Fakta Bab 9, ttg tawasul dan tabarru'
BAB 9
Wasithah/Tawassul dan Tabarruk
Daftar isi Bab 9 ini dia
| ||
9.1.
Sekelumit Pengantar Makna Tawassul
Sebenarnya bab ini juga sudah kami singgung pada halaman sebelumnya,
umpama dalam bab 2 'Siapakah golongan Wahabi...' , tapi marilah
sekarang kita rujuk dalil-dalil khusus yang berkaitan dengan Tawassul,Tabarruk
dan minta pertolongan pada manusia, tidak langsung kepada Allah swt. Insya
Allah dengan adanya keterangan nanti, para pembaca lebih jelas dan mantep
mengenai dibolehkannya tawassul/tabarruk atau minta pertolongan kepada manusia.
Sementara orang memandang wasithah/tawassul dan tabarruk hal yang dilarang
dan dikategorikan sebagai syirik, berdalil kepada firman Allah dan hadits
Rasulallah saw. (dalil-dalinya kita bicarakan tersendiri) yang menurut paham
mereka sebagai larangan bertawassul, bertabarruk dan minta pertolongan kepada
manusia. Padahal yang dimaksud oleh firman Allah swt. dan hadits-hadits yang
mereka ajukan tersebut, maknanya bukan seperti yang mereka tafsirkan yakni
bukan berarti melarang orang untuk bertawassul/bertabarruk atau minta
pertolongan kepada para Rasul dan para sholihin.
Rasulallah saw. sering mengingatkan agar kita jangan lengah, bahwa
segala sebab musabab yang mendatangkan kebaikan berasal dari Allah swt. Jadi
bila kita hendak minta tolong pada manusia, kita harus tetap yakin bahwa
bisa atau tidak, mau atau tidak mau, sepenuhnya tergantung pada kehendak dan
izin Allah swt. Jangan sekali-kali kita lupa kepada ‘Sebab Pertama’
yang berkenan menolong kita serta yang mengatur semua hubungan dalam
kehidupan ini adalah Allah swt.
Jika Islam melarang seorang muslim minta tolong kepada sesamanya, atau
minta tolong pada Rasulallah saw., tentu beliau saw. melarang kaum
muslimin minta tolong kepadanya, dan beliau tidak akan pernah mau dimintai
tolong supaya berdoa agar Allah swt. menurunkan hujan di musim kemarau dan
berdoa untuk lainnya. Terbukti bahwa beliau tidak pernah menolak permintaan
mereka ini. Hadits-hadits yang golongan pengingkar buat sebagai dalil
tersebut, tidak bermakna kecuali memantapkan akidah/ keyakinan kaum muslimin,
yaitu akidah tauhid, bahwa penolong yang sebenarnya adalah Allah swt.,
sedangkan manusia adalah hanyalah sebagai washithah/perantara.
Demikian pula kalau permintaan tolong pada selain Allah swt.
dilarang, maka akan bertentangan dengan ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits
Rasulallah saw. yang membolehkan tawassul dan minta tolong dengan sesama
manusia. Jadi minta pertolongan pada makhluk atau tawassul tersebut
mustahab/boleh selama orang tersebut tidak mempunyai keyakinan/akidah bahwa
Nabi, para waliyullah dan sebagainya tersebut dapat memberi syafa’at tanpa
seizin Allah swt. Kaum muslimin juga yakin bahwa orang yang mohon syafa’at ini
adalah sebagai upaya/iktisab sedangkan yang dimintai syafa’at adalah ‘wasithah’
tidak lebih dari itu.
Hakekat ‘Tawassul’ merupakan hal
yang telah menjadikan kejelasan dalam Islam. Al-Qur’an sebagai sumber utama
agama Islam, yang mana dalam sebuah ayatnya menyatakan: ‘Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah)
yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu
mendapat keberuntungan’ (QS Al-Maidah: 35). Dalam ayat ini Allah swt.
menjelaskan bahwa ketakwaan dan jihad merupakan sarana legal untuk menyampai-
kan manusia kepada Allah swt.
Yang menjadi pertanyaan adalah; Adakah
sarana-sarana lain yang sah ,menurut syariat Islam, yang mampu menghantarkan
manusia menuju Allah swt. ataukah dalam penentuan sarana-sarana tadi telah
sepenuhnya diserahkan kepada manusia? Untuk menjawab secara ringkas maka dapat
kita katakan bahwa: Jelas sekali bahwa penentuan sarana pendekatan diri kepada
Allah swt. tidak terdapat campur tangan manusia sehingga dengan ijtihad
pribadinya dapat menentukan sarana-sarana apapun untuk mendekatkan diri kepada
Allah swt. Hanya sarana-sarana yang telah ditentukan oleh syariat Islam –yang
bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah as-Sohihah Rasulullah saw.– saja yang
dapat menjadi penghantar manusia menuju Allah swt.
Sehingga darisini dapat kita simpulkan
bahwa, semua sarana yang tidak mendapat legalitas syariat –baik dengan dalil
umum maupun khusus– maka tergolong bid’ah dan kesesatan yang nyata. Dalam
kesempatan kali ini, kita akan memasuki kajian legalitas ‘Tawassul/Istighatsah’
sesuai dengan ajaran syariat Islam, baik dari apa yang telah di jelaskan oleh
al-Qur’an, Sunnah Rasulullah saw. maupun prilaku para Salaf Sholeh dan Ulama
Salaf Ahlusunnah wal Jama’ah. Sehingga kita tidak terjerumus dalam penentuan
obyek tawassul/Istighatsah secara ‘liar’ , yang menyebabkan kita
terjerumus kedalam jurang bid’ah sesat, seperti yang ada pada sebagian amalan
yang kita temukan dalam masyarakat kejawen di Indonesia. Ataupun terjerumus ke
dalam jurang kejumudan dalam menentukan obyek Tawassul/ Istighatsah,
sebagaimana yang di lakukan oleh kelompok sekte Wahabisme, imbas dari kerancuan
metodologi memahami tekts.
Baik kelompok ‘Kejawen’ maupun ‘Wahabi/Salafi’
, keduanya telah terjerumus kedalam jurang ekstrimitas (ekstrim kiri dan
ekstrim kanan) yang mengakibatkan kerancuan dalam bersikap berkaitan dengan
konsep Tawassul/Istighatsah dan Tabarruk. Tentu kedua bentuk ekstrimitas itu
tidak sesuai dengan apa yang di-inginkan oleh Islam.
Jika kita melihat beberapa kamus bahasa
Arab yang sering dijadikan rujukan dalam menentukan asal dan makna kata, maka
akan kita dapati bahwa, kata “Tawassul” mempunyai arti dari ‘darajah’
(kedudukan), atau ‘Qurbah’ (kedekatan), atau ‘washilah’
(penyampai/penghubung). Sehingga sewaktu di katakan bahwa ‘wasala fulan
ilallah wasilatan idza ‘amala ‘amalan taqarraba bihi ilaihi’ berarti
‘seseorang telah menjadikan sarana penghubung kepada Allah melalui suatu
pebuatan sewaktu melakukan pebuatan, yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya’.
(Lihat: Kitab Lisan al-‘Arab karya Ibn Mandzur jilid 11 asal
kata wa-sa-la).
Begitu juga berkaitan dengan asal kata
‘ghatsa’ yang berarti ‘menolong’, yang dengan memakai bentuk (wazan)
‘istaf’ala’ yang kemudian menjadi ‘istighatsah’, yang berarti
‘mencari/meminta pertolongan’. Pengertian-pengertian semacam ini pun akan kita
dapati dalam berbagai kamus-kamus bahasa Arab terkemuka lainnya.
Berkaitan dengan konsep Tawassul dan
Istighatsah ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan beberapa kelompok.
Letak perbedaannya dalam masalah penentuan obyek-obyek tawassul dan istighatsah
yang disahkan oleh syariat Islam. Dikarenakan terjadi perbedaan pendapat dalam
penentuan obyek maka terjadi perbedaan juga dalam menghukuminya. Dari perbedaan
hukum tadilah akhirnya muncul ‘penyesatan’ dari kelompok yang belum
dewasa dalam menerima perbedaan, merasa benar sendiri, tidak mau menerima
pendapat kelompok lain, bahkan menganggap kelompok lain tadi telah berbuat yang
dilarang oleh Islam, bid’ah sesat atau syirik. Disini, kita akan
mengklasifikasikan pendapat-pendapat tersebut menjadi tiga bagian:
Pertama: Pendapat Sekte Wahabisme
Dalam hal ini, kita akan menukilkan
pendapat Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi (pelopor dan imam sekte
Wahabisme), yang dalam kitab “Kasyfus Syubuhaat” menyatakan:
“Jika ada sebagian orang musyrik
(muslim non-Wahabi/Salafi .red) mengatakan kepadamu; ‘Ingatlah, Sesungguhnya
wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati’ (QS Yunus: 62), atau mengatakan bahwa syafa’at adalah benar,
atau mengatakan bahwa para nabi memiliki kedudukan di sisi Allah, atau
mengungkapkan perkataan Nabi untuk berargumen menetapkan kebatilannya (seperti
Syafa’at, Tawassul/Istighatsah, Tabarruk…dst. red), sedang kalian tidak
memahaminya (tidak bisa menjawabnya), maka katakanlah: ‘Sesungguhnya Allah
dalam al-Qur’an menjelaskan bahwa orang-orang yang menyimpang adalah orang yang
meninggalkan ayat-ayat yang jelas (muhkam) dan mengikuti yang samar (mutasyabih)
‘ ”. (Kitab Kasyfus Syubuhaat halaman 60).
Disini jelas sekali bahwa Muhammad bin
Abdul Wahhab menyatakan ‘sesat’ (bahkan menuduh musyrik)
orang-orang yang meyakini adanya syafa’at, kedudukan tinggi para nabi disisi
Allah swt. sehingga dimintai istighatsah/ tawassul…dst.nya. Bahkan disini,
Muhammad bin Abdul Wahhab mengajarkan kepada para pengikutnya ‘cara
melarikan diri’ dari diskusi tentang doktrinan sektenya dengan kelompok
lain dengan cara melarikannya kepada pembagian tasyabbuh (yang samar)
dan muhkam (yang jelas) ayat-ayat al-Qur’an. Termasuk cara mengajak para
pengkritisi ajaran Wahabisme untuk bertobat tanpa terbukti
kesalahannya. Ternyata, akhirnya cara-cara licik ini pun yang sering
dipakai banyak para pengikut sekte Wahabi ketika terdesak dalam berargumentasi
ketika membela keyakinan wahabismenya, bahkan menjadi kebiasaan buruk mayoritas
para pengikut sekte tersebut.
Contoh lain: Nashiruddin al-Albani
seorang ahli hadits dari kalangan Wahabi pun pernah menyatakan dalam salah satu
karyanya yang berjudul “at-Tawassul; Ahkaamuhu wa Anwa’uhu” (Tawassul;
hukum-hukum dan jenis-jenisnya) begitu juga dalam mukaddimahnya atas kitab “Syarh
at-Thawiyah” (Lihat: di halaman 60 dari kitab Syarh Thahawiyah)
bahwa; “Sesungguhnya masalah tawassul bukanlah tergolong
masalah akidah”.
Dan contoh lainnya adalah apa yang
dinyatakan oleh Abdullah bin Baz seorang mufti Wahabi: “Barangsiapa yang
meminta (istighatsah/tawassul) kepada Nabi dan meminta syafa’at darinya maka ia
telah merusak keislamannya” (Lihat: Kitab Al-‘Aqidah as-Shohihah
wa Nawaqidh al-Islam).
Kedua: Pendapat Ahlusunnah wal Jama’ah (bahkan Islam secara keseluruhan).
Terlampau banyak contoh fatwa ulama
Ahlusunnah dalam menjelaskan legalitas Tawassul/Istighatsah dan Tabarruk ini.
Insya Allah dalam situs ini kita jelaskan mengenai ungkapan-ungkapan
mereka. Kita akan memberikan contoh beberapa tokoh dari mereka saja:
Imam Ibn Idris as-Syafi’i sendiri pernah
menyatakan: “Sesungguhnya aku telah bertabarruk dari Abu Hanifah (imam
para madzhab Hanafi .red) dan mendatangi kuburannya setiap hari. Jika
aku memiliki hajat, maka aku melakukan shalat dua rakaat dan lantas
mendatangi kuburannya dan meminta kepada Allah untuk mengabulkan do’aku di
sisi (kuburan)-nya. Maka tidak lama kemudian akan
dikabulkan” (Lihat: Kitab Tarikh Baghdad jilid 1 halaman
123 dalam bab mengenai kuburan-kuburan yang berada di Baghdad)
As-Samhudi yang bermadzhab Syafi’i menyatakan;
“Terkadang orang bertawassul kepadanya (Nabi saw.red) dengan meminta
pertolongan yang berkaitan suatu perkara. Hal itu memberikan arti bahwa
Rasulallah saw. memiliki kemampuan untuk memenuhi permintaan dan memberikan
syafa’atnya kepada Tuhannya. Maka hal itu kembali kepada permohonan do’anya,
walaupun terdapat perbedaan dari segi pengibaratannya. Kadangkala seseorang
meminta; ‘aku memohon kepadamu (wahai Rasulallah .red) untuk dapat
menemanimu di sorga…’ , tiada yang dikehendakinya melainkan bahwa Nabi saw.
menjadi sebab dan pemberi syafa’at” (Lihat: Kitab Wafa’ al-Wafa’ bi Akhbar
Daarul Mustafa karya as-Samhudi Jilid 2 halaman 1374)
As-Syaukani az-Zaidi pernah menyatakan akan
legalitas tawassul dalam kitab karyanya yang berjudul “Tuhfatudz Dzakiriin”,
dengan mengatakan: “Dan bertawassul kepada Allah swt. melalui para nabi
dan manusia sholeh”. (Lihat: Kitab Tuhfatudz Dzakiriin halaman
37)
Abu Ali al-Khalal salah seorang tokoh madzhab
Hanbali pernah menyatakan: “Tiada perkara yang membuatku gunda kecuali aku
pergi kekuburan Musa bin Ja’far (keturunan Rasulullah saw. yang
kelima pen.) dan aku bertawasul kepadanya melainkan Allah akan memudahkannya
bagiku sebagaimana yang kukehendaki” (Lihat: Kitab Tarikh Baghdad jilid
1 halaman 120 dalam bab kuburan-kuburan yang berada di Baghdad).
Ketiga: Pendapat Ibnu Taimiyah al-Harrani
Jika kita telaah beberapa karya Ibnu Taimiyah, maka akan
kita dapati bahwa ia telah mengalami kebingungan dalam menentukan masalah ini.
Kita akan dapati bahwa terkadang ia mengingkarinya, terkadang
membolehkannya, dan terkadang menjawabnya dengan
membagi-baginya. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat apa yang telah
di tulisnya dalam salah satu kitab yang berjudul “At-Tawassul wal Wasilah”,
dimana ia membagi Tawassul menjadi tiga kategori:
Petama: Tawassul dengan
ketaatan Nabi dan keimanan kepadanya. Ini tergolong asal muassal Iman dan
Islam.B arangsiapa yang mengingkarinya berarti telah (kufur)
terhadap hal yang umum dan yang khusus.
Kedua: Tawassul dengan do’a dan syafa’at Nabi dalam arti bahwa Nabi secara
langsung dapat memberi syafa’at dan mendengar do’a semasa hidupnya dan sehingga
di akhirat kelak mereka akan bertawassul kepadanya untuk mendapat syafa’atnya.
Barangsiapa yang mengingkari hal tersebut maka dia tergolong kafir murtad
dan harus dimintai tobatnya. Jika tidak tobat maka ia harus dibunuh karena
kemurtadannya.
Ketiga: Tawassul untuk mendapat syafa’atnya pasca kematiannya. Sungguh ini
merupakan bid’ah yang dibuat-buat. (Lihat; Kitab At-Tawassul wal
Wasilah karya Ibnu Taimiyah halaman 13/20/50).
Jadi jelaslah bahwa Ibnu Taimiyah pun tergolong orang
yang tidak mengingkari legalitas/kebolehan tawassul, walaupun dalam
beberapa hal ia nampak rancu dalam menentu kan sikapnya. Dari penjelasan diatas
tadi membuktikan bahwa, pengkategorian bid’ah dalam tawassul ,versi Ibnu
Taimiyah, terletak pada hidup dan matinya obyek yang di tawassuli.
Benarkah demikian? Kita akan buktikan -nanti- bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah
itu telah terbantah dengan dalil-dalil dalam ajaran Islam itu sendiri.
Yang perlu diuraikan masalah tawassul/istighotsah
ialah pendapat kedua yakni pendapat Ahlusunnah wal Jama’ah (Islam
secara keseluruhan), yang melegalkan konsep dan praktek
Tawassul/Istighatsah kepada Nabi saw. dan orang-orang sholeh. Jadi dalam
masalah ini –terkhusus masalah Tawassul/Istighatsah, Tabarruk dan
masalah-masalah lain yang dinyatakan syirik dan bid’ah oleh sekte Wahabi–
ternyata kelompok Salafi (baca:Wahabi) sendirian, karena mereka tidak
memiliki dalil yang kuat baik bersandarkan dari al-Qur’an, sunnah Rasulallah
maupun perilaku Salaf Sholeh. Dengan kata yang lebih singkat dan mengena; ‘Dalam
masalah ini Wahabisme akan berhadapan dengan Islam’.
Arti atau makna
garis besar Tawassul/Wasithah ialah perantara, misalnya kita
berdo’a pada Allah swt. dengan menyertakan nama Muhammad Rasulallah saw.
atau nama pribadi seseorang ahli taqwa dalam do’a kita tersebut atau
berdo’a pada Allah swt. dengan menyebut-nyebut amal kebaikan yang telah kita
jalankan. Dengan demikian lebih besar harapan do’a kita akan dikabulkan
oleh Allah swt. Ingat, bahwa kita dalam tawassul ini berdo’a pada Allah swt.
jadi bukan berdo’a pada makhluk untuk menyekutu- kan Allah swt.!
Juga termasuk
makna wasithah/tawassul ialah minta pertolongan pada makhluk, tidak
langsung kepada Allah swt., begitupun juga minta syafa’at kepada Nabi
saw., para sahabat atau kepada para waliyullah/ahli taqwa baik
yang masih hidup maupun yang telah wafat.
9.2.
Ayat-Ayat Al-Quran Yang Berkaitan Dengan Tawassul / Istighotsah
Dalam pandangan al-Qur’an akan kita dapati bahwa hakekat
Istighotsah/ Tawassul adalah merupakan salah satu pewujudan dari peribadatan
yang legal dalam syariat Allah swt.. Ini merupakan hal yang jelas dalam ajaran
al-Qur’an sehingga tidak mungkin dapat dipungkiri oleh kelompok muslim manapun
,termasuk kelompok Wahabi, jika mereka masih mempercayai kebenaran al-Qur’an.
Dalam al-Qur’an akan kita dapati beberapa contoh dari permohonan pertolongan (istighotsah)
dan pengambilan sarana (tawassul) pengikut setia para nabi dan kekasih
Ilahi yang berguna untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.. Hal itu agar
supaya Allah swt. mengabulkan do’a dan hajatnya dengan segera. Disini kita akan
memberi beberapa contoh yang ada:
– Dalam surat
Aali Imran ayat 49, Allah swt. berfirman: “Dan (sebagai) Rasul kepada
Bani Israil (yang berkata kepada mereka): ‘Sesungguhnya aku (Nabi
Isa as.) telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat)
dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung,
Kemudian aku meniupnya, Maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan
aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit
sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan
kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya
pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku)
bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman’ ”.
Dalam ayat diatas disebutkan bahwa para pengikut Isa
al-Masih ber-tawassul kepadanya untuk memenuhi hajat mereka, termasuk
menghidupkan orang mati, menyembuh- kan yang berpenyakit sopak dan buta. Tentu,
mereka bertawassul kepada nabi Allah tadi bukan karena mereka meyakini
bahwa Isa al-Masih memiliki kekuatan dan kemampuan secara independent dari
kekuatan dan kemampuan Maha Sempurna Allah swt.., sehingga tanpa bantuan
Allah-pun nabi Isa mampu melakukan semua hal tadi.
Tetapi mereka meyakini bahwa Isa al-Masih dapat melakukan
semua itu (memenuhi berbagai hajat mereka) karena Nabi Isa as. memiliki ‘kedudukan
khusus’ (jah /wajih) di sisi Allah, sebagai kekasih Allah, sehingga
apa yang di-inginkan olehnya niscaya akan dikabulkan atau diizinkan oleh Allah
swt.
Ini bukanlah tergolong syirik, karena syirik adalah; Meyakini
kekuatan dan kemampuan Isa al-Masih (makhluk Allah) secara independent (merdeka)
dari kekuatan dan kemampuan Allah”. Sudah tentu, muslimin sejati selalu yakin
dan percaya bahwa semua kekuatan dan kemampuan yang dimiliki oleh makhluk Allah
swt. tidak akan terjadi kecuali dengan izin Allah swt.. Namun
anehnya, kelompok Wahabi langsung menvonis musyrik bagi pelaku
tawassul/istighotsah kepada para kekasih Ilahi semacam itu.
Dalam surat Yusuf ayat 97, Allah swt.. berfirman: “Mereka
berkata: ‘Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap
dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)’ ”.
Jika kita teliti dari ayat ini maka akan dapat diambil
pelajaran bahwa, para anak-anak Ya’qub as. mereka tidak meminta pengampunan
dari Ya’qub sendiri secara independent tanpa melihat kemampuan dan otoritas
mutlak Ilahi dalam hal pengampunan dosa. Namun mereka jadikan ayah mereka ,yang
tergolong kekasih Ilahi (nabi), yang memiliki kedudukan khusus di mata Allah
sebagai wasilah (sarana penghubung) permohonan pengampunan dosa dari
Allah swt.. Dan ternyata, nabi Ya’qub pun tidak menyatakan hal itu sebagai perbuatan
syirik, atau memerintahkan anak-anaknya agar langsung memohon kepada Allah
swt., karena Allah Maha Mendengarkan segala per- mohonan dan do’a. Malahan nabi
Ya’qub as menjawab permohonan anak-anaknya tadi dengan ungkapan: “Ya’qub
berkata: ‘Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya
Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha penyayang’ ”(QS Yusuf: 98).
– Dalam surat an-Nisa’ ayat 64, Allah swt. berfirman: “Dan
kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.
Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu (Muhammad
saw.) lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasul (Muhammad saw.) pun
memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima
Taubat lagi Maha Penyayang”.
Dari ayat di atas juga dapat diambil pelajaran yang
esensial yaitu bahwa, Rasululah saw. sebagai makhluk Allah yang terkasih dan
memiliki kedudukan (jah/maqom/wajih) yang sangat tinggi di sisi Allah
sehingga diberi otoritas oleh Allah swt.untuk menjadi perantara
(wasilah) dan tempat meminta pertolongan (istighotsah)
kepada Allah swt... Dan terbukti (nanti kita akan dijelaskan dalam kajian
berikutnya) bahwa banyak dari para sahabat mulia Rasulallah saw. ,yang
tergolong Salaf Sholeh, menggunakan kesempatan emas tersebut untuk memohon
ampun kepada Allah swt.. melalui perantara Rasulullah saw.. Hal ini yang
menjadi kajian para penulis Ahlusunnah wal Jama’ah dalam mengkritisi ajaran
Wahabisme, termasuk orang seperti Umar Abdus Salam dalam karyanya “Mukhalafatul
Wahabiyyah” (Lihat: halaman 22).
Semua ahli
tafsir al-Qur’an termasuk Mufasir Salafi/Wahabi setuju bahwa ayat An-Nisa: 64
itu diturunkan ketika suatu saat sebagian sahabat melakukan kesalahan. Yang
kemudian mereka sadar atas kesalahannya dan ingin bertaubat. Dan mereka meminta
ampun secara langsung kepada Allah, tapi lihat bagaimana Allah swt. telah
merespon nya:
Allah menolak untuk menerima permohonan ampun
secara langsung, Dia memerintahkan mereka untuk terlebih dahulu mendatangi
Rasulallah saw, kemudian memintakan ampun kepada Allah swt, dan
Rasulallah saw. juga diminta untuk memintakan ampun buat mereka. Dengan demikian Rasulallah saw. bisa dijuluki sebagai
Pengampun dosa secara kiasan/majazi, sedangkan Allah swt. sebagai
Pengampun dosa yang hakiki/sebenarnya.
Allah memerintahkan sahabat untuk bersikap
seperti yang diperintahkan ,menyertakan Rasulallah saw. dalam permohonan ampun
mereka, hanya setelah melakukan ini mereka akan benar-benar mendapat
pengampunan dari Yang Maha Penyayang.
Lihat firman Allah swt. itu malah
Dia yang memerintahkan para sahabat untuk minta tolong pada Rasulallah saw.
untuk berdo’a pada Allah swt. agar mengampunkan kesalahan-kesalahan mereka,
mengapa para sahabat tidak langsung memohon pada Allah swt.? Bila hal ini
dilarang, maka tidak mungkin Allah swt. memerintahkan pada hamba-Nya sesuatu
yang tidak di-zinkan-Nya! Dan masih banyak
lagi firman Allah swt. meminta Rasul-Nya untuk memohonkan ampun buat orang lain
umpamanya: Q.S 3:159, QS 4:106, QS 24:62, QS 47:19, QS 60:12, dan QS
63:5.
Sekarang yang menjadi pertanyaan kita untuk kaum pengikut
sekte Wahabi dan pengikutnya adalah:
- Jikalau istighotsah atau tawassul adalah syirik, lantas
apakah mungkin para nabi Allah tadi membiarkan umat mereka melakukan syirik
padahal mereka diutus untuk menumpas segala macam bentuk syirik?
- Jikalau istighotsah dan tawassul syirik, apakah mungkin
mereka mengabulkan permintaan kaum musyrik yang justru akan menyebabkan mereka
berlebihan dalam melakukan kesyirikan, berarti para nabi itu telah melakukan
tolong menolong terhadap dosa dan permusuhan (ta’awun ‘alal istmi wal ‘udwan)?
- Jika istighotsah dan tawassul adalah perbuatan sia-sia
maka, apakah mungkin para nabi membiarkan –bahkan meridhoi dan mengajarkan–
umat mereka melakukan perbuatan sia-sia dimana kita tahu bahwa pebuatan sia-sia
adalah perbuatan yang tercela bagi makhluk yang berakal? Apakah para nabi tidak
tahu bahwa Allah Maha Mendengar dan lagi Maha Mengetahui sehingga membiarkan,
meridhoi dan bahkan mengajarkan umatnya ajaran tawassul dan istighotsah?
- Jikalau benar bahwa ajaran Istighotsah/tawassul adalah
perbuatan syirik, bid’ah, sia-sia, khurafat, akibat tidak mengenal Allah yang
Maha Mendengarkan do’a, dan seterusnya…. maka Oh, betapa bodohnya –naudzuillah
min dzalik– para nabi Allah itu tentang konsep ajaran Allah…dan Oh, betapa
cerdasnya Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi beserta para pengikut madzhabnya
terhadap ajaran murni Ilahi….
Firman Allah swt.: "Sulaiman
berkata, 'Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup
membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai
orang-orang yang berserah diri. 'Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin berkata,
'Aku akan datangkan kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum
kamu berdiri dari tempat dudukmu, sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk
membawanya lagi dapat dipercaya’. Seseorang yang mempunyai ilmu dari
al-Kitab berkata, 'Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu
berkedip.' Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak dihadapannya,
ia pun berkata, 'lni termasuk kurnia Tuhanku'
". (QS. an-Naml: 38 - 40).
Firman Allah
swt. ini menerangkan bahwa Nabi Sulaiman as. ingin mendatangkan singgasana
Ratu Balqis dari tempat yang jauh dalam waktu yang cepat sekali. Hal ini
merupakan kejadian yang luar biasa, sehingga Nabi Sulaiman as. dengan
pengetahuan yang cukup luas mengatakan bahwa hal ini tidak mungkin terjadi
kecuali dengan kekuasaan Allah. Dan pada saat itu Nabi Sulaiman as. tidak minta
tolong langsung pada Allah swt. melainkan minta tolong kepada makhluk
Allah swt. untuk memindahkan singgasana Ratu Balqis tersebut. Ayat ini
juga sebagai dalil yang menunjukkan bahwa minta tolong pada orang lain
tidak menafikan ketauhidan kita kepada Allah swt.. baik itu dilakukan
secara ghaib maupun secara alami. Syirik adalah
urusan hati.
Jika Nabi
Sulaiman as. meminta perkara ghaib ini dari para pengikutnya, dan jika seorang
laki-laki yang mempunyai sedikit ilmu dari al-Kitab mampu melaksanakan
permintaan itu, maka tentu kita terlebih lagi boleh meminta kepada orang yang
mempunyai seluruh ilmu al-Kitab yaitu Rasulallah saw. dan Ahlu-Baitnya.
Begitu juga
menurut para ahli tafsir yang mendatangkan singgasana ratu Balqis itu
jelas bukan Nabi Sulaiman sendiri tetapi orang lain, karena dalam ayat ini
jelas bahwa Nabi Sulaiman bertanya kepada umatnya dan salah satu dari umatnya
,yang mempunyai ilmu, sanggup mendatangkan singgasana itu dengan sekejap mata.
Dengan demikian seorang yang mempunyai ilmu ini bisa dijuluki juga sebagai Penolong/Pemindah
singgaana Ratu Balqis secara kiasan, sedangkan Penolong/Pemindah
yang hakiki/sebenarnya ialah Allah swt.
Sama halnya orang yang meminum obat
untuk menyembuhkan suatu penyakit. Obat ini bisa dijuluki secara kiasan/majazi
sebagai Penyembuh Penyakit tersebut, sedangkan Penyembuh Penyakit yang hakiki/sebenarnya
adalah Allah swt.
Sekarang kita bertanya lagi, apakah
Syirik bila seorang mengatakan si A Penolong saya atau obat itu Penyembuh
penyakit saya? Sudah tentu tidak syirik, selama orang tersebut mempunyai
keyakinan bahwa semuanya itu hanya sebagai perantara sedangkan Penolong dan
Penyembuh yang sebenarnya adalah Allah swt. Jadi disini yang penting adalah keyakinan
seseorang! Begitu juga halnya dengan para ulama yang menulis kitab-kitab
Maulud, Burdah dan sebagainya, yang mana dikitab-kitabnya itu ada disebutkan
bahwa Rasulallah saw. sebagai Penolong, Pengampun dosa dan sebagainya. Tidak
lain mereka ini juga mengerti dan paham benar bahwa Pengampun, Penolong,
yang sebenarnya adalah Allah swt. Perbuatan seperti ini bukanlah syirik !!
Tawassul Nabi Adam as. pada Rasulallah
saw. Sebagaimana disebutkan pada firman Allah swt. (Al-Baqarah :37)
yang berbunyi:
فتلقّى آدمُ من ربّه كلماتٍ فتاب عليه انّهُ هُوا الـّوّابُ
الرّحيمُ
Artinya: “Kemudian Adam menerima beberapa
kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya, sesungguhnya Allah
Maha penerima taubat lagi Maha Penyayang ”.
Menurut ahli tafsir kalimat-kalimat
dari Allah yang diajarkan kepada Nabi Adam as. pada ayat diatas agar taubat
Nabi Adam as. diterima ialah dengan menyebut dalam kalimat taubatnya bi-haqqi
(demi kebenaran) Nabi Muhammad saw. dan keluarganya. Makna seperti ini bisa
kita rujuk pada
kitab:
Manaqib Ali bin Abi Thalib, oleh Al-Maghazili As-Syafi’i halaman 63,
hadits ke 89 ; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusui Al-Hanafi,
halaman 97 dan 239 pada cet.Istanbul,. halaman 111, 112, 283 pada cet.
Al-Haidariyah ; Muntakhab Kanzul ‘Ummal, oleh Al-Muntaqi, Al-Hindi
(catatan pinggir) Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1, halaman 419 ; Ad-Durrul
Mantsur, oleh As-Suyuthi Asy-Syafi’i, jilid 1 halaman 60 ; Al-Ghadir, oleh Al-Amini, jilid 7, halaman 300 dan
Ihqagul Haqq, At-Tastari jilid 3 halaman 76. Begitu juga
pendapat Imam Jalaluddin Al-Suyuthi waktu menjelaskan makna surat Al-Baqarah
:37 dan meriwayatkan hadits tentang taubatnya nabi Adam as. dengan tawassul
pada Rasulallah saw.
Nabi Adam as.
,manusia pertama, sudah diajarkan oleh Allah swt. agar taubatnya bisa diterima
dengan bertawassul pada Habibullah Nabi Muhammad saw., yang mana beliau belum
dilahirkan di alam wujud ini. Untuk mengkompliti makna ayat diatas
,tentang tawassulnya Nabi Adam as. ini, kami akan kutip berikut ini beberapa
hadits Nabi saw. yang berkaitan dengan tawassul:
Al-Hakim dalam
kitabnya Al-Mustadrak/Mustadrak Shahihain jilid 11/651 mengetengahkan
hadits yang berasal dari Umar Ibnul Khattab ra. (diriwayatkan secara
berangkai oleh Abu Sa’id ‘Amr bin Muhammad bin Manshur Al-‘Adl, Abul Hasan
Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim Al-Handzaly, Abul Harits Abdullah bin Muslim
Al-Fihri, Ismail bin Maslamah, Abdurrahman bin Zain bin Aslam dan datuknya)
sebagai berikut:
Rasulallah
saw.bersabda:
قال رسُولُ الله.ص. : لمّا اقترف آدمُ
الخطيئة قال: يا ربّ أسألُك بحقّ مُحمّدٍ لما غفرت لي, فقال اللهُ يا آدمُ,
وكيف عرفت مُحمّدًا ولم أخلقُهُ ؟ قال: يا ربّ لأنّـك لمّا خلقتني
بيدك ونفخت فيّ من رُوحك رفعتُ رأسي فرأيـتُ على القوائم العرش مكتُـوبًا:لإاله إلااللهمُحمّدُ رسُـولُ الله, فعلمتُ أنّك لم
تُضف إلى إسمك إلا أحبّ الخلق إليك, فقال اللهُ صدقت يا آدمُ إنّهُ لاحبّ الخلق إليّ
اُدعُني بحقّه فقـد غفرتُ لك, ولو لامُحمّدٌ ما خلقتُك.
Artinya: “Setelah Adam berbuat dosa
ia berkata kepada Tuhannya: ‘Ya Tuhanku, demi kebenaran Muhammad aku mohon
ampunan-Mu’. Allah bertanya (sebenarnya Allah itu maha mengetahui semua
lubuk hati manusia, Dia bertanya ini agar Malaikat dan makhluk lainnya yang
belum tahu bisa mendengar jawaban Nabi Adam as.): ‘Bagaimana engkau mengenal
Muhammad, padahal ia belum kuciptakan?!’ Adam menjawab: ‘Ya Tuhanku, setelah
Engkau menciptakan aku dan meniupkan ruh kedalam jasadku, aku angkat kepalaku.
Kulihat pada tiang-tiang ‘Arsy termaktub tulisan Laa ilaaha illallah
Muhammad Rasulallah. Sejak saat itu aku mengetahui bahwa disamping nama-Mu,
selalu terdapat nama makhluk yang paling Engkau cintai’. Allah
menegaskan: ‘Hai Adam, engkau benar, ia memang makhluk yang paling Kucintai.
Berdo’alah kepada-Ku bihaqqihi (demi kebenarannya), engkau pasti
Aku ampuni. Kalau bukan karena Muhammad engkau tidak Aku ciptakan’ “.
Hadits diatas
diriwayatkan oleh Al-Hafidz As-Suyuthi dan dibenarkan olehnya dalam Khasha’ishun
Nabawiyyah dikemukakan oleh Al-Baihaqi didalam Dala ’ilun Nubuwwah,
diperkuat kebenarannya oleh Al-Qisthilani dan Az-Zarqani di dalam Al-Mawahibul
Laduniyyah jilid 11/62, disebutkan oleh As-Sabki di dalam Syifa’us
Saqam, Al-Hafidz Al-Haitsami mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan
oleh At-Thabarani dalam Al-Ausath dan oleh orang lain yang tidak dikenal
dalam Majma’uz Zawa’id jilid V111/253.
Sedangkan hadits yang serupa/senada
diatas yang sumbernya berasal dari Ibnu Abbas hanya pada nash hadits tersebut
ada sedikit perbedaan yaitu dengan tambahan:
ولولآ مُحمّدٌ ما خلقتُ آدم ولآ الجنّة ولآ النّـار
Artinya:
‘Kalau bukan karena Muhammad Aku (Allah) tidak menciptakan Adam, tidak
menciptakan surga dan neraka’.
Mengenai kedudukan hadits diatas
para ulama berbeda pendapat. Ada yang menshohihkannya, ada yang menolak
kebenaran para perawi yang meriwayatkannya, ada yang memandangnya sebagai hadits
maudhu’, seperti Adz-Dzahabi dan lain-lain, ada yang menilainya sebagai hadits
dha’if dan ada pula yang menganggapnya tidak dapat dipercaya. Jadi, tidak semua
ulama sepakat mengenai kedudukan hadits itu. Akan tetapi Ibnu Taimiyah
sendiri untuk persoalan hadits tersebut beliau menyebutkan dua hadits
lagi yang olehnya dijadikan dalil.
Yang pertama yaitu diriwayatkan oleh
Abul Faraj Ibnul Jauzi dengan sanad Maisarah yang mengatakan
sebagai berikut :
قُلتُ يا رسُول الله, متى كُنت نبيّا ؟ قال: لمّا خلق اللهُ
الأرض واستوى إلى السّماء فسوّاهُنّ سبع
سما وا تٍ, و خلق العرش كتـب على
سـاق العـرش مُحمّتدٌ رسُولُ الله خاتمُ الأنبـياء , و خلق اللهُ
الجنّـة الّتي أسكـنها آدم و حوّاء فكـُتب إسمي على الأبـواب
والأوراق والقـباب و الخيام و آدمُ بيـن الروح و الجسد,فلـمّا أحياهُ اللهُ تعالى نظر إلى العـرش , فرأى إسمي
فأخبرهُ الله أنّهُ سيّدُ ولدك, فلمّا غرّهُما
الشّيطانُ تابا واستشفعا بإسمي عليه
Artinya: “Aku
pernah bertanya pada Rasulallah saw.: ‘Ya Rasulallah kapankah anda mulai
menjadi Nabi?’ Beliau menjawab: ‘Setelah Allah menciptakan tujuh petala langit,
kemudian menciptakan ‘Arsy yang tiangnya termaktub Muhammad Rasulallah
khatamul anbiya (Muhammad pesuruh Allah terakhir para Nabi), Allah lalu
menciptakan surga tempat kediaman Adam dan Hawa, kemudian menuliskan namaku pada
pintu-pintunya, dedaunannya, kubah-kubahnya dan khemah-khemahnya. Ketika itu Adam
masih dalam keadaan antara ruh dan jasad. Setelah Allah swt .menghidupkannya,
ia memandang ke ‘Arsy dan melihat namaku. Allah kemudian memberitahu
padanya bahwa dia (yang bernama Muhammad itu) anak keturunanmu yang termulia.
Setelah keduanya (Adam dan Hawa) terkena bujukan setan mereka bertaubat kepada
Allah dengan minta syafa’at pada namaku’ ”.
Sedangkan
hadits yang kedua berasal dari Umar Ibnul Khattab (diriwayatkan secara
berangkai oleh Abu Nu’aim Al-Hafidz dalam Dala’ilun Nubuwwah oleh Syaikh Abul
Faraj, oleh Sulaiman bin Ahmad, oleh Ahmad bin Rasyid, oleh Ahmad bin Said
Al-Fihri, oleh Abdullah bin Ismail Al-Madani, oleh Abdurrahman bin Zaid bin
Aslam dan ayahnya) yang mengatakan bahwa Nabi saw. berrsabda:
لمّا أصاب آدم الخطيئةُ, رفع رأسهُ فقال:
يا ربّ بحقّ مُحمّدٍ إلاّ غفرت لي, فأوحى إليه, وما مُحمّدٌ ؟ ومن
مُحمّدٌ ؟ فقال: : يا ربّ إنّك لمّا أتممت خلقي رفعتُ رأسي إلى عرشك فإذا عليه
مكتُوبٌ لإله إلااللهُ مُحمّدٌ رسُـولُ الله فعلمتُ أنّهُ أكرمُ خلقـك
عليك إذ قررنت إسمُهُ مع اسمك
فقال, نعم, قد غفرتُ لك , وهُو آخرُ الأنبياءمن ذُرّيّتك, ولولاهُ ما خلقتُك
Artinya:
“Setelah Adam berbuat kesalahan ia mengangkat kepalanya seraya berdo’a: ‘Ya
Tuhanku, demi hak/kebenaran Muhammad niscaya Engkau berkenan mengampuni
kesalahanku’. Allah mewahyukan padanya: ‘Apakah Muhamad itu dan siapakah
dia?’ Adam menjawab: ‘Ya Tuhanku, setelah Engkau menyempurnakan
penciptaanku, kuangkat kepalaku melihat ke ‘Arsy, tiba-tiba kulihat pada
“Arsy-Mu termaktub Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulallah. Sejak itu
aku mengetahui bahwa ia adalah makhluk termulia dalam pandangan-Mu, karena
Engkau menempatkan namanya disamping nama-Mu’. Allah menjawab: ‘Ya benar,
engkau Aku ampuni,. ia adalah penutup para Nabi dari keturunanmu. Kalau
bukan karena dia, engkau tidak Aku ciptakan’ ”.
Dua hadits terakhir ini walaupun diriwayatkan dan
dibenarkan oleh Ibnu Taimiyyah, beliau ini belum yakin bahwa hadits-hadits
tersebut benar-benar pernah diucapkan oleh Rasulallah saw.. Kendati
demikian, Ibnu Taimiyyah toh membenarkan makna hadits ini dan
menggunakannya untuk menafsirkan sanggahan terhadap sementara golongan
yang menganggap makna hadits tersebut bathil/salah atau bertentangan
dengan prinsip tauhid dan anggapan-anggapan lain yang tidak pada
tempatnya!!
Ibnu Taimiyyah dalam Al-Fatawi jilid XI /96 berkata
sebagai berikut:
“Muhammad Rasulallah saw. adalah anak Adam yang
terkemuka, manusia yang paling afdhal (utama) dan paling mulia. Karena
itulah ada orang yang mengatakan, bahwa karena beliaulah Allah menciptakan alam
semesta, dan ada pula yang mengatakan, kalau bukan karena Muhammad saw. Allah
swt. tidak menciptakan ‘Arsy, tidak Kursiy (kekuasaan Allah),
tidak menciptakan langit, bumi, matahari dan bulan. Akan tetapi semuanya itu
bukan ucapan Rasulallah saw, bukan hadits shohih dan bukan hadits dho’if,
tidak ada ahli ilmu yang mengutipnya sebagai ucapan (hadits) Nabi saw. dan
tidak dikenal berasal dari sahabat Nabi. Hadits tersebut merupakan pembicaraan
yang tidak diketahui siapa yang mengucapkannya. Sekalipun demikian makna
hadits tersebut tepat benar dipergunakan sebagai tafsir firman Allah
swt.: "Dialah Allah yang telah menciptakan bagi kalian apa yang
ada dilangit dan dibumi " (S.Luqman : 20), surat Ibrahim
32-34 (baca suratnya dibawah ini--pen.) dan ayat-ayat Al-Qur’an
lainnya yang menerangkan, bahwa Allah menciptakan seisi alam ini untuk kepentingan
anak-anak Adam. Sebagaimana diketahui didalam ayat-ayat tersebut terkandung
berbagai hikmah yang amat besar, bahkan lebih besar daripada itu. Jika anak
Adam yang paling utama dan mulia itu, Muhammad saw. yang diciptakan
Allah swt. untuk suatu tujuan dan hikmah yang besar dan luas, maka kelengkapan
dan kesempurnaan semua ciptaan Allah swt. berakhir dengan terciptanya Muhammad
saw.“.
Demikianlah Ibnu Taimiyyah.
Firman Allah
swt. dalam surat Ibrahim 32-34 ,yang dimaksud Ibnu Taimiyyah,
ialah:
اللهُ الّذى خلق السّماوات و الارض وانزل
من السّماء ماءً فاخرج به من الثّمرات
رزقًالكُم وسخّر لكُمُ الفُلك لتجري فى البحر بامره وسخّر
لكُمُ الانهار وسخّر لكُمُ الشّمس والقمر دائبين وسخّر لكُمُ
الّيل والنّهار وآتاكُم من كُلّ ما سالتُمُوه وان تعُدُّوا نعمة الله لا
تُحصُوها انّ الانسان لظلُومٌ كفّارٌ
Artinya: “Allah-lah yang telah menciptakan langit dan
bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air
hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rizki untuk kalian, dan Dia telah
menundukkan bahtera bagi kalian supaya bahtera itu dapat berlayar di lautan
atas kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan sungai-sungai bagi kalian. Dan Dia
jualah yang telah menundukkan bagi kalian matahari dan bulan yang terus menerus
beredar ,dalam orbitnya masing-masing, dan telah
menundukkan bagi kalian siang dan malam. Dan Dia jugalah yang memberikan kepada
kalian apa yang kalian perlukan/mohonkan. Dan jika kalian menghitung-hitung
nikmat Allah, kalian tidak akan dapat mengetahui berapa banyaknya.
Sesungguhnya manusia itu, sangat dzalim dan sangat mengingkari (nikmat
Allah)”.(QS Ibrahim :32-34).
9.2. Ayat-Ayat Al-Quran Yang Berkaitan Dengan Tawassul / Istighotsah Dalam al-Quran, Allah swt.. telah menekankan kepada ummat
Muhammad saw. untuk melaksanakan tawassul, dan Dia telah mengizinkan mereka
untuk melakukan tawassul dengan berbagai jenis dan bentuknya. Ini semua menjadi
bukti bahwa tawassul sama sekali tidak bertentangan dengan konsep
kesempurnaan Ilahi, termasuk dengan ke-Maha Mendengar-an dan ke-Maha
Mengetahui-an Allah terhadap do’a hamba-hamba-Nya, apalagi dengan kesia-siaan
perbuatan tawassul. Disini, kita akan sebutkan ,berikut ini, secara ringkas
beberapa bentuk tawassul yang dilegalkan menurut al-Quran:
9.3. Tawassul Dengan Nama-Nama Allah Yang Agung
Allah swt. berfirman: “Hanya milik Allah asmaa-ul
husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan
tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut)
nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan.” (QS al-A’raf: 180)
Ayat ini dalam rangka menjelaskan tentang kebaikan
nama-nama Allah tanpa ada perbedaan dari nama-nama itu. Dan melalui nama-nama
penuh berkah itulah kita diperkenankan untuk berdo’a kepada Allah swt.. Tentu
nama Allah bukan Dzat Allah sendiri. Akan tetapi melalui nama-nama Allah
yang memiliki kandungan sifat keindahan, rahmat, ampunan dan keagungan
itulah kita disuruh memohon kepada Dzat Allah swt.., obyek utama do’a, untuk
pengkabulan segala hajat dan pengampunan dosa.
9.4. Tawassul Melalui Amal Saleh
Amal sholeh merupakan salah satu jenis sarana (wasilah)
yang dilegalkan oleh Allah swt. Amal sholeh juga bukan Dzat Allah itu sendiri,
namun Allah membolehkan kita mengambil sarana darinya untuk memohon sesuatu
kepada Dzat Allah swt. Melalui sarana tersebut seorang hamba akan didengar
semua keinginannya oleh Allah swt.. Ketika tawassul berarti; “Mempersembahkan
(menyodorkan) sesuatu kepada Allah demi untuk mendapat Ridho-Nya” maka tanpa
diragukan lagi bahwa amal sholeh adalah salah satu dari sekian sarana yang
baik untuk mendapat ridho Ilahi.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s.
ketika pertama kali membangun Ka’bah. Allah swt. dalam al-Qur’an berfirman: “Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail
(seraya berdo’a): ‘Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami),
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami,
jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah)
diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah
kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah Taubat
kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang’ ” .
(QS al-Baqarah 127-128)
Ayat ini menjelaskan bagaimana hubungan antara Amal
Sholeh (pembangunan Ka’bah) dengan keinginan/permohonan Ibrahim
al-Khalil agar Allah swt. menjadikan dirinya, anak-cucunya sebagai muslim
sejati dan agar Allah menerima taubatnya.
9.5. Tawassul melalui Do’a Rasul:
Allah swt. dalam al-Qur’an (dalam banyak ayat)
menyebutkan betapa agung kedudukan para Nabi dan Rasul disisi-Nya. Allah swt.,
juga menekankan bahwa mereka adalah manusia-manusia khusus yang berbeda secara
kualitas maupun kuantatitas bobot penciptaan yang mereka miliki dibanding
manusia biasa. Apalagi berkaitan dengan pribadi agung Muhammad bin Abdillah
saw. sebagai penghulu para Nabi dan Rasul. Atas dasar itu, jika kita lihat,
dalam masalah seruan (panggilan) saja –yang nampaknya remeh– para manusia
diperintah untuk tidak menyamakannya dengan seruan terhadap manusia biasa
lainnya. Allah swt. berfirman: “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul
diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain).
Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di
antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa
adzab yang pedih” . (QS an-Nur: 63).
Bahkan dalam kesempatan lain Allah swt. juga menjelaskan,
betapa manusia agung pemilik kedudukan (jah) tinggi di sisi Allah swt. itu
telah mampu menjadi pengaman bagi penghuni bumi ini dari berbagai bencana.
Allah swt. berfirman: “Dan Allah sekali-kali tidak akan menyiksa/mengadzab
mereka, sedang kamu berada diantara mereka. dan tidaklah (pula) Allah
akan mengadzab mereka, sedang mereka meminta ampun” . (QS al-Anfal: 33).
Bahkan dalam banyak kesempatan (ayat), Allah swt.
menyandingkan nama-Nya dengan nama Rasulullah saw. dan menyatakan bahwa
perbuatan keduanya dinyatakan sebagai berasal dari sumber yang satu. Ini
sebagai bukti, betapa tinngi, agung dan mulianya sosok Nabi Muhammad saw. di
mata Allah swt.. Sebagai contoh, apa yang di nyatakan Allah swt... dalam
al-Qur’an yang berbunyi: “Mereka (orang-orang munafik) mengemukakan
‘udzurnya kepadamu, apabila kamu telah kembali kepada mereka (dari medan
perang). Katakanlah: ‘Janganlah kamu mengemukakan ‘uzur; kami tidak percaya
lagi kepadamu, (karena) sesungguhnya Allah Telah memberitahukan kepada kami
beritamu yang sebenarnya dan Allah serta rasul-Nya akan melihat pekerjaanmu,
kemudian kamu dikembalikan kepada yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata,
lalu dia memberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan’ ” .(QS
at-Taubah: 94).
Atau ayat yang berbunyi: “Mereka (orang-orang
munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak
mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguh nya mereka telah
mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam dan mengingini
apa yang mereka tidak dapat mencapainya, dan mereka tidak mencela (Allah
dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya. telah melimpahkan karunia-Nya
kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka,
dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengadzab mereka dengan adzab
yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidaklah mempunyai
pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi” (QS at-Taubah:
74).
Masih banyak ayat lainnya yang menjadi bukti bahwa
Rasulullah saw. adalah makhluk termulia dan memiliki kedudukan khusus
disisi Khaliknya. Jika kita telah mengetahui kedudukan tinggi Rasulallah saw.
semacam ini maka kita akan mendapat kepastian (tentu dengan berdasar dalil)
bahwa permohonan do’a –tentu do’a yang baik– dengan menjadikan Rasulallah saw.
sebagai sarana (wasilah) niscaya Allah swt. akan enggan menolak permintaan kita
dengan membawa nama kekasih-Nya tersebut. Dengan menyebut nama Rasulullah
Muhammad bin Abdullah saw. maka kita telah menyeru Allah swt. dengan
berpegangan terhadap tonggak yang sangat kokoh yang tidak akan tergoyahkan.
Atas dasar itu, Allah swt. memerintahkan kepada para
pelaku dosa dari kaum muslimin untuk berpegangan dengan tonggak yang tidak
tergoyahkan tersebut (hakekat Muhammad Rasulullah saw.) dan meminta pengampunan
di setiap majlis mereka, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Karena
melalui permohonan ampun melalui hakekat pribadi Muhammad saw.adalah kunci dari
penyebab turunnya rahmat, pengampunan dan ridho Allah swt.
Dalam hal itu Allah swt... berfirman: “Dan kami tidak
mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.
Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu
memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka,
tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS
an-Nisa’: 64).
Ayat ini dikuatkan dengan ayat lainnya, seperti firman
Allah swt...: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: marilah (beriman), agar
Rasulullah memintakan ampunan bagimu, mereka membuang muka mereka dan kamu
lihat mereka berpaling sedang mereka menyombongkan diri” . (QS
al-Munafiqqun: 5).
Semua itu sebagai sedikit bukti bahwa Rasulullah saw.
memiliki kedudukan, kemuliaan dan keagungan di mata Allah swt.., Pencipta dan
Penguasa alam semesta. Hakekat tersembunyi dari pribadi agung Muhammad saw.
semacam ini, hanya akan bisa dipahami dan diyakini dengan baik oleh
pribadi-pribadi yang mengenal betul siapakah gerangan Muhammad bin Abdillah saw.
tadi.
Bagi orang yang belum mengenal diri baginda Rasul saw.
niscaya ia akan meragukannya, karena masih mengaggap Rasulallah sebagai manusia
biasa, selayaknya manusia biasa lainnya. Anggapan kerdil semacam inilah yang
menyebabkan beberapa pengikut sekte Wahabi terjerumus ke lembah penyesatan
kelompok lain yang mengetahui rahasia keagungan Rasul sewaktu mereka memuji
Rasulullah saw.dengan pujian-pujian yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits
sohih, baik pujian yang terjelma dalam kitab-kitab maulid maupun kitab-kitab
ratib. Rahasia hakekat Muhammad saw. –dan nabi-nabi lain– ini pulalah yang akan
kita jadikan dalil ‘Legalitas Tawassul kepada Pribadi Agung yang secara
Lahir telah wafat’, pada kajian selanjutnya.
9.6. Tawassul Melalui Do’a Saudara Mukmin:
Salah satu sarana lain yang disinggung oleh Allah swt.
dalam al-Qur’an adalah, do’a saudara mukmin. Dalam al-Qur’an, Allah swt...
berfirman: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan
Anshor), mereka berdo’a: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang
yang beriman’; ‘Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang.’ ” (QS al-Hasyr: 10). Ayat ini menjelaskan bahwa kaum mukmin
yang datang belakangan telah mendo’akan untuk mendapat pengampunan bagi kaum
mukmin yang terdahulu. Ayat ini selain membuktikan bahwa do’a untuk orang
terdahulu sangat ditekankan oleh Islam, juga bisa menjadi bukti global bahwa
memberi hadiah do’a kepada yang telah wafat –walau bukan anak serta
famili (kerabat)– akan dapat sampai dan bermanfaat buat sang
mayit di alam sana.
9.7. Tawassul Melalui Diri Para
Nabi Dan Hamba Sholeh:
Bagian dari tawassul ini berbeda dengan bagian
sebelumnya. Jika pada kesempatan yang lalu disebutkan mengenai tawassul melalui
do’a Rasul, maka pada kesempatan kali ini kita diberitahukan
tentang tawassul kepada diri dan pribadi Nabi, agar menjadi
sarana pengkabulan do’a, karena mereka memiliki kedudukan (jah) di sisi Allah
swt..
Sebagai contoh apa yang dilakukan nabi Ya’kub as. dengan baju
bekas dipakai (melekat di badan) oleh nabi Yusuf sebagai sarana (wasilah)
kesembuhannya dari kebutaan, berkat izin Allah swt.. Jelas sekali perbedaan
antara tawassul melalui do’a Nabi, dengan tawassul melalui diri Nabi.
Jadi, disini kita diberitahukan tentang legalitas tawassul kepada Allah swt.
melalui keutamaan (fadhilah), kedudukan (jah), kemuliaan
(karamah) dan keagungan (adzamah) pribadi Nabi/Rasul disisi Allah swt..
Ini merupakan bentuk inayah khasshah (anugerah khusus) yang Allah
berikan kepada para nabi dan rasul, juga para kekasih-Nya yang lain. Jadi
sarana (wasilah) yang di janjikan Allah swt. itu diletakkan kepada pribadi
para hamba Allah yang telah dimuliakan, diagungkan dan diangkat derajatnya
oleh Allah swt.. Hal itu sebagaimana Allah swt. telah mengangkatnya ke
pangkuan-Nya.
Allah swt.. berfirman: “Dan kami tinggikan bagimu
sebutan (nama)mu” (QS al-Insyirah: 4). Orang-orang semacam itu (manusia
Sholeh pengikut sejati Rasulallah), mereka adalah para pemiliki kedudukan
tinggi disisi Allah, maka Allah swt.. memerintahkan kepada segenap kaum
muslimin lainnya untuk memuliakan dan menghormati mereka. Allah swt..
berfirman: “(yaitu) Orang-orang yang mengikuti Rasul, nabi yang ummi yang
(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada disisi
mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban
dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman
kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang
diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang
beruntung” . (QS al-A’raf: 157).
Jika kunci terkabulnya do’a terdapat pada kepribadian dan
kedudukan luhur di sisi Allah swt.. yang dimiliki oleh setiap manusia Sholeh
tadi, maka sudah menjadi hal yang utama jika mereka dijadikan sebagai sarana
(wasilah) oleh segenap manusia muslim biasa untuk mendapat keridhoaan Allah.
Sebagaimana do’a mereka pun selalu didengar dan dikabulkan oleh Allah swt..
Jika ada kelompok muslim yang membolehkan menjadikan do’a manusia sholeh
sebagai sarana (wasilah) menuju ridho Allah, maka menjadikan sarana (wasilah) kepribadian
(dzat/syakhsyiyah) dan kedudukan (jah/ maqom / manzilah / karamah /
fadhilah) manusia sholeh tadi pun lebih utama untuk diperbolehkan. Karena
antara ‘sarana pengkabulan do’a’ dan ‘sarana kedudukan/kepribadian
agung manusia sholeh’ terdapat relasi/hubungan erat dan menjadi konsekuensi
logis, nyata dan sah (syar’i). Memisahkan antara keduanya sama halnya
memisahkan dua hal yang memiliki relasi erat, bahkan sampai pada derajat
hubungan sebab-akibat. Karena, pengkabulan do’a manusia sholeh oleh Allah swt.
disebabkan karena kepribadiannya yang luhur, dan kepribadian luhur
itulah yang menyebabkan kedudukan mereka diangkat oleh Allah swt.. Tawassul
jenis ini juga memiliki sandaran hadits, yang diriwayatkan oleh para imam
perawi hadits dari Ahlusunnah melalui jalur yang sohih yaitu riwayat tig orang
yang tertutup didalam goa. Untuk menyingkat halaman, bagi yang ingin menelaah
lebih lanjut hadits-hadits tersebut, silahkan merujuknya dalam kitab-kitab
hadits seperti; Musnad Imam Ahmad bin Hanbal; jilid: 4 halaman: 138 hadits
ke-16789; Sunan Ibnu Majah; jilid: 1 halaman: 441 hadits ke-1385; Sunan
at-Turmudzi; jilid: 5 halaman: 531 dalam kitab ad-Da’awaat, bab 119 hadits
ke-3578 dan kitab lainnya.
9.8. Tawassul Melalui Kedudukan Dan Keagungan Hamba Sholeh
Disamping yang telah kita singgung pada bagian
sebelumnya, jika kita telaah dari sejarah hidup para pendahulu dari kaum
muslimin niscaya akan kita dapati bahwa mereka melegalkan tawassul dengan jalan
ini, sesuai pemahaman mereka tentang syari’at yang dibawa oleh Rasulullah saw..
Mereka bertawassul melalui kedudukan dan kehormatan para manusia Sholeh,
dimana diyakini bahwa para manusia sholeh tadi pun memiliki kedudukan tinggi di
sisi Allah swt...
Manusia sholeh yang dimaksud disini adalah sebagaimana
apa yang dikemukakan oleh Rasulallah saw. kepada Muadz bin Jabal ra, Rasulallah
bersabda:
“Wahai Muadz, apakah engkau mengetahui apakah hak Allah
kepada hamba-Nya?”. Muadz menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui’.
Kemudian Rasulallah bersabda: ‘Sesunguhnya hak Allah kepada Hamba-Nya adalah
hendaknya hamba-hamba-Nya itu menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya terhadap
apapun’. Agak beberapa lama, kembali Rasulallah bersabda: ‘Wahai Muadz !’ Aku
(Muadz) menjawab: ‘Ya, wahai Rasulallah’. Rasulallah bertanya: ‘Adakah engkau
tahu, apakah hak seorang hamba ketika telah melakukan hal tadi?’. Aku (Muadz)
menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui’. Rasulallah bersabda: ‘“Ia
tiada akan mengadzabnya’ “. (Lihat: Sohih Muslim dengan syarh dari an-Nawawi
jilid: 1 halaman: 230-232).
Hadits diatas jelas bahwa maksud dari Sholeh adalah
setiap orang yang melakukan penghambaan penuh (ibadah) kepada Allah dan tidak
melakukan penyekutuan terhadap Allah swt... Dan dikarenakan tawassul (mengambil
wasilah) bukanlah tergolong penyekutuan Allah –karena dilegalkan oleh Allah
swt.– maka para pelaku tawassul pun bisa masuk kategori orang Sholeh pula, jika
ia melakukan peribadatan yang tulus dan tidak melakukan kesyirikan (penyekutuan
Allah). Orang-orang sholeh semacam itulah yang dinyatakan dalam al-Qur’an
sebagai pemancar cahaya Ilahi yang dengannya mereka hidup di tengah-tengah
manusia.
Allah swt.. berfirman: “Dan apakah orang yang sudah
mati kemudian dia kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang,
yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia,
serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali
tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah kami jadikan orang yang kafir itu
memandang baik apa yang telah mereka kerjakan” (QS al-An’am: 122). Atau
sebagaimana dalam firman Allah swt... lainya; “Hai orang-orang yang beriman
(kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya,
niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepada mu dua bagian, dan menjadikan
untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan dia
mengampuni kamu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS
al-Hadid: 28).
Sebagaimana kita semua mengetahui bahwa, fungsi dan
kekhususan cahaya adalah; “ia sendiri terang dan mampu menerangi obyek lain”.
Begitu juga dengan manusia sholeh yang mendapat otoritas pembawa pancaran
Ilahi.
Dari sini jelas sekali bahwa al-Qur’an telah menunjukkan
kepada kita bahwa, para nabi dan manusia sholeh dari hamba-hamba Allah –seperti
peristiwa umat Isa al-Masih atau saudara-saudara Yusuf (anak-anak Ya’qub)–
telah melakukan tawassul. Dan al-Qur’an pun telah dengan jelas memberikan
penjelasan tentang beberapa obyek tawassul. Tawassul tersebut bukan hanya
sebatas berkaitan dengan do’a para manusia kekasih Ilahi itu saja, bahkan pada
pribadi para manusia kekasih Ilahi itu juga. Hal itu karena antara pribadi para
kekasih Ilahi dengan bacaan do’a mereka tidak dapat di pisahkan dan terjadi
relasi (konsekuensi) yang sangat erat. Hal ini akan semakin jelas ketika kita
memasuki kajian selanjutnya.
9.9. Hadits-Hadits Tentang Legalitas/Pembolehan Tawassul / Istighotsah
Pada kesempatan
kali ini, kita akan mengkaji beberapa contoh hadits ,berikut ini, dalam
beberapa kitab standart Ahlusunah wal Jama’ah yang menjadi landasan legalitas
tawassul/ istighotsah terhadap Rasulallah saw. dan para hamba Allah yang
sholeh. Dengan adanya dalil-dalil ini kita akan lebih mantep lagi atas
legalitas, manfaat dan hikmah dari tawasuul dan tabarruk tersebut.
Hadits-hadits yang berkaitan dengan Tawassul/istighotsah:
– Riwayat
yang mengisahkan tawassulnya Nabi Yusuf as kepada Rasulallah saw. , waktu
beliau didalam sumur, At-Tsa’labi mengisahkan:
“Pada keempat
harinya waktu Nabi Yusuf a.s. berada didalam sumur, Jibril a.s. mendatanginya
dan bertanya: ‘Hai anak siapakah yang melempar engkau kesumur’? Jawab Yusuf as:
‘Saudara-saudaraku’. Jibril as. bertanya lagi: Mengapa? Yusuf as berkata:
‘Mereka dengki karena kedudukanku didepan ayahku’. Jibril as. berkata: ‘Maukah
engkau keluar darisini’? Yusuf a.s.berkata mau. Jibril as berkata:
‘Ucapkanlah (do’a pada Allah swt.) sebagai berikut’: ‘Wahai Pencipta
segala yang tercipta, Wahai Penyembuh segala yang terluka, Wahai Yang Menyertai
segala kumpulan, Wahai Yang Menyaksikan segala bisikan, Wahai Yang Dekat dan
Tidak berjauhan, Wahai Yang Menemani semua yang sendirian, Wahai Penakluk yang
Tak Tertakluk kan, Wahai Yang Mengetahui segala yang gaib, Wahai Yang Hidup dan
Tak Pernah Mati, Wahai Yang Menghidupkan yang mati,Tiada Tuhan kecuali Engkau,
Mahasuci Engkau, aku bermohon kepada-Mu Yang Empunya pujian, Wahai Pencipta
langit dan bumi, Wahai Pemilik Kerajaan, Wahai Pemilik Keagungan dan Kemuliaan,
aku bermohon agar Engkau sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga
Muhammad, berilah jalan keluar dan penyelesaian dalam segala urusan dan dari
segala kesempitan, Berilah rezeki dari tempat yang aku duga dan dari tempat
yang tak aku duga ’ “.
Lalu Yusuf a.s.
mengucapkan do'a itu. Allah swt. mengeluarkan Yusuf a.s. dari dalam sumur,
menyelamatkannya dari reka-perdaya saudara-saudaranya. Kerajaan Mesir
didatangkan kepadanya dari tempat yang tidak diduganya”. ( At Tsa’labi 157,
Fadhail Khamsah 1:207).
Lihat riwayat
ini, Nabi Yusuf as. diajari oleh Jibril as. untuk berdo’a pada Allah swt.
agar bisa cepat keluar dari sumur dengan sholawat serta tawassul kepada
Rasulallah saw.dan keluarganya. Begitu juga riwayat Nabi Adam as. yang telah
kami kemukakan sebelumnya, yang mana Rasulallah saw. dan keluarganya ini belum
dilahirkan dialam wujud ini !
– Do’a
masih akan terhalang bila orang yang berdo’a tersebut tanpa bertawassul dengan
bersholawat pada Nabi saw.. Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib kw. berkata:
‘Setiap do’a antara seorang hamba dengan Allah selalu diantarai dengan hijab
(penghalang, tirai) sampai dia mengucapkan sholawat pada Nabi saw.. Bila ia
membaca sholawat, terbukalah hijab itu dan masuklah do’a.’ (Kanzul ‘Umal 1:173,
Faidh Al-Qadir 5:19)
– Amirul
Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib kw. juga berkata, Rasulallah saw. bersabda:
“Setiap do’a terhijab (tertutup) sampai membaca sholawat pada Muhammad
dan keluarganya”. ( Ibnu Hajr Al-Shawaiq 88 )
– Juga
ada riwayat hadits sebagai berikut: “Barangsiapa yang melakukan sholat dan
tidak membaca shalawat padaku dan keluarga (Rasulallah saw.), sholat tersebut
tidak diterima (batal)”. (Sunan Al- Daruqutni 136)
– Mendengar
sabda Nabi saw. ini para sahabat diantaranya Jabir Al-Anshori berkata:
‘Sekiranya aku sholat dan didalamnya aku tidak membaca sholawat pada
Muhammad dan keluarga Muhammad aku yakin sholatku tidak di
terima’. (Dhahir Al-Uqba : 19)
– Begitu
juga Imam Syafi’i dalam sebagian bait syairnya mengatakan: “Wahai Ahli
Bait (keluarga) Rasulallah, kecintaan kepadamu diwajibkan Allah dalam Al-Qur’an
yang diturunkan, Cukuplah petunjuk kebesaranmu, Siapa yang tidak bersholawat
(waktu sholat) padamu tidak diterima sholatnya.... “ .
Banyak
hadits yang meriwayatkan agar do’a kita dikabulkan oleh Allah swt. dengan
bertahmid dan bersholawat dahulu sebelum memulai membaca do’a. Begitu juga
banyak riwayat bagaimana cara kita bersholawat kepada Rasulallah saw. dan
keluarganya serta manfaatnya sholawat itu. Tidak lain semua itu termasuk
tawassul/wasithah pada Rasulallah saw. dan keluarganya, bila tidak demikian dan
tidak ada manfaatnya, maka orang tidak perlu menyertakan/menyebut nama beliau
saw. dan keluarganya waktu berdo’a pada Allah swt.!
Dari Ustman bin
Hunaif yang mengatakan: “Sesungguhnya telah datang seorang lelaki yang tertimpa
musibah (buta matanya) kepada Nabi saw. Lantas lelaki itu mengatakan kepada
Rasulllah; ‘Berdo’alah kepada Allah untukku agar Dia (Allah swt) menyembuhkanku!’.
Kemudian Rasulallah bersabda: ‘Jika engkau menghendaki maka aku akan menundanya
untukmu, dan itu lebih baik. Namun jika engkau menghendaki maka aku akan
berdo’a (untukmu)’. Kemudian dia (lelaki tadi) berkata: ‘Mohonlah kepada-Nya
(untukku)!’. Rasulallah memerintahkannya untuk mengambil air wudhu, kemudian ia
berwudhu dengan baik lantas melakukan shalat dua rakaat. Kemudian ia (lelaki
tadi) membaca do’a tersebut:
‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, dan aku
datang meng- hampiri-Mu, demi Muhammad sebagai Nabi yang penuh rahmat. Ya
Muhammad, sesungguhnya aku telah datang menghampiri-mu untuk menjumpai Tuhan-ku
dan meminta hajat-ku ini agar terkabulkan. Ya Allah, jadikanlah dia sebagai
pemberi syafa’at bagiku’.
Utsman bin Hunaif berkata; ‘Demi Allah, belum sempat kami
berpisah, dan belum lama kami berbicara, sehingga laki-laki buta itu menemui
kami dalam keadaan bisa melihat dan seolah-olah tidak pernah buta
sebelumnya". (HR. Imam at-Turmudzi dalam “Sunan at-Turmudzi” 5/531 hadits
ke-3578; Imam an-Nasa’i dalam kitab “as-Sunan al-Kubra” 6/169 hadits ke-10495;
Imam Ibnu Majah dalam “Sunan Ibnu Majah” 1/441 hadits ke-1385; Imam Ahmad dalam
“Musnad Imam Ahmad” 4/138 hadits ke-16789; al-Hakim an-Naisaburi dalam
“Mustadrak as-Shohihain” 1/313; as-Suyuthi dalam kitab “al-Jami’ as-Shoghir”
halaman 59, Sunan Ibnu Majah, jilid 1, hal 331; Mustadrak al-Hakim, jilid 1,
hal 313 ; Talkhish al-Mustadrak, adz-Dzahabi dan sebagainya. Sehingga dari
situ, Ibnu Taimiyah pun menyatakan kesahihannya pula ).
– Syeikh
Ja'far Subhani melakukan kajian tentang sanad hadits diatas ini didalam bukunya
yang berjudul Ma'a al-Wahabiy yinfi Khuthathihim wa 'Aqa'idihim. Dia
berkata, "Tidak ada keraguan tentang keshohihan sanad hadits ini. Bahkan,
ulama yang dipercaya oleh kalangan Wahabi yaitu Ibnu Taimiyyah mengakui
keshohihan sanad hadits ini, dengan mengatakan, 'Sesungguhnya yang dimaksud
dengan nama Abu Ja'far yang terdapat di dalam sanad hadits ini adalah Abu
Ja'far al-Khathmi. Dia seorang yang dapat dipercaya.’
– Raffa'i
–seorang penulis golongan Wahabi abad ini– yang selalu berusaha
mendhaifkan/melemahkan hadits-hadits yang khusus berkaitan dengan tawassul dia
pun menshohihkan hadits diatas ini. Dia berkata tentang hadits ini: “Tidak
diragukan bahwa hadits ini shahih dan masyhur. Telah terbukti tanpa ada
keraguan sedikitpun bahwa seorang yang buta dapat melihat kembali dengan
perantaraan do’a Rasulallah saw..” (Al-Tawashshul ila Haqiqah at-Tawassul,
hal 158).
Raffa’i berkata
didalam kitabnya ini, "Hadits ini telah diriwayatkan oleh Nasa'i, Baihaqi,
Turmudzi dan Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya. Zaini Dahlan, didalam kitabnya
Khulashah al-Kalam, menyebutkan hadits ini beserta dengan sanad-sanadnya yang
shohih yang kesemuanya berasal dari Bukhari didalam tarikh-nya, serta
Ibnu Majah dan Hakim didalam Mustadrak mereka berdua. Jalaluddin as-Suyuthi
juga menyebutkan hadits ini didalam kitabnya al-Jami' (Kasyf al-Irtiyab, hal
309, menukil dari kitab Khulashah al-Kalam. dan At-Tawashshul ila Haqiqah
at-Tawassul, hal 66).
Walaupun
Raffa’i hanya mengatakan orang buta tersebut bisa melihat dengan
perantaraan do’a Rasulallah saw. toh dia mengakui kesohihan hadits yang berkaitan dengan
tawassul ini ! Yang sudah pasti orang buta tersebut berdo’a kepada Allah swt.
sambil bertawassul dan menyertakan nama Rasulallah saw. dalam do’anya dan
beliau saw. sendiri telah mengajarkan kepadanya bagaimana cara berdo’a kepada
Allah swt..!
Apakah
Rasulallah saw. akan mengajarkan kepada orang buta itu sesuatu yang berbau
kesyirikan atau kekufuran? Mengapa Rasulallah saw. memerintahkan kepada orang
buta tersebut agar menyebutkan nama beliau saw. didalam do’anya, kalau
semuanya ini tidak mempunyai keistemewaan?
Anehnya, sebagian pengikut Wahabi menyatakan bahwa
tawassul/istighotsah semacam itu perbuatan sia-sia dan bertentangan dengan Maha
Mendengar dan Mengetahui (Allah swt). Mereka berkata: “Kenapa kita harus
berdo’a melalui orang dengan alasan ia lebih dekat kedudukannya di sisi Allah
dan do’anya lebih didengar oleh-Nya? Bukankah Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui atas do’a para hamba-Nya?”.
Justru pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab oleh
golongan pengingkar, yang berpikiran semacam itu adalah: Mengapa Rasulallah
saw. menjawab permintaan orang tadi dengan mengatakan, “…Namun jika engkau
menghendaki maka aku akan berdo’a (untukmu)”, apakah Nabi –makhluk kekasih
Ilahi itu– tidak mengerti bahwa Allah swt. Maha Mendengar dan Maha Mengetahui?
Dari hadits di atas juga dapat kita ambil pelajaran
bahwa, bagaimana Nabi mengajarkan cara bertawassul kepada lelaki terkena
musibah tersebut. Dan juga dapat kita ambil pelajaran bahwa, bersumpah atas
nama pribadi Nabi ‘Bi Muhammadin’ adalah hal yang diperbolehkan (legal
menurut syariat Islam), begitu juga dengan kedudukan (jah) nabi Muhammad saw.
yang tertera dalam kata ‘Nabiyyurrahmah’. Jika tidak maka sejak semula
Nabi saw. akan menegur lelaki tersebut. Jadi tawassul lelaki tersebut melalui
pribadi Muhammad –bukan hanya do’a Nabi– yang sekaligus atas nama sebagai Nabi
pembawa Rahmat yang merupakan kedudukan (jah) tinggi anugerah Ilahi
merupakan hal legal menurut syariat Muhammad bin Abdillah saw.
– Diriwayatkan oleh ‘Aufa al-‘Aufa dari Abi Said al-Khudri,
bahwa Rasulallah saw. pernah menyatakan:
“Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat (di masjid)
maka hendaknya mengatakan: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu demi
para pemohon kepada-Mu. Dan aku memohon kepada-Mu, demi langkah kakiku
ini. Sesungguhnya aku tidak keluar untuk berbuat aniaya, sewenang-wenang, ingin
pujian dan ber bangga diri. Aku keluar untuk menjauhi murka-Mu dan mengharap
ridho-Mu. Maka aku memohon kepada-Mu agar Engkau jauhkan diriku dari api neraka.
Dan hendaknya Engkau ampuni dosaku, karena tiada dzat yang dapat menghapus dosa
melainkan diri-Mu’. Niscaya Allah akan menyambutnya dengan wajah-Nya kepadanya
dan memberinya balasan sebanyak tujuh puluh ribu malaikat ”. (Lihat:
Kitab “Sunan Ibnu Majah”, 1/256 hadits ke-778 bab berjalan untuk melakukan
shalat)
Dari hadits diatas dapat diambil pelajaran bahwa,
Rasulallah saw. mengajarkan kepada kita bagaimana kita berdo’a untuk menghapus
dosa kita dengan menyebut (bersumpah dengan kata ‘demi’) diri (dzat) para
peminta do’a dari para manusia sholeh dengan ungkapan ‘Bi haqqi Saailiin
‘alaika‘ (demi para pemohon kepada-Mu), Rasulallah saw. disitu tidak
menggunakan kata ‘Bi haqqi du’a Saailiin ‘alaika’ (demi do’a para
pemohon kepada-Mu), tetapi langsung menggunakan ‘diri pelaku perbuatan’
(menggunakan isim fa’il). Dengan begitu berarti Rasulallah saw. membenarkan
–bahkan mengajarkan– bagaimana kita bertawassul kepada diri dan kedudukan para
manusia sholeh kekasih Ilahi (wali Allah) –yang selalu memohon kepada Allah
swt.– untuk menjadikan mereka sebagai sarana penghubung antara kita dengan
Allah swt. dalam masalah permintaan syafa’at, permohonan ampun, meminta hajat
dan sebagainya.
– Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia mengatakan; ketika
Fathimah binti Asad meninggal dunia, Rasulullah saw. datang dan duduk disisi
kepalanya sembari bersabda: ‘Rahimakillah ya ummi ba’da ummi‘ (Allah
merahmatimu wahai ibuku pasca ibu [kandung]-ku). Kemudian beliau saw.
menyebutkan pujian terhadapnya, lantas mengkafani- nya dengan jubah beliau.
Kemudian Rasulallah memanggil Usamah bin Zaid, Abu Ayyub al-Anshari, Umar bin
Khattab dan seorang budak hitam untuk menggali kuburnya. Kemudian mereka
menggali liang kuburnya. Sesampai di liang lahat, Rasulallah saw. sendiri yang
menggalinya dan mengeluarkan tanah lahat dengan menggunakan tangan beliau saw..
Setelah selesai (menggali lahat), kemudian Rasulallah saw. berbaring disitu
sembari berkata: ‘Allah Yang menghidupkan dan mematikan. Dan Dia Yang selalu
hidup, tiada pernah mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad. Perluaskanlah
jalan masuknya, demi Nabi-Mu dan para nabi sebelumku”. (Lihat:
Kitab al-Wafa’ al-Wafa’)
Hadits
yang serupa diatas yang diketengahkan oleh At-Thabrani dalam Al-Kabir dan
Al-Ausath. Rasulallah saw. bertawassul pada dirinya sendiri dan para Nabi
sebelum beliau saw. sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Anas
bin Malik, ketika Fathimah binti Asad isteri Abu Thalib, bunda Imam ‘Ali bin
Abi Thalib kw. wafat, Rasulallah saw. sendirilah yang menggali liang-lahad.
Setelah itu (sebelum jenazah dimasukkan ke lahad) beliau masuk kedalam lahad,
kemudian berbaring seraya bersabda:
“Allah yang
menghidupkan dan mematikan, Dialah Allah yang Maha Hidup. Ya Allah,
limpahkanlah ampunan-Mu kepada ibuku – panggilan ibu, karena
Rasulallah saw. ketika masih kanak-kanak hidup dibawah asuhannya– lapangkanlah kuburnya dengan demi Nabi-Mu (yakni beliau saw. sendiri) dan
demi para Nabi sebelumku. Engkaulah, ya Allah Maha Pengasih dan Penyayang”.
Beliau saw. kemudian mengucapkan takbir empat kali. Setelah itu beliau saw.
bersama-sama Al-‘Abbas dan Abubakar ,radhiyallahu ‘anhumaa, memasukkan
jenazah Fathimah binti Asad kedalam lahad. ( At-Thabrani dalam Al-Kabir
dan Al-Ausath.)
Pada hadits itu
Rasulallah saw. bertawassul disamping pada diri beliau sendiri juga kepada para
Nabi sebelum beliau saw.! Dalam hadits itu jelas beliau saw. berdo’a kepada
Allah swt. sambil menyebutkan dalam do’anya demi diri beliau sendiri dan demi
para Nabi sebelum beliau saw. Kalau ini bukan dikatakan sebagai tawassul,
mengapa beliau saw. didalam do’anya menyertakan kata-kata demi para Nabi ?
Mengapa beliau saw. tidak berdo’a saja tanpa menyebutkan ...demi para Nabi
lainnya ?
– Dalam kitab Majma’uz-Zawaid jilid 9/257 disebut
nama-nama perawi hadits tersebut, yaitu Ruh bin Shalah, Ibnu Hibban dan
Al-Hakim. Ada perawi yang dinilai lemah, tetapi pada umumnya adalah perawi
hadit-hadits shohih. Sedangkan para perawi yang disebut oleh At-Thabrani
didalam Al-Kabir dan Al-Ausath semuanya baik (jayyid) yaitu Ibnu Hiban,
Al-Hakim dan lain-lain yang membenarkan hadits tersebut dari Anas bin
Malik. Selain
mereka terdapat juga nama Ibnu Abi Syaibah yang meriwayatkan hadits itu secara
berangkai dariJabir.
Ibnu ‘Abdul Birr meriwayatkan hadits tersebut dari Ibnu ‘Abbas dan Ad-Dailami
meriwayatkannya dari Abu Nu’aim. Jadi hadits diatas ini diriwayatkan dari
sumber-sumber yang saling memperkuat kebenarannya.
Hadits di atas jelas sekali bagaimana Rasulallah
bersumpah demi kedudukan (jah) yang beliau saw. miliki, yaitu kenabian, dan
kenabian para pendahulunya yang telah wafat, untuk dijadikan sarana (wasilah)
pengampunan kesalahan ibu (angkat) beliau, Fathimah binti Asad. Dan dari hadits
di atas juga dapat kita ambil pelajaran, bagaimana Rasulallah saw. memberi
‘berkah’ (tabarruk) liang lahat itu untuk ibu angkatnya dengan merebahkan
diri di sana, plus mengkafani ibunya tersebut dengan jubah beliau.
– Diriwayatkan bahwa Sawad bin Qoorib melantunkan
pujiannya terhadap Rasulallah saw. dimana dalam pujian tersebut juga terdapat
muatan permohonan tawassul kepada Rasulullah saw. (Kitab Fathul Bari
7/137, atau kitab at-Tawasshul fi Haqiqat at-Tawassul karya ar-Rifa’i hal. 300)
Penjelasan-penjelasan semacam inilah yang tidak dapat
dipungkiri oleh kaum muslimin manapun, terkhusus para pengikut sekte Wahabisme.
Atas dasar itu, Ibnu Taimiyah sendiri dalam kitabnya “at-Tawassul wa
al-Wasilah” dengan mengutip pendapat para ulama Ahlusunah seperti; Ibnu Abi
ad-Dunya, al-Baihaqi, at-Thabrani, dan sebagainya telah melegalkan tawassul
sesuai dengan hadits-hadits yang ada. (Kitab “at-Tawassul wal Wasilah” karya
Ibnu Taimiyah halaman 144-145).
Walaupun beberapa hadits di atas secara tersirat telah
membuktikan legalitas tawassul terhadap para nabi terdahulu dan para manusia
sholeh yang telah mati, namun mungkin masih menjadi pertanyaan di benak kaum
muslimin, adakah dalil yang dengan jelas memperbolehkan tawassul/ istighotsah
terhadap orang yang dhahirnya telah wafat? Marilah kita ikuti kajian
selanjutnya.
9.10.Perilaku Salaf Saleh Penguat Legalitas Tawassul / Istighotsah
Kita semua mengetahui bahwa para sahabat, tabi’in dan
tabiut at-tabi’in adalah termasuk dalam golongan salaf sholeh dimana mereka
hidup sangat dekat dengan zaman penurunan risalah Islam. Terkhusus para sahabat
yang mendapat pengajaran langung dari Rasulullah saw. dimana setiap perkara
yang tidak mereka pahami langsung mereka tanyakan dan langsung mendapat
jawabannya dari baginda Rasulallah saw.. Salah satu dari sekian perkara yang
menjadi bahan kajian kita kali ini adalah, bagaimana pemahaman para sahabat
berkaitan dengan konsep istighotsah /tawassul yang sesuai dengan petunjuk
Rasulullah saw.
Disini kita akan menunjukkan beberapa riwayat yang
menjelaskan pemahaman Salaf Sholeh –yang dalam hal ini mencakup para sahabat
mulia Rasul saw.– berkaitan dengan konsep tersebut, dan praktek mereka dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, kita akan memberikan beberapa contoh
seperti di bawah ini:
– Dahulu Rasulullah saw. mengajarkan seseorang
tentang tata cara memohon kepada Allah swt. dengan menyeru Nabi untuk
bertawassul kepadanya, dan meminta kepada Allah agar mengabulkan syafa’atnya
(Nabi) dengan mengatakan:
“يا محمد يا رسول الله إني أتوسل بك إلي
ربي في حاجتي لتُقضي لي اللهم فشفعه فيٍ”.
Artinya: (“Wahai Muhammad, Wahai Rasulullah! Sesungguhnya
aku bertawassul denganmu kepada Tuhanku dalam memenuhi hajatku agar dikabulkan
untuk ku. Ya Allah, terimalah bantuannya padaku”). (Kitab “Majmu’atur Rasa’il
wal Masa’il” karya Ibnu Taimiyah 1/18).
Jelas sekali bahwa yang dimaksud dengan lelaki di atas
adalah lelaki muslim yang sezaman dan pernah hidup bersama Rasulallah saw.,
serta pernah belajar dari beliau, yang semua itu adalah memenuhi kriteria
sahabat menurut ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah. Mari kita teliti dan renungkan
kata demi kata dari ajaran Rasulallah saw. terhadap salah seorang
sahabat tersebut, sewaktu beliau mengajarinya tata cara bertawassul
melalui diri Muhammad sebagai Rasulullah saw., satu ‘kedudukan’ (jah)
tinggi disisi Allah. Sengaja kita ambil rujukan dari Ibnu Taimiyah
agar pengikut sekte Wahabi memahami dengan baik apa sinyal dibalik tujuan kami
menukil dari kitab syeikh mereka itu, agar mereka berpikir.
Golongan Salafisme melarang dan mengafirkan orang bertawassul
dengan pribadi yang telah wafat, dan mereka juga melarang
orang tawassul dengan memanggil 'Yaa Muhammad... .'. Imamnya golongan
Salafisme ,Muhamad ibnu Abdul-Wahhab, melarang/mengharamkan tawassul dengan
cara ini merujuk dari kitab at-Tawassul wa al Wasilah oleh
Ibnu Taimiyah. Padahal dikitab lain karangan ibnu Taimiyah yang
berjudul al Kalim at-Thayyib terbitan al Maktab al
Islami, Cet. Ke-5 tahun 1405 H/1985 menyarankan bagi orang-orang yang terkena
penyakit semacam kelumpuhan (al Khadar) pada kaki, hendaklah mengucapkan: “Yaa
Muhammad…”. Dengan demikian apa yang ditulis Ibnu Taimiyah dalam
kitab Tawassul wa al Wasilah berlawanan sendiri dengan apa yang dia
tulis dalam kitabnya al Kalim at-Thayyib.
Begitu
banyak kitab yang ditulis untuk membantah paham Salafisme misalnya
kitab yang berjudul ar-Raddu al Muhkam al Matin karya seorang
muhaddits dari Maroko yaitu Syekh Abdullah al Ghammari dan kitab
yang berjudul al Maqalat as-Sunniyah fi Kasyfi Dhalalat Ahmad ibn Taimiyah
karya muhaddits daratan Syam Syekh Abdullah al Harari. Kitab yang
terakhir disebut ini diberi judul demikian, karena Muhammad ibn Abdul Wahhab
mengambil pahaman ,dalam mengharamkan tawassul kecuali dengan orang yang hidup
dan yang hadir, dari kitab-kitab Ibnu Taimiyah (W. 728 H).
Mengenai
tawassul kepada pribadi yang telah wafat, ikutilah kajian berikutnya.
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori
dari Anas bin Malik :
عن أنس, أنّ عُمربن الخطّاب كان إذاقُحـطُوا إستسـقى
بالعبّاس بن عبدالمُطّلب فقال: اللهُـمّ إنّـا كُنّا نتوسّلُ إليك بنبيّنا فتسقينا
وإنّا نتوسّلُ إليك بعمّ نبيّنا
فاسقنا قال فيُسقون (رواه البخاري)
Artinya:
"Bahwasanya jika terjadi musim kering yang panjang, maka Umar bin Khattab
memohon hujan kepada Allah dengan bertawassul dengan Abbas Ibnu Abdul Muthalib.
Dalam do’anya ia berkata; ‘Ya Allah, dulu kami senantiasa bertawassul kepada-Mu
dengan Nabi saw. dan Engkau memberi hujan kepada kami. Kini kami bertawassul
kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka berilah hujan pada kami’. Anas berkata;
‘Maka Allah menurunkan hujan pada mereka’ ”. (Lihat: Kitab “Shohih
Bukhari” 2/32 hadits ke-947 dalam Bab Shalat Istisqo’)
Perbuatan
khalifah Umar dengan tawassul pada paman Nabi saw. tidak seorang pun dari
sahabat Nabi yang mengingkari, mensyirikkan atau tidak membenarkan prakarsa
khalifah ini. Khalifah Umar ra. yang sudah terkenal dikalangan kaum muslimin
masih menyertakan paman Rasulallah saw. didalam do’anya kepada Allah swt.,
apalagi kita-kita ini.
Imam an-Nawawi dalam kitab ‘al-Majmu’ Syarh
al-Muhadzab’ (Jilid: 5 Halaman: 68) dalam Kitabus-Shalat dan dalam Babus-Shalatul-Istisqo’
yang menukil riwayat bahwa Umar bin Khattab telah memohon do'a hujan melalui
Abbas (paman Rasulallah) dengan menyatakan: ‘Ya Allah, dahulu jika kami
tidak mendapat hujan maka kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami, lantas
engkau menganugerahkan hujan kepada kami. Dan kini, kami bertawassul kepada-Mu
melalui paman Nabi-Mu, maka turunkan hujan bagi kami ’. Kemudian turunlah
hujan”. (Ibnu Hajar juga menyatakan bahwa; Abu Zar’ah ad-Damsyiqi juga
telah menyebutkan kisah ini dalam kitab sejarahnya dengan sanad yang
shohih).
Ibnu Hajar dalam kitab ‘Fathul Bari’
(Syarah kitab Shohih al-Bukhari) pada jilid:2 halaman: 399 dalam menjelaskan
peristiwa permintaan hujan oleh Umar bin Khatab melalui Abbas, menyatakan:
“Dapat diambil suatu pelajaran dari kisah Abbas ini yaitu, dimustahabkan
(sunah) untuk memohon hujan melalui pemilik keutamaan dan
kebajikan, juga ahlul bait (keluarga) Nabi”.
Ibnu Atsir dalam kitab ‘Usud al-Ghabah’ (Jilid: 3
Halaman: 167) dalam menjelaskan tentang pribadi (tarjamah) Abbas bin Abdul
Mutthalib pada nomor ke-2797 menyata
kan: “Sewaktu
orang-orang dianugerahi hujan, mereka berebut untuk menyentuhi Abbas dan
mengatakan: 'Selamat atasmu wahai Penurun hujan untuk Haramain'.
Saat itu para sahabat mengetahui, betapa keutamaan yang dimiliki oleh Abbas
sehingga mereka mengutamakannya dan menjadikannya sebagai rujukan dalam
bermusyawarah”.
Dalam kitab yang sama ini disebutkan bahwa Muawiyah
telah memohon hujan melalui Yazid bin al-Aswad dengan mengucapkan: ‘Ya
Allah, kami telah meminta hujan melalui pribadi yang paling baik dan
utama di antara kami (sahabat). ’ Ya Allah, kami meminta hujan melalui diri Yazid
bin al-Aswad’. Wahai Yazid, angkatlah kedua tanganmu kepada Allah. Kemudian
ia mengangkat kedua tangannya di-ikuti oleh segenap orang (yang berada di
sekitanya). Maka mereka dianugerahi hujan sebelum orang-orang kembali kerumah
masing-masing’.
Kami sayangkan lagi ada sebagian ulama yang
mengakui keshohihan riwayat-riwayat yang berkaitan dengan tawassul dan
tabarruk, tapi mereka berani memutar balik maknanya dan sampai-sampai
berani melarang dan mensyirikkan hal tersebut pada orang yang
mengamalkannya!
Riwayat di atas memberikan pelajaran kepada kita
bagaimana Khalifah Umar –sahabat Rasulallah saw.– melakukan hal yang pernah
diajarkan Rasulallah kepada para sahabat mulia beliau saw.. Perbuatan khalifah
Umar ini juga sebagai bukti dibolehkannya tawassul kepada pribadi
seseroang yang mulia.
Walaupun riwayat diatas menunjukkan bahwa Umar bin
Khattab ra.bertawassul kepada pribadi yang masih hidup, akan tetapi hal
itu tidak berarti secara otomatis riwayat di atas dapat menjadi bukti bahwa
bertawassul kepada yang telah wafat adalah ‘haram’ (entah karena
alasan syirik atau bid’ah), karena tidak ada dalil baik dari firman Ilahi atau
Sunnah Rasulallah saw. yang menyatakan kalau tawassul pada orang yang telah
wafat itu haram, sedangkan pada orang yang masih hidup dibolehkan!
Sebenarnya tawassul pada pribadi seseorang baik yang masih hidup maupun telah
wafat itu inti/pokoknya adalah sama, yaitu berdo’a kepada Allah
swt. sambil menyertakan nama pribadi seseorang itu. Kalau ini dilarang
berarti semua bentuk tawassul itu harus diharamkan juga.
Apakah golongan pengingkar ini lupa
atau pura-pura lupa bahwa nabi Adam as. bertawassul pada Nabi saw. dan riwayat
lainnya yang antara lain diriwayatkan oleh ulama yang mereka andalkan
yaitu Syeikh Ibnu Taimiyyah, begitu juga mengenai tawassul Nabi Yusuf a.s
kepada beliau saw., tawassul mereka pada Nabi saw. yang mana beliau bukannya
sudah wafat malah belum dilahirkan dialam wujud ini dan tawassul
Rasulallah saw. kepada para Nabi sebelum beliau saw.
Di tambah lagi ,berikut ini, terdapat riwayat lain
yang menjelaskan bahwa sebagian sahabat –sesuai dengan pemahaman mereka dari
apa yang diajarkan Rasulallah saw.– juga melakukan tawassul kepada seseorang
yang secara dhahir telah wafat. Yang jelas, riwayat di atas dengan tegas
menjelaskan akan dibolehkannya tawassul/istighotsah dan menyangkal
pendapat madzhab Wahabi dan pengikutnya yang mengatakan bahwa bertawassul
adalah perbuatan sia-sia dan bertentangan dengan
–Maha Mendengar dan Maha Mengetahui– Allah swt.. Juga sekaligus menjelaskan
legalitas tawassul melalui diri selain Rasulallah saw. (Abbas bin Abdul
Mutthalib) dan kedudukan (sebagai paman manusia termulia) di hadapan Allah
swt..
9.11.Tawassul Kepada Rasulallah Saw. Dikala Wafatnya
Abu Darda’ dalam sebuah riwayat menyebutkan:
“Suatu saat, Bilal (al-Habsyi) bermimpi
bertemu dengan Rasulallah. Beliau bersabda kepada Bilal: ‘Wahai Bilal, ada apa
gerangan dengan ketidak perhatianmu (jafa’)? Apakah belum datang saatnya
engkau menziarahiku?’. Selepas itu, dengan perasaan sedih, Bilal segera
terbangun dari tidurnya dan bergegas mengendarai tunggangannya menuju ke
Madinah. Lalu Bilal mendatangi kubur Nabi sambil menangis lantas meletakkan
wajahnya di atas pusara Rasul. Selang beberapa lama, Hasan dan Husein (cucu
Rasulallah saw) datang. Kemudian Bilal mendekap dan mencium keduanya”. (Tarikh
Damsyiq jilid 7 Halaman: 137, Usud al-Ghabah karya Ibnu Hajar jilid: 1 Halaman:
208, Tahdzibul Kamal jilid: 4 Halaman: 289, dan Siar A’lam an-Nubala’ karya
Adz-Dzahabi Jilid: 1 Halaman 358)
Bilal menganggap ungkapan Rasulallah saw. dalam mimpinya sebagai
teguran dari beliau saw., padahal secara dhohir beliau saw. telah
wafat. Jika tidak demikian, mengapa sahabat Bilal datang jauh-jauh dari Syam
menuju Madinah untuk menziarahi Rasulallah saw.? Kalau Rasulallah benar-benar
telah wafat sebagaimana anggapan madzhab Wahabi bahwa yang telah wafat itu
sudah tiada maka Bilal tidak perlu menghiraukan teguran Rasulallah itu.
Apa yang dilakukan sahabat Bilal juga bisa dijadikan dalil atas ketidakbenaran
paham Wahabisme –pemahaman Ibnu Taimiyah dan Muhamad bin Abdul Wahhab– tentang
pelarangan bepergian untuk ziarah kubur sebagai- mana yang mereka pahami
tentang hadits Syaddur Rihal.
Apakah Bilal khusus datang jauh-jauh dari Syam hanya
sekedar berziarah dan memeluk pusara Rasulallah saw. tanpa mengatakan
apapun (tawassul) kepada penghuni kubur tersebut? Sekarang mari kita lihat
riwayat lain yang berkenaan dengan diperbolehkannya tawassul secara langsung
kepada yang telah meninggal:
“Masyarakat telah tertimpa bencana kekeringan di zaman
kekhalifahan Umar bin Khattab. Bilal bin Harits –salah seorang sahabat Nabi–
datang ke pusara Rasul dan mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, mintakanlah hujan
untuk umatmu karena mereka telah (banyak) yang binasa’. Rasul saw.
menemuinya didalam mimpi dan memberitahu- kannya bahwa mereka akan diberi hujan
(oleh Allah) ”. (Fathul Bari jilid 2 halaman 398, atau as-Sunan al-Kubra jilid
3 halaman 351)
Hadits-hadits diatas mencakup sebagai dalil tentang
kebolehan tabarruk dan tawassul kepada orang yang dhahirnya
telah wafat, hal itu telah dicontohkan oleh tokoh Salaf Saleh.
Apakah golongan pengingkar lupa siapa Bilal al-Habsyi?
Apakah Bilal bukan sahabat mulia Rasulallah saw. yang tergolong Salaf Sholeh
yang harus di-ikuti? Apakah mungkin Bilal lupa atau tidak tahu bahwa menangis
di atas pusara, apalagi sambil meletakkan muka diatasnya tergolong
syirik atau bid’ah (versi Wahabisme)? Entah siapa yang harus di-ikuti, fatwa
Muhammad bin Abdul Wahhab (pendiri Wahabisme) seorang khalaf (lawan Salaf) yang
melarang perbuatan itu, ataukah kita harus mencontoh apa yang dilakukan Bilal
dan Abu Ayyub al-Anshari, yang keduanya tergolong sahabat mulia Rasulallah?
Berkata al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Musa
an-Nukmani dalam karyanya yang berjudul ‘Mishbah adz-Dzolam’;
Sesungguhnya al-Hafidz Abu Said as-Sam’ani menyebutkan satu riwayat yang pernah
kami nukil darinya yang bermula dari Khalifah Ali bin Abi Thalib yang pernah
mengisahkan:
“Telah datang kepada kami seorang badui setelah tiga hari
kita mengebumikan Rasulullah. Kemudian ia menjatuhkan dirinya ke pusara
Rasulallah saw. dan membalurkan tanah (kuburan) di atas kepalanya seraya
berkata: ‘Wahai Rasulullah, engkau telah menyeru dan kami telah mendengar
seruanmu. Engkau telah mengingat Allah dan kami telah mengingatmu. Dan telah
turun ayat; ‘Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang
kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk
mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang’ (QS an-Nisa: 64), dan aku telah mendzalimi diriku sendiri. Dan
aku mendatangimu agar engkau memintakan ampun untukku. Kemudian terdengar
seruan dari dalam kubur: ‘Sesungguhnya Dia (Allah) telah mengampunimu’ ”.
(Kitab “Wafa’ al-Wafa’” karya as-Samhudi 2/1361)
Dari riwayat di atas menjelaskan bahwa; bertawassul
kepada Rasulullah pasca wafat beliau adalah hal yang legal dan tidak tergolong
syirik atau bid’ah. Bagaimana tidak? Sewaktu prilaku dan ungkapan
tawassul/istighotsah itu disampaikan oleh si Badui di pusara Rasul –dengan
memeluk dan melumuri kepalanya dengan tanah pusara– yang ditujukan kepada
Rasulallah yang sudah dikebumikan, hal itu berlangsung di hadapan Amirul
mukminin Ali bin Abi Thalib. Dan khalifah Ali sama sekali tidak menegurnya,
padahal beliau adalah salah satu sahabat terkemuka Rasulullah yang memiliki
keilmuan yang sangat tinggi dimana Rasulullah pernah bersabda berkaitan dengan
Ali bin Abi Thalib kw. sebagai berikut: ‘Ali bersama kebenaran dan kebenaran
bersama Ali’. (Kitab “Tarikh Baghdad” karya Khatib al-Baghdadi 14/321, dan
dengan kandungan yang sama bisa dilihat dalam kitab “Shohih at-Turmudzi”
2/298).
Dalam Kitab “Mustadrak as-Shohihain” karya
al-Hakim an-Naisaburi 3/124, ‘Ali bersama al-Qur’an dan al-Qur’an bersama
Ali, keduanya tidak akan pernah terpisah hingga hari kebangkitan’. Dalam Kitab
“Mustadrak as-Shohihain” 3/126, ‘Aku (Rasulallah saw.) adalah kota ilmu dan Ali
adalah pintu gerbangnya. Barangsiapa menghendaki (masuk) kota maka hendaknya
melalui pintu gerbangnya’. Dalam Kitab Mustadrak as-Shohihain” 3/122, ‘Engkau
(Ali) adalah penjelas kepada umatku tentang apa-apa yang mereka selisihkan
setelah (kematian)-ku’. Dan masih banyak lagi riwayat mengenai Khalifah
Ali kw.ini.
Jika tawassul/istighotsah terhadap orang yang telah wafat
adalah syirik, bid’ah, tidak legal/dibolehkan (ghair syar’i),
–sebagaimana yang di-isukan oleh kelompok golongan pengingkar– tidak
mungkin sayidina Ali bin Abi Thalib kw. yang menjadi saksi perbuatan
si Badui muslim akan berdiam diri yakni tidak melarangnya. Jika hal itu tidak
legal/dibolehkan (ghair syar’i) maka ada dua kemungkinan:
1.Khalifah Ali adalah sahabat yang tidak tahu apa-apa
(bodoh) tentang hukum Islam, terkhusus masalah larangan bertawassul kepada
orang yang telah wafat. Dimana dari ungkapan pada poin ini juga meniscayakan
bahwa, Rasulallah saw. telah berbohong kepada kita (umatnya), bahwa
ternyata sayidina Ali bukan pemilik keutamaan-keutamaan seperti
hadits-hadits di atas. Bagaimana mungkin orang yang tidak memiliki kemuliaan
semacam itu lantas direkomendasikan oleh Rasulallah saw. yang dijuluki al-Amin
(dipercaya) itu?
2- Hadits-hadits pujian Rasulallah terhadap
pribadi Ali kw. itu benar. Dan diamnya Imam Ali atas perbuatan si Badui
tadi membuktikan bahwa ber- tawassul/istighotsah terhadap orang yang dhahirnya
telah wafat itu adalah legal menurut syari’at Islam. Karena telah
dipahami bahwa khalifah Ali kw. sebagai pintu gerbang ilmu Rasulallah saw.,
yang selalu bersama kebenar an, selalu bersama al-Qur’an dan yang diberi mandat
Rasulallah saw. untuk menjelaskan hal-hal yang terjadi perbedaan pendapat di
kalangan kaum muslimin, setelah wafat Rasulallah saw.. Tentu, bagi seorang Ahlusunnah
wal Jama’ah sejati, pasti ia akan memilih kemungkinan yang kedua ini.
Karena kemungkinan yang pertama itu sangat berat resikonya didunia maupun di
akhirat, terkhusus bagi pengaku Ahlus sunnah wal Jama’ah. Kecuali jika kita
melakukan kesalahan sebagaimana apa yang sering dilakukan oleh kebanyakan ulama
Wahabi, mudah menvonis sebuah hadits yang tidak sesuai dengan doktrin akidahnya
dengan vonis hadits lemah (dho’if), tanpa melakukan
pengecekan secara detail terlebih dahulu.
Syeikh Abu Manshur As-Shabbagh dalam kitabnya Al-Hikayatul
Masyhurah mengemukakan kisah peristiwa yang diceriterakan oleh Al-‘Utbah
sebagai berikut:
“Pada suatu hari ketika aku (Al-‘Utbah) sedang duduk
bersimpuh dekat makam Rasulallah saw., tiba-tiba datanglah seorang Arab Badui.
Didepan makam beliau itu ia berkata: ‘As-Salamu’alaika ya Rasulallah. Aku
mengetahui bahwa Allah telah berfirman: Sesungguhnya jika mereka ketika
berbuat dhalim terhadap diri mereka sendiri segera datang kepadamu (hai
Muhammad), kemudian mohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan
ampun bagi mereka, tentulah mereka akan mendapati Allah Maha Penerima taubat
lagi Maha Penyayang (An-Nisa: 64). Sekarang aku datang kepadamu ya
Rasulallah, untuk mohon ampunan kepada Allah atas segala dosaku, dengan
syafa’atmu, ya Rasulallah..’. Setelah mengucapkan kata-kata itu ia lalu pergi.
Beberapa saat kemudian aku (Al-‘Utbah) terkantuk. Dalam keadaan setengah tidur
itu aku bermimpi melihat Rasulallah saw. berkata kepadaku : ‘Hai
‘Utbah, susullah segera orang Badui itu dan beritahukan kepadanya bahwa Allah
telah mengampuni dosa-dosanya’ ”.
Peristiwa diatas ini dikemukakan juga oleh Imam Nawawi
dalam kitabnya Al-Idhah bab 4 hal. 498. Dikemukakan juga oleh Ibnu
Katsir dalam Tafsir-nya mengenai ayat An-Nisa : 64. Para pakar
hadits lainnya yang mengetengahkan peristiwa Al-‘Utbah ini ialah:
Syeikh Abu Muhammad Ibnu Qaddamah dalam kitabnya Al-Mughny
jilid 3/556 ; Syeikh Abul Faraj Ibnu Qaddamah dalam kitabnya Asy-Syarhul-Kabir
jilid 3/495 ; Syeikh Manshur bin Yunus Al-Bahuty dalam kitabnya Kisyaful-Qina
(kitab ini sangat terkenal dikalangan madzhab Hanbali) jilid 5/30 dan Imam
Al-Qurthubi (Tafsir Al-Qurthubi jilid 5/265) yang mengemukakan peristiwa
semakna tapi kalimatnya agak berbeda.
Hadits-hadits diatas, jelas lelaki itu tawassul kepada
Rasulallah saw agar beliau saw. berdo’a kepada Allah swt. untuk orang itu.
Kalau ini bukan dikatakan sebagai dalil tawassul, mengapa orang tersebut tidak
langsung berdo’a kepada Allah swt. tanpa mohon kepada beliau saw. untuk
mendo’akannya ?
Ad-Darami meriwayatkan: “Penghuni Madinah mengalami
paceklik yang sangat parah. Mereka mengadu kepada Aisyah ra (ummul
Mukminin). Aisyah mengatakan: ‘Lihatlah pusara Nabi! Jadikanlah ia
(pusara) sebagai penghubung menuju langit sehingga tidak ada lagi penghalang
dengan langit’. Dia (perawi) mengatakan: Kemudian mereka (penduduk
Madinah) melakukannya, kemudian turunlah hujan yang banyak hingga tumbuhlah
rerumputan dan gemuklah onta-onta dipenuhi dengan lemak. Maka saat itu disebut
dengan tahun ‘al-fatq’ (sejahtera)”. (Lihat: Kitab “Sunan ad-Darami”
1/56)
Hadits serupa diatas, yang diriwayatkan secara
berangkai dari Abu Nu’man dari Sa’id bin Zaid, dari ‘Amr bin Malik Al-Bakri dan
dari Abul Jauza bin ‘Abdullah yang mengatakan sebagai berikut: “Ketika kota
Madinah dilanda musim gersang hebat, banyak kaum muslimin mengeluh kepada
isteri Rasulallah saw. ‘Aisyah ra. Kepada mereka ‘Aisyah berkata: ‘Datanglah
kemakam Nabi saw. dan bukalah atapnya agar antara makam beliau
dan langit tidak terhalang apapun juga’. Setelah mengerjakan saran ‘Aisyah
ra.itu turunlah hujan hingga rerumputan pun tumbuh dan unta-unta menjadi
gemuk”. (ini menggambarkan betapa banyaknya hujan yang turun hingga kota
Madinah menjadi subur kembali). (Kitab Sunan Ad-Daramy jilid 1/43)
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang
shohih dari Abu Salih as-Saman dari Malik ad-Dar –seorang bendahara Umar–. yang
berkata:
“Masyarakat mengalami paceklik pada zaman (kekhalifahan)
Umar. Lantas seseorang datang kemakam Nabi saw. seraya berkata: ‘Ya
Rasulullah mohonkan (kepada Allah swt) hujan untuk umatmu, karena mereka hendak
binasa’. Kemudian didalam tidur bermimpi datanglah seseorang dan berkata
kepadanya: ‘Datangilah Umar’! Saif juga meriwayatkan hal tersebut dalam kitab al-Futuh;
Sesungguhnya lelaki yang bermimpi tadi adalah Bilal bin al-Harits al-Muzni,
salah seorang sahabat. (Lihat: Kitab Fathul Bari 2/577).
Hadits lainnya yang semakna dengan hadits terakhir
diatas ini tentang tawassul pada Rasulallah saw. dimuka makam
beliau yaitu yang diketengahkan oleh Al-Hafidz Abubakar Al-Baihaqy.
Hadits itu diriwayatkan secara berangkai oleh para perawi: Abu Nashar, Ibnu
Qatadah dan Abubakar Al-Farisy dari Abu ‘Umar bin Mathar, dari Ibrahim bin ‘Ali
Adz-Dzihly, dari Yahya bin Yahya dari Abu Mu’awiyah, dari A’masy bin Abu Shalih
dan dari Malik bin Anas yang mengatakan sebagai berikut:
“Pada zaman Khalifah Umar Ibnul Khattab ra. terjadi musim
kemarau amat gersang. Seorang datang kemakam Rasulallah saw. kemudian
berkata: ‘Ya Rasulallah, mohon- kanlah hujan kepada Allah bagi ummat anda.
Mereka banyak yang telah binasa’. Pada malam harinya orang itu mimpi didatangi
Rasulallah saw. dan berkata kepadanya: ‘Datanglah engkau kepada ‘Umar dan
sampaikan salamku kepadanya. Beritahukan dia bahwa mereka akan memperoleh
hujan’. Katakan juga kepadanya: ‘Engkau harus bijaksana
...bijaksana’ ! Kemudian orang itu segera menyampaikan berita mimpinya kepada
Khalifah ‘Umar. Ketika itu ‘Umar berkata: ‘Ya Rabb (Ya Tuhanku), mereka mohon
pertolongan-Mu karena aku memang tidak dapat berbuat sesuatu’ “.
Hadits ini isnadnya shohih. Demikian juga yang
dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah Wan-Nihayah jilid 1/91
mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 18 H. Ibnu Abi Syaibah
juga mengetengahkan hadits itu dengan isnad shohih dari riwayat Abu Shalih
As-Saman yang berasal dari Malik ad-Dariy, seorang bendaharawan (Khazin) pada
zaman Khalifah Umar. Menurut Saif dalam kitabnya Al-Futuh orang yang
mimpi didatangi Rasulallah saw. itu ialah sahabat Nabi saw. yang bernama Bilal
bin Al-Harits Al-Muzny. Dalam kitab Fathul Bari jilid 11/415
Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits tersebut isnadnya shohih.
Para imam ahli hadits yang mengetengahkan hadits tersebut
dan para imam berikutnya yang mengutip hadits itu dalam berbagai kitab yang
mereka tulis, tidak ada seorangpun diantara mereka ini yang mengatakan
bahwa tawassul dengan makam Rasulallah saw. itu perbuatan kufur, sesat atau
syirik. Dan juga tidak ada diantara mereka itu yang mengatakan hadits
tersebut Palsu. Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalany sendiri turut
mengetengahkan dan membenarkan hadits tersebut. Mengenai kedalaman ilmu,
keutamaan perangai para imam yang mengetengahkan hadits tersebut telah dikenal
semua ulama tidak perlu keterangan yang lebih jauh. Hadits ini jelas sebagai dalil
tawassul kepada Rasulallah setelah wafatnya, sahabat Nabi saw. ini
bukan hanya berziarah saja kepada beliau saw., tapi sambil mohon kepada
Rasulallah saw. agar beliau saw. berdo’a kepada Ilahi untuk menurunkan hujan.
Riwayat-riwayat tadi juga menguatkan bahwa berapa di
kalangan sahabat Nabi kala itu sudah menjadi hal yang biasa jika seseorang
memiliki hajat untuk bertawassul, walaupun kepada Rasulullah yang secara dhahir
telah meninggal dunia.
Lantas apakah golongan madzhab Wahabi masih bersikeras
menyatakan bahwa Salaf Sholeh tidak pernah mencontohkan perbuatan
tersebut sesuai dengan pemahaman mereka terhadap ajaran syari’at Nabi? Sekali lagi pertanyaan yang muncul, apakah golongan
ini berani menyatakan para sahabat besar itu sebagai pelaku syirik atau bid’ah
karena telah bertawassul kepada yang telah wafat? Pertanyaan semacam ini
belum pernah ada jawaban yang memuaskan dari kalangan golongan pengingkar,
karena mereka akan berbenturan dengan pemuka Salaf Sholeh seperti
sahabat-sahabat besar yang telah kami sebutkan di atas, termasuk Ummul mukminin
Aisyah, istri Nabi sendiri.
– Tawassul
dengan hanya menyebut nama Rasulallah saw..
Al-Haitsam bin Khanas meriwayatkan kesaksiannya sendiri sebagai berikut:
“Ketika aku
datang kepada ‘Abdullah bin Umar ra.kulihat ada seorang yang menderita kejang
kaki (kaku hingga tidak dapat berjalan). ‘Abdullah bin Umar berkata kepadanya:
‘Sebutlah orang yang paling kau cintai‘! Orang yang kejang itu berseru: ‘Ya
Muhammad’ ! Saat itu juga aku melihat ia langsung dapat berjalan seperti orang
yang terlepas dari belenggu “.
– Imam Mujahid
meriwayatkan hadits dari Abdullah bin ‘Abbas sebagai berikut:
“Seorang yang
menderita penyakit kejang kaki datang kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas ra. Kepadanya
‘Abdullah bin ‘Abbas berkata: ‘Sebutlah orang yang paling kau cintai !’ Orang
itu lalu menyebut; ‘Muhammad saw’.! Seketika itu juga lenyaplah penyakitnya“.
Ibnu Taimiyyah juga mengetengahkan riwayat ini dalam kitabnya Al-Kalimut-Thayyib
bab 47 halaman 165.
Guna mengakhiri kajian kali ini, kita akan memberikan
satu contoh lagi dari riwayat (atsar) para sahabat berkaitan dengan
legalitas syariat Islam terhadap permasalahan istighotsah/tawassul, terkhusus
kepada pribadi yang dianggap telah wafat.
– Dalam sebuah riwayat panjang tentang kisah Utsman bin
Hunaif (salah seorang sahabat mulia Rasulallah saw.) yang disebutkan oleh at-Tabrani
dari Abi Umamah bin Sahal bin Hunaif yang bersumber dari pamannya, Utsman
bin Hunaif. Disebutkan bahwa, “Suatu saat seorang lelaki telah beberapa kali
mendatangi khalifah Utsman bin Affan agar memenuhi hajatnya. Saat itu, Utsman
tidak menanggapi kedatangannya dan tidak pula memperhatikan hajatnya. Kemudian
lelaki itu pergi dan ditengah jalan bertemu Utsman bin Hunaif dan mengeluhkan
hal yang dihadapinya kepadanya. Mendengar hal itu, lantas Utsman bin Hunaif
mengatakan kepadanya: ‘Ambillah bejana dan berwudhulah. Kemudian pergilah ke
masjid (Nabi) dan shalatlah dua rakaat’. Seusainya, maka katakanlah: ‘Ya
Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan mendatangi-Mu demi Nabi-Mu
Muhammad yang sebagai Nabi pembawa Rahmat. Wahai Muhammad, aku menghadapkan
wajahku kepadamu untuk memohon kepada Tuhanku. Maka kabulkan-lah
hajatku’ , kemudian sebutkanlah hajatmu. Beranjaklah maka aku akan
mengiringimu’.
Kemudian lelaki itu melakukan apa yang telah
diberitahukan kepadanya. Selang beberapa saat, lalu ia kembali mendatangi pintu
rumah Utsman (bin ‘Affan). Utsman pun mempersilahkannya masuk dan duduk di satu
kursi dengannya, seraya berkata: Apakah gerangan hajatmu? Kemudian ia
menyebutkan hajatnya, dan Utsman pun segera memenuhinya. Ia (Utsman) berkata
kepadanya: ‘Aku tidak ingat terhadap hajatmu melainkan baru beberapa saat yang
lalu saja’. Ia (Utsman bin Affan) pun kembali mengatakan: ‘Jika engkau memiliki
hajat maka sebutkanlah (kepadaku)’! Setelah itu, lelaki itu keluar meninggalkan
rumah Utsman bin Affan dan kembali bertemu Utsman bin Hunaif seraya berkata:
‘Semoga Allah membalas kebaikanmu’ ! Dia (Utsman bin Affan) awalnya tidak
melihat dan memperhatikan hajatku sehingga engkau telah berbicaranya
kepadanya tentangku.
Utsman bin Hunaif berkata: ‘Demi Allah, aku tidak pernah
berbicara tentang kamu kepadanya. Tetapi aku telah melihat Rasulullah saw.
didatangi dan dikeluhi oleh seorang yang terkena musibah penyakit kehilangan
kekuatan penglihatannya, kemudian Nabi bersabda kepadanya: ‘Bersabarlah’!
Lelaki itu menjawab: ‘Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki penggandeng dan itu
sangat menyulitkanku’. Nabi bersabda: ‘Ambillah bejana dan berwudhulah,
kemudian shalatlah dua rakaat, kemudian bacalah do’a-do’a berikut….’
(info: ini mengisyaratkan pada hadits tentang
sahabat yang mendatangi Rasulallah karena kehilangan penglihatannya, yang
diriwayatkan dalam kitab “Musnad Ahmad” 4/138, “Sunan at-Turmudzi” 5/569 hadits
ke-3578, “Sunan Ibnu Majah” 1/441 dan “Mustadrak as-Shohihain” 1/313) berkata
Ibnu Hunaif: Demi Allah, kami tidak akan meninggalkan [cara tawassul itu].
Percakapan itu begitu panjang sehingga datanglah seorang lelaki yang seakan dia
tidak mengidap satu penyakit”. (Lihat: Kitab “Mu’jam at-Tabrani” 9/30 nomer
8311, “al-Mu’jam as-Shoghir” 1/183, dikatakan hadits ini sahih)
– Al-Mundziri
(At-Targhib jilid 1/44 dan Majma’uz Zawaid jilid 11/279) mengatakan hadits
diatas ini shahih begitupun juga Ibnu Taimiyyah yang mengatakan bahwa hadits
yang diriwayatkan At-Thabarani diatas ini berasal dari Abu Ja’far yang nama
aslinya Umar bin Yazid, seorang perawi hadits yang dapat dipercaya. Abu
Abdullah al-Maqdisi mengatakan bahwa hadits itu shahih. Juga Al-Hafidz Nuruddin
Al-Haitsami membenarkan hadits itu.
Lihat hadits
diatas ini contoh yang cukup jelas seorang yang diajari oleh Ustman bin
Hunaif agar urusannya dimudahkan oleh Allah swt. dengan berdo'a dan
tawassul kepada Rasulallah saw. sambil menyertakan dalam do’anya itu nama
Rasulallah saw. dan memanggil beliau saw. Pada waktu itu tidak ada satupun
sahabat yang memprotes. Bila hal tersebut dilarang/diharamkan dalam agama Islam
atau berbau syirik maka tidak mungkin akan di amalkan oleh sahabat Nabi Utsman
bin Hunaif ini.
Utsman bin
Hunaif ra. pernah menyaksikan sendiri peristiwa seorang buta yang mengeluh pada
Rasulallah saw. (baca haditsnya pada keterangan sebelumnya), kemudian
Rasulallah saw. menyuruh seorang tuna netra untuk wudu' dan sholat dua raka'at.
Setelah sholat seorang buta itu berdo'a pada Allah swt. sambil menyertakan nama
Nabi saw. dalam do'anya itu. Bila hal ini berbau syirik tidak mungkin Rasulallah
saw. memerintahkan atau mengajari orang ini untuk berdo'a sambil
tawassul dengan nama beliau. Beliau saw. adalah contoh dari ummatnya semua
perbuatan yang beliau lakukan bakal ada ummatnya yang meniru dan beliau saw.
tidak akan dan tidak pernah menyuruh ummatnya untuk melakukan sesuatu yang keluar
dari akidah syariat Islam dan berbau kesyirikan !!
Sedangkan hadits yang terakhir
diatas Utsman bin Hunaif atas prakarsanya sendiri mengamalkan
cara berdo’a yang diajarkan Rasulallah saw. pada orang buta tersebut. Peristiwa
terakhir ini terjadi setelah wafat Rasulallah saw. pada zamannya khalifah
ketiga.
Utsman bin Hunaif ra memahami ajaran Rasulallah saw.yang
mengajarkan diperbolehkannya tawassul kepada beliau saw. pada masa hidupnya
namun ia juga terapkan pada setelah kematian beliau saw.. Apakah pemahaman
sahabat Utsman bin Hunaif itu tidak bisa dibenarkan? Sebodoh itukah sahabat
Utsman bin Hunaif yang menerapkan hadits Rasulallah tentang tawassul kepada
yang masih hidup dengan legalitas tawassul kepada yang wafat? Jika ada
pengikut sekte Wahabi yang berani menyatakan bahwa sahabat Utsman bin Hunaif
adalah bodoh maka jangan segan-segan juga untuk menyatakan bahwa khalifah Ali
bin Abi Thalib dan Ummul-mukminin ‘Aisyah pun bodoh, sebagaimana banyak sahabat
lainnya. Kenapa tidak?
Bukankah mereka semua membenarkan ajaran tawassul/
istighotsah kepada Rasulallah saw. yang telah wafat ? Atau selama ini pemahaman
madzhab Salafi (baca:Wahabi) yang salah ?, bahwa Nabi tidak ‘wafat’, dhahirnya
saja ‘wafat’, tetapi ruh beliau saw. selalu hidup dan mendengar setiap
permintaan yang diajukan umatnya kepada beliau, sebagai sarana (wasilah)
menuju kepada Allah swt.
Hadits-hadits tadi dan masih banyak hadits tawassul
yang tidak dikemukakan disini, semuanya jelas mengarah kebolehan atau
legalitas dari tawassul. Karena kefanatikan dan keangkuhan kepada madzhabnya,
golongan pengingkar selalu berusaha menolak dan memutar balik makna
hadits-hadits yang berlawanan dengan paham akidahnya. Padahal, riwayat sahabat
Utsman bin Hunaif –yang menjadi kepercayaan sahabat Ali dan Umar (Lihat: Kitab
“Siar A’lam an-Nubala’” 2/320) sebegitu jelasnya, sebagaimana keberadaan
matahari di siang hari yang cerah. Namun, bagaimana pun, kebenaran harus
disampaikan, karena tugas kita hanyalah menyampaikan.
Sebagaimana
yang telah kami kemukakan bahwa para ulama telah menulis mengenai
bertawassulnya Nabi Adam as. kepada Rasulallah saw. umpama; di dalam kitab
Mustadrak al-Hakim, jilid 2, halaman 15; kitab ad-Durr al-Mantsur, jilid 1,
halaman 59; dengan menukil dari Thabrani, Abu Na'im al-Ishfahani. Demikian juga
hadits tentang bertawassulnya Rasulallah saw. dengan hak-hak para nabi
sebelumnya. Sebagaimana juga Thabrani meriwayatkannya didalam kitabnya al-Kabir
dan al-Awsath. Begitu juga Ibnu Hibban dan al-Hakim, mereka berdua menshohihkannya.
Selanjutnya, hadits bertawassul kepada orang-orang yang berdo’a, terdapat juga
didalam shohih Ibnu Majjah, jilid 1, halaman 261, bab al-Masajid; dan begitu
juga di dalam musnad Ahmad, jilid 3, halaman 21. Demikian juga dengan
riwayat-riwayat yang lain.
Disamping itu,
sesuatu yang menunjukkan diperbolehkannya tawassul/ istighotsah ialah, ijma’
kaum muslimin, dan begitu juga sejarah hidup orang-orang yang sezaman
dengan Rasulallah saw. Kaum muslimin, sejak dahulu hingga sekarang, mereka
bertawassul kepada para nabi dan orang-orang sholeh. Tidak ada seorang ulama
pun yang memprotes dan mengharamkan, mensyirikkan perbuatan ini, kecuali
golongan Wahabi/Salafi dan pengikutnya
Begitupun juga
soal minta syafa’at kepada Nabi atau kepada para waliyullah atau kepada orang
shaleh yang telah wafat. Namun kita tidak boleh mempunyai keyakinan bahwa Nabi,
para waliyullah dan orang-orang shalih yang telah wafat tersebut dapat memberi
syafa’at tanpa seizin Allah swt. Kaum muslimin juga percaya bahwa yang mohon
syafa’at itu adalah ‘upaya/ iktisab’ sedangkan yang diminta syafa’at adalah ‘washithah’,
tidak lebih dari itu !!
Allah swt.
menetapkan bahwa Ka’bah sebagai arah kiblat kita dalam menunaikan sholat. Ini
bukan berarti kita disuruh atau menyembah Ka’bah tersebut, tapi tidak lain kita
hanya menghormati/ta’dzim pada Ka’bah itu, karena sebagai pusaka suci
peninggalan Bapak para Nabi yaitu Nabi Ibrahim a.s. dan sebagai bangunan
pertama yang didiri kan manusia dibumi sebagai tempat beribadah kepada Allah
swt. Bila ada seorang muslim yang berkeyakinan bahwa dia beribadah demi Ka’bah
karena ruku’ dan sujud menghadap kearahnya atau mencium dan mengusap Hajar
Aswad sebagai ibadah/penyembahan, maka hancurlah keimanan dan
keislaman-nya. Begitu juga sama halnya dengan tawassul, kita berdo’a kepada
Allah swt. bukan menyekutukan-Nya atau menyembah kepada hamba Allah yang kita
tawassuli tersebut !
Segala sesuatu
dalam kehidupan ini mempunyai wasithah. Rasulallah saw. menerima wahyu juga
melalui wasithah yaitu malaikat Jibril as. Banyak hadits yang meriwayatkan
bahwa para sahabat sering mengadukan duka deritanya pada beliau saw. dan mohon
dido’akan oleh beliau agar memperoleh kebaikan dan keselamatan di dunia dan
akhirat. Dengan demikian beliau sendiri juga merupakan wasithah bagi para
sahabatnya. Beliau saw. tidak pernah bersabda pada sahabatnya jangan mengadukan
nasibmu padaku, atau kalian berbuat kufur atau syirik karena minta padaku tidak
langsung pada Allah swt., dan sebagainya. Para sahabat mengetahui pula bahwa
apa yang diberikan Rasulallah saw. pada hakekatnya adalah seizin Allah dan atas
limpahan karunia-Nya kepada beliau saw. Sebagaimana sabda beliau saw.:
وإنّما أنا قا سمٌ واللهُ مُعطي
“Aku hanyalah
membagikan, Allah-lah yang memberi”.
Dalam kehidupan
sehari-hari kita sering juga mendengar dari saudara-saudara kita yang berkata;
Si A Penolong si B atau kebutuhan si A dicukupi oleh si B dan sebagai nya.
Padahal kita tahu bahwa yang menolong dan mencukupi kebutuhan semua makhluk
adalah Allah swt. Minta pertolongan pada orang lain ini tidak dipandang sebagai
perbuatan syirik karena didalamnya tidak terdapat unsur mempertuhankan orang
yang dimintai pertolongan tersebut.
Tawassul itu
merupakan salah satu cara berdo’a dan juga merupakan satu cara menghadapkan
diri kepada Allah swt., sedangkan yang menjadi tujuan pokok hakiki/ sebenarnya
adalah Allah swt. Pihak yang kita tawassuli sudah tentu orang yang dicintai
oleh orang yang bertawassul padanya, dengan mempunyai keyakinan pula bahwa
Allah swt. cinta pada pihak yang dijadikan wasilah. Jika tidak demikian, tidak
mungkin orang akan bertawassul padanya. Bertawassul/berwasilah ini bukan suatu
kelaziman atau keharusan hanya sarana yang bermanfaat, dikabulkan atau tidaknya
wasilah ini sepenuhnya ditangan Allah swt. Karena semua do’a itu adalah mutlak
tertuju kepada Allah swt.
Sebagaimana
yang telah kami kemukakan bahwa segenap kaum muslimin telah bersepakat cara
berwasilah dengan amal kebaikan, umpama orang yang berpuasa, shalat, membaca
Al-Qur’an, bersedekah dan lain sebagai nya tidak lain ia bertawassul dengan
amal kebaikan tersebut, bahkan ke mungkinan terkabul permohonan/ do’anya kepada
Allah swt. lebih dapat di harapkan. Tawassul dengan cara ini dengan amal
kebaikan telah di sepakati kebenarannya oleh para ulama, termasuk
Ibnu Taimiyah dalam risalahnya ‘Qa’idah Jalilah Fit Tawassul Wal Wasilah’,
karena ada hadits Rasulallah saw. dari Abdullah bin Umar yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhori dan Imam Muslim yang menceriterakan tentang tiga orang yang
tersekap di dalam goa hingga tidak bisa keluar. Masing-masing berdo’a pada
Allah swt. dengan tawassul pada amal kebaikannya (yang telah pernah mereka
amalkan) sendiri-sendiri. Orang pertama bertawassul dengan amal baktinya pada
orang tua. Orang kedua bertawassul dengan amal shalihnya dan menjauhkan diri
dari maksiat, sedangkan orang yang ketiga bertawassul dengan amal menjaga
amanat dan menunaikannya dengan baik. Terbukti dengan tawassul secara begitu
do’a mereka dikabulkan oleh Allah swt. akhirnya mereka bisa keluar dari goa
tersebut.
Sedangkan letak
perberdaan pendapat para ulama yaitu bila bertawassul tidak dengan amal
kebaikannya tapi tawassul dengan pribadi orang lain seperti riwayat-riwayat
yang telah disebutkan sebelumnya. Sebenarnya pendapat-pendapat dalam hal ini
hanya mengenai bentuknya saja, bukan mengenai inti/pokok persoalannya. Sebab,
pada hakekatnya bertawassul dengan pribadi seseorang sama artinya dengan
tawassul dengan amal kebaikan pribadi yang ditawassuli itu. Karena pribadi
orang yang ditawassuli tersebut adalah pribadinya yang diyakini amal
kebaikannya. Memisahkan antara keduanya sama halnya memisahkan dua hal
yang memiliki relasi erat, bahkan sampai pada derajat hubungan sebab-akibat.
Karena, pengkabulan do’a manusia sholeh oleh Allah swt. disebabkan karena
kepribadiannya yang luhur, dan kepribadian luhur itulah yang menyebabkan
kedudukan mereka diangkat oleh Allah swt..
9.12.Pengertian
Tawassul Menurut Ibnu Taimiyyah:
Pengertian tawassul Ibnu Taimiyah
telah kami singgung sebelumnya, Ibnu Taimiyyah disalah satu kitabnya Qa’idah
Jalilah Fit-Tawassul Wal-Washilah dalam pembicaraannya mengenai tafsir ayat
Al-Qur’an Al-Maidah: 35 menulis: ‘Hai orang-orang yang beriman, hendaklah
kalian bertakwa kepada Allah dan carilah washilah….’ antara lain mengatakan:
“Mencari washilah atau bertawassul
untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. hanya dapat dilakukan oleh orang yang
beriman kepada Muhammad Rasulallah saw. dan mengikuti tuntunan agamanya.
Tawassul dengan beriman dan taat kepada beliau saw. adalah wajib bagi setiap
orang, lahir dan bathin, baik dikala beliau masih hidup maupun setelah wafat,
baik langsung dihadapan beliau sendiri atau pun tidak. Bagi setiap muslim,
tawassul dengan iman dan taat kepada Rasulallah saw. adalah suatu hal yang
tidak mungkin dapat ditinggalkan. Untuk memperoleh keridhoan Allah dan
keselamatan dari murka-Nya tidak ada jalan lain kecuali tawassul dengan beriman
dan taat kepada Rasul-Nya. Sebab, beliaulah penolong (Syafi’) ummat manusia.
Beliau saw. adalah makhluk Allah
termulia yang dihormati dan diagungkan oleh manusia-manusia terdahulu maupun
generasi-generasi berikutnya hingga hari kiamat kelak. Diantara para Nabi dan
Rasul yang menjadi penolong ummatnya masing-masing. Muhammad Rasulallah saw.
adalah penolong (Syafi’) yang paling besar dan tinggi nilainya dan paling mulia
dalam pandangan Allah swt. Mengenai Nabi Musa as. Allah swt. berfirman, bahwa
Ia mulia disisi Allah. Mengenai Nabi Isa a.s. Allah swt. juga berfirman bahwa
Ia mulia didunia dan diakhirat, namun dalam firman-firman-Nya yang lain
menegaskan bahwa Muhammad Rasulallah saw. lebih mulia dari semua Nabi dan
Rasul. Syafa’at dan do’a beliau pada hari kiamat hanya bermanfaat bagi orang
yang bertawassul dengan iman dan taat kepada beliau saw. Demikianlah pandangan
Ibnu Taimiyyah mengenai tawassul.
Dalam kitabnya Al-Fatawil-Kubra
I :140 Ibnu Taimiyyah menjawab atas pertanyaan: Apakah tawassul dengan
Nabi Muhammad saw. diperbolehkan atau tidak? Ia menjawab: “Alhamdulillah
mengenai tawassul dengan mengimani, mencintai, mentaati Rasulallah saw. dan
lain sebagainya adalah amal perbuatan orang yang bersangkutan itu sendiri,
sebagaimana yang di perintahkan Allah kepada segenap manusia. Tawassul
sedemikian itu dibenarkan oleh syara’ dan dalam hal itu seluruh kaum muslimin
sepen- dapat.” Dari perkataan Ibnu Taimiyyah diatas kita dapat diambil dua
pengertian:
a). Seorang Muslim yang taat,
mencintai dan mengikuti tuntunan Rasulallah saw. serta mempercayai syafa’at
beliau, dapat dibenarkan kalau ia bertawassul dengan ketaatannya, kecintaannya
dan kepatuhannya mengikuti tuntunan beliau saw. Kita bertawassul dengan Nabi
kita Muhammad saw. dibawah kesaksian Allah swt., bahwa tawassul kita itu
benar-benar atas dasar keimanan dan kecintaan kita kepada beliau saw. Tambah
lagi dengan keyakinan kita bahwa beliau saw. adalah seorang Nabi dan Rasul yang
sangat mulia dan amat tinggi martabatnya dalam pandangan Allah swt.
Itulah yang melandasi tawassul kita
dengan beliau saw. dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah swt.. Tidak ada
seorang pun dikalangan kaum muslimin yang dalam bertawassul dengan Nabi saw.
tidak dengan didasari pengertian seperti itu atau pengertian-pengertian lain yang
tidak semestinya. Hanya saja, ada yang dalam bertawassul mengucapkan pengertian
itu dengan lisan, ada pula tidak. Namun dapat dipastikan semuanya tidak
mempunyai pengertia selain itu.
b)
Ibnu Taimiyyah mengatakan, bahwa barang siapa yang dido’akan
oleh Rasulallah saw. ia dapat bertawassul dengan do’a beliau. Mengenai itu kita
mempunyai keyakinan, bahwa Rasulallah saw. senantiasa mendo’akan ummatnya. Hal
ini kita ketahui dari berbagai hadits, antara lain yang di riwayatkan oleh
‘Aisyah ra.: “Aku tahu benar bahwa Rasulallah saw. orang yang baik hati, karena
itu aku berani berkata kepada beliau: ‘Ya Rasulallah, berdo’alah untukku’.
Kemudian beliau berdo’a; ‘Ya Allah, limpahkanlah ampunan-Mu bagi ‘Aisyah atas
segala dosanya dimasa lalu dan dimasa mendatang, yang diperbuat secara
diam-diam maupun secara terang-terangan’. Aisyah ra tertawa. Kepadanya
Rasulallah saw. bertanya: ‘Apakah engkau gembira mendengar do’aku? Ia menjawab:
‘Bagaimana aku tidak gembira karena do’a anda’? Rasulallah saw. kemudian menegaskan:
‘Itulah do’a bagi ummatku yang kuucapkan setiap sholat’ ”. (Hadits ini
dikemukakan oleh Al-Bazar dengan para perawi hadits shohih, dan Ahmad bin
Manshur Ar-Ramadiy sebagai orang yang dapat dipercaya, demikianlah menurut
kitab Majma’uz-Zawa’id).
Karena itu setiap muslim boleh
bertawassul dengan Nabi Muhammad saw. dalam memanjatkan do’a kepada Allah swt.
Misalnya dengan mengucapkan: “Ya Allah, Nabi dan Rasul-Mu Muhammad saw.
telah berdo’a bagi ummat nya, dan aku ini seorang dari ummat beliau. Dengan
do’a beliau aku bertawassul mohon kepada-Mu, ya Allah, agar diampuni segala
dosa dan kesalahanku dan dikarunia rahmat-Mu….” dan seterusnya menurut apa yang
di inginkan. Iapun boleh menyingkat do’a yang diucapkannya itu cukup dengan
menyebut: “Ya Allah kupanjatkan do’a kepadamu dengan bertawassul pada Nabi dan
Rasul-Mu, Muhammad saw….dan seterusnya”. Dengan kalimat singkat ini ia telah
mengungkapkan isi hatinya sesuai dengan kalimat dalam do’a yang panjang
sebelumnya. Dengan berdo’a seperti diatas ini tidak menyalahi ketentuan yang
telah disepakati oleh para ulama Islam!!
9.13.Muhammad Ibnu Abdul Wahhab Imamnya Madzhab Wahabi,Salafi tidak Mengingkari Tawassul
?
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab adalah
orang yang sering menolak atau mengharamkan tawassul, tetapi anehnya atas
pertanyaan yang diajukan kepadanya, menjawabnya dalam kitab Al-Istifta:
“Tidak ada salahnya orang
bertawassul kepada orang-orang sholeh”. Lebih lanjut dia mengatakan, ‘bahwa
pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang memperbolehkan tawassul khusus kepada Nabi
Muhammad saw. saja, berlainan sekali dengan pendapat sementara orang yang tidak
memperbolehkan minta pertolongan kepada sesama makhluk’.
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab
berpendapat, bahwa persoalan tersebut adalah persoalan Fiqh. Ia mengatakan:
‘Banyak ulama yang tidak menyukai hal itu (tawassul). Kalau kami sependapat
dengan jumhurul-ulama yang memandang tawassul itu makruh,
tidaklah berarti bahwa kami mengingkari atau melarang orang bertawassul. Kami
pun tidak mempersalahkan orang yang melakukan ijtihad mengenai soal itu. Yang
kami ingkari dan tidak dapat kami benarkan ialah orang yang lebih banyak minta
(berdo’a) kepada sesama makhluk daripada mohon kepada Allah swt. Yang kami
maksud ialah orang yang minta-minta kepada kuburan, seperti kuburan Syeikh
Abdul Kadir Al-Jailani dan lain-lain. Kepada kuburan-kuburan itu mereka minta
supaya diselamatkan dari bahaya, minta supaya dipenuhi keinginannya dan lain
sebagainya’ “.
Demikianlah antara lain yang
dikatakan oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dalam Majmu’atul-Muallafat bagian 111
halaman 68, yang diterbitkan oleh ‘Universitas Islam Imam Muhammad bin Sa’ud’
dalam pekan peringatan Muhammad Ibnu ‘Abdul-Wahhab.
Dengan demikian Muhammad Ibnul
Wahhab melihat bahwa tawassul adalah sesuatu yang makruh menurut
jumhur ulama’ dan tidak sampai menuju pada tingkatan haram ataupun bidah bahkan
musyrik.
Sedangkan dalam surat yang
dikirimkan oleh Syekh Abdul Wahab kepada warga qushim bahwa beliau menghukumi
kafir terhadap orang yang bertawassul kepada orang-orang sholeh, dan menghukumi
kafir terhadap Al-Bushoiri (pengarang kitab Burdah) atas kalimat YA
AKROMAL KHOLQ dan membakar kitab dalailul khoirot. Maka
beliau membantah sebagai berikut : “ Maha suci Engkau, ini adalah
kebohongan besar. Dan ini diperkuat dengan surat beliau yang dikirimkan kepada
warga majma’ah (surat pertama dan kelima belas dari kumpulan surat-surat syekh
Abdul Wahab hal 12 dan 64, atau kumpulan fatwa syekh Abdul Wahab yang
diterbitkan oleh Universitas Muhammad Bin Suud Riyad bagian ketiga hal. 68).
Demikianlah Syeikh Abdul Wahhab.
Lepas dari itu semua, dengan adanya riwayat-riwayat baik
dari Firman Allah swt., Sunnah Rasulallah saw. maupun wejangan para ulama yaitu
mengenai tawassulnya Nabi Adam as. dan hamba Allah lainnya kepada Rasulallah
saw. baik beliau saw. masih hidup maupun telah wafat, kita tidak perlu
mempersoalkan apakah kisah ini benar atau tidak benar, shohih
atau dho’if, namun kenyataan membuktikan bahwa para ulama telah
yang telah dikemukakan tadi mencantumkan kisah ini dalam kitab-kitab mereka.
Mungkinkah para ulama –yang sudah dikenal ketakwaan dan ilmu mereka ini–
mencantumkan sesuatu yang berbau kekufuran dan kesesatan atau kesyirikan?
Atau
mungkinkah mereka ini mengarang-ngarang seenaknya sendiri tidak mempunyai
rujukan dalil dari sunnah Rasulallah saw.? Apakah mereka ini telah dituduh mempropagandakan penyembahan kepada
hamba Allah atau kepada kuburan dan lain sebagainya? Apakah semua riwayat
tawassul itu semuanya palsu, dikarang-karang oleh para perawinya? Dengan satu
dalil/riwayat yang shohih saja, sudah cukup sebagai dalil diperbolehkannya
tawassul itu apalagi dengan banyaknya riwayat tentang masalah tersebut.
Renungkanlah !
Kami tambahkan
,berikut ini, dalil-dalil bahwa sekalipun Rasulallah saw. telah wafat
namun ketinggian martabatnya, kemuliaan kedudukannya dan segala keutamaannya
masih tetap disisi Allah swt. Dan pujian-pujian, tawassul serta salam pada
beliau saw. selalu sampai kepadanya. Tidak lain semua itu dalam usaha
mendekatkan diri pada Allah swt. pada hakekatnya berdasarkan keyakinan akan
kebenaran ayat-ayat Allah dan Sunnah Nabi saw.
Hadits
yang dikemukakan oleh Al-Hafidz Ismail Al-Qadhi dalam kitabnya tentang shalawat
kepada Nabi Muhammad saw. dan Al-Haitsami dalam Majma'uz Zawa'id dan
menilainya sebagai hadits shohih sebagai berikut:
....
حياتي خيرُ لكُم فاذا أنامتُّ كانت وفاتى خيرًا لكُم تُعرضُ علىّ
أعمالكُم فان رأيتُ خيرًا حمدتُ الله وأن رأيتُ شرًّا استغفرتُ
لكُم
“Hidupku
didunia ini baik untuk kalian. Bila aku telah wafat, maka wafatku pun baik bagi
kalian. Amal perbuatan kalian akan diperlihatkan kepadaku. Jika aku melihat sesuatu
baik, kupanjatkan puji syukur kehadirat Allah, dan jika aku melihat sesuatu
yang buruk aku mohon kan ampunan kepada-Nya bagi kalian”.
Hadits ini
telah kami kemukakan dan jelaskan dalam bab 5 Ziarah Kubur...
diwebsite ini.
Juga sabda beliau saw. yang
diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah ra :
ما من احدٍ يُسلّمُ عليّ إلاّ ردّ اللهُ عليّ رُوحي حتّى أرُدّ
عليه السّلامُ.
“Setiap salam
yang disampaikan kepadaku oleh seseorang, Allah akan menyampaikan kepada ruhku
agar aku menjawab salam itu”.(HR.Imam Ahmad
bin Hambal dan Abu Dawud). Imam Nawawi mengatakan hadits ini isnadnya shohih.
‘Ammar bin Yasir ra meriwayatkan,
bahwasanya Rasulallah saw bersabda:
قال رسُولُ الله.ص.
انّ الله وكّل بقبرى ملكاً أعطاهُ اللهُ أسماء الخلآئق، فلآ يُصلّى علىّ احدٌ ألى يوم القيامة ألآّ أبلغنى باسمه واسم أبيه، هذا فُلآنُ ابنُ فُلآنٍ قد صلّى عليك
“Allah mewakilkan Malaikat didalam kuburku.
Kepadanya Allah memberikan nama-nama seluruh umat manusia. Karena itu hingga
hari kiamat kelak setiap orang yang mengucapkan shalawat kepadaku pasti akan
disampaikan oleh Malaikat itu nama dan nama ayahnya: si Fulan bin si
Fulan telah mengucapkan shalawat kepada anda”. (Hadits ini
diriwayatkan oleh Al-Bazar. Dalam riwayat Abu Syaikh Ibnu Hibban disampaikan
dalam kalimat agak berbeda tetapi sama maknanya, sebagaimana yang diriwayatkan
oleh At-Thabarani dan lain-lain.)
Dari semua hadits tersebut jelas buat kita
bahwa Rasulallah saw. dialam barzakh senantiasa menjawab setiap salam yang
disampaikan oleh ummatnya kepada beliau saw. Salam artinya keselamatan, dengan
demikian terang lah bahwa Rasulallah saw. selalu berdo'a keselamatan dan
ampunan untuk ummatnya.
Ibnu
Taimiyyah sendiri dalam beberapa kitabnya menegaskan bahwa ber tawassul dengan
Nabi Muhammad saw. diperbolehkan. Beliau tidak membeda-bedakan apakah
tawassul itu dilakukan orang selagi Rasulallah saw. masih hidup, setelah wafat,
dihadapan beliau sendiri ataupun diluar pengetahuan beliau saw. Pendapat Imam
Ahmad bin Hanbal dan Al 'Izzu bin 'Abdussalam yang memperbolehkan orang
bertawassul pun diketengahkan juga oleh Ibnu Taimiyyah didalam kitab Al-Fatawil-Kubra.
Ibnu Taimiyyah juga mengatakan, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal dalam risalah
yang ditulisnya kepada Al-Maruzy berkata: Bahwa ia dalam berdo'a
kepada Allah swt. bertawassul dengan Rasulallah saw.
Apakah golongan pengingkar ini tidak siap
untuk mengambil pengajaran dari sebagian Al-Qur’an dan Sunnah karena berlawanan
secara langsung dengan keyakinan literalisme mereka?, sehingga ulama-ulama mereka berusaha sebisa mungkin menyembunyikan firman
Allah dan hadits-hadits agar orang-orang tetap tidak mengetahui
riwayat-riwayat yang telah di kemukakan tadi. Golongan pengingkar ini juga
berusaha meyakinkan dirinya bahwa hanya Allah sajalah yang bisa diminta secara
langsung, dan telah Syirik jika berkeyakinan bahwa Allah mempunyai
beberapa perantara antara Dia dan mahlukNya !
Kami juga ingin bertanya lagisetelah adanya
keterangan riwayat-riwayat dan wejangan para ulama pakar dibuku ini pada
golongan pengingkar tawassul/ tabarruk ini:
‘Apakah Rasulallah saw. dan para sahabatnya yang menjalankan tawassul dan
tabarruk tidak mengerti makna nash Al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh mereka untuk melarang serta mensyirikkan tawassul,
tabarruk yang tercantum dilembaran buku ini ? Apakah mungkin para ulama
pakar yang sudah dikenal pribadi mereka sendiri mencantumkan riwayat-riwayat
yang berbau kesyirikan, kekufuran, dan penyembahan kepada
hamba Allah swt.? Apakah semua riwayat yang cukup jelas diperbolehkannya
tawassul dan tabarruk itu, bukan dianggap sebagai dalil tawassul/tabarruk, karena
berlawanan dengan pahamnya? Wallahua'lam.
Begitu pun juga halnya dengan permintaan tolong kepada hamba Allah,
tidak langsung kepada Allah swt., itu adalah mustahab. Sebagaimana yang telah
kami kemukakan bahwa Allah swt. berfirman:
“Jika kamu berdua bertobat kepada
Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima
kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka
sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan
orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya
pula”. (Q.S. 66:4)
Apakah kita benar-benar menyekutukan sesuatu
kepada Allah ketika kita percaya bahwa Jibril as, orang beriman dan para
malaikat yang juga bisa sebagai Maula (pelindung) kita dan Naseer (Penolong)
bersama-sama dengan Allah ?
Jika kita tetap memakai pengertian Syirik
sebagaimana pendapat golongan pengingkar maka kita secara otomatis telah
membuat Allah sendiri Musyrik (Na‘udzubillah) dan begitu pula dengan
orang-orang yang percaya terhadap seluruh ayat Al-Quran. Dan masih banyak
firman Allah swt. yang mengatakan selain Dia ada hamba-hamba-Nya yang bisa
menolong.
Sedangkan dalam hadits-hadits Rasulallah saw
,berikut ini, yang berkaitan dengan tolong menolong antara hamba Allah swt.
adalah:
Rasulallah saw bersabda:
واللهُ فى عون
العبد ماكان العبدُ فى عون أخيه
Artinya: Allah
menolong hamba-Nya selagi hamba itu mau menolong saudaranya.
Juga sabda
Rasulallah saw:
إنّ للّه خلـقًا
خلقهُم لحوائج النّاس يفزعُ النّاسُ
إليهم في حوائجهم واُولائـك
الآمنُون من عذاب الله
Artinya: “Allah
mempunyai makhluk yang diciptakan untuk keperluan orang banyak. Kepada mereka
itu banyak orang yang minta pertolongan untuk memenuhi kebutuhannya. Mereka
adalah orang-orang yang selamat dari siksa Allah”.
– Sebuah
riwayat dari ‘Abdullah bin Abbas ra. mengatakan bahwa Rasulallah saw. bersabda:
“Banyak Malaikat Allah dimuka bumi selain yang bertugas mengawasi amal
perbuatan manusia. Mereka mencatat setiap lembar daun yang jatuh dari
batangnya. Karena itu jika seorang diantara kalian tersesat ditengah sahara
(atau tempat lainnya), hendaklah ia berseru: ‘Hai para hamba Allah tolonglah
aku’ “. (HR.At-Thabrani dengan para perawi yang terpercaya).
– ‘Abdullah
bin Mas’ud ra meriwayatkan, bahwa Rasulallah saw. pernah bersabda:
“Jika seorang
diantara kalian ternak piaraannya terlepas ditengah sahara, hendaklah ia
berseru: ’Hai para hamba Allah, tahanlah ternakku…hai para hamba Allah tahanlah
ternakku’. Karena sesungguhnya Allah mempunyai makhluk (selain manusia) dimuka
bumi yang siap memberi pertolongan”. (HR. Abu Ya’la dan At-Thabarani dengan
perawi-perawi yang dapat dipercaya, kecuali satu orang yang dipandang lemah
yaitu Ma’ruf bin Hasan). Imam Nuruddin ‘Ali bin Abubakar Al-Haitsami juga
mengetengahkan riwayat ini dalam Majma’uz-Zawaid Wa Manba’ul-Fuwa’id
jilid X/132.
– ‘Utbah
bin Ghazwan mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulallah saw. bersabda:
“Jika seorang
dari kalian kehilangan sesuatu atau ia membutuhkan bantuan, saat ia berada
didaerah dimana ia tidak mempunyai kenalan, maka ucapkanlah; ’Hai para hamba
Allah, tolonglah aku’, karena sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba
(makhluk-makhluk ciptaan-Nya selain manusia) yang tidak kita lihat”. Dan ‘Utbah
sendiri telah mencoba melaksanakan anjuran Rasulallah saw. ini !
Riwayat ini
diketengahkan oleh At-Thabarani dengan para perawi yang dapat dipercaya,
kecuali Yazid bin ‘Ali yang oleh At-Thabarani di pandang lemah, karena Yazid
ini tidak hidup sezaman dengan ‘Utbah. Dan masih banyak lagi riwayat-riwayat
lain yang tidak kami cantumkan disini.
Hadits-hadits
diatas ini juga membuktikan permintaan tolong kepada hamba Allah yang
tidak kelihatan (ghoib) juga mustahab.
Jadi sekali
lagi permintaan tolong/istighotsah itu bukan berarti berbuat ke kufuran apapun
kecuali jika disertai keyakinan bahwa sebab utama pertolongan bukan dari
Allah swt. melainkan dari orang yang dimintai tolong itu sendiri. Kita harus
mempunyai keyakinan bahwa orang yang mohon pertolongan itu adalah upaya/iktisab
dan hanya sekedar washithah.
9.14.Diantara Dalil-Dalil Orang
Yang Membantah Dan Jawabannya
Walaupun sudah banyak riwayat dan keterangan
mengenai mustahabnya tawassul/istighotsah terhadap pribadi yang mulia baik
yang masih maupun telah wafat, masih ada saja golongan yang melarang sampai
berani mensyirikkan tawassul ini. Tawassul/Istighotsah ini dilegalkan oleh
agama dan tidak hanya dikhususkan tawassul pada Rasulallah saw. saja, tetapi
boleh juga tawassul pada waliyullah, orang-orang sholihin lainnya.
Lebih mudahnya marilah kita baca sanggahan
Imam Syaukani terhadap orang yang melarang Tawassul dengan makhluk atau
sesama manusia dalam berdo’a memohon sesuatu kepada Allah swt., berikut ini:
Imam Syaukani dalam Ad-Durr An-Nadhiid Fi Ikhlashi Kalimatit
Tauhid mengatakan:
“Syeikh ‘Izuddin Ibnu ‘Abdussalam telah menegaskan: ‘Tawassul yang
diperbolehkan dalam berdo’a kepada Allah hanyalah tawassul dengan Nabi Muhammad
saw., itupun kalau hadits yang mengenai itu shohih’.
Asy-Syaukani selanjutnya berkata, mungkin hadits yang dimaksud oleh
Syeikh ‘Izuddin ialah hadits mengenai soal tawassul yang dikemukakan oleh
An-Nasai dalam Sunan-nya, At-Tirmudzi dan dipandang shohih olehnya oleh Ibnu
Majah dan lain-lain, yaitu ‘sebuah hadits yang meriwayatkan adanya seorang buta
datang menghadap Nabi Muhammad saw…’. (baca hadits ‘Utsman bin Hunaif
yang telah kami kemukakan---pen). Mengenai soal itu ada dua pendapat:
Pendapat pertama: Sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Umar bin Khattab ra. (dalam
shohih Al-Bukhori dll.), yaitu setelah Rasulallah saw. wafat, tiap musim
gersang atau paceklik ia bersama kaum Muslimin berdo’a kepada Allah swt. mohon
diturunkan hujan (istisqa) dengan bertawassul pada paman Nabi saw., yaitu
‘Abbas bin Abdul Mutthalib.
Pendapat kedua : Bertawassul dengan Nabi Muhammad saw. diperkenan- kan baik
dikala beliau saw. masih hidup maupun setelah wafat, dihadapan beliau mau pun
tidak sepengetahuan beliau saw. Mengenai tawassul dengan Rasulallah saw. dikala
hidupnya, tidak ada perbedaan pendapat. Adapun mengenai tawassul dengan pribadi
orang selain beliau saw. setelah beliau wafat, hal ini disepakati bulat oleh
para sahabat Nabi secara diam-diam.
Tidak seorang pun dari para sahabat Nabi yang mengingkari atau
tidak membenarkan prakarsa Khalifah Umar ra. untuk bertawassul dengan paman
Nabi saw. yaitu ‘Abbas ra.. Saya (Imam Syaukani) berpendapat: ‘bahwa tawassul
diperkenankan tidak hanya khusus pada pribadi Rasulallah saw. sebagaimana yang
dikatakan oleh Syeikh ‘Izuddin. Mengenai soal itu ada dua alasan
(dalil/hujjah).
Pertama: Telah disepakati bulat oleh para sahabat Nabi saw, yaitu sebagai-
mana dikatakan dalam hadits ‘Umar bin Khattab ra’.
Kedua: Tawassul pada para ‘ahlul-fadhl’ (pribadi-pribadi utama
dan mulia) dan para ahli ilmu (para ulama), pada hakekatnya adalah tawassul
pada amal kebajikan mereka. Sebab, tidak mungkin dapat menjadi ‘ahlul-fadhl’
dan ‘ulama’, kalau mereka itu tidak cukup tinggi amal kebajikannya. Jadi kalau
orang berdo’a kepada Allah swt. dengan mengucap: ‘Ya Allah, aku mohon kepada-Mu
dengan bertawassul kepada orang alim yang bernama Fulan…., itu telah
menunjukkan pengakuannya tentang kedalaman ilmu yang ada pada orang ‘alim yang
dijadikan washilah. Hal ini dapat dipastikan kebenarannya berdasarkan sebuah
hadits dalam Shohih Bukhori dan Shohih Muslim tentang hikayat tiga orang dalam
goa yang terhambat keluar karena longsornya batu besar hingga menutup rapat
mulut goa. Mereka kemudian berdo’a dan masing-masing bertawassul dengan amal
kebajikannya sendiri-sendiri. Pada akhirnya Allah mengabulkan do’a mereka dan
terangkatlah batu besar yang menyumbat mulut goa.
Lebih jauh Asy-Syaukani mengatakan: ‘Kalau bertawassul dengan amal
kebajikan tidak diperkenankan atau merupakan perbuatan syirik, sebagaimana
dikatakan oleh Syeikh ‘Izuddin dan para pengikutnya; Tentu Rasulallah saw.
tidak akan menceriterakan hikayat tersebut diatas, dan Allah tidak akan
mengabulkan do’a mereka bertiga’.
Nash-nash Al-Qur’an yang dijadikan hujjah/dalil ,oleh golongan
pengingkar, untuk tidak membenarkan tawassul dengan para ahli takwa dan
orang-orang sholeh seperti firman-firman Allah swt.:
“Kami tidak menyembah mereka (berhala-berhala)
kecuali untuk mendekatkan diri kami sedekatnya dengan Allah”.(Az-Zumar : 3)
لا تدعُوا مع الله
احدًا
Artinya: “...Maka janganlah kalian berdo’a kepada Allah (dengan)
menyertakan seseorang”. (Al-Jin:18)
لهُ
دعوةُ الحقُّ والّذين يدعُون من دُونه لآيستجيبُون لهُم بشيءٍ
Artinya: “Hanya
Allah lah (yang berhak mengabulkan) do’a yang benar. Apa-apa juga yang mereka
seru selain Allah tidak akan dapat mengabulkan apapun juga bagi
mereka.” (QS.Ar-Ra’ad : 14)
Ayat-ayat
diatas dan ayat-ayat lain yang semakna tidak pada tempatnya dijadikan hujjah
bagi persoalan itu. Bahkan ayat-ayat tersebut oleh mereka hanya dijadikan dalil
untuk memperuncing perselisihan pandangan. Sebab, ayat-ayat suci tersebut pada
hakekatnya adalah larangan menyekutukan Allah swt. Sedangkan
soal tawassul sama sekali buka soal menyembah sesuatu selain Allah. Ayat-ayat
tersebut ditujukan kepada mereka yang tidak berdo’a kepada Allah swt.,
sedangkan orang yang bertawassul berdo’a hanya kepada Allah swt. tidak berdo’a
kepada sesuatu yang mereka sekutukan dengan Allah !
Juga golongan
pengingkar ini berhujjah/berdalil pada firman Allah swt. :
وما ادراك ما يومُ الدّ ين ثُمّ ما
ادراك ما يومُ الدّ ين يوم لآ تملكُ نفسُ لنفسٍ شيئًا والأمرُ يومئذٍ
للّه
Artinya:
“Tahukah engkau, apakah hari pembalasan itu? Sekali lagi, tahukah engkau,
apakah hari pembalasan itu? Yaitu hari pada saat seseorang tidak berdaya
sedikitpun menolong orang lain; dan segala urusan pada hari itu berada di dalam
kekuasaan Allah” (QS.Al-Infithar:17-19)
Ayat suci
tersebut tidak dapat dijadikan hujjah untuk mengingkari kebenaran tawassul,
karena orang yang bertawassul dengan Nabi, ulama yang sholeh dan ahli taqwa,
sama sekali tidak mempunyai pikiran atau keyakinan bahwa Nabi, ulama yang
sholeh, ahli taqwa atau waliyullah yang mereka jadikan washilah, itu akan
menjadi sekutu Allah atau menyaingi kekuasaan-Nya pada hari pembalasan ! Setiap
muslim tahu benar bahwa keyakinan seperti itu adalah sesat.
Pihak-pihak
yang melarang tawassul pada Nabi Muhammad saw. juga meng gunakan firman-firman
Allah dibawah ini sebagai dalil:
ليس لك من الأمرشئُ
“Tidak ada sedikitpun campur tanganmu (hai Muhammad) dalam urusan
mereka (kaum musyrikin)”. (QS.Ali Imran : 128)
Dan firman-Nya lagi :
قُل لآ املكُ لنفسى نفعًا ولآ ضرًّا
“Katakanlah (hai
Muhammad): ‘Aku tidak berkuasa mendatangkan ke manfaatan bagi diriku, dan
tidak pula berkuasa menolak kemadharatan”. (QS.Al-A’raf : 188)
Itu pun tidak pula pada tempatnya, karena
Allah swt. telah mengaruniakan kedudukan (maqam) terpuji dan tertinggi kepada
Rasulallah saw. yaitu kewenangan memberi syafa’at seizin Allah. Demikian pula
pernyataan beliau saw. kepada kaum kerabatnya, beberapa saat setelah beliau
menerima wahyu Ilahi, ‘dan berilah peringatan kepada kaum kerabatmu yang
terdekat’ (Asy-Syu’ara : 214), yaitu: ‘Hai Fulan bin Fulan dan hai Fulanah
binti Fulan, di hadapan Allah aku (Muhammad saw.) tidak dapat memberi
pertolongan apa pun kepada kalian…!
Pernyataan Rasulallah saw. itu tidak berarti
lain kecuali bahwa beliau tidak berdaya menangkal madharat/malapetaka yang telah
dikenakan Allah kepada seseorang dan beliau saw. pun tidak berdaya menolak
manfaat yang telah diberikan Allah swt. kepada seseorang, sekalipun
orang itu kerabat beliau sendiri.
Pengertian itu tidak ada kaitannya dengan tawassul. Karena orang
yang bertawassul tetap memanjatkan do’anya kepada Allah swt. Bertawassul kepada
Rasulallah saw. dalam berdo’a tidak berarti lain kecuali mengharapkan
syafa’at beliau agar Allah swt. berkenan mengabulkan do’a dan permohonan yang
diminta. Adapun soal terkabulnya suatu do’a atau tidak, sepenuhnya berada
didalam kekuasaan Allah swt.”. Demikianlah garis besar pandangan Imam Asy-Syaukani
mengenai soal tawassul.
Ayat Az-Zumar : 3 diatas yang oleh golongan
pengingkar dijadikan dalil untuk melarang tabarruk (pengambilan barokah)
itu tidak tepat sekali, karena dalam ayat tersebut jelas tidak
menyebutkan; Kami tidak mengambil barokah mereka melainkan...., tapi
diayat ini menyebutkan; Kami tidak menyembah mereka melainkan.....
Kaum musyrikin Jahiliyah meyakini ’sifat ketuhanan’ buat obyek
(patung-patung) yang dimintainya berkah, selain Allah. Mereka telah menyembah
patung itu dan menyekutu- kan Allah dalam masalah penyembahan. Dan tentu
essensi penyembahan adalah meyakini ‘sifat ketuhanan’ yang disembahnya.
Tanpa keyakinan (sifat ketuhanan) itu, mustahil mereka menyebut kata ‘sembah’.
Jelas, sebagaimana yang sudah pernah kita singgung pada tulisan terdahulu
bahwa, sekedar sujud di depan sesuatu tidak serta merta masuk kategori
menyembah.
Kaum musyrikin meyakini bahwa patung-patung itu juga memiliki kekuatan
secara bebas, dari Allah swt. sehingga muncul di benak mereka untuk
meyakini bahwa berhala itu juga mampu menjauhkan segala mara bahaya dari
mereka dan memberikan manfaat kepada mereka. Sedangkan soal tawassul
atau tabarruk sama sekali bukan soal ‘menyembah sesuatu selain
Allah’.
Ayat-ayat yang telah dikemukakan diatas, itu ditujukan kepada mereka yang
tidak berdo’a kepada Allah swt., sedangkan orang yang bertawassul berdo’a pada
Allah swt. dan tidak berdo’a kepada sesuatu yang mereka sekutukan dengan
Allah.
Ayat-ayat diatas juga menunjukkan sikap dan
pikiran kaum musyrikin yang sama Allah swt. dan Rasul-Nya tidak dibenarkan.
Orang musyrikin meyakini dan memandang berhala serta sesembahan lainnya yang
mereka puja-puja sebagai Tuhan secara hakiki/sebenarnya, bukan
hanya sebagai sekedar wasithah sebagaimana menurut ucapan mereka untuk
mendekatkan hubungan mereka dengan Allah.
Kalau kaum musyrikin benar-benar memandang
berhala atau sesembahan lainnya hanya sebagai wasithah, maka mereka
tidak akan menyembahnya serta memberi sajian-sajian dan sebagainya. Juga kalau
kaum musyrikin tidak memandang berhala sebagai Tuhannya, mereka tentu dalam
perang Uhud Abu Sufyan bin Harb tidak akan berteriak minta pertolongan pada
berhalanya yang bernama Hubal: U’lu Hubal artinya Jayalah Hubal. Abu Sufyan dan
pasukan musyrikin yang dipimpinnya percaya dan meyakini bahwa berhala Hubal
akan dapat mengalahkan Allah swt. dan Rasul-Nya serta pasukan muslimin. Disini
jelaslah kepercayaan atau keimanan kaum musyrikin bahwa berhala Hubal
bukan sebagai wasithah tapi sebagai Tuhan mereka, dengan sendirinya
keimananan kaum musyrikin jauh berbeda dengan keimanan kaum muslimin yang
bertawassul tersebut.
Bila golongan pengingkar tawassul ini
konsekwen dan adil dengan berdalil surat Al-Jin:18 ini mereka harus melarang
semua orang yang berdo’a kepada Allah swt. sambil menyertakan nama seseorang
baik itu Rasulallah saw., para sahabat atau para sholihin yang masih hidup
maupun telah wafat. Karena kalimat ayat itu ‘....janganlah kalian
berdo’a kepada Allah (dengan) menyertakan seseorang’ tanpa
menyebutkan orang yang telah wafat atau yang masih hidup. Tetapi sayangnya
mereka ini selalu mencari-cari dalil untuk melarang tawassul dan
mengartikan ayat Ilahi dan Sunnah Rasul saw. seenaknya sendiri dan secara
tektstual, sehingga sering berlawanan dengan pahamnya sendiri. Jadi tidak lain
firman Allah swt.tersebut ditujukan kepada orang musyrikin yang menyekutukan
Allah swt. dengan sesembahan yang lain, sedangkan orang yang bertawassul
berdo’a dan menyembah kepada Allah swt. dan tidak menyekutukannya!!
Selain telah kami singgung baik dalam kajian
sebelum ini maupun kajian sesudah ini, bahwa beberapa Nabiyyullah
yang mengajak ummat manusia kepada ajaran tauhid ternyata juga melakukan
pengambilan berkah dan tawassul. Nabi kita Muhammad saw. sebagai penghulu
para nabi dan Rasul bahkan paling mulia dan taqwa dari semua makhluk Allah
swt.. pun telah membiarkan orang-orang mengambil berkah darinya dan tawassul
padanya. Jika mencari berkah (baca mengenai tabarruk pada kajian
berikutnya) dan tawassul adalah haram, syirik atau perbuatan ghuluw
maka tentunya para nabi disetiap zaman adalah orang yang pertama yang
menjauhinya, bahkan melarang orang lain untuk bertabarruk atau
bertawassul. Namun, mengapa justru mereka malah melakukannya? Begitu juga para
sahabat Rasulallah saw. dan para ulama pakar telah mengamalkan semuanya
ini.
Apa yang di-isukan oleh golongan Wahabi/Salafi
dan pengikutnya selain tidak sesuai dengan makna yang dimaksud Al-Qur’an,
hadits, bukti sejarah/ riwayat dari para Salaf, para imam madzhab, juga jauh
dari logika pemaham- an ayat-ayat diatas itu sendiri.
Golongan pengingkar juga berdalil pada hadits shohih
berikut ini yang di riwayatkan oleh At-Tirmudzi bahwa Rasulallah saw. bersabda
pada sahabatnya sebagai berikut:
إذا سألت فاسأل الله, وإذا استعنت فاستعن بالله واعلم أنّ
الاُمّة لو اجتمـعت على ان ينفعُونك بشيئٍ لم ينفـعُوك إلاّ بشيئٍ قد كتبهُ اللهُ لك,
ولو اجتمعُوا على أن يضُرُّوك بشيئٍ لم يضُرُّوك إلاّ بشيئٍ قد كتبهُ اللهُ عليـك
“Jika engkau
minta sesuatu mintalah pada Allah dan jika engkau hendak minta pertolongan
mintalah kepada Allah. Ketahuilah, seumpama manusia sedunia berkumpul untuk
menolongmu, mereka tidak akan dapat memberi pertolongan, selain apa yang
telah disuratkan Allah bagimu. Dan seumpama mereka berkumpul untuk
mencelakakan dirimupun mereka tidak akan dapat berbuat mencelakakan dirimu
selain dengan apa yang telah disuratkan Allah menjadi nasibmu”.
Juga didalam Majma’ul
Kabir Imam Thabrani mengetengahkan sebuah hadits bahwa pada zamannya
Rasulallah saw. ada seseorang munafik yang selalu mengganggu kehidupan kaum
muslimin. Ketika itu Abu Bakar r.a. berkata pada teman-temannya: ‘Mari kita
minta pertolongan pada Rasulallah dari gangguan si munafik itu !’. Kepada
mereka beliau saw. menjawab : ‘Itu tidak dapat dimintakan pertolongan
kepadaku, tetapi hanya dapat dimintakan pertolongan kepada Allah”.
Masih banyak
orang yang memahami hadits-hadits diatas itu secara keliru, yang mana mereka
berpedoman semua permintaan dan semua pertolongan yang diminta dari selain
Allah adalah syirik (keluar dari agama). Dengan pengertian seperti itu mereka
melarang semua macam permintaan yang ditujukan pada selain Allah swt. Padahal
yang dimaksud oleh hadits-hadits tersebut bukan seperti yang mereka tafsirkan.
Rasulallah saw. mengingatkan kita agar jangan lengah, bahwa segala sebab
musabab yang mendatangkan kebaikan berasal dari Allah swt. Jadi bila hendak
minta tolong pada manusia, anda harus tetap yakin bahwa bisa atau tidak, mau
atau tidak mau, sepenuh nya tergantung pada kehendak dan izin Allah swt. Jangan
sekali-kali anda lupa kepada ‘Sebab Pertama’ yang berkenan
menolong anda yaitu Allah swt. Dan yang mengatur semua hubungan dalam kehidupan
ini adalah Allah swt..
Hadits-hadits
diatas tidak bermakna kecuali memantapkan akidah/ keyakinan kaum muslimin,
yaitu akidah tauhid, bahwa kita harus yakin penolong yang sebenarnya adalah
Allah swt., sedangkan manusia adalah hanyalah sebagai washithah/perantara,
tidak lebih dari itu !
Begitu juga
kalau semua pertolongan yang diminta dari selain Allah swt. tersebut munkar,
syirik maka Allah swt. akan mencela dan tidak mengabul- kan permohonan Nabi
Sulaiman as pada ummatnya untuk mendatangkan singgasana Ratu Balqis (S.An-Naml
: 38-40), karena beliau as. tidak langsung minta pada Allah swt.. Sulaiman as.
seorang nabi dan Rasulallah yang do’anya mustajab dan bisa minta
langsung pada Allah swt. tapi toh masih minta tolong pada ummatnya dalam hal
yang luar biasa tersebut, apalagi kita-kita ini yang tidak memilik kedudukan
nabi dan Rasul! Penolong Sulaiman as. ini juga merupakan washitah/ perantara
bagi beliau.
Begitu juga
riwayat nabi Yusuf a.s.dalam surat Yusuf : 93 perantara ghamisnya ayahnya yang
tuna netra disamping bisa mengenali ghamis/baju Yusuf a.s., juga beliau setelah
mengusapkan ghamis kemukanya atas perintah Yusuf as bisa melihat kembali.
Padahal kalau kita baca dalam ayat itu bahwa Yusuf as. berkata pada saudaranya ‘dengan
usapan bajunya tersebut ayahnya bisa melihat’ tanpa mengiringi dengan
kata-kata seizin Allah. Ini tidak lain karena beliau as. sudah meyakini
dan mengetahui walau pun tanpa menyebutnya, semua itu tidak akan terjadi
kecuali dengan izin Allah swt.. Dengan demikian keyakinan seseorang itu
sangat penting dalam syari’at Islam.
Mengapa nabi
Yusuf a.s. tidak langsung berdo’a pada Allah swt. agar ayahnya bisa melihat
kembali tanpa harus mengusap mukanya dengan Ghamis tersebut ?
Jadi ghamish itu juga bisa dikatakan sebagai wasithah/ perantara atau bisa
dikatakan pengambilan barokah (tabarruk).
Bila tawassul
atau minta tolong pada makhluk tidak langsung pada Allah swt. itu
dilarang/diharamkan oleh agama, maka Rasulallah saw. tidak akan menceriterakan
mengenai Nabi Adam as. yang waktu berdo’a bertawassul dengan beliau saw. dan
riwayat-riwayat tawassul yang telah kami kemukakan pada kajian sebelumnya.
Rasulallah saw.
menerima wahyu juga melalui Jibril as. padahal Allah swt.bila Dia kehendaki
bisa menurunkan wahyu tersebut langsung pada Rasulallah saw. mengapa harus
melalui Jibril a.s.? Dan masih banyak lagi contoh dari tawassul/ washithah ini,
semuanya ini dibolehkan oleh agama selama orang yang bertawassul tersebut tetap
meyakini dan mengetahui bahwa sebab utama terkabulnya do’a dan amal
lain-lainnya adalah Allah swt., sedangkan orang yang ditawassuli itu hanya
sebagai perantara saja agar lebih cepat do’anya/hajatnya terkabul . Sekali
lagi sudah tentu orang yang ditawassuli itu orang ahli taqwa yang cinta dan
dicintai oleh Allah swt.
Penghormatan,
pemuliaan, tawassul dan tabarruk terhadap para waliyullah serta orang-orang
shalih lainnya itu juga mustahab/baik dan mereka tersebut pantas juga dipuji
dan dimuliakan. Mereka selalu mendekatkan diri kepada Allah dan berdzikir
siang malam, baik berdzikir secara perorangan maupun bersama majlis dzikir.
Berapa banyak firman ilahi dan hadits Rasulallah saw. yang menyebutkan
kemuliaan dan keistemewaan dan pahala orang-orang yang sering berdzikir.
Dalam surat Yunus : 62-63 Allah swt. berfirman :
الآ انّ اولياء الله لآ خوفُ عليهم ولاهُم يحزنُون الّذين
آمنُوا وكانُوا يتّقُون
"Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya para wali Allah itu tidak khawatir terhadap mereka
dan tidak pula mereka itu bersedih hati. Mereka adalah orang orang beriman dan
senantiasa bertakwa”.
Hadits Rasulallah saw. yang
diriwayatkan oleh Ad-Dailami
didalam Masnadul-Firdaus berasal dari Mu’adz bin Jabal ra.yang menuturkan bahwa
Rasulallah saw. bersabda :
ذكرُ الأنبياء من العبادة , وذكرُ
الصّالحين كفّارةٌ وذكرُ الموت صدقةٌ وذكرُ القبر يُقرّبُكُم من الجنّة.
“Ingat kepada para Nabi adalah
bagian dari ‘ibadah, ingat kepada kaum sholihin adalah kaffarah (menebus
dosa), ingat mati adalah shadaqah dan ingat kuburan mendekatkan kalian kepada
surga”.
Ibnu Babuwaih
didalam kitab Al-Mujalasah dan Ibnu ‘Uqdah didalam Masnad-nya
meriwayatkan sebuat hadits dari ‘Aisyah ra. yang menuturkan bahwa Rasulallah
saw. pernah bersabda:
ذكرُ عليّ (بن أبي
طالب)
عبادة
“Ingat kepada
‘Ali (bin Abi Thalib) adalah ibadah”.
Dengan
adanya firman Allah dan hadits Rasulallah saw. itu kita bisa ambil kesimpulan
bahwa para sahabat Nabi saw. dan orang-orang ahli taqwa lainnya juga dicintai
dan dipuji-puji oleh Allah swt. dan Rasul-Nya karena mereka banyak berdzikir
pada Allah swt. Mengingat mereka saja sudah termasuk ‘ibadah apalagi sering
mendekati mereka itu adalah amalan yang baik.Sebagaimana firman Allah
swt.:
وكُونُوا مع الصّادقين
“Dan bergabunglah kamu sekalian dengan orang-orang yang tulus (Rasulallah, para
sholihin). (At-Taubah : 119)
Perjalanan
dan gerak-gerik mereka (para nabi, wali/sholihin) selalu dalam bimbingan
Allah swt. dan segala permintaan mereka akan cepat dikabulkan oleh Allah swt.
Dengan demikian panteslah kalau kita-kita ini minta dido’akan oleh mereka yang
selalu makbul, tawassul dengan para ahli taqwa ini, tabarruk (pengambilan
barokah) dari tempat dan benda-benda yang pernah mereka gunakan untuk beribadah
pada Allah swt dan sebagainya (baca kajian berikutnya). Wallahua'lam.
9.15.Tabarruk
Ada golongan
yang keliru dalam memahami tabarruk pada pribadi Rasulallah saw., ahlul
baitnya dan para pewaris beliau yaitu para ulama dan para waliyullah, dan
tabarruk dengan bekas-bekas peninggalannya. Mereka kemudian menganggap setiap
orang yang menempuh jalan tersebut berbuat syirik dan sesat. Orang-orang
seperti ini berpandangan sempit dan berpikiran pendek dalam menghadapi
masalah-masalah tersebut.
Tabarruk
berasal dari kata Barakah. Makna atau arti tabarruk ialah mengharapkan
keberkahan dari Allah swt. dengan sesuatu yang mulia dalam pandangan Allah
swt.. Juga tabarruk ini mempunyai pengertian sama dengan tawassul/istighotsah,
yang telah kami kemukakan tadi.
Terkadang Allah
swt. menjadikan beberapa benda menjadi sumber berkah agar menjadi sebab
untuk mencapai tujuan yang dikehendaki-Nya. Allah swt. juga menginginkan agar
manusia mengetahui bahwa terdapat benda-benda, tempat-tempat, waktu-waktu
dan pribadi-pribadi yang memiliki kesakralan karena mempunyai kedudukan
khusus dimata Allah swt. Sehingga semua itu dapat menjadi
sarana memberkati orang untuk mencapai kesembuhan dari penyakit,
pengkabulan do’a, pensyafa’atan dalam pengampunan dosa dan lain sebagainya.
Tabarruk boleh
dilakukan dengan barang-barang, tempat atau orang dengan syarat, sesuatu
yang digunakan dalam tabarruk itu mulia dalam pandangan Allah swt. Misalnya
pribadi Rasulallah saw., pusaka-pusaka peninggalannya, makamnya dan
sebagainya. Tabarruk juga boleh dilakukan dengan pribadi para waliyullah,
para ulama dan orang shalih lainnya, termasuk pusaka-pusaka
peninggalan mereka dan tempat-tempat pemakamannya atau lainnya, yang juga
pernah mereka jamah atau mereka jadikan tempat untuk beribadah dan berdzikir
pada Allah
swt.
Benda-benda
pusaka atau tempat-tempat peninggalan mereka tersebut nilai kemuliaannya bukan
karena benda atau ruangan tersebut tapi karena kaitannya dengan kemuliaan
orang atau pribadi yang pernah memanfaatkan benda dan tempat tersebut
dengan bertaqarrub (mendekatkan diri) pada Allah swt. Sehingga pada
benda atau tempat tersebut pernah turun rahmat Allah, di jamah atau didatangi
malaikat Allah hingga menjadi sarana yang dapat menimbulkan perasaan tenang dan
tenteram. Inilah keberkahan yang di minta oleh orang yang bertabarruk dari
Allah
swt.
Juga syarat
lainnya bahwa orang yang bertabarruk harus mempunyai keyakinan penuh, bahwa
sarana-sarana (benda atau ruangan) yang dijadikan tabarruk itu tidak dapat
mendatangkan manfaat maupun madharat tanpa seizin Allah
swt. Sebab semua manfaat dan madharat berada dalam kekuasaan Allah swt.
sepenuhnya
9.16.Berkah Dan Tabarruk Dalam Al-Quran
Kita sebagai seorang muslim yang meyakini akidah Tauhid
pasti meyakini bahwa Allah swt. adalah Pencipta (Khaliq) dan Pengatur (Rab)
alam semesta. Dengan kesempurnaan absolut (mutlak) yang Dia miliki, Dia
menciptakan dan mengatur alam semesta. Segala yang ada di alam semesta ini
tiada yang tidak tercipta dari-Nya. Oleh karenanya, tidak satupun yang berada
di alam ini pun tidak tergantung kepada-Nya, termasuk dalam kelangsungan
eksistensi dan hidupnya.
Allah swt Pemilik segala otoritas kesempurnaan.
Dalam al-Quran, penggunaan kata ‘berkah’ sering
akan kita jumpai. Sebagaimana dalam pembahasan syafa’at, ilmu ghaib dan
sebagainya, secara mendasar dan murni (esensial) berkah dan pemberian
berkah hanya berasal milik dan hak priogresif Allah swt. semata. Oleh karenanya,
kita jumpai ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah swt. memberikan berkah kepada
makhluk-makhluk-Nya.
Contoh ayat-ayat yang Allah swt. telah memberkati
seseorang, sehingga berkah itu terdapat pada diri pribadi-pribadi yang
diberkati tersebut:
Berkaitan dengan
Nabi Nuh as beserta pengikutnya, Allah swt berfirman:
“Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan
dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang mukmin) dari orang-orang yang
bersamamu…” (QS Hud: 48).
Berkaitan dengan
Nabi Ibrahim as Allah swt berfirman:
“Maka tatkala dia tiba di (tempat) api itu,
diserulah dia: “Bahwa telah diberkati orang-orang yang berada di api
itu, dan orang-orang yang berada di sekitarnya..” (QS an-Naml: 8).
Berkenaan dengan
Nabi Ishak as Allah swt berfirman:
“Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas
Ishaq…” (QS as-Shaafat: 113).
Berkenaan dengan
Nabi Isa as Allah swt berfirman:
“Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati
di mana saja Aku berada…” (QS Maryam: 31).
Sedang ayat-ayat yang menyatakan bahwa ada beberapa
tempat yang telah diberikan berkah oleh Allah swt sehingga tempat itu
menjadi tempat yang sakral, seperti:
Allah swt. telah
memberi berkah kepada Masjidil Haram di Makkah:
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di
Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua
manusia” (QS Aali Imran: 98).
Allah swt telah
memberi berkah kepada Masjidil Aqsha di Palestina:
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya
pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi
sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)
kami…” (QS al-Isra’: 1).
Allah swt telah
memberi berkah kepada lembah Aiman:
“Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah)
pinggir lembah Aiman pada tempat yang diberkahi, dari sebatang pohon
kayu…” (QS al-Qoshosh: 30).
Dan terkadang yang menjadi obyek berkah Ilahi adalah sesuatu
(benda) sampai pada pohon dan waktu. Sebagai
contoh:
Allah swt.
telah memberikan berkah kepada al-Qur’an:
“Dan Al-Qur’an itu adalah Kitab yang Kami turunkan yang diberkati,
Maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat” (QS al-An’am: 155).
Allah swt telah
memberikan berkah kepada pohon zaitun:
“Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang
bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya,
(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu)
dan tidak pula di sebelah barat (nya)…” (QS an-Nur: 35).
Allah swt
telah memberkahi air hujan:
“Dan Kami turunkan dari langit air yang diberkati
lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang
diketam” (QS Qof: 9).
Allah swt telah
memberkati waktu malam dimana al-Qur’an turun (lailatul Qadar):
“Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang
diberkahi..” (QS ad-Dukhon: 3).
Setelah mengetahui obyek-obyek berkah Ilahi maka
mungkin saja timbul pertanyaan; bagaimana para umat terdahulu, apakah mereka
juga mengambil berkah?
Allah swt. dalam al-Qur’an menjelaskan hal tersebut
seperti yang dicantumkan dalam ayat-ayat berikut:
Dalam surat
al-Baqarah ayat 248 Allah swt telah mengisahkan tentang pengambilan berkah Bani
Israil terhadap Tabut (peti) yang didalamnya tersimpan barang-barang
sakral milik kekasih Allah, Nabi Musa as. Allah swt berfirman:
“Dan nabi mereka mengatakan kepada mereka: ‘Sesungguhnya
tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di
dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari
peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang
beriman”.
Menurut riwayat, ‘Peti’ itu adalah peti dimana nabi Musa
waktu bayi telah di letakkan oleh ibunya ke sungai Nil dan mengikuti aliran
sungai sehingga di temukan oleh istri Fira’un, untuk diasuh. Para Bani Israil
mengambil peti itu sebagai obyek untuk mencari berkah (tabarruk).
Setelah Nabi Musa as meninggal dunia, peti itu disimpan oleh washi
(patner) beliau yang bernama Yusya’, dan di dalamnya disimpan beberapa
peninggalan Nabi Musa yang masih berkaitan dengan tanda-tanda kenabian Musa.
Setelah sekian lama, Bani Israil tidak lagi mengindahkan peti tersebut, hingga
menjadi bahan mainan anak-anak di jalan-jalan. Sewaktu peti itu masih berada di
tengah-tengah mereka, Bani Israil masih terus dalam kemuliaan. Namun setelah
mereka mulai melakukan banyak maksiat dan tidak lagi mengindahkan peti itu,
maka Allah swt. menyembunyikan peti tersebut dengan mengangkatnya ke langit.
Sewaktu mereka diuji dengan kemunculan Jalut mereka mulai merasa gunda.
Kemudian mereka mulai meminta seorang Nabi yang diutus oleh Allah swt
ketengah-tengah mereka. Allah swt. mengutus Tholut. Melalui dialah para
malaikat pesuruh Allah mengembalikan peti yang selama ini mereka remehkan.
Az-Zamakhsari dalam menjelaskan apa saja barang-barang yang berada di dalam peti itu
menyatakan: “Peti itu adalah peti Taurat. Dahulu, sewaktu Musa berperang
(melawan musuh-musuh Allah) peti itu diletakkan di barisan paling depan
sehingga perasaan kaum Bani Israil merasa tenang dan tidak merasa gunda…adapun
firman Allah yang berbunyi ‘dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga
Harun’ , berupa sebuah papan bertulis, tongkat beserta baju
Nabi Musa (as) dan sedikit bagian dari kitab Taurat” (Lihat Tafsir
al-Kasyaf jilid 1 halaman 293).
Mengenai Tabut
itu, Ibnu Katsir didalam kitab Tarikh-nya mengetengahkan
keterangan yang ditulis oleh Ibnu Jarir sebagai berikut:
“Mereka yakni
ummat yang disebut dalam ayat diatas setiap berperang melawan musuh selalu
memperoleh kemenangan berkat tabut yang berisi Mitsaq (Taurat).
Dengan tabut yang berisi sisa-sisa peninggalan keluarga Nabi Musa dan
Nabi Harun itu Allah swt. menciptakan ketenangan bagi mereka dalam
menghadapi musuh. Selanjutnya Ibnu Katsir mengatakan, bahwa Tabut itu terbuat
dari emas yang selalu dipergunakan untuk mencuci (membersihkan) hati
para Nabi”. (Al-Bidayah Wan-Nihayah jilid II hal. 8).
Dalam Tafsir-nya
Ibnu Katsir juga mengatakan, bahwa didalam Tabut itu berisi tongkat Nabi
Musa, tongkat Nabi Harun, dua buah lembaran Taurat dan pakaian
Nabi Harun. Sementara orang mengatakan didalam Tabut itu terdapat sebuah
tongkat dan sepasang terompah.(Tafsir Ibnu Katsir, jilid I hal. 313).
Al-Qurthubi mengatakan: “bahwa Tabut itu diturunkan Allah kepada Nabi Adam as.
dan disimpan turun-temurun hingga sampai ketangan Nabi Ya’qub as., kemudian
pindah tangan kepada Bani Israil. Berkat tabut itu orang-orang Yahudi
selalu menang dalam peperangan melawan musuh, tetapi setelah mereka berbuat
durhaka kepada Allah, mereka dapat dikalahkan oleh kaum ‘Amaliqah dan
tabut itu berhasil dirampas dari tangan mereka (kaum Yahudi)”. (Tafsir
Al-Qurthubi jilid III/248).
Lihatlah,
betapa Nabi yang diutus oleh Allah swt. kepada Bani Israil itu telah
memerintahkan kepada Bani Israil untuk tetap menjaga peninggalan Nabi
Musa dan Nabi Harun berupa peti dengan segala isinya yang mampu memberikan
ketenangan pada jiwa-jiwa mereka. Pemberian ketenangan melalui peti
itu tidak lain karena Allah swt telah memberikan berkah khusus kepada peninggalan
kedua Nabi mulia tersebut. Sehingga sewaktu Bani Israil tidak lagi
mengindahkan peninggalan yang penuh barakah itu maka Allah swt menguji mereka
dan tidak lagi memberkahi mereka. Ini sebagai bukti betapa sakral dan berkahnya
peninggalan itu, dengan izin Allah swt.
Ummat yang
disebut dalam ayat diatas selalu bertawassul atau bertabarruk dengan
Tabut yang mereka bawa kemana-mana dan selalu menang didalam setiap
peperangan. Apa yang dilakukan oleh umat itu ternyata tidak dicela atau
dipersalahkan oleh Allah swt.
Dalam ayat lain Allah menjelaskan tentang
pengambilan berkah seorang pribadi mulia seperti Nabi Ya’qub a.s. terhadap baju
putranya, Nabi Yusuf as. Allah swt berfirman: “Pergilah kamu dengan
membawa baju gamisku (baju Nabi Yusuf) ini, lalu letakkanlah dia kewajah
ayahku, nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah keluargamu semuanya
kepadaku” (QS Yusuf: 93).
Dalam kisah itu, saudara-saudara Nabi Yusuf telah
melaksanakan perintah saudaranya itu. Ayah Nabi Yusuf (Nabi Ya’qub) yang buta
akibat selalu menangisi kepergian Yusuf pun akhirnya pulih penglihatannya
karena diusap oleh baju Yusuf. Itu semua berkat barakah yang
dicurahkan oleh Allah swt. kepada baju/gamis Yusuf.
Az-Zamakhsyari kembali dalam kitab tafsir-nya
menjelaskan tentang hakekat baju Yusuf dengan mengatakan: “Dikatakan: itu
adalah baju warisan yang dihasilkan oleh Yusuf dari permohonan (do’a). Baju
itu datang dari Sorga. Malaikat Jibril telah diperintahkan untuk membawanya
kepada Yusuf. Di baju itu tersimpan aroma sorgawi yang tidak ditaruh ke orang
yang sedang mengidap penyakit kecuali akan disembuhkan. (Tafsir al-Kasyaf jilid
2 hal. 503).
Tentu sangat mudah bagi Allah swt. untuk mengembalikan
penglihatan Nabi Ya’qub tanpa melalui proses pengambilan berkah semacam
itu. Namun harus kita ketahui hikmah dibalik itu. Terkadang Allah swt.
menjadikan beberapa benda menjadi ‘sumber berkah’ agar menjadi ‘sebab’
untuk mencapai tujuan yang dikehendaki-Nya. Selain karena Allah swt. juga
menginginkan agar manusia mengetahui bahwa terdapat benda-benda,
tempat-tempat, waktu-waktu dan pribadi-pribadi yang memiliki kesakralan
karena mempunyai kedudukan khusus dimata Allah swt., sehingga semua itu dapat
menjadi ‘sarana’. Allah swt. memberkati orang untuk mencapai kesembuhan
dari penyakit, pengkabulan do’a, pensyafa’atan dalam pengampunan dosa, dan lain
sebagainya.
Jika para Nabi biasa memiliki kemuliaan semacam itu,
lalu bagaimana dengan benda-benda (seperti: mihrab dan
mimbar....), tempat (seperti: rumah, masjid dan makam...),
waktu (seperti: peringatan hari wafat, kelahiran/maulud,
perkawinan, hijrah, Isra’-Mi’raj..) dan mengenang keutamaan
(melalui bacaan kitab Burdah, Maulid Diba’, Barzanji ...) yang berkaitan
langsung dengan pribadi agung seperti Rasulullah saw., penghulu para
Nabi dan Rasul, makhluk Allah yang paling sempurna, sebagai- mana yang telah
dicantumkan dalam berbagai ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits shohih?
9.17.Dalil-Dalil Tabarruk Para Sahabat Dari Bekas Air
Wudhu Nabi Saw.
– ...Urwah
Al-Tsaqafi, salah seorang utusan Makkah melaporkan pada kaumnya: “Orang Islam
itu luar biasa! Demi Allah aku pernah menjadi utusan menemui raja-raja. Aku
pernah berkunjung pada kaisar Kisra dan Najasyi. Demi Allah belum pernah aku
melihat sahabat-sahabat mengagungkan rajanya seperti
sahabat-sahabat mengagungkan Muhammad saw. Demi Allah, jika ia meludah,
ludahnya selalu jatuh pada telapak tangan salah seorang di antara mereka.
Mereka usapkan ludah itu kewajahnya dan kulit- nya. Bila ia memerintah
mereka berlomba melaksanakannya, bila ia hendak wudhu, mereka hampir berkelahi
untuk memperebutkan air wudhunya. Bila ia berbicara mereka merendahkan suara
dihadapannya. Mereka menundukkan pandangan dihadapannya karena memuliakannya”.(HR.
Bukhori 3 : 255)
Hadits yang semakna diatas, banyak diriwayatkan oleh para
perawi dan penghafal hadits yaitu kisah kedatangan Urwah bin Mas’ud
as-Tsaqofi kepada kaum Quraisy pra perjanjian damai (Suluh) di
Hudaibiyah. Kala itu ia heran melihat prilaku sahabat terhadap Nabi saw., ia
mengatakan –menjelaskan apa yang dilihatnya–:
“Tiada beliau melakukan wudhu kecuali mereka
(sahabat) bersegera (untuk mengambil berkah). Tiada beliau meludah
kecuali merekapun bersegera (untuk mengambil berkah). Tiada selembar rambut
pun yang rontok kecuali mereka memungutnya”. Dalam riwayat lain disebutkan;
“Demi Allah, sewaktu Rasul mengeluarkan dahak dan
dahak itu mengenai telapak tangan seseorang maka orang tadi akan mengusapkannya
secara rata ke seluruh bagian muka dan kulitnya. Jika beliau
memerintahkan sesuatu niscaya mereka bersegera (untuk melaksanakannya). Jika
beliau mengambil air wudhu maka mereka bersegera seakan-akan hendak
saling membunuh memperebutkan (bekas air) wudhu beliau”. (Lihat: Kitab
Shohih al-Bukhari jilid 1 halaman 66 dalam kitab al-Wudhu’ dan jilid 3 halaman
180 dalam kitab al-Washoya, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 5 halaman
423 dalam hadits panjang nomer-18431, Kitab as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi
jilid 9 halaman 219 bab al-Muhadanah ‘ala an-Nadhar Lilmuslimin, Kitab Sirah
Ibnu Hisyam jilid 3 halaman 328, Kitab al-Maghozi karya al-Waqidi jilid 2
halaman 598 dan Kitab Tarikh al-Khamis jilid 2 halaman 19).
– Thalq bin
‘Ali meriwayatkan: “Kami keluar (meninggalkan daerah) sebagai perutusan kepada
Rasulallah saw. Setelah beliau saw. kami bai’at, kami shalat bersama beliau.
Kemudian kepada beliau kami beritahukan bahwa kami masih mempunyai bi’ah
(gereja atau kuil ). Kepada beliau kami minta agar diberi sebagian dari sisa
air wudhunya. Beliau lalu menyuruh orang mengambilkan air, kemudian
berwudhu dan berkumur lalu menumpahkan bekas air kumurnya ke
dalam sebuah tempat/wadah. Kepada kami beliau berkata: ‘Pulanglah, dan
setibanya didaerah kalian hancurkanlah bi’ah kalian itu lalu siramlah tempat
itu dengan air ini, kemudian bangunlah masjid diatasnya’. Kami
katakan pada beliau bahwa daerah kami, amat jauh, dan air akan menguap habis
karena (dalam perjalanan) udara sangat panas. Beliau memberi petunjuk:
‘Tambahkan saja air (kedalam wadah), air ini akan menjadi lebih baik’
“. (Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam Al-Misykat nr. 716).
Tidak ragu lagi
bahwa dalam jiwa perutusan itu terdapat rahasia (semangat) yang amat
kuat yang mendorong mereka minta air bekas wudhu Rasulallah saw. Padahal kota
Madinah tidak pernah kekurangan air dan didaerah tempat tinggal orang itu
sendiri banyak air. Mengapa mereka mau bersusah payah membawa sedikit air dari
Madinah ke daerahnya yang menempuh jarak cukup jauh dan dalam keadaan terik
matahari? Tidak lain adalah bertabarruk pada Rasulallah saw.dengan bekas
air wudhu beliau.
– Dari Abu Juhfah, beliau berkata: “Aku mendatangi
Nabi sewaktu beliau berada di Qubbah Hamra’ dari Adam. Kulihat Bilal
(al-Habasyi) mengambil air wudhu Nabi. Orang-orang bergegas untuk
berwudhu juga. Barang siapa yang mendapatkan sesuatu dari air wudhu tadi maka
akan menggunakannya sebagai air basuhan. Namun bagi siapa yang tidak
mendapatkannya maka ia akan mengambil dari basahan (sisa wudhu) yang berada
ditangan temannya”.
Dalam lafadh itu dikatakan: “Rasul pergi menuju Hajirah
bersama kami, lalu beliau mengambil air wudhu. Kemudian orang-orang mengambili
air bekas wudhu beliau untuk di jadikan bahan basuhan (dalam
berwudhu)” (Lihat: Kitab Shahih al-Bukhari jilid 1 halaman 55 dalam kitab wudhu
bab Isti’malu Fadhli Wudhu’in Nas, Kitab shohih al-Muslim jilid 1 halaman 360,
Kitab Sunan an-Nasa’i jilid 1 halaman 87, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal
jilid 5 halaman 398 hadits ke-18269, Kitab as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi
jilid 1 halaman 395 dalam bab al-Iltiwa’ fi Hayya ‘ala as-Shalah dan Kitab
ad-Dala’il an-Nubuwah karya al-Baihaqi jilid 1 halaman 183).
– Dari Ibnu Shahab, beliau berkata: “Aku mendapat kabar
dari Mahmud bin Rabi’, ia berkata: Dia adalah orang yang Rasul telah meludah
pada wajahnya, saat itu ia adalah kanak-kanak di daerah mereka. Berkata Urwah,
dari al-Masur dan selainnya –masing-masing saling mempercayai temannya–: Ketika
Nabi melaksanakan wudhu, seakan mereka hendak saling bunuh-membunuh untuk
mendapatkan (bekas) air wudhu beliau” (Lihat: Kitab Shahih al-Bukhari jilid 1
halaman 55 dalam kitab wudhu bab Isti’malu Fadhli Wudhu’in Nas, Kitab Musnad
Imam Ahmad bin Hanbal jilid 6 halaman 594 hadits ke-23109 dan Kitab Sunan Ibnu
Majah jilid 1 halaman 246).
Ibnu Hajar dalam mensyarahi/menerangkan makna hadits
tersebut menyatakan: “Apa yang dilakukan Nabi terhadap Mahmud, kalau tidak
karena tujuan bersendau gurau, atau untuk memberi berkah kepadanya. Hal
itu sebagaimana yang pernah beliau lakukan kepada anak-anak para Sahabat
lainnya” (Fathul Bari jilid 1 halaman 157 dalam bab Mata Yashihhu Sima’
as-Shoghir).
– Dari Sa’ad, beliau berkata; Aku mendengar dari beberapa
sahabat Rasul seperti Abu Usaid, Abu Humaid dan Abu Sahal ibn Sa’ad, mereka
mengatakan: “Suatu saat, Rasulullah mendatangi sumur Badho’ah
kemudian beliau mengambil wudhu melalui ember lantas (sisanya) dikembalikan ke
dalam sumur. Kemudian beliau mencuci wajah- nya kembali, dan meludah
ke dalamnya (ember) dan meminum airnya (sumur). Dan jika terdapat orang sakit
di zaman beliau maka beliau bersabda: ‘Mandikan dia dengan air sumur
Bidho’ah’, maka ketika dimandikan, seakan simpul tali itu telah lepas
(sembuh)”. (Lihat: Kitab at-Thobaqoot al-Kubra jilid 1/2 halaman 184 dan Kitab
Sirah Ibnu Dahlan jilid 2 halaman 225).
– Dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, beliau berkata:
“Ketika aku sakit yang tak kunjung sembuh, Rasulallah menjengukku. Rasulullah
mengambil air wudhu, kemudian beliau siramkan sisa air wudhu beliau, kemudian
sembuh lah penyakitku” (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 hal. 60 /
jilid 7 hal. 150 / jilid 8 hal.185 dan jilid 9 hal.123).
Dari Jabir bin
Abdullah al-Anshari, beliau berkata: “Sewaktu Nabi ber-wudhu pada sebuah wadah,
kemudian (sisa air tadi) aku tuang ke dalam sumur milik kami” (Lihat:
Kitab Kanzul Ummal jilid 12 halaman 422 hadits ke-35472).
– Sewaktu Rasulullah saw. datang ke pasar, beliau
melihat Zuhair berdiri untuk menjual barang. Tiba-tiba beliau datang dari arah
punggungnya lantas memeluknya dari belakang hingga tangan beliau menyentuh
dadanya. Kemudian Zuhair merasakan bahwa orang itu adalah Rasulullah. Dia
berkata: ‘Aku lantas mengusapkan punggungku pada dadanya untuk mendapatkan berkah
dari beliau’ ”. (Lihat: Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 3 halaman 938
hadits ke-12237, Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah jilid 6 halaman 47 yang telah
dinyatakan keshohihannya dengan menyatakan bahwa perawinya semuanya dapat
dipercaya (tsiqoh) dan Kitab Sirah Dahlan jilid 2 hal. 267).
Hadits-hadits
diatas ini termasuk bukti yang cukup kuat dan terkenal, yang menunjukkan tabarruk
kepada beliau saw. dan dengan petilasan (bekas) air wudhunya.
Dengan petilasan air wudhu beliau saw. bisa menyembuhkan penyakit. Setelah
membaca hadits-hadits diatas dan hadits lainnya, apakah orang masih egois dan
fanatik kepada ulamanya, yang selalu menyangkal adanya barokah pada
pribadi seseorang? Apakah perbuatan itu tidak tergolong qhuluw
(berlebih-lebihan) yang menyebabkan orang terjerumus ke dalam kesyirikan? Ini
juga harus dijawab dengan adil dan konsekwen dari golongan pengingkar!
9.18.Dalil Tabarruk Anak-Anak Para Sahabat Pada Nabi
Saw.
– Imam Muslim dalam kitab Shohih-nya jilid 1 halaman
164, bab Hukmu Bauli at-Thifl ar-Rodhi’ atau pada jilid 6 halaman 176, bab
Istihbab Tahnik al-Maulud menjelaskan secara gamblang tentang prilaku para Salaf
Sholeh dalam mengambil berkah Rasulallah saw. untuk anak-anak
mereka. Atas dasar itu, Ibnu Hajar dalam kitab al-Ishobah jilid 3
halaman 638 (detailnya pada: Huruf wau, bagian pertama, bab wau kaf,
tarjamah Walid bin Uqbah, nomer 9147) menjelaskan:
“Setiap bayi pada masa hidup
Rasulullah di hukumi sebagai pribadi yang telah melihat Rasul. Hal itu karena
syarat-syarat terlaksananya kaum Anshar dalam mendatangkan anak-anak mereka
kepada Rasul agar dipeluk dan diberi berkah (tabarruk) telah
terpenuhi”. Hingga dikatakan: ‘Sewaktu Makkah ditaklukkan (fath), para penghuni
Makkah pun berdatangan kepada Nabi dengan membawa anak-anak mereka supaya dapat
dibelai (diusap) kepalanya oleh beliau yang kemudian beliau
do’akan’ ”.
– Dari ummu Qais: “Suatu saat dia mendatangi
Rasululah dengan membawa serta anaknya yang masih kecil, yang masih belum
memakan makanan. Rasulullah meletakkanya di pangkuannya. Tiba-tiba anak itu
kencing dipakaian beliau. Kemudian beliau meminta air dan menyiramkannya (pada
pakaian) dan tidak mencucinya”. (Shohih al-Bukhari jilid 1 hal. 62 kitab
al-Ghasl; Sunan an-Nasa’i jilid 1 hal.93 bab Baul as-Shobi al-Ladhi lam Ya’kul
at-Tho’am; Sunan at-Turmudzi jilid 1 hal. 104; Sunan Abu Dawud jilid 1 hal. 93
bab Baul as-Shobi Yushibus Tsaub; Sunan Ibnu Majah jilid 1 hal. 174).
Ibnu Hajar berkata: “Dari hadits ini memberikan beberapa
pengertian, penekanan akan pergaulan secara baik, rendah diri (Tawadhu’),
memeluk anak bayi dan pemberian berkah dari pribadi yang memiliki
kemuliaan, dan membawa anak kecil pra dan pasca kelahiran” (Fathul-Bari jld.1
hal.326 kitab al-Wudhu’ bab Baul as-Shobi hadits ke-223).
– Dari Ummul Mukminin Aisyah: “Dahulu, Rasulullah selalu
didatangkan bayi (kepadanya) yang kemudian beliau peluk mereka untuk diberi
berkah“.( Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 7 halaman 303 kitab
al-Wudhu bab 59 bab Baul as-Shibyan hadits ke-223).
– Dari Abdurrahman bin ‘Auf, beliau berkata: “Tiada
seorang yang baru melahirkan kecuali bayi itu didatangkan kepada Rasul untuk
dido’akan”. (Lht. Kitab al-Mustadrak as-Shohihain karya al-Hafidz al-Hakim
an-Naisaburi jilid 4 hal.479 ; Kitab al-Ishobah karya Ibnu Hajar jilid 1 hal.5
dalam Khutbah kitab, bagian kedua).
– Dari Muhammad bin Abdurrahman pembantu (maula) Abi
Thalhah yang berbicara tentang Muhammad bin Thalhah, beliau berkata: “Sewaktu
Muhammad bin Thalhah lahir, aku membawanya kepada Rasulullah untuk dipeluk
dan dido’akannya. Hal itulah yang dilakukan Rasul kepada para bayi yang
ada”. (Lihat: Kitab al-Ishobah karya Ibnu Hajar jilid 5 halaman 5 pada Khutbah
Kitab, bagian kedua).
9.18.a. Tabarruk para Sahabat dari air dan
sisa minum Nabi saw :
– Dari Abi Musa, beliau berkata: “Rasulallah mengambil
air pada sebuah tempat. Beliau membasuh kedua tangan dan wajahnya. Kemudian
kembali memuntahkan air itu ke dalamnya. Beliau bersabda: ‘Minumlah
kalian berdua dari (air) itu, dan sisakanlah untuk muka dan leher kalian
berdua’”.(Shohih al-Bukhari jilid 1 hal.55 kitab al-Wudhu bab Isti’mal Fadhli
Wudhuin Naas).
Ibnu Hajar berkata: “Tujuan dari semua itu –memuntahkan
kembali air– adalah untuk memberikan berkah kepadanya (air)”.
(Fathul Bari jilid 1 halaman 55 kitab Wudhu bab Isti’mal Fadhli Wudhuin Nas,
dan atau jilid 8 halaman 37 bab Ghozwah at-Tha’if).
– Dalam sebuah riwayat disebutkan: “Aku telah
meminum (air) sementara aku dalam keadaan puasa. Bersabda (Rasulallah): ’Kenapa
kamu melakukan hal itu’? Ia berkata: ‘Demi untuk mendapat sisa minummu,
karena aku tidak akan pernah menyia-nyiakannya sedikit pun. Aku tidak mampu
untuk menyia-menyiakannya. Ketika aku mampu melakukannya maka aku akan
meminumnya’”. (Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 7 hal. 575 hadits
ke-26838 dan Kitab at-Thabaqot al-Kubra jilid 8 hal. 109).
9.19.Tabarruk
Para Sahabat Dengan Keringat, Rambut Dan Kuku Nabi Saw.
– Nabi saw.
tidur siang dirumah Ummu Sulaim, yang punya rumah menampung keringat beliau
saw. pada sebuah botol. Ketika Nabi saw. terbangun dan bertanya: ‘Apa yang
engkau lakukan?’. ‘Ya Rasulallah kami mengharapkan berkahnya
untuk anak-anak kami’. Nabi saw menjawab; ‘Ashabti, Engkau benar’ ! (HR.
Muslim 4 :1815; Musnad Ahmad 3:221-226).
– Dari Anas bin Malik, beliau berkata: “Ummu Salamah
selalu menghamparkan tikar kulit untuk Nabi, kemudian beliau tidur di atas
hamparan tersebut. Sewaktu beliau tertidur, ia (Ummu Salamah .red) mengambil keringat
dan rambut Nabi dan diletakkan kedalam botol dan
dikumpulkan dalam tempat minyak wangi”. (Shohih al-Bukhari jilid 7 halaman 14
kitab al-Isti’dzan).
Ibnu Hajar dalam mensyarahi riwayat ini mengatakan:
“Dengan menyebutkan rambut dalam kisah ini sangatlah mengherankan
sekali. Sebagian orang menyatakan bahwa rambut beliau tersebar (terurai) ketika
berjalan. Kemudian ketika aku melihat riwayat Muhammad bin Sa’ad yang masih
samar. Riwayat itu memiliki sanad (jalur) yang shahih dari Tsabit bin Anas,
bahwa sewaktu Nabi saw. mencukur rambutnya di Mina, Abu Thalhah
mengambil rambut beliau dan menyerahkannya kepada Ummu Salamah. Dia me
letakkannya kedalam tempat minyak wangi. Ummu Salamah berkata: ‘Beliau datang
ke (rumah)-ku dan tidur diatas hamparan milikku sehingga keringat beliau
mengalir (terkumpul)’ ”. (Kitab Fathul Bari jilid 11 halaman 59 atau Kitab
Thabaqot al-Kubra jilid 8 halaman 313).
Abu Hurairah ra berkata bahwa seorang
laki-laki menemui Nabi saw. berkata: “Ya Rasulallah, saya akan
menikahkan anak perempuan saya, saya ingin sekali engkau membantu saya dengan
apapun. Nabi saw. bersabda: ‘Aku tidak punya apa-apa’. Rasulallah
saw.bersabda: ‘Tapi besok datanglah padaku bawa botol yang mulutnya
lebar...’. Pada esok harinya ia datang lagi, Nabi saw. meletakkan kedua
sikunya diatas botol dan keringat beliau saw. mengalir memenuhi
botol itu’”. (Fath al Bari 6 : 417, Sirah Dahlan 2:255, Al Bidayah Wa
Al-Nihayah 6 : 25).
Kita tidak tahu
apa yang dilakukan sahabat dengan sebotol keringat itu. Mungkin digunakan
sebagai minyak wangi –seperti Ummu Salamah– atau mewasiatkan pada ahli warisnya
supaya botol (walau keringatnya sudah kering) dikuburkan bersama jasadnya
(seperti Anas bin Malik). Ini tidak lain mengenang dan memuliakan Atsar
(bekas) serta tabarruk yang berkaitan dengan orang yang dicintai!
Kenyataan ini berarti menunjukkan bahwa Rasulallah saw. membenarkan dan meridhai
perbuatan para sahabat tersebut. Beliau saw. juga sebagai contoh bagi umatnya,
bila perbuatan tersebut sebagai pengkultusan atau mengakibatkan
kesyirikan dan lain sebagainya, maka beliau saw. tidak akan mengizinkan dan
melakukannya.
– ‘Utsman
bin ‘Abdullah bin Muwahhab menuturkan; “Keluargaku menyuruh aku datang kepada
Ummul Mu’minin Ummu Salamah membawa air dalam sebuah mangkuk. Ia keluar membawa
wadah air terbuat dari perak. Di dalamnya terdapat beberapa guntingan rambut
Rasulallah saw. Ketika itu orang yang menderita sakit mata atau penyakit
lainnya mengirim pesuruh kepadanya membawa wadah (makhdhabah), yang lazim
digunakan untuk mencelupkan sesuatu. ‘Utsman bin Abdullah berkata lebih lanjut:
‘Aku mencoba melihat apa yang berada didalam genta, ternyata kulihat ada guntingan-guntingan
rambut berwarna kemerah-merahan’ ”. (HR. Bukhori dalam kitabnya
Al-Libas bab Mayudzkaru Fisy-Syaib).
Imam Al-‘Aini
mengatakan, bahwa keterangan mengenai soal diatas tersebut, sebagai berikut:
“Ummu Salamah menyimpan sebagian dari guntingan rambut Rasulallah saw.,
yang berwarna kemerah-merahan, ditaruh dalam sebuah wadah seperti genta. Banyak
orang diwaktu sakit bertabarruk pada rambut beliau saw. dan
mengharap kesembuhan dari keberkahan rambut tersebut. Mereka mengambil sebagian
dari rambut itu lalu dicelupkan ke dalam wadah berisi air, kemudian mereka
meminumnya. Tidak lama kemudian penyakit mereka sembuh. Keluarga ‘Utsman
mengambil sedikit air itu, ditaruh dalam sebuah wadah dari perak. Mereka lalu meminumnya
dan ternyata penyakit yang mereka derita menjadi sembuh. Setelah itu mereka
menyuruh ‘Ustman mencoba melihat dan ternyata dalam genta itu terdapat beberapa
guntingan rambut berwarna kemerah-merahan”. (Lihat ‘Umdatul-Qari Syarh
Shahih Al-Bukhori jilid 17 hal. 79).
– Sewaktu Muawiyah akan wafat, ia mewasiatkan agar
dikuburkan dengan baju, sarung dan selendang juga sebagian
rambut Nabi. (Lihat: Kitab al-Ishobah jilid 3 halaman 400, Kitab Tarikh
Damsyiq jilid 59 halaman 229 dan Kitab as-Sirah al-halabiyah jilid 3 halaman
109)
– Sewaktu Umar bin Abdul Aziz hendak meningal dunia, ia
membawa rambut dan kuku Nabi seraya berkata: “Jika aku mati maka
letakkan rambut dan kuku ini pada kafanku” (Lihat: Kitab
at-Thobaqoot jilid 5 hal.406 tentang [tarjamah] Umar bin Abdul Aziz).
– Baluran mayat (Hanuth) jenazah Anas bin Malik terdapat
sejumput misik dan selembar rambut Rasulullah. (Lihat:
Kitab at-Thobaqoot jilid 7 halaman 25 tentang [tarjamah] Anas bin Malik)
– Salah seorang putera Fadhl bin ar-Rabi’ telah
memberikan tiga lembar rambut kepada Abu Abdillah (yaitu; Ahmad
bin Hanbal) sewaktu beliau di penjara. Lantas beliau berkata: “Ini adalah
bagian rambut Nabi”. Abu Abdillah mewasiatkan agar sewaktu beliau meninggal
hendaknya masing-masing rambut tadi diletakkan pada kedua belah matanya,
sedang satu sisanya di letakkan pada lidahnya. (Lihat: Kitab Shifat
as-Shofwah jilid 2 halaman 357).
– Dari Abdullah
bin Muhib, beliau berkata: “Istriku menyuruhku untuk pergi ke Ummu Salamah
dengan membawa gelas berisikan air –dengan pegangan tangan Israil seukuran tiga
jari– dan terdapat di dalamnya sepotong rambut Nabi. Jika
terdapat seseorang yang terkena mata (penyakit ‘ain .red) ataupun sesuatu (yang
lain) maka akan dikirim kepadanya alat pemacar (pewarna rambut .red). Kemudian
kulihat dengan berjinjit, ternyata di situ kudapati terdapat rambut merah”.
(Kitab Shohih al-Bukhari jilid 7 hal. 207).
– Imam Ahmad
bin Hanbal dalam musnad-nya mengetengahkan riwayat dari Ibnu Sirin
yang menuturkan bahwa; ‘Ubaidah As-Salmani menyampaikan hadits tersebut
kepadaku. Kemudian ia berkata: ‘Jika aku mempunyai sehelai saja
dari rambut beliau saw., itu lebih kusukai daripada semua perak dan emas serta
apa saja yang berada di permukaan bumi dan dalam perutnya’.
– Riwayat yang
disebut oleh Al-mala dalam As-Sirah: “Ketika Abu Thalhah membagikan beberapa
helai rambut Rasulallah saw. kepada sejumlah orang sahabat, Khalid bin
Al-Walid minta agar ia diberi rambut ubun-ubun beliau saw. Abu Thalhah
memberi apa yang diminta oleh Khalid. Terbukti berkah rambut ubun-ubun
beliau itu Khalid sering meraih kemenangan dalam berbagai peperangan”. ( ‘Umdatul
Qari Syarh Al-Bukhori, Jilid 8 hal. 230-231).
– Dari Anas bin
Malik ra, beliau berkata: “Aku melihat Rasulullah sedang di pangkas rambutnya
oleh tukang potong, sedang para sahabat mengerumuni nya dan mereka tidak
membiarkan sehelaipun rambut beliau jatuh melainkan disalah satu tangan
mereka” (Kitab shahih Muslim dengan syarah Imam Nawawi jilid 15 hal.83;
Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 3 hal.591; as-Sunan al-Kubra karya
al-Baihaqi jilid 7 hal. 68; Kitab as-Sirah al-Halabiyah jilid 3 halaman 303;
Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah jilid 5 halaman 189 dan Kitab Musnadaat ibn
Malik hadits ke-11955).
Dari Abdullah bin Zaid, beliau berkata: “…maka
Rasulullah dipangkas rambutnya dengan mengenakan baju, lalu beliau
memberikannya (rambut) kepada orang-orang (sahabat) untuk dibagi. Kemudian
beliau memotong kuku yang kemudian diberikan kepada sahabatnya. Ia
(Abdulah bin Zaid) berkata: ‘Kudapati hal itu diwarnai dengan pacar, yaitu;
rambut beliau’ “. (Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid
4 hal. 630 hadits ke-16039; as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 1 hal.68;
Majma’ az-Zawa’id jilid 4 hal. 19).
– Dari
Abu Bakar, beliau berkata: “Tiada Fath (penaklukan tanpa peperang an
.red) terbesar yang dilakukan Islam melainkan Fath Hudaibiyah. Akan
tetapi kala itu, orang-orang banyak yang kurang memahami hubungan antara
Muhammad dengan Tuhannya…Suatu hari, ketika haji wada’, aku melihat Suhail bin
Amr berdiri di tempat penyembelihan (binatang kurban) dekat dengan Rasulullah
bersama ontanya yang saat itu beliau menyembelih onta dengan tangannya sendiri.
Kemudian beliau memanggil tukang cukur untuk mencukur rambut kepalanya. Aku
melihat Suhail memunguti rambut beliau yang berjatuhan. Aku melihatnya
meletakkan (rambut tadi) di kelopak mata- nya. Aku mengingat keengganan
beliau (untuk menghapus), sehingga beliau menetapkan pada hari Hudaibiyah untuk
menulis kata Bismillahir Rahmanir Rahim”. (Lihat: Kitab Kanzul Ummal karya
Muttaqi al-Hindi al-Hanafi jilid 10 halaman 472 hadits-30136).
– Dari Ibnu Syirin, beliau berkata: “Aku berkata kepada
Ubaidah; ‘Kami memiliki rambut Nabi. Kami mendapatkannya dari Anas
ataupun dari keluarga Anas’. Ia bekata: ‘Jika aku memiliki selembar rambut
saja maka akan lebih kusukai daripada dunia beserta isinya’ ”. (Kitab
Shohih al-Bukhari jilid 1 hal. 51 kitab al-Wudhu, bab al-Maa’ al-Ladzi Yughsal
Sya’rul Insan).
– Al-Waqidi menjelaskan bahwa Ummul Mukminin Aisyah telah
ditanya: “Dari mana engkau mendapatkan rambut itu?. Ia berkata: ‘Sesungguhnya
sewaktu Rasulallah mencukur kepala beliau dihaji maka orang-orang memisahkan
rambutnya. Kami mendapatkannya sebagaimana orang-orang pun mendapatkannya’ ”.
(Lihat: Kitab al-Maghozi jilid 3 halaman 1109).
Jika rambut Rasulallah saw. seperti rambut kebanyakan orang, mengapa para tokoh
Salaf Sholeh mengharapkannya, bahkan menghendaki rambut itu dikubur bersamanya
sewaktu meninggal dunia, untuk pengobatan dan lain sebagainya?
Apakah itu juga tergolong perbuatan syirik? Benarkah para
tokoh Salaf Sholeh melakukan kesyirikan? Apakah riwayat-riwayat yang telah
dikemukakan dan berikut ini yang jelas berkaitan dengan Tawassul,
Tabarruk semuanya dhoif/lemah, maudhu’, palsu walaupun
diriwayatkan oleh pakar-pakar ulama hadits, karena berlawanan dengan paham
golongan pengingkar? Ini yang harus dijawab oleh golongan pengingkar secara
adil dan konsekwen !
9.20.Dalil Tabarruk Para Sahabat Dari Gelas Nabi Saw.
Dari Sahal bin
Sa’ad pada sebuah hadits, beliau berkata: “Suatu hari aku mendapati Rasul
duduk-duduk dengan para sahabat beliau di Saqifah Bani Saidah, lalu beliau
bersabda: ‘Berilah kami minum, wahai Saha!’. Kemudian aku keluarkan gelas
ini dan kuberi minum mereka dengannya. (perawi berkata) Kemudian Sahal
mengeluarkan gelas tersebut dan memberi kami minum dengan menggunakan gelas
tersebut. Dia berkata: ’Kemudian Umar bin Abdul Aziz memintanya, dan iapun
lantas memberikannya kepadanya’”. (Shohih al-Bukhari jilid 6 hal. 352 dalam
kitab al-Asyrabah; Shohih al-Muslim jilid 6 hal.103 bab Ibahat an-Nabidz lam
Yasytari wa lam Yashir Muskiran).
Dari Anas:
“Sesungguhnya gelas Nabi telah pecah. Kemudian pecahan tadi
diikat dengan rantai perak. Berkata ‘Ashim: ‘Aku melihat gelas itu dan minum
menggunakan gelas tersebut’ ”. (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 4 halaman
47 dalam bab Bad’ul Khalq).
Abu Burdah
berkata: “Abdullah bin Salam berkata kepadaku: ‘Engkau akan kuberi minum dengan
menggunakan gelas yang pernah dipakai Nabi’”. (Kitab Shohih al-Bukhari
jilid 6 halaman 352 dalam kitab al-Asyribah).
Dari Shofiyah
binti Buhrah, beliau berkata: “Pamanku Faras telah meminta kepada Nabi sebuah piring
yang pernah dilihatnya dipakai makan oleh Nabi. Beliau memberi- kannya
kepadanya. Dia berkata: Dahulu, Umar jika datang kepada kami, ia akan
mengatakan: ‘Keluarkan buatku piring Rasulullah. Aku keluarkan piring
tersebut, kemudian ia memenuhinya dengan air Zamzam, dan meminum sebagian
darinya, selebihnya ia percikkan ke wajahnya’ ”. (Lihat: Kitab al-Ishobah jilid
3 hal. 202 dalam huruf Fa’ pada bagian pertama berkaitan dengan (tarjamah) Ibnu
Faras nomer ke-6971; Kitab Usud al-Ghabah jilid 4 hal. 352 pada huruf Fa’,
Faras ‘Amm (paman) Shofiyah nomer ke-4202 dan Kitab Kanzul Ummal jilid 14 hal.
264).
Apa beda antara gelas biasa yang tidak pernah dipakai
oleh Rasulallah dengan gelas bekas bibir Rasulallah, sehingga menyebabkan para
sahabat mulia yang tergolong tokoh Salaf Sholeh merebutkannya? Apakah perbuatan
itu tidak tergolong qhuluw (berlebih-lebihan) yang menyebabkan orang
terjerumus ke dalam kesyirikan? Apakah golongan pengingkar berani menyatakan
bahwa itu perbuatan tercela yang diajarkan oleh para sahabat yang tergolong
tokoh para Salaf Sholeh? Mereka harus
konsisten dengan pahamnya yang menyatakan bahwa perbuatan itu adalah syirik,
yang meniscayakan bahwa para sahabat telah mengajarkan kesyirikan kepada kita.
9.21.Tabarruk Para Sahabat Dari Tempat Tangan Dan Bibir
Nabi Saw.
– Dalam sebuah kisah yang berkaitan dengan
kedatangan Nabi ke rumah Abu Ayyub al-Anshari sewaktu beliau baru berhijrah ke
Madinah, Abu Ayyub berkata kepada Beliau: “Kami menyiapkan untuk beliau makan
malam dan lantas mengirim (hidangan) baginya. Sehingga jika beliau
mengembalikan sisa-sisa (makanan)nya maka aku dan Ummu Ayyub akan mengusap-usap
bekas tangan beliau dan memakannya, untuk mengharap berkah. Hingga
akhirnya suatu malam, kami mengirim buat beliau makanan yang terdapat bawang
merah dan bawang putih di dalamnya. Rasul saw. menolaknya, sehingga
kami tidak mendapati bekas tangan beliau. Akhirnya kudatangi beliau dengan
perasaan takut. Aku tanyakan: ‘ Wahai Rasulullah, demi ayahku, engkau dan
ibuku, engkau telah menolak hidanganmu sehingga kami tidak mendapati bekas
tanganmu’ ? Beliau saw. menjawab: ‘Aku mendapatkan bau pohon ini
(bawang). Dikarenakan aku adalah lelaki yang selalu bermunajat (maka
menjauhinya), adapun kalian, makanlah darinya..’ ”. (Kitab al-Bidayah wa
an-Niayah jilid 3 hal. 201; Kitab Sirah Ibnu Hisyam jilid 2 hal. 144 dan Kitab
ad-Dala’il karya al-Baihaqi jilid 2 hal. 510)
Dari kisah di atas dapat digunakan dalil bagi mereka yang
selalu munajat kepada Allah untuk menjauhi makanan yang berbau apalagi rokok
– Dari Anas: “Sewaktu Rasul memasuki rumah Ummu
Sulaim, beliau mendapati di rumah tersebut terdapat Qirbah (tempat air
dari kulit) yang ter gantung dan di dalamnya terdapat air. Kemudian beliau
mengambilnya dan meminum langsung dari bibir (Qirbah), dengan posisi berdiri.
Ummu Sulaim mengambilnya dan memotong bibir Qirbah tadi yang kemudian
disimpannya” (Lihat: Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 7 halaman 520
hadits ke-26574 dan atau Kitab at-Thobaqaat jilid 8 halaman 213)
– Dari Abdurrahman bin Abi Umrah yang diriwayatkan
dari neneknya, Ummu Kultsum. Beliau berkata: “Sewaktu Rasul memasuki rumahku,
beliau mendapati Qirbah tergantung yang berisi air. Beliau saw. meminum
darinya. Kemudian kupotong bibir Qirbah dan kuangkat, mengharap berkah
dari bekas bibir Rasulullah” (Lihat: Kitab Sunan Ibnu Majah jilid 2
halaman 1132 dan atau Kitab Usud al-Ghabah jilid 5 halaman 539 dalam huruf Kaf
mengenai (tarjamah) Kultsum pada nomer 7243)
Pertanyaan yang sama juga bisa dilontarkan dan harus
dijawab oleh golongan pengingkar dengan jujur:
Apakah perbuatan yang telah dikemukakan dalam bab
tawassul dan tabarruk ini tergolong Syirik? Apakah hal itu meniscayakan bahwa
para Sahabat yang tergolong Salaf Sholeh telah mengajarkan kepada kita
kesyirikan? Beranikah golongan pengingkar menvonis para sahabat di atas tadi
telah melakukan kesyirikan? Mana bukti bahwa ajaran golongan pengingkar hendak menumbuhkan
dan menyebarkan ajaran para Salaf Sholeh? Salaf Sholeh yang mana yang
hendak mereka hidupkan ajarannya?, padahal segenap Salaf Sholeh membolehkan dan
mengamalkan tawassul dan tabarruk ! Pikirkanlah!!
9.22.Tabarruk Para Sahabat Dari
Peninggalan Dan Tempat Shalat Nabi
Untuk lebih menguatkan akan argumentasi diperbolehkannya tabarruk
dalam syari’at Nabi Muhammad saw, maka di sini akan kita lanjutkan kajian
kita pada telaah hadits-hadits yang menyebutkan bahwa para Salaf Sholeh telah
bertabarruk kepada peninggalan Rasul saw., setelah wafat beliau. Dimana
semua itu selama ini dianggap sebagai bentuk kesyirikan oleh kaum yang
mengaku-ngaku sebagai penghidup ajaran dan manhaj Salaf Sholeh. Mari kita
sama-sama perhatikan secara teliti uraian hadits-hadits di bawah ini:
Diriwayatkan dari
Muhammad bin Jabir, berkata: “Aku mendengar ayahku berkisah tentang kakekku,
bahwa beliau adalah delegasi pertama Nabi dari Bani hanafiyah. Suatu
saat kudapati dia menyiram kepalanya dan berkata: ‘Duduklah wahai
saudara penghuni Yamamah, siramlah kepalamu!’. Aku siram kepalaku dengan air
bekas siraman Rasulullah…maka aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, berilah aku potongan
dari pakaianmu agar aku dapat merasakan ketentraman’. Beliau saw.
memberikannya kepadaku. Selanjutnya berkata Muhammad bin Jabir: ‘Ayahku berkata
bahwa kami biasa menyiramkannya buat orang sakit untuk memohon kesembuhan’”.
(Lihat: Al-Ishabah 2/102 huruf Sin bagian pertama, tarjamah Sayawis Thalq
al-Yamani nomer 3626)
Jika apa yang dimiliki Rasulallah sama dengan milik
kebanyakan orang, mengapa dia meminta kain Rasulallah untuk mendapat ketentraman
(isti’nas)? Dan buat apa air bekas siraman kepala Rasulallah itu
disimpan dan bahkan dijadikan sarana permohonan kesembuhan? Jika itu semua
masuk kategori syirik, maka selayaknya golongan pengingkar tidak perlu mengaku
sebagai penghidup ajaran dan manhaj Salaf Sholeh, tetapi penghidup
ajaran Khalaf Thaleh (lawan Salaf Sholeh).
Diriwayatkan dari
Isa bin Thahman, berkata: “Anas menyuruh untuk mengeluarkan sepasang sandal
yang memiliki dua tali, sedang kala itu aku berada di samping Anas. Aku dengar
Tsabit al-Banani berkata: ‘Itu adalah sandal Rasulallah’ ”. (Lihat: Shohih
Bukhari 7/199, 4/101, al-Bidayah wa an-Nihayah 6/6 dan Thabaqoot karya Ibnu
Sa’ad 1/478)
Jika sandal Rasulallah sama dengan sandal-sandal manusia
lain yang tidak layak disimpan dan ditabarruki, buat apa sahabat menyimpannya? Apakah sahabat kurang pekerjaan sehingga menyimpan
sandal yang sudah tidak dipakai, atau bahkan sudah rusak? Tentu ada hikmah
dibalik penyimpanan tersebut, salah satunya adalah untuk mengambil berkah
dari Rasul, melalui sandal beliau.
Dalam sebuah
riwayat, Rasulallah bersabda: “Barangsiapa yang bersumpah di atas mimbarku
dan dia berbohong walaupun terhadap selainnya maka selayaknya ia bersiap-siap
mendapat tempat di neraka” (Lihat: Musnad Ahmad bin Hanbal 4/357 hadits
ke-14606 dan Fathul Bari 5/210).
Ini semua membuktikan bahwa betapa sakralnya mimbar
Rasulallah saw., menurut lisan Rasulallah sendiri, dan para sahabat pun
meyakini hal itu. Terbukti bahwa Zaid bin Tsabit takut untuk bersumpah
di mimbar Rasulallah saw. ketika menghukumi Marwan. (Lihat: Kanzul Ummal karya
al-Muttaqi al-Hindi al-Hanafi 16/697 hadits ke-46389).
Bukan hanya itu, dalam sebuah riwayat yang disampaikan
oleh Yazid bin Abdullah bin Qoshith menjelaskan bahwa; “Aku melihat para
sahabat Nabi sewaktu hendak meninggalkan masjid, mereka menyentuh pucuk
mimbar yang menonjol yang (lantas dikemudian hari terletak) di sisi kanan
kubur kemudian mereka menghadap kiblat dan berdo’a” (Lihat: at-Thabaqot
al-Kubra 1/254 tentang mimbar Rasulalllah).
Bahkan dalam riwayat Ibrahim bin Abdurrahman bin Abdul
Qori menyebutkan bahwa; “Beliau melihat Umar meletakkan tangannya ke tempat
duduk Nabi di atas mimbar, lalu mengusapkannya kewajahnya”. (Lihat: at-Thabaqot
al-Kubra 1/254 tentang mimbar Rasulallah dan ats-Tsuqoot karya Ibnu Hibban
halaman 9). Jika golongan pengingkar selalu menyatakan syirik buat pengambilan
berkah –dari para penziarah yang datang ke Masjid Nabawi di kota Madinah dari
mimbar Rasulallah, maka apakah layak kelompok ini mengaku sebagai ‘penghidup
Sunah menurut ajaran Salaf Sholeh’? Ataukah mereka lebih layak disebut
sebagai ‘penghidup bid’ah menurut ajaran Khalaf Thaleh ?
Guna mempersingkat tulisan maka kami hanya menyebutkan
beberapa hadits saja. Namun, di sini akan kita singgung beberapa riwayat
beserta rujukannya dengan harapan para pembaca yang budiman dapat merujuk
kembali ke tekts aslinya.
Dalam beberapa riwayat dan hadits lain disebutkan bahwa,
ada beberapa hadits seperti yang membahas tentang Anas bin Malik yang dikubur
dengan tongkat Rasulallah saw. (al-Bidayah wa an-Nihayah 6/6);
para sahabat mengambil berkah dari cincin Rasulallah dengan
meniru bentuknya (Shahih Bukhari 7/55; Shohih Muslim 3/1656; an-Nasa’i 8/196;
Musnad Ahmad bin Hanbal 2/96 hadits ke-472); para sahabat yang mengambil berkah
dari sarung Rasulallah dengan memakainya secara bergilir dan
dijadikannya kafan (Shahih Bukhari 7/189, 2/98, 3/80, 8/16; Sunan
Ibnu Majah 2/1177; Musnad Ahmad bin Hanbal 6/456 hadits ke-22318; Fathul Bari
3/144 tentang hadits 1277); Muawiyah bin Abi Sufyan yang bersikeras membeli selendang
Rasulallah untuk dibawa mati dan menjadi kafannya (Tarikh Islam
karya adz-Dzahabi 2/412; as-Sirah al-Halabiyah 3/242;Tarikh Khulafa’ karya
as-Suyuthi hal:19); hadits Ummu Athiyah tentang kehadiran Rasul ketika anak
putrinya meninggal dan mengambil berkah dari sarungnya (Shohih
Bukhari 2/74 kitab Jana’iz bab pemberian Kafur; Shohih Muslim 2/647; Musnad
Ahmad 7/556 hadits ke-26752; Sunan an-Nasa’i 4/31 dan as-Sunan al-Kubra 3/547
bab 34 hadits ke-6634 dan atau 4/6 bab 72 halaman 6764).
9.23.Tabarruk Para Sahabat Dari Tempat Shalat Nabi Saw.
Dari Musa bin Uqbah, beliau berkata: “Aku melihat Salim
bin Abdullah bingung memilih tempat di jalanan untuk melaksanakan shalat.
Dikatakan bahwa dahulu ayahnya pernah melaksanakan shalat di tempat itu. Dan ia
pernah melihat bahwa Rasulallah saw. juga pernah melaksanakan shalat di tempat
itu. Nafi’ berkata, ‘bahwa Ibnu Umar menjelaskan bahwa Rasulullah pernah
melaksanakan shalat di tempat-tempat itu’. Aku bertanya kepada Salim karena aku
tak pernah melihat Salim kecuali dia mengikuti Nafi’ dalam (memanfaatkan) semua
tempat-tempat yang ada, kecuali mereka berdua berbeda dalam pada tempat sujud
(masjid) sebagaimana kemuliaan alat putar penggiling (riha’)”. (Shohih Bukhari
1/130, Al-ishobah 2/349 pada huruf ‘Ain’ pada bagian pertama, tarjamah Abdullah
bin Umar, nomer 4834, Al-Bidayah wa an-Nihayah 5/149 dan Kanzul Ummal karya
Muttaqi al-Hindi al-Hanafi 6/247)
Dari hadits di atas itulah akhirnya Ibnu Hajar
dalam mensyarahinya mengatakan; “Dari Shoni’ bin Umar dapat diambil pelajaran
tentang disunnah kannya mengikuti peninggalan dan kesan Nabi
untuk bertabarruk padanya”. (Fathul Bari 1/469; menurut as-Shorim:
108 dinyatakan bahwa Imam Malik menfatwakan; ‘Sunnah melakukan shalat di
tempat-tempat yang pernah dibuat shalat oleh Nabi’. Pernyataan yang sama juga
terdapat di kitab al-Isti’ab yang sebagai catatan kaki dari Al-Ishabah
tentang Abullah bin Umar).
Tetapi pada kenyataannya, mengapa para muthawwi’ (rohaniawan
sekte Wahabi) berusaha menghalang-halangi para jama’ah haji yang ingin ber
tabarruk dan melakukan shalat di Gua Hira’ tempat menyendiri Rasulallah saw.
yang beliau pakai untuk beribadah dan shalat di sana, dengan alasan Rasulallah
saw. dan Salaf Sholeh tidak pernah memberi contoh hal tersebut?
Ibnu Atsir berkata
bahwa, ”Ibnu Umar adalah pribadi yang seringnya selalu mengikuti kesan dan
peninggalan Rasulullah saw., sehingga nampak beliau berdiam di tempat
(Rasulallah pernah berdiam di situ), dan melakukan shalat di tempat yang
Rasulallah pernah melakukan shalat di situ, dan sampai pohon yang pernah
disinggahi oleh Nabi saw. (untuk berteduh) pun di singgahinya, bahkan beliau
(Ibnu Umar) selalu menyiraminya agar tidak mati kekeringan”. (Lihat: Usud
al-Ghabah 3/340, terjemah Abdullah bin Umar, nomer 3080. Dan hal serupa –dengan
sedikit perbedaan redaksi– juga dapat dilihat dalam kitab Musnad Imam Ahmad bin
Hanbal 2/269 hadits ke-5968, Shohih Bukhari 3/140; Shohih Muslim 2/1981)
Apakah tabarruk Ibnu Umar tersebut tergolong syirik dan
berlebih-lebihan (kultus) terhadap Rasulallah? Apakah mungkin pribadi mulia nan agung seperti Ibnu
Umar melakukan perbuatan syirik yang dicela oleh Rasulallah saw.? Jika ya,
lantas kenapa para Salaf Sholeh tidak pernah menegurnya, bukankah diamnya
mereka berarti meridhoi hal yang sesat? Beranikah golongan pengingkar
menyatakan bahwa itu adalah Syirik? Ataukah mereka terpaksa melegalkan
perbuatan yang mereka anggap syirik itu? Ataukah mereka ini akan memutar balik
makna riwayat-riwayat yang berkaitan Tawassul, Tabarruk sampai sesuai
dengan pahamnya?
Dari Anas bin Malik; “Sesungguhnya Ummu
Sulaim meminta agar Rasulallah datang ke rumahnya dan melakukan shalat di
rumahnya supaya ia dapat mengambilnya (bekas tempat shalat Rasulallah) sebagai mushalla.
Rasulallah pun datang. Dia (Ummu Sulaim) sengaja memerciki tikar dengan air,
kemudian Rasulallah melaksanakan shalat di atasnya yang di-ikuti oleh beberapa
sahabat lainnya”. (Sunan an-Nasa’i jilid 1halaman 268 kitab masajid, bab 43
as-Sholat alal Hashir hadits 816).
Dari Anas bin Malik; “Salah seorang pamanku
membuat satu makanan, lalu berkata kepada Nabi: ‘Aku ingin engkau datang ke
rumahku untuk makan dan shalat’. Dan (Anas) berkata: ‘Beliau saw. datang ke
rumah sedang di rumah terdapat batu-batu (hitam). Beliau dipersilahkan ke salah
satu sudut yang telah dibersihkan. Kemudian beliau saw. melakukan shalat,
kami pun mengikutinya’ ”. (Sunan Ibnu Majah jilid 1 halaman 249, kitab
al-Masajid, bab al-Masjid fi ad-Daur, hadits 756; dalam kitab Musnad Ahmad bin
Hanbal jilid 3 halaman 130 dengan dua sanad atau dalam kitab Musnad Anas bin
Malik hadits 11920)
Suatu saat, datang
Atban bin Malik salah seorang sahabat Rasulallah dari Anshar yang mengikuti
perang Badr bersama Rasulallah saw. kepada Rasulallah seraya berkata: ‘”Wahai
Rasulullah, telah lemah penglihatanku, aku melakukan shalat bersama
kaumku. Jika hujan turun dan menggenangi lembah yang membentang antara tempatku
dengan tempat mereka sehingga aku tak dapat melakukan shalat bersama mereka di
masjid mereka ‘Wahai Rasulallah, aku mengharap engkau datang
mengunjungiku dan melaksanakan shalat di rumahku’. Rasululah saw bersabda
kepadanya: ‘Aku akan melaksanakannya, insya-Allah’. Atban berkata: Keesokan
harinya, di waktu siang, datanglah Rasulallah besama Abu Bakar. Kemudian
Rasulallah meminta izin kepadaku dan akupun memberikannya izin. Beliau tidak
duduk ketika memasuki rumah dan langsung bersabda; ‘Dibagian manakah engkau
ingin aku mengerjakan shalat di rumahmu?’. Aku tunjuk satu sudut
yang berada di rumahku. Rasulullah berdiri dan bertakbir. Kami pun turut
berdiri dan mengambil saf untuk melakukan shalat dua rakaat dan membaca
salam”.(Shohih Bukhari 1/115, 170 dan 175; Shohih Muslim 1/445, 61& 62)
Anehnya, dalam menetapkan pelarangan bertabarruk pada
tempat-tempat dan benda-benda yang dianggap sakral (muqaddas), al-Ulyani
dalam kitab “at-Tabarruk al-Masyru” hal: 68-69” berargumen dengan hadits
Atban bin Malik yang disinyalir dalam kitab shohih Bukhari dan Shohih Muslim di
atas untuk menetapkan ‘pengharaman tabarruk pada tempat dan benda’. Mengenai komentar Al-Ulyani lihat dan baca kajian
selanjutnya yaitu pada kalimat Golongan Wahabi/Salafi mengisukan di
bab ini.
9.24.Dalil Tabarruk Dari Pusara (Kuburan) Rasulallah
Saw.
Pada kajian lalu telah kami sebutkan beberapa hadits
yang menjelaskan bahwa para Salaf Sholeh telah melakukan pengambilan berkah
dari peninggalan-peninggalan Rasulallah saw. seperti sandal, tongkat, baju,
bahkan mereka selalu mengusap-usap mimbar Nabi saw. dan mengusapkannya ke
wajahnya. Semua perbuatan itu jelas-jelas dilarang oleh para rohaniawan madzhab
Wahabi (Muttauwi’) terhadap para jama’ah haji yang ingin melakukannya
sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat terhadap mimbar Rasulallah saw..
Kajian dan telaah kami berikut ini pada pembahasan; ‘Tabarruk
terhadap Kuburan/Pusara’ yang jelas-jelas dilarang oleh kaum Wahabi,
pengikut ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab, yang sering mengatakan penghidup
ajaran para Salaf Sholeh (Salafi). Padahal kalau kita teliti paham mereka
banyak yang bertentangan dengan ajaran Salaf Sholeh dan prinsip dasar Ahlusunah
wal Jama’ah, termasuk masalah pembolehan tabarruk terhadap kuburan/makam
Rasulullah saw. Kaum muslimin yang pernah berziarah ke makam suci Rasulullah
akan dengan jelas mengetahui bagaimana perlakuan para rohaniawan madzhab Wahabi
itu, ketika mereka hendak mengusap tempat-tempat yang para sahabat Rasul
saw. juga mengamalkannya.
Dawud bin Abi
Shaleh mengatakan: “Suatu saat Marwan bin Hakam datang ke Masjid (Nabawi). Dia
melihat seorang lelaki telah meletakkan wajahnya di atas makam Rasul. Kemudian
Marwan menarik leher dan mengatakan: ‘Sadarkah apa yang telah engkau lakukan?’.
Kemudian lelaki itu menengok kearah Marwan (ternyata lelaki itu adalah Abu
Ayyub al-Anshari ra) dan mengatakan: ‘Ya, aku bukan datang untuk seonggok batu,
aku datang di sisi Rasulallah’. Aku pernah mendengar Rasulallah bersabda:
‘Sewaktu agama dipegang oleh pakarnya (ahli) maka janganlah menangis untuk
agama tersebut. Namun ketika agama dipegang oleh yang bukan ahlinya maka
tangisilah’ ”. (Lihat: Mustadrak ala as-Shohihain karya al-Hakim an-Naisaburi
Jilid: 4 Halaman: 560 Hadits ke-8571 atau Wafa’ al-Wafa’ karya Samhudi Jilid: 4
Halaman 1404).
Juga riwayat semacam itu bisa dirujuk didalam
kitab-kitab: Ibnu Hibban dalam shahihnya, Imam Ahmad (5:422), Tabarani didalam
Mu`jam al-Kabir (4:189) dan didalam ‘Awsat’ disahkan oleh Haithami dalam
al-Zawa'id (5:245), Al-Hakim dalam Mustadrak (4:515), Al-Dhahabi menshahihkan
juga, al-Subki didalam Shifa' al-Siqam halaman 126, Ibnu Taimiyyah dalam
al-Muntaqa 2:261f, Haithami dalam al-Zawa'id 4:2). Hadits di atas (dari
Hakim an-Naisaburi) telah dinyatakan keshohihannya oleh adz-Dzahabi. Sehingga
tidak ada seorang ahli hadits lain yang meragukannya.
Atas dasar hadits diatas maka, as-Samhudi dalam kitab Wafa’
al-Wafa’ jilid: 4 halaman: 1404 menyatakan bahwa; “jika sanad haditsnya
dinyatakan baik (benar) maka menyentuh tembok kuburan (makam) tidak bisa
dinyatakan makruh”. Nah, jika hukum makruh saja tidak bisa ditetapkan
apalagi hukum haram, sebagai perwujudan dari perbuatan syirik
sebagaimana yang ‘dihayal kan’ oleh madzhab Salafi (baca: Wahabi).
Hadits diatas itu jelas menunjukkan
disamping ziarah kepada Rasulallah saw. juga pengambilan barokah dari
makam Rasulallah saw. Ziarah kubur dengan tujuan pengambilan barokah
semacam itu tidaklah mengapa, bukan tergolong syirik ataupun bid’ah sebagaimana
yang dianggap oleh kaum Wahhabi. Bila tidak demikian mengapa Abu Ayyub ra.
tidak cukup beri salam dan berdo’a kepada Allah swt. tanpa di iringi dengan menempelkan
wajahnya diatas pusara Nabi saw.? Dalam konteks riwayat itu juga tidak
jelas di sebutkan apa penyebab teguran Marwan terhadap Abu Ayyub. Ada
banyak kemungkinan di sini. Yang jelas bukan karena syirik atau bid’ah,
karena kalau benar semacam itu niscaya Marwan akan tetap bersikeras melarang
perbuatan Abu Ayyub tersebut. Bila orang ingin menjalankan Amar makruf nahi
munkar tidak perduli siapa yang berbuat (baik itu sahabat maupun bukan
sahabat) harus dicegah perbuatan munkarnya. Lalu mengapa Marwan menghentikan
tegurannya ketika melihat bahwa yang melakukannya adalah Abu Ayyub?
Adapun teguran Marwan jelas tidak bisa disamakan dengan
teguran para muthowwi’ (rohaniawan Wahhabi) di sekitar tempat-tempat suci di
Saudi Arabia. Karena muthowwik itu dengan jelas langsung menvonis syirik,
bukan karena rasa khawatir syirik, tidak lain karena kesalahan mereka
dalam memahami dan mempraktekkan kaidah Syadzudz Dzarai dan dalam
menentukan tolok ukur antara Tauhid dan syirik.
Bila apa yang dilakukan Abu Ayyub al-Anshari seorang sahabat besar Rasulallah itu tergolong
perbuatan syirik (sebagaimana paham kaum Wahabi) maka mungkin- kah
seorang sahabat besar semacam beliau melakukan perbuatan syirik atau akan
berbuat sesuatu yang mengakibatkan kekufuran atau kesyirikan? Sudah
Tentu Tidak Mungkin! Beranikah golongan pengingkar menyatakan bahwa
Abu Ayyub al-Anshari pelaku syirik karena tergolong penyembah kubur (quburiyuun)?
Abu Darda’ dalam
sebuah riwayat menyebutkan: “Suatu saat, Bilal (al-Habsyi) bermimpi
bertemu dengan Rasulallah. Beliau bersabda kepada Bilal: ‘Wahai Bilal, ada apa
gerangan dengan ketidak perhatianmu (jafa’)? Apakah belum datang saatnya
engkau menziarahiku?’. Selepas itu, dengan perasaan sedih, Bilal segera
terbangun dari tidurnya dan bergegas mengendarai tunggangannya menuju ke
Madinah. Bilal mendatangi kubur Nabi sambil menangis lantas meletakkan
wajahnya di atas pusara Rasul. Selang beberapa lama, Hasan dan Husein (cucu
Rasulallah) datang. Bilal mendekap dan mencium keduanya”. (Tarikh Damsyiq jilid
7 halaman: 137; Usud al-Ghabah karya Ibnu Hajar jilid: 1 hal. 208; Tahdzibul
Kamal jilid: 4 hal. 289, dan Siar A’lam an-Nubala’ karya Adz-Dzahabi jilid: 1
Halaman 358)
Bilal menganggap
ungkapan Rasulallah saw. dalam mimpinya sebagai teguran dari beliau saw.,
padahal secara dhohir beliau saw. telah wafat. Jika tidak demikian, mengapa sahabat
Bilal datang jauh-jauh dari Syam menuju Madinah untuk menziarahi Rasulallah
saw.? Kalau Rasulallah benar-benar telah wafat sebagaimana anggapan
golonganpengingkar bahwa yang telah wafat itu sudah tiada maka Bilal tidak
perlu menghiraukan teguran Rasulallah itu. Apa yang dilakukan sahabat Bilal
juga bisa dijadikan dalil atas ketidakbenaran paham Wahabisme –pemahaman Ibnu
Taimiyah dan Muhamad bin Abdul Wahhab– tentang pelarangan bepergian untuk
ziarah kubur sebagaimana yang mereka pahami tentang hadits Syaddur Rihal.
Walaupun mimpi tak dapat dijadikan dalil untuk memecahkan
hukum syariat, namun mimpi dapat dijadikan dalil sebagai manakib, sejarah dan
lainnya. Misalnya mimpi orang kafir atas kebangkitan Nabi saw, maka tentunya
hal itu dijadikan dalil atas kebangkitan Nabi saw. Dan masih banyak riwayat
mengenai kisah mimpi para Rasul dan para sahabat Nabi saw, yang diakui oleh
para imam yang meriwayatkannya, dan tidak mengingkarinya.Tentunya hal itu
menjadi dalil bagi kita, tentang kebenaran riwayatnya.
Ibnu Hamlah menyatakan: “Abdullah bin Umar meletakkan
tangan kanannya di atas pusara Rasul dan Bilal pun meletakkan pipinya di atas
pusara itu”. (Lihat: Wafa’ al-Wafa’ Jilid: 4 Halaman: 1405)
Apa maksud Ibnu Umar dan Bilal meletakkan tangan di
pusara Rasulallah? Mengapa ulama madzhab Wahabi menvonnis syirik kepada
penziarah yang ingin mengusap teralis besi penutup pusara Rasulallah saw. dan
kedua sahabatnya? Apakah mereka ini juga menganggap semua hadits yang telah
dikemukakan itu dho’if, palsu, maudhu’ dan lain sebagainya, karena berlawanan
dengan pahamnya?
Diriwayatkan dari
Ali bin Abi Thalib kw. bahwa: “Sewaktu Rasulullah dikebumikan, Siti Fatimah
–puteri Rasul satu-satunya– bersimpuh disisi kuburan Rasulallah dan mengambil sedikit
tanah makam Rasulallah kemudian diletakkan diwajahnya dan sambil
menangis ia pun membaca beberapa bait syair….”. (al-Fatawa al-Fiqhiyah karya
Ibnu Hajar jilid 2 hal.18, as-Sirah an-Nabawiyah jilid 2 hal.340, Irsyad
as-Sari jilid 3 hal. 352 dsb.nya)
Jika apa yang dilakukan Siti Fatimah tersebut adalah
Syirik atau Bid’ah maka mengapa ia melakukannya? Apakah dia tidak pernah
mengetahui apa yang telah diajarkan oleh ayahnya (Rasulullah)? Apakah mungkin khalifah Ali bin Abi
Thalib membiarkan istrinya terjerumus ke dalam kesyirikan dan Bid’ah yang
dilarang oleh beliau saw. (versi Wahabisme)? Bukankah keduanya adalah
keluarga dan sahabat Rasulallah yang tergolong Salaf Sholeh, yang konon akan
diikuti oleh kelompok Wahabi ?
Seorang Tabi’in
bernama Ibnu al-Munkadir pun pernah melakukannya (bertabarruk kepada
kuburan Rasulallah). “Suatu ketika, di saat beliau duduk bersama para sahabat
nya, seketika lidahnya kelu dan tidak dapat berbicara. Beliau langsung
bangkit dan menuju pusara Rasulallah dan meletakkan dagunya di atas pusara
Rasulallah kemudian kembali. Melihat hal itu, seseorang
mempertanyakan perbuatannya. Beliau menjawab: ‘Setiap saat aku mendapat
kesulitan, aku selalu mendatangi kuburan Nabi’ ”. (Lihat: Wafa’ al-Wafa’
Jilid: 2 Halaman: 444).
Imam Ahmad ibn
Hanbal; Imam Madzhab Hanbali dalam kitab al Jami’ fi al ‘Ilal wa Ma’rifati
ar-Rijal. menyatakan kebolehan menyentuh dan meletakkan tangan di atas
makam Nabi Muhammad s.a.w, menyentuh mimbarnya dan mencium makam dan mimbar
tersebut apabila diniatkan untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah
dengan bertabarruk.
Atas dasar hadits-hadits tadi akhirnya as-Samhudi
menyatakan dalam kitab Wafa’ al-Wafa’-nya (jilid: 1 Halaman: 544) bahwa;
“Mereka (para sahabat) dan selainnya (Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in) sering
mengambil tanah dari pusara Rasulallah. Aisyah (ummul
mukminin) ra. membangunnya dan menutup pusara itu dengan terali. Dikatakan:
‘Ditutup olehnya (Aisyah) karena menghindari habisnya tanah pusara dan kerusakan
bangunan di atasnya’ ”.
Masihkah golongan pengingkar yang mengatas namakan diri
sebagai pengikut dan penghidup ajaran Salaf Sholeh itu hendak menuduh kaum
muslimin yang bertabarruk terhadap peninggalan Nabi sebagai pelaku syirik dan
bid’ah? Kalaulah secara esensial pengambilan berkah dari kuburan adalah syirik
maka setiap pelakunya harus diberi titel musyrik, tidak peduli sahabat
Rasulallah atau pun orang awam biasa ! Beranikah golongan ini menjuluki mereka sebagai “para penyembah kubur” (Kuburiyuun)?,
sebagai mana istilah ini sering diberikan kepada kaum muslimin yang suka
mengambil berkah dari kuburan Nabi dan para manusia kekasih Allah (Waliyullah)
lainnya?
9.25.Antar Para Sahabat Pun Saling Bertabarruk:
Pertama-tama, kita akan melihat beberapa tekts tentang:
apakah diperbolehkan mengambil berkah dari selain Nabi, seperti para Sahabat,
Tabi’in, Tabi’ Tabi’in dan para manusia sholeh dan bertakwa pasca masa mereka?
Kita di sini akan melihat beberapa tekts yang membuktikan bahwa para sahabat
satu dengan yang lain dan diantara mereka telah saling mengambil berkah. Sedang
kita tahu bahwa ,menurut Ahlusunah wal Jama’ah, para sahabat adalah Salaf
Sholeh yang layak ditiru dan diikuti.
Imam an-Nawawi
dalam kitab “al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab” (jilid 5 hal. 68) dalam Kitabus-Shalat
dan dalam Babus-Shalatul-Istisqo’ yang menukil riwayat bahwa Umar bin
Khatab telah meminta do’a hujan melalui ‘Abbas (paman Rasulallah)
sebagaimana yang telah kita kemukakan sebelumnya dengan menyatakan: ‘Ya Allah,
Dahulu jika kami tidak mendapat hujan maka kami bertawassul kepada-Mu melalui
Nabi kami, lantas engkau menganugerahkan hujan kepada kami. Dan kini, kami
bertawassul kepada-Mu melalui paman Nabi-Mu, maka turunkanlah hujan bagi kami.
Kemudian turun lah hujan’. (Ibnu Hajar juga menyatakan bahwa; Abu Zar’ah
ad-Damsyiqi juga telah menyebutkan kisah ini dalam kitab sejarahnya dengan
sanad yang shahih).
Dalam kitab yang
sama diatas, disebutkan bahwa Muawiyah telah meminta hujan melalui Yazid bin
al-Aswad dengan mengucapkan: “Ya Allah, kami telah meminta hujan melalui
pribadi yang paling baik dan utama di antara kami (sahabat, red). ‘Ya Allah,
kami meminta hujan melalui diri Yazid bin al-Aswad. Wahai Yazid, angkatlah
kedua tanganmu kepada Allah’. Ia mengangkat kedua tangannya diikuti oleh
segenap orang (yang berada disekitarnya). Maka mereka dianugerahi hujan sebelum
orang-orang kembali ke rumah masing-masing”.
Ibnu Hajar dalam kitab ‘Fathul Bari’ (Syarah kitab
Shohih al-Bukhari) pada jilid 2 halaman 399 dalam menjelaskan peristiwa
permintaan hujan oleh Umar bin Khatab melalui Abbas, menyatakan: “Dapat diambil
suatu pelajaran dari kisah Abbas ini yaitu, dimustahabkan (sunnah) untuk
meminta hujan melalui pemilik keutamaan dan kebajikan, juga ahlul bait Nabi”.
Ibnu Atsir dalam
kitab ‘Usud al-Ghabah’ (Jilid: 3 Halaman: 167) dalam menjelaskan tentang
pribadi [tarjamah] Abbas bin Abdul Mutthalib pada nomor ke-2797 menyatakan:
“Sewaktu orang-orang dianugerahi hujan, mereka berebut untuk menyentuhi
Abbas dan mengatakan: ‘Selamat atasmu wahai penurun hujan untuk
Haramain’. Saat itu para sahabat mengetahui, betapa keutamaan yang dimiliki
oleh Abbas sehingga mereka mengutama- kannya dan menjadikannya sebagai rujukan
dalam bermusyawarah”.
Sewaktu Umar bin
Khatab melamar Ummu Kultsum (putri Ali bin Abi Thalib), ia mengatakan:
‘Aku ingin masuk menjadi bagian dari Rasulallah’.
As-Samhudi dalam
kitab “Wafa’ al-Wafa’” (jilid 2 hal. 448) menyatakan bahwa; ”Dahulu, Ali
bin Abi Thalib selalu duduk di depan serambi yang ber- hadapan dengan kuburan
(Rasulallah, red). Di situ terdapat pintu Rasulallah yang didepannya terdapat
jalan yang dipakai Nabi keluar dari rumah Aisyah untuk menuju Masjid (Raudhah).
Di tempat itulah terdapat tiang (pilar) tempat shalat penguasa (amir) Madinah.
Ia (Ali bi Abi Thalib) duduk sambil menyandari tiang itu. Oleh karena itu, Al-Aqsyhary
mengatakan: ‘Tiang tempat shalat Ali itu hingga kini sangat disembunyikan dari
para pengunjung tempat suci (Haram) agar para penguasa dapat (leluasa) duduk
dan shalat di tempat itu, hingga hari ini’. Disebutkan bahwa tempat itu disebut
dengan ‘Tempat para Pemimpin’ (Majlis al-Qodaat) karena kemuliaan orang yang
pernah duduk di situ (yaitu Ali bin Abi Thalib, red)”.
Dalam kitab yang
sama di atas, as-Samhudi (pada jilid 2 hal. 450) menukil dari Muslim bin
Abi Maryam dan pribadi-pribadi lain yang menyatakan: “Pintu rumah Fatimah binti
Nabi saw. terletak di ruangan segi empat yang berada di sisi kubur. Sulaiman
berkata: Muslim telah berkata kepadaku: ‘Jangan engkau lupa untuk mengerjakan shalat
di tempat itu. Itu adalah pintu rumah Fatimah dimana Ali bin Abi Thalib
selalu melewatinya’ ”.
Ibn Sa’ad dalam
kitab ‘at-Thabaqoot al-Kubra’ (jilid 5 hal. 107) menukil riwayat yang
menyatakan: “Sewaktu Husein bin Ali bin Thalib meninggalkan Madinah untuk
menuju Makkah, ia bertemu dengan Ibn Muthi’ yang sedang menggali sumur. Ia
berkata kepada Husein: ‘Aku telah menggali sumur ini tetapi tidak kudapati air
dalam ember sedikit pun. Jika engkau berkenan untuk mendo’akan kami kepada
Allah dengan berkah’. Husein berkata: ‘Berikan sedikit air yang kau punya’!.
Kemudian diberikan kepadanya air lalu ia meminumnya sebagian dan berkumur-kumur
dengan air tadi kemudian mengembalikannya ke dalam sumur. Seketika itu sumur
menjadi memancarkan air dengan melimpah” .
Ibnu Hajar dalam
kitab ‘as-Showa’iq al-Muhriqoh’ (halaman 310 pasal ke-3 tentang
hadits-hadits yang berkaitan dengan ahlul bait) menyebutkan: “Ketika ar-Ridho
(salah seorang keturunan Rasulallah, red) sampai di kota Naisabur, orang-orang
berkumpul disekitar kereta tunggangannya. Ia mengeluarkan kepalanya dari
jendela kereta sehingga dapat dilihat oleh khalayak. Kemudian (sambil
memandanginya) mereka berteriak-teriak, menangis, menyobek-nyobek baju dan
melumuri dengan tanah, juga men- ciumi tanah bekas jalannya kendaraannya…”.
(Hal ini juga dinukil oleh as-Sablanji dalam kitab ‘Nur al-Abshar’ halaman:
168, pasal Manaqib Sayid Ali ar-Ridho bin Musa al-Kadzim)
Di atas tadi adalah sebagian contoh bahwa para sahabat
pun telah bertabarruk dari pribadi-pribadi yang dianggap lebih mumpuni dari
sisi kebaikan dan ketaatan dibanding dengan yang lain. Ini sebagai bukti bahwa
mengambil berkah dari orang-orang sholeh dan dianggap lebih bertakwa
memiliki legalitas dalam ajaran Islam, karena para Salaf Sholeh telah
melakukannya.
Dari kisah di atas juga dapat dipahami bahwa, tidak semua
sahabat memiliki kemuliaan yang sama, terdapat perbedaan derajat
ketakwaan dan keutamaan di antara mereka. Dan dari nukilan riwayat-riwayat tadi
dapat diambil kesimpulan bahwa, hanya orang-orang yang Sholeh dan bertakwa saja
yang dapat diambil berkahnya, baik pribadi orang Sholeh itu, do’anya
maupun peninggalan-peninggalannya. Adapun orang yang tidak sholeh dan
takwa, obyek-obyek yang tidak memiliki kesakralan Ilahi, maka jelas
sekali bahwa semua itu diluar dari obyek kajian kita.
Dari riwayat-riwayat itu juga dapat kita ambil pelajaran
untuk menjawab anggapan orang-orang seperti al-Jadi’ dalam kitabnya yang
berjudul “At-Tabarruk; ‘Anwa’uhu wa Ahkamuhu” halaman: 261 dan as-Syatibi
-dalam karyanya yang berjudul ‘al-I’tisham’ jilid 2 halaman: 9, dimana
keduanya sepakat bahwa; ‘Tabarruk hanya diperbolehkan kepada diri dan
peninggalan Rasulallah saja’. Hal itu karena mereka beralasan bahwa
Rasulallah tidak pernah memerintahkannya. Selain itu, alasan
lainnya adalah; ‘Tidak ada riwayat yang menjelaskan legalitas prilaku
semacam ini’ (tabarruk kepada pribadi selain Nabi). Bahkan as-Syatibi
menyatakan bahwa; ‘Barangsiapa yang melakukan hal itu maka tergolong bid’ah,
sebagaimana tidak diperbolehkannya mengawini perempuan lebih dari empat’.
Telah jelas riwayat-riwayat di atas membuktikan bahwa
para Sahabat telah mengambil berkah kepada sesama sahabat yang dianggap lebih
utama dari sisi ketakwaan. Entahlah mengapa al-Jadi’ dan as-Syatibi
tidak pernah menemukan riwayat-riwayat semacam itu?. Lagi pula, jika
bertabarruk kepada sahabat adalah bid’ah, mengapa sahabat Umar telah
bertabarruk kepada Abbas? Apakah khalifah Umar telah melakukan Bid’ah,
karena melakukan satu perbuatan yang Rasulallah saw. tidak pernah
memerintahkan dan mencontohkannya? Beranikah orang menvonis sahabat seperti
Umar bin Khatab (khalifah kedua) sebagai ahli Bid’ah?
Walaupun Rasulallah saw. tidak pernah
memerintahkannya tetapi bukan berarti otomatis bertabarruk selain kepada beliau
saw. itu sebagai amalan bid’ah, haram dan sebagainya. Mengapa justru al-Jadi
dan as-Syatibi berani melarangnya?, sedangkan Rasulallah saw. sendiri tak
pernah melarangnya !
Sekarang yang menjadi masalah adalah, jika tadi telah
ditkemukakan bahwa selain peninggalan Nabi saw., peninggalan para Sahabat Nabi
pun boleh untuk diambil berkah- nya sewaktu masa hidup mereka, bagaimana
dengan perkara tadi setelah kewafatan mereka?
Dan yang menjadi pertanyaan kita selanjutnya adalah; Bolehkah
kita (kaum muslimin) mengambil berkah dari orang biasa (bukan Nabi
dan juga bukan Sahabat Nabi) namun dia tergolong orang Sholeh dan bertakwa?
Apakah pengambilan berkah dari mereka hanya sebatas
sewaktu mereka masih hidup ataukah juga diperbolehkan untuk mengambil berkah
dari jenazah (jasad orang
yang telah mati) dan kuburan mereka?
Untuk menjawab syubhat ini –selain telah kita singgung
sebelumnya bahwa para sahabat telah mengambil berkah dari kuburan Rasulallah
akan kita jelaskan berikut ini bahwa tidak hanya dibatasi pada orang Sholeh
yang masih hidup saja, bahkan pasca kematiannya pun masih bisa (legal) untuk
ditabarruki, tidak seperti sangkaan golongan pengingkar yang dengan tegas
menyatakannya sebagai perbuatan syirik.
9.26.Jenazah Dan Kuburan/Pusara Ulama Yang Diambil
Berkah
Setelah kita mengetahui pendapat (baca: fatwa) para ulama
Ahlussunnah dari berbagai madzhab perihal legalitas mengambil berkah (tabarruk)
dari berbagai peninggalan Nabi saw. setelah wafat beliau terkhusus pusara
suci beliau saw. dan dari para manusia sholeh lainnya, kini kita akan
melihat bagaimana kaum muslimin pun melanjutkan dan menerapkan syiar Islam ini
kepada kuburan para sahabat Rasulallah saw. dan ulama mereka.
Kuburan Bilal
al-Habsyi –seorang sahabat besar dan muadzin Rasulallah– yang berada di
Damaskus (Syiria) adalah salah satu dari manusia mulia kekasih Allah dan
Rasul-Nya yang selalu diziarahi dan diambil berkah oleh banyak dari kaum
muslimin. Bukan hanya kaum muslim awam saja yang mencari berkah darinya, namun
para Waliyullah pun turut berdo’a dan mengambil berkah darinya. (Lihat: Rihlah
bin Jubair halaman: 251)
Kuburan Abu
Ayyub al-Anshari (di Istanbul, Turki) juga termasuk yang di ambil
berkahnya. Al-Hakim an-Naisaburi menjelaskan: “Mereka bertekad, menziarahi dan mencari
berkah hujan jika ditimpa kekeringan.” (Lihat: al-Mustadrak ‘ala
as-Shohihain jilid: 3 halaman: 518 atau Ibnu al-Jauzi dalam Shofwah
al-Shofwah jilid: 1 hal. 407)
Makam sahabat
besar Suhaib ar-Rumi juga termasuk yang dicari berkahnya. Bahkan
as-Samhudi sendiri pernah mencoba tanah kuburannya untuk mengobati demam.
Begitu juga dengan kuburan Hamzah bin Abdul Mutthalib –paman Nabi dan
penghulu para syahid– dimana as-Samhudi menukil ucapan az-Zarkasyi yang
menyatakan: “Tanah makam Hamzah di ambili oleh orang-orang untuk
pengobatan”. ( Wafa’ al-Wafa’ jilid 1 hal. 69).
Salah seorang
sahabat Rasulallah saw. yang bernama Abu ‘Amr Sa’ad bin Muadz al-Anshari yang
dalam kitab Siar A’lam an-Nubala jilid 1 halaman 279 disebutkan bahwa
kematiannya menyebabkan ‘Arsy goncang kuburan- nya menjadi salah satu tempat
pengambilan berkah. Disebutkan bahwa salah seorang telah mengambil tanah
pekuburannya kemudian membawanya pergi. Setelah lama ternyata berubah menjadi
misik. (Lihat: Wafa’ al-Wafa’ karya as-Samhudi jilid 1 halaman 115)
Makam Umar bin
Abdul Aziz salah seorang khalifah dari Bani Umayyah (wafat tahun 101 H)
menjadi sasaran pencari berkah. Hal ini sebagaimana yang diceritakan
oleh adz-Dzahabi. (Tadzkirah al-Huffadz jilid 1 hal. 339).
Pusara salah
seorang cucu Rasulullah yang bernama Imam Ali bin Musa ar-Ridho
yang kuburannya berada di Thus juga menjadi obyek ziarah dan pencarian
berkah. Abu Bakar Muhammad bin Muammal mengatakan: “Ketika kami keluar bersama
Imam ahli Hadits Abu Bakar bin Khuzaimah beserta ‘Adilah Abi Ali
ats-Tsaqofi yang disertai dengan beberapa orang syeikh kita yang ingin
menziarahi Ali bin Musa ar-Ridho di kota Thus. Beliau mengatakan: ‘Aku melihat
betapa penghormatan, kerendahan dan perendah- an dirinya –yaitu Ibnu Khuzaimah–
terhadap kuburan itu hingga kami heran dibuatnya’ ”. (Tahdzib at-Tahdzib karya
Ibnu Hajar al-Asqolani jilid 7 hal. 339)
Abdullah bin al-Haddani yang terbunuh (syahid) pada ‘hari Tarwiyah’ di tahun 183
H juga merupakan salah seorang yang kuburannya menjadi obyek pencarian berkah
kaum muslimin. Mereka mengambil tanah pekuburannya. Tanah itu ibarat
misik yang kemudian mereka taburkan di baju mereka. (Lihat: Hilliyatul
Auliya karya Abu Na’im al-Isbahani jilid: 2 halaman: 258 atau kitab Tahdzib
at-Tahdzib karya Ibnu Hajar al-Asqoilani jilid: 5 halaman: 310)
Kuburan Ma’ruf
al-Karakhi pun termasuk yang dicari berkahnya oleh kaum muslimin. Ibnu
al-Jauzi dalam hal ini menyatakan: “Kuburannya terletak di Baghdad nampak
menonjol dan diambil berkahnya. Ibrahim al-Harbi mengatakan: ‘Kuburan Ma’ruf adalah
obat yang mujarab’ ”. (Lihat: Shofwah al-Shofwah Jilid: 2 Halaman:
324)
Kuburan al-Khidr
bin Nashr al-arbali (wafat tahun 567 H) seorang ahli fikih dari mazhab
Syafi’i kuburannya dijadikan tempat pencarian berkah. Ibnu Katsir dalam
menukil ungkapan Ibnu Khalkan mengatakan: “Kuburannya diziarahi, dan aku
telah menziarahinya lebih dari sekali. Kulihat orang-orang mengerumuni
kuburannya dan mencari berkah darinya”. (Lihat: al-Bidayah wa
an-Nihayah karya Ibnu Katsir jilid: 12 halaman: 353)
Kuburan Nuruddin
Mahmud bin Zanki (wafat tahun 569 H) –beliau adalah pejuang dan penguasa negeri
Syam (Lihat: al-Bidayah wa an-Nihayah Jilid: 12 Halaman: 306)- juga termasuk
yang dicari berkahnya. Ibnu Katsir dalam hal ini menyatakan: “Kuburannya
berada di Damaskus yang selalu diziarahi, digelayuti jendelanya, diberi minyak
wangi dan dicari berkahnya setiap saat” (Lihat: al-Bidayah
wa an-Nihayah Jilid: 12 Halaman: 353)
Kuburan Imam
al-Bukhari (pemilik kitab Shohih) pun tidak luput dari pencari berkah dari
kaum muslimin. As-Subki dalam menjelaskan wafat beliau, menyatakan:
“Adapun tentang tanah (kuburan), mereka telah meninggikan tanah
kuburannya sehingga nampak menonjol. Sampai-sampai para penjaga tidak mampu
menjaga kuburan tersebut. Kami telah melupakan diri kami sendiri, lantas kami
menyerbu kuburan tersebut bersama-sama. Hingga sulit bagi kami untuk sampai
kekuburan tersebut.” (Lihat: Thobaqoot as-Syafi’iyah jilid: 2
halaman: 233 atau kitab Siar A’lam an-Nubala karya adz-Dzahabi jilid: 12
halaman: 467)
Dan masih banyak lagi kuburan lain yang menjadi pusat
ziarah mau pun pencarian berkah yang terdapat di berbagai negara seperti; Irak,
Syiria, Mesir, Pakistan, Yordania, Yaman, Iran, Indonesia, Malaysia, Singapore
dan negara-negara lainnya. Kuburan-kuburan itu adalah pusara-pusara para
kekasih Ilahi yang diperbolehkan bagi setiap muslim untuk menziarahinya dan
mencari berkah darinya, berdasarkan syariat Islam yang diajarkan
oleh Rasulallah melalui sahabat-sahabat mulia beliau, yang menjadi sandaran
kesepakatan ulama Ahlusunnah dalam memberikan fatwa legalitas bertabarruk.
Jika hal tersebut tetap dinyatakan oleh golongan
pengingkar sebagai perbuatan ghuluw, syirik, maka apa kata mereka
ketika melihat kuburan dan jenazah Ahmad bin Hanbal yang
diakui sebagai Imam hadits mereka dan jenazah Ibnu Taimiyah diperlakukan
sama semacam itu oleh kelompok dari mereka sendiri?
Marilah kitab baca apa yang terjadi dengan kuburan Imam
Ahmad bin Hanbal dan jenazah Ibnu Taimiyah:
Ibnu Hanbal: Kuburan Imam Ahmad bin Hanbal (wafat tahun 241 H) nampak menonjol dan
masyhur menjadi tujuan ziarah para penziarah dan tempat pencarian berkah.
(Lihat: Mukhtashar Thabaqoot al-Hanabilah halaman: 14)
Ibnu Taimiyah: Ibnu Katsir mengisahkan: “Dalam menghantar (tasyi’)
jenazahnya orang-orang berbondong-bondong hingga iringan jenazahnya memenuhi
jalanan. Semua orang menyerbunya dari segala penjuru sehingga kerumunan kian
bertambah ramai. Mereka melempar sapu tangan dan sorban mereka di
atas keranda guna mengambil berkah. Kayu-kayu keranda jenazah banyak
yang putus akibat terlampau banyak orang yang bergelayutan. Mereka juga meminum
air bekas memandikan jenazahnya untuk mencari keutamaan (tayammun)….mereka
bersedia membeli sisa-sisa kayu bidara (sidir, bekas memandikan
jenazah) dan membagi-baginya diantara mereka…dan bahkan dikatakan bahwa; ‘Benang
yang diberi air raksa (zibaq) yang diletakkan pada jasadnya
untuk menghalau kutu-kutu pun mereka beli dengan harga seratus lima
puluh dirham”. (Lihat: al-Bidayah wa an-nihayah jilid: 14
hal. 136 atau pada kitab al-Kuna wa al-Alqob jilid: 1 halaman: 237).
Jika pencari berkah dari kuburan dan dari jenazah (orang
mati) adalah syirik atau bid’ah, maka penziarah kubur Imam Ahmad
bin Hanbal semuanya para ahli bid’ah dan kaum musyrik.
Lebih kasihan lagi pengantar jenazah Ibnu Taimiyah, betapa tidak, karena
para pengantar jenazahnya berebutan untuk mengambil barokah dari keranda, minum
air bekas memandikan jenazah beliau dan lain sebagainya.
Mari kita rujuk
lagi macam-macam bentuk riwayat lainnya yang berkaitan dengan Tabarruk.
– Samiri,
(pada zaman Nabi Musa as.) yang mengambil barakah dari tanah dimana
Jibril as melaluinya. Ketika Samiri mengambil dan melemparkan tanah
pada patung anak sapi yang dibuatnya, patung jadi bisa bersuara, karena berkah
dari tanah bekas jejak malaikat Jibril as.tersebut. Firman Allah swt:
قال
بصُرتُ بمالم يبصرُوا به فقبضتُ قبضةً من اثرالرّسُول فنبذتُهاوكذالك سوّلت لى
نفسى
Artinya:
(Samiri menjawab): "Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahui
nya, maka aku ambil segenggam dari jejak Rasul lalu aku melemparkannya,
dan demikianlah nafsuku membujukku". (S Thaahaa [20]
ayat 96)
Hampir semua
ahli tafsir menginformasikan bahwa yang dmaksud dengan jejak Rasul
dalam ayat diatas adalah jejak malaikat Jibril a.s.
Begitu
juga firman Allah swt. agar menjadikan tempat berdirinya Nabi Ibrahim as. waktu
membangun Ka’bah sebagai tempat sholat:
..’Dan
jadikan lah sebagian maqam (tempat berdiri) Ibrahim tempat
sholat’. (Al-Baqarah :125). Disini menunjukan bahwa Allah swt.
memuliakan Rasul-Nya Ibrahim as. dan menjadikan tempat berdirinya beliau
sebagai tempat yang mulia yang dianjurkan manusia untuk melakukan sholat pada
tempat tersebut dan pengambilan barokah.
Firman Allah swt. kepada Nabi Musa a.s.: “Sesungguhnya
Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu
berada di lembah yang suci, Thuwa“. (QS Thaahaa:12).
Allah swt.
sendiri menyatakan lembah Thuwa adalah tempat yang suci sehingga Nabi
Musa as. ditempat ini diperintahkan untuk menanggalkan terompahnya sebagai
penghormatan (ta’dhim) pada tempat tersebut. Ini bukti bahwa ada tempat-tempat
yang disucikan oleh Allah swt. Apa mungkin Allah swt. memerintahkan sesuatu
yang berbau syirik ? Sudah tentu tidak mungkin! Dengan demikian kita harus bisa
membedakan antara ta’dhim/ penghormatan dan ibadah !
Silahkan juga
rujuk tentang riwayat para sahabat percaya bahwa rumah yang pernah dimasuki
Rasulallah ada barakahnya. (Bukhari,jilid 5, Buku 58, nomer 159, Ahmad Musnad
3:98 #11947, Bukhari, jilid 7, Buku 71, Nomer 647, Malik in al-Muwatta; Buku 50
nomer 50:4:10, Abu Dawud, 41: 5206).
– Mu’adz
Ibnu Jabal dan Bilal (ra) datang kemakam Nabi duduk menangis dan mengusapi
mukanya dengan tanah itu. (Ibnu Majah 2:1320).
– Nabi
memerintahkan para sahabat untuk mengambil berkah dari sumur di mana onta
betina Nabi Sholeh minum disitu. (Bukhari, jilid 4, Buku 55, no
562).
Menurut riwayat
sumur Nabi Sholeh a.s.ada dikota ‘Asir di Saudi Arabia dekat perbatasan
Yaman. Banyak para sahabat waktu itu diantaranya; Ali bin Abi Thalib, Mu’az bin
Jabal, Abu Musa Al- Asy’ari (ra) diutus oleh Rasulallah saw. ke Yaman dan
sahabat lainnya diutus untuk dakwah keluar kenegara-negara selain Hijaz
(sekarang Saudi Arabia) misalnya Khalid bin Walid ke Najran, Utsman bin Abi
‘Ash ke Tsaqif dan sebagainya.
Nah, kalau
sumur yang ontanya Nabi Sholeh as pernah minum air disana berapa waktu silam
sebelum zaman Nabi saw. saja masih bisa menjadikan barokah apalagi
bekas-bekas peninggalan manusia yang mulia dan taqwa yakni Rasulallah saw. atau
para sahabat dan para waliyullah yang mana mereka semua dimuliakan oleh Allah
swt. Jadi penghormatan serta peng ambilan barokah dari tempat yang suci
tidak sama dengan menyembahnya !
Khalifah
Umar ra. ketika mengunjungi Ka’bah berkata pada Hajar Al-Aswad: ‘Kamu tidak
bisa apa-apa, tapi saya menciummu untuk mengikuti Rasulallah saw.’ Atas
ucapan Khalifah Umar ini khalifah Ali kw. berkata pada khalifah Umar sebagai
berikut: ‘Rasulallah saw. berkata dihari pengadilan hajar Al-Aswad akan
menjadi perantara (saksi) atas orang-orang’. (Hadits ini
diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, An-Nasai, Al-Baihaqi, At-Tabharani dan
Al-Bukhari dalam kitab Risalahnya) dan khalifah Umar ra berterima kasih pada
Amirul mukminin Ali bin Thalib kw.
Golongan
Salafi/Wahabi menyebarkan versi hadits terakhir diatas ini dengan mengurangi
dari riwayat aslinya. Mereka menceritakan hanya sampai kata-kata khalifah Umar
ra. saja, dan membuang perkataan khalifah Ali kw. yang menyatakan bahwa Hajar
al-Aswad akan menjadi wasilah atau perantara pada hari pengadilan nanti.
Golongan ini tidak siap untuk mengambil pengajaran dari sebagian isi dari
Al-Qur’an dan Sunnah karena berlawanan secara langsung dengan keyakinan
literalisme mereka. Sayangnya ulama-ulama mereka berusaha sebisa mungkin
menyembunyikan atau menolak hadits-hadits yang telah kami kemukakan, supaya
orang-orang tetap tidak tahu mengetahui hadits-hadits seperti itu. Sedangkan
pengikut-pengikutnya hanya mengikuti apa yang diucapkan oleh para ulama mereka
ini.
Mengenai hajar
aswad Ibnu Hibban dalam kitab Shohih-nya mengatakan: “Bahwa Nabi saw.
bersabda:
الحجرُ و الرّ ُكنُ اليماني
يحُط ُّ الخطايا حطاًّ
Artinya: “Hajar aswad (batu hitam) dan rukun yamani menggugurkan dosa
sebanyak-banyaknya”. (dinukil dari kitab Fiqih Sunnah oleh Sayyid Sabiq jilid 5
cet.pertama hal. 152). Banyak riwayat lain mengenai kemuliaan hajar aswad ini.
Diriwayatkan
oleh Imam Muslim (Lihat kitab Al-Libas Wa Az-Zinah jilid 3, halam 140) sebagai
berikut: “Asma binti Abubakar As-Shiddiq ra menuturkan, bahwa ia pernah
mengeluarkan jubah thayalisah (yaitu pakaian kebesaran yang lazim
dipakai oleh raja raja Persia), pada bagian dada dan dua lipatan yang
membelahnya berlapiskan sutera mewah. Menurut Asma itu adalah jubah
Rasulallah saw. yang dulu disimpan oleh Aisyah ra. Setelah Aisyah wafat
jubah itu disimpan oleh Asma. Asma mengatakan, bahwa Nabi saw. semasa hidupnya
pernah memakai jubah tersebut dan sekarang , kata Asma, jubah itu kami cuci
dan kami manfaatkan untuk bertabarruk mohon ke sembuhan bagi penderita sakit
”.
Imam al-Bukhari
dalam kitab shahih-nya menuliskan satu bab khusus tentang “Tentang baju
besi (untuk perang .red), tongkat, pedang, gelas dan cincin Nabi, serta apapun
yang dilakukan para khalifah pasca (wafat) beliau saw. dari barang-barang
tersebut yang belum disebutkan; dari rambut, sandal dan nampan yang diambil
berkahnya oleh para sahabat dan selainnya, pasca wafat beliau” (bab; Maa
dzakara min Dir’un Nabi wa ‘Ashohu wa Saifihi wa Qodhihi wa Khotamihi wa Maa
Ista’mala al-Khulafa’ Ba’dahu min Dzalika Mimma Lam Yudzkar Qisamatuhu, wa min Sya’rihi,
wa Na’lihi wa Aaniyatihi mimma tabarraka Ashabuhu wa Ghairuhum ba’da Wafatihi).
Hanya Imam Bukhari yang menyebutkan bab tersebut dalam kitab Shahih beliau,
yang tidak dilakukan dalam kitab enam (Kutub as-Sittah) yang menjadi kitab
standart Ahlusunah wal Jama’ah yang ada. (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari
jilid 4 halaman 46 di bab yang sama)
Imam
Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah meriwayatkan, bahwa ‘Asma binti
Abubakar pada suatu hari mengeluarkan sehelai jubah, kemudian berkata
kepada orang-orang yang hadir: ’Dahulu Rasulallah saw. memakai jubah ini. Jubah
ini kami cuci dan airnya kami gunakan untuk menyembuhkan orang-orang
sakit’.
Ibnu
Qusaith dan Al-‘Utbi dalam kitab ‘Thabaqat’ yang disusun oleh Ibnu Sa’ad
mengatakan, bahwa para sahabat Nabi pada saat memasuki masjid Nabawi mengusapkan
tangan pada mimbar Rasulallah saw. yang berdekatan dengan makam beliau
dengan maksud bertabarruk dan bertawassul. Mereka kemudian menghadap kiblat
lalu berdo’a.
Dalam Thabaqat
ini Ibnu Sa’ad Abdurrahman bin ‘Abdulqadir juga mengatakan, “bahwa ia melihat
‘Abdullah bin ‘Umar Ibnul Khattab ra. bertabarruk dengan mengusapkan tangannya
pada tempat duduk Rasulallah saw. yang berada dimimbar beliau, kemudian
mengusapkan tangan itu pada wajahnya”. Dalam riwayat yang lain lagi,
Abdurrahman mengatakan; “bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar juga mengusapkan
tangannya pada bagian mimbar yang dahulu sering dipegang oleh Rasulallah saw.”.
Al-Qadhi
‘Iyadh mengatakan bahwa menurut sebuah riwayat, Ibnu Umar pernah meletakkan
tangannya pada tempat duduk di mimbar Rasulallah saw., kemudian ia mengusapkan
tangannya ke wajah.
Ibnu
Taimiyah mengemukakan sebuah riwayat berasal dari Ahmad bin Hanbal, bahwa ia
Imam Ahmad membolehkan orang mengusap mimbar dan rumanahnya (benda bulat
dari kayu yang berada diatas mimbar [kuno], tempat berpegang pada saat orang
sedang berkhutbah). Ibnu Taimiyah juga meriwayatkan bahwa “Ibnu ‘Umar, Sa’id
bin Al-Musayyab dan Yahya bin Sa’id salah seorang ulama Fiqih di Madinah
semuanya pernah melakukan hal seperti itu”. (Lihat Iqtidha
As-Shirathil Mustaqim, hal. 367).
Dinukil dari Syeikh al-Allamah Ahmad bin Muhamad al-Maqri
(al-Maliki) –wafat tahun 1041 H– dalam kitab Fathu al-Muta’al bi Shifat
an-Ni’al, dinukil dari Waliyuddin al-Iraqi yang menyatakan: al-Hafidh Abu
Sa’id bin al-‘Ala menyatakan: “Aku melihat ungkapan Ahmad bin Hanbal pada
cetakan/ bagian lama (juz’ qodim) dimana terdapat tulisan tangan Khath
bin Nashir (Keterangan: beliau adalah al-Hafidh Muhammad bin Nashir Abul
Fadhl al-Baghdadi wafat tahun 505 H dimana Ibnu Jauzi dalam kitab al-Muntadham
jilid: 18 halaman: 103 Nomer: 4201 menjelaskan bahwa beliau adalah hafidh
[penghapal/penjaga] yang kuat dan dapat dipercaya) dan dari beberapa al-Hafidh
lainnya yang menyatakan bahwa; ‘Sesungguhnya Imam Ahmad (bin Hanbal) pernah
ditanya tentang mencium kubur Nabi dan mencium mimbar nya. Lalu
beliau berfatwa: Hal itu tidak mengapa’”.
Ia (al-Hafidh
Abu Sa’id bin al-‘Ala) berkata: “Aku tunjukkan hal itu kepada at-Taqi Ibnu
Taimiyah kemudian dia terkejut dengan hal itu dengan menyatakan:
‘Aku heran dengan Ahmad yang sangat mulia disisiku, begini
ungkapannya atau kandungan ungkapannya’. Kemudian (al-Hafidh Abu Sa’id bin
al-‘Ala) berkata lagi: ‘Adakah keanehan dari hal itu sedang kita telah
mengisahkan berkaitan dengan Ahmad bahwa ia telah mencuci baju
as-Syafi’i (Ibn Idris) dan lalu meminum air bekas cucian tadi’ “. (Lihat:
Manaqib Ahmad karya Ibnu Jauzi halaman: 609, atau Al-Bidayah waan-Nihayah karya
Ibnu Katsir jilid: 1 halaman: 365 pada kejadian tahun 241 H).
LIhat riwayat
ini, Ibnu Taimiyah dikala mendengar bahwa Imam Ahmad berfatwa membolehkan
tabarruk terhadap kuburan Rasulallah saw.dan Imam Ahmad sendiri
bertabarruk dari perasan cucian baju Imam Syafi’i, ia hanya
mengatakan: “Aku heran dengan Ahmad yang sangat mulia disisiku, begini
ungkapannya atau kandungan ungkapannya”? Kalau memang ini bid'ah dan syirik
mengapa Ibnu Taimiyyah tidak mengatakan: “Imam Ahmad telah melakukan bid’ah
atau syirik dan ia adalah ahli bid’ah dan musyrik yang ajarannya harus
dijauhi bahkan diperangi dan darah serta hartanya halal !”.
Imam
Ahmad bin Hanbal sendiri pernah juga bertabarruk dan Al-Hafidz membenarkannya.
Hal itu dituturkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad (putera Imam Ahmad). ‘Saya
pernah melihat ayahku mengambil sehelai rambut Rasulallah saw. lalu
dicium dengan mulutnya. Bahkan saya pernah melihatnya menempelkan rambut
Rasulallah saw. pada matanya, kemudian mencelupkannya dalam air lalu
diminumnya air itu bertabarruk mohon kesembuhan. Saya pernah juga
melihat ayahku memegang piring Rasulallah saw., kemudian dicucinya lalu ia
minum air yang berada dipiring itu. Saya pun pernah melihat ayahku minum
air Zam-zam bertabarruk mohon kesembuh an, dan setelah itu ia mengusap-usap
tangan dan mukanya dengan air tersebut’.
Abdullah bin
Ahmad bin Hanbal ini telah bertanya pada ayahnya mengenai orang yang menyentuh
atau mengusap-usap rummanah mimbar Rasulallah saw. dan mengenai orang
yang mengusap-usap atau mencium Hajar Al-Aswad (batu hitam yang terletak
dipojok Ka’bah). Sebagai jawaban beberapa pertanyaan tersebut ayah beliau Imam
Ahmad bin Hanbal berkata: ‘Saya berpendapat hal itu tidak ada salahnya!.
Semoga Allah melindungi semua dan ayahmu dari pendapat kaum Khawarij dan dari
berbagai bid’ah (Lihat Siyaru A’lami-Nubala’ jilid 11 hamalan
312).
Dinukil dari Ibnu Jama’ah (as-Syafi’i) yang
menyatakan; Abdullah bin Ahmad bin Hanbal pernah menceritakan perihal ayahnya.
Ia (Abdullah) meriwayatkan: 'Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang
seseorang yang menyentuh mimbar Rasulallah dan bertabarruk dengan
mengusap-usap juga menciumnya. Dan melakukan kuburan sebagaimana
hal tadi (mengusap dan mencium) dengan tujuan mengharap pahala Allah'.
Beliau menjawab: “Tidak mengapa”. (Lihat: Wafa’ al-Wafa’
jilid: 4 halaman: 1414).
Syeikh Ibnu Hajar berfatwa: “Sebagian menggali
dasar hukum dari legalitas mencium Hajar Aswad dengan diperbolehkannya mencium
segala yang memiliki potensi untuk diagungkan dari manusia ataupun
selainnya (benda, red)” (Lihat: al-Wafa’ al-Wafa’ Jilid 4 Halaman: 1405)
Syeikh Ibrahim al-Bajuri berfatwa: “Dimakruhkan
mencium kuburan dan menyentuhnya kecuali untuk bertabarruk maka
tidak makruh” (Lihat: Syarh al-Fiqh as-Syafi’i jilid:1 hal. 276)
Syeikh Muhibbuddin at-Thabari berfatwa:
“Diperbolehkan mencium dan menyentuh kuburan. Itu merupakan
perbuatan para ulama dan orang-orang sholeh” (Lihat: Asna al-Matholib
jilid: 1 halaman: 331 atau sebagaimana yang dinukil dalam kitab Wafa’ al-Wafa’
jilid: 4 halaman: 1407)
Syeikh ar-Ramli as-Syafi’i berfatwa: “Jika kuburan
Nabi, wali atau seorang alim disentuh ataupun dicium untuk tujuan
tabarruk maka tidak mengapa” (Lihat: Kanzul Matholib karya
al-Hamzawi halaman: 219)
Syeikh Az-Zarqoni al-Maliki menfatwakan: “Mencium
kuburan hukumnya makruh, kecuali jika bertujuan untuk tabarruk maka
tidak makruh” (Lihat: Syarh al-Mawahib jilid: 8 halaman: 315).
Syeikh al-Adwi al-Hamzawi al-Maliki menfatwakan: “Tiada
keraguan lagi bahwa mencium kuburan mulia (Rasulallah) tidak akan dilakukan
kecuali untuk bertabarruk. Hal itu lebih utama dalam pembolehannya
dibanding dengan tabarruk untuk kuburan para kekasih Allah (awliya’)”
(Lihat: Kanzul Matholib halaman: 20 dan Masyariq al-Anwar jilid: 1
halaman: 140).
Syeikh Syihabuddin al-Khoffaji al-Hanafi menyatakan
berkaitan dengan ungkapan yang mengatakan: ‘Dimakruhkan menyentuh, mencium dan
menempelkan dada’. Beliau menjawab dengan menfatwakan: “Hal ini
(hukum makruhnya) tidak ada kesepakatan padanya. Atas dasar itulah Ahmad dan
Thabari mengatakan bahwa; tidak mengapa mencium dan menyentuhnya”
(Lihat: Syarh as-Syifa’ jilid: 3 halaman: 171 dan atau sebagaimana yang
dinukil oleh Syamhudi dalam Wafa’ al-Wafa’ jilid: 4 halaman: 1404)
Imam
Muslim mengetengahkan hadits dari Anas yang mengatakan: “Pada suatu hari
Rasulallah saw. datang kerumah kami, kemudian beliau tidur hingga berkeringat.
Ibuku datang membawa sebuah botol (wadah) lalu mewadahi keringat beliau yang
menetes. Setelah bangun tidur beliau saw. bertanya: ‘Hai Ummu Sulaim, Apakah
yang telah engkau perbuat?’ Ibuku menjawab: ‘Keringat (anda) ini hendak
kujadikan minyak wangi dan itu merupakan minyak wangi yang paling harum baunya’
“.
Tabarruk pernah juga dilakukan oleh Rasulallah
saw.dalam Isra’ yaitu dari Al-Baitul Haram ke Al-Baitul Maqdis. Ditengah
perjalanan beliau turun dari Buraq yang dikendarai nya, kemudian menunaikan
shalat dibeberapa tempat tertentu, seperti di Thur Sina, Di Baitul Laham
(Betlehem, tempat kelahiran Nabi ‘Isa as.), dan lain-lain sebagaimana yang
diriwayatkan dalam kitab hadits dan sirah (sejarah) Nabawiyyah.
Tabarruk
dengan petilasan/bekas orang-orang wali dan shalih itu juga di perkenankan oleh
syariat. Imam Al-Hafidz Al’Iraqi dalam kitabnya yang berjudul Fathul Muta’al
meriwayatkan bahwa Ahmad bin Hanbal memperbolehkan orang mencium makam
Rasulallah saw., makam para waliyullah dan orang shalih lainnya, sebagai tabarruk.
Ketika Ibnu Taimiyah melihat orang berbuat seperti itu, ia keheran-heranan.
Selanjutnya Imam Al’Iraqi berkata padanya : “Apa anehnya? Bukankah kami telah
meriwayatkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal bertabarruk dengan minum air bekas
cucian baju Imam Syafi’i ? Bahkan Ibnu Taimiyah sendiri juga meriwayatkan,
bahwa Imam Ahmad bin Hanbal bertabarruk dengan petilasan Imam Syafi’i.
Dalam kitab Al-Hikayatul Mantsurah imam
ahli hadits yang bernama Al-Hafidz Ad-Dhiya Al-Maqdisy mengatakan bahwa Imam
Abdulghani Al-Hanbali ketika menderita penyakit bisul lama tak dapat sembuh, ia
bertabarruk dengan mengusapkan bisulnya pada makam Imam Ahmad bin
Hanbal, dan ternyata segera sembuh.
Al-Khatib
dalam Tarikh-nya mengatakan, ketika tinggal di Iraq beberapa waktu
lamanya Imam Syafi’i bertabarruk dengan ziarah kemakam Abu
Hanifah.
Kita sayangkan, golongan pengingkar berwatak keras
kepala, dan merasa paling benar sendiri, paling suci dan paling memahami
syari’at Islam. Sayang sekali masih ada kelompok muslimin yang terpengaruh dan
mengikuti ajaran-ajaran golongan ini. Semoga kita semua diberi hidayah oleh
Allah swt. sehingga bisa menjalani agama Islam yang benar. Amin.
Contoh
perbuatan tabarruk yang sampai sekarang bisa dilihat masyarakat muslimin yaitu
mengusap dan mencium batu hitam (Hajr Al Aswad) dan minum air Zam-zam, berdo’a
ditempat-tempat tertentu: di ‘Arafah, Mina, Muzdalifah (Masy’aril Haram) serta
sholat di masjid-masjid tertentu dan sebagainya. Tempat-tempat tertentu yang
telah ditetapkan sebagai manasik ibadah haji, disitu kaum muslimin berdo’a,
bertabarruk, bersembah sujud kepada Allah swt. dan lain-lain.
Komentar Al-Ulyani dalam kitab “at-Tabarruk al-Masyru” hal: 68-69” mengenai
hadits Atban bin Malik & jawabannya
Walaupun runtutan artikel tabarruk sebelumnya sudah mampu
menjawab beberapa problem yang dilontarkan oleh golongan pengingkar, namun kali
ini, kita akan mengkonsentrasikan secara khusus dalam menjawab beberapa isu
pengikut sekte Wahabi yang digunakan untuk pengkafiran (menuduh kaum
muslim sebagai pelaku syirik dan bid’ah) kaum muslimin. Untuk mempersingkat,
kita akan ambil beberapa masalah (dibawah ini) yang sering mereka ungkapkan
dengan menengok dari karya salah seorang misionaris madzhab Wahabi yang bernama
Ali bin Nafi’ al-‘Ilyani yang menolak, mengharamkan atau mensyirikkan
Tabarruk dan jawaban dari golongan yang membolehkan Tabarruk.
.27.Golongan Wahabi/Salafi
(Pengingkar) Mengisukan Dan Jawabannya “Kondisi kaum
Jahiliyah dahulu, sebagaimana yang dimiliki kebanyakan manusia, mereka
menginginkan mendapat tambahan harta dan anggota kabilah, atau hal-hal lain
yang berkaitan dengan keduniawian. Dengan begitu melalui perminta berkah (tambahan)
terhadap berhala-berhala yang mereka sembah, dengan mengharap tambahan kebaikan
yang berlebih. Mereka meyakini bahwa patung-patung itu adalah para pemberi
berkah. Anehnya, walau orang yang meyakini bahwa berkah itu datangnya dari
Allah pun masih meyakini bahwa patung-patung itu adalah sarana yang mampu
menentramkan dan penghubung antara mereka dengan Allah. Untuk merealisasikan
yang mereka inginkan, akhirnya mereka mengambil berhala itu sebagai sarana.
Hal ini sesuai dengan ayat: “…kami tidak menyembah mereka melainkan
supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah denga sedekat-dekatnya…” (QS
az-Zumar: 3) dari sini jelas sekali bahwa, tabarruk (mengharap
berkah) selain dari Allah adalah perwujudan dari ajaran kaum musyrik zaman
Jahiliyah. (Lihat: kitab Tabarruk Masyru’ halaman 53)
Jawabannya:
Selain telah kita singgung –dalam kajian terdahulu–
bahwa, beberapa nabi Allah yang mengajak umat manusia kepada ajaran tauhid
ternyata juga melakukan pengambilan berkah. Begitu juga ternyata Nabi
kita (Muhammad saw) –yang sebagai penghulu para nabi dan rasul bahkan paling
mulianya makhluk Allah yang pernah Dia ciptakan– pun telah membiarkan orang
mengambil berkah darinya. Jika mencari berkah (tabarruk) adalah haram–karena
syirik– maka tentunya para nabi di setiap zaman adalah orang pertama yang
menjauhinya, bahkan melarang orang lain. Namun kenapa justru mereka malah
melakukannya? Lagi pula, apa yang di-isukan oleh kelompok Wahabi di atas
tadi, selain tidak sesuai dengan al-Qur’an, Hadits dan bukti sejarah dari Salaf
Sholeh hingga para imam madzhab, juga jauh dari logika pemahaman ayat itu
(az-Zumar:3) sendiri. Beberapa alasan berikut ini:
Pertama: Semua orang
tahu bahwa setiap prilaku pertama kali dinilai oleh Islam dilihat dari niatnya.
Dengan kata lain, hal primer dalam menentukan esensi baik-buruk sebuah
perbuatan kembali kepada niat. Bukankah Rasulallah saw. pernah menyatakan: “Setiap
perbuatan kembali kepada niatnya…” (Hadits Muttafaq Alaihi). Tentu,
niat seorang musyrik dengan niat seorang muslim akan berbeda dan tidak bisa disamakan.
Kedua: Dalam ayat itu
(Az-Zumar:3) disebutkan: “kami tidak menyembah mereka melainkan...”
di situ terdapat kata “Menyembah” yang meniscayakan bahwa kaum
musyrik Jahiliyah meyakini ’sifat ketuhanan’ buat obyek (patung-patung)
yang dimintainya berkah, selain Allah. Mereka telah menyembah patung itu dan
menyekutukan Allah dalam masalah penyembahan. Dan tentu essensi penyembahan
adalah meyakini ‘sifat ketuhanan’ yang disembahnya. Tanpa keyakinan itu
(sifat ketuhanan), mustahil mereka menyebut kata ‘sembah’. Jelas,
sebagaimana yang sudah pernah kita singgung pada tulisan terdahulu bahwa,
sekedar sujud di depan sesuatu tidak serta merta masuk kategori menyembah.
Bukankah dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Allah telah memerintahkan para
malaikat dan jin untuk bersujud di hadapan dan untuk nabi Adam?
Bukankah nabi Ya’qub beserta anak-anaknya telah sujud di depan nabi Yusuf? Ini
yang membedakan antara prilaku kaum musyrik dengan kaum muslimin, dalam
pengambilan berkah. Ini merupakan hal yang bersifat esensial sekali dalam
prilaku per ibadatan. Kaum muslimin selain tidak meyakini kepemilikan sifat
ketuhanan selain Allah, sehingga obyek selain Allah memiliki kelayakan untuk di
sembah, juga meyakini bahwa semua yang ada di alam semesta ini berasal dari
kehendak Ilahi, karena hanya Dia Yang Maha kuasa nan sempurna, dan yang layak
disembah.
Ketiga: Ayat dari
surat az-Zumar tadi Allah swt. tidak menyatakan; “kami tidak mengambil
berkah mereka melainkan…” tapi dikatakan; “kami tidak menyembah
mereka melainkan…” sebagai penguat dari alasan kedua tadi. Dikarenakan kaum
musyrik zaman Jahiliyah tidak meyakini adanya hari akhir –seperti disebutkan
dalam akhir-akhir surat Yasin maka mereka akhirnya meyakini bahwa patung-patung itu
juga memiliki kekuatan secara independent dari Allah swt. sehingga muncul di
benak mereka untuk meyakini bahwa berhala itu juga mampu menjauhkan
segala mara bahaya dari mereka dan memberikan manfaat kepada mereka. Tentu
keyakinan kaum muslimin berbeda dengan apa yang mereka yakini. Dan tentu pula
kaum muslimin tidak pernah berpikir semacam itu. Semua kaum muslim meyakini
bahwa segala yang ada di alam semesta ini turun dari izin dan kehendak Allah
swt., termasuk pemberian berkah. Karena Allah swt.sumber segala yang ada di
alam semesta ini.
Golongan Wahabi/Salafi
(pengingkar) mengisukan:
Legalitas tabarruk dari tempat-tempat atau benda-benda
yang dianggap mulia bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan dalam Sahih
Bukhari yang dinyatakan oleh ‘Atban bin Malik yang termasuk sahabat
Rasulallah dari kelompok Anshar, yang turut dalam perang Badar. Ketika dia
mendatangi Rasulullah, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, telah lemah
pengelihatanku, padahal aku mengimami shalat pada kaumku. Jika turun hujan maka
banjir selalu menggenangi lembah yang menghubungkanku dengan mereka, sehingga
aku tidak dapat mendatangi masjid mereka, dan shalat bersama mereka Aku ingin
engkau datang ke rumahku dan shalat di rumahku, sehingga aku menjadikannya
(tempat itu) sebagai mushalla”. Mendengar hal itu Rasul bersabda: ‘Aku akan
melakukannya, insya-Allah”. Kemudian berkata ‘Atban: ‘Keesokan harinya,
Rasul bersama Abu Bakar datang, ketika menjelang tengah hari. Rasul meminta
izin masuk, dan diberi izin. Beliau tidak duduk sewaktu memasuki rumah, dan
langsung menannyakan: ‘Dimana engkau menginginkan aku melakukan shalat?’.
Dijawab: ‘Aku mengisyaratkan pada salah satu sudut rumah’. Rasulullah berdiri
dan bertakbir. Kami pun mengikutinya berdiri dan mengambil shaf (barisan
shalat). Beliau melakukan shalat dua rakaat dan kemudian mengakhirinya dengan
salam” (Shahih Bukhari, jilid 1 halaman 170/175 atau Shahih Musim jilid
1 halaman 445/61/62).
al-Ulyani dalam kitab “at-Tabarruk al-Masyru” hal:
68-69” berargumen dengan hadits Atban bin Malik yang disinyalir dalam kitab
shohih Bukhari dan Shohih Muslim di atas untuk menetapkan ‘pengharaman
tabarruk pada tempat dan benda’. Dalam kitabnya ini dia menyatakan:
“Hadits di atas tidak membuktikan bahwa sahabat ‘Atban
hendak mengambil berkah dari tempat shalat Rasul. Namun ia ingin
menetapkan anjuran Rasul untuk selalu melakukan shalat berjama’ah di
rumahnya, ketika tidak dapat mendatangi masjid karena lembah digenangi air.
Atas dasar itu ia meng- hendaki Rasul membuka (meresmikan) masjid di rumahnya.
Dan oleh karenanya, Bukhari memberikan bab pada kitabnya dengan; “Bab Masjid di
Rumah” (Bab al-Masajid Fil Buyuut). Sebagai- mana Barra’ bin
‘Azib melakukan shalat di masjid yang berada di dalam rumahnya secara
berjama’ah. Ini termasuk hukum fikih beliau. Dari semua itu memberikan
pemahaman bahwa Rasul mengajarkan (sunnah) shalat berjama’ah dirumah dikala
memiliki hajat. Sebagaimana Rasul tidak pernah menegur sahabat Barra’ bin ‘Azib
sewaktu melakukan shalat berjama’ah di masjid rumahnya. Padahal itu semua
terjadi pada zaman pensyariatan (tasyri’) Islam. Dan mungkin saja maksud dari
sahabat ‘Atban tadi adalah untuk mengetahui dengan pasti arah kiblat,
karena Rasulullah tidak mungkin menunjukkan arah yang salah”. (Lihat: Tabarruk
Masyru’ halaman 68-69).
Jawabannya:
Itu adalah kemungkinan interpretasi yang diberikan al-Ulyani
dari hadits di atas tadi. untuk mengkritisinya maka marilah kita perhatikan
poin-poin di bawah ini:
Pertama: Tidak
diragukan lagi bahwa semangat sahabat ‘Atban untuk mendirikan shalat jama’ah di
rumah adalah ‘salah satu’ sebab, tetapi ‘bukan satu-satunya’
sebab. Karena kita dapat melihat dengan jelas, bagaimana sahabat ‘Atban sangat
menghendaki tabarruk dari tempat shalat Rasulallah. Dan Nabi pun
mengetahui tujuan sahabatnya itu. Atas dasar itu, Rasulallah langsung
menanyakan tempat yang dikehendaki sahabatnya untuk dijadikan mushalla,
dirumahnya. Jika isu sekte wahabi di atas itu benar maka selayak-nya
Nabi shalat di sembarang tempat, di rumah sahabatnya tadi, mungkin di
ruang tamu, ruang tengah, atau di tempat yang terdekat dengan pintu masuk. Dan
kenyataannya, Nabi menanyakan terlebih dahulu; “Dimana engkau menginginkan
aku melakukan shalat?”. Dengan kata lain, Rasulallah tahu bahwa
sahabatnya itu akan mengambil berkah dari tempat shalat beliau saw..
Jika apa yang dinyatakan oleh al-Ulyani benar maka seharusnya Rasulallah saw.
langsung melakukan shalat di rumahnya, tanpa menanya- kan dengan redaksi dan
model pertanyaan semacam itu.
Kedua: Kalaupun apa
yang dinyatakan al-Ulyani benar bahwa tujuan sahabat ‘Atban tadi adalah ingin
memastikan kebenaran arah kiblat karena ia tidak dapat melihat dengan
baik, dengan cara mendatangkan Rasulallah saw. kerumahnya, maka hal inipun sulit
diterima. Dikarenakan untuk memperoleh arah kiblat yang benar oleh
‘Atban yang penglihatannya lemah, bisa saja ia meminta tolong anggota keluarga,
sanak-famili ataupun melibatkan sahabat Rasulallah lain untuk memberikan arahan
yang sesuai arah kiblat yang benar, bukan dengan memangil Rasulallah, apalagi
dilanjutkan dengan pelaksanaan dua rakaat shalat oleh Rasulallah saw..
Dan dikarenakan Rasulallah hanya shalat dua rakaat (diwaktu siang sebagai mana
tekts hadits) maka ini membuktikan bahwa shalat yang dilakukan Rasulallah
adalah shalat sunah, bukan shalat wajib. Oleh karenanya, jika Rasulallah
hanya berfungsi sebagai penunjuk arah kiblat yang benar, buat apa beliau
melakukan shalat sunah, cukup memberitahu dengan lisan dan tunjuk saja.
Ketiga: Perkiraan
penulis madzhab Wahabi tadi selain tidak sesuai dengan bukti-bukti (qarinah)
yang ada, juga apa yang ia perkirakan dan yang di pahaminya tidak lebih baik
dari apa yang dipahami oleh pribadi agung seperti Ibnu Hajar al-Asqolani
dalam kitab Syarah Bukharinya. Allamah Ibnu Hajar al-Asqolani berkaitan dengan
hadits tadi mengatakan:
a. “Dalam hadits ‘Atban yang meminta Nabi melaksanakan shalat
dirumahnya dan Nabi pun memenuhi keinginan tersebut adalah bukti pembolehan (hujjah)
akan tabarruk atas kesan dan peninggalan para manusia shaleh”. (Lihat:
Fathul Bari 1/469)
b. Sewaktu Nabi diundang dan diminta untuk melakukan
shalat, hal itu tiada lain adalah agar pemilik rumah dapat mengambil berkah
(tabarruk) dari tempat shalat tadi. Maka dari itu beliau bertanya tentang
tempat yang memang dikhususkan untuk itu…”. (Lihat: Fathul Bari 1/433)
Keempat: Taruhlah benar
–jika kita terpaksa ‘bertoleransi’ dengan pendapat penulis Wahabi tersebut– apa
yang dinyatakan oleh penulis Wahabi yang berkaitan dengan hadits Rasul dari
sahabat ‘Atban tadi, maka bagaimana menurut para pengikut Wahabi berkaitan
dengan banyak riwayat lain yang berkaitan dengan para sahabat seperti
pada kasus yang dapat kita lihat diantaranya pada riwayat-riwayat berikut ini:
a. Dari Anas bin Malik; Sesungguhnya Ummu Sulaim
meminta agar Rasulallah datang kerumahnya dan melakukan shalat di rumahnya
supaya ia dapat mengambilnya (bekas tempat shalat Rasul) sebagai mushalla.
Lantas Rasul pun datang. Dia (Ummu Sulaim) sengaja memerciki tikar dengan air,
lantas Rasul melaksanakan shalat di atasnya yang diikuti oleh beberapa sahabat
lainnya. (Sunan an-Nasa’i jilid 1halaman 268 kitab masajid, bab 43 as-Sholat
alal Hashir hadits 816).
b. Dari Anas bin Malik; Salah seorang pamanku membuat
satu makanan, lantas berkata kepada Nabi: “Aku ingin engkau datang ke rumahku
untuk makan dan shalat”. Dan (Anas) berkata: Lantas beliau datang ke rumah
sedang di rumah terdapat batu-batu (hitam). Lantas beliau dipersilahkan ke
salah satu sudut yang telah dibersihkan. Kemudian beliau melakukan shalat,
lantas kami pun mengikutinya. (Sunan Ibnu Majah jilid 1 halaman 249, kitab
al-Masajid, bab al-Masjid fi ad-Daur, hadits 756, atau dalam kitab Musnad Ahmad
bin Hanbal jilid 3 halaman 130 dengan dua sanad, atau dalam kitab Musnad Anas
bin Malik hadits 11920)
Hadits-hadits diatas jelas menyatakan inginnya pengambilan
barokah dari Rasulullah saw, pada tempat sholat mereka, tidak
seperti hadits ‘Atban yang masih mungkin disalahpahami oleh al-‘Ulyani.
Hadits-hadits semacam itu (Hadits ‘Atban) banyak akan kita dapati dalam
kitab-kitab para imam terkemuka lainnya.
Lantas giliran kita kembali bertanya kepada pengikut
sekte Wahabi: Apakah tujuan Shahabiyah Ummu Sulaim agar kaum muslimin
melakukan shalat berjama’ah di rumahnya bersama Rasulallah sebagaimana tujuan
sahabat ‘Atban yang telah meminta Nabi saw. shalat di rumahnya, untuk
menunjukan arah kiblat? Apakah ada tujuan lain yang dapat kita lihat dalam
fenomena Ummu Sulaim selain tabarruk (mencari berkah) dari Rasulullah
saw? Apakah paman sahabat Anas tadi –yang tentu- nya pengelihatannya
masih kuat– juga bertujuan sama seperti sahabat ‘Atban yang
pengelihatannya sudah lemah, untuk mengetahui dan memastikan arah kiblat?
Jika tujuan mereka bukan untuk mengambil berkah
dari tempat shalat Nabi bahkan ingin menjelaskan kepada Rasulallah saw. akan
ketidakhadirannya di shalat jama’ah Rasul, apakah tidak cukup sekedar
memberitahu (meminta izin) Rasulallah akan penyebab ketidakhadirannya di
masjid untuk melakukan shalat jama’ah karena adanya uzur atau terdapat
kepentingan lain sehingga diketahui oleh Nabi? Mengapa mereka malah
meminta Rasulallah saw. melakukan shalat di bagian tertentu dari rumah- nya
sehingga mereka nantinya juga akan shalat di tempat tersebut?
Ada sebagian golongan Wahabi berargumen bahwa tidak ada
perbedaan antara masjid Nabawi dengan masjid-masjid yang lain. Ini pernyataan
yang cukup aneh yang keluar dari makhluk yang mengaku sebagai umat Muhammad.
Betapa tidak, walaupun masjid Nabi di kota Madinah telah terjadi perluasan
dan perombakan, namun wilayah dan tempat bangunan asli masjid Nabawi masih
terjaga (tidak berpindah lokasinya) dan dapat dikenali oleh banyak orang. Ditempat-tempat
bangunan asli itulah, dahulu Nabi beserta para sahabat beliau melakukan shalat
dan ibadah ritual lainnya. Bagaimana masjid Nabawi dinyatakan sama dengan
masjid-masjid biasa lainnya sedang tempat bekas shalat Nabi yang bukan
masjid saja dicari oleh para sahabat untuk pengambilan berkah dengan turut
melakukan shalat di tempat berkah tersebut? Dan di kitab-kitab standart
Ahlusunah wal jama’ah dapat kita jumpai berbagai riwayat yang menjelaskan
tentang keutamaan masjid Nabawi dibanding masjid-masjid lainnya, selain
masjidil Haram tentunya. Riwayat-riwayat semacam itu akan banyak kita dapati
dalam buku-buku hadits terkemuka Ahlusunnah. Tentu di sini kita tidak akan
menyebutkan hadits-hadits atau bukti sejarah karena mengingat banyaknya halaman
dibuku ini.
Golongan Wahabi/Salafi
(pengingkar) mengisukan:
“Jika seseorang tinggal di Makkah, Madinah ataupun Syam
untuk meng harap berkah dari Allah dari tempat tersebut, baik dari sisi
berkah rizki mau pun menghindari fitnah maka ia akan diberi kebaikan yang
banyak. Namun jika seseorang melampaui batas dalam bertabarruk dengan cara menyentuh-nyentuh
tanah, batu, pohon-pohonan yang ada di daerah tersebut atau meletakkan tanahnya
di air untuk pengobatan atau semisalnya maka hal itu akan menyebabkan dosa,
bukan pahala. Karena ia telah melakukan tabarruk yang tidak pernah
dicontohkan oleh Rasul dan para generasi pertama Islam”. (Lihat: Tabarruk
Masyru’ halaman 42).
Jawabannya:
Untuk menjawab isu sekte Wahabi dalam masalah ini, mari
kita perhatikan poin-poin di bawah ini:
Dalam kajian yang lalu telah kita sebutkan bahwa, para
sahabat yang tergolong Salaf Sholeh telah sering melakukan pengambilan berkah
dengan mengusap-usap mimbar Rasulallah sembari berdo’a. Sahabat Ibnu Umar
mengusap bekas tempat duduk Rasulallah di atas mimbar kemudian mengusapkan
kedua telapak tangannya ke raut wajahnya. Dan masih banyak lagi contoh-contoh
lainnya, termasuk Rasulallah saw. telah mengusap-usap kepala dan badan
seseorang sembari mendo’akannya yang menunjukkan bahwa terdapat kekhususan dalam
usapan beliau saw. Karena jika tidak, maka do’a Rasul untuk kesembuhan
mereka saja sudah cukup, kenapa mesti harus pakai mengusap-usap anggota tubuh
seseorang?
Apa tujuan Rasulallah saw. melakukan hal tersebut kalau
bukan memberikan barakah yang beliau miliki, hasil karunia khusus Ilahi yang
diberikan kepada setiap kekasih-Nya? Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam
banyak sekali riwayat yang ada. Di sini kita akan sebutkan beberapa dari
riwayat tersebut, sebagai contoh saja:
a. Ummul Mukminin Aisyah ra. pernah menyatakan:
“Sesungguhnya Nabi pernah membaca do’a perlindungan untuk sebagian keluarganya
dengan mengusap tangan kanannya sembari mengucapkan do’a: ‘Ya Allah,
Tuhan manusia, jauhkanlah bencana (darinya). Sembuhkanlah ia, karena Engkau
Maha penyembuh. Tiada obat selain dari-Mu. Obat yang tidak menyisakan
penyakit…’ ” (Sahih Bukhari jilid:7 halaman: 172)
b. Dari Abi Hazim mengatakan; aku mendapat kabar dari
Sahal bin Sa’ad bahwa Rasulullah saw. pada perang Khaibar bersabda: “Akan aku
serahkan panji (bendera perang) ini besok kepada seseorang yang Allah akan
membuka (pertolongan-Nya) melalui kedua tangan orang tersebut. Dia (orang tadi)
adalah seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah beserta
Rasul-Nya pun mencintainya”. Ia (perawi) berkata: “Akhirnya orang-orang
begadang untuk menunggu siapakah gerangan yang akan di anugerahi panji tadi.
Ketika pagi telah tiba, orang-orang mendatangi untuk mengharap dianugerahi
kemuliaan tadi”. Perawi berkata: Rasul bersabda: ‘Dimanakah Ali bin Abi
Thalib?’. Dijawab: ’Ada wahai Rasul. Ia sedang sakit mata’. Rasulallah
bersabda: ‘Datangkanlah ia’! Lalu di datangkanlah Ali. Kemudian Rasulallah memberikan
ludah- nya ke mata Ali sembari mendo’akannya. Sembuhlah penyakitnya seakan
tidak pernah mengalami sakit. Kemudian Rasulallah memberikan panji tersebut
kepada Ali”. (Sahih Bukhari jilid 4 hal. 30/207; Musnad Imam Ahmad bin Hanbal
jilid 5 hal. 333; as-Sunan al-Kubra karya Nasa’i jilid 5 hal. 46/108; Musnad
Abi Ya’la jilid 1 hal. 291; al-Mu’jam al-Kabir karya Tabrani jilid 6 hal. 152
dan kitab Majma’ az-Zawa’id jilid: 6 halaman: 150).
c. As-Samhudi berkata: “Dahulu, jika Rasulallah dikeluhi
oleh seseorang akibat luka atau borok, lantas beliau mengatakan ungkapan
tersebut pada jarinya sembari meletak- kan jempol (tangan) beliau ke
tanah, kemudian mengangkatnya dengan mengungkapkan: ‘Dengan menyebut nama
Allah, dengan debu tanah kami, dan dengan ludah
sebagian dari kami, akan disembuhkan penyakit kami. Dengan izin Allah’ ”.
(Wafa’ al-Wafa’ jilid 1 hal. 69. penjelasan semacam ini juga akan kita dapati
dalam hadits Sahih Bukhari jilid 7 hal. 172 dari Ummul Mukimin Aisyah dengan
sedikit perbedaan redaksi)
Dalam banyak hadits juga disebutkan bahwa tanah
Madinah memiliki keberkahan khusus dari Allah untuk kesembuhan
penyakit. Itu semua berkat keberadaan Rasulallah saw. bersama para
kekasih Allah , baik dari sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in dan para manusia
sholeh lainnya. Kita akan melihat beberapa contoh saja dari hadits-hadits
Rasulallah saw. tersebut:
a. Rasulallah bersabda: “Debu Madinah menjadi
pengobat dari penyakit sopak” (Kanzul Ummal, karya Mutaqi al-Hindi al-Hanafi
jilid 13 halaman 205 atau kitab Wafa’ al-Wafa’ karya Samhudi as-Syafi’i jilid 1
halaman 67)
b. Rasulallah bersabda: “Sesungguhnya melalui debunya (Madinah)
menjadi penyembuh dari segala penyakit”. (Kanzul Ummal, karya Mutaqi
al-Hindi al-Hanafi jilid 13 halaman 205 atau kitab Wafa’ al-Wafa’ karya Samhudi
as-Syafi’i jilid 1 halaman 67)
c. Rasulallah bersabda: “Demi Dzat Yang jiwaku berada di tangan-Nya.
Sesungguhnya tanahnya (Madinah) adalah pengaman dan penyembuh
penyakit sopak”. (Kanzul Ummal, karya Mutaqi al-Hindi al-Hanafi jilid 13 hal.
205 atau kitab Wafa’ al-Wafa’ karya Samhudi as-Syafi’i jilid 1 halaman 67)
Jika tanah Madinah secara umum memiliki keberkahan
semacam itu maka bagaimana dengan tanah di sisi pusara Rasulallah saw.
yang disitu jasad suci beliau saw. –makhluk Allah termulia dikebumikan? Lantas
salahkah (tergolong bid’ah atau syirik) dan tidakkah sesuai dengan ajaran
(hadits) Rasulallah jika ada seseorang yang mengambil tanah Madinah
untuk mengambil berkah darinya, baik untuk mengobati penyakitnya, atau
sekedar disimpan untuk bertabarruk? Mana yang sesuai dengan ajaran Rasul;
orang yang bertabarruk dengan tanah Madinah, ataukah yang menyatakan bahwa
bertabarruk terhadap tanah semacam itu tergolong bid’ah atau syirik,
sebagaimana yang diaku oleh kelompok Wahabi?
Ini semua menjadi bukti bahwa, Allah swt. telah
menganugerahkan beberapa kemuliaan kepada beberapa tempat, yang kemudian
disakralkan oleh masyarakat muslim. Madinah beserta tanahnya tergolong tempat
yang di muliakan oleh Allah swt. dengan anugerah khusus semacam itu. Sehingga
di sakralkan oleh kaum muslimin, sesuai dengan apa yang diungkapkan melalui
lisan suci Rasulullah saw. Jika Nabi sendiri –sebagai makhluk Allah termulia,
pembenci Syirik nomer wahid– menjadikan tanah mulia penuh berkah kota Madinah
sebagai sarana (wasilah) pengobatan (tabarruk), apakah
pengikut beliau dapat divonis bid’ah atau syirik ketika mengikuti ajaran dan
saran beliau saw. tadi?
Jika tanah Madinah dinyatakan sebagai penuh berkah,
karena Rasulallah pernah hidup di sana dan dikebumikan di situ, lalu bagaimana
dengan Hajar Aswad, rukun-rukun (pojok-pojok) yang berada di Ka’bah,
Maqam Ibrahim, Hijir Ismail, Shafa dan Marwah, Arafah, Mina, gua Hira’ dan gua
Tsur yang semua adalah tempat-tempat sakral dan bersejarah buat Nabi dan
orang-orang yang mencintai junjungannya tersebut? Apakah ketika
bertabarruk dari tempat-tempat semacam itu lantas divonis dengan bid’ah
dan syirik, sebagai mana kita lihat perbuatan kelompok sekte Wahabi
terhadap kaum muslimin dari pelosok dunia yang menjadi tamu Allah d haramain?
Mengapa kaum Wahabi melarang dengan keras orang yang ingin ‘menyentuh’,
‘mengusap’ dan ‘mencium’ hal-hal sakral tadi untuk bertabarruk, dengan alasan
bid’ah dan syirik, atau alasan karena tidak ada contoh langsung dari
Rasulallah?, padahal banyak sekali contoh dari Rasulallah saw. dan salaf
Sholeh !! Siapakah sekarang yang bid’ah, golongan muslimin yang mengikuti
sunnah Rasulallah saw. atau golongan pengingkar ini ?
Kami sayangkan, madzhab Salafi (baca.Wahabi) dan
pengikutnya selalu merasa paling benar dan paling mengerti dalam hukum
syari’at. Semoga Allah swt. memberi hidayah kejalan yang benar kepada semua
kaum muslimin. Amin
Golongan Wahabi/Salafi
(pengingkar) mengisukan:
Salaf Sholeh telah melarang pengambilan berkah dan
penghormatan yang berlebihan terhadap mereka. Hal ini sebagaimana yang
dilakukan oleh Anas, ats-Tsauri, Ahmad dan sebagainya. Imam Ahmad pernah
berkata: ‘Siapa diriku sehingga kalian datang kepadaku? ‘Pergilah dan tulislah
hadits’!. Dan sewaktu beliau ditanya tentang sesuatu maka akan menjawab:
‘Bertanyalah kepada ulama’!. Ketika ditanya tentang penjagaan diri (wara’)
beliau mengatakan: ‘Haram buatku berbicara tentang wara’, jika Byisr
hidup niscaya ia akan menjawabnya’. Beliau juga pernah ditanya tentang ikhlas,
lantas menjawab: ‘Pergilah kepada orang-orang zuhud ! Kami memiliki
apa sehingga kalian datang kepada kami?’. Suatu saat seseorang datang kepadanya
dan mengusapkan tangannya ke bajunya dan kemudian mengusapkan kedua
tangannya ke wajahnya. Imam Ahmad marah dan mengingkari hal tersebut dengan
keras sembari berkata: ‘Dari siapa engkau mengambil perkara semacam ini’
(Lihat: Tabarruk Masyru’ hal. 86).
Jawabannya:
Untuk menjawab isu penulis madzhab Salafi/Wahabi di atas,
hendaknya kita perhatikan beberapa poin di bawah ini:
Terbukti bahwa ternyata penulis Wahabi tadi memahami
sesuatu hal yang berbeda dengan kenyataannya. Apa yang dilakukan para imam
madzhab tadi dalam mengingkari tabarruk orang-orang terhadap dirinya,
bukan berarti pengingkaran mereka terhadap keyakinan tabarruk itu
sendiri. Harus dibedakan antara mereka melarang orang ber- tabarruk kepada dirinya,
dengan dari semula menentang keyakinan tabarruk. Sebagaimana yang sudah kita
jelaskan bahwa, para imam madzhab itu sendiri telah melaku- kan tabarruk.
Dan apa yang disunting oleh penulis Wahabi tadi tidak
lain adalah tergolong sikap ‘rendah diri’ (tawadhu’) para imam
madzhab tadi, terkhusus berkaitan dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Dimana kita
tahu bahwa ‘tawadhu’’ merupakan salah satu bentuk dan sikap nyata dari
setiap ulama yang sholeh. Terbukti bahwa Imam Ahmad bin Hanbal tidak menvonis
orang yang bertabarruk terhadapnya dengan sebutan-sebutan pengkafiran
sebagaimana yang dilakukan oleh sekte (Wahabisme) yang konon mengikuti Imam
Ahmad bin Hanbal dari sisi metode (manhaj) dan pola pikir, serta
sepak terjangnya. Itu semua karena para ulama madzhab tahu bahwa tabarruk bukan
tergolong prilaku syirik ataupun bid’ah yang harus disikapi tegas dengan bentuk
pengkafiran, seperti yang dilakukan sekte Wahabi. Dengan bukti lain
bahwa, mereka sendiri –sebagaimana yang telah kita singgung di urutan artikel
tabarruk sebelumnya telah melakukan tabarruk terhadap para ulama dan manusia
sholeh yang hidup sezaman atau sebelum mereka. Bahkan sebagian mereka telah
bertabarruk terhadap kuburan para ulama dan manusia sholeh.
Kalaulah ungkapan Imam Ahmad tadi tidak diartikan sebagai
sikap tawadhu’ beliau, bahkan diartikan dengan sebenarnya, maka ungkapan
beliau seperti: ‘Siapa diriku sehingga kalian datang kepadaku? Pergilah
dan tulislah hadits’! atau ungkapan beliau; ‘Bertanyalah kepada ulama’,
meniscayakan bahwa kita (kaum muslimin, juga pengikut sekte Wahabi) tidak perlu
menjadikan Imam Ahmad bin Hanbal sebagai rujukan, karena beliau bukan
ulama. Namun terbukti bahwa, ternyata kelompok Wahabi pun yang selama ini
‘mengaku’ (konon) menjadikan Imam Ahmad sebagai panutannya, justru tidak
konsisten terhadap ungkapan Imam Ahmad tadi. Lalu mana konsistensi kelompok
Wahabi dalam memahami dan melaksanakan ungkapan Imam Ahmad?
Bila kita toleransi lagi dengan sekte Wahabi dan
membenarkan pendapat mereka bahwa Imam Ahmad bin Hanbal melarang orang bertabarruk
dengan pribadi orang, maka larangan Imam Ahmad itu pun terbantah dengan
banyak hadits shohih yang telah kami kemukakan diatas yang melegalkan
Tabarruk, termasuk Imam Ahmad sendiri ikut meriwayatkannya. Jadi yang benar
ialah Imam Ahmad tidak mengharamkan Tabarruk tetapi yang melarang
Tabarruk itu ialah imam dari sekte Wahabi dan pengikutnya itu
sendiri dengan mengatas namakan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah !
Entah dalil mana lagi yang dijadikan argumen oleh
golongan pengingkar dalam menyatakan kesyirikan dan kebid’ahan prilaku
tabarruk atau tawassul Mereka tidak memiliki argumen apa pun
berkaitan dengan hadits, riwayat, maupun bukti sejarah, apalagi al-Quran yang
membuktikan bahwa tabarruk adalah perbuatan bid’ah mau pun syirik!!
Dari sini jelas sekali bahwa, Allah swt. telah
menganugerahkan kesakralan khusus kepada beberapa obyek tertentu dari
makhluk-Nya agar manusia menjadikannya sebagai sarana tabarruk atau tawassul.
Dan terbukti bahwa Nabi Muhammad bin Abdillah saw. bukan hanya tidak melarang,
bahkan beliau sendiri telah mencontohkan kepada umatnya bagaimana melakukan
tabarruk dari obyek-obyek sakral tadi. Dan ajaran itu berjalan terus dari
generasi ke generasi hingga kita sekarang ini.
Walaupun kajian kita secara khusus berkaitan dengan
tabarruk, namun dari seri kajian tabarruk ini pun kita juga telah bisa
menetapkan secara global bahwa, obyek tabarruk dapat kita jumpai
pada berbagai bentuk, seperti:
1- Tempat; seperti; Kota Madinah,
Arafah, Muzdalifah, Mina, gua Hira, gua Tsur, Masjidil Haram, Masjid Nabawi,
Masjidil Aqsha, atau makam-makam orang sholeh…dsb.nya
2- Benda; seperti; Mushaf Al-Quran, semua
penginggalan Nabi, Sahabat, Ulama dan manusia sholeh lainnya…dsb.nya
3- Orang/pribadi agung; seperti; mengenang
manusia-manusia mulia dari para nabi, syuhada’, shalihin berkaitan dengan zaman
kelahiran, wafat atau momen-momen penting dalam sejarah hidup mereka…dan
sebagainya. Atas dasar itu para pecinta Rasul sering membaca berbagai bentuk
shalawat dan puji-pujian untuk Rasul, seperti tercantum didalam kitab-kitab
Maulid Diba’, Burdah, Barzanji, Shalawat Badr…dan sebagainya.
4- Waktu; seperti; waktu-waktu yang
disakralkan oleh Allah secara langsung atau yang berkaitan dengan momen khusus
kehdupan manusia kekasih Ilahi. Atas dasar itu kaum muslimin memperingati
acara-acara seperti; Maulid Nabi, Isra’ mi’raj, Nuzulul Quran…dan sebagainya.
Wallahu A’lam.
Dengan contoh
riwayat-riwayat –perbuatan-perbuatan sahabat baik dizaman hidupnya Rasulallah
saw atau sesudah wafatnya atau perbuatan para salaf yang telah kami kemukakan
diwebsite ini–, cukup bagi kita bahwa tabarruk atau tawassul itu
mustahab/baik malah menjadikan do’a dan amalan kita lebih cepat diterima oleh
Allah swt. Orang-orang yang mengingkari atau menyesatkan amalan tersebut
tabarrruk, tawassul merekalah yang membuat bid’ah, yang menyembunyikan
hadits-hadits shohih atau memutar balik
maknanya.
Memang golongan
pengingkar ini tidak bisa membedakan antara tabarruk, tawassul,
ta’dzim dengan penyembahan atau pengkultusan. Dengan
pengharaman, pensyirikan mereka tentang masalah ini, seakan-akan mereka ini
merasa lebih pandai, taqwa dan lebih mengetahui syari’at Islam dibandingkan
dengan Rasulallah saw., para kerabat, para sahabatnya serta para pakar
Islam yang melakukan tawassul, tabarruk , ta’dzim dan sebagainya
!
Begitu juga
tidak ada terlintas dipikiran orang-orang muslimin bahwa mereka menyembah
Ka’bah, karena ruku’, sujud menghadap bangunan batu tersebut atau menyembah
hajar aswad karena mencium dan mengusap-usapnya atau meyembah kuburan
karena berdiri khidmat dihadapan kuburan atau mencium kuburan itu. Bila ada
seorang muslim yang berkeyakinan bahwa dia beribadah demi karena Ka’bah,
Hajar Al-Aswad dan kuburan, maka akan hancurlah keimanan dan ke Islamannya.
Jadi yang
penting semuanya disini adalah keyakinan atau niat dalam hati, karena
semua amal itu tergantung pada niatnya Apa salahnya bila orang ingin mencium,
mengusap kuburan Rasulallah saw.atau para ahli taqwa lainnya, selama niat orang
tersebut hanya sebagai ta’dzim, tabarruk bukan sebagai penyembahan
?
Insya Allah
dengan keterangan sederhana dan dalil-dalil mengenai tawassul, tabarruk yang
cukup jelas ini dapat membuka hati dan pikiran kita untuk mengetahui
amalan mana yang diridhoi oleh Allah swt. dan Rasul-Nya. Semoga hidayah dan
taufiq dari Allah swt., selalu dilimpahkan pada kaum muslimin. Amin.
Insya Allah
dengan adanya kutipan sederhana ini, bisa memberi manfaat bagi kami sekeluarga
khususnya dan semua kaum muslimin lainnya dan kita semua bisa
melaksanakan amalan-amalan yang diridhoi-Nya, sehingga kita tidak mudah atau
gampang melontarkan kata-kata kepada kaum muslimin yang melakukan
perbuatan-perbuatan tertentu tersebut mengusap-usap, mencium dan sebagainya
bekas-bekas para Nabi, wali…. yang telah kami kutip dan kumpulkan syirik, munkar atau sesat dan sebagainya ! Wallahu a'lam.
Sebagai manusia yang
penuh kekurangan dan kesalahan, kami mengharap masukan dan saran dari segenap
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda