Fakta Bab 10,ttg amalan Nisfu Sya'ban dan bulan Rajab
BAB 10
Amalan-Amalan Nishfu Sya’ban & Bulan Rajab
Daftar
isi bab 10 ini diantaranya:
|
|
10.1.Cara ibadah, berdo’a pada malam
nishfu Sya’ban
10.2.Dalil-dalil orang yang membantah
dan jawabannya
10.3.Ibnu Taimiyyah menghidupkan malam
nishfu Sya'ban dengan amalan khusus
10.4.Keterangan singkat amalan ibadah
pada bulan Rajab
|
|
10.1. Cara Ibadah, Berdo’a Pada
Malam Nishfu Sya’ban
Setelah ada keterangan sebelum ini mengenai cara
memperingati hari-hari Allah swt. dan lain sebagainya didalam bab
Maulidin (kelahiran) Nabi saw., maka kami ingin mengutip berikut ini kemuliaan bulan/malam
nishfu Sya’ban dan bulan Rajab. Didalam Islam telah dikenal adanya
hari-hari, bulan-bulan yang di muliakan oleh Allah swt. umpamanya hari Jum’at,
bulan Ramadhan, bulan Haji dan lain sebagainya. Allah swt. akan lebih meluaskan
Rahmat dan Karunia-Nya melebihi daripada hari-hari atau bulan-bulan biasa.
Dengan demikian siapa yang beramal sholeh pada waktu-waktu tersebut lebih besar
harapannya Allah swt. akan mengampunkan dosanya dan do’anya dikabulkan oleh-Nya
Bulan Sya’ban/malam nishfu Sya’ban
Bulan Sya’ban adalah termasuk bulan suci atau mulia dan
cukup dikenal di kalangan kaum muslimin karena banyak riwayat hadits yang
mengemukakan kemuliaan bulan tersebut.
Nama Sya’ban adalah salah satu nama bulan dari 12 bulan
Arab lainnya yaitu satu bulan sebelum bulan Ramadhan. Sedangkan yang dimaksud nishfu
(pertengahan) Sya’ban yaitu tanggal 15 bulan Sya’ban, sedangkan malam nishfu
Sya’ban yaitu mulai waktu Maghrib pada tanggal 14 Sya’ban. Banyak hadits Hasan
yang dipandang mu’tamad oleh para ulama pakar mengenai keutamaan bulan Sya’ban
dan malam nishfu Sya’ban, diantaranya, Hadits dari ‘Aisyah:
ما رأيتُ
رسُول الله .ص. : إستكمل صِيام شهرٍِ قطُّ, إلاّ شهر رمضان , وما رأيتهُ فِى شهرٍ
كثـر مِنهُ صِيامًا فِي شعبان
“Tidak terlihat olehku Rasulallah saw. berpuasa satu
bulan penuh, kecuali pada bulan Ramadhan, dan tidak satu bulan yang
hari-harinya lebih banyak dipuasakan Nabi daripada bulan Sya’ban”. (Bukhari dan Muslim)
Riwayat dari Usamah bin Zaid ra. katanya :
قُلتُ
: يا رسُولُ اللهِ لم أراك تصُومُ مِن شهرمِن الشُّهُورِ ما تصُومُ مِن شعبان؟ قال
ذالِك شهرُ يغفلُ النّاسُ عنهُ , بين رجب و رمضان وهُو شهـرٌ تُرفعُ بِهِ الأعمال اِلى
ربِّ العالمِين فأحِبُّ ان يُرفع عملِى وأنا
صائِمٌ.
Artinya: “Tanya saya: ‘Ya, Rasulallah kelihatannya tidak
satu bulan pun yang lebih banyak anda puasakan dari Sya’ban’. Ujar Nabi;
‘Bulan itu sering dilupakan orang, karena letaknya antara Rajab
dan Ramadhan, sedang pada bulan itulah (bulan Sya’ban) diangkatnya amalan-amalan
kepada Allah Rabbul ‘alamin. Maka saya ingin amalan saya dibawa naik selagi
saya dalam berpuasa’ ”. (HR.Abu Daud dan Nasa’i dan disahkan oleh Ibnu
Khuzaimah)
Hadits dari Ummu Salamah ra., katanya: ‘Belum pernah aku
melihat Nabi saw. berpuasa dua bulan berturut-turut terkecuali di
bulan Sya’ban dan Ramadhan”. (HR. Tirmidzi dengan sanad
Hasan)
Abu Dawud mengemukakan hadits dari Abdullah bin Abi Qais dari Aisyah ra.
sebagai berikut: “Bulan yang paling disukai Rasulullah saw. ialah berpuasa di
bulan Sya’ban. Kemudian beliau menyambung puasanya hingga ke Ramadhan”.
(Sulaiman bin al-Asy’at al-Sijistani, Sunan Abu Daud, t.th, Dar al-Fikr :
Beirut , hlm 323 juz 2)
Hadits lainnya adalah riwayat al-Nasa'i dan Abu Dawud
(dan dishohihkan oleh Ibnu Huzaimah): "Usamah berkata pada Nabi saw,
'Wahai Rasulullah, saya tak melihat engkau melakukan puasa (sunat) sebanyak
yang engkau lakukan dalam bulan Sya'ban'. Rasul menjawab: 'Bulan
Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan oleh kebanyakan
orang'’ “.
Hadits dari Imran Ibnu Hushain ra. bahwasanya Nabi saw.
pernah berkata pada seseorang lelaki; “Apakah engkau pernah berpuasa sebagian
dari bulan Sya’ban ini? Jawab lelaki itu: ‘Tidak ‘. Sabda Nabi saw.:
‘Jika engkau telah menyelesaikan bulan Ramadhan, maka puasalah dua hari
sebagai puasa pengganti bulan Sya’ban’ “. (HR. Bukhori dan
Muslim)
Mengenai nishfu Sya’ban yang diriwayatkan Tirmudzi
didalam An-Nawadir dan oleh Thabarani serta Ibnu Syahin dengan sanad Hasan
(baik), berasal dari ‘Aisyah ra. yang menuturkan bahwa Rasulallah saw. pernah
menerang- kan bahwa:
هذِهِ ليلةُ النِّصفِ مِن شعبان يغفِرُ الله ُ
المُستغفِرِين , و يرحمُ المُسترحِمِين و يُؤخِّرُ أهل الحِقدِ على حِقدِهِم
Artinya: “Pada
malam nishfu Sya’ban ini Allah mengampuni orang-orang yang mohon ampunan
dan merahmati mereka yang mohon rahmat serta menangguhkan (akibat) kedengkian
orang-orang yang dengki”.
Disekitar hadits terakhir diatas ini beredar sejumlah
hadits lainnya yang memandang mustahab/baik kegiatan menghidupkan (ihya)
pada malam nishfu tersebut. Diantaranya; hadits riwayat Ibnu Majah dari Amirul
mukminin Ali kw.; Hadits riwayat Ibnu Majah, Tirmidzi dan Ahmad dari
‘Aisyah ra., riwayat Ibnu Majah dan Ahmad dari Abu Musa ra. dan
sebagainya. Terkabulnya do’a yang dipanjatkan pada malam tersebut lebih besar
harapannya dan pada bulan itulah di angkatnya amalan-amalan kepada Allah
Rabbul ‘alamin.
Hadits yang dikemukakan oleh ulama yang diandalkan
golongan pengingkar ini yaitu Syeikh al-Albani (dalam silsilah
al-Ahadits al-Sahihah, No. 1144) yaitu: “Allah melihat kepada hamba-hambaNya
pada malam nishfu Sya’ban, maka Dia ampuni semua hamba-hambaNya kecuali musyrik
(orang yang syirik) dan yang bermusuh (orang benci
membenci)”.
Hadits dari ‘Aisyah ra: “Suatu malam Rasulullah salat,
kemudian beliau bersujud panjang, sehingga aku menyangka bahwa Rasulullah telah
diambil, karena curiga maka aku gerakkan telunjuk beliau dan ternyata masih
bergerak. Setelah Rasulullah usai salat beliau berkata: ‘Hai A’isyah engkau
tidak dapat bagian’?. Aku menjawab: ‘Tidak ya Rasulullah, aku hanya berpikiran
yang tidak-tidak (menyangka Rasulullah telah tiada) karena engkau bersujud
begitu lama’. Beliau bertanya: ‘Tahukah engkau, malam apa sekarang ini’.
‘Rasulullah yang lebih tahu’, jawabku. ‘Malam ini adalah malam nisfu Sya’ban,
Allah mengawasi hambanya pada malam ini, maka Dia memaafkan mereka yang
meminta ampunan, memberi kasih sayang mereka yang meminta kasih sayang
dan menyingkirkan orang-orang yang dengki‘ “(HR. Baihaqi). Menurut
perawinya hadits ini mursal (ada rawi yang tidak sambung ke sahabat), namun
cukup kuat.
Dalam hadits Ali kw, Rasulullah bersabda: “Malam nisfu
Sya’ban, maka hidupkanlah dengan salat dan puasalah pada siang harinya,
sesungguhnya Allah turun kelangit dunia pada malam itu, Allah bersabda: ‘Orang
yang meminta ampunan akan Aku ampuni, orang yang meminta rizqi akan Aku beri
dia rizqi, orang-orang yang mendapatkan cobaan maka aku bebaskan, hingga fajar
menyingsing’”. (H.R. Ibnu Majah dengan sanad
lemah).
Ingat sekali lagi bahwa para Ulama berpendapat bahwa
hadits lemah dapat digunakan untuk Fadhail ‘Amal (keutamaan amal). Walaupun
sebagian hadits-hadits tersebut tidak shahih, namun melihat dari hadits-hadits
lain yang menunjukkan keutamaan bulan Sya’ban, dapat diambil kesimpulan bahwa
malam Nisfu Sya’ban jelas mempunyai keutamaan dibandingkan dengan
malam-malam
lainnya..
Menurut seorang ahli ilmu Ibn Thawus dalam buku
‘Iqbal’, riwayat dari Kumail bin Ziyad Nakha’i (sahabat Imam Ali bin Abi
Thalib kw.), yang katanya: “Pada suatu hari, saya duduk di Masjid Basrah
bersama maulana Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kw., membicarakan hal nishfu
Sya’ban. Ketika beliau ditanya tentang firman Allah swt dalam surat Ad-Dukhaan:
4:
فِيها
يُفرقُ كُلُّ أمرٍ حكِيمٍ
Artinya: “Pada malam itu dijelaskan segala uruasan
yang penuh hikmah”
Amirul Mukminin mengatakan bahwa ayat ini mengenai malam
nishfu Sya’ban, orang yang beribadat dimalam itu, tidak tidur, dan membaca
do’a Hadrat Hidr as. akan lebih besar harapan diterima do’anya. Ketika beliau
pulang kerumahnya, dimalam itu, saya menyusulnya. Melihat saya, Imam Ali
bertanya: ‘Apakah keperluan anda kemari’? Jawab saya; ‘Saya kemari untuk
mendapatkan do’a Hadrat Hidr’. Beliau mempersilahkan saya duduk seraya berkata:
‘Ya, Kumail, apabila anda menghafal do’a ini dan membacanya setiap malam
Jum’at, cukuplah itu untuk melepaskan anda dari kejahatan, anda akan ditolong
Allah swt., diberi rezeki, dan do’a ini akan makbul. Ya, Kumail, lamanya per
sahabatan serta kekhidmatan anda, menyebabkan anda dikarunia nikmat dan
kemuliaan untuk belajar’.
Dalam Mafatih, muhaditts besar Al-Qummi, yang
dikutip dalam Mishbah-ul-Mutahajjid, disebutkan bahwa do’a Hadrat Hidr
adalah do’a terbaik, dan termasyhur sebagai do’a hadrat hidr, serta Imam Ali
kw, berkata pada Kumail untuk membacanya di malam nishfu Sya’ban dan setiap
malam Jum’at. Dikatakan bahwa do’a ini dapat memperluas pintu rezeki dan
melawan niat jahat musuh.
Disamping do’a hadrat hidr tersebut ada do’a malam
nishfu Sya’ban yang masyhur/terkenal juga diriwayatkan oleh Abu Syaibah di
dalam Al-Mushannif dan oleh Abu Dunya didalam Ad-Dua,
berasal dari Ibnu Mas’ud ra. Juga ada hadits dari Ibnu Umar yang mengatakan,‘
Seorang hamba Allah yang memanjatkan do’a do’a itu, Allah pasti meluaskan
penghidupannya (rezekinya). Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir dan
At-Thabarani meriwayatkan juga hadits tersebut dengan lafadh (versi) tidak
jauh berbeda.
Banyak berita riwayat yang menerangkan, bahwa orang yang
memanjatkan do’a malam nishfu Sya’ban ini akan diluaskan rezekinya dan
sebagainya. Juga beberapa sumber rujukan yang mengisnadkan sebagian isi do’a
nishfu dari Umar bin Khattab ra.. Sebagian isi do’a yang diriwayatkan oleh Ibnu
Mas’ud antara lain berbunyi: ’Ya Allah, jika Engkau telah menyuratkan
nasibku..dan seterusnya’. Bagi yang ingin mengetahui lafadh do’a ini, bisa
baca pada kitab majmu’ syarif yang banyak dijual pada toko-toko
buku agama. Keterangan-keterangan demikian ini tentu atas dasar taufiq
atau persetujuan dari Nabi saw.. Sebab tidak ada kewenangan pada
seorang sahabat atau lainnya untuk memberitahu suatu imbalan pahala yang
bersifat ghaib kalau tidak dari Nabi saw.. Jadi do’a-do’a nishfu Sya’ban
baik yang dari Imam Ali kw.(do’a Hadrat Hidhr) serta dari sahabat-sahabat Nabi
lainnya sudah terkenal di kalangan para salaf, dan tidak ada seorang pun dari
mereka yang menyangkal atau mensesatkannya, kecuali golongan pengingkar ini!
Cara ibadah, berdo’a yang dilakukan oleh kaum muslimin
pada malam nishfu Sya’ban itu bermacam-macam:
Ibadah dan berdo’a pada malam Nishfu Sya’ban walau pun
bermacam-macam tapi makna dan intinya sama yakni bermohon kepada Allah swt.
untuk kebaikan didunia dan akhirat. Ada yang shalat sunnah enam rakaat
pada waktu antara maghrib dan Isya’, banyak hadits yang tidak diragukan ke
benarannya mensunnahkan shalat enam raka’at tersebut. Jika seorang hamba Allah
bertawassul kepada-Nya melalui shalat enam raka’at itu, sungguhlah bahwa
tawassul yang dilakukannya itu adalah amalan shalih, dan itu tidak dapat
disangkal. Karena itu sama halnya orang yang melakukan sholat Hajat, yaitu
shalat sunnah yang dengan bulat dibenarkan oleh semua umat Islam.
Cara ibadah lainnya yaitu berdo’a dengan tawassul membaca
surat Yaasin pada malam nishfu Sya’ban ini, setiap setelah baca Yaasin sekali
langsung disambung dengan do’a dan hal yang sama ini diulangi sampai tiga kali.
Bacaan pertama dengan niat agar diampuni dosa-dosanya oleh Allah swt.,
bacaan yang kedua dengan niat agar Allah swt. menjauhkan dari berbagai
kesusahan dan bacaan yang ketiga dengan niat agar Allah swt. menjauhkan
dari rasa minder/rendah diri terhadap manusia (Istighna ‘anin Naas). Ini semua
tidak lain merupakan tawassul kepada Allah swt. dengan Kitab Suci-Nya, dengan
firman-Nya dan dengan kesucian sifat-sifat-Nya. Kebaikan yang diminta oleh
seorang hamba Allah dari Tuhannya pada hakikat kenyataan nya berharapan agar
Allah swt. berkenan menghapus keburukannya atau dosanya, karena amal kebaikan
itu akan meniadakan keburukan, sebagaimana firman-firman Allah swt.
berikut ini :
إنّ
الحسناتِ يُذهِبن
السّـيِّئـاتِ
Artinya: "Sungguhlah bahwa kebaikan meniadakan
keburukan” ( Hud : ayat
114 ).
اُولآئك
يُبـدّلُ اللهُ سيِّـئاتِهِم حسـناتٍ
Artinya: “Mereka
itulah orang orang yang keburukannya diganti Allah dengan kebaikan”. (Al-Furqan : 70).
ثُـمّ
بدّلـنـا مكان السّـيِّـئةِ الحسـنة
Artinya:
“Kemudian keburukan (yang ada pada mereka) Kami ganti dengan kebaikan”. (Al-A’raf:95).
Dan
masih ada firman Allah swt. yang menyerukan agar kita berlomba-lomba
mengerjakan kebaikan.
Sedangkan
dalam hadits dari Ibn Mas’ud ra berkata:
وعن
ابنِ مسعُود(ر) أنّ رجُلأ أصاب مِنِ امرأةٍ قُبلةً فاتى النّبِيِّ فأخبرهُ فأنزل
الله ُتعالى : وأقِمِ الصّلآة طرفىِ النّهارٍوزُلفـاً مِن الّليـلِ أِنّ
الحسناتِ يُذهـِبن السّيئاتِ. فقال الرّجُلُ : ألِي هذا يا رسُول الله ؟ قال : لِجمِيعِ أُمّتِي كُلِّهِم (رواه البخاري و مسلم )
Artinya: “Seorang lelaki mencium wanita, maka ia
datang kepada Nabi saw. memberitahu hal itu. Maka Allah menurunkan
(firman-Nya): ‘Tegakkan sholat pada pagi dan sore, dan pada waktu malam.
Sesungguhnya kebaikan itu dapat menghapus keburukan' (QS.Hud:114). Maka
orang itu bertanya: ‘Apakah hukum ini khusus untukku’, wahai Rasulallah ?
Jawab Nabi saw: ’Untuk semua umatku’ ". (HR.Bukhori dan Muslim)
Setiap hari kita dianjurkan beramal sholeh disamping
amalan wajibnya, dan Allah swt. akan memberi pahala bagi orang yang
mengamalkannya. Lepas dari itu, kita mengenal dalil-dalil didalam Islam yang
menunjukkan bahwa ada hari-hari, bulan dan malam-malam tertentu yang mana pada
waktu-waktu tertentu tersebut Allah swt. lebih meluaskan
ampunan,kurnia serta rahmat-Nya kepada hamba Allah yang sedang beramal
sholeh pada waktu-waktu tersebut melebihi daripada hari-hari, malam-malam atau
bulan-bulan biasa. Masalah-masalah ini semua yang penting adalah agar orang tidak
menyakini bahwa pembacaan-pembacaan do’a, peribadatan dan lain-lain pada
hari atau bulan yang dimuliakan –diantaranya malam nishfu Sya’ban itu– diwajibkan
atau ditekankan oleh syariat, sehingga nanti orang yang tidak sependapat
dengan mereka, memandang salah dan durhaka. Tidak lain kegiatan ibadah
sunnah pada waktu-waktu tersebut adalah fadhilah mubah bagi siapa yang
beroleh taufiq Ilahi. Dan orang-orang yang beroleh taufiq ilahi tidak
banyak jumlahnya.
Masih banyak hadits lainnya yang tidak kami kemukakan
dibab ini mengenai keistemewaan-keistemewaan serta pahala beramal ibadah pada hari
atau bulan-bulan tertentu umpama: hari Jum’at, puasa pada hari Senin
dan Kamis, bulan Ramadhan, puasa 6 hari setelah hari Raya Idul Fithri, puasa
pada hari ‘Asyura, giat beribadah pada malam lailatul Qadr dan keistemewaan
mengenai bacaan surat tertentu dari Al-Qur’an dan lain sebagainya. Juga
hadits-hadits yang meriwayatkan kemuliaan tempat-tempat tertentu seperti
tempat-tempat yang disebutkan pada manasik haji, keutamaan dari tiga masjid,
kesucian lembah Thuwa, tempat bekas berdirinya nabi Ibrahin as. dan lain
sebagainya. Dengan demikian kita bisa ambil kesimpulan bahwa didalam Islam
telah dikenal adanya keistemewaan dari Allah swt. bagi orang yang
beramal ibadah pada waktu-waktu dan ditempat-tempat tersebut. Bila ada orang
mengatakan bahwa semua hari, bulan, pembacaan ayat-ayat Qur’an, serta
tempat-tempat tertentu itu sama semuanya tidak ada yang lebih utama satu
sama lain, begitu juga amalan-amalan ibadah pada hari dan tempat-tempat
tertentu sama juga pahalanya, maka kami ingin bertanya pada mereka:
Apakah gunanya riwayat-riwayat mengenai;
pahala-pahala amalan tertentu, bacaan yang mempunyai manfaat tertentu, pahala
ibadah pada tempat-tempat dan bulan-bulan tertentu serta malam yang Allah
meluaskan Rahmat dan Karunia-Nya dan lain sebagainya, kalau semuanya itu tidak
ada keistimewaannya atau kalau semua sama pahalanya dan keutamaannya? Apakah
semua dalil-dalil tersebut palsu, bohong, dho’if, harus dibuang dan di
munkarkan karena tidak sesuai dengan akal kita atau karena ber lawanan dengan
pahamnya sebagian ulama?
Kami sayangkan masih adanya golongan muslimin yang sering
aktif menteror sesama saudara muslim yang meng- amalkan amalan-amalan ibadah
nawafil /sunnah atau mubah yang telah kami kemukakan dibuku ini.
Golongan pengingkar ini setiap kali datang bulan-bulan diantaranya bulan
Maulidin Nabi saw., bulan Sya’ban, bulan Rajab menyebarkan makalah-makalah
dari website mereka yang ditulis oleh ulama golongan ini. Ulama mereka
menulis hadits-hadits dan ayat Ilahi –yang menurut paham mereka– sebagai larangan
mengamalkan amalan-amalan mubah tersebut. Mereka ini tidak segan-segan langsung
menvonnis bahwa amalan-amalan yang diamalkan oleh kaum muslimin
didunia pada bulan-bulan tertentu itu sebagai amalan Haram, Bid’ah Munkar
atau syirik dan lain sebagainya. Tetapi herannya kaum muslimin yang
mengamalkan ini bertambah banyak, jadi bertambah banyak makalah-makalah yang
mereka tulis bertambah banyak orang yang mengamalkan amalan-amalan sunnah atau
mubah tersebut. Subhanallah.
Kalau kita teliti lagi, perbedaan paham setiap ulama atau
setiap madzhab selalu ada, dan tidak bisa disatukan. Sebagaimana yang sering
kita baca di kitab-kitab fiqih para ulama pakar yaitu, Satu hadits bisa
dishohihkan oleh sebagian ulama pakar dan hadits yang sama ini bisa dilemahkan
atau di palsukan oleh ulama pakar lainnya. Kedua kelompok ulama ini
sama-sama berpedoman kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw. tetapi
berbeda cara penguraiannya. Begitu juga halnya dengan hadits-hadits tentang keutamaan
bulan Rajab dan amalannya, keutamaan bulan Sya’ban dan amalannya,
keutamaan nishfu Sya’ban dan amalannya. Perbedaan pendapat amalan nawafil/
sunnah atau mubah ini sebenarnya tidak perlu diperuncing atau dipertajam
sehingga sering mengakibatkan sesat-mensesatkan, benci-membenci antar
sesama muslim. Siapa yang akan mengamalkan kebaikan itu, silahkan, dan
yang tidak akan mengamalkan amalan-amalan kebaikan itu itu yah silahkan juga
!!
Kalau kita telaah dalil-dalil keutamaan bulan dan
malam nishfu Sya’ban, dalam kenyataannya banyak beredar hadits –baik yang
dhoif mau pun yang shohih atau hasan– yang juga diakui oleh sebagian
ulama golongan pengingkar ini sendiri. Hanya
sayangnya golongan tertentu ini –karena fanatiknya dengan paham
mereka sendiri– tidak segan-segan dan berani menvonnis bahwa
amalan amalan itu semuanya bid’ah munkar yang harus diperangi
dan lain sebagainya. Yang sering digembar-gemborkan oleh golongan ini ialah
tentang amalan-amalan; Tawassul, Tabarruk, menghidupkan malam Nishfu Sya’ban,
peringatan maulidin Nabi saw. dan sebagainya. Alasan mereka: “Rasulullah
saw. tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para
shahabatnya tidak ada satu pun diantara mereka yang mengerjakannya.
Demikian pula para tabi’in dan tabi’ut-tabi’in”. Atau ucapan mereka:
“Kita kaum muslimin di perintahkan untuk mengikuti Nabi saw. yakni mengikuti
segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, mengapa justru
kita yang melakukannya..? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari
sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi saw., para sahabat, ulama-ulama
salaf? Karena melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah
bid’ah”.
Kaidah seperti itulah yang sering dijadikan pegangan dan
dipakai sebagai perlindungan oleh golongan pengingkar ini, juga sering mereka
jadikan sebagai dalil/hujjah untuk melegitimasi tuduhan bid’ah mereka
terhadap semua perbuat an amalan nawafil atau mubah tersebut.
Terhadap semua ini mereka langsung menghukumnya dengan ‘sesat, haram,
munkar, syirik dan sebagainya’ tanpa mau mengembalikannya kepada
kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok/asal
agama.
Omongan mereka seperti ‘Rasulallah saw., para sahabat
dan tabi’in tidak pernah melakukan amalan.... ’, seakan-akan mereka
itu pernah hidup pada zamannya Rasulallah saw. atau zamannya para sahabat
beliau saw. sehingga menyaksikan dengan mata kepala sendiri amalan-amalan yang
diamalkan oleh Nabi saw. dan para sahabat beliau saw.!
Sebagaimana yang telah kami kemukakan sebelum nya bahwa
Allah swt. berfirman: “Apa saja yang didatangkan oleh Rasul
kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamu dilarang daripadanya,
maka berhentilah (mengamalkannya)”. (QS. Al-Hasyr : 7). Dalam ayat ini
tidak dikatakan: ‘Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakannya
(oleh Rasulallah), maka berhentilah (mengerjakannya)’. Begitu juga hadits
Rasulallah saw.: “Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah
semampumu dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah dia”. (HR.Bukhori).
Dalam hadits ini Rasulallah saw. tidak bersabda; ’Apabila sesuatu itu
tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia’.
Dengan demikian memahami makna ayat dan hadits yang
terakhir itu, kita bisa mengambil kesimpulan: Dalil untuk mengharamkan
sesuatu perbuatan haruslah menggunakan nash yang jelas, baik itu
dari Al-Qur’an mau pun Hadits yang melarang dan mengingkari
perbuatan tersebut. Jadi bukan seenaknya menurut pemikirannya sebagian
orang. Semua perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan oleh syari’at Islam
sudah jelas diterangkan dalam Sunnah Rasulallah saw., bila tidak ada keterangan
yang jelas mengenai suatu amalan, maka para ulama akan meneliti dahulu apakah
amalan yang bersangkutan itu berlawanan dengan hukum yang telah
digariskan oleh syari’at Islam (hukum pokok Islam). Dengan demikian ayat dan
hadits tersebut jelas maknanya: Bahwa suatu perbuatan tidak boleh
diharamkan hanya karena alasan bahwa Nabi saw., para sahabat atau salafus
sholih tidak pernah meng-amalkannya!.Begitu juga tidak semua kata-kata Bid’ah
(rekyasa yang baru) itu otomatis haram, sesat dan lain sebagainya.
Banyak sekali amalan para sahabat yang Bid’ah pada zaman Rasulallah saw.
mau pun setelah wafat beliau yang tidak pernah diajarkan dan di perintahkan
oleh beliau saw.. Tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang mengatakan bahwa
amalan Bid’ah para sahabat itu itu adalah haram, syirik dan lain sebagainya.
(keterangan lebih mendetail silahkan membaca bab Bid’ah dibuku ini)
10.2. Dalil-Dalil
Golongan Pengingkar Dan Jawabannya:
Golongan pengingkar menulis beberapa hadits dan wejangan
para ulama yang membidáhkan munkar amalan bulan Sya'ban dan Rajab antara lain tulisan
mereka ialah:
Hadits pertama: “Barangsiapa yang shalat seratus raka’at pada malam nishfu dari
bulan Sya’ban, ia baca pada tiap-tiap raka’at sesudah al-Fatihah, Qulhu sepuluh
kali, maka tidak seorang pun yang shalat seperti itu melainkan Allah kabulkan
semua hajat yang ia minta pada malam itu…sampai akhir hadits”.
Hadits Kedua: “Barangsiapa yang membaca pada malam nishfu Sya’ban Qulhuwallahu ahad
seribu kali dalam seratus raka’at…sampai akhir hadits”.
Hadits Ketiga: “Barangsiapa yang shalat pada malam nishfu Sya’ban 12 raka’at, ia baca
pada tiap-tiap raka’at Qulhu 30 kali ………sampai akhir hadits”.
Hadits Keempat: “Riwayat yang menerangkan bahwa Nabi saw. Shalat nishfu Sya’ban 14
raka’at, setelah selesai beliau membaca al-Fatihah 14 kali, qulhu 14 kali, ayat
kursi satu kali......sampai akhir hadits”.
Kata mereka selanjutnya:
Imam Ibnu Jauzi berkata, “Tentang hadits-hadits (diatas) ini kami tidak ragu lagi tentang
palsunya, semua rawi-rawinya pada tiga hadits (nomer pertama s/d ketiga) majhul
(tidak diketahui keadaannya oleh ahli hadits). Dan (hadits) ini (yang keempat)
juga maudhu (palsu) dan sanadnya gelap (tidak diketahui).
Imam Nawawi berkata: “Shalat rajab, shalat nishfu Sya’ban adalah dua Bid’ah, Munkar
lagi Jelek”. (As-Sunan wal Mubtada’at halaman 144,145 karangan Syaikh Muhammad
Abdussalam Al-Hudlori).
Ibnu Taimiyah berkata: “Shalat ragha’ib (shalat pada malam Jum’at pertama di
bulan Rajab), dan shalat pada awal malam bulan Rajab, dan shalat pada awal
malam Mi’raj, dan shalat Al-Fiyah (seribu) malam nishfu Sya’ban,
adalah Bid’ah dengan kesepakatan pemuka-pemuka Agama (Islam). Sedang
hadits-hadits yang diriwayatkan (semuanya?) Dusta dengan Ijma’ Ahli
Ilmu Hadits”. (Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 23 hal.131 s/d 135).
Imam Fatany berkata: “Tentang shalat nishfu Sya’ban itu tidak ada satu pun
kabar atau riwayat (yang shahih) melain- kan riwayat yang dho’if atau palsu.
Oleh karena itu janganlah kita tertipu dengan disebutnya (shalat nisfu itu) di kitab
QUT dan Ihya’ dan yang selain keduanya”. (As-Sunan wal Mubta-da’at
hal.144 dan 145). Dikitab Ihya karangan Imam Al-Gazali memang ada tersebut
disunatkannya shalat nishfu Sya’ban itu. Oleh karena itulah Imam Fatany
memperingat kan kita supaya jangan tertipu dengan disebutnya dikitab Ihya itu
dimana pengarangnya seorang Imam besar namun manusia manakah yang tidak
mempunyai salah?
Imam Al-Iraqi yang mengoreksi hadits-hadits yang terdapat diKitab Ihya mengatakan,
“Hadits-hadits tentang shalat malam nishfu Sya’ban itu adalah hadits yang Bathil,dan
Ibnu Majah meriwayatkan dari hadits Ali, apabila datang malam nishfu Sya’ban
maka shalatlah pada malam- nya dan puasalah pada waktu siangnya. Tapi semua sanad
nya dlo’if ! (Ihya ‘Ulumid din jilid 1 halaman 203 oleh: Imam
Al-Gazali)
Jawaban:
Tidak adanya pengakuan atau kepercayaan –para Imam diatas itu– tentang hadits-hadits, yang
berkaitan dengan sholat pada malam nishfu Sya’ban yang ditentukan
bilangan raka’atnya dan bacaan-bacaan tertentu didalam sholat
tersebut, bukan berarti mereka ini mengharamkan orang yang
mengamalkan sholat sunnah atau mubah pada malam nishfu Sya’ban itu. Para imam
ini hanya mengatakan –semua amalan yang telah dikemukakan dalam hadits
tersebut– itu bid’ah (rekyasa baru), karena ,menurut mereka, Rasulallah
saw. tidak pernah memerintahkan atau mengucapkan tentang ketentuan atau cara
sholat dan bacaannya pada malam nishfu Sya’ban atau pada bulan Rajab. Bila
benar Rasulallah saw. tidak pernah mensunnahkannya, tidak lain yang dicela oleh
para ulama diatas ialah mencela atau mensesatkan orang yang mengemukakan hadits
atas nama Rasulallah saw., yang mana beliau saw. sendiri tidak pernah
mengucapkannya! Jadi bukan amalan ibadahnya yang dicela atau disesatkan,
selama amalan ibadah ini tidak keluar dari yang telah digariskan oleh syari’at
Islam!! Karena syari’at tidak melarang orang sholat sunnah muthlaq
berapa raka’at yang mereka kehendaki dengan bacaan apa pun dari Al-Qur’an.(baca
keterangan selanjutnya).
Jadi para ulama tadi tidak mengharamkan
orang-orang yang mengamalkan amalan sholeh pada malam nishfu Sya’ban.Para Imam
itu juga tidak mengingkari adanya hadits Rasulallah saw. lainnya
yang diakui oleh para ulama pakar lainnya mengenai keutamaan bulan
dan malam nishfu Sya’ban tersebut. Umpamanya hadits yang telah
kami kemukakan sebelumnya dari Usamah bin Zaid bahwa Rasulallah saw. bersabda:
‘..pada bulan Sya’ban diangkatnya amalan-amalan keRabbul ‘Alamin....sampai
akhir hadits’. Begitu juga hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ra. bahwa
Rasulllah saw. bersabda:.’...pada malam nishfu Sya’ban Allah swt. akan
mengampuni orang yang mohon ampun ...sampai akhir hadits’ dan hadits-hadits
lainnya. Mengapa justru golongan pengingkar ini yang memutuskan bahwa semua
amalan-amalan ibadah pada bulan dan nishfu Sya’ban adalah bid’ah munkar
serta melarang orang extra sholat sunnah dan amalan ibadah lainnya pada
waktu yang mulia tersebut?
Begitu juga golongan pengingkar dan pengikutnya ini
mempunyai paham bahwa hadits-hadits yang dhoif –walaupun dalam masalah
kebaikan– tidak boleh untuk diamalkan, dengan lain perkataan,
bila amalan yang tercantum di dalam hadits dhoif itu diamalkan maka
otomatis menjadi haram atau bid’ah sesat yang harus diperangi.
Akidah mereka seperti itu telah menyalahi Ijma’ (sepakat)
Ulama yang mengatakan: “Hadits yang dhoif itu boleh diamalkan bila
berkaitan dengan Fadhail ‘Amal (amalan-amalan yang mulia/ baik)”. Hadits
dhoif adalah hadits yang mempunyai asal/akar tetapi belum memenuhi
syarat-syarat hadits hasan atau shohih, misalnya karena ada diantara perawi
dari hadits tersebut yang majhul (tidak dikenal) atau lemah
hafalannya. Tetapi bila banyak beredar hadits dhoif mengenai amalan yang
sama dan diriwayatkan oleh berbagai para perawi lainnya maka dia meningkat
menjadi hadits Hasan/ Baik, begitu juga hadits
Hasan bila banyak diriwayatkan oleh para perawi yang berbeda-beda dia akan
meningkat menjadi hadits shohih. Hanya dengan satu hadits saja
–walau pun misalnya hadits ini lemah– tetapi banyak diriwayatkan dari
berbagai jalan sudah cukup buat kita sebagai anjuran dalil untuk mengamalkan
amalan-amalan sholeh pada kesempatan emas tersebut yaitu pada malam nishfu itu.
Apalagi masih ada dalil yang tidak dhoif mengenai keutamaan bulan dan malam
nishfu Sya’ban itu. Dengan demikian orang tidak bisa main pukul sama rata bahwa
semua hadits mengenai kemuliaan bulan dan malam nishfu Sya’ban adalah
munkar!
Sekali lagi, umpama saja, kita benarkan bahwa tidak
ada cara tertentu yang sah dari Rasulallah saw. untuk beribadah pada malam
tersebut, ini bukan berarti orang tidak boleh atau haram untuk
sholat sunnah Muthlaq atau berdo’a pada malam nishfu Sya’ban yang mulia
itu. Dimana dalilnya dari Rasulallah saw. atau dari para sahabat atau dari
para salaf bahwa orang dilarang/haram mengamalkan ibadah (sholat,
membaca do’a dan lain sebagainya) pada malam tersebut? Sudah Tentu
Tidak Ada! Karena semuanya itu merupakan amalan-amalan sholeh. Agama Islam
tidak pernah melarang orang mengamalkan kebaikan selama hal ini tidak
berlawanan dengan yang telah digariskan oleh syari’at, serta tidak disyariatkan
sebagai amalan wajib! Malah sebaliknya syari’at sering menganjurkan agar kita
selalu mengamalkan amalan-amalan sholeh/kebaikan! Apakah orang yang berdo’a, sholat
sunnah Muthlaq bukan termasuk sebagai amalan sholeh? Tidak ada satu pun dari
golongan muslimin yang mengamalkan amalan ibadah pada malam nishfu mempunyai
firasat bahwa amalan itu adalah amalan yang diwajibkan oleh syari’at
Islam, tidak lain ini hanya omongan atau isu-isu yang diada-adakan oleh
golongan pengingkar ini!
Jangan lagi pada malam atau bulan-bulan yang dimuliakan
oleh Allah swt. yang masih ada dalilnya, pada hari-hari biasa saja tidak
ada larangan untuk sholat sunnah atau berdo’a kepada Allah swt.,
selama sholat sunnah Muthlaq (yang hanya berniat sholat saja) tidak
dikerjakan pada waktu-waktu yang dilarang oleh agama. (ump. setelah sholat
Shubuh, setelah sholat ‘Ashar dan lain sebagainya yang disebutkan dalam
kitab-kitab fiqih). Firman Allah swt.dalam surat (Al- Mu’min :60); “..Berdo’alah
padaKu Aku akan mengabulkannya” juga firman-Nya dalam surat Thaahaa:14; ‘..Dan
dirikanlah sholat untuk mengingat-Ku’. Dalam ayat ini Allah swt. tidak
membatasi lafadh/kalimat do’a yang harus dibaca, begitu juga Dia
tidak membatasi hanya sholat wajib saja, malah ada firman Allah swt.
agar manusia sholat sunnah tahajjud (sholat waktu malam) atau amalan-amalan
sunnah disamping amalan wajibnya!
Perkataan Imam Nawawi: “Bahwa shalat satu
bentuk ritual yang bid’ah dimalam itu (malam nishfu) adalah shalat 100 rakaat,
hukumnya adalah bid’ah. Sama dengan shalat raghaib 12 rakaat yang banyak
dilakukan di bulan Rajab, juga shalat bid’ah. Keduanya tidak ada dalilnya dari
Rasulullah saw. Beliau (Imam Nawawi) mengingatkan untuk tidak terkecoh dengan
dalil-dalil dan anjuran baik yang ada di dalam kitab Ihya’ Ulumiddin karya
Al-Ghazali, maupun di dalam kitab Quut Al-Qulub karya Abu Talib
Al-Makki”. Jelas yang dimaksud Imam Nawawi ialah sholat bentuk ritual yang
ditentukan 100 raka’at dimalam nishfu Sya’ban dan sholat Raghaib 12
raka’at di bulan Rajab itu Bid’ah (rekayasa yang baru) yang tidak ada
dalilnya dari Rasulallah saw. Tetapi beliau tidak mengatakan bahwa
amalan itu ‘Bid’ah yang Haram dikerjakan’!
Berapa banyak riwayat yang menyebutkan amalan ibadah
sholat sunnah atau bacaan-bacaan didalam sholat yang diamalkan para sahabat
yang sebelum dan sesudah nya tidak pernah diperintahkan oleh Rasulallah saw.
atau tidak ada dalilnya dari beliau saw.. Begitu juga Sayyidina ‘Umar bin
Khattab ra. pernah mengatakan ‘Bid’ah yang nikmat’ pada sholat Tarawih,
Siti Aisyah ra sendiri pernah membid’ahkan sholat Dhuha yang beliau
kerjakan dan lain sebagainya, yang telah kami kemukakan pada bab Bid’ah dibuku
ini. Tetapi tidak ada satu pun dari para sahabat yang mengatakan bahwa
kata-kata ‘Bid’ah’ itu otomatis Haram, Munkar yang harus
diperangi. Pikirkanlah !
Sholat sunnah Muthlaq itu boleh dilakukan kapan
saja (kecuali waktu-waktu tertentu yang dilarang) dan berapa saja
jumlah raka’at yang di kehendaki. Sholat sunnah itu menurut ilmu Fiqih dibagi
menjadi dua macam yaitu Muthlaq dan Muqayyad. Untuk
sunnah Muthlaq cukuplah orang berniat shalat saja (sholat yang tidak ada
namanya).
Imam Nawawi –rahimahullah– sendiri berkata: “Seseorang
yang melakukan sholat sunnah dan tidak menyebutkan berapa raka’at yang akan
dilakukan dalam shalatnya itu, bolehlah ia melakukan satu raka’at lalu bersalam
dan boleh pula menambahnya menjadi dua, tiga, seratus, seribu raka’at dan
seterusnya. Apabila seseorang sholat sunnah dengan bilangan yang
tidak diketahuinya, lalu bersalam, maka hal itupun sah pula tanpa perselisihan
pendapat antara para ulama. Demikianlah yang telah disepakati oleh golongan
kami (madzhab Syafi’i) dan diuraikan pula oleh Imam Syafi’i didalam Al-Imla”.
(Dinukil dari kitab Fiqih Sunnah Sayid Sabiq ,terjemahan Indonesia, jilid 2
cet.kedua th.1977 hal .11)
Pada halaman 12 dikitab yang sama diatas ini ditulis,
bahwa Imam Baihaqi meriwayatkan dengan isnadnya, “bahwa Abu Dzar ra.
melakukan sholat (sunnah) dengan raka’at yang banyak, dan setelah salam ditegur
oleh Ahnaf bin Qais ra., katanya: ‘Tahukah anda bilangan raka’at dalam
sholat tadi, apakah genap atau ganjil’? Ia (Abu Dzar) menjawab: ‘Jikalau saya
tidak mengetahui berapa jumlah raka’atnya, maka cukuplah Allah
mengetahuinya’, sebab saya pernah mendengar kekasihku Abul Qasim (Nabi Muhammad
saw.) bersabda –sampai disini Abu Dzar menangis– kemudian dilanjutkan
pembicaraannya; Saya mendengar kekasihku Abul Qasim bersabda: ‘Tiada seseorang
hamba pun yang bersujud kepada Allah satu kali, melainkan diangkatlah ia oleh
Allah sederajat dan dihapuskan daripadanya satu dosa’ “. (Menurut al-Albani dalam
kitabnya ,terjemahan bahasa Indonesia, Tamamul Minnah jilid 1 hal. 292
cet.pertama th.2001 bahwa hadits ini ada dalam shohih al-Baihaqi dan
didalam- nya tidak ada perawi yang diperselisihkan, begitu juga imam Ahmad
telah meriwayatkan hadits ini).Adapun mengenai sholat sunnah Muqayyad
itu terbagi dua:
Pertama: Yang disyariatkan
sebagai sholat-sholat sunnah yang mengikuti sholat fardhu/wajib dan inilah yang
disebut sholat Rawatib (ump..sholat-sholat sunnah Fajr, Zhuhur, ‘Ashar,
Maghrib dan Isya’).
Kedua: Yang
disyariatkan bukan sebagai sholat sunnah yang mengikuti sholat Fardhu/wajib
(ump. Sholat Tasbih, sholat Istisqa dan lain-lain).
Abu Dzar ra. –sahabat Nabi saw. yang terkenal– telah melakukan sholat sunnah Muthlaq
(yang hanya niat sholat saja), tanpa mengetahui berapa jumlah raka’at yang
beliau kerjakan itu. Tidak ada para sahabat yang menegor beliau dan mengatakan
bahwa amalan itu Bid’ah munkar, Haram dan sebagainya! Abu Dzar
ra. juga menyebutkan suatu dalil umum yang membolehkan amalan sholat sunnah itu
berapa pun jumlahnya yaitu ‘Tiada seseorang hamba pun yang bersujud kepada
Allah ....sampai akhir hadits’. Mengapa justru golongan pengingkar ini
berani menvonnis amalan-amalan sholat sunnah Muthlaq pada malam nishfu sebagai bid’ah
munkar, haram dan lain sebagainya?
Imam Nawawi sendiri telah mengatakan bahwa orang
dibolehkan/sah sholat sunnah satu, dua, sampai ratusan raka’at dengan
satu kali salam bila sholat sunnah itu tidak disebutkan berapa raka’at
sebelumnya. Imam yang cukup terkenal ini pun tidak mengingkari kebolehan orang
untuk sholat sunnah (Mutlaq) terserah berapa raka’at yang dia kehendaki,
mengapa golongan pengingkar ini berani membid’ahkan munkar atau haram orang
yang mengamal kan ibadah sholat sunnah Muthlaq dimalam yang mulia yaitu nishfu
Sya’ban? Apakah Abu Dzar, Imam Nawawi itu bodoh, tidak mengerti hukum fiqih
hanya ulama golongan peng ingkar saja yang pandai,cerdas dan menguasai ilmu
fiqih?
Jadi para imam yang dikemukakan oleh golongan pengingkar
tadi hanya mencela atau memunkarkan kepada orang yang meriwayatkan hadits atas
nama Rasulallah saw. karena beliau saw. –menurut penelitian mereka– tidak
pernah menganjurkan amalan-amalan ibadah tertentu pada malam nishfu atau pada
bulan Rajab. Jadi bukan amal ibadahnya yang dicela atau disesatkan.
Umpama saja kita tolerans dengan golongan pengingkar
yaitu membenar- kan paham mereka bahwa para imam itu benar-benar mengharamkan
amalan ibadah pada bulan Sya’ban atau Rajab. Ini pun bukan suatu dalil yang
harus di-ikuti karena dalam syari’at tidak ada pengharaman sholat sunnah dengan
bacaan-bacaan tertentu dalam sholat tersebut. Malah sebaliknya banyak dalil
yang menganjurkan agar kita memperbanyak ibadah sunnah dan berdzikir serta
banyak riwayat yang menulis bahwa para sahabat mengamalkan amalan bid’ah
hasanah yaitu menambah bacaan dalam sholat fardhu yang tidak pernah
dicontohkan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw.. (silhakan rujuk
kembali pada bab Bid’ah dibuku ini) Wahai saudaraku, janganlah seenaknya
menghukum amalan ibadah sunnah atau mubah sebagai bid’ah munkar atau
haram dikerjakan! Menghukum sesuatu amalan nafilah sebagai bid’ah
munkar atau haram harus menunjuk kan nash yang khusus atas keharaman
amalan tersebut, jadi tidak seenaknya sendiri! Bila kalian tidak mau
mengamalkan amalan-amalan mubah ini, silahkan, itu urusan kalian tidak
ada orang yang mencela hal itu, karena tidak lain semuanya itu hanya amalan
sunnah atau mubah! Cukup banyak dalil baik dari firman Allah swt. mau pun dari
sunnah Rasulallah saw. agar manusia selalu berbuat kebaikan, dan setiap
kebaikan walau pun kecil akan dicatat pahalanya! Apakah sholat sunnah atau
do’a kepada Allah swt. itu bukan termasuk kebaikan?
10.3. Ibnu
Taimiyyah menghidupkan Nishfu Sya’ban dengan amalan yang khusus.
Ibnu Taimiyah mengkhususkan amalan sholat
pada nishfu Sya’ban dan memujinya: Berkata Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu’
Fatawa pada jilid 24 halaman 131 mengenai amalan Nishfu Sya'ban
sebagai berikut:
إذا صلّى الإنسان ليلة النصف وحده أو في جماعة خاصة كما كان يفعل
طوائف من المسلمين فهو: حسن
Artinya: "Apabila seorang itu
menunaikan sholat pada malam Nishfu Sya'ban secara individu atau berjamaah
secara khusus sebagaimana yang dilakukan oleh sebilangan masyarakat
Islam maka hal itu adalah Baik".
Lihat bagaimana Ibnu Taimiyah sendiri memuji siapa yang menghidupkan amalan khusus pada malam Nishfu Sya'ban yaitu dengan menunaikan sholat sunnah pada waktu itu baik secara perseorangan mau pun secara berjama’ah, Ibnu Taimiyah menyifatkan amalan khusus itu sebagai Hasan/ Baik.
Pada halaman 132 dikitab yang sama itu, Ibnu
Taimiyyah mengakui adanya hadits yang mengkhususkan untuk ibadah sholat malam
Nishfu Sya’ban:
وأما ليلة النصف - من شعبان - فقد رُوي في فضلها أحاديث وآثار ، ونُقل عن طائفة من السلف أنهم كانوا يصلون فيها، فصلاة الرجل فيها وحده قد تقدمه فيه سلف وله فيه حجة (( فلا ينكر مثل هذا )) ، أما الصلاة جماعة فهذا مبني على قاعدة عامة في الاجتماع على الطاعات والعبادات
Artinya: "(Berkenaan malam Nishfu
Sya'ban) maka telah diriwayatkan mengenai kemuliaan dan kelebihan Nishfu
Sya'ban dengan hadits-hadits dan atsar, di nukilkan dari golongan Salaf (orang-orang
dahulu) bahwa mereka menunaikan sholat khusus pada malam Nishfu Sya'ban,
sholatnya seseorang pada malam itu secara perseorangan sebenarnya telah
dilakukan oleh ulama Salaf dan dalam perkara tersebut terdapat hujjah/dalil
maka jangan di-ingkari, manakala sholat secara jama’ah (pada malam
nishfu sya'ban) adalah dibina atas hujah/ dalil kaedah pada berkumpulnya
manusia dalam melakukan amalan ketaatan dan ibadat". Dalam kitabnya Iqtido'
As-sirot Al-Mustaqim pada halaman 266 beliau mengatakan:
ليلة النصف مِن شعبان. فقد روي في فضلها من الأحاديث المرفوعة والآثار ما يقتضي: أنها ليلة مُفضّلة. وأنّ مِن السّلف من كان يخُصّها بالصّلاة فيها، وصوم شهر شعبان قد جاءت فيه أحاديث صحيحة. ومِن العلماء من السلف، من أهل المدينة وغيرهم من الخلف: من أنكر فضلها ، وطعن في الأحاديث الواردة فيها، كحديث:[إن الله يغفر فيها لأكثر من عدد شعر غنم بني كلب] وقال: لا فرق بينها وبين غيرها. لكن الذي عليه كثيرٌ مِن أهل العلم ؛ أو أكثرهم من أصحابنا وغيرهم: على تفضيلها ، وعليه يدل نص أحمد - ابن حنبل من أئمة السلف - ، لتعدد الأحاديث الواردة فيها، وما يصدق ذلك من الآثار السلفيّة، وقد روي بعض فضائلها في المسانيد والسنن
Artinya: "(Malam Nishfu Sya'ban) telah
diriwayatkan mengenai kemuliaannya dari hadits-hadits Nabi dan pada kenyataan
para sahabat telah menjelaskan bahwa itu adalah malam yang mulia dan dikalangan
ulama As-Salaf yang mengkhususkan malam Nishfu Sya’ban
dengan melakukan sholat khusus padanya dan berpuasa bulan
Sya'ban, ada pula hadits yang shohih. Ada dikalangan Salaf (orang
yang terdahulu), sebagian dari ahli Madinah dan selain mereka sebagian
dikalangan Khalaf (orang belakangan) yang mengingkari kemuliannya
dan menyanggah hadits-hadits yang diriwayatkan padanya seperti hadits:
'Sesungguhnya Allah swt. mengampuni padanya lebih banyak dari bilangan bulu
kambing bani kalb'. Akan tetapi disisi kebanyakan ulama ahli Ilmu atau kebanyakan
ulama Madzhab kami dan ulama lain adalah memuliakan malam Nishfu Sya’ban,
dan yang demikian adalah kenyataan Imam Ahmad bin Hanbal dari ulama
Salaf, karena cukup banyak hadits yang menyatakan mengenai kemuliaan
Nishfu Sya'ban, begitu juga hal ini benar dari kenyataan dan kesan-kesan
ulama As-Salaf, dan telah dinyatakan kemuliaan Nishfu Sya'ban dalam banyak
kitab hadits Musnad dan Sunan". Demikianlah pendapat Ibnu Taimiyyah
mengenai bulan dan malam Nishfu Sya'ban.
Jelas sebagai bukti bahwa Ibnu Taimiyah
sendiri mengakui dan tidak mengingkari kebaikan amalan khusus pada
nishfu Sya’ban termasuk didalamnya sholat sunnah. Belliau juga mengatakan bahwa
amalan ibadah pada malam nishfu Sya’ban dikerjakan oleh para Salaf. Tetapi
sayangnya golongan peng- ingkar yang mengaku sebagai penerus akidah Ibnu
Taimiyyah ini telah meng haramkan dan membid’ahkan mungkar amalan
dalam bulan dan nishfu Sya’ban ini? Mereka hanya menyebutkan kata-kata Ibnu
Taimiyyah yang sepaham dengan mereka tetapi kata-kata Ibnu Taimiyyah
yang tidak sepaham, mereka kesampingkan! Apakah mereka ini juga berani
membid’ahkan mungkar Ibnu Taimiyyah? Apakah mereka ini akan merubah atau
mengarti kan kata-kata Ibnu Taimiyah yang sudah jelas tersebut –sebagaimana
kebiasaan mereka– sampai sesuai dengan paham mereka?
Al-Qasthalani dalam kitabnya, Al-Mawahib Alladunniyah
jilid 2 halaman 59, menuliskan bahwa para tabi’in di negeri Syam seperti
Khalid bin Mi’dan dan Makhul telah berjuhud (mengkhususkan
beribadah) pada malam nishfu sya’ban. Maka dari mereka berdua
orang-orang mengambil panutan. Selanjutnya Al-Qasthalany berkata perbedaan
pendapat para ulama Syam hanya dalam bentuk cara ibadah pada malam
nishfu Sya’ban. Ada yang mengamalkan dimasjid secara berjama’ah yaitu pendapat Khalid
bin Mi’dan, Luqman bin ‘Amir dan disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih.
Ada lagi yang mengamalkan sendiri-sendiri dirumah atau ditempat lainnya,
pendapat ini disetujui oleh Al-Auza’i dan para ulama Syam
umumnya!!
Masih banyak lagi pendapat para ulama yang
membolehkan amalan ibadah khusus pada malam nishfu Sya’ban karena merupakan
amalan kebaikan yang taqarrub/ mendekatkan diri kepada Allah swt. Dengan
demikian para ulama salaf dari zaman dahulu sampai zaman sekarang telah
mengakui adanya amalan-amalan ibadah pada malam nishfu Sya’ban. Wallahu
A’lam
10.4. Amalan-Amalan
Pada Bulan Rajab
Alasan-alasan dan dalil-dalil yang telah dikemukakan
untuk memperkokoh keabsahan kemuliaan, keutaman bulan dan malam nishfu
Sya’ban, pada dasarnya memperkuat juga keabsahan kemuliaan dan
keutamaan bulan Rajab. Lepas dari itu semua, kami ingin mengutip dan
mengumpulkan ,secara singkat, riwayat-riwayat mengenai kemuliaan dan amalan pada
bulan Rajab berikut ini. Keterangan yang muktamad tentang bulan
Rajab adalah bahwa bulan itu termasuk bulan-bulan yang dihormati dan
dimuliakan, atau dalam Al-Qur’an di sebut sebagai Asyhurul Hurum,
yaitu, Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muhar- ram dan Rajab.
Dalam bulan tersebut, Allah swt. melarang peperangan dan
ini merupakan tradisi yang sudah ada jauh sebelum turunnya syariat Islam. Allah
swt berfirman dalam surat At-Taubah: 36 sebagai berikut: “Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram.
Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri
kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya
sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah
beserta orang-orang yang bertakwa”.
Didalam surat Al-Maidah:2, Allah swt.berfirman: “Wahai
orang-orang yang beriman janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan
jangan lah melanggar kehormatan bulan-bulan haram”.
Empat bulan haram itu di sebutkan juga dalam sabda
Rasulullah saw. berikut ini: “Sesungguhnya zaman telah berputar seperti pada
hari penciptaan langit dan bumi, setahun terdapat dua belas bulan dan empat di
antaranya adalah bulan haram dan tiga diantaranya berturut-turut, yaitu dzul
qa’dah, dzul hijjah, muharram dan rajab mudhar yang berada di antara jumadil
awal, jumadil akhir dan sya’ban”.(HR.Bukhari dan
Muslim).
Imam al-Qurtubi didalam tafsir-nya bahwa Nabi saw.
sendiri pernah menegaskan bahwa “bulan Rajab itu adalah bulan Allah, yaitu
bulan Ahlullah. Dan di katakan penduduk (mukmin) Tanah Haram itu Ahlullah
karena Allah yang memelihara dan memberi kekuatan kepada mereka”.(al-Qurtubi,
Jami’ Ahkam al-Qur’an, juz.6, hlm
326).
Bulan-bulan haram memiliki kedudukan yang agung, dan
bulan Rajab termasuk salah satu dari empat bulan tersebut. Dinamakan
bulan-bulan haram karena diharamkan nya berperang di bulan-bulan itu kecuali
musuh yang memulai. Hadits dari Anas bin Malik r.a. berkata; “Bahwa Rasulullah
saw. apabila masuk bulan Rajab selalu berdo’a, ‘Allahuma bariklana
fii rajab wa sya’ban, wa balighna ramadan.’ Artinya, ‘ya Allah, berkahilah
kami pada bulan Rajab dan Sya’ban; dan sampaikan kami ke bulan Ramadan’ “.
(HR.Ahmad dalam Musnad-nya juz 1: 259 hadits no 2346 dan Tabrani).
Hadits ini disebutkan dalam banyak keterangan, seperti dikeluarkan oleh
Abdullah bin Ahmad di dalam kitab Zawaa’id al-Musnad (2346). Al-Bazzar didalam
Musnadnya –sebagaimana disebutkan dalam kitab Kasyf al-Astaar– (616);
Ibnu As-Sunny didalam ‘Amal al-Yawm Wa al-Lailah (658); Ath-Thabarany didalam
(al-Mu’jam) al-Awsath (3939). Kitab ad-Du’a’ (911). Abu Nu’aim didalam
al-Hilyah (VI:269). Al-Baihaqy di dalam Syu’ab (al-Iman) (3534). Kitab
Fadhaa’il al-Awqaat (14). Al-Khathib al-Baghdady di dalam al-Muwadhdhih
(II:473).
Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah
bersabda; “Puasalah pada bulan-bulan haram (mulia)”. (Riwayat Abu Dawud,
Ibnu Majah, dan Ahmad).
Imam Ath-Thabrani meriwayatakan hadits dari Abu Hurairah
ra “bahwa Nabi saw. tidak menyempurnakan puasa sebulan setelah Ramadhan kecuali
pada Rajab dan Sya’ban.” (ibid, hlm 161 juz 9 hadits no.
9422).
Al-Syaukani dalam Nailul Authar, (dalam pembahasan
puasa sunat) sabda Nabi saw., ‘Bulan Sya’ban adalah bulan antara Rajab dan
Ramadan yang dilupakan kebanyakan orang’, itu secara implisit menunjukkan bahwa
bulan Rajab juga disunnahkan melakukan puasa didalamnya. Ditulis juga
oleh al-Syaukani, dalam Nailul Authar, bahwa Ibnu Subki meriwayatkan
dari Muhamad bin Manshur al-Sam’ani yang mengatakan bahwa tidak ada hadits
yang kuat (baca; lemah) yang menunjukkan kesunnahan puasa Rajab secara
khusus. Disebutkan juga bahwa Ibnu Umar memakruhkan puasa Rajab
(walau pun ia dibantah oleh Asma’ binti Abu Bakar), sebagaimana Abu
Bakar al-Tarthusi yang mengatakan bahwa puasa Rajab adalah makruh, karena tidak
ada dalil yang kuat. Namun demikian, sesuai pendapat al-Syaukani, bila semua
hadits yang secara khusus menunjuk kan keutamaan bulan Rajab dan
disunnahkan puasa didalamnya kurang kuat untuk dijadikan landasan, maka hadits-hadits
yang umum (seperti yang tercantum diatas) itu cukup menjadi hujah
atau landasan. Disamping itu, karena juga tidak ada dalil yang kuat
yang memakruhkan puasa dibulan
Rajab.
Puasa/Shaum dibulan Rajab dibolehkan (ibahah) ber
dasarkan hadits shahih.. Tetapi tidak satu pun dalil-dalil shahih dari
Rasulallah saw. yang menentukan/ menetapkan tanggal-tanggal
tertentu (seperti 1 Rajab, 17 Rajab, 27 Rajab, dan sebagainya), semua hadits
berkenaan dengan tanggal-tanggal tersebut adalah dha’if atau maudhu’
sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Sebagian sahabat dan salafus-shalih memakruhkan
jika berpuasa Rajab sebulan penuh dan sebagian lainnya tidak
memakruhkannya.
Hadits shahih tentang hal tersebut adalah; Imam Muslim
meriwayatkan dalam shahih-nya: “Telah menceritakan pada kami Abubakar
bin Abi Syaibah, telah menceritakan pada kami Abdullah bin Numairih, telah
menceritakan pada kami Ibnu Numair, telah menceritakan pada kami ayah kami,
telah mencerita kan pada kami Utsman bin Hakim Al-Anshari berkata: ‘Aku bertanya
pada Sa’id bin Jubair tentang puasa Rajab dan kami saat itu sedang
berada di bulan Rajab’, maka ia menjawab: Aku mendengar Ibnu Abbas berkata:
‘Adalah Nabi berpuasa (di bulan Rajab) sampai kami berkata nampaknya
beliau akan berpuasa (bulan Rajab) seluruhnya, lalu beliau tidak berpuasa
sampai kami berkata: Nampaknya beliau tidak akan berpuasa (bulan Rajab)
seluruhnya’“. (Albani sendiri dalam Al-Irwa’ mengatakan: Hadits ini
di-takhrij oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya (VI/139) dan Ahmad (I/26). Saya (Albani)
katakan: Bahkan hadits ini juga di-takhrij oleh Imam Abu Ya’la dalam Al-Musnad
(VI/156, no. 2547); Al-Baihaqi dalam Al-Kubra’ (IV/906); dan dalam
Syu’abul Iman (VIII/316, no. 3638).
Kendati pun demikian, ada pula hadits-hadits lain yang memakruhkan
berpuasa dibulan Rajab, jika berpuasa satu bulan penuh (Al-Baihaqi dalam
Syu’abul Iman (VIII/330, no. 3653). Ibnu Umar termasuk yang memakruhkan
berpuasa di bulan Rajab walau pun ia dibantah oleh Asma’ binti Abubakar
(HR. Ahmad dalam Al-Musnad I/180, no. 176; Al-Baihaqi dalam Al-Kubra’ III/893).
Diriwayatkan bahwa Umar bin Khaththab ra juga tidak menyukai puasa dibulan
Rajab (namun kedudukan haditsnya diperbincangkan, karena ada Rijal yang tidak
dikenal) (HR. At-Thabrani dalam Al-Ausath (XVI/427 no. 7851), tetapi Imam
Al-Haitsami mengomentari hadits ini: “Dalam sanadnya ada Hasan bin Jablah dan
aku tidak menemukan orang yang menyebutkan tentang siapa dia ini, selebihnya
Rijal-nya Tsiqat.” (Majma’ Az-Zawa’id, III/191).
Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Imam Syafi’i, berbunyi:
“Telah sampai kepada kami bahwa Asy-Syafi’i mengatakan: ‘Sesungguhnya do’a itu mustajab
pada lima malam: malam juma’at, malam ‘Idul Adha, malam ‘Idul
Fithri, malam pertama bulan Rajab dan malam nisfu Sya’ban’ “. (al-Baihaqi,
Sunan al-Kubra, 1994, Maktabah Dar al-Baz: Makkah al-Mukarramah, juz.3 hlm
319). Masih banyak hadits yang beredar mengenai beramal sholeh pada bulan Rajab
dan Sya’ban yang tidak kami kemukakan disini.
Berdasarkan keterangan tadi, jelaslah kepada kita bahwa
bulan Sya’ban dan bulan Rajab mempunyai dalil-dalil yang
tersendiri. Sumber-sumber hukum Islam dan keterangan baik para ulama Salaf mau
pun Khalaf telah memberitahu bahwa terdapat hadits-hadits yang shohih,
hasan, mursal, marfu’, maudhu’, dhaif, dhaif jiddan (amat lemah) tentang
amalan-amalan seputar bulan Sya’ban dan Rajab. Begitu juga banyak hadits
yang beredar mengenai keutamaan bulan Sya’ban dan bulan
Rajab.
Oleh karenanya, kita tidak bisa pukul sama rata bahwa semua
hadits tentang amalan ibadah pada bulan Sya’ban dan Rajab itu palsu,
dhoif ….dan tidak ada yang shohih atau hasan. Setiap isu dan
dalil harus dipahami secara menyeluruh lagi mendalam agar kita tidak tersesat
dari landasan yang benar. Jangan lagi pada malam atau bulan-bulan yang
dimuliakan oleh Allah swt. yang masih ada dalilnya, pada hari-hari biasa
saja tidak ada larangan untuk sholat sunnah, puasa atau berdo’a
kepada Allah swt., selama sholat sunnah (yang hanya berniat sholat saja) tidak
dikerjakan pada waktu-waktu yang di makruhkan oleh agama (ump. seusai sholat
Shubuh, seusai sholat ‘Ashar dan sebagainya yang disebutkan dalam kitab-kitab
fiqih), begitu juga puasa sunnah (hanya berniat puasa saja) tidak boleh
diamalkan pada hari-hari yang dilarang menurut ahli Fiqih. Karena firman Allah
swt.; ‘Berdo’alah pada-Ku Aku akan mengabul- kannya” juga firman-Nya “Dirikanlah
sholat untuk mengingatKu”. Dalam ayat ini tidak dibatasi lafadh do’a yang
harus dibaca, begitu juga tidak dibatasi hanya sholat wajib saja.
Sedangkan mengenai puasa sunnah (yang hanya berniat puasa saja) banyak hadits
yang meriwayatkan.
Semua ibadah yang diamalkan karena Allah swt. itu
adalah baik, malah amalan-amalan yang dikerjakan pada zaman jahiliyyah
pun bisa kita tiru kalau mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan
syari’at Islam. Sebagai contoh satu hadits yang diriwayatkan Al-Hakim
dari Nubaisyah ra.; “Seorang lelaki bertanya kepada Nabi saw., ‘Wahai
Rasulallah, kami memberi persembahan (kepada berhala) di zaman
jahiliyah, apa yang harus dilakukan di bulan Rajab ini? Beliau saw. menjawab: ‘Sembelihlah
binatang ternak karena Allah, dibulan apapun, lakukanlah kebaikan karena Allah
dan berilah makanan’”. Imam Al-Hakim mengatakan: ‘Isnad hadits ini adalah
shohih tetapi tidak dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam
shohih mereka berdua’. (Abu Abdillah al-Hakim, al-Mustadrak ala Sahihain, 1990,
Cetakan pertama, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah : Beirut, juz 4, hlm
263).
Misalnya ada hadits Nabi saw. –sudah tentu tidak mungkin–
yang melarang umatnya berpuasa atau beramal sholeh di bulan Sya’ban dan
Rajab, hadits ini akan diteliti betul-betul oleh para ulama, karena jelas
bertentangan dengan hadits-hadits lain yang menganjurkan orang berpuasa dan
sholat sunnah disamping yang wajib dan beramal sholeh setiap waktu!! Imam
Syaukani sendiri dalam Nailul Authar berkata: “Tidak ada dalil
yang kuat yang memakruhkan puasa dibulan Rajab begitu juga
tidak ada hadits yang kuat (baca; lemah) yang menunjukkan kesunnahan
puasa Rajab secara khusus”. Dengan demikian amalan ibadah puasa bulan Rajab
serta amalan ibadah memperbanyak sholat sunnah atau berdzikir adalah amalan
mubah, yang sudah pasti juga mendapat pahala dari Allah swt.. Karena semua
amalan baik walau pun kecil pasti akan dicatat juga sebagai kebaikan, begitu
juga amalan buruk walau pun kecil pasti akan dicatat juga sebagaik keburukan
(Al-Zalzalah:7-8)! Begitu juga menurut kaidah ulama hadits yang dhoif
boleh diamalkan bila mengandung Fadhail ‘Amal. Wallahu
a’lam.
Marilah kita semua tidak saling cela mencela sesama
muslim hanya masalah amalan sunnah atau mubah. Orang yang tidak mau beramal
pada bulan yang mulia itu juga tidak ada salahnya begitu pun juga orang yang
ingin beramal pada bulan yang mulia itu akan mendapat pahala. Karena tidak ada satu
amalan yang baik (sholat, berdzikir, berdo’a dan lain-lain) yang tidak diberi
pahala oleh Allah swt. Hal ini banyak difirmankan oleh Allah swt. dan
diriwayatkan dalam hadits Nabi saw. Yang tidak dibolehkan oleh syari’at ialah merubah
atau menambah amalan-amalan pokok yang telah
digariskan/ditetapkan oleh syariat agama. (Umpama sholat Shubuh sengaja 3
raka’at dll). Semoga dengan kutipan singkat dan sederhana mengenai bulan/nishfu
Sya’ban atau bulan Rajab ini, bisa memberi manfaat bagi diri dan keluarga kami
khususnya serta semua ummat muslimin, amin. Begitu juga dengan adanya
firman-firman Allah swt. dan hadits Rasulallah saw.serta wejangan-wejangan para
ulama pakar yang tertulis dibuku ini, kita bisa ambil kesimpulan bahwa semua
perbuatan kebaikan, dengan cara bagaimanapun, asal tidak keluar dari syariat
dan tidak merubah hukum-hukum pokok agama, itu adalah baik/mustahab apalagi
yang mendatangkan mashlahat/kebaikan malah dianjurkan oleh agama.Dan yang
penting lagi orang tidak mensyari’atkan/ mewajibkan amalan sunnah
tersebut.
Insya Allah, tidak ada nash/hukum yang jelas untuk mengharamkan
atau melarang amal kebaikan yang telah kami kemukakan diwebsite ini malah
sebaliknya cukup banyak dalil –baik secara langsung maupun tidak langsung– yang
menganjurkan untuk beramal kebaikan. Arti atau makna yang dimaksud kebaikan
dalam agama itu luas sekali. Janganlah kita sendiri yang membatasinya, sehingga
dengan mudah mengambil satu hadits tentang suatu amalan kemudian hadits ini
digunakan dalil untuk melarang/ mengharamkan amalan
lainnya!
Insya Allah dengan adanya dalil-dalil di website ini,
tentang suatu amalan yang telah diuraikan oleh ulama-ulama pakar
berdasarkan ayat-ayat Ilahi dan hadits Nabi saw., kebingungan kita bisa
teratasi. Dengan demikian amalan-amalan seperti; Tawassul, Tabarruk, kumpulan
majlis dzikir, peringatan-peringatan keagamaan dan lain sebagainya bisa
lebih lancar jalannya. Karena semua itu adalah sebagian dari syiar
agama !
Sebagai manusia yang penuh kekurangan dan kesalahan, kami
mengharap masukan dan saran dari
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda