) merupakan suatu keharusan baginya menurut istilahnya kaum sufi yang
bersih dari segala larangan dan cercaan. Untuk memulai suluknya dengan
bimbingan seorang guru yang halnya bisa menawan hatinya. Sekira hatinya
mengagumi keagungan hal sang guru yang jelas-jelas berada dijalan
yang benar, selain itu dia sangat menyukai dan menginginkan berguru kepadanya.
Ketika itu, ia harus berpegang teguh pada petunjuknya, siap menerima
perintah-perintah, larangang-larangan dan isyarat-isyaratnya. Sehingga ia diumpamakan
seperti mayit di hadapan orang yang memandikannya (yang siap dibolak-balik
menurut keinginan orang yang memandikannya).
Dan jika belum ada seorang gurupun
yang halnya menawan hatinya, maka ia harus memilih guru yang paling
mengerti hukum-hukum syari’at dan hakekat. Dan setelah itu ia harus siap
menerima isyarat dan perintahnya. Barangsiapa mendapatkan guru suluk,
baik dengan kriteria pertama maupun kedua, maka haram baginya meninggalkan guru
tersebut (pindah pada guru lainnya) meskipun hati kecilnya mengatakan ada guru
lain yang lebih sempurna. Karena bisa jadi murid tersebut merasa bosan untuk
memenuhi hak-hak seorang guru sehingga nafsunya menginginkan pindah pada yang
lainnya. Memilih seorang guru yang paling ‘arif, ‘alim, wira’i dan sholeh hanya
diperbolehkan ketika ia pertama kali suluk. Adapun setelah bai’at dibawah
pengawasan seorang guru yang ‘arif, maka sama sekali tidak ada kemurahan untuk
berpindah kepada guru yang lain. Begitu juga menurut kaum Sufi bagi guru kedua
yaitu ketika seorang murid telah mengambil guru yang sempurna tidak diperbolehkan memberikan
bimbingan suluk kepada murid tersebut. Namun ia harus memerintahkan murid
tersebut kembali kepada guru pertama”.
Ibnu Hajar dalam Al-Fatawi
Al-Haditsiyah hal.226 tentang Pengikut Malamatiyyah :
“ Mereka (pengikut Malamatiyah) itu
adalah kaum yang selalu menjaga kebaikan hatinya untuk Allah semata. Mereka
tidak menyukai orang lain melihat amal-amalnya. Dan ketika seseorang mengetahui
amal kebaikannya, maka segera merusak amal tersebut yaitu dengan
melakukan perbuatan atau perkataan yang kelihatannya tercela, seperti contoh
pencurian yang dilakukan oleh sebagian para wali antara lain Ibrohim bin
Khowash semoga Allah memberikan manfaat dengannya dan kejadian ini cukup untuk dipetik sebagai
ilmu pengetahuan. Ketika itu penduduk kampungnya menganggap Ibrohim bin Khowash
telah mencuri beberapa potong baju kepunyaan seorang pangeran dari sebuah
pemandian air hangat. Mereka menjumpai Ibrohim dengan bangga keluar dari
permandian, kemudian ditangkap ramai-ramai oleh penduduk, dipukul dan baju-baju
itu diambil kembali. Kemudian ia (Ibrohim) mendapat julukan Pencuri
pemandian air hangat, setelah kejadian itu Ibrohim pun berkata : ‘Sekarang
baru dikatakan baik berdiam dikampung ini’.
Jika kamu bertanya apa alasan yang
tepat untuk diperbolehkan memakai pakaian orang lain (dalam peristiwa itu)?
Saya (Ibnu Hajar) katakan, bahwa kemungkinan besar Ibrohim bin Khowash telah
mengetahui kadar kemarahan dan kerelaan pemiliknya (seorang pangeran tersebut).
Bahkan kejadian itu bisa menyebabkan kerelaannya. Meskipun hatinya tidak
mengetahui secara pasti namun hal itu bisa berdasar pada kebiasaan. Karena jika
si pangeran tadi mengetahui kebaikan seorang hamba (Ibrohim ini) yang memakai
pakaiannya dalam waktu sebentar dengan tujuan membersihkan hati supaya
tidak dipandang simpati oleih para makhluk niscaya ia (pangeran) akan
merelakannya. (Imam) Syafi’i telah menerangkan: ‘Bahwa diperbolehkan mengambil
satu atau dua cukil gigi dari harta orang lain, karena pada umumnya kejadian
seperti ini, bisa dimaafkan’. Sementara itu masalah yang sedang kita bicarakan
ini lebih penting dari hanya sekedar mengambil cukil gigi. Lagi pula kebanyakan
manusia sangat menyukai kaum sufi atau bahkan menjadi pengikut setia dari kelompok
mereka. Kemudian aku mengamati sebagian Fugoha memberikan jawaban lain ketika
ditanya oleh seorang Fagih tentang peristiwa/riwayat diatas. Sebelumnya ia
mengatakan : ‘Aku tidak akan menerima kecuali dengan jawaban yang sesuai dengan
pendapat Fugoha’. Maka merekapun memberikan jawaban: ‘Bukankah menurut dhohirnya Fiqih diperbolehkan
berobat dengan sebagian dari barang-barang yang diharamkan?’. Maka Fagih
tersebut menjawab: ‘Ya memang benar demikian’ “.
Fatwa Ibnu Hajar
(Al-Fatawi Al-Haditsiyah, hal.213) tentang Tarian para Sufi :
“Ditanyakan kepada beliau –semoga Allah memberikan manfaat– tentang
tarian yang dilakukan para sufi ketika dibuai lezatnya dzikir apa kah ada
dalilnya? Beliau (Ibnu Hajar) menjawab:
‘Memang benar ada dalilnya. Sesungguhnya telah diriwayatkan dalam
sebuah hadits bahwa sesungguhnya Jakfar bin Abi Thalib ra (saudara Imam Ali bin
Abi Thalib kw) menari-nari dihadapan Nabi saw, ketika beliau (saw) mengatakan
kepadanya (Jakfar); ‘ Wahai Jakfar, sungguh rupa dan tabiatmu mirip denganku’.
Jakfar menari sedemikian ini tidak lain karena terbuai rasa lezat atas ucapan
Nabi dan Nabi pun tidak mengingkari perbuatan Jakfar tersebut. Lagi pula
sungguh benar-benar terjadi tarian-tarian sambil berdiri pada majlis dzikir
seperti yang di lakukan segolongan imam-imam besar termasuk diantaranya Syeikh
Al-Islam ‘Izzudin bin Abd.Salam”.
– Fatwa Imam Al-Ghozali (Ihya
‘Ulum Ad-din, juz III bab Riya’ hal.281) tentang Tarekat Malamatiah:
“Cara menghilangkan Hubbul-jah dengan amaliyah, yaitu dengan
mengerjakan perbuatan-perbuatan yang mendatangkan kecaman dan cercaan khalayak
ramai, sehingga martabatnya jatuh dihadapan mereka. Kemudian tidak lagi
merasakan enaknya mendapatkan simpati, merasa puas dengan penyamarannya dan
merasa cukup dengan penerimaan Allah Sang Pencipta. Yang demikian ini adalah
aliran kaum Malamatiyyah. Mereka mengerjakan berbagai bentuk keburukan dan
kenistaan supaya jatuh harga dirinya dihadapan manusia, pada akhirnya mereka
selamat dari malapetaka Jah (pangkat, kehormatan). Perbuatan seperti ini
tidak boleh dilakukan oleh orang yang menjadi panutan, dikarenakan akan
menimbulkan perasaan meremehkan agama dihati kaum muslimin. Sedangkan
untuk orang yang tidak menjadi panutan, tidak diperbolehkan mengerjakan hal-hal
yang diharamkan, untuk tujuan diatas. Mereka hanya diperbolehkan melakukan
perkara-perkara mubah, yang bisa menjatuhkan martabatnya. Diantara
mereka ini ada yang minum minuman halal, dengan menggunakan cawan yang warnanya
mirip warna arak, sehingga ia disangka peminum arak. Dengan demikian jatuhlah
martabatnya dihadapan manusia. Diperbolehkannya perbuatan semacam ini ,menurut
fiqih, masih perlu ditinjau lebih mendalam. Hanya saja kaum Sufi lebih
mementingkan perbaikan hati meskipun perbuatan tersebut bertentangan
dengan fatwa ulama fiqih. Kemudian setelah usaha (penyamaran) tersebut
berhasil, segera ia (kaum aliran malamatiyyah) kembali dari kecerobohan yang
telah dilakukannya”.
– Fatwa Abu Ath-Thoyib dan Ibnu
Atho’illah (Salaalim Al-Fudlolaa’ hal.112, cet.Al-Hidayah dan Kifayah
Al-Atqiya’ hal. 111, cet. tAl-Hidayah) tentang Pengertian Ma’rifat sejati
atau sejatinya Ma’rifat:
“Abu Ath-Thoyib mengatakan; “Ma’rifat adalah menyaksikan atas
rahasia-rahasia dari yang maha haq dengan perantaraan cahaya ilahi”.
Ibnu Atho’illah mengatakan: “Ma’rifat itu harus memenuhi tiga rukun; merasa
segan, malu dan selalu merasa senang/puas dalam keadaan apapun”.
Dzun An-Nuun mengatakan : “Tanda tanda seseorang itu telah mencapai
ma’rifat ada tiga; a) Cahaya kema’rifatannya tidak memadamkan cahaya
wira’inya. b) Tidak mengi’tiqotkan bahwa ilmu bathin itu bisa
merusak hukum dhohir. c) Banyaknya nikmat yang dilimpahkan Allah
kepadanya tidak mendorong untuk melanggar apa-apa yang diharamkannya. Ma’rifat
kepada Allah, adalah seberkas cahaya yang di tempatkan oleh Allah didalam hati
seorang hamba dan dengan cahaya tersebut ia bisa melihat rahasia-rahasia
kerajaan bumi dan bisa menyaksikan hal-hal ghaib dari kerajaan langit”
7.4. Keterangan Mengenai
Pengertian Wali (Waliyullah):
Para waliyullah adalah hamba-hamba
,diluar para Nabi dan Rasul, yang dicintai juga oleh Allah swt. Mereka
benar-benar manusia sejarah bukan manusia dongeng, sebagai- mana yang dikatakan
oleh sementara orang yang tidak mempercayai adanya kekeramatan (karomah) yang
dilimpahkan Allah swt kepada para Wali. Allah swt telah memberikan penjelasan
kepada kita tentang para Wali itu, sebagaimananya firman-Nya:
Artinya: “Ketahuilah, bahwa
sesungguhnya para Wali Allah itu tidak khawatir terhadap mereka dan tidak pula
mereka itu bersedih hati. Mereka adalah orang-orang beriman dan senantiasa
bertakwa” (QS Yunus:62-63).
Waliyullah adalah orang yang berpegang teguh pada kebenaran Allah,
menjauhkan diri dari segala bentuk maksiat (kedurhakaan) dari yang besar hingga
yang kecil, dari yang bersifat lahir sampai yang bersifat bathin. Waliyullah
adalah orang yang sholeh dan besar takwanya kepada Allah swt. Allah swt
menganugerahkan kehormatan atau kemuliaan (karomah),menurut kehendak-Nya,
kepada siapa saja dari kalangan hamba-hambaNya yang sholeh baik mereka yang
dari kalangan umat Muhamad saw maupun dari kalangan para pengikut para Nabi dan
Rasul sebelum beliau saw. Allah swt memberi keampunan kepada pihak yang satu
demi kemaslahatan pihak yang lain, memaafkan kesalahan pihak yang satu untuk
kebaikan pihak yang lain, dan menolong pihak yang satu untuk keselamatan yang
lain. Demikianlah sebagaimana yang terdapat didalam hadits-hadits Arafat.
Menurut salah satu dari hadits
tersebut, Allah swt berfirman kepada para Malaikat mengenai orang-orang yang
berwuquf dipadang Arafat dan berdoa: “Kukabulkan doa mereka dan Aku karunia
maaf orang-orang yang buruk dari mereka demi kemaslahatan orang-orang yang baik
dari mereka”. Demikianlah yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Thabrani, Rasulallah saw menyatakan: “Allah mengarunia maaf kepada orang yang
buruk diantara kalian untuk kemaslahatan orang yang baik diantara kalian, dan
Allah pun akan memberi apa yang diminta oleh orang yang baik. Karenanya hendaklah kalian berangkat
(menunaikan ibadah haji) dengan nama Allah”.
Setelah mereka berkumpul (siap berangkat haji) Rasulallah saw menerangkan:
‘Allah ‘Azza wa Jalla telah memberikan ampunan kepada orang-orang yang baik
dari kalian dan menerima permintaan syafaat (pertolongan) mereka bagi
orang-orang yang buruk dikalangan kalian’.
Hadits mengenai hal itu yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi adalah sebagai
berikut: ‘Aku (Allah) telah mengampuninya dan telah memberi syafaat
kepadanya bagi dirinya sendiri. Jika ada hamba-Ku yang mohon hal itu kepada-Ku
tentu ia Kuberi syafaat ditempat wuquf ini’.
Hadits-hadits tersebut diatas dikemukakan oleh Al-hafidh Al-Mundziri dalam
At-Targhib wat Targhib bab ibadah haji jilid III hal. 323). Hadits-hadits
tersebut baik dijadikan dijadikan argumentasi dan pada umumnya dipandang
sebagai hadits-hadits shohih.
Bahkan ada pula hadits-hadits yang menegaskan bahwa diantara para hamba
Allah yang sholeh, ada yang justru karena kemuliaan (karomah) para waliyullah
itu, Allah menurunkan rizki dalam kehidupan dialam wujud. Karena mereka, Allah
menurunkan air hujan, memberi kan pertolongan kepada hamba-hambaNya, mencegah
datangnya bencana, mendatangkan kebajikan serta menyayangi semua penghuni bumi
(hadits-hadits semacam itu antara lain yang diketengahkan oleh Imam Ahmad bin
Hanbal dan rawi-rawinya adalah para perawi hadits shohih dan diriwayatkan juga
oleh Anas bin Malik ra dan Thabrani didalam Al-Ausath.).
Sayidina Ali bin Abi Thalib kw menuturkan: “Di negeri Syam terdapat
orang-orang sholeh, mereka berjumlah empat puluh orang. Bila ada seorang
diantara mereka yang wafat, Allah menggantinya dengan orang lain yang menempati
kedudukannya. Karena mereka itulah Allah menurunkan air hujan, memenangkan
mereka dalam menghadapi musuh dan menghindarkan penduduk negeri itu (Syam) dari
bencana adzab/siksa”. Hadits ini di ketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan
rawi-rawinya adalah para perawi hadits shohih. Syarih bin ‘Ubaid –ia dapat
dipercaya– mengatakan bahwa ia sudah mendengar hadits tersebut dari Al-Miqdad
lebih dulu.
Hadits lain yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah bin Shamit menuturkan bahwasanya
Rasulallah saw pernah menyatakan: “Orang-orang Sholeh dikalangan ini (umat
Muhamad saw) berjumlah tiga puluh orang. (Mereka itu) seperti Khalilur-Rahman
(orang yang amat dekat dengan Allah) ‘Azza wa Jalla. Bila seorang dari mereka
wafat, Allah menggantikan pada kedudukannya dengan orang lain”. Hadits ini
dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dengan rawi-rawi shohih. Al-“Ijli dan
Abu Zar’ah menilainya sebagai hadits tsiqat (yang boleh dipercaya). Sedangkan
selain dua orang ahli hadits ini menilainya lemah.
‘Ubadah bin As-Shamt menuturkan
bahwa Rasulallah saw. menyatakan:
“Ditengah ummatku akan senantiasa
terdapat tiga pulu orang yang karena mereka itu bumi ini tetap terbentang,
karena mereka hujan masih turun dan karena mereka pula kalian beroleh
pertolongan’”. Menanggapi
pernyataan beliau itu Qatadah berkata: ‘Kuharap Al-Hasan termasuk diantara
mereka’ .
Hadits-hadits yang semakna dengan berbeda teks diriwayatkan juga oleh Anas
bin Malik ra dan Thabrani didalam Al-Ausath. Bahkan Abu Darda ra juga
meriwayatkan bahwasanya Rasulallah saw menegaskan: “Barangsiapa mohon ampunan
bagi kaum mu’minin pria dan wanita, duapuluh tujuh kali sehari, ia akan
termasuk orang-orang yang dikabulkan permohonannya dan karena orang-orang
seperti itulah Allah melimpahkan rizki kepada penghuni bumi”. Hadits ini
diriwayatkan oleh Thabrani dan dinilainya sebagai hadits hasan/baik, demikian
didalam Al-Jami’.
Allah swt mengaruniakan kemuliaan kepada suatu umat termasuk seorang Nabi
yang berada ditengah mereka, demi kemaslahatan hidup seekor semut. Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa ia mendengar Rasulallah
saw pernah menceriterakan:
“Seorang Nabi pada zaman dahulu
mengajak rombongan pengikutnya untuk mohon (kepada Allah) agar diturunkan
hujan. Tiba-tiba ada seekor semut mengangkat beberapa kaki (depannya)
kearah langit. Melihat hal itu Nabi tersebut memberitahu para pengikutnya;
‘Pulang sajalah kalian! Demi semut itu doa permohonan kalian telah dikabulkan”.
(HR. Darquthni dalam Misykatul-Mashabih juz 1 hal. 478).
Demi kemaslahatan hidup seekor semut
saja Allah swt berkenan mengabulkan permohonan suatu umat bersama nabinya dan
menurunkan hujan, apa lagi dengan kemaslahatan hidup para auliya sholihin.
Begitu juga apa salahnya jika dikatakan Allah menciptakan Adam as demi habibuna
Muhammad saw? Sebagaimana diketahui, yang dimaksud Muhamad saw adalah dzat beliau,
syari’at (agama) beliau dan risalah beliau saw yang bersifat menyeluruh
(universal) lengkap dan sempurna.
7.4. Fatwa-Fatwa Para Ulama Tentang Pengertian Wali (Waliyullah) :
Fatwa Ibnu Hajar Al-Haitami
(Al-Fatawi Al-Haditsiyah, hal. 93 cet.Dar Al-Fikr) tentang ‘Tidak
mungkin wali itu seorang yang bodoh dan ilmu syari’at hanya bisa didapat
dengan belajar’:
“Ditanyakan kepada beliau (Ibnu Hajar) semoga Allah memberikan manfaat
tentang arti ucapan para ulama; ‘Bahwa Allah tidak akan menjadikan wali yang
bodoh dan jika seandainya dijadikan wali pasti diajarkan ilmu
kepadanya’.
Beliau menjawab: ‘Pengertian dari perkataan diatas adalah bahwa
sesungguhnya Allah itu akan melimpahkan karunia berupa ilham, taufik,
pengalaman-pengalaman spiritual dan ilmu kasunyatan kepada wali-walinya,
melebihi manusia lainnya, setelah mereka mengukuhkan hukum-hukum dhohir dan
amal-amal yang ikhlas. Barangsiapa menyandang pangkat kewalian dimana
kesempurnaannya tidak mungkin didapat kecuali syarat diatas, maka ia akan
memperoleh ilmu-ilmu dan kema’rifatan seperti yang diterangkan diatas. Dengan
demikian Allah tidak akan mengangkat wali yang bodoh mengenai hal-hal
diatas. Dan seandainya Allah menjadikan atau memberikan derajat kewalian
kepada para Auliya, niscaya ia akan diajari (diberi ilham)
pengetahuan-pengetahuan (kema’rifatan-kema’rifatan) sehingga bisa menyamai yang
lainnya.
Dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud bodoh disini adalah
bodoh mengenai ilmu yang langsung diberikan Allah (ilmu laduni) dan pengalaman
spiritual yang sempurna, bukan orang yang bodoh mengenai ilmu-ilmu syari’at
dhohir yang memang wajib dipelajari. Karena orang yang seperti ini (bodoh ilmu
syari’at) tidak akan bisa menjadi wali dan selama masih dalam kebodohan tidak
akan dikehendaki mendapat pangkat kewalian. Namun ketika Allah
menghendaki seseorang untuk menjadi wali, niscaya akan di berikan hasrat untuk
mau mempelajari ilmu syari’at dhohir. Karena ilmu syari’at tidak bisa diajarkan
melalui ilham. Dan ketika ia mempelajari ilmu dhohir dan memperkuat amal
ibadahnya, maka akan mendapat limpahan ilmu-ilmu ghaib yang tidak bisa didapat
dengan usaha dan kesungguhan. Dengan keterangan diatas maka bisa diketahui
bahwa sesungguhnya ilmu syari’at itu tidak bisa diperoleh kecuali dengan
pendidikan yang nyata”.
Fatwa Syeikh Abu Utsman
Al-Maghrobi (ibid) tentang Wali yang terkenal kewaliannya:
“Abu Utsman berkata:Wali itu terkadang masyhur, namun tidak menjadikan ia
terfitnah atas kemasyhurannya. Justru
kemasyhuran itu menjadi berkah bagi dirinya dan bagi orang lain”.
Fatwa Syeikh Sa’id yang dinukil oleh
Syeikh Ibnu Mudabighi (Sirojut-tholibin, Syeikh Ihsan bin Dahlan Al-Jampesi
hal. 16, juz 1, cet.Al-Hidayah) tentang pengertian Wali:
“Auliya itu jamaknya Wali, yaitu orang yang ma’rifat terhadap Allah dan
sifat-sifatnya dengan istiqomah, menjalani taat (perintah Allah), menjauhi larangan
dan berpaling dari bujukan lezatnya dunia dan syahwat”.
Fatwa Al-Yuusi (Syarh
Kifayatul Awam, hal. 42) tentang Syarat-syarat seseorang bisa mencapai
derajat wali:
“Al-Yuusi dengan mengutip pendapat sebagian A’immah (para imam)
mengatakan;
Seseorang tidak bisa mencapai derajat wali, kecuali dengan empat syarat:
a). Mengetahui ushul ad-din, sehingga bisa membedakan
antara pencipta dan makhluk yang diciptakan, juga antara Nabi dan orang yang
mengaku menjadi Nabi.
b). Mengetahui hukum-hukum syari’at baik secara Naqli
(nash) maupun dalam pemaham an dalil dengan perumpamaan, seandainya Allah
mencabut ilmunya penduduk bumi, niscaya akan bisa ditemukan pada orang
tersebut.
c). Mempunyai sifat-sifat terpuji . Seperti: wira’i
dan ikhlas dalam setiap amal.
d). Selama-lamanya dalam keadaan takut , tidak pernah
merasa tenang sekejap pun, karena ia
merasa tidak tahu apakah tergolong orang-orang beruntung ataukah orang-orang
celaka?
Fatwa Syeikh Ihsan bin Dahlan
(Sirojut Tholibin, Syeikh Ihsan bin Dahlan Al-Jampesi juz 1, hal.17) tentang
Tanda-tanda seorang wali:
“Dikatakan bahwa tanda-tanda wali itu ada tiga: 1.Selalu sibuk dengan
Allah. 2. lari kepada Allah 3. tujuannya semata-mata hanya kepada Allah.
Fatwa Abu Turob An-Nakhsya’i (ibid) tentang
‘Sifat Wali’ :
“Seperti yang dikomentarkan para
ulama; bahwa kriteria seorang wali harus tidak mempunyai perasaan cemas. Karena
perasaan cemas itu berasal dari penantian akan terjadinya sesuatu yang tidak
disenangi pada masa-masa mendatang atau penyesalan akan hilangnya
kesenangan pada masa-masa yang sudah lewat. Sedangkan Wali adalah anak
waktu ia tidak pernah berandal-andal tentang masa-masa mendatang, juga
tidak mempunyai rasa cemas dan tidak punya harapan. Karena yang
namanya harapan adalah sebuah penantian akan tercapainya kesenangan atau
akan hilangnya kesusahan”.
Fatwa Abul Qosim (ibid) tentang ‘Khilafiyah
ulama apakah seorang wali mengetahui bahwa dirinya wali’?:
“Abul Qasim berkata: ‘Para ulama
berselisih pendapat, apakah seorang Wali mengetahui bahwa dirinya itu termasuk
Wali? Sebagian ulama
mengatakan tidak mengetahui, karena seorang Wali selalu memandang rendah
dirinya. Dan jika nampak karomah pada diri mereka, justru menimbulkan rasa
takut, jangan-jangan hal itu termasuk tipu daya setan. Dan sebagian Ulama
mengatakan; seorang wali bisa mengetahui bahwa dirinya itu wali”.
Fatwa Al-Imam As-Sayid Abdullah
bin Alwi bin Muhamad Al-Haddad (Risalatul Mu’awanah hal.13,cet.Al-Hidayah)
tentang ‘Orang-orang yang mempunyai Khowariqul adat namun perilakunya tidak
sesuai dengan syari’at’ :
“Barangsiapa tidak bersungguh-sungguh berpegang dengan Al-Qur’an dan
sunnah, juga tidak mengerahkan kemampuan untuk mengetahui jejak Rasul, kemudian
dia mengaku mempunyai derajat tinggi dihadapan Allah, maka jangan sampai engkau
berpaling kepadanya dan mengikutinya meskipun dia bisa terbang, berjalan diatas
air, bisa meringkas jarak perjalanan atau mempunyai keanehan-keanehan lain.
Karena peristiwa-peristiwa semacam itu bisa dilakukan setan, tukang sihir, juru
ramal, orang-orang yang mengetahui keadaan yang samar dan para ahli
perbintangan. Mereka (yang tidak berpegang pada Al-Qur’an dan sunnah Rasul)
semua ini termasuk orang-orang yang sesat”.
Fatwa
Al-Imam As-Sayid Alwi bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani (Majmu’u Fatawi wa
Rosail, hal.200) tentang Ilham dan Firasat:
“Berkata para ‘Arifin: bahwa Ilham
dan firasat dari orang yang amal-amalnya dijaga oleh Allah baik dhohir maupun
bathinnya (para wali) bisa dibuat pegangan (dalil/hujjah). Sedangkan para
Ushuliyyin (ahli ushul fiqih) mengatakan: ‘Ilham atau firasat tidak bisa dibuat
pegangan’. Pendapat kaum ushuliyyin ini diarahkan untuk ilham dan firasat dari selain
orang-orang yang telah disebutkan diatas (yakni orang yang terjaga amalnya) dan
keluar dari kaidah-kaidah firasat yang dibenarkan menurut syari’at. Hal itu bisa
diketahui dengan tanda-tanda dan pembuktian”.
Fatwa Abi Bakr Al-Kattani (Karomatul
Auliya’, Muqodimah, Yusuf bin Ismail An-Nabhani) tentang ‘Derajat para wali
dan tempat tinggalnya’:
“Disebutkan dalam kitab tarikhnya Imam Khotib, dari Abi Bakar Al-Kattani.
Beliau berkata: ‘Bahwa Wali Nuqoba’ berjumlah tiga ratus. Wali Nujaba’
berjumlah tujuh puluh. Wali Abdal berjumlah empat puluh. Wali Akhyar ada tujuh.
Wali ‘Amd ada empat dan Wali Ghouts ada satu. Tempat tinggal wali Nuqoba’
dinegeri maghribi (maroko), Wali Nujaba’ di Mesir, Wali Abdal di Syam (syria),
Wali Akhyar berkelana diatas bumi. Wali ‘Amd berada diempat penjuru bumi dan
Wali Ghouts berdiam di Mekkah”.
Fatwa Yusuf An-Nabhani (Ibid) tentang ‘Pengertian
Wali Qutb’ :
“Diantara auliya itu ada yang
disebut dengan istilah wali-wali qutb (aqthob), mereka adalah wali-wali yang
menguasai segenap ahwaal dan maqomaat (tahapan-tahapan dan pengalaman spiritual
dalam dunia tashawwuf). Wali yang mempunyai derajat ini (Qutb) hanya ada satu
pada setiap zaman. Wali Qutb juga disebut wali Ghouts. Wali Qutb termasuk golongan muqorrobin
dan sekaligus menjadi pemimpin mereka. Wali-wali qutb ini ada yang menguasai
pemerintahan dhohir dan juga pemerintahan bathin seperti Abubakar (as-shiddiq),
Umar (bin khattab), Utsman (bin ‘affan), Ali (bin abi Thalib), Hasan (bin Ali
bin Abi Thalib), Muawiyah bin Yazid dan (khalifah) Umar bin Abdul Aziz. Kemudian juga ada yang menguasai khilafah batin saja seperti
Ahmad bin Harun Ar-Rosyid as-Sibti, Abi Yazid Al-Basytomi. Kebanyakan dari
wali-wali Qutb ini tidak menguasai pemerintahan dhohir”.
Fatwa Syeikh Ali Al-Kowash (Rosail Ibnu
‘Abidin juz II,hal. 274) tentang ‘Wali Qutb sebagai poros alam dan segala
ahwalnya’:
“Keterangan terdahulu telah
menjelaskan bahwa Wali Qutb bermukim di Mekkah atau Yaman. Kelihatannya
keterangan ini memandang pada sebagian waktu saja atau memandang pada
kebanyakan waktunya (tidak terus-terusan berada di Mekkah atau Yaman). Hal ini
dikuatkan oleh keterangan yang dikutip oleh Al-Imam Al-Arif Sayidi Abd.Wahhab
Asy-Sya’roni dari gurunya Al-Arif dzil Imdad Ar-Robbani sayyidi Al Al-Khowaash.
Dimana Asy-Sya’roni mengatakan didalam kitabnya yang berjudul Al-jawahir wa
ad-durar: ‘Aku pernah bertanya kepada guruk Rodhiyallahu anhu, apakah wali
Qutb, Ghouts selalu bermukim di Mekkah?, seperti yang sering dikomentarkan para
ulama’.
Guruku menjawab: ‘Bahwa hatinya
seorang wali Qutb selalu bertawaf mengelilingi Hadratillah dan tidak
pernah lepas darinya seperti halnya manusia bertawaf mengelilingi Baitul
Haram. Wali Qutb selalu syuhud pada dzat yang Maha Haq dalam
segala arah dan dari segala arahdan tidak berarti yang Maha Haq itu bersemayam
pada dirinya!! Seperti halnya ketika manusia itu melakukan thawaf mengelilingi
Ka’bah sungguh Allah swt. itu punya sifat yang Maha Tinggi!! Selain itu seorang
wali Qutb selalu menghadang apa yang diberikan Allah swt untuk para
makhluk-Nya, baik berupa bencana maupun berbagai macam pertolongan (menjadi
perantara). Wali Qutb selalu merasakan sakit kepala bukan kepalang, karena beratnya
beban yang ia terima. Sedangkan Raqanya tidak harus berada di Mekkah saja”.
Fatwa Syeikh Ali Al-Khowaash (dalam
Rosaail Ibnu Abidin juz II hal.275-276) tentang ‘wali Qutb yang selalu
tersembunyi’ :
“Sungguh engkau telah mengetahui
dari keterangan yang telah lewat, bahwa sesungguhnya seorang wali Qutb selalu
menyembunyikan diri dari kebanyakan manusia, tidak ada yang pernah melihat
kecuali orang-orang tertentu. Karena besarnya beban yang ditanggung, yang
datang silih berganti dan juga beratnya muatan musibah yang tidak akan
mampu disandang para makhluk dan juga karena agungnya wibawa dan ketenangan
yang dianugerahkan Allah swt. kepadanya, maka hampir-hampir tidak ada mata yang
menangkapnya. Imam Asy-Sya’roni memberikan penjelasan secara gambling didalam
kitabnya beliau mengatakan bahwa gurunya (Ali Al-Khowash) ra pernah mengatakan;
Kebanyakan Auliya tidak pernah bisa ketemu dengan wali Qutb dan juga
tidak mengenalnya. Apalagi untuk selain mereka, sebab keadaan wali Qutb tersembunyi.
Seandainya wali Qutb itu menampakkan diri, niscaya tak seorangpun mampu
mengangkat kepalanya ketika berada dihadapannya. Kecuali orang-orang yang
diberi keistemewaan, untuk berjumpa dengannya”.
Tentang Para Wali A’Immah
(Ibid):
“Diantara para Wali itu ada yang
disebut dengan istilah Wali-wali A’immah. Setiap zaman tidak lebih dari dua,
yang satu berjuluk Abdur Robbi, yang lain berjuluk Abul Malik, sedangkan wali
qutb berjuluk Abdullah. Dua wali Aimmah ini akan menggantikan kedudukan wali Qutb
yang wafat. Salah satu diantara mata hatinya
hanya tertambat dialam malakut sedangkan yang lainnya menyaksikan alam dunia”.
Syeikh
Ihsan bin Dahlan dalam Siroj Ath-Tholibin juz. II hal. 426 mengatakan:
“Bahwa semua ilmu para Aimmah (para Imam) mujtahidin merupakan ilmu
Al-Mukasyafah (ilmu laduni). Hanya saja mereka itu pandai sekali mengungkapkan
kasynya dalam kata-kata yang mudah dipahami oleh orang-orang awam”.
Fatwa Ibnu Hajar (Al-Fatawi
Al-Haditsiyah hal.232) tentang ‘kedudukan Asy-Syafi’i sebagai Wali Autad dan
sempat menjabat sebagai wali Qutb sebelum wafat’:
“Imam Ahmad (bin Hanbal) ra berkata:
‘Kalau bukan ahli hadits siapa lagi mereka (para wali Abdal) itu’. Yang
dimaksud ahli hadits adalah orang-orang yang pengetahuannya menyamai para ahli
hadits. Yaitu orang-orang menguasai ilmu dhohir dan ilmu bathin dan juga sangat
menguasai hukum-hukum syari’at, hikmah, ma’rifat dan rahasia-rahasia kehidupan.
Mereka itu seperti Asy-Syafi’i, Imam Malik, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal dan
orang-orang yang menyamainya. Mereka itu termasuk pilihan dari para wali Abdal, Nujaba’
dan Autad. Untuk itu hindarilah persangkaan yang buruk tentang mereka, jangan
sampai tergoda setan dan orang-orang yang dikuasainya sehingga tidak mendapat
cahaya Hidayah, dimana mereka berpendapat bahwa para imam Mujtahid tidak
mencapai tingkatan ini. Sungguh para ulama telah sepakat bahwa Asy-Syafi’i ra
termasuk golongan wali Autad. Dan menurut satu riwayat beliau menjabat sebagai
wali Qutb sebelum wafatnya. Demikian ini keterangan yang diperoleh dari
sebagian fuqoha yang menjadi pengikut beliau, seperti An-Nawawi atau yang
lainnya”.
Fatwa Yusuf An-Nabhani (ibid) tentang ‘Wali
Autad’: “Diantara para wali itu ada yang disebut Wali Autad. Pada
setiap zaman hanya ada empat, tidak lebih dan tidak kurang. Mereka berjuluk Abdul Hayyi, Abdul
Alin, Abdul Qadir dan Abdul Murid”.
Fatwa Syeik Akbar
(Sirojut-Tolibin Syeikh Ihsan Bin Dahlan Al-Jampesi, juz.1 hal. 263,
cet.Al-Hidayah) tentang ‘para wali Autad’:
“Wali Autad ialah: ‘Wali yang digunakan Allah untuk menjaga alam ini,
mereka berjumlah empat dan mereka lebih khusus dari Abdal.
Wali Abdal: Diantara para wali itu ada yang disebut wali Abdal
mereka berjumlah tujuh orang tidak kurang dan tidak lebih. Mereka ditugaskan
Allah untuk menjaga tujuh kawasan. Setiap
orang menguasai satu wilayah.(Karomatul Auliya, Muqoddimah, An-Nabhani)
Ciri-ciri wali Abdal: “Sebagian
ulama berkata; ciri-ciri wali itu tidak mempunyai anak” (Sirojut-Tholibin,
syeikh Ihsan bin Dahlan Al-Jampesi juz 1, hal. 262)
Fatwa Imam Ahmad (bin Hanbal): Beliau
berkata; Wali-wali Abdal itu siapa lagi kalau bukan ahli hadits” (ibid).
Menurut Abu Darda (ibid): “Wali abdal
adalah para kholifah Nabi. Mereka adalah tiang-tiang bumi, ketika derajat
kenabian sirna (dicabut), maka Allah menggantikan dengan segolongan dari umat
Muhamad saw. Mereka mendapat keistemewaan ini bukan karena banyak berpuasa atau
sholat atau karena melakukan amal-amal dzikir, namun hanya dengan
bersungguh-sungguh dalam wira’i, baiknya/tulusnya niat, lapang dada kepada kaum
muslimin, memberi nasehat kepada mereka dengan mengharap ridho Allah swt dengan
disertai kesabaran bukan karena takut dan tawadhu’ tanpa merendahkan martabat”
.
Wali Nuqaba:
“Diantara para wali itu ada yang disebut Wali Nuqaba, mereka berjumlah dua
belas orang pada setiap zamannya tidak lebih dan tidak kurang. Jumlah ini
sesuai dengan jumlah kumpulan bintang-bintang dicakrawala. Karena masing-masing
dari wali nuqoba’ menguasai rahasia-rahasia dari kumpulan bintang-bintang itu”
(Karomatul Auliya’, Muqoddimah, An-Nabhani). Wallahua'lam.
7.5. Dalil Berjabatan Tangan Antara Lelaki Dan Wanita
Yang Bukan Muhrim
Sebuah persoalan yang
sering dihadapi oleh kaum muslimin zaman sekarang yaitu masalah berjabatan
tangan antara laki-laki dengan wanita yang bukan muhrim, khususnya terhadap
kerabat sendiri yang bukan muhrimnya, seperti anak paman atau anak bibi
(saudara misan/sepupu), semenda (besan), istri paman atau suami bibi, saudara
wanita dari isteri (ipar) atau saudara lelaki dari suami (ipar) atau
wanita-wanita lainnya ,yang bukan muhrim, yang masih ada hubungan kekerabatan. Lebih-lebih dalam waktu-waktu tertentu, seperti
datang dari bepergian, sembuh dari sakit, datang dari haji atau umrah, atau
saat-saat lainnya yang biasanya para kerabat, semenda, tetangga, dan teman-teman
lantas menemuinya dan bertahni'ah (mengucapkan selamat atasnya) dan berjabat
tangan antara yang satu dengan yang lain, malah ada lagi yang
berpeluk-pelukan atau peluk cium.
Sedangkan kalau kita
tidak mau berjabat tangan atau berpeluk-pelukan, maka mereka memandang kita
sebagai seorang beragama yang kuno, terlalu ketat, tidak saling menghargai,
merendahkan wanita, tidak sopan, selalu berprasangka buruk dan sebagainya dan
sebagainya.
Berjabatan tangan sesama jenisnya itu memang dianjurkan oleh
syari’at, karena banyak riwayat hadits yang menyebutkan para sahabat bila
bertemu sering berjabatan tangan. Anjuran agama ini berlaku untuk sesama
jenisnya yaitu lelaki dengan lelaki dan wanita dengan wanita atau dengan
sesama muhrimnya, jadi bukan antara lelaki dan wanita yang bukan muhrim
! Orang yang mengira bahwa bila kita tidak berjabat-tangan dengan yang
bukan muhrim berarti kurang sopan atau tidak saling menghargai, ini
adalah pikiran yang salah. Karena keramahan dan kesopanan yang
dimaksud oleh syari’at Islam bukanlah terletak pada jabatan tangan
antara wanita dan lelaki yang bukan muhrim. Kita sebenar- nya juga tidak
perlu bingung dengan kritikan orang lain (kolot, kurang sopan
dll) mengenai amalan kita, karena kritikan ini tidak ada habis-habisnya, yang
penting sebagai seorang muslim atau muslimah ialah sebaik mungkin menjalani
perintah Allah swt. dan Rasul-Nya dan menjauhi larangan yang telah digariskan
oleh syari’at Islam.
Bagaimana
bila kondisinya darurat ?
Islam memang mengenal
darurat yang akan meringankan suatu hukum. Ada kaidah Idzaa dhoogal amr
ittasi’ (jika kondisi sulit, maka Islam memberikan kemudahan dan
kelonggaran). Bahkan Kaedah lain menyebutkan: ‘Kondisi darurat menjadikan
sesuatu yang haram menjadi mubah’. Namun darurat itu bukan sesuatu yang
bersifat rutin dan gampang dilakukan! Umumnya darurat baru
dijadikan pilihan manakala memang kondisinya akan menjadi kritis dan tidak
ada alternatif lain. Itu pun masih di-iringi dengan resiko fitnah dan sebagainya.
Sekarang kita akan bertanya-tanya 'apakah berjabatan tangan antara
muslim-muslimah yang bukan muhrim termasuk darurat'? Sudah tentu tidak !
Sebelum kami mengutip dan
mengumpulkan dalil-dalil dan makalah-makalah ,yang ditulis para pakar
islam, ingin memberitahukan dan menekankan lebih dahulu bahwa dalil-dalil
syara’ yang berkaitan pengharaman jabat tangan dengan ajnabiyah
(wanita bukan muhrim) adalah jauh lebih banyak
daripada dalil yang memperbolehkannya.
Dalil yang memperbolehkannya
pun belum mutlak tetapi masih mempunyai syarat-syarat
tertentu,umpamanya:
Pertama: Berjabat tangan antara
laki-laki dan perempuan itu hanya
diperbolehkan apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman
dari fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah
satunya, atau disertai syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat)
dari salah satu pihak (apalagi keduanya; penj.) maka keharaman
berjabatan tangan tidak diragukan lagi. Bahkan seandainya kedua syarat
itu tidak terpenuhi yaitu tiadanya syahwat dan aman dari fitnah meskipun jabatan tangan itu antara
seseorang dengan muhrimnya sendiri seperti bibinya, saudara sesusuan, anak
tirinya, ibu tirinya, mertuanya atau lainnya, maka berjabatan tangan pada
kondisi seperti itu adalah haram. Bahkan berjabat tangan dengan anak
yang masih kecilpun hukumnya juga haram, jika kedua syarat itu tidak
terpenuhi!
Kedua: Hendaklah berjabat tangan itu
sebatas ada kebutuhan (keperluan) saja, seperti yang disebutkan dalam
pertanyaan diatas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang
terjadi hubungan erat dan akrab diantara mereka, dan tidak baik hal ini
diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat,
mengambil sikap hati-hati dan meneladani sikap Nabi saw. Dan yang lebih
utama bagi seorang muslim atau muslimah yang komitmen pada agamanya
ialah tidak memulai berjabat tangan dengan lain jenis!
Demikianlah sebagian syarat yang
diajukan oleh golongan yang membolehkannya. Syarat-syarat itu
cukup berat bagi orang yang mau memahaminya, karena sentuhan anggota badan ke
anggota badan yang lain lebih kuat dan besar pengaruhnya terhadap naluri, watak
dan lebih dahsyat mengajak kepada fitnah daripada sekedar memandang dengan
mata. Apakah kita yakin bahwa syahwat dan fitnah tidak akan muncul dari diri
saudara dan saudari tersebut? Tetapi sayangnya orang hanya melihat dan
mengamalkan pemboleh annya saja, tetapi mengabaikan syarat-syaratnya
!
Ada lagi orang yang mengatakan; Yang
penting niat kita, karena ada hadits yang mengatakan bahwa ‘segala
sesuatu amalan itu tergantung dari niatnya...’.
Padahal hadits ini tidak berlaku
untuk sesuatu amalan yang sudah digariskan dalam syari’at Islam atas
kewajibannya ataupun haramny. Maksudnya ialah bila sudah ada perintah dan
larangan dalam syari’at Islam, maka kita tidak boleh melanggarnya walaupun niat
kita baik untuk amalan tersebut. Kami akan berikan contoh yang mudah saja:
Syari’at Islam memerintahkan kita
agar sholat dimulai dengan ucapan takbir dan diakhiri
dengan salam. Bila ada orang yang sholat tanpa memulai dengan ucapan takbir
maka sholatnya batal/tidak sah harus diulangi, walaupun orang itu sudah berniat
untuk sholat. Contohnya lagi Sholat Shubuh dalam syari’at Islam jumlahnya
dua raka’at. Ada orang yang sengaja ingin menambah amal kebaikan maka dia
sholat Shubuh tiga raka’at. Maka sholatnya orang itu batal dan tidak
sah, walaupun niatnya dia baik yaitu lebih banyak ber- ibadah kepada Allah
swt.! Lain halnya dengan amalan-amalan yang tidak diwajibkan atau dilarang oleh
syari’at Islam.
Banyak para ulama yang mengatakan
bahwa dalil atau hukum yang berkaitan dengan larangan itu harus lebih
didahulukan daripada hukum yang membolehkannya. Begitu juga sebagian besar
ulama ,baik zaman dahulu maupun sekarang, tidak melakukan berjabatan tangan
dengan wanita yang bukan muhrimnya. Tidak lain para ulama ini memahami makna
ayat-ayat ilahi dan hadits-hadits yang berkaitan dengan etika cara
berhubungan antara lelaki dan wanita yang bukan muhrimnya.
Tujuan kami untuk mengutip masalah
jabat tangan ini tidak lain agar kita tidak marah, mencela atau bersangka
buruk kepada orang muslimin yang tidak mau berjabatan tangan
(umpama hanya dengan mengatupkan telapak tangannya sendiri atau meletakkan
tangannya didada dan semisalnya) dengan orang yang bukan muhrimnya.
Tidak lain mereka ini juga mengikuti perintah Allah swt. dan sunnah Rasulallah
saw. Karena didalam praktek sehari-hari masih ada orang yang memaksa teman atau
kerabatnya yang bukan muhrim untuk berjabatan tangan atau peluk cium
satu sama lain. Walaupun sesama kaum muslimin berbeda pendapat tetapi
kita tetap bersaudara, tidak boleh dengan adanya perbedaan pendapat
tersebut, sesama muslim saling menfitnah dan menjelek-jelekan orang yang
berbeda dengan mereka, masing-masing mempunyai tanggung jawab sendiri mengenai
amalan yang dilakukannya tersebut.
Berikut ini kami ingin mengutip dan
mengumpulkan antara lain sumbernya dari website atau dari sumber
lainnya dalil-dalil orang yang melarang berjabatan tangan
antara lelaki dan wanita yang bukan muhrim, dan dalil-dalil orang yang membolehkannya
dengan bersyarat. Kemudian kami kutip kajian
berikutnya yaitu jawaban atau tanggapannya yang ditulis oleh Abu
Salma, yang kami ringkas dan anggap perlu diutarakan. Semoga
semuanya ini bisa bermanfaat kepada kami sekeluarga khususnya dan kaum muslimin
lainnya. Amin
Dalil-dalil
dari Al-Qur’an:
Perintah Allah swt. yang
berkaitan dengan etika hubungan antara lelaki dan wanita:Kalau ada
sebuah keperluan terhadap lawan jenis, harus disampaikan dari balik tabir
pembatas. Sebagaimana firmanNya: ‘Dan apabila kalian meminta sesuatu kepada
mereka (para wanita) maka mintalah dari balik hijab’. (QS.
Al-Ahzab : 53).
Seorang wanita dilarang mendayukan (suara merdu) ucapan saat
berbicara kepada selain suami. Firman Allah: "Hai istri-istri Nabi,
kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka
janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada
penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik." (QS.
Al-Ahzab : 32).
Allah memerintahkan kaum laki-laki untuk menundukkan pandangannya,
sebagaimana firman-Nya: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman:
‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluan’". (QS.
An-Nur : 30).
Sebagaimana
firman diatas tetapi ditujukan kepada wanita beriman, Allah berfirman: “Dan
katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan
pandang- annya dan memelihara kemaluannya.’" (QS. An-Nur : 31).
Manusia diciptakan oleh Allah ta'ala dengan membawa fitrah
(insting) untuk mencintai lawan jenisnya, sebagaimana firman-Nya: "Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)."
(QS. Ali-Imran : 14).
Allah ta'ala telah melarang perbuatan zina dan segala sesuatu yang
bisa mendekati perzinaan sebagaimana firmanNya: "Dan janganlah kamu
mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan
suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra' : 32).
Ibnu Katsir berkata: ‘Ini adalah beberapa etika yang diperintahkan
oleh Allah kepada para istri Rasulallah saw. serta para wanita
mu'minah lainnya, yaitu hendaklah dia kalau berbicara dengan orang lain
tanpa suara merdu, dalam artian janganlah seorang wanita berbicara dengan orang
lain sebagaimana dia berbicara dengan suaminya.’ (Tafsir Ibnu Katsir 3/530).
Berkata Imam Qurthubi: ”Allah ta'ala memulai dengan wanita karena
kebanyakan manusia menginginkannya, juga karena mereka merupakan jerat-jerat
syetan yang menjadi fitnah bagi kaum laki-laki, sebagaimana sabda
Rasulallah saw.: ‘Tiadalah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih
berbahaya bagi laki-laki daripada wanita’ “ (HR. Bukhari: 5696, Muslim:
2740, Tirmidzi: 2780, Ibnu Majah : 3998). Oleh karena itu, wanita adalah fitnah
terbesar dibanding yang lainnya. (Tafsir Qurthubi 2/20).
Kalau Allah swt. memerintahkan
agar orang menahan pandangannya terhadap lawan jenisnya (yang bukan muhrim),
maka tidak ragu lagi, bahwa sentuhan
anggota badan ke anggota badan yang lain lebih kuat dan besar pengaruhnya
terhadap naluri, watak dan lebih dahsyat mengajak kepada fitnah daripada
sekedar memandang dengan mata. Setiap orang yang berlaku adil pasti mengetahui
kebenaran hal itu! Renungkanlah !
Dalil-dalil
dari hadits dan keterangan para ulama pakar baik yang langsung maupun tidak langsung yang
berkaitan dengan larangan bersentuhan kulit dengan lawan jenisnya:
Dari Ma'qil bin Yasar ra.
berkata : Rasulallah saw. bersabda: "Seandainya kepala seseorang
ditusuk dengan jarum besi itu masih lebih baik dari pada menyentuh wanita yang
tidak halal (bukan muhrim) baginya." (HR. Thabrani dalam Mu'jam
Kabir 20/174/386).
Dari Abu Hurairah ra bahwa
Rasulallah saw. bersabda: "Sesungguhnya Allah menetapkan untuk anak
adam bagiannya dari zina, yang pasti akan mengenainya. Zina mata dengan memandang, zina lisan dengan
berbicara, sedangkan jiwa berkeinginan serta berangan-angan, lalu farji yang
akan membenarkan atau mendustakan semuanya." (HR. Bukhari 4/170, Muslim 8.52, Abu
Dawud 2152)
Rasulallah saw. tidak pernah menyentuh wanita meskipun dalam
saat-saat penting seperti membai'at dan lain-lain. Dari Aisyah ra.: ‘"Demi Allah, tangan Rasulallah
saw. tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun dalam keadaan
membai'at. Beliau tidak memba'iat mereka kecuali dengan mengatakan: ‘Saya
ba'iat kalian.’ " [HR Bukhori: 4891]
Sabda Rasulallah saw. lainnya: “Kedua mata berzina, kedua
tangan berzina, kedua kaki berzina dan kemaluan pun berzina” (HR. Ahmad, 1/
412; shahihul jam’ : 4126).
Rasulallah saw. menguji kaum mukminat yang
berhijrah kepada beliau dengan firman Allah ta’ala ( ayat 12 surat
al-Mumtahanah): “Wahai Nabi, apabila datang kepadamu wanita-wanita yang
beriman untuk membaiatmu….. sampai pada firman-Nya: ‘Allah Maha
Pengampun lagi Penyayang’”. Urwah berkata, ‘Aisyah mengatakan: ‘Siapa di
antara wanita-wanita yang beriman itu mau menetapkan syarat yang disebutkan
dalam ayat tersebut.’ Rasulallah saw. pun berkata kepadanya, ‘Sungguh aku
telah membaiatmu’, beliau nyatakan dengan ucapan (tanpa jabat tangan).’
‘Aisyah berkata; ‘Tidak, demi Allah! Tangan beliau tidak pernah sama sekali
menyentuh tangan seorang wanita pun dalam pembaiatan. Tidaklah beliau membaiat
mereka kecuali hanya dengan ucapan, ‘Sungguh aku telah membaiatmu atas hal
tersebut’ ”. (HR. Al-Bukhari no. 4891 dan Muslim no. 4811)
Umaimah
bintu Ruqaiqah berkata: “Aku bersama rombongan para wanita mendatangi
Rasulallah saw. untuk membaiat beliau dalam Islam. Kami berkata; ‘Wahai
Rasulallah, kami membaiatmu bahwa kami tidak menyekutukan Allah dengan
sesuatupun, tidak akan mencuri, tidak berzina, tidak mem bunuh anak-anak kami,
tidak melakukan perbuatan buhtan yang kami ada-adakan di antara tangan dan kaki
kami, serta kami tidak akan bermaksiat kepadamu dalam perkara kebaikan’.
Rasulallah saw. bersabda, ‘Sesuai yang kalian mampu dan sanggupi’.
Umaimah berkata, ‘Kami berucap, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih sayang kepada kami
daripada sayangnya kami kepada diri-diri kami. Marilah, kami akan membaiatmu
wahai Rasulallah’. Rasulallah saw. kemudian berkata: ‘Sesungguhnya aku
tidak mau berjabat tangan dengan kaum wanita. Hanyalah ucapanku kepada
seratus wanita seperti ucapanku kepada seorang wanita”.
Aisyah ra. berkata:“Dan Demi Allah, sungguh tangan Rasulallah saw.
tidak (pernah) menyentuh tangan perempuan sama sekali, tetapi beliau membaiat
mereka dengan perkataan” (HR Muslim:3/1489).
Dari
Umaimah bintih Ruqoiqoh radhiyallahu 'anha: Bersabda Rasulallah saw.:
"Sesungguhnya saya tidak berjabat tangan dengan wanita." [HR Malik
2/982, Nasa'i 7/149, Tirmidzi 1597, Ibnu Majah 2874, ahmad 6/357, Ath Thabrani dalam Al Kabir : 24/342, shahihul jami’:
70554, hadits nr. 2509]
Al-Hafidh
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata, “Rasulallah saw. membaiat mereka
hanya dengan mengucapkan: ‘Sungguh aku telah membaiatmu’, tanpa beliau
menjabat tangan wanita tersebut sebagaimana kebiasaan yang berlangsung pada
pembaiatan kaum lelaki dengan menjabat tangan mereka.” (Fathul Bari, 8/811)
Al-Hafidh Ibnu Hajar ketika mengomentari hadits ‘Aisyah
diatas yang menyatakan bahwa Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan wanita
ketika baiat, beliau mengatakan: “Dan di dalam hadits ini -yaitu hadits
‘Aisyah- ada hukum bolehnya (mendengarkan) suara wanita yang bukan
muhrim, dan suara mereka itu bukanlah aurat. Dan hukum haramnya menyentuh
kulit mereka bila tidak dalam keadaan darurat”. (Fathul-Bari,
16/330)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu
menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan tidak bolehnya menyentuh
kulit wanita ajnabiyyah (non muhrim) tanpa keperluan darurat, seperti
karena pengobatan dan hal lainnya bila memang tidak didapatkan dokter wanita
yang bisa menanganinya. Karena keadaan darurat, seorang
wanita boleh berobat kepada dokter laki-laki ajnabi (bukan muhrim si wanita).
(Al-Minhaj, 13/14)
Asy-Syinqinthi rahimahullahu berkata, “Tidaklah diragukan bahwa sentuhan
tubuh dengan tubuh lebih kuat dalam membangkitkan hasrat laki-laki terhadap
wanita, dan merupa- kan pendorong yang paling kuat kepada fitnah daripada
sekedar memandang dengan mata. Dan setiap orang yang adil/mau berlaku jujur
akan mengetahui kebenaran hal itu.” (Adhwa`ul Bayan, 6/603)
Imam
asy-Syaukani dalam kitab Irsyadul Fuhul hal.279 mengatakan: “Larangan
lebih didahulukan ketimbang kebolehan”.
Dengan kaidah
ini seharusnya kita lebih mendahulukan dalil larangan berjabat tangan dengan
lawan jenis daripada dalil yang menetapkan kebolehannya/kemubahannya.
Beberapa
pendapat ulama-ulama dari empat madzhab besar diantaranya:
Madzhab Hanafi :
Haram menyentuh wajah dan dua telapak tangan perempuan bukan
muhrim, sekalipun aman dari syahwat.
Berjabat tangan dengan perempuan tua
yang sudah tidak bersyahwat lagi; At-Thahawi berkata tidak mengapa. Manakala
Syamsudin Ahmad bin Qaudar berkata tidak halal sekalipun aman dari syahwat.
Imam al-Kasaani berkata: "menyentuh
(wanita) lebih berpotensi membangkitkan syahwat daripada sekedar melihat
.." [Bada'iu ash-Shana`i']
Madzhab Maliki:
Haram berjabat tangan dengan perempuan bukan
muhrim. Ini dinyatakan oleh al-Imam al-Baaji, al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi
dan As-Shawi.Hukum berjabat tangan dengan perempuan tua, menurut Syeikh Abul
Barakat Ahmad bin Muhamad bin Ahmad ad-Durdair ia tidak dibenarkan.
Imam Abul Barokaat menyatakan: "Tidak
boleh berjabat tangan dengan wanita (bukan muhrim) walaupun kaum lelaki sudah
tidak memiliki lagi keinginan (hasrat) kepadanya ." [asy-Syahush Shaghir
IV/760].
Madzhab Syafi’i :
Imam An-Nawawi di dalam beberapa karyanya,
as-Syaribini dan lain-lain ulama as-Syafi’iyyah menyatakan haram berjabat
tangan dengan perempuan bukan muhrim.
Imam an-Nawawi berkata: "Memandang
wanita (bukan muhrim) saja haram, maka menyentuhnya tentu lebih haram lagi,
karena terasa lebih nikmat ." [Roudhotu ath-Thalilibin VII/28].
Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar
halaman 228 berkata: “Para shahabat kami (dari kalangan Syafi’iyyah)
mengatakan bahwa setiap hal yang dilarang untuk dilihat, maka di larang pula
untuk menyentuhnya. Bahkan menyentuh itu lebih besar lagi urusannya, karena
telah dibolehkan bagi seseorang untuk melihat seorang wanita yang bukan
muhrimnya pada saat hendak menikahinya, pada saat jual beli,
pada saat mengambil barang dan menyerahkannya dan yang semisal dengan
hal tersebut di atas. Akan tetapi tetap tidak diperbolehkan baginya pada
saat-saat tersebut untuk menyentuhnya”.
Madzhab Hanbali:
Imam Ahmad ketika ditanya tentang masalah
berjabat tangan dengan perempuan bukan muhrim, beliau menjawab: “Aku
membencinya.”
Mengenai berjabat tangan dengan perempuan
tua: Imam Ishaq bin Mansur al-Marwazi menukil dari imam Ahmad, ia tidak
dibenarkan (tidak dibolehkan). Sementara Ibnu Muflih menyatakan; pemilik an-Nazham
mengatakan makruh dan dengan anak kecil (yang belum baligh)
dibolehkan dengan tujuan budi pekerti.
Imam al-Marruzi (ada yang membaca:
al-Marwazi) mengatakan: "Aku pernah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal.
"Apakah anda membenci jabat tangan dengan kaum wanita (non muhrim)?"
Beliau menjawab: “Aku membencinya". [Masa`il Ahmad wa Ishaq I/211]. Masih
banyak lagi pendapat ulama dari empat madzhab yang mengharamkan berjabatan
tangan dengan wanita bukan Muhrim.
Dalil dari
golongan yang membolehkan:
Pendapat yang membolehkan berdalil pada riwayat hadits diantaranya dari Ummu
‘Athiyah, yang menurut mereka kata-kata ga ba dho dalam
hadits itu berarti tangan Rasulallah saw. bersentuhan (memegang) tangan wanita.
Diantara ulama yang membolehkan ialah: an-Nabhani, al-Qordhowi, Mahmud
Khalidi dan semisalnya dari kalangan khalaf
(belakangan). Beberapa alasan golongan yang membolehkan dan
jawabannya ,berikut ini, yang cukup baik tak ada salahnya kami kutip
seringkas mungkin dari website yang ditulis oleh Abu Salma:
Alasan pertama:
Sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyah r.a. yang berkata: “Kami
membai’at Rasulallah saw. lalu beliau membacakan kepadaku ‘Janganlah kalian
menyekutukan Allah dengan sesuatu’, dan melarang kami melakukan ‘nihayah’
(histeris menangisi mayat), karena itulah seorang wanita dari kami menggenggam
(melepaskan) tangannya (dari berjabat tangan) lalu wanita itu berkata:
‘Seseorang (perempuan) telah membuatku bahagia dan aku ingin (terlebih dahulu)
membalas jasanya’ dan ternyata Rasulallah saw. tidak berkata apa-apa. Lalu
wanita itu pergi kemudian kembali lagi.” (HR. Bukhari).
Kata golongan ini: “ Hadits itu menunjukkan bahwasanya kaum wanita
telah berbai’at dengan berjabat tangan. Kata ‘qa ba
dha’ dalam hadits ini memiliki arti menggenggam atau melepaskan
tangan. Seperti disebutkan didalam kamus yang berarti menggenggam
sesuatu, atau melepaskan (tangannya dari memegang sesuatu). (Lihat A.W.
Munawwir, Kamus Al-Munawwir, hal. 1167). Hadits ini jelas-jelas secara manthuq
(tersurat) artinya ‘menarik kembali tangannya’ menunjukkan bahwa para
wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan, sebab tangan salah seorang
wanita itu digenggamnya/ dilepaskannya setelah ia mengulurkannya hendak
berbai’at. Selain itu dari segi mafhum (tersirat) juga dipahami
bahwa para wanita yang lain pada saat itu tidak menarik (menggenggam)
tangannya, artinya tetap melakukan bai’at dengan tangan terhadap Rasulallah
saw. Jadi hadits ini menunjukkan secara jelas –baik dari segi manthuq (tersurat)
maupun mafhum (tersirat)– bahwa Rasulallah saw. telah berjabat tangan
dengan wanita pada saat bai’at “.(Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, Nidzham Ijtima’i Fil Islam, hal. 57– 58, 71–
72).
Jawabannya :
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari Syarh Shahih
al-Bukhari dikatakan: Menceritakan kepada kami Abu Ma’mar, menceritakan
kepada kami Abdul-Warits, menceritakan kepada kami Ayyub dari Hafshoh binti
Sirin, dari Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: “Rasulallah
saw. membaiat kami, dan beliau membacakan kepada kami ayat “agar
mereka tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, beliau melarang kami
dari niyahah (meratap), seorang wanita memegang tangannya sendiri
(Lafadznya; faqobadlot imro’atun yadaha) dan berkata: seorang
fulanah telah membuatku gembira dan aku ingin berterima kasih padanya, dan nabi
tidak mengatakan sesuatu apapun pada dirinya, kemudian wanita itu pergi dan
kembali lagi, lalu nabi membaiatnya.”
Kata qo ba dho di dalam tekts hadits diatas faqobadhot
imro’atun yadaha ditafsirkan dengan makna berjabat tangan (Mushofahah),
ini tidak tepat sekali dari segi bahasa baik secara manthuq maupun
mafhumnya. Berikut ini makna qo ba dho
dari beberapa kamus bahasa Arab yang menjadi pegangan.
Didalam Mukhtaarus Shihhaah ( Mukhtaarus Shihhah, Imam Muhammad bin Abi
Bakr bin Abdir Qodir ar-Razi, cet. I, 1414 H./1994 M., Darul Kutub al-Ilmiyah,
hal. 464.) dikata- kan: Qobadho asy-Sya’i maknanya akhodzahu=
mengambilnya. Wal Qobdhu aidhan dliddu al-Basthu = dan qobdhu
juga merupakan lawan dari basthu (membentangkan). Jika dikatakan : Shoro
asy-Sya’i fi qobdhika wa fi qobdhotika maknanya adalah fi milkika
(dalam kepunyaanmu/kepemilikanmu).
Didalam
kamus al-Mu’tamad (Kamus
‘Arobi-‘Arobi), Abu Abdirrahman Muhammad Abdillah Qosim, Cet. III, 2004, Dar
Shodir, Beirut, hal. 513.) dikatakan: Qobadho Qobdhon ar-Rajulu asy-Syai’a maknanya
akhodzahu wa tanaawaluhu = mengambil dan menerimanya. Qobadho ‘ala
asy-Syai’i maknanya amsakahu wa dhomma ‘alaihi ashobi’uhu =
menggenggamnya dan merapatkan dengan erat jari jemarinya. Qobadho yadahu ‘an
asy-Syai’i maknanya imtana’a ‘an imsaakihi = melepaskan dari
genggaman.
Didalam
kamus al-Muhith ( Majduddin Muhammad bin Ya’qub bin Muhammad bin
Ibrahim al-Fairuz Abadi asy-Syairazi asy-Syafi’i, juz II, cet. I, 1415/1995,
Darul Kutub al-Ilmiyah, hal. 521) dikatakan : Qobadhohu yadahu yaqbidhuhu maknanya
tanaawaluhu biyadihi = menerima dengan/mengulurkan tangannya. Qobadho
‘alaihi biyadihi maknanya imsaakihi = menggenggamnya. Qobadho
yadahu ‘anhu maknanya imtana’a ‘an imsaakihi = melepaskan
genggamannya.
Didalam
kamus al-Munawwir ((Kamus Arab-Indonesia Terlengkap), Ahmad Warson
Munawwir, Cet. XIV, 1997, Pustaka Progressif, hal 1086.) dikatakan: Qobadho
asy-Syai’a aw ‘alaihi maknanya menggenggam. Qobadho wa Qobbadho asy-Syai’a
maknanya qollashohu= mengerutkan atau menguncup kan. Qobadho
‘anil Amri maknanya nahhaahu = menjauhkan. Qobadho yadahu
‘ani asy-sya’i maknanya melepaskan. Qobadho ‘anil Qoumi maknanya hajarohum
= meninggalkan. Qobadho ‘alaihi maknanya menangkap.
Demikian
pula di dalam kamus-kamus berikut ini: al-Mu’jamul Wasith (DR.
Ibrahim Anis dkk., Juz I, Cet. III, al-Maktab al-Islamiyah, hal. 711); Laarus
al-Mu’jam al-‘Arobiy al-Hadits (DR. Khalid al-Jarr, Cet. I, 1987, Maktabah
Larus, hal. 933); al-Waafi Mu’jamul Wasith lilughotil ‘Arobiyah (Abdullah
al-Bustani, Cet. Baru, 1990, Maktabah Libnan, Beirut, hal. 484); al-Mishbahul
Munir fi Ghoribi asy-Syarhil Kabir ar-Rafi’I (al-Allamah Ahmad bin Muhammad
bin Ali al-Muqri al-Fayumi, Juz I, Darul Fikr, hal. 487-488 ) dan al-Bustaan
Mu’jamul Lughowi (al-Allamah Ahmad bin
Muhammad bin Ali al-Muqri al-Fayumi, Juz I, Darul Fikr, hal. 487-488).
Jadi kata qobadho dihadits
itu diartikan berjabat tangan atau melepaskan genggaman dari jabatan
tangan seperti yang diklaim sebagian orang, maka ini adalah kebatilan yang
dibangun diatas zhan/sangkaan belaka yang mengandung ihtimalat (banyak
kemungkinan-kemungkinan lainnya). Perlu juga diketahui bahwa maf’ul (obyek)
di dalam lafadh hadits tersebut adalah yadaha dimana ha
adalah dhamir (kata ganti) untuk wanita, sehingga dhamir ha
disini mengandung ihtimal bisa yang dimaksud adalah tangan
wanita tersebut atau wanita lainnya!!
Juga perlu diketahui bahwa makna
mengenggam (amsaka) adalah jika kata qobadho diiringi
oleh suatu kata lagi atau muqoron (gandeng) dengan kata ‘ala
maka bisa dibawa kepada makna mengenggam. Sebagian orang yang
membolehkan jabat tangan ini juga berasumsi bahwa makna qobadho adalah imtana’a
‘an imsakiha (melepaskan tangan- nya dari genggamannya), padahal tidak
ada shilah ‘an (qobadho ‘an) di dalam lafadh ini. Oleh
karena itu asumsi bahwa qobadho di sini bermakna “menggenggam” ataupun
“melepaskan tangan dari jabat tangan” adalah sangat salah. Yang
benar adalah bermakna tanaawala atau mengulurkan tangan yang
bermaksud meminta izin dari prosesi baiat ketika saat itu.
Mari kita lihat pula penjelasan
al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqolani yang pribadi dan ilmunya lebih dikenal
daripada Taqiyudin an-Nabhani, DR. Mahmud Khalidi (penulis buku Baiat versi
HT), Abdurrahman al-Baghdadi, Syamsudin Ramadhan dan orang-orang semisal mereka
dari kalangan khalaf, sehingga ketika para imam terdahulu (salaf) semacam
al-Hafidh Ibnu Hajar dan semisalnya menyebutkan hadits Ummu Athiyah ini, tidak
terbetik satupun pemahaman sebagaimana pemahaman sebagian orang pada zaman
belakangan ini.
Imam Al-Hafidh Ibnu Hajr berkata:
“Sabda nabi saw.: “faqobadlot imro’atun yadahaa” didalam riwayat ‘Ashim
berbunyi: “Aku (Ummu Athiyah) berkata: Wahai Rasulallah sesungguhnya
keluarga fulan telah membahagiakanku di masa jahiliyah maka aku harus
membahagiakan mereka”. Aku (al-Hafidh) tidak tahu siapakah keluarga fulan
yang di tunjuk dalam riwayat ini. Didalam riwayat Nasa’i berbunyi: “Aku
(Ummu Athiyah) berkata : sesungguhnya ada seorang wanita yang
membahagiakanku di masa jahiliyah” dan aku (al-Hafidh) tidak mengetahui
siapa nama wanita yang dimaksud dan jelaslah bahwa Ummu Athiyah didalam riwayat
Abdul Warits memubhamkan (menyembunyikan identitas) dirinya.” (Fathul
Bari Syarh Shahih al-Bukhari , Juz VIII, Darul Kutub Ilmiyah, Beirut,
hal. 823, Bab. III : Idza Ja’aka al-Mu’minaatu yubayi’naka, hadits no.
3892. )
Dari penjelasan Ibnu Hajar
rahimahullahu di atas, tampak dengan jelas bahwa wanita yang diceritakan oleh Ummu
Athiyah adalah dirinya sendiri, namun beliau menceritakan dengan lafadh mubham,
dan ini adalah suatu hal yang lazim di dalam menceritakan tentang diri namun
dengan menggunakan lafadh yang menunjukkan orang lain. Dan al-Hafidh sama
sekali tidak menyinggung adanya mushofahah (jabatan
tangan) di dalam syarah (penjelasan) beliau. Sekiranya ada pemahaman mushofahah
dalam hadits tersebut, niscaya al-Hafidh akan menyinggungnya, karena beliau
adalah orang yang cukup dikenal pribadinya dikalangan para ulama dan pensyarah
hadits shohih Bukhori.
Namun anehnya, golongan yang
membolehkan yang datang berabad-abad kemudian (para khalaf) membawa pemahaman
yang tidak tepat terhadap hadits ini dan seakan-akan merasa bahwa mereka adalah
orang-orang yang lebih mengetahui ketimbang para Salaf (yang dahulu). Padahal
al-Hafidh didalam syarah (penjelasan) hadits sebelumnya, menyebutkan
hadits-hadits shohih tentang haramnya menyentuh wanita ajnabiyah.
Alasan kedua:
Hadits yang diriwayatkan oleh Ummu
‘Athiyah ra ini yang dijadikan dalil oleh sebagian ulama yang membolehkan
berjabat tangan dengan bukan muhrim. Namun demikian kebolehan tersebut dengan
syarat tidak disertai syahwat, kalau ada syahwat maka hukumnya haram.
Kata ‘qa ba dha’ juga sering ditemukan dalam hadits-hadits lain
yang arti- nya menggenggam dengan tangan, misalnya, diriwayatkan oleh
Abu Bakar r.a. dari Ibnu Juraij yang menceritakan, Bahwa ‘Aisyah r.a. berkata:
“Suatu ketika datanglah anak perempuan saudaraku seibu dari Ayah Abdullah bin
Thufail dengan berhias. Ia mengunjungiku, tapi tiba-tiba Rasulallah saw. masuk
seraya membuang mukanya. Maka aku katakan kepada beliau ‘Wahai Rasul, ia adalah
anak perempuan saudaraku dan masih perawan tanggung’.”
Beliau saw. kemudian bersabda:
“Apabila seorang wanita telah sampai usia baligh maka tidak boleh ia
menampakkan anggota badannya kecuali wajahnya dan selain ini –di genggamnya
pergelangan tangannya sendiri– dan dibiarkannya genggaman antara telapak tangan
yang satu dengan genggaman terhadap telapak tangan yang lainnya.” [HR.
Ath-Thabari dari ‘Aisyah r.a.].
Jawabannya:
Ucapan mereka ‘kebolehan tersebut
dengan syarat tidak disertai syahwat ’ adalah persyaratan ‘angan-angan’
belaka. Karena jika ada akibat pasti ada sebab, dan kaidah fikih menyatakan
urgennya saddu adz-dzara’i (menutup jalan-jalan keburukan), apalagi
Allah swt. memerintahkan supaya hamba-Nya menjauhi perbuatan yang bisa
mengakibatkan perzinaan, sedangkan jabat tangan dengan lawan jenis yang bukan
muhrim bisa menimbulkan syahwat, baik terhadap kedua belah pihak sekaligus
maupun salah satu pihak dari keduanya.
Jika mereka mengatakan bahwa kata qobadho adalah bermakna ‘menggenggam
dengan tangan’ taruhlah dikatakan benar, namun jika dia bawa kepada
pemahaman kepada ‘berjabat tangan dengan Rasulallah’ maka telah berlalu
penjelasannya, yaitu ini adalah pemahaman yang bathil/salah. Bagaimana bisa dia
mengatakan bahwa qobadho dalam lafadh hadits Ummu Athiyah diatas adalah jabat
tangan (atau melepaskan tangan dari jabat tangan)? Dan dari mana pula dia
mendatangkan pemahaman bahwa yang dijabat (atau menjabat) adalah Rasulallah
saw.? Darimanakah dia mengambil syarah/penjelasan hadits tersebut?
Karena hadits yang serupa diatas, ada diriwayatkan oleh ath-Thabrani di
dalam Mu’jamul Kabir (XXIV : 143/374) dan Mu’jamul Ausath (II :
230/8959), juga al-Baihaqi melalui jalur Ibnu Luhai’ah, dari Iyadh bin Abdillah
bahwa ia mendengar Ibrahim bin Ubaid bin Rada’ah al-Anshori menceritakan dari
ayahnya, dari Asma’ binti Umais berkata:
“Rasulallah saw. mengunjungi ‘Aisyah binti Abi Bakar, sedangkan di sisi
‘Aisyah ada Asma’ binti Abi Bakar yang sedang mengenakan pakaian bermodel syam
yang lengannya lebar. Tatkala Rasulallah melihatnya, maka beliaupun bangkit dan
keluar. ‘Aisyah ra. berkata: Menyingkirlah kamu karena Rasulallah melihat
sesuatu yang beliau benci. Lalu Asma’ pun menyingkir dan kemudian Rasulallah
masuk kembali. Aisyah ra. bertanya kepada beliau alasan apa beliau sampai
bangkit, maka beliaupun menjawab: ‘Tidakkah kamu lihat bersoleknya
(dandanannya)? Sesungguhnya seorang wanita muslimah itu tidak boleh tampak
darinya kecuali ini dan ini ! Beliau mengambil kedua telapak tangannya
(demikian didalam riwayat al-Baihaqi, namun yang benar adalah mengambil “kedua
lengan bajunya” sebagaimana disebutkan di berbagai sumber takhrij ), lalu
beliau menutupkan dengan lengan baju itu pada bagian punggung telapak tangan
beliau sehingga yang tampak hanyalah jari jemari beliau. Selanjutnya beliau
meletakkan kedua telapak tangan beliau pada kedua pelipis beliau sehingga yang
tampak hanya wajah beliau’ “. Al-Haitsami menghasankannya di dalam Majma’uz
Zawa’id (V : 137) dan mengatakan: “Didalam nya terdapat Ibnu Luhai’ah yang
haditsnya hasan sedangkan perawi lainnya adalah rijal shahih.” Al-Baihaqi
berkomentar : isnad hadits ini dha’if.
Hadits di atas tidak dapat digunakan sebagai dalil tentang kebolehan berjabat
tangan dengan wanita ajnabiyah dengan alasan :
a. Lafadh ‘beliau mengambil kedua tangannya’ adalah
lafadh yang salah, dan yang benar adalah ‘mengambil kedua lengan bajunya’
sebagaimana termaktub dalam sumber-sumber takhrij.
b. Tidak ada satupun ulama hadits yang mensyarah hadits ini
menjelaskan tentang bolehnya berjabat tangan dengan ajnabiyah.
Alasan
ketiga:
“Seorang
wanita mengisyaratkan sebuah buku dari belakang tabir dengan tangannya kepada
Nabi saw. Beliau saw. lalu memegang tangan itu seraya berkata, ‘Aku tidak tahu
ini tangan seorang laki-laki atau tangan seorang wanita.’ Dari belakang tabir
wanita itu menjawab. ‘Ini tangan seorang wanita’. Nabi bersabda, ‘Kalau engkau
seorang wanita, mesti- nya kau rubah warna kukumu (dengan pacar).”
[HR. Abu Daud].
Jawabannya:
Sekiranya hadits di atas shohih, juga tidak dapat dijadikan dalil tentang kebolehan
berjabatan tangan dengan wanita ajnabiyah, dengan alasan :
a. Rasulallah saw.tidak mengetahui apakah orang yang
mengisyaratkan buku itu adalah lelaki atau perempuan, oleh karena itu beliau
bertanya kepadanya. Jika sekiranya jabat tangan atau menyentuh wanita tidak
dibedakan hukumnya oleh Rasulallah, niscaya Rasulallah tidak perlu berkata
dengan nada bertanya kepada orang tersebut ‘apakah dia lelaki ataukah
wanita?’
b. Rasulallah saw. mengatakan, ‘Jika kau seorang wanita
maka seharusnya kau ubah warna kukumu’, hal ini menunjukkan bahwa
Rasulallah menghendaki supaya wanita ini membedakan dirinya dengan kaum pria
dengan cara memberi pacar pada kukunya, agar supaya dengan pembedaan ini
Rasulallah tahu mana tangan pria dan wanita, sehingga beliau tidak sampai
menyentuh atau memegang tangannya. Wallahu a’lam
Alasan keempat:
Dalam menghadapi perbedaan tersebut dan pendapat mana yang harus kita ikuti
untuk kita amalkan, maka kita harus mengkaji terlebih dahulu pendapat manakah yang
lebih kuat dalam hal ini. Untuk itu kita perlu mengkaji manakah dalil
yang lebih kuat dari nash-nash yang seolah-olah bertentangan yang digunakan
oleh kedua pendapat di atas. Kalau kita perhatikan hadits-hadits yang digunakan
oleh kedua pendapat adalah hadits-hadits shahih yang harus diterima
kebenarannya. Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat yang mengatakan
bahwa hukumnya mubah. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Hadits yang sering digunakan oleh golongan yang berpendapat haramnya berjabat
tangan dengan bukan muhrim adalah hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah
r.a. Sedangkan golongan yang mengatakan mubah adalah berdasarkan riwayat
Ummu ‘Athiyah r.a. Untuk mentarjihnya kita perlu memperhatikan kaidah tarjih
dalam ilmu hadits yang telah dijelaskan para ulama bahwa: “Rawi yang
mengetahui secara langsung kedudukannya lebih kuat dari pada Rawi yang
mengetahui tidak secara langsung.”
Dari hadits-hadits diatas, maka hadits yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah
r.a. lebih kuat, sebab beliau melihat dan mengetahui secara langsung
perbuatan Rasulallah saw. yang berjabat tangan dengan wanita bukan muhrim pada
saat berbai’at. Bahkan Ummu ‘Athiyah r.a. sendiri berjabat tangan dengan
Rasulallah saw. seperti apa yang tersirat dari hadits yang diriwayatkannya.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a. isinya merupakan pendapat
beliau yang menggambarkan bobot keilmuan beliau. Bahwa selama beliau (‘Aisyah
r.a.) bergaul dengan Rasulallah saw, beliau tidak pernah melihat Rasulallah
saw. berjabat tangan dengan wanita bukan muhrim.
Memang benar ‘Aisyah r.a. tidak pernah melihat Rasulallah saw. berjabat
tangan wanita bukan muhrim. Tetapi tidak bisa langsung disimpulkan bahwa
Rasulallah saw. mengharamkan berjabat tangan dengan bukan muhrim. Sebab
apa yang dikatakan ‘Aisyah hanya menjelaskan tentang ketiadaan perbuatan
Rasulallah –dalam hal ini berjabat tangan– yang diketahui ‘Aisyah, dan tidak
menunjukkan larangan berjabat tangan dengan bukan muhrim. Perlu diketahui bahwa
kehidupan Rasulallah sehari-hari tidak selamanya didampingi ‘Aisyah r.a.,
bahkan kehidupan Rasulallah saw.bersama ‘Aisyah r.a. lebih sedikit dibandingkan
dengan kehidupan Rasulallah saw di luar rumah (berdakwah tanpa disertai
‘Aisyah r.a.). Sehingga kalau ‘Aisyah r.a. tidak pernah melihat Rasulallah saw
berjabat tangan dengan wanita bukan muhrim, tidak bisa langsung disimpulkan
haram berjabat tangan dengan bukan muhrim. Sebab pada keadaan lain ada yang
melihat dan mengetahui (Ummu ‘Athiyah r.a.) Rasulallah saw berjabat tangan
dengan wanita bukan muhrim. Oleh krena itu hadits riwayat Ummu ‘Athiyah r.a.
lebih rajih (kuat) untuk dijadikan dalil dan dapat diambil serta
menentukan bolehnya berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan muhrim.
Jawabannya:
Hadits-hadits yang mereka kemukakan tidak bertentangan
sama sekali, sehingga tidak perlu dilakukan metode jam’u (kompromi),
penentuan nasikh mansukh, tarjih maupun tawaqquf. Yang tanaqudl
(bertentangan) adalah takwil-takwil (penggeseran arti) yang tidak sehat
terhadap hadits-hadits nabi yang muhkam (tegas) dan shahih yang tidak
saling kontradiktif sedikitpun. Dalil yang rajah (kuat) adalah Jabat Tangan
Dengan Ajnabiyah adalah Haram!!!
Imam Bukhari berkata: Menceritakan
kepadaku Ya’qub bin Ibrahim, menceritakan kepadaku Syihab dari pamannya, beliau
berkata: Mengabar- kan kepadaku ‘Urwah bahwasanya Aisyah istri Nabi saw. mengabarkan
kepadanya bahwa Rasulallah saw. pernah menguji orang-orang yang
berhijrah kepada beliau dari kaum mukminat dengan ayat “Wahai Nabi, jika datang
kepadamu kaum mukminat yang akan membaiatmu…(hingga akhir ayat 12 surat
al-Mumtahanah)”. Urwah berkata : “Aisyah bertanya tentang pengakuan persyaratan
ini dari kaum mukminat, maka Nabi mengatakan kepada beliau, “Aku telah
membaiatmu” dengan ucapan. Dan demi Allah, tangan Rasulallah tidak
menyentuh tangan para wanita di saat baiat sedikit pun, dan tidak pula beliau
membaiat mereka melainkan hanya dengan ucapan “Aku telah membaiatmu atas hal
itu”. Demikianlah lafadh Imam Bukhari.
Kalau kita perhatikan kalimat hadits diatas Aisyah ra. memberitakan hadits
di atas adalah dari penuturan Nabi saw. sendiri, bukan dari dirinya
pribadi semata namun berangkat dari ilmu/pengetahuannya secara pasti dari
penuturan Nabi!!! Aisyah ra. sendiri berani bersumpah demi Allah
bahwa nabi tidak pernah menyentuh tangan wanita sedikitpun… apakah sumpah
Aisyah menunjukkan ketidaktahuan Aisyah tentang peristiwa baiat sebenarnya,
sebagaimana yang dituduhkan oleh DR. Mahmud Khalidi, an-Nabhani, al-Baghdadi
dan selainnya dari golongan yang membolehkannya ?
Sesungguhnya ada perawi yang menghadiri langsung peristiwa baiat dan
menegaskan secara jazm (pasti) tentang ketiadaan jabat tangan atau
persentuhan tangan Rasulallah dengan para wanita. Perhatikanlah baik-baik riwayat
berikut ini :
Imam Ahmad berkata: Menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Mahdi,
mengabarkan kepadaku Sufyan bin Muhammad bin al-Munkadir dari Umaimah binti
Ruqoiyah beliau berkata: “Aku mendatangi Rasulallah saw. beserta para wanita
untuk membaiatnya, lantas beliau mengambil (baiat) atas kami sebagai mana
tertera di dalam al-Qur’an supaya kami tidak menyekutukan Allah dengan suatu
apapun, kami tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak membunuh anak-anak
kami dan tidak akan berbuat dusta yang kami ada-adakan antara tangan dan kaki
kami serta kami tidak akan mendurhakaimu dalam perkara yang ma’ruf. Rasulallah
bertanya : ‘Apakah mampu kalian melaksanakannya?’, mereka menjawab:
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengasihi kami daripada kami sendiri.”
Kami berkata : ‘Wahai Rasulallah, tidakkah kau berjabat tangan dengan kami?’,
Rasulallah menjawab; ‘Aku tidak berjabat tangan dengan wanita, sesungguhnya
perkataanku terhadap seorang wanita sama dengan perkataanku terhadap seratus
wanita’ ” .
Sanad hadits ini shahih, dan telah meriwayatkan pula at-Turmudzi, an-Nasa’i
dan Ibnu Majah dari hadits Sufyan bin Uyainah serta an-Nasa’i meriwayatkan dari
Tsaur dan Malik bin Anas, seluruhnya dari jalur Muhammad bin al-Munkadir.
Turmudzi berkata : hasan shahih, dan kami tidaklah mengetahui- nya melainkan
dari jalur Muhammad al-Munkadir. Ahmad juga meriwayatkan dari hadits Muhammad
bin Ishaq dari Muhammad bin al-Munkadir dari Umaimah sebagaimana lafazh di atas
namun dengan tambahan “dan wanita tidaklah menjabat tanganku”,
demikianlah yang diriwayatkan Ibnu Jarir dari jalur Musa bin ‘Uqbah dari
Muhammad bin al-Munkadir. (Lihat : Tafsir al-Qur’an al-Azhim karya Imam
Abil Fida’ Isma’il bin Katsir ad-Dimasyqi dan lainnya). Tidakkah
lafadh hadits di atas lebih muhkam daripada hadits Ummu Athiyah
sedangkan Umaimah sendiri adalah perawi yang menyaksikan dan hadir di saat
baiat?!!
Beberapa kaidah lain ,berikut ini, yang menunjukkan kebatilan dan kelemahan
pendapat anda di atas:
Imam Syaukani di dalam Irsyadul Fuhul menyatakan
bahwa: Hadits al-Qoul (ucapan) lebih dikedepankan ketimbang al-Fi’lu
(perbuatan), dan al-Fi’lu lebih dikedepankan daripada at-Taqrir
(persetujuan)!
Lantas, apakah hadits yang (diklaim) menyatakan jabat tangan itu mubah,
yaitu hadits Ummu Athiyah dan semisalnya berbentuk ucapan (Qoul an-Nabi)?
Ataukah berbentuk fi’lu ? Ketahuilah bahkan kebanyakan dalil yang
mengharamkan berbentuk ucapan. Jadi sekiranya kita menganggap kedua dalil di
atas kontradiktif, seharusnya metode jam’u (kompromi) yang digunakan
adalah hadits yang berbentuk al-Qoul lebih didahulukan ketimbang yang
berbentuk al-Fi’lu.
“Larangan lebih
didahulukan ketimbang kebolehan” (Lihat Irsyadul Fuhul karya al-Imam
asy-Syaukani, hal. 279)
Dengan kaidah di atas seharusnya kita lebih mendahulukan larangan berjabat
tangan dengan lawan jenis daripada menetapkan kemubahannya.
“Ihtimal (kemungkinan) yang sedikit lebih didahulukan
ketimbang ihtimal yang banyak.”
(Lihat Irsyadul Fuhul karya al-Imam asy-Syaukani, hal. 279).
Bukankah hadits riwayat Ummu ‘Athiyah dan semisalnya sebagai dalil yang
memperbolehkan jabat tangan memiliki ihtimal yang lebih banyak ketimbang
hadits-hadits yang mengharamkan?
“Dalil yang Muhkam (tegas)
lebih didahulukan ketimbang dalil yang ghoiru muhkam (tidak tegas).”
(Lihat Irsyadul Fuhul karya al-Imam asy-Syaukani, hal. 279).
Bukankah dalil-dalil yang mengharamkan jabat tangan lebih muhkam daripada
dalil yang menyatakan mubah? Bahkan di dalam hadits riwayat Ummu Athiyah tidak
ada ketegasan (muhkam) sama sekali tentang adanya jabat tangan atau persentuhan
tangan dengan Nabi saw., sedangkan hadits yang menunjukkan keharamannya
seluruhnya secara tegas menyatakan ketiadaan jabat tangan Nabi saw. terhadap
kaum wanita.
“Didahulukan
yang al-Maqrun at-Taukid (disertai
dengan lafazh penguat/penekan) ketimbang yang tidak disertai.”
[Lihat Irsyadul Fuhul karya al-Imam asy-Syaukani, hal. 279].
Perhatikanlah sumpah yang disampaikan
oleh Aisyah ra., yang merupakan penguat yang paling tinggi, dimana riwayat Ummu
Athiyah dan semisalnya tidak memiliki taukid (penekan) sama sekali.
Perhatikan pula sabda Nabi saw. yang menyatakan : “Sesungguhnya aku tidak
berjabat tangan dengan wanita” dimana beliau mendahulukan kata Inni
yang bermakna kesungguhan dan penguat yang jelas akan ketiadaan jabat tangan
terhadap kaum wanita.
“Didahulukan yang khosh (khusus)
dibandingkan yang ‘am (umum).” [Lihat Irsyadul Fuhul karya
al-Imam asy-Syaukani, hal. 279]. Bukankah hadits Umaimah mengandung pengkhususan yang
menyatakan bahwa Rasulallah saw. tidak menjabat tangan wanita, sedangkan
riwayat Ummu Athiyah dalam bentuk umum? Oleh karena itu yang khusus lebih didahulukan
ketimbang yang umum.
Alasan kelima:
Hadits-hadits yang menunjukkan larangan ‘menyentuh wanita’ serta
hadits-hadits lain yang maknanya serupa,. misalnya hadits shahih yang berbunyi:
“Ditikam seseorang dari kalian dikepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih
baik dari pada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR.
Thabrani]. Atau hadits yang berbunyi: “Lebih baik memegang bara
api yang panas dari pada menyentuh wanita yang bukan muhrim.”
Menurut golongan yang membolehkan berjabat tangan,
menjelaskan bahwa kata ‘massa’ yang artinya ‘menyentuh’
dalam hadits tersebut adalah lafadh musytarak (memiliki makna ganda) yakni
bisa berarti ‘menyentuh dengan tangan’ atau ‘bersetubuh’. Selain
itu pengertian ‘menyentuh’ juga sering digunakan kata ‘lamasa’ yang
juga memiliki makna ganda, yakni bisa berarti ‘menyentuh dengan tangan’ atau
‘bersetubuh’… dst hingga kalimat…
Walaupun kata ‘massa’ dapat diartikan dengan ‘menyentuh dengan
tangan’ tetapi dalam hadits-hadits yang digunakan oleh golongan yang
mengharamkan jabat tangan dengan wanita bukan muhrim, ini lebih tepat jika
diartikan dengan ‘bersetubuh’.
Sebab jika di artikan dengan ‘menyentuh dengan tangan’ maka
pengertian ini bertentangan dengan hadits shahih yang diriwayatkan Ummu ‘Athiyah
r.a. dimana tangan Rasulallah sawyang mulia telah menyentuh (berjabat tangan)
dengan wanita yang bukan muhrim.
Jawabannya:
Hadits yang dimaksud adalah hadits yang diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar
ra, bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Sungguh jika salah
seorang dari kalian ditusuk kepalanya dengan jarum besi adalah lebih baik
daripada menyentuh wanita yang bukan muhrimnya.” (Shahih,
diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan al-Haitsami).
Al-Manawi berkata: ‘Menurut al-Haitsami, para perawinya shohih (dari
Faidhul Qadir, jilid V, hal.58). Sedangkan al-Mundziri mengatakan bahwa hadits
ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan al-Baihaqi, dan para periwayat
ath-Thabrani tsiqoh dan shohih.
Takwilan golongan ini yang menyatakan bahwa kata massa di
dalam lafadh hadits di atas bermakna jima’ (bersetubuh) adalah bathil/salah
dari sisi bahasa dan dari sisi mafhum. Karena memalingkan makna dari
hakikatnya adalah harus dengan qorinah (indikasi) yang dapat memalingkan
makna zhahir kepada makna selainnya. Memang benar, bahwa kata massa
memiliki makna jima’ dalam beberapa ayat dan hadits,
tentunya hal ini jika disertai qorinah yang kuat akan penakwilan lafazh
ini kepada makna jima’.
Berikut ini penjelasannya :Allah Ta’ala berfirman :Yang artinya:
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kalian, jika kalian
menceraikan isteri-isteri kalian sebelum kalian tamassuhunna
(mencampuri/jima’ dengan mereka) dan sebelum kalian menentukan maharnya.”
(al-Baqoroh : 263).
“Jika kamu
menceraikan isteri-isteri kalian sebelum kalian tamassuhunna (mencampuri mereka) padahal kalian
sesungguhnya telah menentukan maharnya…” (al-Baqoroh : 237).
“Hai orang-orang
yang beriman, apabila kalian menikahi wanita-wanita mukminah kemudian kalian
ceraikan mereka sebelum kalian tamassuhunna (mencampuri mereka) maka sekali-kali
tidak wajib atas mereka iddah…” (al-Ahzaab : 49).
Ayat-ayat diatas memiliki qorinah yang dapat memalingkan makna massa
kepada jima’ yaitu adanya penjelasan yang berkaitan tentang muamalah
dengan isteri seperti pembayaran mahar, tholaq, iddah dan
semisalnya. Hal ini juga didukung dengan pemalingan makna pada selain kata massa
seperti pada kata lamasa dan ifdho seperti dalam firman
Allah : “Bagaimana kamu akan ambil kembali, padahal sebagian kamu telah afdhoo
(bercampur) dengan selainnya (sebagai suami isteri).” (an-Nisa’ : 21).
Oleh karena itulah para mufassirin dan fuqoha’ menyatakan
bahwa kata-kata massa dan semisalnya di sini yang memang memiliki qorinah
untuk dipalingkan dari makna hakikinya adalah suatu keniscayaan, juga dalam
ayat 20 Surat Maryam yang artinya : “Maryam berkata: ‘Bagaimana aku bisa
mempunyai anak laki-laki sedangkan tidak pernah seorang manusiapun yang yamsasnii
(menggauliku) dan aku bukan (pula) seorang pezina”.
Jika kita perhatikan, maka akan tampak dengan jelas qarinah-nya yang
menyatakan hasil dari massasa yakni lahirnya seorang anak laki-laki.
Apakah mungkin menyentuh dalam arti sebenarnya dapat menghasilkan seorang anak
laki-laki? Oleh karena itu pemalingan makna dalam konteks yang didukung oleh qorinah
semacam ini adalah suatu keniscayaan.
Adapun hadits: “Apabila kemaluan menyentuh kemaluan (bersetubuh), maka
wajiblah mandi”, maka makna dari qorinah yang tersirat adalah bermakna jima’.
Sebab jima’ sendiri dalam kitab-kitab fikih bermakna ‘masuknya
(tenggelamnya) kepala penis hingga hilang ke dalam farji (vagina) wanita”. Jika
hanya terjadi pergesekan belaka (menurut fiqih Imam Syafi’i wajib mandi—pen.)
maka belum bisa dikatakan jima’ yang mewajibkan mandi (jika tidak keluar
mani) ataupun hukum had bagi penzina diberlakukan. Bahkan al-Massu juga
bisa bermakna junun (gila) dan kesurupan seperti di dalam firman Allah
yang artinya : “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran penyakit gila…”
(al-Baqoroh : 275).
Oleh karena itu, memalingkan makna massa atau selainnya keluar dari
makna sebenarnya tanpa ada qorinah pendukung pemalingan maknanya adalah
suatu kebodohan terhadap bahasa, seperti dalam hadits nabi saw. di atas yang
menyatakan “Sungguh jika salah seorang dari kalian ditusuk
kepalanya dengan jarum besi adalah lebih baik daripada menyentuh wanita yang
bukan muhrimnya.”
Sebab lafadh di atas adalah sama dan saling menguatkan dengan lafadh
riwayat hadits-hadits berikut ini: Ma’mar berkata: Mengabarkan kepadaku Ibnu
Thawus dari bapaknya, beliau berkata: “Tidaklah tangan (nabi) menyentuh
wanita melainkan wanita yang dimilikinya.” Dan diriwayatkan dari Aisyah di
dalam ash-Shahih, beliau berkata : “Tangan nabi tidak pernah
menyentuh tangan wanita”. Dan beliau (nabi) bersabda: “Sesungguhnya
aku tidak berjabat tangan dengan wanita, sesungguhnya ucapanku terhadap seorang
wanita seperti ucapanku kepada seratus wanita”. (Lihat Ahkamul Qur’an karya
Abu Bakr Muhammad bin Abdillah Ibnul Arobi dan lainnya),
Sebab kata massa sendiri bermakna : menyentuh
dengan tangan ‘lamasahu wa afdhoo ilaihi biyadihi’ (Lihat al-Mu’tamad,
karya Abu Abdirrahman Muhammad Abdillah Qosim, hal. 650).
Memalingkannya dari makna sebenarnya memerlukan qorinah yang
mendukung pemalingan lafadh tersebut dari makna hakikatnya, yang mana jika
tidak dipalingkan maknanya maka maknanya akan menjadi ghoyru mustaqim
(tidak lurus/tepat). Jika sekiranya ayat-ayat di al-Baqoroh dan al-Ahzab serta
Maryam di atas tidak dipalingkan maknanya menjadi jima’, niscaya akan
‘pincang’ pemahaman yang timbul dari ayat tersebut dan menimbulkan kerancuan di
dalam hukum tholaq, iddah, mahar dan semacamnya.
Namun, memalingkan makna hadits tentang “lebih baik ditusuk jarum besi
daripada menyentuh wanita” kepada makna jima’ (bersetubuh)
akan menimbulkan kepincangan pemahaman dan pengkhususan hanya kepada jima’
saja. Pemalingan makna ini tidak tepat karena tidak ditopang oleh adanya qorinah
(indikasi) yang dapat memalingkannya. Penakwilan semacam ini adalah penakwilan
yang berangkat dari hawa nafsu dan fanatik terhadap pendapat an-Nabhani
yang memperbolehkan jabat tangan. Jika sekiranya penakwilan di atas benar, maka
adakah pendahulu (salaf) dari para ulama hadits yang menafsirkan makna hadits
ini sebagaimana penafsiran golongan ini. Dengan
demikian riwayat-riwayat diatas tidak saling bertentangan bahkan saling menguatkan.
Alasan keenam:
Selain itu Rasulallah saw pernah berjabat tangan di dalam air, dalam
benjana pada saat membai’at wanita, pernah juga Rasulallah saw berjabat tangan
dengan alas kain. Juga diriwayatkan bahwa Rasulallah saw pernah menyuruh Umar bin
Khaththab r.a untuk mewakili beliau dalam bai’at dan bai’at ini dilakukan
dengan berjabat tangan. Kalau memang berjabat tangan (menyentuh) dengan wanita
diharamkan, tentunya Rasulallah saw. tidak akan melaksanakannya baik secara
langsung maupun dengan perantara apapun. Juga tidak mungkin Rasulallah saw
memerintahkan Umar bin Khaththab r.a. melakukan jabat tangan (menyentuh) dengan
wanita yang bukan muhrim, sebab hal tersebut adalah perbuatan yang haram. Akan
tetapi ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Selain itu, banyak riwayat yang
menyatakan, bahwa Rasulallah saw dan ‘Umar bin Khaththab pernah berjabat tangan
dengan wanita (lihat Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkâm
al-Qur’an; Qs. al-Mumta hanah: 12).
Jawabannya:
Sesungguhnya menyampaikan hadits-hadits dha’if tanpa menerangkan
kedha’ifannya adalah termasuk berdusta atas nama nabi saw.Jika anda berdalil
dengan riwayat di dalam at-Tafsirul Kabir karya ar-Razi (VIII/hal. 137),
yang menyatakan tentang telah diriwayatkannya bahwa sayyidina Umar ra. pernah
berjabat tangan dengan wanita dalam baiat mewakili Rasulallah saw., maka
ketahuilah bahwa Al-Qodhi Abu Bakar bin al-Arobi telah menanggapi pendapat ini.
Menurutnya riwayat itu dha’if,
dan seyogyanya berpaling kepada yang shahih.
Sedangkan al-Hafidh Waliyyudin Abu
Zar’ah al-Iraqi mengatakan, sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa nabi saw.
pernah minta diambilkan semangkuk air. Lalu beliau mencelupkan tangannya ke
dalamnya. Kemudian para wanita melakukan hal yang sama. Juga sebagian ahli
tafsir ada yang mengatakan bahwa nabi berjabat tangan dengan mereka melalui
tabir kala itu. Pada tangan beliau ada kain baju guthri. Juga dikatakan
bahwa sayyidina Umar telah berjabat tangan dengan mereka. Sungguh, tidak ada
satupun pernyataan itu yang benar, apalagi pernyataan yang terakhir.
Bagaimana mungkin sayyidina Umar ra. berani melakukan sesuatu yang tidak pernah
dilakukan oleh al-Ma’shum Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. (Lihat “Berjabat
Tangan Dengan Perempuan” oleh Muhammad Ismail, hal. 36-37) .
Semua riwayat itu adalah dhaif
riwayatnya. [Lihat al-Jami’ li Ahkaamil Qur’an, karya Abu Abdillah
Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthubi, Kata pengantar: Fadhilatus Syaikh
Kholil Muhyiddin al-Mass (Direktur Azhar Lebanon), Pengoreksi: Muhammad Jamil.
Pentakhrij dan Pengomentar hadits; asy-Syaikh ‘Arfan al-‘Isyaa, jilid VI,
juz. 28, 1995/1415, Darul Fikr, Beirut, hal. 64 (catatan kaki no.2) ]
Golongan ini telah menyembunyikan
kebenaran dan melakukan tadlis kepada para pembacanya yang mayoritas awam.
Setelah saya (Abu Salma) cek buku al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an [ Lihat al-Jami’
li Ahkaamil Qur’an, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori
al-Qurthubi, Kata pengantar: Fadhilatus Syaikh Kholil Muhyiddin al-Mass
(Direktur Azhar Lebanon), Pengoreksi: Muhammad Jamil. Pentakhrij dan
Pengomentar hadits : asy-Syaikh ‘Arfan al-‘Isyaa, jilid VI, juz. 28, 1995/1415,
Darul Fikr, Beirut, hal. 63] ternyata Imam Qurthubi menukil di baris-baris pertama
tafsirnya terhadap surat al-Mumtahanah ayat 12 ini dengan riwayat Aisyah yang menafikan
jabat tangan bagi Rasulillah saw.. Penempatan nukilan terhadap riwayat
Aisyah ini menunjukkan kekuatan riwayat Aisyah menurut beliau. Kemudian
al-Qurthubi rahima hullahu mengatakan: “Diriwayatkan bahwasanya nabi ‘alaihish
sholatu was salam membaiat para nabi dan diantara tangannya dan tangan kaum
wanita ada selembar kain.”
Saya (abu salma) berkata: Bagi para
penuntut ilmu pastilah akan mengetahui bahwa lafadh yang digunakan oleh Imam
al-Qurthubi adalah lafazd yang menunjukkan akan kedhaifan suatu hadits
atau keraguan beliau akan keshahihannya, karena beliau mengatakan dengan lafazh
ruwiya (diriwayatkan) yang mana ini telah dikenal dikalangan muhadditsin
bahwa kata periwayatan yang disandarkan kepada nabi secara tidak jazim
sebagaimana perkataan qoola atau haddatsa dan semisalnya adalah
suatu bentuk keraguan akan keshahihannya atau bahkan isyarat akan kedhaifannya.
Syaikh ‘Arfan al-‘Isyaa mengomentari
hadits di atas dengan perkataan : wa huwa mukhoolif lish shohih (riwayat
ini menyelisihi hadits yang shohih). Kemudian beliau menukil hadits shohih yang
diriwayatkan dari jalur Muhammad al-Munkadir yang telah lewat penyebutannya.
Beliau mentakhrij hadits Muhammad al-Munkadir sebagai berikut : “Diriwayatkan
oleh an-Nasa’i di dalam al-Bai’ah (V/149) bab (18) Bai’atun Nisai,
Turmudzi secara ringkas (1598) dan
Ibnu Majah di dalam al-Jihad (2874) bab Bai’atun Nisa’. Saya
berkata : hadits yang menyelisihi hadits yang shohih adalah syadz dan
termasuk hadits dha’if karena syarat hadits shahih haruslah selamat dari syadz.
[Syarat hadits shohih ada 5, yakni : Sanadnya muttashil (bersambung),
Perawinya ‘Adil, Perawinya Dhabith (hafalan yang kuat dan
mantap), Tidak syadz,Tidak memiliki illat. Lihat Syarh
Manzhumah al-Baiquniyah fi Mushtholahil Hadits, karya Syaikh Muhammad bin
Sholih al-‘Utsaimin, cet. I, 1423/2002, Dar ats-Tsuroyyah, hal. 28; Taisir
Mushtholahil Hadits, karya DR. Mahmud Thohhan, Darul Fikr, hal. 30.]
Adapun riwayat Umar yang berjabat
tangan dengan para wanita, juga disebut kan oleh Imam Qurthubi dengan
lafadh yang tidak jazim pula penisbatannya yaitu beliau mengatakan dengan
lafazd qiila (dikatakan), yang hal ini menunjukkan keraguan beliau akan
keshahihan hadits ini. Syaikh ‘Arfan al-‘Isyaa mengomentari riwayat Umar ini
sebagai berikut : “al-Hafidh mengisyaratkan di dalam al-Fath (VIII/637)
dari riwayat Thabrani dengan lafadh: ath-Thabrani telah mengeluarkan hadits
bahwasanya Rasulallah membaiat para wanita melalui perantaraan Umar, tanpa
ada penyebutan jabat tangan. Dan penyebutan jabat tangan ini adalah perkara
yang jauh dikarenakan menyelisihi yang shohih dari Rasulillah saw. Riwayat jabat tangan Umar dengan para wanita adalah riwayat
yang mardud tidak layak dijadikan hujjah/dalil karena menyelisihi dalil
yang lebih shohih, sehingga statusnya menjadi syaadz maka hukumnya
dho’if. Wallahu a’lam. Apalagi tidak ada keterangan dari para ulama hadits yang
menshahih- kannya ataupun menghasankannya!!
Alasan ketujuh:
Juga kalau memang berjabat tangan
(bersentuhan) antar lawan jenis yang bukan muhrim itu diharamkan, tentunya
Daulah Khilafah (negara Khilafah) tidak akan membiarkan kondisi-kondisi atau
keadaan yang sangat memungkin kan terjadi persentuhan. Bahkan Daulah akan
memberikan sanksi/hukuman bagi yang melakukannya. Ternyata tidak ada
satu riwayat pun yang menyatakan bahwa Daulah pernah melakukannya. Dan bahkan
Daulah tidak pernah memisahkan antara jama’ah haji pria dan wanita, juga antara
pria dan wanita di pasar walaupun kondisi tersebut akan menyebabkan terjadinya
bersentuhannya pria dan wanita yang bukan muhrim.
Jawabannya:
Ketiadaan tidaklah menafikan hukum.
Karena yang menjadi dalil adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, bukannya Nizhom
Daulah. Seandainya memang anda belum menemukan adanya sanksi hukum jabat
tangan atau persentuhan lawan jenis non muhrim di dalam Nizhom Daulah
bukan berarti bahwa jabat tangan dengan ajnabiyah adalah mubah.
Kaum muslimin terdahulu yang hidup
di zaman kekhalifahan, mereka semua telah mengetahui akan keharaman berjabat
tangan dengan ajnabiyah sehingga telah maklum di kalangan mereka tentang
syariat ini, sehingga tidak perlu dibuat undang-undang khusus yang akan
memberikan sanksi kepada pelanggarnya. Hal ini sebagaimana pelanggaran
kemaksiatan seperti orang yang memandang wanita, mengintip mereka ataupun
berjalan di belakang mereka atau menggoda mereka. Apakah ada undang-undang
daulah yang memberikan sanksi jelas yang termaktub di dalam nizhom-nya
terhadap pelanggaran semacam ini? Jika ada berikan bukti kepada kami.
Masalah pemisahan haji antara pria
dan wanita adalah kiyas konyol dan menggelikan yang sangat lucu bila digunakan
untuk memperbolehkan persentuhan dengan sengaja. Karena kondisi haji adalah
kondisi darurat yang memperbolehkan adanya persentuhan tanpa sengaja.
Demikian pula dalil anda tentang kemungkinan terjadinya persentuhan di dalam
pasar. Disinilah letak kesalahan terhadap syariat Islam itu sendiri, karena
Islam telah memberikan rambu-rambu yang jelas dimana kaum wanita lebih baik
berdiam di dalam rumah dan dilarang keluar kecuali jika ada hajat atau dalam
keadaan darurat.
Sedangkan bagi kaum wanita ke pasar
bukanlah suatu hal yang darurat atau hajat syar’i, karena pasar adalah tempat
bagi kaum lelaki bukan kaum wanita. Taruhlah wanita harus pergi ke pasar, jika
terjadinya persentuhan maka persentuhan tersebut bukanlah suatu hal yang
disengaja, lantas bagaimana bisa kiyas diberlakukan pada dua hal yang saling
bertolak belakang, yaitu antara sengaja dengan tidak sengaja?
Alasan
kedelapan:
Pendapat yang mengharamkan berjabat
tangan antara pria dan wanita bukan muhrim juga di dasarkan pada sabda
Rasulallah saw: “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR.
Malik, Tirmidzi dan Nasa’i].
Hadits diatas serta hadits-hadits
lain yang serupa sering dijadikan dalil untuk mengharamkan berjabat tangan
dengan bukan muhrim. Pendapat ini adalah lemah, sebab perkataan
Rasulallah saw, “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” tidak
menunjukkan larangan berjabat tangan, tetapi hanyalah mencegah
dari perbuatan mubah. Hukum mubah ini di dasarkan pada hadits shahih yang
diriwayatkan Ummu ‘Athiyah. Karena hukumnya mubah, maka terserah saja bagi
Rasulallah saw. dan bagi kaum muslimin lainnya apakah berjabat tangan (Lihat
riwayat Ummu ‘Athiyah dan Ath-Thabrani dari ‘Aisyah r.a.) atau meninggalkan
berjabat tangan (seperti hadits riwayat Malik, Tirmidzi dan Nasa’i).
Jawabannya:
Bagaimana mungkin perbuatan mubah
dicegah jika perbuatan itu bukannya perbuatan yang haram atau minimal makruh
?Anda di dalam kaidah anda ini
menempatkan diri anda dalam keadaan yang penuh dengan kontradiktif, karena anda
sendiri mengklaim bahwa Rasulallah saw. berjabat tangan
dengan kaum mukminat atau menyentuh mereka dari hadits Ummu Athiyah. Namun di
sisi lain anda menetapkan hadits Nabi saw yang berbunyi : “sesungguhnya aku
tidak berjabat tangan dengan wanita” dengan artian nabi mencegah dari perbuatan
mubah jabat tangan.
Wahai saudara, bagaimana mungkin
anda menetapkan dua hal kontradiktif secara sekaligus dalam satu waktu, anda
menetapkan bahwa Rasulallah berjabat tangan dengan wanita sedangkan disisi lain
anda juga secara tidak langsung turut menetapkan (mengakui) hadits : ‘Sesungguhnya
aku tidak berjabat tangan dengan wanita’.
Apakah mungkin Nabi saw. mengatakan
“sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita” sedangkan dalam
riwayat lain beliau menyalahinya? Lantas dimana kebenaran sabda nabi “sesungguhnya
aku tidak berjabat tangan dengan wanita” jika nabi melanggar sabdanya
sendiri? Maka, pendapat seperti itu pada hakikatnya menggiring kepada
pendustaan terhadap sabda-sabda nabi yang shahih dan menuduh nabi saw. tidak
melaksanakan apa yang ia katakan…
Maka pendapat yang selamat adalah
pendapat yang menyatakan keharaman berjabat tangan, karena pendapat ini adalah
pendapat yang paling selamat dari kontradikitif dan dari segala
keburukan!
Alasan kesembilan:
Pendapat yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan muhrim mensyaratkan harus
tanpa syahwat. Kalau ada syahwat maka hukumnya haram.
Karena itu para ulama yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan muhrim
mengingatkan karena antara syahwat dan tidak itu sangat samar, maka
haruslah kita berhati-hati pada saat berjabat tangan. Terutama sekali kalau
yang berjabat tangan adalah pria dan wanita muda yang sebaya, sebab sangat
mungkin menimbulkan syahwat atau menimbulkan fitnah. Kalau tidak khawatir
timbul fitnah maka tidak apa-apa berjabat tangan dengan bukan muhrim. Misalnya
dengan orang-orang yang sudah tua atau dengan anak-anak kecil.
Jawabannya:
Bukankah suatu perkara yang
menghantarkan kepada keharaman adalah haram? Anda mengatakan bahwa ‘jika
dimungkinkan bahwa jabat tangan menimbulkan fitnah dan memunculkan syahwat maka
tidak boleh melakukan nya’, maka saya (abu salma) katakan : inilah letak
syarat ‘angan-angan’ anda, karena sesuatu yang menghantarkan kepada keharaman
adalah haram, dan telah jelas bahwa jabat tangan dengan wanita ajnabiyah
sangat memungkinkan untuk menghantarkan keharaman (menimbulkan
syahwat—pengutip) dan kepada zina. Oleh karena itu perkataan anda : ‘Kalau
ada syahwat maka hukumnya haram’ adalah hujjah/dalil atas anda
sendiri!
Ingatlah sabda nabi: “Perempuan
itu seluruhnya adalah aurot. Jika ia keluar, maka setan menghiasinya (di
dalam pandangan pria).” (HR. Turmudzi).
Al-Allamah asy-Syinqithi
rahimahullahu berkata: “Seluruh anggota badan perempuan adalah aurot yang wajib
ditutupi. Sedangkan perintah untuk menjauhi memandang kepadanya adalah
semata-mata karena takut tergelincir kepada fitnah. Tidak ragu lagi, bahwa
sentuhan badan ke badan yang lain lebih kuat dan besar pengaruhnya terhadap
naluri, watak dan lebih dahsyat mengajak kepada fitnah daripada sekedar
memandang dengan mata. Setiap orang yang berlaku adil pasti mengetahui
kebenaran hal itu.” [Lihat kitab Adhwa’ul Bayan, oleh al-Allamah
Muhammad Amin asy-Syinqithi, jilid VI, hal. 603, sebagaimana di dalam
“Berjabat Tangan Dengan Perempuan” oleh Muhammad Ismail, hal. 22.]
Katakan, wahai saudara, apakah
ketika anda berjabat tangan dengan akhowat (baca: para muslimah), anda yakin
bahwa syahwat dan fitnah tidak akan muncul dari diri anda dan diri akhowat
tersebut? Jika demikian adanya, maka sungguh benar jika ada orang yang mengatakan
bahwa orang yang menyatakan halalnya jabat tangan dengan ajnabiyah tidak
memiliki syahwat! Bukankah an-Nabhani rahimahullahu sendiri telah
mengatakan bahwa manusia memiliki Ghorizatun Nau’ (naluri untuk
melanggengkan keturunan) yang munculnya karena adanya stimulasi dari luar
(faktor eksternal)? Lantas apakah jabat tangan dengan wanita ajnabiyah tidak
termasuk stimulus Gharizah an-Nau’ ? fa’tabiru ya ulil albaab!
Alasan
kesepuluh:
Perlu diingat bahwa sesuatu yang
mubah tidak harus selalu dilakukan. Sebab kalau itu tidak berguna dan dapat
menimbulkan fitnah lebih baik dihindarkan…
Bagi mereka yang mengikuti pendapat yang membolehkan setelah sampai
penjelasan yang meyakinkan, maka mubahlah hukumnya bagi mereka. Allah swt. akan
meminta pertanggung-jawaban atas perbuatannya berdasarkan pendapat yang terkuat
yang telah ia ikuti. Walaupun berbeda pendapat kaum muslimin tetap bersaudara.
Tidak boleh hanya karena perbedaan pendapat yang masih dibolehkan tersebut,
sesama muslim saling menfitnah dan menjelek-jelekan orang yang berbeda dengan
mereka. Yang jelas kita wajib mengikuti pendapat yang terkuat tanpa dicampuri
adanya perasaan suka atau tidak suku. Wallahu a’lam.
Jawabannya:
Ini adalah letak keraguan anda terhadap pendapat anda. Dimana anda telah merasa
khawatir akan imbas dari munculnya pemahaman anda yang ‘nyeleneh’ ini dan anda
seolah-olah merasa bahwa pendapat dan pemahaman anda ini adalah ghorib
dan syadz di dalam Islam sehingga sangat memungkinkan anda akan difitnah
dan dijelek-jelekkan oleh orang yang berbeda dengan pemahaman anda. Saya
katakan : bahwa apa yang diucapkan oleh penentang pemahaman anda berupa cercaan
dan hinaan adalah cercaan dan hinaan atas pemahaman anda yang bathil, yang
bukan merupakan fitnah tak berdasar, namun berangkat dari kecemburuan terhadap
agama ini.
Anda benar, bahwa kita wajib mengikuti pendapat yang terkuat tanpa
dicampuri perasaan suka dan tidak suka, karena hal ini diikat oleh syara’, maka
apa yang dikatakan jelek oleh syara’ adalah jelek dan apa yang dikatakan baik
oleh syara’ adalah baik. Oleh karena itulah, coba cermatilah kembali dan telaah
kembali pemahaman anda, jika salah walaupun anda anggap baik tetaplah pemahaman
anda itu salah dan wajib anda tinggalkan, haram anda sebarkan dan anda
pertahankan hidup mati. Jika anda masih mempertahankannya maka siaplah anda
menerima cercaan dan hinaan atas kebodohan akal dan pemahaman anda tersebut!
Alasan kesebelas:
Golongan yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan muhrim, bukanlah
karena mereka senang berjabat tangan dengan bukan muhrim. Tetapi karena mereka
tidak berani untuk mengharamkan sesuatu yang secara jelas Allah swt telah
membolehkannya lewat perbuatan Rasul-Nya. Sebab termasuk dosa besar kalau ada
orang yang berani mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah swt atau
menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah swt. Sebab Rasulallah saw
bersabda: “Sesungguhnya orang yang mengharamkan sesuatu yang halal sama dengan
orang yang menghalalkan sesuatu yang haram.” [HR. As-Sihab].
Jawabannya:
Saya (Abu Salma) kembalikan lagi dalil tersebut kepada anda, apakah anda
berani menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya? Jika anda
beranjak dari pemahaman dalil di atas, maka seharusnya anda menarik pemahaman
ganjil anda yang menghalalkan perkara yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya
sebagaimana telah saya cantumkan dalill dan keterangannya. Wallahu a’lam.
Demikianlah keterangan mengenai hukum jabatan tangan antara wanita dan
lelaki yang bukan muhrim. Wallahu a’lam.
7.6. Sekelumit Tentang Berjabat
Tangan Seusai Sholat
Ada golongan muslimin yang membid’ahkan munkar (baca: mengharamkan)
berjabat tangan seusai sholat. Benarkah yang dikatakan sebagian golongan
muslimin ini?
Sudah menjadi kebiasaan di masyarakat kita, setelah selesai sholat
berjama’ah, satu sama lain saling bersalaman. Apakah itu ada dasar hukumnya? Bersalaman antar sesama muslim memang sangat dianjurkan
oleh Nabi saw. Hal itu dimaksudkan agar persaudaraan semakin kuat,
persatuan semakin kokoh. Salah satu bentuknya adalah anjuran untuk
bersalaman ketika bertemu. Bahkan jika ada saudara muslim yang datang dari
bepergian jauh, misalnya habis melaksanakan ibadah haji, maka disunnahkan juga
saling berangkulan (mu’anaqah). Mari kita teliti beberapa sabda (hadits)
Rasulallah saw ,berikut ini, yang menganjurkan sesama muslim berjabat tangan
– “Sesungguhnya seorang mukmin yang apabila bertemu
dengan mukmin lainnya mengucapkan salam dan mengambil tangannya untuk berjabat
tangan, maka pasti akan gugur dosa-dosa mereka berdua, sebagaimana gugurnya
daun dari pohonnya”(HR. Abu Daud)
– “Tidaklah dua orang muslim yang bertemu, kemudian
mereka berdua saling berjabat tangan, melainkan akan diampuni (dosanya) sebelum
keduanya berpisah” (HR. Abu Daud).
– “Bila salah seorang diantara kalian bertemu saudaranya,
maka hendaknya ia ucapkan salam. Bila kedua telah terhalang oleh pohon, atau
dinding atau batu, lalu ketemu kembali, maka hendaknya ia kembali mengucapkan
salam padanya”(HR. Abu Daud).
– Rasulullah saw ketika berjumpa dengan para sahabatnya
senantiasa memberikan salam dan berjabat tangan. Anas ra berkata, “Adalah para
sahabat Nabi saw apabila berjumpa mereka saling bersalaman, dan apabila mereka
kembali dari bepergian, mereka berpelukan” (HR. Bukhari).
– Diriwayatkan dari Al-Barra’ bin Azib, Rasulullah saw bersabda bahwa dua
orang yang bertemu dan bersalaman akan diampuni dosa mereka sebelum berpisah
(HR Ibnu Majah). Riwayat-riwayat tersebut juga dishohihkan oleh ulama golongan
pengingkar , Al-Albani, (Silsilah Ash-Shahiihah no 526, 2004, 2692 dan Ash-Shahiihah no 525).
– Imam Nawawi menyatakan, bersalaman sangat baik dilakukan.
Sempat ditanyakan, bagaimana dengan bersalaman yang dilakukan usai shalat?
Menurut Imam Nawawi, salaman usai shalat adalah bid’ah mubahah dengan
rincian hukum sebagai berikut: ‘Jika dua orang yang bersalaman sudah bertemu
sebelum shalat maka hukum bersalaman nya mubah saja, dianjurkan saja,
namun jika keduanya belum bertemu sebelum shalat berjamaah hukum
bersalamannya menjadi sunnah, sangat dianjurkan’ (Dalam Fatawî al-Imam
an-Nawawî).
Berdasarkan hadits-hadits inilah ulama Syafi’iyyah
mengatakan bahwa bersalaman setelah sholat hukumnya sunnah. Kalaupun perbuatan
itu dikatakan bid’ah (hal baru) karena tidak ada penjelasan
mengenai keutamaan bersalaman usai sholat, maka bid’ah yang dimaksud disini
adalah bid’ah mubahah, yang diperbolehkan.
Dalam riwayat-riwayat tadi malah disebutkan bahwa berjabat tangan bisa
menebus dosa, apabila seorang mukmin bertemu dengan mukmin lainnya
mengucapkan salam dan mengambil tangannya untuk berjabat tangan. Bahkan
sebagian ulama mengatakan, orang yang sholat itu sama saja dengan orang yang
ghaib alias tidak ada di tempat karena bepergian atau lainnya. Setelah
sholat, seakan-akan dia baru datang dan bertemu dengan saudaranya. Maka ketika
itu dianjurkan untuk berjabat tangan. Keterangan ini diperoleh dari kita Bughyatul
Muytarsyidîn. Jadi bisa disimpulkan, bahwa hukum bersalaman usai shalat
adalah mubah atau boleh, bahkan menjadi sunnah jika sebelum
shalat kedua orang itu belum bertemu.
Begitu juga dalam hadits-hadits Nabi saw tadi tidak ada
isyarat yang melarang berjabatan tangan bila sudah bertemu
dan tidak ada juga isyarat yang mewajibkan waktu-waktu tertentu orang boleh
berjabat tangan. Dengan demikian berjabatan tangan antara sesama jenis muslim
itu boleh setiap waktu, apalagi ketika bertemu setelah lama berpisah.
Dengan hadits-hadits itu cukup jelas buat kita bahwa berjabatan tangan antara
sesama jenis sangat besar manfaat dan pahalanya sebagai sunnah Nabi saw.
Berjabat tangan setelah sholat boleh saja, yang penting kita tidak
mensyariatkannya, jadi kita anggap amalan mubah saja.
Umpama saja, tidak ada contoh dari Rasulallah saw
atau para sahabat tentang berjabatan tangan setelah usai sholat, ini bukan
berarti orang yang mengamalkan jabatan tangan setelah sholat itu haram
mutlak. Orang boleh mengamalkan apa saja seusai sholat, selama amalan
tersebut baik dan tidak berlawanan dengan apa yang telah digariskan oleh
syari’at. Memutuskan bid'ah mungkar (baca=haram) dan halal
pada suatu amalan, harus berdalil dari sunnah Rasulallah saw yang jelas dan
tegas, bukan hanya dengan alasan bahwa Rasul saw atau para sahabat tidak pernah
mengamalkannya. Golongan pengingkar ini sering memahami kalimat hadits
secara tekstual dan mudah menvonis suatu amalan haram, sesat, syirik dan
lain sebagainya. Bila ada beberapa ulama yang mengatakan bid’ah pada suatu
amalan, mereka langsung menvonis bahwa amalan tersebut haram untuk diamalkan.
Padahal tidak semuanya Bid’ah itu haram untuk diamalkannya (baca keterangan
bid’ah pada website ini). Wallahua’lam.
7.7. Membaca Ushalli sebelum
Takbiratul Ihram
Sebagian orang muslimin ada yang membid’ahkan ucapan ushalli….
sebelum takbiratul ihram waktu sholat. Masalah ini disebut juga dengan masalah talaffudh
bin niyyah yakni mengucapkan niat dengan lisan, sesaat menjelang takbiratul
ihram. Tidak lain tujuan dari talaffudh bin niyyah ini menurut kitab-kitab
fiqih adalah: ‘Agar lidah menolong hati’.
Hal ini dikarenakan niat yang sebenarnya terletak didalam hati, tetapi untuk
memantapkan hadirnya niat didalam hati, maka boleh dibantu dengan lisan
yakni melafazkan niat itu terlebih dahulu sebelum menghadirkannya didalam hati.
Dengan demikian melafazkan niat adalah termasuk amalan lisan.
Setiap perbuatan atau perkataan yang keluar dari seorang mukallaf selalu
dicatat oleh malaikat. Perkataan yang baik tercatat sebagai amalan yang baik,
begitu pula halnya perkataan yang jelek akan tercatat sebagai amalan yang
jelek. Allah swt. Berfirman: “Tidaklah seseorang itu mengucapkan suatu
perkataan melainkan disisinya ada (malaikat pencatat amal kebaikan dan amal
kejelekan) Raqib dan Atid”. (QS.Al-Qaf:18).
Kalau kita hendak shalat, lalu kita mengucapkan seumpama: Ushalli
fardhos subhi rakataini lillahi ta’ala (saya sholat wajib subuh dua rakaat
karena Allah taala), tentu semua sepakat bahwa ini adalah kalimat yang
baik bukan kalimat yang buruk. Dan Allah swt. telah berfirman juga: “Kepada
Allah jualah naiknya kalimat yang baik”. (QS.Al-Faathir:10).
Begitu juga halnya kalau seseorang mengucapkan kalimat yang buruk, seperti
ejekan terhadap orang-orang yang mengamalkan kebajikan atau ejekan terhadap
fatwa-fatwa ulama yang sudah banyak menguasai sumber hukum Islam yang utama
yakni Al-Qur’an dan Hadits, baik secara tersurat maupun secara tersirat. Semua
ucapan itu akan direkam oleh malaikat sebagai kalimat ejekan yang dapat
merugikan pelakunya kelak dihari kiamat.
7.8. Dalil-Dalil Yang Berkaitan
Dengan Talaffudh Bin Niyyah (mengucapkan niat dengan lisan).
− Diriwayatkan dari Abubakar Al-Muzanni dari Anas ra: “Aku pernah mendengar
Rasulallah saw melakukan talbiyah haji dan umrah bersama-sama sambil
mengucapkan:’Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah untuk melakukan haji dan umrah’
“. (HR.Bukhori,Muslim).
Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi saw mengucapkan niat dengan lisan diwaktu
beliau melakukan haji dan umrah.
− Diriwayatkan dari Aisyah ra, beliau berkata: “Pada suatu hari Rasulallah
saw, berkata kepadaku:’ Wahai Aisyah, apakah ada padamu sesuatu untuk dimakan’?
Aisyah menjawab:’Wahai Rasulallah, tidak ada pada kami sesuatu pun’. Mendengar
itu Rasulallah saw bersabda:’Kalau begitu hari ini aku puasa’ “. (HR.Muslim).
− Diriwayatkan dari Jabir ra, beliau berkata: “Aku pernah shalat Idul Adha
bersama Rasulallah saw, maka ketika beliau hendak pulang dibawakanlah beliau
seekor kambing, lalu beliau menyembelihnya sambil berkata: ‘Dengan nama Allah,
Allah Maha Besar. Ya Allah, inilah kurban dariku dan dari orang-orang yang
tidak sempat berkurban diantara ummat ku”. (HR.Ahmad,Abu Daud dan Turmudzi).
Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi saw mengucapkan niat dengan
lisan ketika beliau menyembelih kurban.
− Didalam kitab Az-Zarqan, yang merupakan syarah dari Al-Mawahib
Al-Ladunniyah karangan Imam Qasthalani jilid X/302 disebutkan sebagai
berikut:
“Terlebih lagi yang telah tetap dalam fatwa para sahabat kita (ulama
syafi’iyah) bahwa sunnat menuturkan ushalli itu. Sebagian ulama mengqiyaskan
hal tersebut kepada riwayat yang tersebut dalam shahihain (kitab
Bukhori,Muslim). (Pertama riwayat Muslim) hadits dari Anas bahwa bahwa beliau
mendengar Nabi saw bertalbiyah untuk haji dan umrah secara bersamaan (Haji
Qiran) sambil berkata: ‘Labbaik, sengaja saya mengerjakan umrah dan
haji’. Dalam Riwayat Bukhori dari Umar bahwa beliau mendengar
Rasulallah saw bersabda ketika tengah berada di Wadi Aqiq :”Shalatlah engkau
dilembah yang penuh berkah ini dan ucapkan : ‘Sengaja aku umrah didalam haji’
“. Semua ini jelas menunjukkan adanya pelafazan niat. Dan hukum
sebagaimana dia tetap dengan nash juga bisa tetap dengan qiyas”. Demikianlah
uraian Imam Qasthalani tentang alasan disunnatkannya ucapan Ushalli
sesaat menjelang takbiratul ihram itu.
7.9. Fatwa-Fatwa Para Ulama Yang
Berkaitan Dengan Talaffudh Bin Niyyah Ini:
− Imam Nawawi dalam kitab Al-Minhaj menyebutkan: “Niat itu tempatnya
didalam hati dan disunnatkan melafazkannya sesaat sebelum takbir”.
− Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj II/12 : “Dan
disunnatkan melafazkan apa yang diniatkan sesaat menjelang takbir agar supaya
lisan dapat menolong hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang
mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syaz yakni
menyimpang. Kesunnatan ini juga karena qiyas terhadap adanya pelafazan dalam
niat haji”.
− Imam Ramli dalam Nihayatul Muhtaj jilid 1/437 : “Dan
disunnatkan melafazkan apa yang diniatkan sesaat menjelang takbir agar supaya
lisan menolong hati dan karena pelafazan itu dapat menjauhkan dari was-was dan
juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkan”.
Memperhatikan pernyataan Ibnu Hajar dan Imam Ramli yang mengatakan bahwa
diantara tujuan pelafazan niat itu adalah, ‘Agar lisan dapat menolong hati’ dan
‘Agar terjauhkan dari was-was’, menunjukkan adanya semangat ijtihad dikalangan
para ulama agar hati sebagai tempat niat dapat lebih terkonsentrasi (khusyu’),
ketika melakukan niat itu. Sehingga dianjurkan agar sebelum hati melakukan niat
sebaiknya diucapkan dulu niat tersebut, agar setelah itu hati kita dapat lebih
mantap melakukannya. Memang sangat di rasakan manfaat dari pengucapan dengan
lisan itu. Contoh sederhana ketika seseorang hendak menghitung sesuatu. Andai
dicukupkan menghitung dalam hati saja dengan satu, dua, tiga dan seterusnya,
maka kemungkinan hati menjadi bimbang sangatlah besar. Tetapi apabila
mengucapkan satu, dua, tiga dan seterusnya itu disertai dengan lisan kita, maka
hati kita lebih mantap dalam melakukan perhitungan.
7.10.
Pendapat
Para Ulama Madzhab Yang Empat Dalam Masalah Talaffudh Bin Niyyah.
− Dr.Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Al-Fighul Islami jilid 1/767
menyebutkan:“Disunnatkan melafazkan niat menurut jumhur ulama selain
madzhab Maliki”.
Dalam kitab yang sama jilid 1/214, menurut madzhab Maliki diterangkan
bahwa: “Yang utama adalah tidak melafazkan niat kecuali bagi orang yang
was-was, maka disunatkanlah baginya melafazkan agar hilang daripadanya
keragu-raguan”.
Dengan keterangan diatas dapat kita simpulkan: Sunnat melafazkan
niat shalat atau membaca ushalli sesaat menjelang takbiratul ihram
dengan tujuan agar lidah menolong hati atau agar terhindar dari was-was
(kebimbangan dan keragu-raguan).
Fatwa semacam ini adalah fatwa dalam madzhab Hanafi, Syafi’i dan madzhab
Hambali. Adapun madzhab Maliki, maka disunnatkan bagi yang
berpenyakit was-was saja. Oleh karena itu mengatakan talaffudh bin niyyah
sebagai amalan bid’ah berarti menuduh Imam Madzhab yang empat
beserta seluruh pengikutnya, sebagai pelaku bid’ah yang menurut keyakinan
golongan pengingkar semua bid’ah sesat dan akan masuk neraka. Semoga kita
terhindar dari menuduh sesama muslim apalagi para pakar Islam dengan tuduhan
keji seperti itu. Wallahua’lam.
7.11.
Kewajiban
Membaca Al-Fatihah Didalam Sholat Baik Untuk Makmum Atau Imam
Khususnya dalam madzhab Syafi'iyah, diwajibkan baik imam maupun makmum
untuk membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat dalam sholat. Sering kita
dengar dari sebagian golongan, yang melarang makmum untuk membaca surat al-Fatihah
bila sholat berjamaah (Maghrib, Isya, Shubuh atau sholat Jumat), dengan alasan
bahwa bacaan imam sudah termasuk bacaannya. Apakah benar larangan
pembacaan Al-Fatihah yang dikatakan saudara-saudara kita itu?
Marilah kita sekarang meneliti dalil-dalil kewajiban baca al-Fatihah setiap
rakaat dalam sholat, baik dikerjakan pada waktu siang hari mau pun malam
hari:
Firman Allah swt: ‘Maka bacalah apa
yang mudah dari al-qur’an (QS.Al-Muzammil:20). Pada ayat lain disebutkan: ‘Dan
sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dbaca
berulang-ulang dan al-qur’an yang agung’ (QS.Al-Hijr:87).
Imam Bukhori (V11:381 Al-Fath Al-Bari)
meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Mu’alla: “Nabi Muhamad saw lewat dan aku
(sedang) mendirikan sholat. Lalu beliau memanggilku. Aku tidak menjawabnya
hingga aku selesaikan sholatku, aku datangi beliau saw. Beliau bersabda: ‘Apa
yang menghalangimu untuk mendatangiku ketika aku memanggilmu’? Aku menjawab,
‘aku sedang sholat’ (ketika itu). Beliau saw bersabda: ‘Bukankah Allah swt
berfirman, wahai orang orang beriman, jawablah (penuhilah) panggilan
Allah dan Rasul-Nya’. Setelah itu beliau bersabda; ‘Senangkah jika aku
mengajarimu surah yang paling agung didalam al-qur’an sebelum aku keluar dari
masjid’? Setelah –berselang beberapa saat– Nabi Muhamad saw pergi untuk keluar
dari masjid. Lalu aku mengingatkannya. Beliau bersabda; ‘Alhamdu lillahi
rabbil-‘alamin’, itulah tujuh ayat yang diulang-ulang dan
(itulah) al-qur’an yang diberikan padaku’”.
Hadits dari Abu Hurairah ra bahwa
Rasulallah saw bersabda: ’Ummu al qur’an ialah tujuh ayat yang
diulang-ulang dan al-qur’an yang agung’ (Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhori
dalam Shohih-nya (V11:381 Al-Fath
Al-Bari).
Al-Hafidh dalam Fathul Bari V11:382 mengatakan,
bahwa Imam Thabrani meriwayatkannya dengan dua isnad yang bagus dari Umar ra,
kemudian dari Ali kw. Dia mengatakan, ‘As-Sab’u Al-Matsani itu, adalah Fatihat
Al-Kitab‘(Al-Fatihah). Dari Umar ada tambahan ‘Diulang-ulang pada setiap
rakaat’.
Imam Bukhori (pada juz ‘Membaca
(al-Fatihah) dibelakang Imam’ [bab wajib membaca al-Fatihah, bagi imam
dan makmum, dan ukuran miminal yang dibaca] hal. 8 cet. Al-Iman Madinah
Al-Munawwarah) mengatakan, ‘secara mutawatir ada berita dari Rasulallah saw
bahwa tidak ada sholat (yang sah) kecuali dengan membaca Ummu al-qur’an’
(yakni al-Fatihah).
Imam Bukhori (11:238), Imam Muslim
(1:295) dan dalam Al-Fath al-Bari (11:241) ada pembahasan yang lengkap
mengenai sabda Rasulallah saw: ‘Tidak ada sholat –yang mencukupi– bagi
orang yang tidak membaca Fathihat Al-Kitab’. Hadits ini menurut Imam
Bukhori mutawatir. Maksud hadits ini bukan tidak ada sholat yang sempurna,
melainkan tidak ada sholat yang mencukupi (sah) bagi orang yang tidak
membaca al-Fatihah. Dengan demikian dalil wajibnya membaca al-Fatihah ini,
berlaku baik untuk sholat berjamaah maupun yang melakukan sholat sendirian
(munfarid). Dalam redaksi yang dikeluarkan oleh Al-Isam’ili melalui jalan Al-Abbas
bin Al-Walid Al-Narsi –gurunya Imam Bukhori– dari Sufyan dengan isnad
tersebut, dengan redaksi; ‘Tak ada satu sholat pun yang mencukupi, jika
tidak di baca Fatihat Al-Kitab’. Al-Hafidh Ibn Hajar dalam Al-Fath
(11:241) menyebutkan, bahwa riwayat itu ada mutaba’ah-nya (riwayat yang
mengikuti dan menguatkannya) yaitu, yang diriwayatkan Al-Daraquthni. Juga ada
saksi penguatnya bagi riwayat Al-Daraquthni tersebut, yang diriwayatkan Ibn
Hibban dan Ibn Khuzaimah dalam kedua shohih-nya.
Sedangkan dalil bahwa membaca
al-Fatihah itu wajib dilakukan setiap rakaat dalam sholat, adalah sabda
Rasulallah kepada seseorang yang melakukan sholat tidak sempurna. Rasulallah
saw mengajarkannya, apa yang harus dilakukan dalam sholat pada setiap rakaat.
Beliau saw
bersabda: “Kemudian lakukan itu pada (gerakan) sholatmu semuanya”. Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Bukhori [11:277] dan Imam Muslim [1:298].
Rukun sholat yang keempat adalah, membaca al-Fatihah
pada setiap rakaat, baik untuk imam mau pun makmum. Demikian pula yang munfarid
(sholat sendirian). Begitu juga dalam riwayat Ibn Hibban dalam Shohih-nya
(V:89) dan lainnya dikatakan, “Kemudian lakukan itu pada setiap raka’at”.
Membaca al-Fatihah tidak gugur (kewajibannya), kecuali bagi
makmum yang mendapatkan imamnya sedang rukuk (ketinggalan sholat berjamaah).
Dalam kondisi seperti itu, dia dianggap telah mendapatkan satu rakaat (telah
membaca al-Fatihah), meskipun dia belum membaca al-Fatihah. Dahulu masalah ini
diperselisihkan, tetapi kemudian mendapat ijmak (kesepakatan) para ulama.
Demikianlah yang dikutip Ibnul Mundzir dalam kitabnya Al-Ausath 111:115.
Dalil yang mewajibkan untuk membaca al-Fatihah bagi
makmum, baik bacaan dalam sholat secara sir/pelan (dhuhur dan ashar)
maupun bacaan sholat jahar (maghrib, isya, shubuh, sholat jumat)
adalah sebagai berikut:
Pertama: Adalah keumuman kandungan hadits yang telah
dikemukakan sebelumnya, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim
yaitu; ‘Tidak ada sholat (yang sah) bagi orang yang tidak membaca Fatihat
Al-Kitab’. (surat al-Fatihah).
Kedua: Ubbadah bin Shamit ra meriwayatkan: “Kami pernah
melakukan sholat bersama Rasulallah saw pada sholat shubuh. Beliau
merasa berat untuk membaca (al-qur’an/al-Fatihah). Setelah berpaling (selesai
sholat), beliau saw bersabda: ‘Sesungguhnya aku melihat kamu sekalian
(mengetahuimu), (apakah) kamu membaca dibelakang imam kalian’? Kami
menjawab, ‘ya’. Beliau saw bersabda: ’Jangan kalian lakukan kecuali dengan
(membaca) Ummu Al-Kitab (al-Fatihah), karena tidak ada sholat (yang sah)
bagi orang yang tidak membacanya’”. { HR.Imam Ahmad [V:316]; Imam Bukhori
dalam Al-Qiraat Khalfa Al-Imam artinya membaca (al-Fatihah) dibelakang
Imam; Ath-Thahawi meriwayatkannya dalam Syarh Ma’ani Al-Autsar (1:215)
; Abu Dawud (1:217-218) ; Imam Turmudzi (II:117) ; Ibnu Khuzaimah dalam shohih-nya
(III : 36) ; Ibn Hibban dalam shohih-nya (V:86) ; Al-Baihaqi dalam
Syarh As-Sunnah (III:82) dalam Sunan-nya (II:164) dan dalam kitab
Ma’rifat As-Sunan Wa Al-Atsar (III:81) dalam periwayatan dan penjelasan
yang luas; Ad-Daraquthni (I:318) dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak
(I:238). Hadits tersebut shohih dan tsabit (kuat). Dan menurut Al-Khathabi
sepeti disebutkan dalam Syarh Muhadzdzab-nya, Imam Nawawi (III:366), ‘Isnad
hadits tersebut jayid (bagus sekali) dan tak ada cacadnya’. Hadits
tersebut juga telah diakui keshohihannya oleh Ibnu Hajar dalam Al-Fath
(II:242), beliau menyifatinya sebagai hadits tsabit [kuat] }.
– Imam Turmudzi (setelah adanya hadits Ubbadah bin Shamit diatas) mengata
kan: “Berkenaan dengan bab itu, terdapat riwayat (yang serupa hadits itu) dari
Abu Hurairah ra, Siti Aisyah ra, Anas bin Malik, Abu Qatadah dan Abdullah bin
Amr”. Imam Turmudzi mengatakan: “Mengamalkan hadits ini, yang berkena an dengan
membaca (al-Fatihah) dibelakang imam, berarti mengikuti pendapat
kebanyakan ahli ilmu, baik dari kalangan para sahabat Nabi saw mau pun tabi’in.
Itu pun pendapat yang dipergunakan oleh Imam Malik bin Anas, Asy-Syafi’i,
Ibn Al-Mubarak, Ahmad dan Ishak. Mereka semua berpendapat (mengenai
wajibnya) membaca (al-Fatihah) dibelakang imam. Al-Hafidh Al-
Zaila’i dalam Nashbu Ar-Riwayah [II:12] berkata: ‘Hadits ini menunjukkan
sebab turunnya hadits ‘Siapa yang mempunyai imam, maka bacaan imam menjadi
bacaan baginya’. [Sebabnya] tersebut ialah, mengangkat suara
(menjaharkan) dengan membaca [al-Fatihah] dibelakang imam dan membaca surah
disamping membaca al-Fatihah). (yakni: si makmum membaca al-Fatihah dan surah setelah
membaca al-Fatihah dibelakang imam, dengan suara jahar —pen.)
– Imam Al-Aini dalam Umdat Al-Qari mengatakan, sebagian sahabat kami
menganggap hal itu (mengangkat suara dengan membaca al-Fatihah dan surah),
sebagai perbuatan yang baik demi ihtiyath (kehati-hatian) dalam segala
sholat. Sedangkan menurut sebagiannya hanya terbatas pada sholat sir
(yang bukan jahar) saja. Pendapat terakhir ini dipegang oleh fugaha
(para ahli fiqih) Hijaz dan Syam (Syria).
– Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (II:242), mengenai hadits
‘siapa yang mempunyai imam, maka bacaan imam menjadi
bacaan baginya’ berkata: ‘Tetapi hadits tersebut menurut para
Hafidh –penghafal hadits– merupakan hadits lemah/dhoif. Semua thariq
(jalan) dan ilat-nya telah diambil (dikaji) oleh Al-Daraquthni dan
yang lainnya”. Begitu juga diantara yang melemahkan dan menolak hadits tersebut
ialah Imam Bukhori dalam Juz Al-Qira’at hal.9. Ia
mengatakan, ‘kabar ini tidak tsabit (kuat) menurut para pakar baik
menurut penduduk (ulama) Hijaz maupun penduduk (ulama) Irak dan yang lainnya,
karena hadits tersebut mursal dan munqathi’ “.
Diantara bukti-bukti lemahnya hadits ‘siapa yang mempunyai imam,maka
bacaan imam menjadi bacaan baginya’ tersebut dan kebathilannya adalah:
a) Jika
benar bacaan Imam itu mewakili bacaan (rukun sholat yakni al-Fatihah) makmum
seperti yang disebutkan dalam dalil hadits tersebut, mengapa dzikir-dzikir yang
lain –selain al-Fatihah– seperti tasbih, takbir, tahmid dan lainnya,
tidak dibatalkan hukum membacanya dari makmum, padahal hukumnya bacaan-bacaan
ini adalah sunnah?
b) Begitu
juga seandainya hadits tersebut shohih –dan itu tidak mungkin–, tidak
tercantum didalam hadits itu yang menunjukkan bahwa bacaan imam mencukupi
(mencakup semua) bacaan makmum, karena hadits tersebut bersifat umum.
Dan kalimat (dalam hadits itu) ‘bacaan imam’ termasuk isim jenis, yang mudhaf
(disandarkan) mencakup apa saja yang dibaca oleh imam, tidak hanya terbatas
kepada bacaan al-Fatihah saja. Demikian pula halnya dengan firman Allah swt: ‘Dan
apabila dibacakan al-qur’an, maka dengarkanlah dan perhatikanlah agar kamu
sekalian mendapat rahmat’ dan hadits, ‘jika dia membaca, maka
perhatikanlah’.
c)
Seandainya hadits itu tsabit (kuat), maka kalimat haditsnya bersifat umum,
sehingga mencakup al-Fatihah dan lain-lainnya. Sedangkan hadits Ubbadah
(yang telah kami kemukakan tadi) itu, bersifat khusus mengenai bacaan
makmum surat al-Fatihah, sehingga hadits ini mengkhususkan atau mengecualikan
keterangan yang umum tersebut. Demikianlah yang ditetapkan dan diakui dalam ilmu
Ushul (Fiqih). Adapun kalimat hadits ‘dan apabila dia (imam) membaca
maka perhatikanlah’, yang disebutkan dalam sebagian riwayat hadits (seperti),
imam itu dijadi kan hanya untuk di-ikuti, maka apabila ia bertakbir,
bertakbirlah…’, riwayat hadits ini tidak kuat. Karena riwayat ini
disebutkan dalam Shohih Muslim (I:304) yang mengandung dialog
antara Imam Muslim dengan muridnya –Abu Bakar–, yang meriwayatkan hadits shohih
Muslim dari Imam Muslim. Imam Nawawi (Al-Majmu’ III:386) mengatakan, ‘menurut
Imam Baihaqi, lafadh tersebut tidak ada dari Nabi saw’. Abu Daud dalam
Sunannya; ‘lafadh itu tidak terjaga/ terpelihara’ (laisat bi mahfudhah).
Hadits yang dikemukakan oleh Anas bin Malik ra; “Bahwa
Rasulallah saw melakukan sholat dengan para sahabatnya. Setelah selesai sholat,
beliau saw menghadap kepada mereka sambil bersabda: ‘Apakah kalian membaca
(al-qur’an) dalam sholat kalian dibelakang imam, padahal imam (sedang)
membaca? Mereka diam. Rasulallah saw mengucapkan itu tiga kali.
Kemudian ada (banyak) yang berkata: ‘Sesungguhnya kami melakukannya (membaca al
qur’an)’. Beliau saw bersabda: ‘Maka janganlah kalian lakukan, dan hendak-lah
salah seorang diantaramu (masing-masing kalian) membaca Fatihah Al-Kitab
didalam dirinya (tidak dijaharkan)’ “ (HR.Ibn Hibban dalam shohih-nya
(V:162) ; Imam Daraquthni dalam As-Sunan (I:340), hadits ini
shohih ; Al-Hafidh Al-Haitsami dalam Mujma’ Al-Zawaid (II:110) dari hadits
Anas ra. Diriwayatkan juga oleh Abu Ya’la. Imam Thabarani dalam Al-Ausath, dan
rijal perawinya tsiqat.
Hadits yang dikemukakan oleh Yazid bin Syuraik: “Saya
pernah bertanya kepada Umar mengenai membaca (al-qur’an) dibelakang imam.
Dia menyuruhku untuk membaca (alqur’an/al-Fatihah). Saya bertanya; ‘Engkau
bagai- mana’? Dia berkata, ‘Aku juga sama’. Saya bertanya lagi, ‘Apakah hal itu
di lakukan jika engkau menjahar (dalam sholat jahar)?’. Dia menjawab;
‘Jika aku menjahar (melakukan sholat jahar) aku pun membacanya’”(HR.Al-Daraquthni
dalam As-Sunan I:317 mengatakan; ‘Ini isnad shohih’. Atsar-atsar
shohih mengenai hal itu dari kalangan sahabat pun banyak, [silahkan lihat pada
juz III dari kitab At-Tanaqudhat dalam Mulhaq Khas (tambahan
khusus)].
Orang yang tidak membolehkan makmum membaca ayat al-qu’ran
(al-Fatihah) dibelakang imam dalam sholat jahar, dengan berdalil hadits Ibn
Ukaimah dari Abu Hurairah ra, yang mengatakan, “Rasulallah saw melakukan
sholat dengan kami, dimana bacaan (al-Fatihah dan surahnya) dijaharkan.
Setelah selesai beliau menghadap kepada orang-orang seraya bersabda; ‘Apakah
ada salah seorang dari kamu yang membaca (al-qur’an) bersama-sama aku’? Kami
menjawab, ‘ya’. Beliau saw bersabda: ‘Ingatlah, aku mengatakan, aku tidak
pantas menentang al-qur’an (ma li unazi’u Alqurana)’. Abu Hurairah mengatakan,
‘orang-orang pun berhenti membaca (al-qur’an), jika imam menjaharkan
bacaan. Dan mereka membaca (al-Fatihah dan surah) secara sir (pelan)
dalam dirinya jika imam tidak menjaharkan bacaannya”.
Menurut sebagian orang kalimat dalam hadits ‘orang-orangpun berhenti
membaca..’,hanya sebagai perkataan Abu Hurairah saja. Yang mempunyai paham
seperti ini diantaranya Syeikh (al-Albani--pen) yang controversial itu, dalam
bukunya Shifatu Shalatihi (Sifat Sholat Nabi Muhamad saw) pada hal.99.
Padahal yang benar bukan begitu. Itu hanya kata-kata –mudrajah
(tambahan)– yang ditambahkan dari Az-Zuhri. Hal itu telah diterangkan
oleh para imam hadits, antara lain Imam Bukhori dalam Juz Al-Qira’at Khalfa
Al Imam hal. 29-30.
Hadits Ibn Ukaimah diatas, dibuat dalil/hujjah untuk melarang orang
membaca al-Fatihah dibelakang imam adalah keliru. Hadits tersebut dhoif
(lihat penjelasannya dalam kitab At-Tanaqudhat Al-Wadihat Juz III oleh Syeikh
Hasan bin Ali, jordania). Dan jika benar, didalam hadits tersebut tidak ada
isyarat yang melarang membaca al-Fatihah dibelakang imam. Yang
dimaksud larangan disini adalah, larangan mengangkat suara/menjaharkan
dengan bacaan al- qur’an setelah membaca al-Fatihah. Sebagaimana hal itu
dijelaskan pada beberapa riwayat yang shohih. Jadi hadits itu bersifat umum
yang ditakhsish (dikhususkan atau dikecualikan sebagian kandungannya). Bila
kita telah mengetahui bahwa imam dan makmum (setiap waktu sholat) serta yang
melakukan sholat sendirian wajib membaca al-Fatihah, maka ketahuilah bahwa
disunnahkan bagi imam untuk diam sebentar setelah selesai membaca
al-Fatihah dalam sholat jahar. Tidak lain hal ini memberi kesempatan pada
makmum untuk membaca al-Fatihah. Hal ini didasarkan kepada dalil dari hadits
Samurah yang mengatakan, ‘dua saktah (dua kali diam
sebentar) yang aku hafal (ingat) dari Rasulallah saw’. Tetapi Imran bin
Hushain mengingkari itu, dia berkata: ‘Kami menghafal (mengingat) satu
kali diam’. Maka kami menyurati Ubay bin Ka’ab di Madinah. Ubay
menulis (menjawab), ‘Samurah telah menjaga (sunnah Rasulallah
saw)’.
Sa’id –salah seorang perawi hadits tersebut dan putera Abu Arubah–
mengatakan, ‘kami berkata kepada Qatadah, apakah yang dimaksud dengan dua
kali diam (dua saktah) tersebut’? Ia berkata: ‘Pertama, jika dia
masuk dalam sholat (sebelum membaca al-Fatihah) dan yang kedua, jika dia
telah selesai membaca (al-Fatihah). Setelah itu dia berkata: ‘(Dan) apabila
telah membaca Wa laa Adhdhaalliina’. (HR. Imam Turmudzi [II:31 no. 251]
dan dia mengatakan hadits Samurah itu hasan; Imam Ahmad dalam Musnad-nya
[V:7]; Imam Baihaqi [II:195] dan lain-lain, hadits ini shohih. Ibn
Hibban dalam Shohih-nya [V:112] dan pada halaman 113 dia mengatakan;
‘Sandaran kita pada masalah tersebut ialah Imran dan bukan Samurah’).
Abdullah bin Amr ra meriwayatkan: “Nabi Muhamad saw berkhutbah dihadapan
banyak orang: ‘Siapa yang melakukan sholat wajib atau sunnah (subhatan) maka
hendaklah membaca Ummu al-qur’an dan (ayat) Quran ber samanya.
Jika dia sampai (selesai) membaca Ummu al-qur’an itu cukup baginya. Dan siapa
yang (melakukan sholat) bersama imam, maka hendaklah dia membaca
(ummul al-qur’an itu) sebelumnya, atau jika dia (imam) diam. Dengan demikian
siapa yang melakukan sholat tidak membaca Ummu Alquran, maka sholatnya khidaj
(kurang)” (beliau mengucapkannya) tiga kali. (HR.Abdar-Razzaq dalam
Al-Mushannaf (II:133 nr. 2787) hadits ini hasan, karena sesungguhnya
Al-Mutsanni bin Ash-Shabbah itu tidak tercela dalam periwayatan nya dari
Amr bin Syu’aib. Hal itu sebagaimana diperingatkan oleh para penghafal hadits
dan telah disebutkan mengenai riwayat hidupnya, dalam Tahdzib At-Tahdzib
(X:33). Tetapi dia terkena ikhtilath (kekacauan/percampuran) dalam
periwayatannya dari Atha, sebagaimana mereka –ahli hadits– menjelaskan hal itu.
Dia diakui kuat/tsiqah oleh yahya bin Mu’in. Sementara pen-dhoif-an oleh
jumhur didasarkan kepada apa yang telah kami sebutkan).
Al-Hafidh Ibn Hajar dalam Al-Fath al Bari (II:242) mengatakan, “Atas
dasar dalil tersebut jelaslah bahwa imam perlu diam sebentar dalam
sholat jahar, supaya makmum berkesempatan membaca al-Fatihah. Hal
itu untuk tidak menjerumuskan makmum kepada perbuatan yang dilarang, yakni dia
membaca al-qur’an imam membaca al-qur’an juga. Sebetulnya telah ditetap- kan
(lewat hadits shohih) bahwa makmum diperbolehkan membaca al-Fatihah dalam
sholat jahar tanpa kaid (ikatan/pengecualian).Hadits-hadits yang
berkenaan dengan masalah tersebut adalah seperti yang dikeluarkan atau
diriwayatkan oleh Imam Bukhori pada Bagian Al-Qiraat, Turmudzi, Ibn
Hibban dan lain-lainnya dari riwayat Mak-hul dari Mahmud bin Ar-Rabi’ dari
Ubbadah, ‘Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. (tampak) berat membaca (Al-Fatihah
dalam (sholat) fajar (shubuh)…sampai akhir hadits…(lihat hadits Ubbadah’).
Demikianlah menurut Ibn Hajar Al-‘Asqalani. Wallahu a’lam. (Kami susun secara
bebas dari kitabShalat Bersama Nabi saw.karya Hasan Bin‘Ali As-Saqqaf,
terbitan Dar al-Imam an-Nawawi, Oman,, Jordania] cet. pertama,1993,
diterjemahkan oleh Drs. Tarmana Ahmad Qosim diterbitkan oleh PustakaHidayah
Bandung).
7.12. Kewajiban Membaca Basmalah Di
Awal Surat Al-Fatihah
Dalam madzhab Syafi'iyah khususnya mewajibkan setiap orang yang melakukan
sholat membaca Basmalah pada awal surat Al-Fatihah, karena basmalah
merupakan ayat pertama darinya. Hal tersebut didasarkan pada hadits shohih dan
kuat dari Rasulallah saw. Antara lain yang dikemukakan oleh Abu Hurairah ra.
bahwa Rasulalallah saw. bersabda: “Jika kamu sekalian membaca Alhamdulillah,
maka bacalah Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Sesungguhnya Al-Fatihah
itu Ummu Al- qur’an (induk Alqur’an), Ummul-Kitab (induk Kitab), As-Sab’
Al-Matsani dan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, adalah salah satu
ayatnya”. (HR.Daruquthny [I:312], Imam Baihaqi [II:45] dan lain-lainnya dengan
isnad shohih baik secara marfu’ mau pun secara mauquf).
{ Syeikh Saqqaf (pengarang) merasa aneh terhadap at-tanaqudhat (kontradiksi)
bahwa muhaddits ash-shuhuf wa al-auraq (pembaharu lembaran-lembaran
koran dan kertas), bukanlah pembaharu intelek yang benar dan jujur. (Dia)
menshohihkan hadits diatas tersebut dalam beberapa tempat dari kitabnya dan
dalam beberapa kitab karangan yang di nisbatkan kepada dirinya, antara lain kitab
Shohih Al-Jam’ Wa Ziyadatuh [I:261] dan Shihatuh [III : 179].
Meski pun demikian dia tetap saja berkata dalam kitab Sifat Sholat Nabi–nya
halaman 96: “Kemudian Rasulallah saw. membaca Bismillahi Ar-Rahmaan
Ar-Rahiim, dan tidak mengeraskan bacaannya”. Jika Basmalah
diakui (oleh dia) sebagai salah satu ayat dari Al-Fatihah, lalu mengapa tidak
dikeraskan juga bacaannya? }.
Ibnu ‘Abbas ra. meriwayatkan bahwa
dia membaca Al-Fatihah, lalu membaca wa-laqad atainaaka sab’an min
al-matsaaniya wal Qur’anal ‘Adhiim. Lalu dia berkata, “Itulah Fatihat
al-Kitab (Pembuka Al-Kitab/Alqur’an) dan Bismillahir Rahmaanir Rahiim adalah
ayat yang ketujuh” (Al-Hafidh Ibn Hajar dalam Al-Fath VIII:382 mengatakan
hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Thabrani dengan isnad Hasan).
Diriwayatkan dari Ummu Salamah ra.
bahwa, “Rasulallah saw. membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim dalamn
sholat, dan beliau menganggapnya sebagai satu ayat…”. (HR.Abu Dawud dalam
as-Sunan [IV:37], Imam Daraquthni [I:307], Imam Hakim [II:231], Imam Baihaqi
[II:44] dan lain-lainnya dengan isnad shohih).
Imam Ishak bin Rahuwiyah pernah ditanya tentang seseorang
yang meninggalkan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Maka dia menjawab;
“Siapa yang meninggalkan ba’, atau sin, atau mim dari
basmalah, maka sholatnya batal, karena Al-hamdu (Al-Fatihah) itu
tujuh ayat”. (Hal ini akan ditemukan pada kitab Sayr A’lam Al-Nubmala’ [XI:369]
karangan Ad-Dzahabi).
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan
Abu Hurairah [ra] serta yang lainnya: “Bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad
saw. menjaharkan (bacaan) Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim”.
(Hadits dari Ibnu ‘Abbas, diriwayatkan oleh Al-Bazzar dalam Kasyf Al-Atsar
[I:255]; Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra [II:47] dan dalam kitab Ma’rifat
As-Sunan wa Al-Atsar [II:308] dan lain-lainnya ; Al-Haitsami dalam Mujma’
Al-Zawaid [II:109] mengatakan, hadits tersebut di riwayatkan oleh Al-Bazzar dan
rijal-nya mautsuuquun (terpercaya) ; Al-Daraquthni [I:303-304] telah
meriwayatkan dalam berbagai macam isnad siapa pun yang menemukannya tidak akan
meragukan keshohihannya. Rincian pem- bicaraannya dapat dilihat pada jilid III
dari At-Tanaqudhat. Ada pun hadits dari Abu Hurairah ra., diriwayatkan
oleh Imam Hakim dalam Al-Mustadrak-nya [I:232] dan perawi lainnya.
Haditsnya shohih. Al-Dzahabi rupanya berusaha me lemahkan hadits
tersebut dalam Talkhish Al-Mustadrak. Dia mengatakan, ‘Muhammad itu dhaif’,
yang dia maksud adalah Muhammad bin Qais, padahal tidak demikian.
Muhammad bin Qais sebetulnya orang baik dan terpercaya, termasuk rijal
(sanad) Imam Muslim sebagaimana disebutkan dalam Tahdzib At-Tahdzib
[IX:367]. Disitu disebutkan Muhammad bin Qais diakui mautsuuq oleh
Ya’qub bin Sufyan Al-Fusawi dan Abu Dawud, Al-Hafidh pun mengakui hal itu
juga dalam At-Taqrib-nya).
Disebutkan dalam shohih Bukhori [II:251
dalam Al-Fath al-Bari], bahwa Abu Hurairah ra. berkata: “Pada setiap sholat
dibaca (Al-Fatihah dan surah—Red.). Apa yang yang beliau perdengarkan
(jaharkan) maka kamipun memperdengarkannya (menjaharkannya), dan apa yang
beliau samarkan (lirihkan), maka kamipun menyamarkannya (melirihkan-
nya)..”.
Perkataan orang yang menyebutkan bahwa Rasulallah saw. kadang-kadang melirihkan
dan kadang-kadang menjaharkan (bacaan basmalah), itu tidak benar. Karena
mereka juga berdalil dengan hadits-hadits mu’allal yang ditolak. Bahkan
sebagiannya hanya disimpulkan dari hasil pemahaman (al-mafhum) yang
berlawanan dengan hadits al-manthuq, yang jelas menyatakan adanya
menjahar bacaan basmalah. Sedangkan yang manthuq itu harus
didahulukan atas yang mafhum, sebagaimana ditetapkan dalam ilmu ushul
fiqih.
Imam Muslim dalam Shohih-nya [I:300] meriwayatkan
hadits dari Anas ra. yang mengatakan: “Ketika suatu hari Rasulallah saw. berada
disekitar kami, tiba-tiba beliau mengantuk (tidur sebentar), lalu mengangkat
kepalanya sambil tersenyum. Kami bertanya; ‘Apa yang menyebabkan engkau tertawa
wahai Rasulallah’? Beliau menjawab; ‘Tadi ada surah yang diturunkan kepadaku,
lalu beliau membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, innaa a’thainaaka
al-kautsar….sampai akhir hadits’ “. Imam Nawawi mengatakan dalam Syarh
Muslim-nya [IV:111) bahwa basmalah itu merupakan satu ayat dari setiap
surah kecuali surah Bara’ah atau at-Taubah berlandaskan dalil bahwa
basmalah itu di tulis didalam mushaf dengan khath (tulisan/
kaligrafi) mushaf. Hal itu didasarkan kepada kesepakatan sahabat dan ijma’
mereka bahwa mereka tidak akan menetapkan sesuatu didalam Alqur’an dengan khath
Alqur’an yang selain Alqur’an. Ummat Islam sesudah mereka pun sejak dahulu
sampai sekarang, sepakat atau ber-ijma’ bahwa basmalah itu tidak ada
pada awal surah Bara’ah dan tidak ditulis padanya. Hal itu semua
menguatkan apa yang telah kami katakan.
Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim
Al-Mujmir seorang Imam, Faqih, terpercaya termasuk periwayat hadits Shohih
Enam sempat bergaul dengan Abu Hurairah ra. selama 20 tahun: "Aku melakukan sholat dibelakang Abu
Hurairah ra., maka dia membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim lalu dia
membaca Ummu Alqur’an hingga sampai kepada Wa laadh dhaalliin kemudian
dia mengatakan amin. Dan orang-orang pun mengucapkan amin. Setiap (akan) sujud
ia mengucapkan Allahu Akbar. Dan apabila bangun dari duduk dia meng
ucapkan Allahu Akbar. Dan jika bersalam (mengucapkan assalamu‘alaikum).
Dia kemudian mengatakan, ‘Demi Tuhan yang jiwaku ada pada kekuasaan-Nya,
sesungguhnya aku orang yang lebih mirip shalatnya dengan Rasulallah saw. daripada kalian”. (Imam Nasa’i dalam As-Sunan II:134;
Imam Bukhori mengisyaratkannya hadits tersebut dalam shohihnya [II:266
dalam Al-Fath] ; Ibnu Hibban dalam shohihnya [V:100] ; Ibn Khuzaimah
dalam shohihnya I:251 ; Ibn Al-Jarud dalam Muntaqa halaman 184
;Al-Daraquthni [I:300] mengatakan semua perawinya tsiqah ; Hakim dalam
Al-Mustadrak [I:232] ; Imam Baihaqi dalam As-Sunan [II:58] dan dalam
kitab Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar [II:371] dan mengatakan isnadnya shohih.
Dan hadits itu dishohihkan oleh sejumlah para penghafal hadits seperti Imam
Nawawi, Ibn Hajar dalam Al-Fath [II:267] bahkan dia mengatakan bahwa Imam
Nawawi membuat bab khusus ‘Menjaharkan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim’, itulah
hadits yang paling shohih mengenai hal tersebut).
Sedangkan menurut Syeikh Saqqaf (pengarang), hadits itu bukan yang
paling shohih, justru hadits Anas yang diriwayatkan Imam Bukhori lah yang
paling shohih yaitu “Rasulallah saw. me-mad-kan (memanjangkan
bacaan) bismillah, me-mad-kan Ar-Rahmaan dan me-mad-kan
Ar-Rahiim”. Ibn Hajar dalam Al-Fath II:229 telah menetapkan untuk menggunakan
hadits yang menetapkan adanya jahar dalam membaca basmalah.
Selanjutnya dia mengatakan, ‘Maka jelaslah (benarnya) hadits yang menetapkan
adanya jahar dengan basmalah’.
Dalam Shohih Bukhori [IX:91 dalam Al-Fath]
disebutkan bahwa Anas bin Malik ra. pernah di tanya mengenai bacaan Nabi
Muhammad saw.. Dia menjawab: “Bacaan Nabi itu (mengandung) mad
(dipanjangkan), (yakni) memanjangkan bacaan Bismillah, memanjangkan kata
Ar-Rahman dan memanjangkan kata Ar-Rahim”.
Ada pun hadits Anas ra. yang antara lain mengatakan: “Aku melakukan shalat
dibelakang Nabi Muhammad saw., Abu Bakar, Umar dan ‘Utsman. Mereka membuka
(bacaan Alquran) dengan Alhamdulillah Rabbil ‘Aalamiin dan mereka tidak
menyebut (membaca) Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim baik di awal
pembacaannya mau pun di akhirnya”. Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka aku
tidak mendengar salah satu di antara mereka membaca Bismillahi Ar-Rahmaan
Ar-Rahiim yang diriwayatkan Imam Muslim dalam shohih-nya [I:299
no.50 dan 52]. Hadits tersebut mu’allal (hadits yang mempunyai banyak
‘ilat atau yang menurunkannya dari derajat shohih). Diantara ‘ilat atau
penyakit yang melemahkan derajat hadits itu adalah, ungkapan terakhir dalam
hadits tersebut ‘Mereka tidak menyebut atau membaca Bismillah’.
Sebenarnya itu bukan dari perkataan (hadits) Anas, tetapi hanya perkataan salah
seorang perawi yang memahami kata-kata Alhamdulillah Rabbil ‘Aalamiin dan
tidak bermaksud untuk meniadakan basmalah dari Al-Fatihah.
Argumentasi ini dikuatkan dengan hadits Abu Hurairah ra., disebutkan bahwa
Rasulallah saw. bersabda, ”Alhamdulillah rabbil ‘aalamiin sab’u ayat
ihdaahunna Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, wa hiya as-sab’u al-matsaani wa
al-Quraani al-‘adhiim, wa hiya Ummu Al-Qur’an wa Fatihat Al-Kitaab, (Al-Fatihah
itu tujuh ayat, salah satunya adalah Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Itulah
tujuh (ayat) yang diulang-ulang Al-qur’an yang agung dan itulah induk Alqur’an
dan Fatihat (Pembuka) Al-Kitab (Alqur’an)”. Al-hafidh Al-Haitami dalam
Al-Mujma’ [II:109] mengatakan, “Hadits tersebut diriwayatkan Imam Thabarani
dalam Al-Ausath, rijal-nya tsiqat”.
Dari keterangan diatas tadi, dapat ditetapkan ada empat indikasi
mengenai kelemahan hadits Anas ra diatas tersebut:
a). Hadits yang shohih dan tsabit (kuat) yang diriwayatkan Imam
Bukhori dari Anas berlawanan dengan hadits tersebut. Dalam hadits
itu disebutkan, “Baca- an Nabi itu (mengandung) mad (dipanjangkan),
(yakni) memanjangkan bacaan Bismillah, memanjangkan kata Ar Rahman
dan memanjangkan kata Ar-Rahim”.
b). Semua Hafidh pakar penghafal hadits yang menulis dalam Mushthalah
Hadits dan mengarang mengenai hadits, menyebutkan hadits Anas tersebut
sebagai contoh hadits mu’allal yang meniadakan menjahar basmalah
dalam Al-Fatihah itu
c). Hadits Anas tersebut, disamping mu’allal, bersifat meniadakan,
sedangkan hadits Anas yang lainnya beserta hadits-hadits lain dari para sahabat
menetapkan (istbat) adanya jahar dalam membaca basmalah.
Padahal seperti yang di tetapkan dalam ilmu ushul fiqh ialah Yang menetapkan
(al-mutsbit) itu harus didahulukan daripada yang meniadakan,
apalagi yang meniadakan itu masih mengandung ‘ilat (berupa hadits
mu’allal). Men-jam’u (mengkompromikan) pun tidak bisa dilakukan.
d) Diriwayatkan secara kuat dan benar, bahwa para sahabat yang empat
-radhiyallahu ‘anhum- khususnya khalifah Umar dan khalifah ‘Ali semuanya
menjaharkan bacaan basmalah dalam Al-Fatihah (lihat umpamanya
kitab Ma’rifat As-Sunan Wa Al-Atsar [II:372 dan 378] ).Wallahu a’lam.
(makalah tentang pembacaan Al-Fatihah dan Basmalah kami kutip dan
susun secara bebas dari kitab Shalat Bersama Nabi saw. karya
Hasan Bin ‘Ali As-Saqqaf, terbitan Dar al-Imam an-Nawawi, Oman, Jordania] cet.
pertama, 1993 , diterjemahkan oleh Drs. Tarmana Ahmad Qosim diterbitkan oleh
Pustaka Hidayah Bandung).
7.13. Tidak Mengerak-Gerakkan Jari
Telunjuk Ketika Tasyahhud
Masyarakat muslim terutama yang berpegang kepada madzhab Syafi’i telah
mengetahui dan mengamalkan petunjuk dan ajaran para ulama bahwa sunnah ketika
mengucapkan Asyhadu allaa ilaaha illallah pada duduk tasyahhud atau
tahiyyat untuk mengangkat jari telunjuknya apabila telah sampai pada illallah
dalam syahadat dan tidak diturunkan jari telunjuknya sampai
mengucapkan salam. Perlu diketahui yang disunnahkan hanyalah mengangkat jari
telunjuknya saja tanpa tahrik (digerak-gerakkan) karena makruh
hukumnya.
Marilah kita ikuti dalil-dalilnya berikut ini:
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar
ra.; “Jika Rasulallah saw. duduk dalam tasyahhud, beliau meletakkan tangan
kirinya diatas lututnya yang kiri, dan meletakkan tangan kanannya pada lutut
yang kanan, seraya membuat (angka) lima puluh tiga sambil berisyarat
dengan telunjuknya”. (HR. Imam Muslim dalam Shohih-nya I/408).
Yang dimaksud dengan lima puluh tiga dalam hadits ini ialah menggenggam
tiga jari (jari tengah, jari manis dan kelingking) itulah angka tiga. Sedangkan
jari telunjuk dan ibu jari dijulurkan sehingga membentuk semacam lingkaran
bundar yang mirip angka lima (angka bahasa arab), dengan demikian
menjadilah semacam angka lima puluh tiga.
Dalam satu riwayat seperti yang diriwayatkan Imam Muslim I/408
dari Ali bin Abdurrahman Al-Mu’awi, dia mengatakan; “Abdullah bin Umar ra.
melihat aku bermain-main dengan kerikil dalam sholat. Setelah berpaling
(selesai sholat), beliau melarangku, seraya berkata; ‘Lakukanlah seperti apa
yand dilakukan oleh Rasulallah itu’. Dia berkata; ‘Jika Rasulallah saw. duduk
dalam sholat beliau meletakkan tangan kanannya pada paha kanannya seraya
menggenggam semua jemarinya, dan mengisyaratkan (menunjukkan) jari yang
dekat ibu jarinya ke kiblat (penambahan kata ke kiblat ini terdapat pada
shohih Ibnu Hibban V:274; shohih Ibn Khuzaimah I:356 dan lainnya). Beliau juga
meletakkan tangan kirinya diatas paha kirinya’ ”. Al-Isyarah
(mengisyaratkan) itu menunjukkan tidak adanya (perintah) menggerak-gerakkan,
bahkan meniadakannya untuk tahrik.
Diriwayatkan dari Numair Al-Khuzai
seorang yang tsiqah dan salah seorang anak dari sahabat ; “Aku melihat
Rasulallah saw. meletakkan dzira’nya [tangan dari siku sampai keujung
jari] yang kanan diatas pahanya yang kanan sambil mengangkat jari
telunjuknya dan membengkokkannya [mengelukkannya] sedikit”. (HR.Ahmad III:471 ;
Abu Dawud I:260 ; Nasa’i III:39 ; Ibn Khuzaimah dalam shohihnya I:354
dan penshohihannya itu ditetapkan oleh Ibn Hajar dalam Al-Ishabah no.8807
; Ibn Hibban dalam As-Shohih V:273 ; Imam Baihaqi dalam As-Sunan
Al-Kubra II:131 serta perawi lainnya.
Diriwayatkan dari Ibnu Zubair bahwa
“Rasulallah saw. berisyarat dengan telunjuk dan beliau tidak
menggerak-gerakkannya dan pandangan beliau pun tidak melampaui isyaratnya itu”
(HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Hibban). Hadits ini merupakan hadits
yang shohih sebagaimana diterangkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ jilid
III:454 dan oleh sayyid Umar Barokat dalam Faidhul Ilaahil Maalik jilid
1:125.
Diriwayatkan pula dari Abdullah bin
Zubair ra. bahwa “Rasulallah saw.berisyarat dengan jarinya (jari telunjuknya)
jika berdo’a dan tidak menggerak-gerakkannya”. (HR.Abu ‘Awanah dalam shohihnya
II:226 ; Abu Dawud I:260 ; Imam Nasa’i III:38 ; Baihaqi II:132 ; Baihaqi dalam
syarh As-Sunnah III:178 dengan isnad shohih). Ada pun hadits yang menyebutkan Yuharrikuha
(menggerak-gerakkannya) itu tidak kuat (laa tatsbut) dan merupakan
riwayat syadz (yang aneh). Karena hadits mengenai tasyahhud dengan mengisyaratkan
(menunjukkan) telunjuk itu serta meniadakan tahrik adalah riwayat
yang sharih (terang-terangan) dan diriwayatkan oleh sebelas rawi tsiqah
dan kesemuanya tidak menyebutkan adanya tahrik tersebut. Seseorang yang
mengaku bahwa mutsbat (yang mengatakan ada) itu harus didahulukan (muqaddam)
atas yang menafikan/ meniada kannya, maka orang tersebut tidak memahami
ilmu ushul. Karena kaidah ushul itu mempunyai kelengkapan yang tidak
sesuai untuk dipakai dalam masalah itu. Hadits-hadits lainnya yang tidak
menyebutkan adanya menggerak-gerakkan jari telunjuk itu menguatkan
keterangan dari hadits yang menafikannya.
Dari hadits Ibnu Zubair tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa: a).
Sunnah mengangkat telunjuk diketika tasyahhud. b) Nabi tidak
menggerak-gerakkan telunjuknya dan pandangan Nabi terus tertuju kepada
telunjuknya yang sedang berisyarat itu.
Alasan yang mengatakan bahwa Rasulallah saw. tidak mengisyaratkan jemarinya
sejak awal tasyahhud tetapi ketika mengucapkan syahadat, berupa beberapa dalil,
antara lain: Hadits Wail bin Hujr, yang menyebutkan, “Dan Rasulallah
saw. menjadikan (meletakkan) sikunya yang kanan di atas, lalu menggenggam dua
jari dan beliau membuat suatu lingkaran, kemudian mengangkat jari
(telunjuk)nya”. Demikian menurut lafadh Al-Darimi.
Sedangkan menurut lafadh Ibn Hibban dalam Shohihnya V:272, “Dan
beliau (saw.) mengumpulkan ibu jari dengan jari tengah dan mengangkat jari yang
didekatnya seraya berdo’a dengan (menunjukkan)nya”.
Sebagian orang menyangka bahwa tahliq (membuat lingkaran) itu
maksudnya menggerak-gerakkan telunjuk untuk membuat semacam lingkaran.
Padahal sebenarnya yang dimaksud tidak demikian. Membuat lingkaran itu
maksudnya menjadikan jari tengah dan ibu jari semacam lingkaran, lalu telunjuk
diisyaratkan.
Waktu mengangkat jari telunjuk.
Dalam shohih Muslim II:890 meriwayatkan hadits dari Jabir
ra. menyebutkan bahwa “Rasulallah saw., bersabda seraya (berisyarat)
dengan jari telunjuknya. Beliau mengangkat nya kelangit dan melemparkan
(mengisyaratkan kebawah) ke manusia, ‘Allahumma isyhad, Allahumma isyhad (ya
Allah saksikanlah)’. Beliau mengucapkannya tiga kali”.
Telunjuk disebut juga syahid (saksi), sebab jika manusia mengucapkan
syahadat, dia berisyarat dengan telunjuk tersebut. Nabi saw. sendiri jika
mengatakan “Asyhadu” atau “Allahumma isyhad” (suka) berisyarat dengan
telunjuknya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Darimi I:314-315 dan Imam
Baihaqi dalam kitab Ma’rifat As-Sunnah wal Al-Atsar III:51, hadits
shohih.
Dalam sunan Baihaqi II:133 disebutkan:
“Rasulallah saw. melakukan itu ketika men-tauhid-kan Tuhannya yang
Mahamulia dan Mahaluhur”, yakni ketika menetapkan tauhid dengan kata-kata illallah
(hanya Allah) dalam syahadat. Dalam riwayat lain, Imam Baihaqi II:133
dengan sanad yang sama dari Khilaf bin Ima’ bin Ruhdhah Al-Ghiffari
dengan redaksi, “Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. hanya menghendaki dengan
(isyarat) itu adalah (ke) tauhidan (Meng-Esa-kan Allah swt.)”, sedangkan
ungkapan ketauhidan terdapat dalam kalimat syahadat itu.
Al-Hafidh Al-Haitsami mengatakan dalam Mujma’ Al-Zawaid II:140, “Hadits
tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara panjang lebar..”.
Hal ini juga didasarkan kepada hadits Abdullah bin Umar ra.; “Dan (beliau
saw.) mengangkat jari tangan kanannya yang dekat ke ibu jari lalu berdo’a”.
(HR.Imam Muslim dan Imam Baihaqi II:130, serta perawi lainnya).
Do’a yang dimaksud hadits tersebut ialah membaca sholawat kepada Nabi saw.
dan do’a-do’a lainnya sebelum mengucapkan salam.
Imam Al-Baihaqi dalam Syarh As-Sunnah III:177 mengatakan
“Yang dipilih oleh ahli ilmu dari kalangan sahabat dan tabi’in serta
orang-orang setelah mereka adalah berisyarat dengan jari telunjuk (tangan)
kanan ketika mengucapkan tahlil (la ilaaha illallah) dan (mulai)
mengisyaratkannya pada kata illallah….”.
Berdasarkan hadits-hadits shohih tersebut, disimpulkan bahwa waktu untuk
mengangkat dan mengisyaratkan (jari) telunjuk, yaitu ketika mengucapkan kalimat
syahadat yakni Asyhadu an laa ilaaha illallah dan tidak menurunkannya sampai
mengucapkan salam. Para ulama telah melakukan ijtihad dimana tempat yang
tepat untuk mengangkat telunjuk pada kalimat syahadat itu. Apakah sejak
dimulainya tasyahhud atau ditengah-tengahnya karena di dalam hadits-hadits
tersebut tidak ditentukan tempatnya yang tepat.
Menurut madzhab Syafi’i, bahwa tempat mengangkat telunjuk itu
sebaiknya apabila telah sampai pada hamzah illallah, sebagaimana yang
tersebut dalam kitab Zubad karangan
Ibnu Ruslan: “Ketika sampai pada illallah, maka angkatlah jari
telunjukmu untuk mentauhidkan zat yang engkau sembah”.
Menurut madzhab Hanafi, bahwa mengangkat telunjuk itu adalah
diketika Laa ilaaha dan meletakkan telunjuk diketika illallah.
Menurut pendapat ini, mengangkat telunjuk adalah sebagai isyarat kepada penafian
uluhiyyah (ketuhanan) dari yang selain Allah, sedangkan ketika meletakkan
telunjuk adalah sebagai isyarat kepada penetapan uluhiyyah hanya untuk
Allah semata.
Menurut madzhab Hanbali, bahwa mengangkat telunjuk itu adalah
disetiap menyebut lafdhul jalalah pada tasyahhud dan do’a sesudah
tasyahhud.
Menggerak-gerakkan jari makruh hukumnya:
Jumhur ulama Syafi’i memakruhkan menggerak-gerakkan telunjuk waktu
tasyahhud, dalam Hasiyah al-Bajuri jilid 1:220, dikatakan:
“Dan tidaklah boleh seseorang itu menggerak-gerakkan jari telunjuknya.
Apabila digerak-gerakkan, maka makruh hukumnya dan tidak membatalkan
sholat menurut pendapat yang lebih shohih dan dialah yang terpegang karena
gerakan telunjuk itu adalah gerakan yang ringan.
Tetapi menurut satu pendapat; Batal sholat seseorang apabila dia
menggerak-gerakkan telunjuknya itu tiga kali berturut-turut [pendapat
ini bersumber dai Ibnu Ali bin Abi Hurairah sebagaimana tersebut dalam
Al-Majmu’ III/454]. Dan yang jelas bahwa khilaf [perbedaan) tersebut adalah
selama tapak tangannya tidak ikut bergerak. Tetapi jika tapak
tangannya ikut bergerak maka secara pasti batallah shalatnya”.
Imam Nawawi dalam Fatawa-nya halaman 54 dan dalam Syarh
Muhadzdab-nya III/454 menyatakan makruhnya menggerak-gerakkan
telunjuk tersebut. Karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan sia-sia dan
main-main disamping menghilangkan kekhusyuan.
Dalam kitab Bujairimi Minhaj
1/218: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk karena ittiba’
(mengikuti sunnah Nabi). Jika anda berkata; ‘Sesungguhnya telah datang hadits
yang shohih yang menunjuk kepada pentahrikan jari telunjuk dan Imam
Malik pun telah mengambil hadits tersebut. Begitu pula telah beberapa hadits
yang shohih yang menunjuk kepada tidak ditahriknya jari telunjuk.
Maka manakah yang diunggulkan’? Saya menjawab: ‘Diantara yang mendorong Imam
Syafi’i mengambil hadits-hadits yang menunjuk kepada tidak ditahriknya
jari telunjuk adalah karena yang demikian itu dapat mendatangkan ketenangan
yang senantiasa dituntut keberadaannya didalam sholat”.
Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj
II:80: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk diketika mengangkatnya karena ittiba’.
Dan telah shohih hadits yang menunjuk kepada pentahrikannya, maka demi untuk
menggabungkan kedua dalil, dibawalah tahrik itu kepada makna ‘diangkat’.
Terlebih lagi didalam tahrik tersebut ada pendapat yang menganggapnya sebagai
sesuatu yang haram yang dapat membatalkan sholat. Oleh karena itu kami
mengatakan bahwa tahrik dimaksud hukumnya makruh”.
Dalam kitab Mahalli 1/164: “Tidak boleh mentahrik
jari telunjuk karena berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud. Pendapat lain
mengatakan; ‘Sunnah mentahrik jari telunjuk karena berdasarkan hadits riwayat
Baihaqi’, beliau berkata bahwa kedua hadits itu shohih. Dan didahulukannnya
hadits pertama yang menafikan tahrik atas hadits kedua yang menetapkan
tahrik adanya karena adanya beberapa maslahat pada ketiadaan tahrik itu”.
Dalam kitab Syarqawi 1/210:
“Mengangkat telunjuk itu adalah dengan tanpa tahrik. Telah datang pula
hadits yang menunjuk adanya tahrik. Namun dalam kasus ini yang menafi kan
didahulukan dari yang menetapkan. Berbeda dengan kaidah ushul Fiqih
(bahwa yang menetapkan didahulukan dari yang menafikan). Hal ini karena adanya
beberapa maslahat pada ketiadaan mentahrik itu yakni; ‘Bahwa yang
dituntut dalam sholat adalah tidak bergerak karena bergerak-gerak dapat
menghilangkan kekhusyu’an dan juga tahrik itu adalah sejenis perbuatan yang
tidak ada gunanya dan sholat haruslah terpelihara dari hal tersebut selama itu
memungkinkan. Oleh karena itu ada pendapat yang membatalkan shalat karena
melakukan tahrik walau pun pendapat ini dho’if”.
Dalil orang yang menggerak-gerakkan telunjuk:
Orang yang mengatakan sunnah hukumnya menggerak-gerakkan telunjuk berdalil
hadits riwayat Wa’il bin Hujrin yang menerangkan tentang tata cara
sholat Nabi. Riwayat yang dimaksud ialah: “Kemudian Nabi mengangkat jari
telunjuknya maka aku melihat beliau menggerak-gerakkannya sambil berdo’a”.
(HR.Nasa’i) Hadits ini oleh sebagian madzhab Maliki dijadikan dalil untuk mensunnahkan
tahrik yakni menggerak-gerakkan telunjuk itu dengan gerakan yang sederhana,
dimulai sejak awal tasyahhud hingga akhirnya. Dan gerakan tersebut mengarah ke
kiri dan ke kanan, bukan ke atas dan ke bawah (Al-Fighul Islami 1/716).
Mereka juga berdalil dengan hadits dari Ibnu Umar yang
menyatakan bahwa: “Menggerak-gerakkan telunjuk diwaktu shalat dapat
menakut-nakuti setan”. Ini hadits dho’if karena hanya diriwayatkan seorang diri
oleh Muhammad bin Umar al-Waqidi ( Al-Majmu’ III/454 dan Al-Minhajul Mubin
hal.35). Ibn ‘Adi dalam Al-Kamil Fi Al-Dhu’afa VI/2247; “Menggerak-gerakkan
jari (telunjuk) dalam sholat dapat menakut-nakuti setan”
adalah hadits maudhu’ ”.
Atau mereka berdalil dengan ucapan
seorang Syeikh (yang dimaksud Al-Albani) dalam kitabnya Sifat-sifat Sholat
Rasulallah saw. ,khususnya halaman 158-159, mengemukakan sebuah hadits;
“Beliau (saw.) mengangkat jarinya (dan) menggerak-gerakkannya seraya
berdo’a. Beliau bersabda; ‘Itu yakni jari sungguh lebih berat atau lebih
keras bagi setan daripada besi’ ”.
Padahal redaksi hadits yang sebenarnya tidak seperti yang disebutkan oleh
Syeikh tersebut. Syeikh ini telah menyusun dua hadits yang berbeda dengan
menyusupkan kata-kata yang sebenarnya bukan dari hadits, supaya dia mencapai
kesimpulan yang dikehendakinya. Redaksi hadits yang sebenarnya ialah seperti
yang terdapat dalam Al-Musnad II:119, Al-Du’a karangan Imam Thabarani
II:1087, Al-Bazzar dalam Kasyf Al-Atsar I:272 dan kitab hadits lainnya
yang berbunyi: “Diriwayatkan dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar ra., jika
(melakukan) sholat ber-isyarat dengan (salah satu) jarinya lalu diikuti
oleh matanya, seraya berkata, Rasullah saw. bersabda; ‘Sungguh itu lebih berat
bagi setan daripada besi’ “. Jadi dalam hadits tersebut tidak disebutkan
kata-kata Yuharrikuha (menggerak-gerakkannya) tetapi hanya disebutkan ‘berisyarat
dengan jarinya’.
Tetapi Syeikh ini telah berani melakukan penyelewengan terhadap hadits
(tahrif) sehingga dia mendapatkan apa yang dikehendaki meski pun dengan tadlis
(menipu) dan tablis (menimbulkan keraguan pada umat Islam). Al-Bazzar
berkata; “Katsir bin Zaid meriwayatkan secara sendirian (tafarrud) dari Nafi’,
dan tidak ada riwayat (yang diriwayatkan Katsir ini) dari Nafi’ kecuali hadits
ini”. Syeikh ini sendiri di kitab Shohihah-nya IV:328 mengatakan; ‘Saya
berkata, Katsir bin Zaid adalah Al-Aslami yang dha’if atau lemah’!
Hadits yang menyebutkan, ‘Sungguh ia (jari) itu lebih berat bagi
setan daripada besi’, sebenarnya tidak shohih dan ciri kelemahannya itu
setan atau iblis itu tidak bodoh sampai mau meletakkan kepalanya dibawah jari
orang yang menggerak-gerakkannya sehingga setan itu terpukul dan terpental.
Orang yang mengatakan bahwa ungkapan semacam itu dhahir maka dia salah
dan tidak memahami ta’wil. Sedangkan riwayat Abdullah bin Zubair yang memuat
kata-kata La Yuharrikuha (tidak menggerak-gerakkannya) itu adalah tsabit
(kuat) tidak dinilai syadz dan hadits shohih lainnya pun
menguatkannya seperti hadits riwayat Muslim dari Abdullah bin Umar ra. dan
lain-lain.
- Para Imam (Mujtahidin) pun tidak mengamalkan hadits yang mengisyaratkan tahrik
itu, termasuk ulama dahulu dari kalangan Imam Malik (Malikiyyah) sekali pun.
Orang yang melakukan tahrik itu bukan dari madzhab Malikiyyah dan bukan juga
yang lainnya. Al-Hafidh Ibn Al-‘Arabi Al-Maliki dalam ‘Aridhat Al-Ahwadzi
Syarh Turmduzi II/85 menyatakan; “Jauhilah olehmu menggerak-gerakkan
jarimu dalam tasyahhud, dan janganlah berpaling keriwayat Al-‘Uthbiyyah,
karena riwayat tersebut baliyyah (mengandung bencana)”.
- Al-Hafidh Ibn Al-Hajib Al-Maliki dalam Mukhtashar Fiqh-nya
mengatakan bahwa yang masyhur dalam madzhab Imam Malik adalah tidak
menggerakkan telunjuk yang di-isyarat kan itu.
- Tiga imam madzhab lainnya yakni Hanafi, Syafi’i dan Hanbali tidak memakai
dhohir hadits Wa’il bin Hujr tersebut sehingga dapat kita jumpai fatwa
beliau bertiga tidak mensunnahkan tahrik. Hal ini disebabkan karena
mensunnahkan tahrik berarti menggugurkan hadits Ibnu Zubair dan hadits-hadits
lainnya yang menunjukkan Nabi saw. tidak menggerak-gerakkan telunjuk.
- Imam Baihaqi yang bermadzhab Syafi’i memberi komentar terhadap hadits
Wa’il bin Hujr sebagai berikut : “Terdapat kemungkinan bahwa yang dimaksud
dengan tahrik disitu adalah mengangkat jari telunjuk, bukan
menggerak-gerakkannya secara berulang sehingga dengan demikian tidaklah
bertentangan dengan hadits Ibnu Zubair”.
Kesimpulan Imam Baihaqi adalah hasil dari penerapan metode penggabungan
dua hadits yang berbeda karena hal tersebut memang memungkinkan. Kalau
mengikuti komentar Imam Baihaqi ini, memang semulanya jari telunjuk itu diam
dan ketika sampai pada hamzah illallah ia kita angkat, maka itu
menunjukkan adanya penggerakan jari telunjuk tersebut, tetapi bukan
digerak-gerakkan berulang-ulang sebagaimana pendapat sebagian orang.
Wallahu a’lam.
(Makalah 'Tidak mengerak-gerakkan jari telunjuk ketika Tasyahhud' ini,
kami susun secara bebas dari kitab Shalat Bersama Nabi saw. karya
Hasan Bin ‘Ali As-Saqqaf ,terbitan Dar al-Imam Nawawi, Oman,Jordania] cet.
pertama, 1993 hal.187, diterjemahkan oleh Drs.Tarmana Ahmad Qosim dan
dari buku Argumentasi ulama Syafi’iyah oleh Ustadz H.Mujiburrahman).
7.14. Shalat Tarawih
Shalat tarawih adalah shalat sunnah yang dilaksanakan kaum muslimin ,
baik kaum pria maupun wanita, setelah shalat Isya’ ,yang ketika itu
belum dikenal dengan nama shalat tarawih, pada bulan Ramadhan.
Rasulallah saw sendiri melakukannya serta menganjurkan umatnya untuk
menunaikannya juga. Demikian pula yang dilakukan oleh para sahabat Nabi dan
umat Islam generasi berikutnya. Dinamakan shalat tarawih karena shalat tersebut
cukup lama dan setiap selesai melakukan empat rakaat pelakunya istirahat dulu
kemudian melanjutkan shalatnya. Itulah sebabnya dia terkenal dengan sebutan
shalat tarawih.
Ibnu Manzur dalam Lisanul Arab berkata: “tarawih adalah jama’ dari
tarwihah, berasal dari kata roohah. Sama dengan tasliimah yang berasal
dari kata salam. Shalat dibulan ramadhan itu disebut tarawih, karena
orang-orang pada istirahat dulu setelah selesai mengerjakan empat rakaat. Ibnu
Manzur selanjutnya berkata: Roohah yang berarti istirahat adalah lawan kata
dari ta’ab yang berarti letih atau capek. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa
Nabi saw bersabda kepada Bilal: ’istirahatkanlah kami wahai Bilal’. Artinya
kumandangkanlah adzan shalat, maka aku akan dapat istirahat dengan jalan
menunaikannya”.
Disini Nabi saw menyatakan bahwa dirinya baru dapat merasa istirahat
apabila beliau menunaikan shalat, karena didalam shalat terdapat munajat
(komunikasi rahasia) dengan Allah swt. Karena itulah Nabi kita saw bersabda:
“Ketenangan hatiku dijadikan pada waktu shalat”.
7.15.
Dalil-Dalil
Yang Berkaitan Dengan Shalat Dalam Bulan Ramadhan
Hadits riwayat imam Muslim dari Abu Hurairah ra , berkata: “Rasulallah saw
menggemarkan ibadah dibulan ramadhan, akan tetapi beliau tidak menganjurkannya
dengan keras. Beliau berkata: ‘Barangsiapa banyak beribadah dibulan ramadhan
dengan iman dan ikhlas, maka diampunkan baginya dosa-dosanya yang terdahulu’”.
Maksud hadits ini ialah siapa yang menghidupkan malam-malam ramadhan dengan
shalat, dzikir dan membaca Al-Qur’an berdasarkan iman dan ikhlas, maka
diampunkan dosa-dosanya yang telah lalu yakni dosa-dosa kecil.
Ibnu Qudomah dalam kitabnya Al-Mugni mengatakan: “Shalat tarawih itu
hukumnya sunnat muakkadah dan orang pertama yang melaksanakannya adalah
Rasulallah saw”.
Berkaitan dengan ini terdapat sebuah hadits dimana Aisyah ra.berkata: “Pada
suatu malam Nabi shalat dimasjid, maka para sahabat pun mengikuti beliau
shalat. Kemudian beliau shalat dimalam berikutnya, maka para sahabat (yang akan
ikut shalat) menjadi semakin banyak. Selanjutnya pada malam ketiga atau keempat
para sahabat berkumpul (dimasjid untuk shalat bersama beliau saw). Namun
ternyata Rasulallah saw, tidak keluar menemui mereka. Keesokan harinya
beliaupun bersabda: ‘Saya telah mengetahui apa yang kalian lakukan tadi malam.
Tidak ada yang menghalangiku keluar menemui kalian selain dari kekhawatiranku
kalau-kalau shalat itu diwajibkan atasmu”. Yang demikian itu terjadi dibulan
ramadhan. (HR Muslim).
7.16. Jumlah Rakaat Shalat Tarawih
Shalat tarawih ini termasuk sunnah muakkadah (yang ditekankan)
sebagaimana yang telah ditunjukkan dalam beberapa hadits dan jumlah rakaatnya
adalah 20 rakaat tanpa witir. Apabila dengan witir maka jadilah ia 23 rakaat.
Demikianlah sunnah yang telah disepakati oleh umat Islam baik salaf maupun
khalaf, sejak zamannya khalifah Umar bin Khattab hingga zaman kita sekarang. Dalam hal ini tidak ada perbedaan
pendapat antara ahli fiqih imam madzhab yang empat, kecuali imam Malik.
Dalam riwayat imam Malik yang kedua dimana beliau
berpendapat bahwa shalat tarawih itu adalah 20 rakaat lebih hingga 36 rakaat,
sesuai dengan amalan penduduk Madinah. Nafi’ pernah meriwayatkan bahwa imam
Malik berkata: “Aku
mendapatkan orang-orang melakukan shalat tarawih dengan 39 rakaat. Sudah
termasuk diantaranya 3 rakaat shalat witir”. Namun demikian riwayat yang
masyhur dari beliau adalah shalat tarawih itu 20 rakaat. Dan riwayat
dari beliau inilah yang disepakati oleh mayoritas ulama baik dari Syafi’yah,
Hambaliyah maupun Hanafiyah bahwa rakaat shalat tarawih adalah 20 rakaat
ditambah 3 rakaat witir.
Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa sebabnya penduduk Madinah
melakukan shalat tarawih 36 rakaat hanyalah karena mereka ingin mengimbangi
shalat tarawihnya penduduk Mekkah. Penduduk Mekkah selalu melakukan tawaf 7
putaran, setiap selesai satu tarwihah (yakni 4rakaat atau 2 kali salam).
Penduduk Mekkah dalam setiap tarawih (setiap 4 rakaat tarawih) itu melakukan 4
kali tawaf sampai tarwihah yang keempat. Adapun setelah tarwihah yang kelima
yakni yang terakhir, mereka tidak melakukan tawaf lagi tetapi langsung shalat
witir. Oleh karenanya penduduk Madinah mengganti satu tawaf yang tidak
bisa mereka lakukan di Madinah itu dengan tarawih 4 rakaat, sehingga tambahan
shalat tarawih mereka ini menjadi 16 rakaat (4x 4), dengan demikian jumlah
keseluruhan rakaat tarawih mereka menjadi 20 ditambah 16 yakni 36 rakaat.
Namun ditekankan sekali lagi bahwa apa yang yang dilakukan oleh para
sahabat Nabi adalah lebih utama dan lebih berhak untuk diikuti. Begitu juga
zaman sekarang di Saudi Arabia ,baik di Mekkah atau di Madinah atau ditempat
lainnya, shalat tarawih 20 rakaat ditambah 3 shalat witir.
7.17. Dalil-Dalil Para Imam Mujtahid
Shalat 20 Rakaat
Dalil imam-imam madzhab yang empat, sehingga menfatwakan bahwa rakaat
shalat tarawih itu 20 adalah sebagai berikut:
– Hadits riwayat Baihaqi dan selainnya dengan isnad shorih dan shohih dari
Sa’ib bin Yazid, seorang sahabat Nabi yang terkenal dimana beliau berkata:
“Para sahabat melaku- kan shalat tarawih dimasa Umar bin Khattab ra pada bulan
ramadhan dengan 20 rakaat”.
– Hadits riwayat imam Malik dalam Al-Muwattho dan juga riwayat imam Baihaqi
dari Yazid bin Ruman, beliau berkata: “Para sahabat melakukan ibadah malam
dizamannya Umar bin Khattab ra dengan 23 rakaat”. Yakni 20 rakaat tarawih dan 3
rakaat witir.
– Hadits riwayat Al-Hasan: “Bahwasanya Umar ra.mengumpulkan orang-orang
dibelakang Ubay bin Ka’ab lalu beliau mengimami mereka shalat tarawih 20
rakaat. Beliau beserta segenap jamaah tidak melakukan qunut, kecuali pada
pertengahan ramadhan yang kedua. Apabila sepuluh yang terakhir dari bulan
ramadhan telah tiba, maka beliau tidak keluar (kemasjid). Beliau melakukan
shalat dirumah, sehingga orang-orang pada berkata: ‘Ubay bin Ka’ab telah
melarikan diri’ “.
– Imam Qudomah didalam kitabnya Al-Mughni mengatakan bahwa telah
terjadi ijma’ para ulama mujtahid mengenai shalat tarawih 20 rakaat. Beliau
menolak imam Malik yang mengatakan didalam riwayatnya yang kedua, bahwa shalat
tarawih itu 36 rakaat. Beliau berkata: ‘Qiyamullail dibulan ramadhan yakni shalat
tarawih adalah 20 rakaat dan hukumnya sunnat muakkadah’. Beliau juga berkata:
“Pendapat yang terpilih menurut Abu Abdillah yakni Ahmad bin Hambal adalah
bahwa shalat tarawih itu 20 rakaat. Inilah juga pendapatnya Imam Tsauri,
imam Abu Hanifah dan imam Syafi’i. Adapun imam Malik (dalam riwayatnya yang
kedua) berkata: ‘bahwa tarawih itu 36 rakaat. Hal ini karena berdasar kan
kepada amalan penduduk Madinah’ “.
– Syeikh Ali as-Shobuni berkata bahwa yang masyhur didalam madzhab
Maliki adalah shalat tarawih 20 rakaat. Berdasarkan ini, maka sepakatlah para
imam Mujtahidin atas ke utamaan dari tarawih 20 rakaat.
– Dalam kitab Aqrobul Masalik ‘ala Madzhabil imammi Malik tulisan
Syeikh Dardiri jilid 1/552 dikatakan bahwa shalat tarawih dibulan ramadhan itu
adalah 20 rakaat sesudah shalat isya’ dengan melakukan salam setiap selesai dua
rakaat.
– Didalam kitab ‘Mukhtashar al-Muzanni’ disebutkan bahwasanya
imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Aku melihat penduduk Madinah melakukan
shalat tarawih sebanyak 39 rakaat. Namun demikian yang lebih saya sukai adalah
20 rakaat, karena itulah yang diriwayatkan oleh sahabat Umar. Begitu juga
penduduk Mekkah, selalu melakukan shalat tarawih 20 rakaat dengan 3
witir”.
– Imam Turmudzi dalam kitabnya ‘Sunan Turmudzi’ berkata: “Kebanyakan
ahli ilmu berpegang kepada apa yang diriwayatkan oleh Umar, Ali serta yang
lainnya daripada sahabat sahabat Nabi saw, bahwa shalat tarawih itu 20 rakaat.
Inilah pendapat Sufyan Tsauri, Ibnul Mubarak dan imam Syafi’i. Berkata imam
Syafi’i: ‘Seperti inilah yang saya dapatkan di negeri kita Mekkah, dimana
penduduknya melakukan shalat tarawih 20 rakaat’”.
– Berkata Ibnu Rusdi dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid : “Imam Abu
Hanifah, Imam Syafi’i, imam Ahmad dan juga imam Malik –dalam salah satu
pendapatnya– memilih shalat tarawih yang 20 rakaat selain witir”.
– Berkata Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu III/526: “Menurut
madzhab kita, shalat tarawih itu adalah 20 rakaat dengan sepuluh kali salam selain
witir. Ini berarti ada lima tarwihah, karena satu tarwihah mengandung empat
rakaat dengan dua kali salam. Inilah yang dikatakan oleh Abu Hanifah beserta
para sahabatnya. Begitu juga imam Ahmad, Daud dan yang selainnya. Qadhi Iyadh
juga telah menukil hal yang sama dari mayoritas ulama”.
– Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Fatawa mengatakan: “Telah
tetap bahwa Ubay bin Ka’ab melakukan shalat tarawih bersama orang-orang dibulan
Ramadhan 20 rakaat di tambah 3 rakaat witir. Maka berpendapatlah kebanyakan
ulama bahwa itulah yang sunnah, karena Ubay bin Ka’ab melaksanakannya dihadapan
orang-orang Muhajirin dan Anshar dan tidak ada seorangpun yang
mengingkarinya”.
– Didalam kitab Majmu’atul Fataawa an-Najdiyah, syeikh Abdullah
Muhamad bin Abdul Wahab berkata ketika menjawab pertanyaan tentang jumlah
rakaat shalat tarawih bahwa Umar ra ketika mengumpulkan orang-orang dibelakang
Ubay bin Ka’ab shalat mereka itu adalah 20 rakaat”.
Dengan adanya sekian banyak kutipan tentang rakaat shalat tarawih, baik itu
dari ulama salaf maupun khalaf, nyatalah bahwa apa yang dilakukan oleh sebagian
besar kaum muslimin sekarang ini dan yang hak dan benar yakni tarawih 20
rakaat. Itulah yang dikuatkan dengan amalan para sahabat (tokoh dari para
salaf) Nabi saw dan kesepakatan para ulama mujtahidin yang empat itu. Dengan
demikian orang yang mencela dan membid’ahkan shalat tarawih sejumlah 20 rakaat,
sama halnya mereka mencela para sahabat dan para mujtahidin yang telah kami
kemukakan tadi.
7.18. Dalil-Dalil Orang Yang
Membantah Shalat Tarawih 20 Rakaat
Mereka yang tidak menyetujui shalat tarawih 20 rakaat,
beralasan sebuah hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari siti Aisyah ra, berikut
ini:
“Nabi saw tidak pernah shalat malam melebihi 11 rakaat
baik dibulan ramadhan maupun selainnya”. Berdasarkan hadits ini, menurut mereka,
shalat tarawih itu hanyalah 8 rakaat ditambah 3 rakaat witir. Adapun
hadits-hadits lain yang menunjukkan bahwa shalat tarawih itu 20 rakaat –seperti
yang telah dikemukakan– tidak pernah mereka perdulikan, bahkan mereka
mengatakan sebagai hadits-hadits dhaif.
Jawaban
Apa yang diriwayatkan oleh siti Aisyah itu adalah
shalat Nabi saw yang beliau lihat. Hal ini tentu saja tidak menutup kemungkinan
bahwa Nabi saw pernah melakukan shalat yang lebih dari 11 rakaat, karena Aisyah
ra hanyalah salah satu dari sembilan isteri Nabi saw. Dan tidaklah mungkin Nabi
kita saw disetiap malamnya tidur ditempat siti Aisyah, sehingga hal itu bisa
ditetapkan sebagai hukum yang pasti. Aisyah ra hanyalah menceriterakan kepada
kita tentang shalat Nabi saw yang beliau lihat.
Buktinya juga bahwa siti Aisyah pernah bersaksi
bahwa beliau sama sekali tidak pernah menyaksikan Nabi saw melakukan shalat
dhuha, sebagaimana yang tersebut dalam shahih Muslim hadits dari Syihab
dari Urwah dari Aisyah dimana beliau berkata: “Saya sama sekali tidak pernah
menyaksikan Rasulallah saw melakukan shalat dhuha –dan saya (Aisyah ra) sendiri
melakukannya–. Sesungguhnya Rasulallah saw kadangkala meninggalkan satu amal
perbuatan walau sebenarnya beliau ingin melakukannya. Hal ini semata-mata
karena beliau khawatir orang-orang akan melakukannya, lalu diwajibkan kepada
mereka oleh Allah swt”. Seperti ini kesaksian siti Aisyah dalam hal shalat
dhuha.
- Padahal yang telah ditetapkan dalam beberapa hadits
Nabi saw adalah bahwa beliau saw terus menerus melakukan shalat
dhuha dan berwasiat kepada Abu Hurairah ra untuk tidak meninggalkannya. Hal ini
tersebut dalam hadits riwayat imam Muslim dari Abi Hurairah beliau berkata:
“Kekasihku tercinta (yakni Nabi Muhammad saw) berpesan
kepadaku dengan tiga hal ,aku tidak akan meninggalkannya selama hidupku, yakni
puasa tiga hari setiap bulan, shalat dhuha dan tidak tidur sebelum shalat witir”.
- Diriwayatkan juga dalam shahih Muslim dari Abdurrahman
bin Abi Laila , beliau berkata: “Tidak seorangpun yang memberitahu saya
bahwa dia melihat Nabi saw shalat dhuha kecuali Ummu Hani. Sesungguhnya dia
telah menceriterakan bahwa Nabi saw masuk kerumahnya pada hari pembukaan kota
Mekkah lalu beliau shalat delapan rakaat. Saya sama sekali tidak pernah melihat
beliau melakukan shalat yang lebih ringan dari shalat ini, hanya saja beliau
tetap menyempurnakan ruku dan sujudnya”.
Dengan adanya riwayat diatas dan riwayat lainnya yang
tidak tercantum disini masalah shalat dhuha, maka sesungguhnya perkataan siti
Aisyah bahwa Nabi saw tidak pernah shalat lebih dari 11 rakaat pada bulan
ramadhan maupun selainnya, adalah menurut yang Aisyah ra ketahui dirumahnya.
Dan hal itu tidaklah menutup kemungkinan bahwa Nabi saw melakukan shalat yang
lebih banyak dari itu ditempat istei-isteri beliau yang lain. Sebagaimana hal
itu ditetapkan dari hadits riwayat Ibnu Abbas, Zaid dan sahabat-sahabat yan
lain, sehingga Imam Ahmad bin Hambal meriwayatkan dalam tambahan
musnadnya dari sayidina Ali ra, beliau berkata: “Rasulallah saw pernah
melakukan shalat malam sebanyak 16 rakaat selain shalat yang
difardhukan”.
Begitu juga apa yang diriwayatkan oleh Aisyah ra itu
bertentangan dengan riwayat imam Muslim dalam kitab shahihnya dari Ibnu Abbas
ra, dimana beliau berkata: “Rasulallah saw pernah melakukan shalat malam
sebanyak 13 rakaat”. Dalam riwayatnya yang shohih ini ternyata
Nabi saw pernah melakukan shalat malam melebihi 11 rakaat.
Dan bertentangan juga dengan riwayat Muslim dari Zaid
bin Khalid Al-Juhani, bahwasanya beliau berkata : “Demi Allah, saya
benar-benar menyaksikan dengan seksama shalat Rasulallah saw pada suatu malam.
Ternyata beliau shalat dua rakaat yang ringan, kemudian dua rakaat
lagi yang panjang, dua rakaat lagi yang panjang, dua rakaat lagi
yang panjang, kemudian dua rakaat yang lebih panjang dari sebelumnya,
kemudian dua rakaat yang lebih panjang dari sebelumnya. Lalu Zaid bin
Khalid Al-Juhani menyebutkan hadits tersebut hingga beliau berkata: ‘Kemudian
Rasulallah shalat witir’, maka yang demikian itu berjumlah 13 rakaat”.
Karena itulah Al-Qodhi ‘Iyadh berkata: Para
ulama berpendapat bahwa dalam hadits-hadits ini masing-masing dari Ibnu Abbas,
Zaid dan ‘Aisyah ra hanyalah menceriterakan apa yang beliau lihat dari
Rasulallah saw dan tidaklah ada perselisihan bahwa shalat malam (termasuk
tarawih) tidak ada ketentuan jumlah rakaatnya secara pasti, sehingga
(orang)tidak boleh ditambah dan dikurangi. Dan bahwasanya shalat malam
itu termasuk diantara perbuatan taat ita kepada Allah swt yang apabila
bertambah jumlahnya, maka ber- tambah pula pahalanya.
Al-Hafiz Ibnul Iraqi berkata dalam kitabnya Tharhut
Tatsrib : “Para ulama telah sepakat bahwa shalat malam itu tidak memiliki
ketentuan rakaat yang pasti. Akan tetapi riwayat-riwayat yang berbeda itu
adalah dalam hal berapa rakaat yang dikerjakan oleh Nabi saw”.
Sebagai bukti shalat malam itu tidak memiliki batasan
rakaat yang tertentu adalah hadits marfu’ riwayat Ibnu Hibban dari Abu Hurairah
ra: “Lakukanlah shalat witir sebanyak lima, tujuh, sembilan atau sebelas rakaat
atau yang lebih banyak dari itu”. Hadits ini disahihkan oleh Ibnul Iraqi sebagaimana
tersebut dalam kitab Nailul Authar dan Tuhfatuz Zaakirin.
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Fatawa jilid 1,
berkata:“Sesungguhnya sahabat Ubay bin Ka’ab melakukan shalat tarawih bersama
orang-orang dibulan ramadhan dengan 20 rakaat ditambah witir 3 rakaat. Maka
banyaklah para ulama berpendapat bahwa itulah yang sunnah, karena Ubay bin
Ka’ab melakukannya ditengah-tengah orang Muhajirin dan Anshor dan tidak
seorangpun dari mereka yang mengingkarinya. Ulama yang lain memandang baik jika
dilakukan 39 rakaat dengan alasan bahwa itulah amalan penduduk Madinah sejak
dulu. Kelompok ulama yang lain berpendapat bahwa shalat tarawih itu 13 rakaat
tetapi mereka kurang mantap dengan pendapatnya ini, lantaran sunnah khulafa’ur
Rosyidin dan yang dilakukan oleh kaum muslimin menetapkan 23 rakaat (20 rakaat
tarawih dan 3 rakaat witir). Yang benar bahwa semua pendapat itu baik,
sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ahmad dan juga karena ibadah malam
dibulan ramadhan itu tidak ditentukan jumlah rakaatnya. Dengan demikian, maka
memperbanyak jumlah rakaat atau menguranginya tergantung pada lama atau
sebentarnya ketika berdiri. Sesungguhnya Nabi saw melamakan waktu berdiri
dalam shalat malam, hingga ada dijelaskan dalam hadits yang sahih bahwa beliau
dalam satu rakaat membaca surat Al-Baqarah, surat Ali Imran dan surat An-Nisa.
Maka lamanya berdiri itu sudah mencukupi dari memperbanyak rakaat. Sedangkan
Ubay bin Ka’ab ketika beliau shalat tarawih dengan kaum muslimin dalam satu
jamaah dimasa Umar bin Khattab, beliau shalat dengan 20 rakaat, karena lamanya
berdiri bisa memberatkan jamaah yang lain. Maka disitu melipat-gandakan jumlah
rakaat adalah sebagai ganti lamanya berdiri. Bahkan ada sebagian ulama salaf
yang melakukan shalat tarawih 40 rakaat”.
Beginilah dalil-dalil yang dikemukakan mayoritas kaum
muslimin, yang melakukan shalat tarawih 20 rakaat dan 3 rakaat witir. Pendapat
para ulama –yang dikemukakan tadi– telah membuktikan betapa salahnya tuduhan
orang-orang yang tidak menyetujuinya, dimana mereka menuduh bahwa siapapun yang
melakukan shalat tarawih melebihi 11 rakaat adalah pelaku Bid’ah yang
sesat dan dia sama halnya melakukan shalat dhuhur 5 rakaat.
Sebagaimana sebagian dari mereka menulis, berikut ini: ‘Bukankah orang
yang menambah shalat tarawih hingga 20 rakaat itu sama dengan orang yang
melakukan shalat bertentangan dengan shalatnya Nabi saw, yang telah dinukil
dari beliau melalui sanad-sanadnya yang sahih. Maka dia seperti orang yang
shalat dhuhur 5 rakaat dan shalat sunnah fajar 4 rakaat. Dia juga seperti orang
yang shalat dengan 2 kali ruku dan beberapa kali sujud (didalam tiap
rakaatnya)”.
Bukankah ucapan seperti ini adalah kejahilan dan
kesalahan yang sudah jelas, karena bagaimana mungkin mereka –yang selalu
mengaku diri alim dan punya intelektualitas yang tinggi dalam berbagai masalah
agama– sampai bisa meng-qiyaskan shalat fardhu dengan shalat sunnah dan
penambahan shalat tarawih dibulan ramadhan sama seperti penambahan shalat
fardhu. Orang awam saja akan bisa membedakan antara orang yang shalat dhuha 4
rakaat dengan orang yang shalat maghrib 5 rakaat. Dia akan mengatakan bahwa
shalat dhuha adalah sunnah, boleh dikerjakan melebihi 4 rakaat, sementara yang
maghrib adalah shalat wajib, yang tidak boleh dikerjakan melebihi 3 rakaat.
Orang awam juga akan bisa membedakan antara meninggalkan shalat isya dengan
meninggalkan shalat tarawih. Ia akan mengatakan bahwa meninggalka shalat isya
adalah perbuatan dosa karena itu berarti telah meninggalkan shalat fardhu,
sementara meninggalkan shalat tarawih bukanlah perbuatan dosa karena ia
hanyalah shalat sunnat.Wallahu a’lam. Semoga mereka yang tidak suka shalat
tarawih 20 rakaat atau tidak suka orang melakukan shalat tarawih, bisa
merenungkan hal ini…..Amin.
7.19. Mencukur Jenggot Atau
Memelihara Jenggot
Ada diantara kaum muslimin yang suka memelihara
jenggot sering mengeluarkan pernyataan bahwa mencukur jenggot itu hukumnya
haram dan menyerupai orang-orang musyrik. Selanjutnya mereka berkata bahwa
Rasulallah saw dan para sahabatnya tidak pernah mencukur jenggot. Mereka juga
kurang senang bila bergaul dengan orang yang tidak memelihara jenggot.
Dalam kitab Yas’alunaka fid-din wal hayat jilid
1/23 karangan Dhr.Ahmad Syarbashi terdapat sebuah pertanyaan dari kelompok
pemelihara jenggot yang ditujukan kepada seorang Syeikh, yang sedang mengajar
disebuah masjid. Pertanyaannya adalah: “Sahkah shalat seseorang yang bermakmum
kepada imam yang mencukur jenggot”? Syeikh tersebut menjawab:”Ya, sah shalatnya
itu”. Mendengar jawaban tersebut, sang penanya bereaksi keras, sambil berkata:
“Tidak!, shalat orang tersebut batal”. Maka terjadilah perdebatan yang sengit.
Orang yang mengatakan bahwa batal shalat dibelakang
imam yang tidak memelihara jenggot berarti dia telah membatalkan shalat
jutaan muslimin –baik yang berada dinegara-negara Arab (termasuk saudi
arabia) maupun dinegara lainnya– yang mencukur atau tidak memelihara
jenggot. Sehingga berlakulah hukum bahwa mereka itu tidak melakukan shalat,
karena yang batal sama dengan tidak ada. Begitu juga kalau kita membaca hadits
Rasulallah saw bahwa syarat-syarat untuk menjadi imam tidak disebutkan
harus memelihara jenggot atau paling panjang jenggotnya. Dari penuturan penanya
diatas tersebut, terkadang-kadang kelompok pemelihara jenggot itu sangat
keras dan cenderung melecehkan saudara-saudara mereka yang tidak memelihara
jenggot dengan tuduhan ‘tidak mau melaksanakan sunnah’ atau dituduh telah
melakukan bid’ah sesat. Padahal masalah furu’ tidaklah pantas dijadikan sebagai
materi perdebatan sengit, yang sampai memutuskan silatorrohmi diantara
kita.
Hadits dari Ibnu Mas’ud yang berkata bahwa Nabi saw
bersabda: “Hendaklah yang menjadi imam itu adalah orang yang paling
pandai membaca Al-Qur’an. Apabila mereka sama-sama pandai dalam membaca
Al-Qur’an, maka hendaklah yang paling mengerti tentang sunnah. Apabila mereka
sama-sama mengerti tentang sunnah, maka hendaklah yang terlebih dulu melakukan
hijrah. Apabila mereka sama-sama terdahulu melakukan hijrah, maka hendaklah
yang paling tua umurnya. Dan janganlah seseorang mengimami orang lain yang
sedang berada ditempat kekuasaannya dan jangan pula dia duduk dirumahnya diatas
tempat yang dihormati kecuali dengan izinnya” .Dalam hadits ini jelas
menyebutkan ciri-ciri orang yang pantes menjadi imam, tanpa penyebutan yang
memelihara jenggot.
7.20. Fatwa-Fatwa Para Ulama Yang
Berkaitan Dengan Memelihara Jenggot
Sebagian besar ulama memakruhkan, sebagian lagi
membolehkannya (lihat Ibn ‘Abd al-Barr, al-Tamhîd,
juz 24, hal. 145). Salah seorang ulama yang membolehkan memotong sebagian
jenggot adalah Imam Malik, sedangkan yang memakruhkan adalah Qadliy
‘Iyadh. Memelihara jenggot, semua ulama sepakat bahkan mayoritas kaum
muslimin secara umum mengakui kebaikannya, karena sebagai sunnah Rasulallah saw
dan para sahabatnya. Dikalangan ulama, hukum mencukur jenggot itu terdapat
khilaf. Untuk menarik hukum mencukur jenggot dan memelihara jenggot harus
diketengahkan terlebih dahulu hadits-hadits yang berbicara tentang pemeliharaan
jenggot dan pemangkasan jenggot.
Berikut ini adalah riwayat-riwayat yang berbicara
tentang masalah pemeliharaan jenggot:
– Pada jilid pertama dari Hasyiah kitab Fathul
Mun’im karangan Syeikh Muhamad Habibullah As-Syanqithi ketika membicarakan
hadits ‘Bedakanlah dirimu dengan orang-orang musyrik, cukur kumis dan pelihara
(lebatkan) jenggot, –dalam satu riwayat– dan tinggalkan jenggot itu’,
beliau berkata: “Tatkala bencana mencukur jenggot telah merajalela
diseluruh negeri belahan timur, sampai-sampai mayoritas umat Islam ikut-ikutan
mencukur jenggot karena takut ditertawakan orang. Hal itu telah menjadi kebiasaan
mereka, maka akupun melakukan pembahasan yang teliti dari sumber aslinya dan
sebagai kesimpulanku adalah bolehnya mencukur jenggot itu.
Sehingga bagi sebagian ulama ada alternatif lain selain dari melakukan
perbuatan haram. Aku berpatokan pada sebuah kaidah ushul dimana bentuk kata af’il
menurut pendapat mayoritas adalah lil-wujub (menunjuk hukum wajib)
dan menurut pendapat lainnya adalah lin-nadb (menunjuk hukum sunnah).
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya itu ditafshil. Kalau datangnya
dari Allah didalam Al-Qur’an, maka dia lil-wujub. Dan jika dari Nabi saw
sebagaimana pada hadits tersebut –yang memiliki dua riwayat, satu dengan aufiruu
dan satunya lagi dengan a’fuu– maka dia lin-nadb. Pengarang kitab
Shoohibu Marooqis Shu’ud fii ‘ilmil ushuul ketika membicarakan bentuk
kata af’al mengisyaratkan kepada pendapat-pendapat ini. Beliau berkata :
‘Bentuk kata af’il -menurut mayoritas ulama adalah lil-wujub.
Satu pendapat mengatakan lin-nadb atau lil-mathlub. Pendapat yang
lain mengatakan bahwa kalau perintah itu dari Allah, maka dia lil-wujub
sedangkan kalau dari Rasul, maka dia lin-nadb’”.
– Dalam kitab Fiqih Sunnah terjemahan indonesia oleh
Sayid Sabiq ,cetakan pertama tahun 1973,jilid 1 bab sunnah-sunnah dan fitrah
dari halaman 73 sampai dengan halaman 83, disitu antara lain disebutkan yang
termasuk sebagai sunnah dan fitrah ialah; memotong kuku,
menggunting bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memendekkan kumis atau
memanjangkannya dan membiarkan jenggot dan memangkasnya tidak sampai jadi lebat.
Dibuku ini juga ditulis, bahwa memendekkan kumis atau memanjangkannya,
kedua-duanya berdasarkan riwayat yang sah, umpamanya dalam hadits Ibnu Umar
disebutkan sebagai berikut: “Bahwa Nabi telah bersabda: ‘Lainilah kaum
musyrikin, melebatkan jenggot dan memanjangkan kumis’ “.
Sementara dalam hadits Abu Hurairah ra dikatakan: Telah bersabda Nabi saw:
“Lima perkara berupa fithrah, yaitu:‘memotong bulu kemaluan, berkhitan, memotong
kumis, mencabut bulu ketiak dan memotong kuku’”. (HR.Jamaah). Sedangkan
dalam hadits dari Zaid bin Arqam ra: “Bahwa Nabi saw, bersabda: ‘Barangsiapa
yang tidak memotong kumisnya, tidaklah termasuk golongan kami’”.
(HR.Ahmad, Nasa’i dan Turmudzi yang menyatakan sahnya).
Dengan demikian tiada terdapat ketentuan, dan mana
diantara keduanya (memotong atau memendekkan/memotong kumis) yang patut disebut
sunnah. Tetapi prinsipnya ialah agar kumis itu tiada terlalu
panjang hingga menyangkut makanan dan minuman, dan supaya kotoran tidak
bertumpuk disana.
Selanjutnya dibuku yang sana ini ditulis, bahwa
menggunting bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong atau memanjangkan
kumis itu, disunatkan tiap minggu demi menjaga, menyempurnakan kebersihan dan
menyenangkan hati karena terdapatnya rambut dibadan menyebabkan kejengkelan dan
kegelisahan. Membiarkan semua ini diberi kesempatan selama 40 hari, tidak ada
alasan untuk memperpanjangnya lagi setelah itu. Dasarnya adalah hadits Anas ra
: “Kami diberi tempo oleh Nabi saw dalam memotong kumis, memotong kuku,
mencabut bulu ketiak, menggunting bulu kemaluan agar tidak dibiarkan lebih dari
40 malam”. (HR.Ahmad, Abu Daud dll.)
Dihalaman 76 pada kitab fiqih sunnah sayid
sabiq tersebut, tertulis sebagai berikut: “Membiarkan jenggot dan memangkasnya
tidak sampai jadi lebat, hingga seseorang tampak berwibawa. Jadi jangan
dipendekkan seakan-akan dicukur, tapi jangan pula dibiarkan demikian rupa
hingga kelihatan tidak terurus, hanya hendaklah diambil jalan tengah
karena demikian itu, adalah baik. Dasarnya adalah hadits dari Ibnu Umar ra:
“Telah bersabda Rasulallah saw.: ‘Lainilah orang-orang musyrikin,
melebatkan jenggot dan memendekkan kumis’”. (Disepakati oleh ahli-ahli hadits
sementara Bukhori menambahkan: ‘Bila Ibnu Umar naik haji atau ‘umrah,
dipegang jenggotnya, dan mana-mana yang berlebih di potong’).
Dengan keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa
melebatkan jenggot dan memanjangkan atau memendekkan kumis, memotong kuku dan
sebagainya termasuk amalan sunnah bukan sebagai wajib, oleh karenanya
sayid Sabiq menulis masalah ini dalam bab Sunnah-Sunnah dan Fitrah .
Demikianlah tulisan sayid Sabiq.
– Hadits riwayat imam Muslim diatas 'Lainilah kalian
dengan orang-orang musyrik, pendekkanlah kumis, dan panjangkanlah jenggot’,
imam An-Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan,
bahwa dhahir hadits diatas adalah perintah untuk memanjangkan jenggot,
atau membiarkan jenggot tumbuh panjang seperti apa adanya. Qadliy Iyadh
menyatakan: ‘Hukum mencukur, memotong, dan membakar jenggot adalah makruh.
– Menurut Imam An-Nawawi, para ulama berbeda pendapat,
apakah satu bulan itu merupakan batasan atau tidak untuk memangkas jenggot
(lihat juga penuturan Imam Ath-Thabari dalam masalah ini; al-Hafidz Ibnu Hajar,
Fath al-Bârî, juz 10, hal. 350-351).Sebagian ulama tidak memberikan batasan
apapun. Namun mereka tidak membiarkannya terus memanjang selama satu bulan, dan
segera memotongnya bila telah mencapai satu bulan.
– Dari ‘Atha dan para ulama lain, dituturkan bahwasanya
larangan mencukur dan menipiskan jenggot dikaitkan dengan tasyabbuh,
atau menyerupai perbuatan orang-orang kafir, yang saat itu biasa memangkas
jenggot dan membiarkan kumis. Pendapat ini dipilih oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar.
Sedangkan Imam An-Nawawi menyatakan, bahwa yang lebih
tepat adalah membiarkan jenggot tersebut tumbuh apa adanya, tidak dipangkas
maupun dikurangi (Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 3,
hal. 151). Pendapat Imam An-Nawawi ini disanggah oleh Imam Al-Bajiy.
Beliau menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan memanjangkan jenggot adalah bukan
membiarkan jenggot panjang seluruhnya, akan tetapi sebagian jenggot saja.
Sebab, jika jenggot telah tumbuh lebat lebih utama untuk dipangkas sebagian-
nya, dan disunnahkan panjangnya serasi.
– Imam At-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Amru
bin Syu’aib, dari bapaknya dari kakeknya, bahwasanya Rasulullah Saw memangkas
sebagian dari jenggotnya, hingga panjangnya sama. Diriwayatkan juga, bahwa Abu
Hurairah dan Ibnu ‘Umar memangkas jenggot jika panjangnya telah melebihi
genggaman tangan. Ini menunjukkan, bahwasanya jenggot tidak dibiarkan memanjang
begitu saja –sebagaimana pendapat Imam An-Nawawi–, akan tetapi boleh saja
dipangkas, asalkan tidak sampai habis, atau dipangkas bertingkat-tingkat (Imam
Zarqâniy, Syarah Zarqâniy, juz 4, hal. 426).
– Imam Malik juga memakruhkan jenggot yang dibiarkan
panjang sekali. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa panjang jenggot yang
boleh dipelihara adalah segenggaman tangan. Bila ada kelebihannya (lebih dari
segenggaman tangan) harus dipotong. Sebagian lagi memakruhkan memangkas
jenggot, kecuali saat haji dan umrah saja (lihat Imam An-Nawawi, Syarah
Shahih Muslim, hadits no. 383; dan lihat juga Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath
al-Bârî, hadits. No. 5442)
– Menurut Imam Ath-Thabari, para ulama juga berbeda
pendapat dalam menentukan panjang jenggot yang harus dipotong. Sebagian ulama
tidak menetapkan panjang tertentu, akan tetapi dipotong sepantasnya dan
secukupnya. Imam Hasan Al-Bashri biasa memangkas dan mencukur jenggot, hingga
panjangnya pantas dan tidak merendahkan dirinya.
– Dalam kitab Al-Halal wal Haram halaman 93
Syeikh Yusuf Qordhowi menjelaskan sebagai berikut : “Dalam hal mencukur jenggot
terdapat tiga pendapat:
a. Haram. Pendapat ini disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dan
yang lainnya.b. Makruh. Pendapat ini disebutkan dalam kitab Al-Fath
dari Qodhi ‘Iyadh dan tidak disebutkan dari selain beliau. c. Mubah.
Pendapat ini diketengahkan oleh sebagian ulama-ulama
mutaakhkhirin. Mungkin dari tiga pendapat diatas, yang agak mendekati
kebenaran adalah pendapat yang mengatakan makruh. Hal ini karena
perintah memelihara jenggot –sebagaimana tersebut dalam hadits itu– tidaklah menunjuk hukum wajib secara pasti, meskipun
disebut kan bahwa illatnya adalah untuk membedakan diri dengan
orang-orang kafir. Perbandingan yang dekat untuk hal ini adalah adanya
perintah didalam hadits untuk menyemir uban agar berbeda dengan orang-orang
yahudi dan nashara, dan ternyata sebagian sahabat tidak melaksanakannya.
Ini menunjukkan bahwa perintah disitu adalah untuk hukum sunnat. Memang benar
bahwa tidak ada dinukil adanya seorang pun dari ulama salaf yang mencukur
jenggot. Namun mungkin saja yang demikian itu dikarenakan mereka tidak
ada keperluan untuk mencukur jenggot dan juga karena itu telah menjadi
kebiasaan mereka”. Demikianlah tulisan Syeikh Yusuf Qordhowi.
– Syeikh Dr Ahmad Syarbashi dalam kitabnya Yas’aluunaka
fid din wal-hayat jilid VI/370 menjelaskan sebagai berikut : “Sebagian
fuqoha (para ahli fiqih) memandang bahwa memelihara jenggot itu termasuk satu
perkara wajib. Jumhur ulama memandangnya sebagai perkara sunnat, yang
apabila dikerjakan maka diberi pahala dan apabila ditinggalkan maka tidak akan
disiksa. Dan sebagian ulama mutaakkhirin memandang bahwa memelihar jenggot
adalah satu perbuatan yang tidak masuk dalam substansi perkara-perkara
agama”.
Dari beberapa penjelasan ulama tentang hukum
memelihara jenggot ini, dapatlah diketahui bahwa hanya sebagian ulama yang
mengatakan ‘wajib’, sehingga berdampak kepada haramnya mencukur
jenggot. Masih ada pendapat lain yang mengatakan ‘makruh’ dan juga
yang mengatakan ‘mubah’. Namun sayangnya, kelompok yang memilih hukum ‘wajib’
itu telah menyampaikan dakwahnya ketengah-tengah masyarakat dengan cara
yang vulgar dan sporadis, bahkan cenderung merendahkan dan menyalahkan pendapat
yang selainnya.
7.21. Dalil-Dalil Mereka Yang
Mewajibkan Memelihara Jenggot
Diantara dalil yang dipakai untuk mewajibkan
memelihara jenggot adalah hadits riwayat Bukhori dari Ibnu Umar ––sebagaimana yang telah dikemukakan
dalam tulisan sayid Sabiq––.: ‘Lainilah orang-orang musyrikin, melebatkan
jenggot dan memendekkan (menggunting) kumis’. Menurut mereka, hukum asal dari
setiap perintah adalah wajib. Dan dalam hal perintah memelihara jenggot
mereka memakai hukum asal tersebut.
Jawaban
Menjadikan hadits diatas sebagai dalil untuk mewajibkan
memelihara jenggot, perlu kiranya kami tambahkan lagi wejangan serta penjelasan
dari ulama antara lain:
– Syeikh Dr Mahmud Saltut, dalam kitabnya Al-Fatawa, yang
berkaitan dengan masalah tersebut. Syeikh Mahmud Saltut berkata: “Apa yang kita
ketahui dari hadits-hadits Rasulallah saw bahwa selain dia (hadits) menunjukkan
wajib, juga menunjukkan kepada yang lebih utama. Yang diharamkan sama dengan
orang-orang musyrik adalah pada perkara-perkara yang berkaitan dengan agama
mereka. Adapun dalam hal adat dan kebiasaan umum, maka tidaklah dilarang,
tidak makruh dan tidak juga haram. Pernah ditanyakan kepada Abu Yusuf ,murid
imam Abu Hanifah, sewaktu beliau memakai sandal yang dipaku: ‘Benarkah banyak
ulama yang tidak senang kepada sandal yang dipaku, sebab ada persamaan dengan
para pendeta…’? Abu Yusuf menjawab: ‘Rasulallah saw biasa memakai sandal yang
berbulu dan sandal yang demikian adalah pakaian pendeta’.Dan kalau kita pegangi
dasar hukum haram yang didasarkan kepada adat-istiadat orang diluar Islam dan
tradisi yang temporer (sementara), maka sekarang ini kita justru
berkewajiban melarang orang memelihara jenggot, karena memelihara jenggot
termasuk adat para pendeta dan pembesar agama diseluruh dunia (dari agama
yahudi, nashara, hindu, pen.). Juga kita wajib mengharamkan memakai topi.
Dengan demikian, maka kebiasaan umum yang terjadi disuatu masyarakat tidak bisa
disangkut-pautkan dengan agama atau kefasikan dan tidak ada hubungannya dengan
iman atau kufur. Pada dasarnya, soal pakaian dan hal-hal lain yang bersifat
pribadi seperti mencukur jenggot adalah adat-istiadat yang harus tunduk kepada
apa yang dikatakan baik oleh lingkungannya. Barangsiapa hidup dalam lingkungan
yang menganggap baik sesuatu dari cara-cara tersebut, maka ia akan mengikutinya
dan keluar dari kebiasaan lingkungan dianggap sebagai sesuatu yang aneh”.
Demikian dikatakan oleh Syeikh Dr.Mahmud Saltut.
– Dr.Abu Zahrah dalam kitabnya Ushulul Fiqh
halaman 115 ketika membicarakan tentang ‘perbuatan-perbuatan Rasul’ berkata
sebagai berikut: “Pendapat yang mengatakan bahwa memelihara jenggot itu
termasuk adat kebiasaan dan bukan termasuk syariat menetapkan bahwa larangan
mencukur jenggot itu –sesuai ijma’– tidaklah bersifat mengikat karena
dia di-illatkan dengan adanya penyerupaan terhadap orang-orang yahudi dan juga
orang-orang ajam (non arab), yang suka memanjangkan kumis dan mencukur jenggot.
Dan illat inilah yang menunjukkan bahwa perbuatan Nabi yang memelihara jenggot
itu termasuk bagian dari adat kebiasaan. Inilah pendapat yang kami pilih”. Demikianlah
pendapat Dr.Abu Zahrah.
Tampak jelas dari dua penjelasan terakhir diatas dari
dua ulama itu, dimana mereka berdua cenderung kepada pendapat yang mengatakan
bahwa perbuatan Nabi saw yang memelihara jenggot itu adalah bagian dari adat
kebiasaan yang tentunya ‘tidak wajib’ tetapi sunnah untuk diikuti
dan tidak haram untuk disalahi. Memang kalau hadits yang memerintahkan kita
untuk membedakan diri dengan orang-orang musyrik itu dijadikan dalil untuk mewajibkan
memelihara jenggot , –karena
orang-orang musyrik dizaman Nabi dan para sahabat suka mencukur jenggot– maka sekarang ini justru orang-orang
yang memelihara jenggot itu wajib mencukur jenggotnya karena kalau tidak,
mereka kelihatan sama dengan orang-orang musyrik. Kita sekarang bisa lihat
sendiri betapa banyaknya para pendeta kristen terutama yang berdomicili di
timur tengah, para rabin yang beragama yahudi, para pedanda yang beragama hindu
dan pembesar-pembesar agama lainnya, mereka semua adalah orang-orang musyrik
yang suka juga memelihara jenggot. Jadi kalau orang yang memelihara
jenggot tidak mencukur jenggotnya, maka akan kelihatan sama dengan orang-orang
musyrik itu dan mereka tidak melaksanakan hadits yang memerintah kan untuk
berbeda dengan orang-orang musyrik. Karena adanya konsekwensi hukum yang
seperti inilah, maka kedua ulama kenamaan diatas tidak menjadikan hadits
tersebut sebagai dalil untuk mewajibkan memelihara jenggot. Sekali
lagi, tidak ada yang mengingkari kebaikan dari memelihara jenggot itu. Yang
diingkari hanyalah mem-vulgarkan hukum memelihara jenggot dan menyerukannya
secara sporadis, tanpa sedikitpun mempertimbangkan pendapat-pendapat ulama
lainnya. Dan cara dakwah yang seperti ini telah berimplikasi kepada tuduhan
bahwa orang yang mencukur jenggot itu telah melakukan perbuatan yang haram.
Begitu juga dengan semua keterangan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
memangkas sebagian jenggot hukumnya adalah mubah. Sedangkan mencukurnya
hingga habis, hukumnya adalah makruh tidak sampai ke derajat haram.
Adapun hukum memeliharanya adalah sunnah (mandub). Wallahu a’lam.
7.22. Hukum Menjatuhkan Talak
Tiga Sekaligus
Sering kita mendengar dari kaum muslimin bahwa talak
tiga sekaligus itu berarti jatuh talak satu dan sisuami masih berhak rujuk
kepada isterinya. Tetapi menurut para imam mujtahid yang empat dan para ulama
Islam yang terkenal ,khususnya dalam madzhab imam Syafi’i, menetapkan bahwa
hukum talaq tiga sekaligus adalah jatuh tiga.
Dalam kitab Fiqih empat madzhab ‘Al-fiqih
‘Alal Mazaahabil Arba’ah’ jilid IV/341 disebutkan sebagai berikut: “Apabila
seseorang mentalaq isterinya dengan talak tiga sekaligus seumpama berkata
kepada istrinya ‘Engkau tertalak tiga’, maka jatuhlah sebanyak bilangan
yang diucapkannya (yakni talak tiga) itu menurut madzhab yang empat dan
itulah fatwa segolongan besar ulama Islam”.
7.23. Dalil-Dalil Hadits Yang
Berkaitan Dengan Masalah Itu.
– Hadits riwayat imam Bukhori dari Aisyah ra
yang berkata: “Bahwa seorang lelaki mentalak istrinya dengan talak tiga
sekaligus. Maka kawinlah mantan istrinya itu (dengan lelaki yang lain).
Suaminya yang kedua itupun lalu mentalaknya. Maka ditanyalah Nabi saw: ‘Apakah
ia halal untuk suaminya yang pertama’? Nabi saw menjawab: ‘Tidak, sehingga
suaminya yang kedua itu merasakan manisnya sebagaimana telah dirasakan oleh
suaminya yang pertama’”.
Dalam riwayat Bukhori yang lain diterangkan bahwa nama
suami pertama wanita itu adalah Rifa’ah al-Qurazhi dan nama suaminya yang kedua
adalah Abdurrahman bin Zubair. Dalam hadits ini terlihat dengan jelas
bahwa talak tiga sekaligus adalah jatuh tiga, karena Nabi saw mengatakan bahwa
wanita itu boleh kawin lagi dengan suaminya yang pertama, apabila dia dengan
suami yang kedua itu telah merasakan manisnya pergaulan (bersetubuh).
– Hadits riwayat Bukhori yang menerangkan tentang
seorang lelaki bernama Umar al-Ajlani, yang telah melakukan mula’anah (kutuk
mengutuk) dengan istrinya. Sesudah terjadinya mula’anah itu, ia berkata kepada
Nabi saw: “Wahai Rasulallah, kalau saya tahan juga wanita itu, maka tentu saya
dianggap bohong. Maka ditalaklah isterinya itu dengan talak tiga sekaligus
sebelum diperintahkan oleh Rasulallah saw”.
Kalau pada hadits yang pertama diatas diterangkan
tentang peristiwa antara Rifa’ah al-Qurazhi yang mentalak isterinya dengan
talak tiga lalu hal tersebut disampaikan kepada Nabi saw, berarti kejadian
tersebut berlangsung bukan dihadapan Nabi saw. Adapun dalam hadits yang kedua
diatas peristiwa yang sama yakni perceraian dengan talak tiga sekaligus terjadi
justru dihadapan Nabi sendiri. Pada kedua-dua peristiwa itu, baik yang
dihadapan beliau saw maupun tidak, beliau tidak marah bahkan menerima dengan
baik. Inilah bukti yang kuat bahwa talak tiga sekaligus itu adalah jatuh tiga.
Inilah pula yang dinamakan takrir atau ketetapan Nabi yang derajatnya sama
dengan ucapan Nabi saw sendiri.
– Hadits riwayat Nasa’i : “Fathimah binti Qais
berkata: ‘Aku pernah mendatangi Rasulallah saw lalu akau berkata: Saya adalah
anak wanita keluarga Khalid dan sesungguhnya suamiku si fulan telah mengirim
talak kepada saya dan saya telah minta nafkah berikut perumahan kepada
keluarganya, namun mereka enggan memberikannya’. Mereka (para keluarga suamiku)
berkata:’Wahai Rasulallah, suaminya sudah mengirim kepadanya tiga talak ’.
Fathimah berkata, ‘(mendengar itu) Rasulallah bersabda: ‘Nafkah dan perumahan
hanyalah untuk wanita yang mana suaminya masih boleh rujuk kepadanya’ ” .
Dalam keterangan hadits yang lain disebutkan nama suami Fathimah binti Qais itu adalah Abu Umar
bin Hafash dari Bani Makhzum. Dia ini mengirimkan surat talak kepada istrinya
si Fathimah yang berasal dari suku Khalid bin Walid. Fathimah mengadukan hal
ini kepada Rasulallah saw dan mengabarkan bahwa dia telah meminta kepada
keluarga suaminya agar memberikan nafkah iddah dan juga perumahan. Namun
keluarga suaminya enggan memberikan karena talak yang di jatuhkan kepadanya
adalah talak tiga. Rasulallah saw justru membenarkan tindakan keluarga suami
Fathimah, yang tidak mau memberikan nafkah dan perumahan itu. Ini terbukti
dengan ucapan beliau saw : ‘Nafkah dan perumahan hanyalah untuk wanita yang
mana suaminya masih boleh rujuk kepadanya’. Ini juga membuktikan bahwa talak
tiga sekaligus memang terjadi dizaman Nabi saw.
– Hadits riwayat Ibnu Majah dari Amir as-Syu’bi,
beliau berkata : “Saya berkata kepada Fathimah binti Qais; ‘kabarkanlah kepada
saya tentang perceraian engkau’. Maka jawab- nya: ‘Suamiku telah menjatuhkan
kepadaku talak tiga sekaligus ketika dia sedang di Yaman dan Rasulallah saw
membolehkan yang demikian itu’ “.Dalam hadits ini masih berkaitan dengan
peristiwa tertalaknya Fathimah binti Qais dengan talak tiga sekaligus.
– Hadits riwayat Baihaqi dari Nu’man bin Abi Iyasi,
bahwasanya dia pernah duduk disamping Abdullah bin Zubair dan Ashim bin Umar,
lalu datanglah Muhamad Iyas bin Bakir dan berkata: “Sesungguhnya seorang lelaki
Badui telah mentalak isterinya dengan talak tiga sekaligus sebelum ia
mencampuri istrinya itu. Bagaimana pendapat anda berdua? Ibnu Zubair berkata:
‘Dalam masalah ini kami tidak punya pendapat. Pergilah kepada Ibnu Abbas dan
Abi Hurairah, keduanya saya tinggalkan didekat Aisyah. Bertanyalah kepada
keduanya (mengenai masalah ini) kemudian datanglah kembali kepada kami untuk
memberitahu kami jawabannya’. Muhamad bin Iyas pun segera pergi menuju Ibnu
Abbas dan Abi Hurairah, lalu ia menanyakan masalah tersebut kepada keduanya.
Berkatalah Ibnu Abbas kepada Abi Hurairah –radhiyallahu‘anhuma–, ‘berilah dia
fatwa wahai Abu Hurairah’. Sesungguhnya dia datang kepadamu dalam keadaan ragu.
Maka berkatalah Abu Hurairah ra; ‘Talak satu membikin wanita itu menjadi ba’in
dan talaq tiga menyebabkan dia haram, kecuali setelah dia menikah dengan suami
yang lain’. Ibnu Abbas menyetujui fatwa Abu Hurairah itu. Beliau berdua tidak
mencela talak tiga sekaligus. Demikian juga halnya Aisyah”. (Hadits ini juga tercantum dalam kitab Al-Umm V/139).
Dari hadits ini dapat dipahami sahabat-sahabat Nabi
saw yang utama yaitu Abu Hurairah dan Ibnu Abbas, begitu juga Aisyah ra
memfatwakan bahwa talak tiga sekaligus adalah jatuh tiga dan talak satu bagi
wanita yang belum dicampuri menjadi talak ba’in sughra yaitu tidak boleh rujuk
lagi kecuali dengan akad nikah yang baru. Kedua sahabat itu dan Aisyah [ra]
tidak mencela terjadinya perceraian dengan talak tiga sekaligus.
– Hadits riwayat Thabrani dan Baihaqi dari Su’aid bin
Ghaflah, dia berkata: “Pernah Aisyah al-Khats’amiyah berada disamping suaminya
Hasan bin Ali –radhiyallahu ‘anhuma. Maka berkatalah sayidina Hasan
kepada istrinya itu: ‘Ali karromallahu wajhah telah terbunuh’. Istrinya
berkata: ‘Engkau akan disulitkan oleh soal khilafah (pemerintahan)’. Hasan
berkata: ‘Sayidina Ali telah dibunuh namun engkau menampakkan celaan, pergilah
engkau dan engkau aku talak tiga’. Maka istrinya itu menutup badannya dengan
kain dan duduk sendirian sambil menanti habis iddahnya. Sayidina Hasan pun
mengirimkan kepadanya sisa dari maharnya dan ditambah dengan 10 ribu dirham
sebagai sedekah. Tatkala utusan Hasan datang membawa hal tersebut, berkatalah
istrinya itu; ‘ini adalah harta yang sedikit dari sang kekasih yang telah
menceraikan’. Tatkala ucapan ini sampai ketelinga Hasan menangislah, ia
kemudian berkata; ‘Andai saja aku tidak mendengar kakekku (yakni Rasulallah
saw) atau aku tidak diceriterakan oleh ayahku (Ali bin Abi Thalib kw)
bahwasanya ia telah mendengar kakekku itu bersabda; ‘Mana saja seorang lelaki
yang mentalak istrinya dengan talak tiga diketika sucinya atau pada ketika
apapun, maka tidaklah dia halal baginya, sehingga istrinya menikah dengn suami
yang lain, maka tentu aku akan merujuknya’ ‘’. Hadits ini merupakan juga dalil
bahwasannya talak tiga sekaligus adalah jatuh tiga, dan wanita yang tertalak itu
tidak boleh dirujuk kembali.
7.24. Fatwa Dalam Madzhab Maliki (dalam masalah talaq tiga)
– Hadits yang terdapat dalam kitab Al-Muwatta’.
Dari Malik, telah sampai padaku bahwasanya Ali bin Thalib berfatwa tentang
lelaki yang berkata kepada istrinya dengan ‘Engkau haram atasku’
bahwasanya itu merupakan talak tiga’.
Dari hadits ini dapat dipahami juga bahwa sayidina Ali
kw memberi fatwa terhadap ucapan talak secara kinayah yakni ‘Engkau haram
atasku’ bahwa ucapan ini berakibat jatuhnya talak tiga, padahal disitu tidak
disebutkan bilangan tiga secara terang-terangan. Sudah tentu akan lebih layak
lagi jatuhnya talak tiga sekaligus jika dalam ucapan talaknya itu secara nyata
disebutkan bilangan tiga.
– Dalam kitab Muqaddimah jilid II/76-77
disebutkan sebagai berikut : “Dan begitu juga tidak boleh menurut imam
Malik mentalak istri dengan talak tiga sekaligus, namun kalau dilakukan juga,
maka jatuhlah talak tiga. Hal ini berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla ;
‘Demikianlah batasan-batasan Allah, maka janganlah kamu melampauinya dan
barangsiapa melampaui batasan-batasan Allah, maka ia telah menganiaya dirinya
sendiri. Engkau tidak mengetahui bahwa mungkin Allah akan mendatangkan sesuatu
perkara sesudah yang demikian itu’. Perkara dimaksud adalah rujuk. Maka Allah
telah menjadikan wanita dimaksud, sebagai wanita yang hilang (tidak dapat lagi
didekati oleh suami) dengan sebab jatuhnya talak tiga sekaligus, karena kalau
(talak seperti itu) tidak jatuh dan tidak pula mempunyai akibat hukum niscaya
tidaklah dia kehilangan isteri dan tidak pula dia menganiaya diri sendiri. Dan
tidak pula Rasulallah saw mengharuskan Abdullah bin Umar untuk merujuk isteri
yang telah ditalaknya pada waktu haidh dimana beliau saw bersabda: ‘Suruh
dia merujuk isterinya’. Ini juga menunjukkan bahwa talak yang berdasarkan
sunnah atau tidak berdasarkan sunnah dihukumkan jatuh dan dialah madzhab para
fuqaha dan ulama-ulama Islam pada umumnya. Tidak ada yang menyimpang dari
mereka dalam masalah ini kecuali segelintir orang yang penentangannya itu tidak
perlu diperhatikan”.
Berdasarkan keterangan dalam kitab Muqaddimah ini,
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Menurut madzhab Maliki tidak boleh menjatuhkan talak
tiga sekaligus, tetapi kalau itu terjadi maka talak dianggap sah dan berlaku
sebagai talak tiga. Dalilnya ialah firman Allah dalam surat at-Thalaq ayat 2,
yang menyatakan bahwa orang-orang yang menjatuhkan talak dengan cara yang bukan
sunnah, maka berarti ia telah menganiaya diri sendiri, dikarenakan ia tidak
boleh kembali kepada istrinya itu, padahal sewaktu-waktu ia bisa saja berubah
pikiran yakni bermaksud untuk kembali, namun hal itu sudah tidak mungkin dikarenakan
oleh perbuatannya sendiri. Ini adalah bukti bahwa talak tiga sekaligus yang
bukan menurut sunnah adalah terhitung talak tiga. Karena kalau cara yang
seperti itu tidak sah dan tidak berlaku, maka tentulah ia tidak kehilangan
isteri dan tidak pula teranggap menganiaya diri sendiri. Nabi saw menyuruh Ibnu
Umar supaya ia kembali kepada istrinya yang diceraikan nya ketika tengah haid
dan cerainya dihitung satu kali. Walaupun talaknya itu tidak menurut sunnah
namun toh talaknya jatuh juga.
Dan dalam kitab Muqaddimah disebutkan juga bahwa fatwa
seperti ini adalah fatwa para ulama ahli fiqih dan mayoritas ulama
Islam. Yang keluar dari fatwa ini hanyalah segelintir orang yang tidak perlu
diperhatikan.
7.25. Fatwa Dalam Madzhab Syafi’i (dalam masalah talaq tiga)
– Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm jilid V/138 menyebutkan: “Allah swt telah
berfirman ‘Talak itu dua kali, maka boleh kamu rujuk lagi secara patut atau
melepaskannya dengan cara yang baik’. Allah swt juga berfirman ‘Lalu jika suami mentalaknya
(sesudah cerai yang kedua), maka tidaklah si wanita itu halal baginya, sehingga
dia kawin lagi dengan suami yang lain’. Dengan demikian Al-Qur’an tersebut
menunjukkan –wallahu a’lam– bahwa orang yang mentalak istrinya dengan
talak tiga sekaligus, baik sesudah digauli atau belum, maka tidaklah mantan
istrinya itu halal baginya sehingga ia kawin lagi dengan suami yang lain. Maka
apabila seorang lelaki berkata kepada istrinya dengan ucapan ‘Engkau tertalak
tiga’ menjadi haramlah ia baginya kecualai kalau sudah kawin lagi dengan suami
yang lain”.
Fatwa imam Syafi’i ini telah ditetapkan bahwa talak
tiga sekaligus adalah jatuh tiga, sehingga suami tidak boleh rujuk lagi dan
kalau itu dilakukan juga, maka rujuknya batal dan dia teranggap telah melakukan
perkawinan yang tidak sah.
– Imam Nawawi dalam kitabnya Minhajut Thalibin berkata
pada bab talak : “kalau seorang suami berkata: ‘Saya menceraikan engkau atau
engkau tercerai’ dan ia meniatkan bilangan (dua atau tiga), maka jatuhlah dua
atau tiga itu. Seperti ini pula pada lafadz kinayah”.
Fatwa imam ini jelas sekali bahwa talak ,baik yang
sharih atau kinayah, kalau diniatkan berapa bilangannya, maka jatuhlah talak
sesuai dengan bilangan yang diniatkannya. Contoh talak kinayah adalah
‘pulanglah engkau kerumah ibumu’, ia meniatkan perkataan itu untu menceraikan
istrinya dan iapun meniatkan talak tiga, maka jatuhlah talak tiga.
7.26. Fatwa dalam madzhab
Hambali
(dalam masalah talaq tiga)
Dalam madzhab ini talak tiga sekaligus juga terhitung
talak tiga. Hal ini diterangkan dalam kitab Al-Kafi, sebuah kitab fiqih
madzhab Hambali karangan Ibnu Qudomah terdiri dari 3 jilid besar. Dalam jilid
II/803 beliau berkata sebagai berikut : “Jika seseorang berkata kepada
istrinya: ‘Engkau tertalak tiga’, maka jatuhlah talak tiga walaupun dia meniatkan
talaq satu, karena lafadznya itu adalah nash kepada talaq tiga, tidak ada
kemungkinan terhadap yang lain”.
Dan pada halaman 804, beliau berkata: “Jika seseorang
berkata kepada istrinya: ‘Engkau tertalak dengan sebenar-benar talak atau
dengan seluruh talak atau dengan talak yang terbanyak atau dengan talak yang
terakhir’, maka tertalaklah istrinya itu dengan talak tiga. Dan jika sang suami
berkata: ‘Engkau tetralak sebanyak bilangan air atau sebanyak atau sebanyak
bilangan angin atau sebanyak bilangan tanah atau seperti bilangan seribu’, maka
tertalak pula istrinya itu dengan talak tiga”.
Demikianlah dalil-dalil hadits dan fatwa para imam
madzhab yang berkaitan dengan talak tiga sekaligus dan yang dijadikan dalil
oleh sebagian besar kaum muslimin.
Dalil-dalil mereka yang membantah dan jawabannya
Dalil-dalil yang dikemukakan tadi dan fatwa para imam
madzhab telah menerangkan bahwa talak tiga yang diucapkan
sekaligus ini jatuh sebagai talak tiga. Namun demikian ada juga beberapa
kelompok yang tidak setuju dengan dalil dan fatwa tadi dan mengatakan talak
tiga yang dikatakan sekaligus hanyalah jatuh satu. Golongan ini mengikuti
pendapat Ibnu Taimiyah dan muridnya yaitu Ibnul Qayyim al-Jauziyah, yang juga
berdalil baik dari hadits maupun fatwa para sahabat.
Mereka yang menyetujui kesepakatan imam madzhab –bahwa
talak tiga sekaligus akan jatuh juga sebagai talak tiga– itu memberikan
tanggapan bahwa dalil-dalil yang diajukan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim
itu adakala:
a. Harus dipahami dengan prinsip ‘metode
penggabungan dalil’ agar tidak sampai menggugurkan dalil yang lain. Karena
hal ini memang masih memiliki kemungkinan penggabungan dalil untuk dilakukan.
Jadi bukan dengan sporadis menggunakan dalil secara lahiriyah (tekstual),
sehingga mengakibatkan gugurnya dalil-dalil lain, yang tingkat validitasnya
justru sangat tinggi ditinjau dari ilmu musthalahul hadits.
b. Dalil yang diajukan dua imam untuk menyanggah
jatuhnya talak tiga sekaligus, terdapat beberapa cacat atau kritikan terhadap
sanad hadits sehingga tidak layak dimajukan untuk sebagai dalil.
Berikut ini beberapa dalil mereka dan
jawabannya:
1. Dari Ibnu Abbas, beliau berkata: “Pada masa
Rasulallah saw dan Abubakar serta dua tahun masa pemerintahan Umar bin Khattab
diputuskan bahwa talak tiga itu jatuh satu. Selanjutnya Umar berkata:
‘Sesungguhnya manusia suka terburu-buru pada urusan yang masih bisa
pelan-pelan. Ada baiknya jika saya teruskan saja kehendak mereka itu’. Maka
Umar pun meluluskan kehendak mereka”.
Mereka berkata: Bukankah jelas sekali dalam hadits ini
bahwa talak tiga dimasa Rasulallah saw dan Abubakar diputuskan sebagai talak
satu? Bukankah akan jauh lebih baik kalau keputusan itu yang kita ikuti dan
amalkan?
Jawaban:
Hadits diatas itu shahih, karena ia termaktub dalam kitab
shahih Muslim. Akan tetapi perlu diingat bahwa itu adalah ucapan Ibnu Abbas,
bukan ucapan Nabi saw dan bukan pula takrirnya. Kalau ucapan seorang sahabat sejalan
dan tidak bertentangan dengan hadits atau takrir Nabi saw, maka jelaslah
bahwa kita harus memakai dan mengamalkannya. Apa yang telah disampaikan oleh
Ibnu Abbas masalah ‘Talak tiga yang diucapkan sekaligus jatuh talak satu’
bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya, seperti dalil-dalil yang telah
kami kemukakan, yaitu:
–Hadits riwayat imam Bukhori dari Aisyah ra yang
berkata: “Bahwa seorang lelaki mentalak istrinya dengan talak tiga sekaligus.
Maka kawinlah mantan istrinya itu (dengan lelaki yang lain). Suaminya yang
kedua itupun lalu mentalaknya. Maka ditanyalah Nabi saw: ‘Apakah ia halal untuk
suaminya yang pertama’? Nabi saw menjawab: ‘Tidak, sehingga suaminya yang kedua
itu merasakan manisnya sebagaimana telah dirasakan oleh suaminya yang
pertama’”.
– Rasulallah saw membenarkan Umar al-Ajlani yang
menceraikan istrinya dengan ucapan talak tiga.
– Rasulallah saw membenarkan tindakan Abu Umar bin
Hafash yang menceraikan istrinya Fathimah binit Qais dengan mengirimkan surat
talak tiga sekaligus.
– Aisyah ra dan Abu Hurairah ra serta Ibnu Abbas
sendiri membenarkan bahwa talak tiga sekaligus itu jatuh tiga.
– Dalam kitab Al-Umm jilid V/138 diterangkan Ibnu
Abbas sendiri memfatwakan bahwa talak tiga sekaligus jatuh tiga.
– Dalam kitab Al-Muwattha jilid II/79 dan juga dikitab
Al-Umm, diterangkan juga tentang fatwa Ibnu Abbas bahwa seorang lelaki yang
mentalak istrinya dengan talak 100, maka Ibnu Abbas berkata: istrinya tertalak
tiga sekaligus, sedangkan selebihnya 97 harus ditinggalkan.
Dengan demikian dalil ucapan Ibnu Abbas bahwa talak
tiga dimasa Rasulallah saw dan Abubakar ra… jatuh satu, bertentangan dengan
hadits-hadits yang telah dikemukakan. Karena adanya pertentangan ini para ulama
tidak memakai dhohir ucapan tersebut, yang menyebabkan pertentangan dengan
ucapan Ibnu Abbas yang lain. Karena itulah para ulama melakukan metode
penggabungan (thariqatul jami’) antara beberapa ucapan ibnu Abbas kepada satu
makna yang bisa sejalan dengan ucapan yang lain.
Mengenai ucapan Ibnu Abbas ‘talak tiga sekaligus jatuh
satu’, Imam Nasa’i menjelaskan sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan ucapan Ibnu Abbas bahwa talak
tiga sekaligus itu jatuh satu adalah talak yang dijatuhkan tiga kali dengan
cara berulang-ulang pada satu tempat. Umpamanya seorang mengatakan: ‘Saya talak
engkau, saya talak engkau, saya talak engkau’. Talak yang seperti ini hanyalah
‘jatuh satu’, karena ucapan talak yang kedua dan ketiga dianggap sebagai ta’kid
(penguatan) saja terhadap ucapan talak yang pertama”.
Didalam kitab Subulus Salam jilid III/172
disebutkan salah satu jawaban terhadap ucapan Ibnu Abbas. Jawaban yang dimaksud
adalah: “Dahulu dimasa permulaan Islam orang-orangnya masih diakui jujur dalam
semua ucapan dan dakwaannya. Kalau ada diantara mereka yang mentalak dengan
‘engkau tertalak, engkau tertalak, engkau tertalak’ lalu dia mengatakan bahwa
ucapannya yang kedua dan ketiga hanya sebagai ta’kid belaka, maka diterimalah
ucapannya itu karena memang pada zaman itu orang-orangnya selalu bertindak
benar dan jujur. Namun selanjutnya Umar melihat ada perubahan pada perilaku
manusia setelah dua tahun masa pemerintahannya. Banyak yang tidak jujur dan
mendakwakan sesuatu yang tidak benar. Karenanya beliau berpandangan agar apa
yang diucapkan secara dhohir, maka itulah yang dipakai. Sedangkan dakwaan bahwa
‘dalam hati mereka tidak memaksudkan demikian’ tidak lagi diterima oleh Umar.
Maka ucapan orang yang mentalak dengan ‘engkau tertalak, engkau tertalak,
engkau tertalak’ walaupun dia mendakwa bahwa ucapannya yang kedua dan ketiga
hanya sebagai ta’kid belaka, tidaklah dipedulikan oleh Umar. Beliau langsung
hukumkan sebagai ‘talak tiga’.
Jawaban ini sangat disetujui oleh Imam Qurtubi. Bahkan
Imam Nawawi berkata: ‘Inilah jawaban yang paling sahih dalam masalah ini’
“.
2. Dalil lain yang diajukan oleh golongan yang tidak
setuju talak tiga sekaligus adalah: Hadits riwayat Ahmad dan Abu Ya’la:
“Dari Ibnu Abbas dari Rukanah bahwasanya dia telah
mentalak istrinya tiga kali disatu majlis, maka diapun sangat sedih. Lalu dia
ditanya oleh Nabi saw, tentang bagaimana dia mentalaknya. Rukanah menjawab:
‘Tiga kali dalam satu majlis’. Mendengar itu Nabi saw bersabda: ‘Hanyalah yang
demikian itu talak satu, rujuklah pada istrimu’”. Mereka mengatakan:
Bukankah hadits ini jelas-jelas menunjukkan bahwa talak tiga sekaligus hanya
jatuh satu?
Jawaban:
Kalau kita membaca hadits riwayat Ahmad dan Abu Ya’la
jelas menunjukkan bahwa talak tiga sekaligus hanya jatuh satu. Tetapi menurut
penelitian jumhur ulama, hadits tersebut adalah hadits mungkar, yakni hadits
yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak dipercayai, sehingga tidak layak
dijadikan dasar hukum masalah tersebut.
Dalam kitab Ahkamus Syari’atil Islamiyah
terdapat penegasan sebagai berikut:
“Berkata jumhur ulama dalam rangka menolak pengambilan
dalil dengan hadits ini: ‘Sesungguhnya dia adalah hadits mungkar karena
menyalahi riwayat orang-orang terpercaya sebagaimana dikatakan oleh Abubakar
ar-Rozi dan Al-Kamal Ibnu Hammam dalam kitab Al-Fathu ‘alal Hidayah’”.
Adapun riwayat orang-orang yang bisa dipercaya ialah
sebuah hadits yang tersebut dalam kitab Al-Umm jilid V/317 sebagai berikut:
“Dari Nafi’ bin Ajir bin Abdi Yazid bahwasanya Rukanah bin Abdi Yazid
menceraikan istrinya Suhaimah Al-Mazniyyah dengan ‘al-battah (cerai
putus)’. Kemudian ia mendatangi Nabi saw lalu berkata: ‘Saya telah menceraikan
istri saya bernama Suhaimah dengan al-battah. Demi Allah saya tidak
memaksudkan kecuali untuk talak satu’. Nabi saw bersabda: ‘Demi Allah, tidak
ada maksudmu kecuali talak satu’? Rukanah menjawab: ‘Demi Allah, tidak ada
maksud saya kecuali satu’. Maka Nabi pun mengembalikan istrinya itu kepadanya
(dalam arti diberi izin untuk rujuk). Lalu pada masa khalifah Umar bin Khattab
istrinya itu diceraikan untuk kedua kali dan pada masa Utsman bin Affan
diceraikan lagi untuk ketiga kali’”.
Dalam riwayat ini tampak bahwa Rukanah menceraikan
istrinya dengan ucapan ‘saya putus habiskan hubungan saya dengan engkau’. Ini
berarti ada dua riwayat tentang bagaimana Rukanah menceraikan istrinya. Riwayat
pertama adalah dengan talak tiga sekaligus, sedangkan riwayat lainnya adalah
dengan al-battah (talak putus). Lalu manakah yang benar dari dua riwayat ini?
Menurut imam Abu Daud riwayat tentang Rukanah yang menceraikan istrinya dengan
al-battah lebih sahih, karena orang yang meriwayatkan hadits dengan al-battah
itu adalah familinya, orang yang serumah dengan dia dan orang yang lebih
mengetahui hal-ihwalnya.
3. Ada juga yang mengajukan dalil hadits riwayat Abu Daud
yang tercantum dalam kitab Subulus Salam jilid III/172 sebagai berikut : “Dari
Ibnu Abbas ra dia berkata: ‘Ayah Rukanah mentalak ibu Rukanah, lalu Nabi saw
bersabda: Rujuklah pada istrimu itu’. Ayah Rukanah berkata: ‘Sesungguhnya aku
mentalaknya tiga kali’. Nabi saw bersabda: ‘Aku telah tahu itu, rujuklah pada
istrimu’”.
Dan hadits yang senada diatas, yang tercantum dalam
kitab Subulus Salam berikut ini: “Dan lafadz hadits imam Ahmad dari Ibnu Abbas
berbunyi: ‘Ayah Rukanah stelah menceraikan istrinya tiga kali pada satu majlis,
maka ia pun sedih. Lalu Rasulallah saw bersabda:’Itu hanyalah talak satu’
“.
Mereka yang mengajukan dalil dua hadits ini berkata:
Bukankah Nabi saw tidak mengakui talak tiga sekaligus melainkan sang suami
disuruh rujuk kepada istrinya yang ditalak tiga sekaligus itu?
Jawaban:
Dua hadits diatas memang tersebut dalam kitab Subulus
Salam dan maknanya jelas menunjukkan bahwa talak tiga sekaligus hanya jatuh
satu. Tetapi penulis kitab Subulus Salam itu sendiri mengomentari derajad kedua
hadits dimaksud dengan ucapan: “Dalam sanad kedua hadits itu terdapat seorang
yang bernama Ibnu Ishaq dan ia masih dipertanyakan”. Demikian pula dengan
Az-Dzahabi dalam kitabnya Mizanul I’tidal jilid III/471 menerangkan bahwa Ibnu
Ishaq itu adalah pembohong (kazzab). Juga dari sisi matan (kandungan
redaksi), kedua hadits yang didalam sanadnya terdapat Ibnu Ishaq itu sangatlah
kacau, karena disitu dikatakan bahwa ‘ayah Rukanah menceraikan ibu Rukanah’
padahal menurut hadits-hadits lain yang kuat dan sahih, Rukanah sendirilah
yang menceraikan istrinya, bukan ayah Rukanah. Dengan demikian kedua hadits ini
adalah dhaif dan tidak layak diajukan sebagai dalil penegakan hukum, juga
berlawanan dengan hadits-hadits yang telah dikemukakan. Wallahu a’lam.
7.27.
Tata
cara singkat Haji (Tamattu') dan ‘Umrah dan urutannya:
Haji diwajibkan bagi
orang muslim yang baligh dan sehat. Seorang dikatakan baligh bila sudah umur
15th atau baligh sebelum umur 15 dengan mimpi basah, sedangkan bagi wanita
yaitu yang sudah haid walaupun belum umur 15th, tetapi setelah umur 9th. Karena
kalau dibawah umur 9th keluar darah, maka itu bukan sebagai darah haid tetapi
darah penyakit. Orang yang sudah baligh tapi bodoh, maka walinya ,bila
mampu, berkewajiban membayar orang dan membiayainya guna membantu orang tsb.
melaksanakan ibadah haji, karena wajib baginya dan tidak boleh menyia-nyiakan
ibadah orang yang berada dibawah perwaliannya.
Anak yang belum baligh
apabila cukup berakal maka sah hajinya dan pahalanya untuk orang tuanya, tapi
nanti kalau sudah dewasa masih diwajibkan haji lagi.
Cara pelaksanannya: sianak harus berihram sendiri tidak boleh
diwakilkan dan menjauhi apa yang dilarang sebagaimana orang dewasa. Jika dia
mampu melaku kan kewajiban dalam haji, maka ia harus melakukannya berdasarkan
petunjuk dari orang lain. Apabila ia tidak mampu melakukan suatu amalan
hajinya, maka bisa di wakilkan kepada orang lain walaupun berupa sholat dua
rakaat setelah tawaf, termasuk juga apabila ia tidak mampu melakukan tawaf.
Apabila ayah anak yang
belum baligh telah mengizinkannya untuk melakukan ihram haji, maka ayah tsb.
tidak boleh menahan/melarang anak tsb., tetapi kalau si anak belum berihram
haji maka orangtua boleh melarang atau menahannya.
Secara singkat
macam2nya haji ada tiga:
Ifrad:
Ihram untuk amalan2 haji
lebih dahulu, kemudian ihram lagi untuk ‘Umrah dan amalan2nya. Haji ifrad ini
tidak wajib Qurban. Untuk amalan umrahnya harus keluar dari tanah haram lalu
berihram ditempat manapun yang ia inginkan yang penting diluar tanah haram dan
tidak harus memulai ihramnya dari miqat sebagai mana waktu ia haji. Lebih
baik/afdhal berihram di Ji’ranah, kalau ini tidak mungkin maka dari Tan’im,
kalau tidak mungkin maka dari Hudaibiyah.
Qiran:
Ihram untuk Haji dan
‘Umrah sekaligus, dengan mengatakan: labbaik allahumma bihaj wa umrah. Wajib
Qurban waktu Ihram.
Menurut imam Syafi’i
bagi orang yang memilih haji Qiran+Ifrad harus berada dalam ihram hingga
tanggal 10 dzulhijah. Sedangkan amalan2 hajinya sama apa yang dilaksanakan
dalam haji tamattu’. Hanya saja ketika ia telah melaksanakan tawaf +sai sebelum
ke Mina, maka sekembali dari Mina dia hanya tawaf saja tanpa sa’i. Tetapi kalau
belum tawaf+sa’i sebelum ke Mina, maka dia harus tawaf+sa’i sekembalinya dari
Mina.
Tamattu’:
Ihram untuk ‘Umrah
dahulu kemudian ihram untuk Haji. Ihram untuk Umrah (tawaf+sai) kemudian
tahalul (potong rambut). Kemudian tunggu tanggal 8 dzulhijah mulai ihram
lagi dari mekkah lalu ke Mina dan melakukan amalan2 hajinya. Juga
berkurban.setelah pelemparan jumrah.
Menurut imam syafii/ahmad/malik bahwa orang
,baik penduduk mekkah atau lainnya, boleh memilih macam2nya haji (qiran, ifrad,
tamatu) tidak ada yang dimakruhkan. Hanya imam syafii mengatakan Ifrad+tamatu
lebih afdhal/utama daripada qiran.
Menurut imam Syafií dalam kitab al-umm
bahwa berihram untuk haji sebelum bulan2 haji (syawal,dzulkiddah, dzulhijjah)
maka tidak sah untuk haji, tetapi sah sebagai ihram Umrah. Sunnah melakukan
ihram setelah sholat dhuhur atau pada waktu sholat2 lainnya dan sholat sunnah
untuk ihram ini minimal 2 rakaat.
Keterangan
singkat untuk Umrah:
Umrah yang terpisah dari haji, waktunya
sepanjang tahun. Sebagian ulama mengata kan yang paling utama adalah bulan
Rajab, sedangkan menurut ulama lainnya pada bulan Ramadhan. Hukumnya umrah
menurut imam syafii/ahmad, wajib bagi yang mampu pulang/pergi (QS
albaqarah:196). Syarat2 umrah sama dengan haji, beda nya bagi orang yang umrah
tidak ada waktu tertentu, tidak wukuf di arafah, muzdalifah dan tidak lempar
jumrah.
Yang dianggap mampu :
Pertama : Seorang muslim yang baligh, sehat badannya dan
berharta untuk pulang pergi. Cukup kebutuhan2 antara lain untuk: keluarganya,
sumber mata pencaharian nya (tanah untuk pertanian, alat2 kerja bagi pekerja
dan modal perdagangan). Setelah berangkat haji tidak tidak sampai menjual
rumah, perabot dll. dikarenakan berangkatnya haji ini. Aman dari penyakit, aman bagi diri, harta dan kehormatannya.
Ini kemampuan yang sempurna maka dia harus
pergi haji dan melakukan sendiri tidak boleh diwakilkan.
Wanita harus minta izin
suami dan suami tidak boleh melarang.
Kedua : Menurut imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm, seorang tua,
lemah atau sakit chronis yang tidak mampu naik haji walaupun dengan naik
kendaraan, apabila ia memiliki seseorang yang bisa disuruh untuk menghajikan
dirinya atau memiliki harta yang bisa buat membiayai orang lain untuk pergi
kehaji, maka dia wajib melaksana kan walaupun diwakilkan orang lain.
Apabila seseorang telah
mempersiapkan perbekalan untuk orang lain yang akan menghajikan dirinya, tapi
tiba2 ia sendiri mampu untuk menempuh perjalanan haji artinya sembuh atau
hilang udzurnya, maka haji yang dilaksanakan orang lain itu tidak sah
untuk dirinya, yakni dia sendiri harus melaksanakannya tidak boleh diwakil kan.
Karena yang diwakilkan tadi hanya kewajiban bagi (kemampuan dalam bidang)
hartanya dan setelah hilang udzurnya maka sekarang kewajiban untuk badannya.
Selanjutnya Imam Syafi’i
dalam kitab Al-Umm mengatakan: Rasulallah saw menyuruh wanita untuk menghajikan
ayahnya karena ketika itu ayahnya sudah masuk |slam, tetapi dalam keadaan tidak
mampu menempuh perjalanan. Dalam hal ini bila ia mempunyai orang yang bisa
mewakilinya maka kewajiban haji belum gugur darinya. Hal ini menunjukkan bahwa
orang yang sudah wafat lebih berhak untuk di wakili, karena dia dalam keadaan
benar2 tidak mampu melaksanakannya. Rasulallah saw menyuruh wanita tsb. untuk
menghajikan ayahnya itu, adalah haji wajib, tetapi apabila
mengenai haji sunnah, maka tidak boleh dilakukan/diwakilkan orang lain, baik
orang tsb. masih hidup maupun telah wafat. Apabila orang tsb. wasiat bila dia
wafat agar orang lain menghajikan untuknya (haji sunnah), maka wasiat tsb.
hukum nya batal.
Menurut Imam Syafii, bila orang
punya harta cukup hanya untuk kawin atau hanya untuk haji saja, maka kawin
lebih didahulukan bila tidak bisa menghindari kesukaran
& kesulitan. Bila menundanya tidak menimbulkan kesulitan maka haji harus
didahulu kan. Begitu juga zakat + hutang harus didahulukan daripada haji.
Syarat2
orang yang mengganti/mewakili:
Baligh, islam dan sudah haji.
Seorang lelaki boleh menggantikan wanita dan sebalik nya wanita
boleh mewakili lelaki. Tempat berangkat haji harus dari miqat yang di tentukan
oleh yang diwakili, kalau tidak ditentukan maka si wakil ini boleh memilih
miqat sesuka hatinya. Orang yang dibayar untuk mewakili haji, wajib
melaksanakan dengan segera tidak boleh mengakhirkan haji tahun berikutnya.
Wanita yang mampu
Menurut Imam Syafií dalam kitabnya Al-Umm:
Apabila wanita yang mempunyai perbekalan dan kendaraan serta ada bersama
wanita2 lain yang bisa dipercaya dan melewati perjalanan yang aman, maka ia
termasuk orang yang wajib untuk melaksanakan haji, walaupun tidak berangkat
bersama mahramnya. Karena Rasulallah saw hanya memberikan syarat
adanya bekal dan kendaraan tanpa perkecualian. Tetapi apabila wanita tsb. tidak
bersama wanita muslimah yang bisa di percaya maka ia lebih baik tidak berangkat
haji dan tidak boleh keluar bersama orang2 laki yang bersama para isteri
mereka atau bersama mahram dari para wanita, yang tidak terjamin
kepercayaannya.
Seorang wanita yang sudah baligh atau
mencapai umur 15th dan tidak mempunyai harta yang cukup untuk haji, maka kedua
orangtuanya, walinya atau suaminya tidak boleh memaksanya untuk
melaksanakan haji dengan memberinya harta sebagai bekal haji.
Begitu juga apabila wanita dewasa telah
sanggup dan mempunyai harta untuk haji dan wanita tsb. sebelum ihram sudah
dapat izin oleh wali atau suaminya, lalu ia memasuki ihram, maka wali atau
suaminya tidak berhak melarangnya. Namun jika belum memasuki ihram haji, maka
wali atau suaminya berhak untuk melarangnya. Tetapi lebih baik suami
tidak melarang istrinya apabila haji itu wajib baginya. Karena seorang suami
tidak berhak melarang istri untuk melaksanakan kewajiban2nya bukan masalah
sunnah.
Hukum seorang janda
Wanita yang sedang menjalani iddah
raj´iyah (suaminya masih berhak rujuk), kemudian ia melaksanakan ihramnya,
maka suaminya masih berhak melarangnya untuk meneruskan ihram haji itu, baik
suami tsb. ingin rujuk atau tidak, hingga batas masa iddahnya selesai. Apabila
masa iddah sudah selesai maka wanita ini berkuasa untuk dirinya. Apabila ia
berihram, maka yang berhak melarangnya adalah walinya. Jika walinya bersedia,
ia bisa keluar bersama wanita yang berada dibawah perwali- annya untuk
melaksanakan ihram haji. Tetapi jika ia tidak bisa, ia bisa menitipkan wanita
tsb. bersama wanita2 lain yang bisa dipercaya. Apabila tidak ada wanita yang
dipercaya maka dia tidak boleh pergi ke haji bersama lelaki yang bukan mahram
atau bersama wanita2 yang tidak bisa dipercaya.
Begitu juga bila ada wanita yang berkuasa
terhadap dirinya sendiri (tidak bersuami dan tidak sedang iddah) melakukan
ihram haji, kemudian ia menikah dengan lelaki, maka suaminya ini belum berhak
untuk melarang isterinya menyelesaikan hajinya. Karena sebelum suaminya berhak
terhadap istrinya, ia sudah masuk dalam ihram haji. Suaminya ini juga tidak
wajib memberi nafkah kepada istrinya selama istri tsb. masih dalam ihram
hajinya, karena pada saat itu hak suami terhadap istrinya terhalang oleh ihram
haji tsb.
Batas2
tanah Haram (mekkah/medinah)
Ditandai dengan bendera disetiap 5 arah
diberi batu 1m tingginya setiap pinggir jalan. Dari daerah utara ialah Tan’ím
(6km dari mekkah), dari selatan di Idhah (12km dari mekkah), dari timur Al-Ja’ranah
(16km dari mekkah), dari barat Al-Syamjsi (15km dari mekkah). Sedangkan
tanah Haram di Medinah 12 mil memanjang dari ‘Ir (gunung sekitar miqat)
sampai Tsaur (gunung sekitar Uhud).
I.MIQAT:
Haji atau Umrah, ihramnya harus dimulai
dari miqat atau dimulai sebelum miqat.
Tempat memulai ber-ihram bagi orang yang
mau mengerjakan Haji atau ‘Umrah sbb:
Penduduk Madinah: dari Dzul Hulaifah;
penduduk Syam (Syria, Libanon, Palestina dan Yordania), Mesir dan Marokko dari Juhfah;
penduduk Yaman Yalamlam; penduduk Irak Al-‘Aqiq; penduduk Thaif
dan penduduk Nejed ialah Qarn; penduduk Mekkah dari rumahnya
masing2, kecuali kalau bukan untuk manasik haji, maka harus keluar ke
Tan’im. Ber-ihram sebelum masuk Miqat itu sah jadi umpama dari
rumahnya atau dari negaranya sendiri. Orang yang melewati miqat belum ihram,
harus kembali, bila tidak kembali ia berdosa & bayar Dam. Bila ada halangan
untuk kembali maka tidak berdosa tetapi tetap bayar Dam.
Bagi penduduk negeri lain yang tidak
melewati miqat2 tsb., maka boleh beihram dari tempat manapun –juga dari
rumahnya masing2, pokoknya belum melewati batas miqat– sampai dia masuk
ke Mekkah.
II. Sebelum ihram:
Ihram tidak sah dalam keadaan tidak
berakal.
Sunnah membersihkan badan, potong kuku,
memendekkan kumis, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, setelah itu
mandi (boleh memakai sabun) dengan niat ihram (saya niat mandi untuk
ihram umrah tamattu karena Allah swt).
Menurut Imam Syaifii dalam kita al-umm,
boleh pakai minyak wangi sebelum ber-ihram ,baik untuk lelaki maupun wanita,
walaupun minyak wangi yang terbaik (kuat baunya).
Bagi wanita yang haidh juga disunnahkan
mandi niat ihram, tetapi tanpa sholat dan tidak boleh masuk masjid. Setelah
wanita itu suci, maka dia harus mandi wajib, sedangkan mandi sunnah ihram tidak
perlu lagi karena sudah dilakukannya. Amalan2 haji boleh dilakukan bagi orang
yang haid/nifas atau tidak dalam keadaan berwudu, kecuali amalan sholat dan
tawaf yang dilarangnya. Sedangkan wanita istihadhah dan yakin bukan darah
haidh, harus tawaf dihari-hari waktu ia sholat. Kalau ia meninggalkannya maka
harus bayar Dam.
Cara pakai ihram bagi lelaki :
Menurut imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm,
apabila sudah siap akan melaksanakan tawaf, hendaklah ia memasukkan ihram
dibawah pundak kanan (kedalam ketiak kanan), sedangkan pundak yang kiri
tertutup. Makruh hukumnya waktu mulai tawaf pundak kanannya juga tertutup,
kalau sebelum mulai tawaf maka tidak apa2.
Niat :
Ketika pakai pakaian ihram niat untuk
apa hajinya (tamatu,qiran,ifrad) dan apakah untuk haji sunnah, wajib atau
untuk menghajikan orang lain. Misalnya ucapan niat untuk tamattu’ untuk dirinya
sendiri (Allahumma inni uriidul umrata tamattu’ fayassirhaa li wa
taqabbalaha minni. Nawaitul umrata tamattu wa ahramtu bihaa lillahi ta’ala. Artinya:
‘Ya Allah sesungguhnya aku ingin umrah tamattu, maka mudah kanlah buatku dan
terimalah dariku. Saya berihram dan dengannya saya niat umrah tamatu’ karena
Allah yang maha tinggi’) kemudian baca talbiyah (labbaik allahumma
labbaik, labbaik laa syariikalaka labbaika innal hamda wan ni’mata laka wal
mulka laa syariikalaka 3X) setelah itu baca sholawat kepada Rasulallah saw.
Kemudian sholat sunnah dengan niat
untuk ihram umrah tamattu’ minimal 2 raka’at sampai 6 raka’at. Setelah sholat
ucapkanlah :
Labbaik Allahumma bi ‘Umrah (bagi haji Tamattu’)
kemudian Talbiyah lagi (Labbaik Allahumma
labbaik.Labbaik laa syarikalaka labbaik, Innal hamda wan ni’mata laka wal
mulka laa syariika laka 3X), baca sholawat setelah itu baca doa:
Allahumma ilaika shomadtu, wa iyyaaka
I’tamadtu wawajhaka aradtu. Fa as aluka an tubaarika lii rihlatii wa an taqdhii lii
haajatii wa taj ‘alanii mim man tubaahii bihil yauma man huwa afdhalu minnii.
Apabila orang tidak niat untuk haji atau
umrah dalam talbiyahnya berarti belum melaksanakan dua2nya. Apabila niat untuk
ihram dalam talbiyahnya tetapi tidak berniat haji atau umrah, maka ia boleh
memilih ihramnya untuk haji atau umrah. Apabila dalam talbiyahnya ia lupa apa
yang ia niatkan (haji atau umrah), maka dia dianggap melakukan haji Qiran
(haji+umrah sekaligus). Karena bila niat umrah maka ia harus umrah baru haji,
jika niat haji maka ia datang dengan haji dan umrah (qiran).
Ulama sepakat bila orang berihram dengan
niat seperti ihramnya sifulan, maka niat nya sah. Imam Syafii dalam salah satu
pendapatnya mengatakan; Berniat ihram untuk ibadah, tetapi tidak menentukan
untuk haji atau umrah maka ihramnya sah. Setelah itu boleh merubah ihramnya
pada bentuk yang dikehendaki.
Talbiyah :
Waktunya : Ketika berkumpul sampai suara
jadi satu, ketika jalan mendaki atau menurun lembah atau turun dari tempat yang
tinggi, setelah sholat. Baca Talbiyah terakhir setelah melempar jumrah
Aqabah pada hari pertama tgl.10 dzulhijah.
Mulai talbiyah untuk haji Tamattu: yaitu mulai waktu ihram
umrahnya (dari rumahnya atau dari miqat) sampai mulai tawaf, sedangkan
waktu ihram hajinya mulai pakai ihram tgl. 8 dzulhijah sampai setelah
melempar jumrah Aqabah hari pertama tgl. 10 dzulhijah.
Menurut imam syafi’i/ahmad hukum talbiyah
ini adalah sunnah pada waktu ihram. Bila niat ihram tanpa talbiyah sah.
Talbiyah tidak perlu dalam keadaan suci. Sunnah nyaring bagi lelaki saja,
sedangkan wanita dibolehkan agak nyaring bila dalam masjid berbarengan dengan
jama’ah, khususnya masjid di Arafah.
Yang
dilarang waktu ber-ihram:
a). Bersenggama/jimak: Menurut imam
Malik/Syafi’i/Ahmad; Jimak dengan istrinya sebelum tawaf+sa’i, sebelum melempar
jumrah Aqabah (tgl.10 dzulhijah) pada hari pertama atau sebelum tawaf ifadhah,
maka haji+umrahnya batal dan wajib korban onta.Tetapi dia harus meneruskan
amalan2 hajinya dan tahun berikutnya harus mengulangi hajinya.
Menurut imam
Hanafi/Syafi’i, kalau jimak setelah tahalul pertama (yaitu potong rambut
setelah lempar jumrah aqabah hari pertama) maka hajinya sah tetapi
korban onta. Dan kalau si istri senang hati maka bayar 1 onta juga,
tetapi bila si istri secara terpaksa suami bayar 2 onta. Kalau istrinya sudah
tahalul lalu bersetubuh sedangkan suaminya masih berihram maka si istri tidak
kena denda, suami bayar denda 1 onta untk dirinya sendiri.
b) Mencium isteri: Menurut imam Syafi’i/Ahmad,
hajinya tidak batal, tetapi bila sampai keluar sperma harus menyembelih
kambing, tetapi kalau tidak sampai keluar sperma harus membayar kifarah
walau dengan sembelih kambing.
Menurut imam
Hanafi/Syafi’i/Ahmad, kalau lihat wanita lain sampai keluar sperma, hajinya
tidak batal tapi harus korban 1 onta. c) Berselisih dengan teman
sejawat, berdebat yang tidak berdasarkan ilmu agama, tetapi dibolehkan berdebat
bila mencari kebenaran dalam agama. d) Berbuat maksiyat. e)
Memakai (pakaian berjahit, baju, serban, jubah, pakai sepatu [bagi lelaki]
dll.). Bila benar2 tidak bisa mendapatkan sandal yang terbuka atau pakaian
ihram boleh pakai celana dan sepatu, tetapi setelah mendapatkannya harus
melepas, kalau tidak dilepas maka dikenakan denda. Memakai pakaian yang dicelup
minyak wangi.
Menurut imam Syafi’i,
baik lelaki maupun wanita disunnahkan pakai pakaian putih dan makruh pakai
pakaian yang menyolok (hitam,merah dll.).
f) Lelaki tidak boleh menutup kepalanya, bagi
wanita tidak boleh memakai cadar dan kaos tangan, boleh memakai pakaian sutera
bagi wanita. Wanita boleh menutup mukanya dengan syarat tidak boleh menempelkan
kewajahnya g).Tidak boleh melangsungkan aqad nikah baik untuk dirinya
maupun untuk orang lain sebagai wali. Tidak boleh juga mewakilkan dalam
pernikahan, kalau terpaksa melakukannya maka akad nikahnya tidak sah. Tetapi
orang yang ihram boleh rujuk (kembali) dengan istrinya yang masih iddah
raj’iyyah. h) Tidak boleh memotong atau mencukur rambut, memotong kuku.
Bila ada udzur/halangan umpamanya kukunya pecah dan sakit yang harus
dipotong maka dibolehkan, tetapi untuk memotong rambut yang harus dicukur
karena berhalangan maka harus bayar seekor kambing.(fidyah/dam). Mencabut/memotong
rambut atau kuku ialah 1 rambut/kuku yang tercabut/terpotong 1 mud makanan
pokok untuk 1 orang miskin, 2 rambut/kuku 2 mud makanan pokok untuk 2
orang miskin. Bila lebih dari 2 rambut/kuku harus fidyah seekor kambing, tetapi
dengan syarat rambut/kuku tsb.dicabut/dipotong pada waktu yang sama, bila tidak
bersamaan (dilain waktu) maka dihitung lagi seperti asalnya yakni 1 kuku 1 mud
dst.nya. i) Tidak boleh memakai minyak wangi (semua jenis wangi2an
berupa asap, cairan atau benda lain) baik dipakaian, ditangan maupun dibadan
dengan sengaja, walaupun jumlah wewangian itu sedikit.
Kalau karena lupa atau
tidak tahu bahwa melakukan hal tsb.haram hukumnya, maka tidak ada kafarah
(menurut imam syafii). Setelah ingat dan tahu hukumnya, harus mencuci tangan/badan
atau pakaiannya yang kena minyak wangi tsb. Begitu juga bila orang terpaksa
harus memakai wangi2an karena sakit, juga tidak perlu denda.
Tidak boleh menaruh
bahan2 penyedap yang harum dalam makanan&minuman, jika tidak berbau dan
terasa serta tidak tampak lagi warnanya sewaktu dimakan atau diminum itu
dibolehkan. Tetapi jika masih ada rasa/warnanya dll. maka harus membayar seekor
kambing (menurut imam Syafi’i.). j).Tidak boleh memakai minyak walaupun tanpa
harum2an di rambut kepala dan jenggot.
k) Tidak boleh memotong/mencabut tanaman2 basah
baik yang ditanam orang atau tumbuh sendiri ditanah haram. Menurut imam syafii
untuk pohon yang besar denda nya 1 ekor sapi, kalau pohon kecil 1 ekor kambing.
Tetapi kalau yang dipotong pohon kering atau rumput kering tidak ada
fidyah/denda (semua madzhab sepakat).
Ulama madzhab sepakat
,kecuali imam syafii, tidak boleh mengendarai motor yang beratap kalau sedang
dalam perjalanan, tetapi kalau bukan sedang dalam perjalanan boleh berteduh
dibawah atap, dinding dll
l) Haram berburu binatang darat, begitu juga
membunuh/memburu/merusak telor dan anak2nya, memerah susunya dll. Tetapi
memancing binatang laut tidak apa2 (qs.al-maidah:96). Binatang ditanah haram,
tidak boleh diburunya baik yang sudah tahalul atau sedang ihram. Kalau sedang
ihram menyembelih binatang buruan, maka binatang tsb. dianggap bangkai, semua
orang tidak boleh memakannya. Boleh memakan daging buruan yang tidak diburu
olehnya atau tidak atas suruhannya untuk memburu.
Kalau melanggar salah
satu keterangan2 yang tsb. diatas (kecuali kolom a&b dan
berburu) karena suatu udzur/halangan atau terpaksa -umpama mencukur
rambut, memakai pakaian berjahit dan sebagainya- semestinya
membayar fidyah seekor kambing atau memberi makan 6 orang setiap
orang 1 ½ ltr. atau puasa 3 hari. Jadi yang melanggar karena suatu udzur
ini bisa memilih salah satu diantara tiga macam denda/fidyah ini. Tetapi kalau
melanggar tanpa adanya udzur yang dibolehkan, maka harus menyembelih
seekor kambing, tidak ada pilihan lainnya, kecuali bagi orang yang tidak
mampu menyembelih kambing maka dia harus puasa 3 hari waktu di tanah haram dan
7 hari waktu kembali kenegerinya.
Kutu dikepala makruh
untuk dibunuh, hendaklah sodaqah kalau membunuhnya. Sedekahnya ialah membayar
denda dengan sesuap makanan, karena sesuap makanan ini lebih berharga dari
seekor kutu (kitab al-umm). Tetapi kalau sampai tercabut rambutnya karena
sengaja mengeluarkan kutu tsb., maka dia harus bayar denda, yaitu satu rambut 1
mud makanan pokok untuk 1 orang miskin, 2 rambut 2 mud untuk 2 orang miskin,
lebih dari 2 rambut dendanya seekor kambing. Denda ini juga berlaku bagi orang
yang menggaruk kepalanya dengan kuku.
Info: Pembayaran denda/dam harus dikeluarkan atau
disembelih di Mekkah.
Yang
dibolehkan waktu Ihram:
a) Mandi (tanpa dengan sabun). Menurut imam
syafi’i, orang boleh mandi dengan membasuh kepalanya baik dengan menuangkan air
keatas kepala maupun mencelupkan kepalanya dalam air hangat, dingin dll.,
tetapi lebih baik jangan menggosoknya. Tetapi bila untuk mandi wajib (junub
karena mimpi, suci dari haid/ nifas) boleh menggosok kepala dengan telapak
tangannya atau menyilang-nyilang rambutnya dengan pelan2. Jangan menggosok
dengan kukunya, karena rambut bisa tercabut. Apabila menggosok (bukan dengan
kukunya) dengan ringan atau kemudian ada rambut yang ditangannya, sebagai hati2
bayarlah denda. Tetapi denda ini tidak wajib sebelum benar2 yakin rambut tsb.
tercabut oleh tangannya. Karena kadang2 sehelai rambut sudah lepas tapi masih
menempel di-sela2 rambut yang ada dan akan terjatuh bila disentuh atau
digerakkan. b) Mengganti pakaian ihramnya dan mencucinya tanpa sabun. c)
Keluar darah, nanah, atau harus mengeluarkan nanah dari lukanya d)
Bersuntik. e) Menggaruk badan. f) Bercelak yang tidak wangi dan
bukan untuk perhiasan. g) Mengikat pundi2 untuk menyimpan uang. h)
Bercermin (ada yang memakruhkan). i) Membuang binatang yang ada ditubuh
(semut, nyamuk dll) tetapi jangan membunuhnya karena ada ulama yang mengatakan
tidak boleh membunuh. h) Menutupi muka dari debu, bagi wanita tidak
boleh menempelkan kewajahnya, karena wajah wanita tidak boleh ditutup. i)
Memakai minyak tanpa harum2an dibolehkan dibagian tubuh kecuali rambut dan
jenggot. j) Mimpi keluar sperma itu, tidak apa2 hanya wajib atasnya
mandi. k). Menurut imam Syafi’i, boleh makan/minum yang aromanya wangi
seperti keningar, jahe dll. yang sejenis. Begitu juga segala tumbuh2an kayu
yang sudah dikenal aroma wanginya seperti syih, qaishum, ijkhir dll. boleh
mencium/memakan atau ditumbuk lalu dibalurkan kebadan orang yang sedang ihram.
Karena tumbuh2an kayu yang dikenal aromanya ini bukan merupakan tanaman untuk
dibuat minyak wangi. l) Berbekam tanpa mencukur rambut. m). Boleh
memotong kulit yang terluka atau kuku yang pecah.n) Berkhitan. o) Mengolesi
obat, membalut luka dengan perban kecuali yang ada dikepala bagi
lelaki. Bila membalutnya dikepala maka kena fidyah. q) Pakai
pacar, baik bagi lelaki maupun wanita, selain ditangan dan dikaki. r)
Menurut imam Syafi’i boleh pakai minyak wangi setelah lempar jumrah Aqabah
dan mencukur rambut pada tgl. 10 dzulhijah, walaupun belum tawaf.
III. Di Masjid Haram Mekkah:
Sesampai di masjidilharam
Mekkah masuklah ,kalau bisa, dari pintu Babus Salam baca do’a; Allahumma
antas salam wa minkas salaam fa hayyinaa rabbanaa bis salaam wa adkhilnaa
jannata daaras salaam kemudian membaca do’a dengan khusyu’ dan
rendah diri: “A’udzu billaahil ‘azhim wa biwajhihil kariimi
wasulthoonihil qodiimi minasy syaithoonir rojiimi, bismillah Allahumma sholli
‘alaa sayyidinaa Muhammadin wa aalihi wa sallim. Allahummaqhfirlii dzunuubii
waftah lii abwaab rahmatika”.
Artinya: (Aku berlindung
dengan Allah Yang Maha Besar dan wajah-Nya yang Mulia serta dengan
kekuasaan-Nya yang Azali dari godaan setan yang terkutuk, dengan nama Allah, Ya
Allah limpahkanlah karunia dan kesejahteraan atas junjungan kita Muhammad
dan keluarganya. Ya Allah ampunilah dosa-dosaku dan bukakanlah bagiku
pintu-pintu rahmat-Mu.)
Do’a waktu melihat Ka’bah
pertama kali, hendaklah mengangkat tangan dan memohon: “Allahumma zid
haadzal baita tasyriifan wata’ dziiman watakriiman wa mahabbatan, wazid man
syarrafahu wa karromahu mimman hajjahu awi’ tamarahu tasyriifan wa
takriiman wata’ dziiman wa birran. Allahumma antas salaam fahaiyinaa rabbanaa
bis salaam”.
Artinya: (Ya Allah,
tambahkanlah bagi rumah ini (Ka’bah) kehormatan, kebesaran, kemuliaan,
kebesaran dan kebaikan. Ya Allah, Engkaulah kesejahteraan, dan dariMu
kesejahteraan, maka sambutlah kami ya Tuhan kami dengan kesejahteraan.)
Kemudian langsung kepojok
hajar Aswad, usahakan bisa mencium atau mengusap atau memberi isyarat
saja. Sebelum mulai dari hajar Aswad (lihat lampu hijau diatas yang
sejajar dengan hajar aswad), Niatlah thawaf untuk umrah tamattu’,
kemudian bertakbir (Bismillah Allahu Akbar) sambil memberi isyarat kearah hajar
Aswad. Waktu mau mulai thawaf dari hajar aswad setelah niat
thawaf dianjurkan membaca: ‘Bismillah, wallahu akbar, Allahumma iimaanan
bika wa tashdiiqan bi kitaabika, wa wafaa an bi’ahdika wattibaa’an lisunnatin
nabiyyi shollallahu ‘alaihi wa alihi wasallam’ .
Artinya: (Dengan nama
Allah, dan Allah Maha Besar, Ya Allah, demi keimanan kepadaMu dan membenarkan
kitab suciMu, memenuhi janji denganMu serta mengikuti sunnah NabiMu saw.).
Thawaf dalam keadaan ihram tanpa niat untuk thawaf sunnah, nadr atau wajib maka
hal ini dianggap sebagai thawaf wajib.
Lanjutan
keterangan Thawaf :
Thawaf ada 3 macam: a.
Tawaf qudum; Buat orang yang jauh ,bukan orang2 mekkah dan sekitarnya, ketika
masuk mekkah. Tawaf ini sebagai ganti 2 rakaat tahiyatul masjid. Hukumnya
sunnah, orang yang meninggalkan tidak kena apa2, kecuali menurut imam malik,
harus bayar fidyah/dam. b.Tawaf ziarah atau tawaf Ifadhah; Termasuk rukun
haji. Dilaksanakan setelah melaksanakan amalan2 haji (setelah lempar jumrah
aqabah, sembelih qurban dan cukur rambut) tgl.10 dzlhijah. Kemudian kembali ke
Mekkah untuk tawaf ifadhah. c.Tawaf wada’; Tawaf waktu meninggalkan
mekkah. Menurut imam maliki/syafii/ hanafi, tidak perlu khusus niat
untuk tawaf wada, karena niat haji secara umum telah mencukupinya. Tetapi orang
dibolehkan niat untuk thawaf wada. Keterangan lebih jelas tentang thawaf
ifadhah/wada baca halaman berikutnya.
Sunnah menyegerakan
thawaf waktu masuk ke Mekkah dan tidak sholat sunnah sebelum tawaf. Tetapi
apabila khawatir ketinggalan sholat wajib atau sunnah muakkadah
(qabliyah/ba’diyah sholat wajib), maka sholatlah wajib atau sunnah ini dahulu,
kemudian thawaf.
Menurut imam Syafi’i,
orang yang thawaf sedang menggendong anak kecil atau sedang diusung, kemudian
dia niat thawaf untuk dirinya dan untuk yang digendong atau yang diusung, maka
thawaf ini sah untuk yang digendong atau diusung saja. Sedangkan yang menggendong
atau yang mengusung harus thawaf lagi untuk dirinya. Thawaf tidak
sah dalam keadaan tidak berakal, begitu juga orang yang thawaf dengan
ditandu/diusung tidak sah dalam keadaan pingsan atau tidak berakal.
Tawaf 7x putaran, tidak
boleh kurang dari 7x putaran walau selangkah. Ka’bah harus terletak disebelah
kirinya. Tempat
thawaf ialah seluruh bagian masjidil haram Mekkah.
Mulai thawaf harus sebelum
atau sejajar hajar aswad (lihat lampu hijau diatas yang sejajar dengan hajar
aswad), karena kalau melebihi hajar aswad maka harus diulangi karena belum
terhitung satu putaran. Baca tahlil (laailahaillallah), takbir dan kalau
memungkinkan mencium hajar aswad, kalau repot/susah cukup melambaikan tangan
nya kearah hajar aswad. Malah tidak disunnahkan bila sangat berdesakan orang
untuk cium hajar aswad, karena bisa membahayakan dirinya.
Sunnah pada 3 putaran pertama lari2 kecil
(bagi lelaki) sampai sudut Yamani dan berjalan biasa antara sudut
Yamani dan Hajar Aswad-Hajar. Mulai putaran keempat sampai ketujuh berjalan
biasa. Umpama sangat berdesakan, carilah tempat yang agak luang untuk bisa
lari2 kecil ini. Lari2 kecil ini hanya disunnahkan bagi orang yang tawaf
disambung dengan sa’i. Dianjurkan banyak berdo’a, berdzikir dan sholawat kepada
Nabi saw. waktu thawaf ini. Ketika tawaf boleh istirahat atau di putus sebelum
7 putaran (karena letih, waktu sholat tiba atau sholat jenazah dll). Setelah
itu teruskan thawafnya ,jadi tidak perlu mengulang thawaf lagi, tapi ingat!
harus dimulai ditempat semula waktu anda berhenti dan tidak
boleh melebihi dari tempat semula ketika berhenti tsb. Bila melebihinya
walaupun setapak maka belum dihitung satu putaran.
Orang sedang mimisan atau muntah dalam
thawaf, boleh berhenti untuk membasuh darah/muntahnya, lalu meneruskan
thawafnya dari tempat semula dia waktu berhenti. Begitu juga bila batal
wudunya karena kentut dll. (bukan karena tersentuh lawan sejenis yang bukan
muhrim waktu thawaf ini, karena menurut madzhab Syafií tidak batal wudunya
karena darurat), maka harus wudu lagi kemudian meneruskan thawafnya dari tempat
semula dia waktu berhenti. Thawaf harus suci dari hadats/ najis
pakaian/sandal/badan dan dalam keadaan berwudhu, bila tidak demikian maka batal
thawafnya. Bila orang ragu2 tentang putaran yang telah dijalani maka
pilihlah jumlah yang paling kecil.
Do’a singkat waktu thawaf: “Subhanallah,
walhamdulillah, walaa ilaaha illallah, walllahu akbar, walaa haula walaa
quwwata illa billaah, Allahummaj ‘alhu hajjan mabruura wadzanban maghfuuraa,
wasa’yan masykuuraa. Robbigh fir warham wa’fu ‘ammaa ta’lam, wa antal a’azzul
akram. Allahumma aatinaa fid dunyaa hasanatan wa fil aakhirati hasanatan wa
ginaa ‘adzaaban naar ” .
Artinya: (Maha Suci Allah, segala puji
bagi Allah, dan tiada Tuhan melainkan Allah, Allah Maha Besar dan tiada daya
maupun tenaga/upaya kecuali dengan Allah. Ya Allah jadikanlah hajiku ini haji
yang mabrur/diterima, dosaku diampuni dan sa’iku dihargai.Ya Tuhanku, ampunilah
daku dan kasihanilah dan maafkan kesalahan-kesalahanku yang Engkau ketahui, dan
Engkaulah Yang Maha Kuat dan Maha Mulia. Ya Allah, berilah kami di dunia
kebaikan dan di akhirat juga kebaikan dan lindunginlah kami dari siksa neraka).
Antara rukun Yamani dan hajar aswad
membaca do’a: ‘Allahumma aatinaa fid dunyaa hasanatan wa fil
aakhirati hasanatan wa ginaa ‘adzaaban naar. Allahumma gonni’nii bimaa
rozaqtanii wa baariklii fiihi, wakhlif ‘alaiya kulla ghaaibatin bikhoirin’.
Artinya: (Ya Allah, berilah kami di dunia kebaikan dan di akhirat juga kebaikan
dan lindunginlah kami dari siksa neraka. Ya Allah berilah daku kecukupan dengan
rezeki yang telah Engkau berikan padaku, dan berilah daku berkah padanya, serta
gantilah segala barang yang hilang dengan yang baik). Do’a ini juga boleh
dibaca pada waktu thawaf juga.
Setelah Thawaf: pergilah dibelakang maqam
Ibrahim (kalau bisa sambil membaca Wattakhidzu min Maqaami Ibraahima
musholla), untuk sholat 2 rakaat dengan niat sholat sunnah thawaf.
Rakaat pertama setelah Fatihah membaca surat Al-Kafirun, dan rakaat
kedua setelah Al-Fatihah baca surah Al-Ikhlas. Dianjurkan juga untuk
berdo’a setelah sholat ini. Kemudian pergilah ke tempat Zam Zam untuk
minum air nya, waktu mau minum menghadaplah ke Ka’bah, ingatlah Allah,
bernafaslah tiga kali dan minumlah sampai puas (banyak) sambil memuji Allah
serta berdo’a: Allahumma innii as aluka ‘ilman naafi’an warizqan waasi’an
wasyifaa-an min kulli daain. Artinya: (Ya Allah, aku memohon kepadaMu agar
diberi ilmu yang bermanfaat, rezeki yang luas dan agar disembuhkan dari segala
penyakit).
Sisakan sedikit airnya
dan usapkan pada dada dan muka anda. Dari tempat Zam Zam ini pergilah ke Multazam
(antara hajar aswad dan pintu Ka’bah) berdo’alah disini. Kemudian masuklah ke Hijr
Ismail sholatlah disini sunnah muthlaq (hanya niat sholat saja) 2 raka’at,
dianjurkan juga untuk berdo’a disini.
V. Sa’i :
7 putaran. Termasuk
rukun haji jadi tidak bisa diganti dengan Fidyah. Menurut imam Syafi’i, sah
sa’inya orang yang diusung atau didorong dengan kereta walaupun tidak
sakit. Sa’i adalah sambungan dari tawaf bagi yang melakukan umrah atau haji dan
tidak boleh dilaksanakannya sebelum thawaf.
Setelah selesai semua
amalan thawaf dan sunnah2nya diatas, pergilah ke pintu namanya Shofa dan
naiklah kelembah Shofa sambil membaca Innas Shofa Wal Marwata min
Sya’aairilllah Faman Hajjal baita auwi’ tamara falaa junaaha ‘alaihi an
yattauwafa bihimaa. (Al-Baqarah:158), kemudian baca [Abdau bimaa
badaallahu bihi/Aku mulai dengan apa yang dimulai oleh Allah].
Sampai dilembah ini
menghadap ke Ka’bah mengucapkan tahlil, takbir 3X , memuji Allah swt. dan
berucap: Lailaha illallah wahdahu laa syariikalah lahul mulku walahul hamdu
yuhyii wa yumiitu wahua ‘ala kulli syai in qodiir. Lailahaillah wahdahu anjaza
wa’dahu wa hazamal ahzaaba wahdahu, kemudian berdo’a, lakukanlah 3x.
Kemudian turun kebawah
berjalan menuju ke Marwa. Diantara 2 tonggak sunnah lari2 kecil (bagi
lelaki). Diantara 2 tonggak ini ,menurut riwayat, lokasi rumah sayidina Abbas
bin Abdul Muthalib ra. Sampai mulai naik kelembah Marwa, bacalah seperti diatas
, Innas Shofa Wal Marwata min Sya’aairilllah Faman Hajjal baita auwi’ tamara
falaa junaaha ‘alaihi an yattauwafa bihimaa. Sesampai dilembah Marwa,
menghadap kiblat membaca do’a seperti di Shofa. Ulangi seperti itu setiap kali
berada di Shofa dan Marwa sampai 7x putaran mulai dari shofa terakhir di marwa.
Setelah sa’i terakhir di
Marwa menghadap ka’bah dan berdo’alah sesuka hati atau lihat kumpulan
doa2 dalam buku manasik haji. Setelah itu guntinglah rambut (jangan
dicukur gundul). Maka halal semua yang dilarang waktu ihram umrah ini.
Orang yang tidak mampu sa’i walaupun dengan naik kendaraan boleh
diwakilkan, hajinya sah. Orang yang sengaja menambah 7 putaran batal sa’inya,
tetapi kalau tak tahu atau lupa tidak apa2. Keraguan dalam sa’i
tetap sah, tapi yang penting yakin 7x. Umpama ragu 5 atau 6x putaran ambil yang
sedikit kemudian lengkapkan 7x.
Do’a singkat waktu berjalan antara Shafa
dan Marwa: ‘Rabbiqh fir warham, wahdinis sabiilal aqwam, innaka antal
a’azzulk akram’. Artinya (Ya Tuhanku, ampunilah dan beri rahmatlah daku,
serta tunjukilah daku jalan yang lurus sungguh Engkau Maha kuat lagi Maha
Mulia).
VI. Ke Mina:
Tanggal 8 dzulhijjah pergi ke Mina. Kita
pakaian ihram lagi dari rumah/hotel cara sunnah2nya lihat atas nr. (II).
Sedang untuk niatnya tidak sama dengan diatas, karena
diatas kita niat untuk ‘Umrah, sekarang kita niat haji tamattu ketika
pakai ihram, lebih mudahnya kami tulis niatnya sbb:
(Allahumma inni uriidul hajji tamattu’
fayassirhu li wa taqabbalahu minni. Nawaitul haj tamattu wa ahramtu bihi
lillahi ta’ala. Artinya: ‘Ya Allah sesungguhnya aku ingin haji tamattu,
maka mudahkanlah buatku dan terimalah dariku. Saya berihram dan dengannya saya
niat haji tamatu karena Allah yang maha tinggi’), kemudian baca
talbiyah (labbaik allahumma labbaik, labbaik laa syariikalaka labbaika innal
hamda wan ni’mata laka wal mulka laa syariikalaka 3X) setelah itu baca
sholawat kepada Rasulallah saw.
Kemudian sholat sunnah dengan niat
untuk ihram haj tamattu’ minimal 2 raka’at sampai 6 raka’at. Setelah sholat
ucapkanlah:
Labbaik Allahumma bi Haj (bagi haji Tamattu’)
kemudian Talbiyah lagi (Labbaik Allahumma
labbaik.Labbaik laa syarikalaka labbaik, Innal hamda wan ni’mata laka wal
mulka laa syariika laka 3X), baca sholawat kemudian baca doa: Allahumma
ilaika shomadtu, wa iyyaaka I’tamadtu wawajhaka aradtu. Fa as aluka an
tubaarika lii rihlatii wa an taqdhii lii haajatii wa taj ‘alanii mim man
tubaahii bihil yauma man huwa afdhalu minnii.
Membaca Talbiyah ini mulai
ber-ihram tgl. 8 dzulhijjah sampai waktu pelemparan jumrah ‘Aqabah hari pertama
tanggal 10 Dzulhijjah. Di Mina sini kita sholat Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’
dan Shubuh, tidak dijamak. Disini kita dianjurkan juga berdzikir,
talbiyah, berdo’a, bersholawat dan sebagainya. Tanggal 9 dzulhijjah ,setelah
terbit matahari, kita berangkat ke ‘Arafah sambil bertalbiyah, takbir,
tahlil dan disunnahkan melalui jalan Dhab.
VII. Arafah :
Termasuk rukun Haji,
tidak boleh ditinggalkan. Wukuf disini berlaku mulai tergelincir nya matahari
(waktu dhuhur) sampai terbenamnya matahari atau sampai shubuh tanggal 10
dzulhijah. Boleh juga ke Arafah 1-2 hari sebelum tgl. 9 dzulhijah, khusus nya
bagi yang sakit, tua, wanita atau takut berdesakan. Pokoknya di arafah orang
harus wukuf waktu dhuhur tgl. 9 dzulhijjah.
Di Arafah ini kita
sholat Dhuhur dan Ashar dijamak (dirangkap), baik itu secara sendirian
atau secara berjama’ah.
Wukuf antara waktu
dhuhur sampai shubuh tgl. 10 ,walaupun sesaat, sahlah wukuf tsb. Bila
orang wukuf mulai dhuhur sampai shubuh tgl.10 dalam keadaan pingsan dan tidak
berakal, maka hajinya batal. Tetapi bila dia kembali sehat waktu
wukuf ,walaupun sesaat, kemudian pingsan lagi, maka hajinya sah.
Hanya dalam keadaan seperti itu dikenakan denda seekor kambing. Begitu juga
bila orang masuk arafat setelah dhuhur dan keluar sebelum matahari terbenam,
sah hajinya, tapi bayar fidyah Dam.
Sunnah wukuf dibatu-batu
besar dan dianjurkan juga membaca talbiyah, takbir, dzikir, do’a dan sholawat
kepada Rasulallah saw. Setelah terbenam matahari tanggal 9 dzulhijjah, kita
keluar darisini menuju ke Muzdalifah.
Bacaan dan do’a singkat
waktu wukuf di ‘Arafah: ‘Laa ilaaha illallahu wahdahu laa
syariikalah, lahul mulku, walahul hamdu, biyadihil khairu wahuwa ‘alaa kulli
syai-in qadiir. Allahumma lakal hamdu kalladzii taguulu wa khoiran mimmaa
naguulu, Allahumma laka sholaatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii wa ilaika
ma-aabii wa laka robbi turaatsii, Allahumma innii a’udzubika min ‘adzaabil
gobri, wa waswasatish shodri, wa syataatil amri, Allahumma innii a’udzubika min
syarri maa tahubbu bihir riihu’.
Artinya (Tiada Tuhan
melainkan Allah, Tunggal tidak bersekutu, milikNya kerajaan dan bagiNya
puji-pujian, di tanganNya tergenggam kebaikan dan Dia kuasa berbuat segala
sesuatu. Ya Allah, bagiMulah puji segala apa yang Engkau firmankan dan lebih
baik dari apa yang kami ucapkan, Ya Allah bagiMulah sholatku dan ibadatku,
hidup serta matiku dan kepada Mu kembaliku serta bagiMu ya Tuhanku hart
peninggalanku, Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari siksa kubur dan rasa
waswas di dada serta dari tercerai berainya urusan, Ya Allah, aku berlindung
kepadaMu dari bencana yang dibawa oleh tiupan angin).
VIII. Muzdalifah
:
Setelah terbenam
matahari tanggal 9 dzulhijah kita keluar dari Arafat menuju ke Muzdalifah.
Menurut imam Hanafi/Syafi’i/Ahmad, hukumnya wajib tetapi bukan rukun Haji, yang
meninggalkan dikenakan Fidyah seekor kambing. Di Muzdalifah kita
menginap, sholat Maghrib dan Isya’ disini dengan dijamak. Apabila orang
sampai tengah malam belum sampai di Muzdalifah maka sholatlah maghrib+isya’
ditempat manapun dia berada.
Disunnahkan ambil batu kerikil sebesar biji jagung atau
lebih besar sedikit, untuk melempar jumrah dari tempat ini, sejumlah 70
bagi yang melempar sampai dengan tgl. 13 Dzulhijjah, sedangkan untuk yang
sampai dengan tanggal 12 Dzulhijjah maka jumlahnya 49 biji. Boleh juga
mengambil batu dilain tempat, sedangkan mengambil batu dari tempat pelemparan
jumrah hukumnya makruh. Setelah sholat shubuh tgl. 10 Dzulhijjah
berjalan ke Masy’aril Haram, disini kita dianjurkan juga untuk berdo’a,
berdzikir, talbiyah.
Masuk Muzdalifah dari
tengah malam pertama sampai shubuh, itu sah walaupun sebentar saja disitu.
Orang boleh keluar dari muzdalifah setelah tengah malam, tetapi kalau sebelum
tengah malam keluar dan tidak kembali lagi maka dikenakan denda seekor kambing.
Begitu juga denda seekor kambing bagi orang yang tidak masuk muzdalifah antara
tengah malam pertama sampai waktu shubuh.
Setelah sholat shubuh
berjalan ke Masy’aril haram, sesampai disini kita disunnahkan do’a, berdzikir,
talbiyah. Setelah matahari agak terang tapi belum terbit tanggal 10
dzulhijah, kita berangkat menuju pelemparan Jumrah ‘Aqabah.
Batas2nya muzdalifah: dari Ma’zimi sampai ke Al-Hiyadh dan sampai ke
Wali Mahsar.
IX. Lempar jumrah:
Jumhur ulama mengatakan
hukumnya wajib, tapi bukan termasuk rukun haji. Jadi bila orang
meninggalkannya maka harus bayar fidyah seekor kambing. Waktu melempar setan
pada jumrah, kita niat menurut perintah agama dan mengikuti jejak Nabi
Ibrahim as. Setiap lemparan berkata Bismillah Allahu Akbar, dan berdo’a Ya
Allah jadikanlah haji ini haji yang diterima, dan dosa yang diampuni.
Melempar harus dengan batu atau sejenisnya
(marmer, batukarang, granit dll.) dan bersih dari najis. Selain batu umpama;
tanah liat yang sudah mengeras, tanah liat yang dibakar [bata,genting dll.,
garam padat), tidak boleh dibuat melempar.
Adapun besar batunya ialah sebesar khadaf
(ujung jari tangan) atau sebesar biji kacang.
Setiap jumrah dilempar dengan 7 buah batu,
tidak boleh kurang walaupun satu batu. Menurut imam Syafi’i dalam kitabnya Al-umm,
bila orang sudah melempar 3 jumrah tapi lemparannya kurang satu dan dia tidak
tahu jumrah mana yang kurang lemparan nya tsb.,maka dia harus mengulang seluruh
lemparannya.
Lemparan juga baru sah bila telah
kena jumrahnya atau masuk kedalam sumur tampungan kerikil. Bila tidak
kena jumrah atau tidak jatuh pada sumur tampungan nya, maka harus diulangi
lemparan yang belum kena tsb. Orang juga harus melempar satu2, tidak boleh dua2
atau sekaligus 7 batu dan harus dilemparkan tidak hanya dijatuhkan.
Melempar jumrah pada hari pertama hanya
jumrah Aqabah saja dan dimulai setelah terbit matahari tgl. 10
DzulHijjah sampai terbenam matahari.
Menurut imam Syafi’i dalam kitabnya
Al-umm, boleh mendahulukannya atau mengakhirkannya sampai malam hari atau esok
harinya. Selain imam Syafi’i, tidak boleh melempar sebelum matahari terbit
tanpa adanya udzur/halangan (sakit, takut dll.) Dibolehkan juga sebelum
matahari terbit dengan syarat melempar tsb. dilaksana kan setelah lewat
tengah malam sebelum terbit fajar shubuh.
Setelah lempar pada hari pertama ini,
kembali ke Mina untuk memotong hewan Qurban, memotong atau mencukur
rambut namanya Tahallul pertama. Sekarang semuanya menjadi
halal kecuali bersenggama.
Menurut imam Syafi’i dalam kitabnya
Al-umm, bila orang mencukur sebelum berkurban atau kurban sebelum mencukur atau
sembelih kurban sebelum lempar jumrah aqabah, semuanya adalah sah.
Pada hari2 (tasyriq) berikutnya
(tgl.11,12,13 dzulhijah), setiap harinya melempar 3 jumrah, pertama lempar
jumrah Ula kemudian jumrah Wustha dan Aqabah serta waktu mulai pelemparannya
harus setelah zawal (dhuhur), bila melempar sebelum dhuhur harus
diulangi.
Setiap selesai pelemparan Ula (pertama)
dan Wustha (tengah) pada hari2 tasyriq, disunnahkan menghadap kiblat untuk
berdoa (isi doa bisa didapati dikitab manasik haji). Sedangkan setelah lempar
jumrah Aqabah pada hari tasyriq, tidak perlu doa lagi. Barangsiapa lupa
melempar siang hari, maka boleh dilakukan pada malam hari. Bila orang lupa
melempar semua jumrah dan baru ingat tgl.12 atau tgl. 13 dzulhijah, maka pada
hari itu dia harus melempar semua jumrah, dengan syarat pada tgl.11/12 atau
sampai dengan tgl.13 berada di Mina, bila tidak di Mina maka dikenakan denda.
Bagi orang yang berhalangan untuk melempar
(tua, lemah/ sakit) boleh diwakilkan pelemparan kepada orang lain dan niatkan
pelemparan tsb. untuk orang yang di wakili.
Keterangan singkat tentang sembelihan
binatang kurban:
Menurut imam Syafi’i dalam kitabnya
Al-umm, bila sembelihan kurban sebagai amalan wajib, maka tidak boleh
memakannya (hasil kurbannya), bila dia memakan nya maka harus bayar denda
seharga daging yang ia makan. Namun bila kurban sunnah (kurban idul adha,
aqiqah dll.) maka boleh memakan sebagian dagingnya, memberi makan fakir miskin,
menghadiahkan pada orang lain, menyimpannya atau menyedekahkannya. Tetapi lebih
baik 1/3 dimakan/disimpan, 1/3 dihadiahkan dan 1/3 lagi disedekahkan.
Disunnahkan memakan jantung daging kurban.
X.
Thawaf Ifadhah:
Setelah selesai kurban dan cukur rambut
pada tgl. 10 dzulhijjah, maka pada malam hari tanggal 10 Dzulhijjah kita
ke Mekkah untuk thawaf Ifadhah/ziarah dan niat thawaf Ifadhah. Ijma’
para ulama thawaf ini sebagai rukun haji tidak bisa diganti dengan
Fidyah. Setelah thawaf ini disunnahkan sholat sunnah thawaf dua raka'at, di
belakang maqam Ibrahim, kemudian dilanjutkan dengan sa’i. Setelah sa’i,
mencukur rambut (tahalul kedua), maka semuanya halal.
Waktu terakhirnya thawaf ifadah, menurut
imam Syafi’i, tidak terbatas tetapi selama orang belum thawaf Ifadhah maka
tidak boleh bersenggama. Sedangkan untuk wanita dianjur kan mengerjakan dengan
segera karena dikhawatirkan kedatangan haidh. Wanita juga dibolehkan meminum
obat untuk menyetop haidh pada bulan haji itu, selama obat itu tidak menjadikan
bahaya buat dirinya.
Setelah thawaf ifadhah, kita kembali lagi
ke Mina untuk menginap disana tanggal 11,12, 13 Dzul Hijjah (Hari2 Tasyriq).
XI. Mina:
Menurut Imam Malik, Syafi’i dan Imam
Ahmad, bermalam disini selama 2 malam, yaitu malam kesebelas dan kedua belas
dzulhijjah hukumnya wajib, sedangkan malam ketiga belas sunnah.
Menginap diluar batas Mina, harus bayar denda 1 dirham untuk 1 malam, 2
dirham untuk 2 malam sedangkan 3 malam dendanya seekor kambing. Amalan2
yang harus dilakukan pada hari2 tsb. melempar 3 jumrah (baca keterangan pada
lempar jumrah). Di Mina juga dianjurkan berdo’a, berdzikir dan bersholawat
tetapi tidak bertalbiyah lagi.
Imam Mujahid mengatakan tidak ada salahnya
bila permulaan malam berada di Mekkah dan setelah itu berada di Mina atau
sebaliknya awal malam di Mina dan akhirnya di Mekkah. Tetapi paling utama
adalah bermalam disana.
Keluar dari Mina dianjurkan sebelum
terbenamnya matahari tgl. 12 atau tanggal 13 dzulhijjah. Orang yang menginap
sampai dengan tgl. 12 harus meninggalkan mina sebelum matahari terbenam,
bila setelah matahari terbenam, maka dia harus menginap lagi sampai dengan tgl.
13 dzulhijjah.
XII.Thawaf Wada’:
Artinya Thawaf selamat tinggal/Perpisahan
dengan Ka’bah.
Thawaf ini merupakan upacara haji terakhir
yang dilakukan oleh orang yang berhaji ,bukan penduduk Mekkah. sewaktu hendak
berangkat meninggalkan kota Mekkah.
Dalam thawaf wada’ ini tidak disunnahkan
lari2 kecil pada 3 putaran pertama.
Hukumnya: Para ulama sepakat
bahwa ia disyari’atkan, berdasarkan hadits yang di riwayatkan oleh Imam Muslim
dan Abu Dawud dari Ibnu ‘Abbas.: “Orang-orang berpaling, menuju pelbagai
jurusan. Maka sabda Nabi saw.; ‘Janganlah salah seorang darimu berangkat,
sebelum ia melakukan pertemuan terakhir dengan Baitullah (Ka’bah).
Menurut madzhab Imam Hanafi, golongan Imam
Ahmad (Hanbali) dan satu riwayat dari pendapat Imam Syafi’i hukumnya adalah
wajib, jadi siapa yang meninggalkan- nya diwajibkan membayar fidyah (seekor
kambing).
Waktunya : Setelah selesai dari
manasik Haji dan mau pulang ke negerinya (keluar dari Mekkah) agar thawaf ini
pertemuan yang terakhir dengan Ka’bah sebagai yang telah dikemukakan pada
hadits diatas. Setelah thawaf hendaklah ia langsung berangkat, tanpa melakukan
pembelian atau penjualan atau tinggal beberapa lama lagi di Mekkah. Bila ia
melakukan hal itu maka menurut ulama harus mengulangi thawafnya ini. Kecuali
bila ada sesuatu kepentingan atau halangan yang harus diselesaikannya dan tidak
bisa ditinggalkannya, maka tidak perlu di ulanginya. Oleh karenanya usahakan
sebelum thawaf wada’ ini semuanya sudah beres dan siap langsung
berangkat.
Wanita yang haidh tidak
wajib tawaf wada’, tetapi kalau dia sudah suci dan masih berada di Mekkah, maka
wajib atasnya untuk thawaf sebelum meninggalkan Mekkah. Bila dia meninggalkan
mekkah, padahal waktu di Mekkah sudah suci, maka dia harus kembali kalau masih
dekat jaraknya yakni tidak lebih dari jarak qashar/89km. Bila sudah lebih dari
jarak qashar, maka dia harus mengirimkan kurban ke Mekkah untuk disembelih
disana. Sedangkan wanita istihadah wajib thawaf
dihari-hari waktu ia biasa sholat, kalau yakin bukan darah haidh, kalau
meninggalkan thawaf wada’ maka harus bayar Dam.
Do’a pada waktu thawaf Wada’/perpisahan: ‘Allahumma
innii ‘abduka, wabnu ‘abdika wabnu amatika, hamaltanii ‘alaa maa sakhkhorta lii
min kholgika, wasatartanii fii bilaadika hattaa ballaghtanii bini’matika ilaa
baitika wa a’antanii ‘alaa adaai nusukii, fain kunta rodhiita ‘annii fazdad
‘annii ridhoo, wa illaa faminal aana fardha ‘annii gobla an tan-aa ‘an baitika
daarii, fa haadzaa awaanun shiraafii in adzinta lii ghoira mustabdilin bika
walaa bi baitika, walaa raaghibin ‘anka, walaa ‘an baitika, Allahumma
fash-hibniil ‘aafiyata fii badanii, wash shihhata fii jismii, wal ‘ishmata fii
diinii, wa ahsin mungalabii, war zuqnii thoo’ataka maa abgoitanii, waj ma’ lii
baina khoirayid dunyaa wal aakhirati, innaka ‘alaa kulli syai-in godiir’.
Artinya (Ya Allah, aku ini adalah hamba Mu
dan putra dari hamba dan sahayaMu, Engkau bawa aku dengan mengendarai makhluk
yang Engkau kuasakan kepadaku, Engkau lindungi aku di-wilayah2 kekuasaan
Mu hingga dengan karuniaMu sampailah aku ke rumahmu (baca: Ka’bah), Engkau beri
aku bantuan dalam menunaikan ibadah hajiku, maka jika aku telah Engkau ridhai,
tambahlah kiranya keridhaan itu, dan jika belum, maka ridhailah aku sekarang
ini, sebelum rumahku terpisah jauh dari rumahMu (baca:Ka’bah). Maka jika Engkau
izinkan, sekarang ini adalah saat keberangkatan ku tanpa menggantiMu atau
mengganti rumahMu, terhindar dari kebencian kepadaMu atau kepada rumahMu. Ya
Allah, mohon tubuhku selalu disertai oleh keselamatan dan badanku oleh kesehatan,
begitu pun agamaku dengan perlindungan. Selamatkanlah kepulanganku,
limpahkanlah ketaatan kepadaMu selama hayatku dan himpunlah buatku kebaikan
dunia serta akhirat. Sungguh Engkau kuasa atas segala sesuatu.)
Imam Syafi’i berkata: ‘Saya suka jika seseorang
(setelah) melakukan thawaf perpisahan berdiri di Multazam lalu menyebut hadits
(do’a) diatas’.
Bagi orang yang ingin membaca do’a-do’a
lebih panjang dan komplit, silahkan beli buku manasik haji yang tercantum
do’a-do’a untuk setiap putaran waktu thawaf, sa’i, di Multazam dan lain
sebagainya.
Ziarah ke Madinah :
Janganlah kita lupa untuk mampir ke Masjid
Nabawi di Madinah serta ziarah junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw. penghulu
seluruh Nabi dan Rasul. Tanpa beliau saw. kita tidak mengetahui syari’at Islam,
dengan ziarah pada beliau lebih mengingatkan kita kembali kepada Allah swt. dan
Rasul-Nya. Di masjid Nabawi juga ada kuburan sahabat Rasulallah saw yaitu
Sayyiduna Abubakar dan Sayyiduna ‘Umar bin Khattab -radhiyallahánhuma-.
Begitu juga ziarah pada kuburan Baqi’
yang mana disitu para isteri dan ahlul-bait Rasulallah saw.antara lain; imam
Hasan bin Ali bin abi thalib, imam Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin abi
Thalib, Imam Muhamad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin dan Imam Jakfar As-Shodiq
putra Imam Muhamad al-Baqir dll. –radhiyallahu’anhum—, dikuburkan. Menurut
riwayat, tidak kurang dari 10 ribu sahabat yang dikubur disitu, termasuk juga
sayidina Utsman bin ‘Affan ra.
Jangan lupa juga ziarah kepada isteri
Rasulallah saw. yang pertama Siti Khadijah Al-Kubra yang dikubur di Ma’la,
di Mekkah. Kemudian ziarahlah ketempat Uhud dimana Sayyidina Hamzah
dan para syuhada lainnya dikuburkan disana.
Jangan lupa juga untuk mendatangi masjid Kuba,
masjid Qiblatain dan masjid-masjid lainnya yang bersejarah, sholatlah dua
raka’at disana sebagai sholat Tahiyyatul Masjid. Tempat-tempat itu semua
selalu diliputi oleh Barokah dan Rahmat Ilahi. Untuk lebih mendetail baca bab
ziarah kubur dan pengambilan barokah, tawassul dll. disitus ini. .
Adab/cara memasuki masjid Madinah
dan berziarah:
−Disunnahkan masuk masjid Nabawi di
Madinah dengan tenang dan tenteram, mengenakan pakain yang terbaik dan memakai
wangi-wangian, melangkahkan kaki sebelah kanan sambil membaca: “ A’udzu
billahil ‘adhim, wa biwajhihil kariim, wa sulthonihil godiim, minasy syaithonir
rojiim. Bismillah, Allahumma sholli ‘alaa sayyidinaa Muhammadin wa aalihi wa
sallam. Allahummagh firlii dzunuubii waftah lii abwaaba rohmatika”.
Artinya: (Aku berlindung kepada Allah yang
Maha Besar dan dengan wajahNya yang Mulia serta kekuasaan-Nya yang Azali dari
godaan setan yang terkutuk. Dengan nama Allah, Ya Allah limpahkanlah karunia
dan kesejahteraan atas junjungan kita Muhammad dan keluarganya. Ya Allah
ampunilah dosa-dosaku dan bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat Mu.)
Sunnah mendatangi dan menghadap kemakam
Rasulallah saw. sambil mengucap kan salam: ‘Assalaamu’alaika ya Rasulallah,
assalaamu ‘alaika ya habibullah, assalaamu’alaika yaa nabiyallah,
assalaamu’alaika yaa khiyarata khalgillaahi min khalqih, assalaamu ’alaika
khaira khalgillah, , assalaamu’alaika yaa sayyidal mursaliin,
assalaamu’alaika yaa rasullallaahi rabbil ‘aalamiin, assalaamu’alaika gooidal
ghorril muhajjaliin. Asyhadu an laa ilaa ha illallah, wa asyhadu annaka ‘abduhu
wa rasuuluhu wa amiinuhu wa khiyaratuhu min kholgihi. Wa asyhadu annaka gad
ballaghtar risaalata wa addaital amaanata wa nashohtal ummata, wa jaahadta
fillahi haqqa jihaadihi’. Artinya (Selamat sejahtera atasmu wahai
Rasulallah, selamat sejahtera atasmu wahai kekasih Allah, selamat sejahtera
atasmu wahai Nabi Allah, selamat sejahtera atasmu wahai makhluk pilihan di
antara makhluk2 Ilahi, selamat sejahtera atasmu wahai sebaik-baik makhluk,
selamat sejahtera atasmu wahai penghulu semua Rasul, selamat sejahtera atasmu
wahai Rasul dari Allah Tuhan seluruh alam dan selamat sejahtera atasmu wahai
panglima dari orang-orang cemerlang dan terkemuka. Aku bersaksi bahwa tiada
Tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa anda adalah hamba dan utusan-Nya,
kepercayaan-Nya dan makhluk pilihan-Nya. Aku bersaksi bahwa anda telah
menyampaikan risalat, memenuhi amanat, mengajari umat dan berjuang di jalan
Allah sebenar-benar berjuang). Kemudian berdo’lah kepada Ilahi apa yang
anda inginkan, dengan menghadapkan wajah anda ke makam Rasulallah saw. (masalah
menghadap kiblat ketika do’a dimuka makam Rasulalallah saw, silah kan baca
keterangan terakhir dibawah ini).
Dan bila ada orang yang titip salam kepada
Rasulallah saw. maka ucapkanlah: ‘Assalaamu’alaika ya Rasulallah min…artinya:
(selamat sejahtera atasmu wahai Rasulallah dari…..).
Kemudian geser kira-kira dua langkah
kekanan (bagi kaum wanita yang tidak bisa masuk bagian depan makam Rasulallah
saw. maka makam Rasulallah dari bagian belakang ini, letaknya adalah paling
kanan, kemudian geser kekiri untuk makam sayyidinaa Abubakar dan kekiri lagi
untuk makam sayyidina Umar) dan mengucapkan salam kepada sayyiduna Abubakar
Ash-Shiddiq: ‘Assalaamu ’alaika ya kholiifah Abu Bakar Ash-Shiddiq,
Allahummardho ‘anhu, wa akrim magaamahu bifadhlika wa karamika’.
Artinya (selamat sejahtera atasmu wahai kholifah Abubakar Ash-Shiddiq, Ya Allah
limpahkan ridhoMu kepadanya dan muliakanlah tempatnya dengan karuniaMu dan
kemuliaanMu). Kemudian geser lagi kekanan ke makam sayyidinaa Umar ucapkanlah
yang sama kepada khalifah Abubakar Ash-Shiddiq hanya namanya saja dirubah.
Dari makam sini anda usahakanlah masuk ke raudhah
syarifah (taman yang mulia) letaknya antara makam Rasulallah dan mimbar
beliau saw.. Sholatlah disini 2 raka’at dengan niat sholat tahiyyatul
masjid. Bagi yang sudah sholat tahiyatul masjid maka sholatlah disini 2
rakaat atau lebih dengan niat sholat sunnah muthlaq (hanya niat untuk sholat
saja). Tapi ingat, sholat muthlaq tidak boleh dilakukan pada waktu2 berikut ini
: Setelah sholat shubuh, setelah sholat ashar, matahari baru terbit,
matahari ketika ditengah-tengah ufuk sebelum waktu dhohor masuk dan ketika
matahari mau terbenam.
− Setelah keluar dari masjid Nabawi
pergilah ke kuburan Baqi’ ( dekat masjid Nabi saw). Hadapkanlah wajah
anda kearah Baqi’ ini sambil membaca:
‘Assalaamu ‘alaa ahlid diyaar minal
mu’miniina wal muslimiina wa yarhamullahal mustaqdimiina minnaa wal
musta’khiriina, wa innaa insyaa Allah bikum laa hiquun, Allahummagh fir li ahli
baqi’il ghorqad’. Artinya (salam atasmu wahai penduduk
kampung, dari golongan mukminin dan muslimin. Semoga Allah melimpahkan
rahmat-Nya pada kita bersama, baik yang telah terdahulu maupun yang
terbelakang, dan insya Allah kami akan menyusul kemudian, Ya Allah berilah
ampunan bagi penduduk [ahli kubur] Baqi’ yang berbahagia ini) Kemudian
berdo’alah kepada Allah swt, apa yang anda inginkan.
Begitu juga bila anda ziarah ke Uhud
kemakam sayidina Hamzah bin Abdul Muthalib ,paman Rasulallah saw, yang gugur
dalam peperangan uhud bersama para syuhada uhud lainnya, hadapkanlah wajah anda
kemakam tsb. dan ucapkanlah salam dan doa:
Assalamu’laika ya sayidina Hamzah, ‘Assalaamu ‘alaikum
ya ahlid diyaar minal muslimiina wa yarhamullahal mustaqdimiina minnaa
wal musta’khiriina, wa innaa insyaa Allah bikum laa hiquun, Allahummagh fir li
ahlil uhud. Allahummardho ‘anhum, wa akrim magaamahum bifadhlika
wa karamika’. Artinya (salam atasmu wahai yang kami muliakan Hamzah, salam
atas kalian wahai penduduk kampung dari golongan muslimin. Semoga Allah
melimpahkan rahmat-Nya pada kita bersama, baik yang telah terdahulu maupun yang
terbelakang, dan insya Allah kami akan menyusul kemudian, Ya Allah berilah
ampunan bagi penduduk [ahli kubur] Uhud. Ya Allah limpahkan ridhoMu kepada
mereka dan muliakanlah tempat mereka, dengan karuniaMu dan kemuliaanMu).
Wallahu a’lam.
{{ INFO: Masalah berdoa
menghadap kearah kiblat waktu berziarah, berasal dari peristiwa yang dialami
oleh Imam Malik bin Anas ra, yaitu ketika beliau mendapat tegoran dari Khalifah
Abu Ja’far Al-Manshur di dalam masjid Nabawi di Madinah. Ketika itu Imam
Malik menjawab: "Ya Amirul-Mu’minin, janganlah anda bersuara keras di
dalam masjid ini, karena Allah swt. telah mengajarkan tatakrama kepada ummat
ini dengan firman-Nya: ‘Janganlah kalian memperkeras suara kalian (dalam
berbicara) melebihi suara Nabi….sampai akhir ayat’ (QS.Al-Hujurat
:2). Allah swt. juga memuji sejumlah orang dengan firman-Nya: ‘Sesungguhnya
mereka yang melirihkan suaranya dihadapan Rasulallah…sampai akhir ayat’ (QS.
Al-Hujurat:3). Begitu juga Allah swt. mencela sejumlah orang dengan firman-Nya:
‘Sesungguhnya orang-orang yang memanggil-manggilmu dari luar kamar…sampai
akhir ayat’. (QS.Al-Hujurat :4).
Rasulallah saw adalah
tetap mulia, baik selagi beliau masih hidup maupun setelah wafat.
Mendengar jawaban itu Abu Ja’far terdiam, tetapi kemudian bertanya: ‘Hai Abu
‘Abdullah (nama panggilan Imam Malik), apakah aku harus berdo’a sambil
menghadap Kiblat, atau menghadap (pusara) Rasulallah saw.?’. Imam Malik
menjawab: ‘ Mengapa anda memalingkan muka dari beliau saw, padahal beliau saw.
adalah wasilah anda dan wasilah Bapak anda, Adam as., kepada Allah swt.
pada hari kiamat kelak? Hadapkanlah wajah anda kepada beliau saw. dan mohonlah
syafa’at beliau, beliau pasti akan memberi syafa’at kepada anda di sisi Allah
swt. Allah telah berfirman: ‘Sesungguhnya jikalau mereka ketika berbuat
dhalim terhadap dirinya sendiri (lalu segera) datang menghadapmu
(Muhammad saw.)…sampai akhir ayat’ "(QS. An-Nisa:64). [Kisah
ini diriwayatkan oleh Al-Qadhi ‘Iyadh dengan isnadnya yang terdapat
didalam kitabnya Al-Ma’ruf Bisy-Syifa Fit-Ta’rif pada bab Ziarah].
Banyak ulama yang
menyebut peristiwa/riwayat diatas ini. Imam Nawawi didalam kitabnya yang
berjudul Al-Idhah Fi Babiz-Ziyarah mengetengahkan juga kisah diatas
tersebut. Demikian juga didalam Al-Majmu jilid VIII halaman 272.Ibnu
Taimiyyah sendiri dalam Iqtidha-us Shiratul-Mustaqim halaman 397,
menuturkan apa yang pernah diriwayatkan oleh Ibnu Wahb mengenai Imam
Malik bin Anas. "Tiap saat ia (Imam Malik) mengucapkan salam kepada Nabi
saw, ia berdiri dan menghadapkan wajahnya ke arah pusara Nabi saw, tidak
kearah kiblat. Ia mendekat, mengucapkan salam dan berdo’a, tetapi tidak
menyentuh pusara dengan tangannya"
Al-Khufajiy didalam Syarhusy-Syifa
menyebut, bahwa As-Sabkiy mengatakan sebagai berikut: "
Sahabat-sahabat kami menyatakan, adalah mustahab jika orang pada saat datang
berziarah ke pusara Rasulallah saw menghadapkan wajah kepada nya
(Rasulallah saw) dan membelakangi Kiblat, kemudian mengucapkan salam kepada
beliau saw, beserta keluarganya (ahlu-bait beliau saw) dan para sahabatnya.
Lalu mendatangi pusara dua orang sahabat beliau saw. (Khalifah Abubakar dan
Umar –radhiyallhu ‘anhuma). Setelah itu lalu kembali ketempat semula dan
berdiri sambil berdo’a " (Syarhusy Syifa jilid III halaman 398). Lihat
pula kitab Mafahim Yajibu An Tushahhah, oleh As-Sayyid Muhammad bin
‘Alwi Al-Maliki Al-Hasani, seorang ulama di Tanah Suci, Makkah. Dengan demikian
tidak ada ulama yang mengatakan cara/adab berziarah dengan menghadapkan wajah
kepusara ketika berdo’a, adalah haram, bid’ah mungkar, sesat dan lain
sebagainya, kecuali golongan pengingkar dan pengikutnya }}.
7.28. Menentukan Hilal Awal
Masuknya Ramadhan &Bulan Syawal
Setiap kali kita selalu melihat dan
mendengar perbedaan antara kaum muslimin mengenai kapan awal masuknya bulan
Ramadhan dan keluarnya dari ibadah bulan ini, yakni awal masuknya bulan syawal
‘idul Fithri. Tidak lain salah satu sebab perbedaan itu ialah karena
sebagian besar/mayoritas negara-negara Muslim didunia ini untuk memutuskan
kapan awal masuk bulan Ramadhan dan bulan Syawal tersebut dengan mengikuti
sunnah Rasulallah saw. yaitu dengan jalan ru’ya dinegaranya
masing-masing atau Negara yang segaris bujur dengannya, dan
sebagian golongan lainnya dengan jalan perhitungan astronomi (hisab) kapan
kemungkinan hilal bisa dilihat, sedangkan sebagian lainnya mengikuti
Negara Islam yang sudah melihat bulan dimanapun juga. Semuanya ini, manakah
yang lebih mendekati kebenaran Sunnah Rasulallah saw.?
Sebagian besar kaum muslimin baik yang di
Indonesia atau didunia lainnya mengikuti amalan-amalan ibadah menurut madzhabnya
masing-masing dan setiap madzhab mempunyai sudut pandang sendiri-sendiri.
Umpama golongan madzhab Imam Syafi’i akan mengikuti amalan ibadah menurut
madzhabnya, golongan madzhab Imam Maliki akan mengikuti madzhabnya, golongan
Wahabi/Salafi juga akan mengikuti madzhabnya dan seterusnya. Didalam syari’at
Islam tidak dlarang orang mengikuti salah satu madzhab, karena imam dari semua
madzhab yang terkenal tersebut mengeluarkan pendapatnya dengan berdasarkan
Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw., apalagi empat imam besar (Hanafi,
Maliki, Syafi’i dan Ahmad- rohimahumullah) yang sudah dikenal dikalangan kaum
muslimin. Malah buat orang-orang awam diwajibkan untuk bertanya kepada ahli
ilmu.
Pada umumnya setiap pengikut madzhab ini segan
dan tidak mau mengikuti suatu amalan ibadah yang diamalkan oleh madzhab
selain madzhabnya, bila amalan ibadah tersebut berlawanan dengan paham
madzhabnya sendiri . Karena menurut wejangan para pakar Islam seseorang
yang mengikuti salah satu madzhab misalnya Madzhab Syafi'i, dia tidak
boleh mengamalkan suatu amalan yang berlawanan dengan pendapat madzhabnya
ini. Jangan lagi kita yang awam ini, para ulama pakar diantaranya; Imam
Nawawi, Imam ad-Dahlawi, Imam Izuddin bin Abdussalam mengikuti madzhab Imam
Syafi’i. Ibnul Qayyim, Ibnu Taimiyyah mengikuti madzhab Imam Ahmad bin Hambal,
begitulah seterusnya.
Para ulama memperhatikan kesempurnaan
dalil-dalil baik itu dari Al-Qur’an, hadits maupun dalil aqli (logika) dimana
orang-orang awam dan juga orang-orang pandai yang belum sampai kepada derajat Istinbath
dan ijtihad tidak ada jalan lain bagi mereka ini kecuali bertaqlid
(mengikuti) kepada seorang mujtahid yang mampu memahami dalil. Kami tidak akan
mengutip lagi pembahasan mengenai taqlid Imam madzhab, karena sudah kami
kemukakan sebelumnya disitus ini dalam bab Taqlid kepada para imam madzhab,
bagi yang berminat silahkan merujuknya.
Berikut ini, kami mengutip dalil hadits
Nabi saw. untuk melakukan ru’ya (penglihatan) hilal kapan awal masuknya bulan
Ramadhan dan bulan Syawal.
Dalil-dalil Ru’ya:
Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan
Muslim: “Berpuasalah kamu jika melihatnya (hilal), dan berbukalah (‘Id)
bila melihatnya (hilal). Dan jika terhalang oleh awan (sehingga
hilal tidak bisa dilihat), maka cukupkanlah bilangan Sya’ban tiga puluh
hari”.
Hadits diatas ini mutawatir, semua madzhab
termasuk empat madzhab besar (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali [ra] )
sepakat bahwa awal masuk Ramadhan dan Idul Fithri/Idul Adha harus melalui Ru’ya
(bukan dengan Hisab).
Begitu juga hadits itu walaupun mengenai
awal masuknya bulan ramadhan/Idul Fithri tetapi juga berlaku kapan masuknya
bulan Dzul Hijjah (bulan haji). Kalimat hadits diatas ini jelas, mencakup
pengertian harus dengan ru’ya kapan mulai masuk awal bulan Ramadhan dan
awal masuknya Idul Fithri. Dan hadits ini jelas menegaskan bila hilal tidak
bisa dilihat karena ada halangan (mendung dll) maka kita harus mencukupkan
bilangan bulan sebelumnya 30 hari. Karena bilangan bulan menurut Islam
hanya 29 atau 30 hari, sebagaimana sabda Rasulallah saw. ‘Bulan itu (kadang-kadang)
sekian dan sekian’. (Nabi saw. mengisyaratkan dengan tangannya). Maksudnya
sekali waktu 29 hari dan pada waktu yang lain 30 hari. [Dikeluarkan oleh Imam
Bukhari (2/230 dan lafadhnya) dan Muslim (3/124) dan lain-lain.]
Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan
pendapat para fukaha lainnya lebih menegaskan lagi mengenai ru’yah ini
bahwa penglihatan hilal itu harus adanya saksi-saksi yang adil.
Untuk masuknya bulan Ramadhan cukup dengan satu saksi yang adil
sedangkan untuk masuknya ‘Idul Fithri membutuhkan dua saksi yang adil.
Dari hadist diatas, jelas sekali bahwa Rasulullah saw hanyalah menetapkan "Melihat
bulan" (rukyatul hilal) satu sebab dari permulaan ibadah puasa dan
permulaan Idul Fitri, dan bukan dengan sudah wujud tidaknya
bulan ataupun dengan cara menghitungnya (hisab). Terbukti,
dari penggalan kedua redaksi ucapan Rasulullah saw. ‘Apabila tidak
berhasil melihatnya (walaupun secara perhitungan astronomis [hisab] mungkin
sudah ada—red) menyuruh ummatnya menyempurnakan bulan Sya'ban sebanyak 30
hari.
Perbedaan/perselisihan yang ada diantara
para ulama madzhab ialah: Apakah cukup dengan adanya satu
daerah/Negara Islam didunia yang telah melihat hilal awal Ramadhan/’Idul
Fithri, semua penduduk muslimin didunia wajib mengikutinya? Jadi
perbedaan para ulama madzhab ini bukan masalah antara Ru’ya dan Hisab
! Memang ada sebagian ulama zaman akhir ini yang membolehkan awal masuknya
bulan Ramadhan/Idul Fithri dengan hisab, tetapi mayoritas dari ulama
madzhab terutama madzhab Syafi’iyah yang dianut oleh mayoritas penduduk
dinegara kita dan Negara tetangga Malaysia, Mesir dll dengan jalan Ru’ya,
karena hal ini yang lebih mendekati kebenaran dan sejalan dengan sunnah
Rasulallah saw. dan para sahabatnya.
Para ulama yang mengatakan wajib
-seluruh ummat Islam didunia- mengikuti satu daerah yang telah melihat hilal
awal Ramadhan/Idul Fithri dengan alasan bahwa hadits Rasulallah saw. diatas ini
umum yaitu tertuju kepada seluruh ummat didunia. Jadi jika salah seorang
dari mereka telah menyaksikan hilal pada tempat manapun, itu berarti ru’ya
tersebut berlaku untuk seluruh ummat didunia. Tetapi pendapat para
ulama ini dibantah oleh para ulama pakar pada umumnya (jumhur ulama) yaitu
mewajibkan Ru’ya setiap daerah/Negara Islam. Diantara para
ulama yang membantah ini ialah ‘Ikrimah, Qasim bin Muhammad, Salim,
Ishak, Imam Syafi’i dan lain sebagainya yang mengatakan: ‘Sebagai
ukuran bagi penduduk setiap negeri ialah penglihatan mereka masing-masing,
sehingga mereka tidak perlu terpengaruh oleh penglihatan penduduk dinegara
lainnya’.
Mereka ini berdalil pada hadits shohih
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan lain-lain dari Kuraib ra.
yang arti kalimatnya sebagai berikut:
“Saya (Kuraib ra) pergi
ke Syam dan sewaktu berada disana muncullah hilal Ramadhan, dan saya saksikan
sendiri hilal itu pada malam Jum’at. Kemudian pada akhir bulan
(Ramadhan,red.), saya datang kembali ke Madinah dan ditanyai oleh Ibnu ‘Abbas
ra kemudian teringat olehnya (Ibnu Abbas ra) hilal yang katanya; ‘Bilakah
kelihatan oleh tuan-tuan hilal (diSyam --red.)? Kelihatan oleh kami malam jum’at,
ujar saya (Kuraib ra). Apakah anda sendiri melihatnya?, tanya Ibnu ‘Abbas.
Benar, jawab saya (Kuraib ra), juga dilihat oleh orang banyak, hingga mereka
berpuasa, termasuk diantaranya Mu’awiyah. Tetapi kami (Ibnu Abbas ra dan para
sahabat lainnya--red) melihatnya (di Madinah) malam Sabtu,
Kata Ibnu ‘Abbas, hingga kami akan terus menerus berpuasa sampai cukup 30 hari.
Entah kalau kelihatan (hilal) sebelum itu. Tidakkah cukup menurut anda
penglihatan dan berpuasanya Mu’awiyyah ?, tanya saya (Kuraib ra). Tidak ! ujar
Ibnu Abbas, begitulah yang dititahkan Rasulallah saw. kepada kami ! (HR. Muslim
(3/126), Abu Dawud (No. 2332), Nasa'i (4/105-106), Tirmidzi (No. 689), Ibnu
Khuzaimah (No. 1916), Daruquthni (2/171), Baihaqi (4/251) dan Ahmad
(Al-Fathur-Rabbaani 9/270), semuanya dari jalan: Ismail bin Ja'far, dan
Muhammad bin Abi Harmalah dari Kuraib dari Ibnu Abbas.
Rawi-rawi hadits ini tsiqah dan kuat. Pribadi dan ilmunya Ibnu
‘Abbas sudah jelas tidak diragukan lagi oleh setiap orang muslim dan mu’min;
Kuraib bin Abi Muslim maula Ibnu Abbas; Ismail bin Ja’far bin Abi Katsir ;
Muhammad bin Abi Harmalah, Rawi semuanya dipakai oleh Imam Bukhori, Imam Muslim
dan lain-lainnya. (Lht. keterangan Ibnu Hajar dalam Taqribut-Tahdzib mengenai
para rawi ini)
Dalam Fathul ‘Allam Syarah Bulughul
Maram tercantum : “Yang lebih dekat kepada kebenaran ialah keharusan
bagi setiap negeri mengikuti ru’yahnya, berikut daerah-daerah lain yang
berada dalam satu garis bujur dengan negeri itu “. Imam Turmudzi juga berkata:
hadits ini hasan lagi shohih dan gharib serta menurut para ulama
mengamalkan hadits ini berarti bagi tiap-tiap negeri itu berlaku ru’ya atau
penglihatan hilal masing-masing dinegerinya !! Imam Daruquthni juga berkata:
Sanad (Hadits) ini Shahih.
Ada sebagian orang berpendapat bahwa
hadits gharib berarti hadits yang lemah. Pendapat yang demikian itu adalah
kurang tepat dan salah karena hadits gharib tidak menghilangkan keshahihan
hadits itu. Ibnu Katsir sendiri berkata: "Maka sesungguhnya ini (yakni
setiap hadits gharib) kalau ditolak, niscaya akan tertolak banyak sekali
hadits-hadits dari jalan (gharib) ini dan akan hilang banyak sekali
masalah-masalah dari dalil-dalilnya". [Ikhtisar 'Ulumul Hadits Ibnu Katsir
hal : 58 & 167].
Ada lagi yang berpendapat bahwa hadits Kuraib
itu adalah kata-kata Ibnu ‘Abbas sendiri kepada Kuraib bukan sabda Rasulallah
saw., oleh karenanya tidak bisa dibuat dalil. Pendapat seperti ini adalah
pendapat yang salah karena yang pertama menyalahi pendapat para ulama:
‘Jumhur (umumnya) ulama berpendapat bahwa (semua lafadh-lafadh di atas) yang
demikian menjadi hujjah/dalil. Sama saja apakah rawinya itu dari (kalangan)
sahabat besar. karena menurut zhahirnya sesungguhnya ia telah meriwayatkan yang
demikian itu dari Nabi saw. kalaupun di taqdirkan disana ada perantara, maka
menurut Jumhur mursal sahabat itu maqbul (diterima) dan inilah yang haq (yang
benar)". Sedangkan yang kedua; mungkinkah atau beranikah Ibnu ‘Abbas
menjawab atas pertanyaan Kuraib dengan menisbatkan kepada Rasulallah saw. kalau
sekiranya bukan dari Nabi saw.?, sebagaimana jawabannya kepada Kuraib: ‘Begitulah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami’ ! Sudah
tentu tidak mungkin
Makna hadits Kuraib itu jelas sekali ialah:
Penduduk Syam melihat hilal Ramadhan pada
malam Jum’at sehari sebelum penduduk Madinah yang melihatnya pada malam
Saptu. Bila bulan tidak bisa dilihat karena halangan awan/mendung, penduduk
Medinah akan terus berpuasa sampai tiga puluh hari dihitung dari mulai awal
Ramadhan di Madinah (malam Saptu), tetapi bila melihat bulan
sebelumnya maka penduduk Madinah akan berpuasa selama dua puluh sembilan
hari. Sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulallah saw.: ‘Apabila kamu
melihat hilal (Ramadhan) maka puasalah, dan apabila kamu melihat hilal (Syawal)
maka berbukalah, tetapi jika awan menutup kalian, maka berpuasalah tiga puluh
hari’. [Dikeluarkan oleh Imam Muslim (3/124) dan lain-lain]. Dan hadits
Rasulallah saw. mengenai umur bulan sebagaimana sabda beliau saw.: ‘Bulan
itu (kadang-kadang) sekian dan sekian’. (Nabi saw. mengisyaratkan dengan
tangannya). Maksudnya sekali waktu 29 hari dan pada waktu yang lain 30 hari.
[Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (2/230 dan lafadhnya) dan Muslim (3/124) dan
lain-lain.]
Begitu juga dalam hadits itu Kuraib
bertanya ‘Apakah tidak cukup bagimu ru'yah/penglihatan dan puasanya
Mu'awiyah’ dan dijawab oleh Ibnu Abbas dengan tegas, Tidak! Jawaban ini
sangat jelas bahwa setiap daerah/ negeri berlaku ru’ya atau penglihatan hilal
masing-masing dinegerinya. Dengan demikian kita tidak boleh
mengikuti Negara Saudi Arabia yang telah melihat hilal awal masuk bulan
Ramadhan atau Syawal bila negeri kita pada saat yang sama belum kelihatan hilal
awal masuk bulan Ramadhan atau bulan Syawal ! Hal ini telah disepakati oleh
para ulama pakar ahli hadits diantaranya: Imam Tirmudzi; Imam Nasa’i;
Imam Syafi’i; Imam Ahmad; Syarah Muslim (Juz 7 hal 197) Imam Nawawi; Al-Majmu
'Syarah Muhadzdzab (Juz 6 hal. 226-228) Imam Nawawi; Ihkaamul Ahkaam Syarah
'Umdatul Ahkaam (2/207) Imam Ibnu Daqiqil Id.; Al-Ikhtiyaaraatul Fiqhiyyah (hal
:106) Ibnu Taimiyyah; Tharhut Tatsrib (Juz 4 hal. 115-117) Imam Al-'Iraaqy;
Fathul Bari syarah Bukhari (Juz 4 hal 123-124) Ibnu Hajar; Nailul Authar (Juz 4
hal. 267-269) Imam Syaukani; Subulus Salam (juz 2 hal 150-151);
Bidaayatul Mujtahid (Juz 1 hal. 210) Imam Ibnu Rusyd dan lain-lain.
Dengan demikian hadits terakhir dari
Kuraib ini menguatkan hadits yang pertama yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhori dan lainnya yaitu “Berpuasalah kamu jika melihatnya (hilal),
dan berbukalah (‘Id) bila melihatnya (hilal)…. Hadits pertama ini
juga mewajibkan adanya Ru’yah hilal untuk mengetahui masuknya awal
Ramadhan/ ’Idul Fithri, sedangkan hadits Kuraib diatas menganjurkan juga Ru’yah
dan wajibnya Ru’yah bagi setiap negeri !! Sedangkan hadits yang jelas
masalah Hisab tidak diketemukan !
Ahli Falak sendiripun membantah ulama yang
mengatakan seluruh dunia wajib mengikuti satu Negara yang
dimana disitu terlihat hilal. Diantara alasan bantahan ahli Falak ialah :
a). Bumi ini tidak rata
bukan seperti kue lapis, waktu terbenam bulan dan matahari seluruh dunia tidak
sama.
b). Posisi bulan &
matahari, atas-bawah tinggi hilal agar hilal dapat diamati diseluruh dunia
tidak semuanya sama (derajad ketinggiannya, beda ukuran sudut bulan dan
matahari, beda waktu terbenam bulan & matahari, beda umur bulan dihitung
sejak perkiraan hilal dapat diamati [ump.Hilal berumur 16 jam untuk daerah
tropis dan lebih dari 20 jam untuk daerah yang lebih tinggi] dan lain
sebaginya)
c) Permukaan bulan yang tersinari matahari
dan menghadap kebumi harus mencapai minimal 1 % untuk memungkinkan bisa dilihat
dan lain-lain.
Maka dari itu sampai sekarang banyak
Negara Islam yang berbeda penentuan kapan mulai masuknya awal Ramadhan dan idul
Fithri atau Idul Adha. Tidak lain mayoritas Negara Islam tersebut melihat Ru’ya
dinegaranya masing-masing. Mereka memegang sunnah Rasulallah saw. yang
lebih mendekati kebenaran di antaranya hadits Kuraib
tersebut. Sayangnya masih ada sebagian muslimin yang fanatik pada pahamnya
sehingga mewajibkan puasa kepada seluruh umat islam sedunia, bila ada satu
negeri Islam yang telah melihat hilal. Ada lagi hanya ikut2an dan
mengambil keringanan fatwa para ulama, walaupun pendapat ulama ini berlawanan
dengan madzhabnya dan madzhab jumhur ulama.
KETERANGAN SINGKAT MENGENAI perhintungan
astronomi (HISAB):
HISAB berasal dari bahasa Arab "hasaba"
artinya menghitung, mengira dan membilang. Jadi hisab adalah kiraan,
hitungan dan bilangan. Kata ini banyak disebut dalam al-Quran diantaranya
mengandung makna perhitungan perbuatan manusia. Dalam disiplin ilmu
falak (astronomi), kata hisab mengandung arti sebagai ilmu hitung posisi
benda-benda langit. Posisi benda
langit yang dimaksud disini adalah lebih khusus kepada posisi matahari
dan bulan dilihat dari pengamat di bumi. Hitungan posisi ini penting dalam
kaitannya dengan syariah khususnya masalah ibadah misalnya; shalat fardu
menggunakan posisi matahari sebagai acuan waktunya, penentuan arah kiblat
dengan menghitung posisi bayangan matahari, penentuan awal bulan hijriyah
dengan melihat posisi bulan dan mengetahui kapan terjadi gerhana dengan
menghitung posisi matahari dan bulan. Ilmu Falak yang mempelajari kaidah-kaidah
Imu Syariah tersebut dinamakan Falak Syar'i (Ilmu Falak + Ilmu Syariah =
Falak Syar'i).
Di Indonesia nama yang populer adalah
Falak saja. Hisab dan Rukyatul hilal tidak bisa dipisahkan dari Ilmu
Falak/Astronomi, oleh sebab itu kebanyakan peralatan hisab dan rukyat juga
merupakan peralatan Ilmu falak/Astronomi. Idealnya rukyatul hilal atau melihat
hilal dilakukan dengan mata telanjang (naked eye) sesuai dengan pernah
dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya. Asal kita tahu teknik
dan ilmunya maka rukyat dengan mata telanjang menjadi jauh lebih efektif
dibandingkan menggunakan peralatan bantu optik. Sebab yang paling
penting adalah kualitas sumber daya manusianya bukan pada alatnya. Kontroversi
boleh tidaknya menggunakan alat bantu dalam melakukan rukyatul hilal memang
masih terdengar, namun menurut beberapa ulama sah-sah saja menggunakan alat
bantu asal tidak menyimpang dari hakikat rukyatul hilal yaitu
menyaksikan langsung lahirnya hilal (bulan sabit muda). Penggunaan peralatan
optik maupun peralatan pencari lokasi sebatas digunakan untuk membantu
mempermudah pelaksanaan rukyatul hilal dan tidak menyalahi ketentuan
yang ada, termasuk penggunaan teknologi penginderaan jarak jauh menggunakan
infra merah, radar maupun satelit palacak. Dengan adanya ilmu pengetahuan maka
sekarang bisa dilihat via computer kapan lahirnya bulan, munculnya dsb.nya dan
kapan bulan itu bisa terlihat.
Sebenarnya Methodologi penentuan awal
bulan Qomariah untuk menandai permulaan ibadah puasa dan sholat idul fitri
adalah hanya dengan melihat bulan secara fisik (rukyatul hilal bil fi'ly),
sedangkan methode perhitungan astronomi (hisab) dipakai sebatas untuk membantu
prosesi rukyat. Jadi pada tanggal yang ditentukan secara hisab (kemungkinan
kelihatan hilal) itu, kita tetap mengadakan ru’yah pada malam tersebut, apakah
benar-benar hilal sudah bisa dilihat !
Termasuk di Indonesia selalu
mengawali masuknya awal Ramadhan/Idul Fithri dan Idul Adha dengan Ru’yah.
Pemerintah juga menerima Hisab dari minoritas ummat muslimin diantaranya
golongan Muhammadiyyah, tapi pada tanggal yang ditentukan secara hisab
(kemungkinan kelihatan hilal) itu, pemerintah tetap mengirim instansi untuk
melihat (ru’yah), apakah benar-benar hilal sudah bisa dilihat ! Bila hilal pada
waktu ditentukan hisab itu bisa dilihat maka pemerintah juga mengumumkan
masuknya awal Ramadhan/Idul Fithri, tapi bila sebaliknya hilal pada waktu yang
ditentukan Hisab tersebut. tidak bisa dilihat maka pemerintah mencukupkan
hitungan tiga puluh hari. Jadi ilmu hisab itu hanya digunakan untuk
kapan orang bisa mulai melihat (ru’yah) awal masuknya bulan Ramadhan/Idul
Fithri, jadi bukan dijadikan sebagai penentuan hari awal masuknya bulan
Ramadhan atau Idul Fithri. Karena penentuan awal
masuknya bulan Ramadhan/idul Fithri harus ditentukan dengan Ru’ya pada hari ke
29 setelah maghrib!
Ahli Falak ini, sampai sekarang masih
berdasarkan pada perkiraan yang mendekat belum 100% benar. Buktinya
mereka belum sepakat dan masih ada perbedaan di kalangan mereka dan kesimpang
siuran hasil perhitung an (hisab) mereka dalam menentukan; malam
munculnya hilal, derajad ketinggian bulan diatas ufuk setelah matahari
terbenam, usia bulan kemungkinan bisa dilihat (Imkanur Ru’yah) dan lain
sebagainya. Dengan adanya tidak
kesepakatan antara mereka ini serta perkiraan yang belum 100% benar maka sampai
sekarang mayoritas dari para ulama masih mengambil kepastiannya dengan
jalan Ru’yah.
Menurut sebagian ulama, apabila datang
suatu saat dimana ilmu Falak bisa menghasilkan tingkat pengetahuan yang tepat
dan semua ahli Falak sepakat dalam menentukan wujudnya Hilal serta telah
ber-ulang2 ketetapan perhitungan mereka sehingga mencapai derajad
kepastian seperti halnya perhitungan mereka tentang hari-hari dalam seminggu
(Senin, Selasa….), maka dengan sendirinya para ulama semua sepakat untuk
mengikuti ucapan mereka ini. Sedangkan sampai sekarang mayoritas ulama masih
menggunakan ru’yah untuk lebih pastinya!!!
ULIL AMRI
Para ulama mewajibkan rakyat mengikuti
apabila pemerintahannya (yang mana didalamnya terdapat para ulama atau
mereka bermusyawarah dengan para ulama setempat) telah memutuskan penetapan
awal atau akhir bulan. Adapun dalil dari ketetapan hukum ini ialah:
a. Firman Allah dalam al Qur'an surat an
Nisa' ayat 59: "Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada
Allah, Rasulnya dan pemimpim-pemimpin kalian". (QS. An Nisa' : 59).
Sebagaimana kita ketahui bahwa taat kepada para pemimpin tidaklah boleh pada hal-hal
yang bersifat maksiyat atau keluar dari hukum syari’at Islam.
Dan kita yakin bahwa disaat pemerintah
memerintahkan warganya untuk berpuasa, sesuai dengan ketentuan syariat dalam
menentukan hilal, maka ini bukanlah termasuk dalam perbuatan maksiyat yang
kita tidak boleh mentaatinya. Akan tetapi tidak lain semua ini masih dalam
koridor ijtihad yang diikrarkan oleh Syari'at. Artinya, disaat agama telah
membolehkan pemerintah untuk berijtihad dalam menentukan hilal puasa, Syawal
maupun Dzulhijjah, maka tindakan pemerintah ini adalah sebuah ibadah yang wajib
ditaati oleh seluruh warga.
b. Allah juga berfirman dalam surat an Nur
ayat 62: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang
beriman kepada Allah dan Rasulnya, serta di saat mereka dalam sebuah keputusan
yang telah diambil bersama, maka mereka tidak akan keluar dari kesepakatan itu
sampai mereka meminta izin kepadanya (Rasulullah)". (QS. An Nur ayat:
62)
Dalam ayat diatas, begitu jelas Allah
mengambarkan sifat seorang mukmin yaitu mereka yang beriman kepada Allah dan
Rasulnya, serta tidak keluar dari keputusan jamaah sampai dia memperoleh izin
dari Rasulullah atau wakilnya (pimpinan/kholifah yang datang setelah beliau
saw.)
Pada kenyataan yang terjadi pada masa
Rasulullah saw., bahwa beliau memerintahkan puasa langsung setelah datang
kepada beliau persaksian seorang muslim. Sebagaimana dalam hadits:
"Datang seorang badui ke Rasulullah saw. seraya berkata: ‘Sesungguhnya aku
telah melihat hilal’. (Hasan, perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang
dimaksud sang badui yaitu hilal Ramadhan). Rasulullah saw. bersabda: ‘Apakah
kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah’? Dia berkata: ‘Benar’. Beliau
meneruskan pertanyaannya seraya berkata: ‘Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad
adalah utusan Allah’? Dia berkata: ‘ya benar’. Kemudian Rasulullah memerintahkan
orang-orang untuk berpuasa besok".
Dalam hadits badui yang telah disebutkan
diatas sudah sangat jelas bahwa dia (badui) yang melihat hilal secara langsung
wajib melaporkan kesaksiannya kepada Rasulallah saw. (pemimpin),
kemudian pada akhirnya Rasulallah lah yang akan menetapkan permulaan
puasa atau hari raya.
Sebagaimana juga dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadits Ibn Umar yang berkata: ”Suatu ketika
aku mengabari Rasulullah saw.bahwa aku telah melihat hilal (Ramadhan), spontan
beliau berpuasa dan juga memerintahkan orang-orang untuk berpuasa".
Dengan demikian pemimpinlah (baca: pemerintahan
Islam) yang akan memutuskan kapan awal masuknya bulan Ramadhan/Idul Fithri dan
Idul Adha.Para fuqoha juga sepakat bahwa, bagi mereka yang melihat hilal secara
langsung akan tetapi persaksiannya ditolak oleh pemerintah maka dia wajib
berseberangan dengan keputusan pemerintah akan tetapi dengan sifatnya
individu (dia sendirian berpuasa atau berbuka/ idul fithri) dan tidak boleh
menampakkannya dihadapan halayak umum. Dan ini juga berlaku bagi mereka yang
meyakini akan kejujuran mereka yang ditolak kesaksiannnya.
Sebagaimana dalam teks-teks berikut:
1. Dalam kitab al-Muhaddzab fiqh
Syafi'i dijelaskan: "Barangsiapa melihat hilal sendirian, maka dia
harus berpuasa. Demikian juga di saat dia melihat bulan Syawal, maka diapun
wajib berbuka. Sebagaimana sabda Nabi: "Berpuasalah disaat kalian
melihatnya, dan berbukalah disaat kalian melihatnya". Berbuka disaat
melihat bulan Syawal dengan secara sembunyi-sembunyi, karena apabila dia
menampakkan bahwa dia sedang berbuka, maka secara tidak langsung dia menjatuhkan
diri sendiri pada tuduhan dan hukuman sang Sulthon/sang pemimpin". (Kitab
al Muhadzab, juz 1, hal 324)
2. Dalam kitab Syarah Mukhtashor Kholil
madzhab Maliki disebutkan: Kesimpulannya, bahwa orang-orang pada bulan puasa
terbagi tiga kelompok: Dia yang melihat hilal secara langsung, atau mendengar
langsung dari orang yang melihatnya, atau mendengar dari orang yang mendengar
dari orang yang melihat. Maka yang wajib berpuasa adalah golongan pertama
dan kedua. Adapun golongan ketiga tidak wajib atasnya kecuali
sang hakim telah menetapkan hari itu sebagai awal puasa".
3. Sedangkan khusus bagi mereka yang ahli
hisab. "Apabila seorang ahli perbintangan (astronom) mengetahui
masuknya waktu (ibadah, baik shalat, puasa, haji dan lain-lain) dengan cara
hisab, pengarang kitab "Al Bayan" menjelaskan: ‘Bahwa yang
mu'tamad (pendapat yang lebih benar) dalam madzhab (Syafi'i) yaitu dia bisa
memakainya sebagai pedoman ibadah hanya untuk dirinya sendiri, dan orang
lain tidak boleh mengikutinya’ ".
Jelas sekali disini bahwa penggunaan
methode astronomi (hisab) tidak merupakan penentu hukum kepada
masyarakat.
Bagaimana dengan muslimin yang tinggal
dinegara non Muslim?
Dalam Islam yang dimaksud Ulil Amri
adalah pemimpin dari golongan ulama, karena mereka inilah yang
bisa mengatur masyarakat sesuai dengan hukum-hukum syari’at Islam, jadi bukan
sembarang orang awam atau suatu perwakilan pemerintahan yang disana tidak
ada ulama yang cukup menguasai hukum-hukum syair’at Islam. Bila disatu
Negara non Muslim yang disana tidak ada jama’ah ru’yah hilal maka kita
diharuskan mengikuti Negara muslim yang berdekatan atau segaris bujur
dengannya, dengan syarat Negara ini memulai masuknya awal bulan Ramadhan/idul
Fithri dengan jalan Ru’ya juga, bukan dengan jalan Hisab atau mengikuti
Negara Islam lainnya. Hal yang demikian ini sesuai dengan sunnah Rasulallah
saw. yang telah kami kemukakan diatas. Wallahu a’lam. Semoga Allah swt. mengampunkan dosa kita
dan dosa kaum muslimin dan memberi hidayah pada kita kejalan yang lurus yang
diridhoi oleh Allah swt dan Rasul-Nya. Amin
7.29. Keterangan Singkat Mengenai
Ibadah Puasa Ramadhan
Bulan yang penuh barokah dan rahmat yaitu bulan Ramadhan. Kami ingin
sedikit mengutip secara singkat masalah-masalah yang penting mengenai ibadah
menurut para ulama.
Yang
diwajibkan/rukun puasa :
a) Niat. Orang harus setiap malam sebelum
fajar(shubuh) tiba niat untuk puasa pada esok harinya. Menurut Imam Syafi’i
bila niat ini tidak dilaksanakan setiap malam maka puasa pada
esok harinya itu tidak Sah/batal dan wajib qadha, walaupun tidak
niat itu disebabkan lupa. Selanjutnya Imam Syafi’i mengatakan: orang
dianjurkan berniat pada malam pertama awal bulan Ramadhan (lebih
jelasnya sbb: ump. awal ramadhan jatuh pada hari senin, maka niat awal ramadhan
yg dimaksud imam Syafi’i jatuh pada malam senin itu), untuk puasa satu bulan
puasa, disamping niat puasa untuk esoknya sebagai berikut : Nawaitu shouma ghodin syahri ramadhana fii hadzihis
sanati lillahi ta’ala (saya niat
puasa besok pagi pada bulan ramadhan tahun ini karena Allah swt.) ditambah
dengan niat berikut ini : Wa nawaitu shouma syahri ramadhana kulliha
(dan saya niat puasa bulan ramadhan seluruhnya). Niat yang terakhir ini hanya
sekali saja diucapkan pada awal bulan Ramadhan. Tambahan niat pada awal
bulan Ramadhan diatas ini gunanya ialah bila orang tidak niat
pada waktu malam karena lupa, maka puasanya tetap
sah, karena dia disamping niat utk setiap hari
juga telah niat pada awal ramadhan utk puasa seluruh hari bulan ramadhan.
Tetapi ini bukan berarti orang tsb. setiap hari tidak perlu niat !! Sekali lagi
setiap malam harus berniat puasa utk esok harinya, sedangkan tambahan niat itu
hanya utk menutupi bila dia tidak niat, benar2 lupa !!!
YangTidak
Diwajibkan Berpuasa :
1).Orang
Kafir. 2). Orang gila walaupun dia Muslim/ Muslimah 3)
Anak-anak yang belum baligh (dianjurkan saja untuk belajar berpuasa).
Orang yang
dilarang berpuasa :
Wanita sedang Haidh atau Nifas
Orang yang
diberi keringanan berbuka :
1). Musafir: Empat madzhab sepakat ; Orang yang dalam bepergian yang jaraknya
dibolehkan melakukan sholat qashar/meringkas sholat dibolehkan berbuka. Empat
madzhab menambahkan syarat lagi bahwa orang itu sebelum fajar harus
berangkat dari rumahnya. Menurut Imam Syafi’i: Bila bepergian ini merupakan
pekerjaannya sehari-hari maka dia wajib berpuasa walaupun jarak
perjalanannya sudah dibolehkan melakukan sholat qashar (± 89 km). Manakah yang lebih utama bagi Musafir
berpuasa atau berbuka?? Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Malik berpendapat: Berpuasa
lebih utama bagi yang kuat melakukannya, dan berbuka lebih utama bagi orang
yang tidak kuat berpuasa.!!!
2). Orang yang telah tua bangka yang tidak
kuat/sanggup berpuasa, dia mendapat keringanan untuk berbuka,
hanya setiap harinya -menurut ahli Fiqih- wajib membayar Fidyah
yaitu memberi makan (beras atau makanan pokok) 1orang miskin 1mud (±800
gram)..Hal ini disepakati oleh para ulama kecuali Imam Ahmad bin
Hambal orang tua ini disunnahkan saja membayar fidyah jadi tidak diwajibkan.
Begitu juga sama halnya dengan orang sakit yang tidak ada harapan sembuh
dan tidak sanggup puasa atau membahayakannya bila dia berpuasa.
Mereka ini tidak wajib qadha/mengganti hanya membayar fidyah saja.
3). Empat
madzhab berpendapat: Bila orang
yang berpuasa sedang sakit, dan ia khawatir dengan berpuasa itu akan menambah
penyakitnya atau memperlambat sembuhnya, maka bila ia suka berpuasalah, dan
bila dia tidak suka, berbukalah, tetapi tidak ada ketentuan (keharusan)
berbuka baginya. Karena berbuka itu hanya merupakan rukhshah (keringanan)
bukan merupakan keharusan bagi orang yang berada dalam keadaan sakit. Tetapi
kalau menurut perkiraannya sendiri atau menurut advies dokter bahwa dengan
berpuasa itu akan menimbulkan bahaya, atau akan membahayakan salah satu anggota
tubuhnya, maka dia harus berbuka, dan bila terus berpuasa,
puasanya tidak sah!
4). Empat madzhab sepakat: bila Wanita yang hamil atau
menyusui anaknya, kalau berpuasa sah puasanya. Jika
mereka khawatir akan keselamatan diri atau anaknya (hal ini bisa
diketahui dengan dasar pengalaman, advies dari dokter specialis), maka boleh
berbuka. Dan dia harus menggadha/ menggantinya dilain
waktu. Sedangkan masalah apakah dia harus juga membayar fidyah setiap
hari yang dia tidak berpuasa tersebut?, dalam hal ini Imam Ahmad dan
Imam Syafi’i mempunyai pendapat, sebagai berikut: “Setiap wanita yang hamil dan menyusui wajib
menggadha dan membayar fidyah bila hanya
khawatir keselamatan anaknya saja. Tetapi bila yang dia khawatirkan
keselamatan dirinya atau keselamatan dirinya dan keselamatan anaknya
maka dia hanya wajib menggadha saja tanpa bayar fidyah”.
5). Ulama empat madzhab sepakat bagi orang yang mempunyai
penyakit selalu sangat kehausan atau kelaparan, boleh berbuka.
Kalau ia kuat menggadhanya dikemudian hari, maka ia wajib menggadhanya, tetapi tidak
perlu membayar fidyah.
Penting: Yang dimaksud sangat kehausan atau kelaparan
ini adalah suatu penyakit yang orang ini tidak bisa menahan haus dan lapar
karena membahayakan dirinya, jadi bukan dimaksud hanya berasa haus atau lapar.
Karena berasa haus dan lapar ini hampir dialami setiap orang yang berpuasa
!!! Semua alasan2
yang membolehkan berbuka diatas ini tidak berlaku lagi bila ditengah-tengah
berbuka (pada hari itu) udzurnya telah hilang, umpamanya: Sakitnya sudah
sembuh, Musafir telah kembali kekampungnya, Wanita haidh dan nifas telah suci,
anak kecil telah baligh, maka semuanya ini menurut Imam Syafi’i mereka disunnahkan
menahan diri artinya tidak makan dan minum pada hari itu untuk menghormati
etika pergaulan. Sedangkan menurut Imam Hanafi dan Imam Hambali wajib
mereka ini menahan diri pada waktu udzurnya telah hilang !!
Yang
membatalkan puasa :
1). Makan dan
minum dengan sengaja.
Bila orang makan atau minum karena benar2 lupa, maka puasanya
tetap sah. Dan bila orang itu ingat kembali waktu makanan masih dimulutnya,
maka dia harus mengeluarkan makanan yang dimulut tsb. jadi jangan diteruskan
ditelan !! Bila diteruskan ditelan maka puasanya batal, alasannya ialah dia
makan bukan karena lupa !
2). Muntah yang disengaja. Kalau muntahnya tidak disengaja
puasanya tidak batal, hanya setelah itu mulutnya dikumuri agar bersih dari
sisa-sisa muntah!
3). Tiba
masanya haidh atau nifas: Umpamanya pada
waktu pagi hari dia sedang berpuasa kemudian pada waktu sore harinya datang
masanya haidh, maka puasanya pada hari ini batal dan wajib diqadha.
4).
Mengeluarkan sperma dengan sengaja (bukan dengan bersetubuh), dia wajib menggadha tidak usah membayar
kafarat, tetapi perbuatannya haram dan berdosa. Bila keluar sperma tidak dengan
sengaja umpama bermimpi maka puasanya tetap sah, hanya dia diwajibkan
mandi saja. Sedangkan menurut Imam Syafi’i kalau orang yang berpuasa kebetulan
melihat sesuatu yang merangsang sehingga keluar sperma tanpa disentuh dan
tanpa nikmat puasanya tetap sah!
5). Bersenggama dengan sengaja. Puasanya batal dan
perbuatannya berdosa. Orang ini harus membayar kafarat (denda).
Kafaratnya harus secara tertib ialah : Pertama: Membebaskan budak (ini sudah tidak ada dizaman
sekarang), kalau ini tidak mampu maka dia harus berpuasa berturut-turut dua
bulan dan tidak boleh putus. Bila putus hanya satu
hari saja dia harus mengulangi 2 bulan lagi. Kalau dengan puasa ini tidak mampu
maka dia harus memberi makan 60 orang miskin setiap orang 1 mud dari makanan
pokok (umpama beras).
6). Disuntik dengan bahan cair ini membatalkan
puasanya, beginilah menurut imam empat madzhab, dan dia wajib menggadha.
7). Meniatkan berbuka padahal ia berpuasa, menurut sebagian
ulama membatalkan puasanya. Maka dari itu janganlah ada orang yang berpuasa
berniat utk membatalkannya !
Yang tidak
membatalkan puasa :
1). Hal-hal yang tidak bisa dihindari umpamanya: Menelan
ludah, menghirup debu dijalan dan lain-lain.
2). Berkumur-kumur waktu wudhu atau pada waktu
lainnya asalkan tidak berlebih-lebihan. Bila waktu kumur memasuk
kan air yang berlebihan sehingga ketelan masuk perut, maka puasanya batal
karena dia sengaja memasukkan air dimulut dengan.berlebihan. Tetapi kalau
memasukkan air dimulut utk kumur tidak berlebihan dan tidak sengaja masuk
kedalam perut, maka puasanya tidak batal !
3). Memakai celak mata atau meneteskan obat mata
atau lain-lain kedalam mata, menurut Imam Hanafi, Imam Syafi’i tidak
membatalkan puasa sedangkan menurut Imam Malik batal puasanya.
4). Mencium, tidak membatalkan puasanya menurut Imam
Syafi’i dan imam lainnya, bagi yang sanggup menahan diri dan menguasai
syahwat atau nafsu seksnya. Kalau tidak sanggup artinya sampai menimbulkan
rangsangan hukumnya makruh saja dan puasanya tetap sah! Jadi
sebaiknya jangan dikerjakan kalau tidak sanggup, karena bisa mengakibatkan
hubungan lebih intim lagi (bersetubuh), sehingga jatuhnya menjadi berdosa,
puasanya batal dan dikenakan kafarat!!!
5). Menggosok gigi juga dibolehkan walaupun
pada pagi hari, ada ulama yang memakruhkan. Rasulallah saw. sering menggosok
giginya setiap kali waktu berpuasa dengan siwak baik siwak itu kering maupun
masih basah. Hanya bila orang menggosok gigi dengan tandspasta, janganlah
tandpastanya itu ditelan. Jadi kumurilah sampai tandpasta itu bersih dari
mulutnya. Wallahu A’lam.
Semoga semuanya bisa bermanfaat bagi diri kami sekeluarga
khususnya dan semua saudara-saudaraku muslimin lainnya. Maaf bila masih ada
sesuatu yang penting yang belum kami cantumkan disini.
Sebagai manusia yang penuh kekurangan, kami
mengharap masukan dan saran dari segenap
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda