Fakta Bab 8, ttg maulid nabi Muhammad saw
BAB 8
Maulidin Nabi saw.serta mengagungkan
Nabi saw
Daftar isi Bab 8 ini diantaranya:
|
· Keterangan
singkat mengenai peringatan Maulidin Nabi saw.
· Cara-cara
memperingati hari-hari Allah
· Dalil-dalil dan hikmah yang berkaitan dan mengarah kebolehan peringatan
Maulid
· Pendapat para ulama dan tokoh cendekiawan Muslim tentang
peringatan maulidin Nabi saw
·
Masalah berdiri waktu pembacaan
Maulid
· Nama-nama
kitab yang menulis riwayat hidup Rasulallah saw.
· Sekelumit
Makalah
· Sekelumit
tentang peringatan Isra dan Mi'raj Rasulallah saw.
· Mengagungkan
Nabi Muhammad saw.
· Syair-syair
untuk Nabi saw. dari para sahabat
· Mencampur
aduk antara Ta’dim/pengagungan dan Ibadah
· Rasulallah saw.bukan
manusia biasa tapi manusia sempurna/Kaamil
|
Riwayat kapan dimulainya peringatan maulid Nabi saw
itu itu bermacam-macam. Ada riwayat yang mengatakan bahwa pertama
kali yang mengadakan acara peringatan hari kelahiran Nabi saw dan para keluarga
beliau saw, adalah pada pertengahan abad kedua tahun Hijriyah yakni pada
zamannya Imam Ja’far Shodiq atau Imam Musa Al-Kadhim dan diteruskan para
Khalifah Bani Fathimiyah di Kairo pada abad ke empat Hijriyah. Mereka
memperingati dan mengenang hari kelahiran dan kewafatan Nabi saw., Amirul
mukminin Ali bin Abi Thalib kw., Sayyidah Fatimah ra., Imam Hasan dan Imam
Husin bin Ali bin Abu Thalib r.a dan orang-orang sholeh lainnya, walaupun tidak
dengan perayaan.
Ada lagi riwayat bahwa peringatan Maulid Nabi saw
pertama kali dilakukan oleh raja Irbil (wilayah Iraq sekarang), bernama Muzhaffaruddin
al-Kaukabri, pada awal abad ke 7 hijriyah, sebagaimana yang
disebutkan Ibn Katsir dalam kitab Tarikh, beliau berkata: “Sultan
Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau
merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang yang berani, pahlawan,
alim dan seorang yang adil -semoga Allah merahmatinya-”.
Ada lagi yang dikatakan oleh golongan
pengingkar bahwa menurut riwayat sejarah awal mula peringatan maulidin
Nabi saw. diada- kan oleh Al-Muiz-Liddimillah al-Abadi dan dia
ini memiliki nama yang jelek karena dekat dengan Yahudi, Nasrani jauh dari
Muslim dan sebagainya. Umpama saja riwayat dan mengenai pribadi orang ini
kita benarkan sebagaimana yang dikatakan golongan pengingkar, kita tidak perlu
melihat pribadi seseorang yang mengarang sesuatu, tapi yang penting lihat dan
bacalah isi dan makna yang ditulis atau diciptakan oleh orang tersebut.
Selama hal itu baik dan bermanfaat serta tidak keluar dari syari’at
Islam maka dibolehkan dan malah dianjurkan oleh Islam untuk
mengamalkannya! Sebagaimana ada kata-kata yang terkenal: ‘Janganlah kalian
melihat siapa yang berbicara tapi dengarkan apa yang dibicarakan’. Jadi
walaupun orang kafir tapi mempunyai ide/saran yang baik dan sarannya itu
tidak keluar dari syari’at Islam, malah kita dianjurkan untuk menerimanya, bila
hal itu bermanfaat bagi masyarakat.
Memang sifat kebiasaan golongan pengingkar yang sudah
terkenal yaitu bila mereka tidak menyenangi amalan sesuatu karena bertentangan
dengan pahamnya, mereka akan mencela, mencari macam-macam jalan untuk
menjelekkan pribadi orang-orang yang menulis atau yang menciptakan
sesuatu amalan tersebut.
Dengan demikian riwayat-riwayat tentang awal mulanya
peringatan maulidin Nabi saw. bermacam-macam, begitu juga mengenai tanggal
lahir beliau saw., tetapi semua ini bukan suatu masalah yang perlu kita bahas
disini. Yang sudah pasti bahwa berkumpulnya manusia secara massal
untuk menyelenggarakan peringatan-peringatan atau keagamaan ini terjadi setelah
zaman Nabi saw. dan para sahabat, tetapi dilakukan pada zaman tabi'in.
Peringatan maulid ini di selenggarakan oleh muslimin ,baik dari kaum ulama mau
pun kaum awam, diseluruh negara didunia antara lain: Mesir, Iran, Iraq,
Indonesia, Malaysia, Singapora, Saudi Arabia, Afrika, Yaman, Marokko, Pakistan,
India, serta dinegara-negara barat antara lain di Inggris, Belanda, Perancis,
Jerman dan lain sebagainya. Di Saudi Arabia walaupun disini tempat lahirnya Muhammad
Abdul Wahhab, imam golongan wahabi/salafi serta pengikutnya sudah
bertahun-tahun banyak diadakan peringatan maulid Nabi saw. dirumah-rumah atau
flat-flat serta dihadiri oleh orang banyak dan cukup berkedudukan penting
dipemerintahan Arab-Saudi. Mereka tidak dibolehkan menyolok mengadakan
peringatan tersebut karena dikuatirkan akan terjadi keonaran yang ditimbulkan
oleh golongan yang fanatik dan anti peringatan tersebut.
Penulis pernah tinggal di Saudi Arabia pada tahun tujuh
puluhan dan sering menghadiri peringatan maulid disana. Malah sekarang bisa
kita lihat sendiri di YouTube 'Sayyid Abbas Maliki in television art'
atau 'Dhikr mawlid mouhadith Al-Alawi al Maliki al-Makki' (ulama yang
berdomisili di Saudi Arabia), peringatan maulid yang diadakan di Saudi atau
negara Arab lainnya.
Kira-kira mulai sepuluh-limabelas tahun yang lalu di Madinah
pun setiap musim haji, bulan-bulan Rajab, Sya’ban dan bulan mulia lainnya pada setiap
malam jum’at mulai jam 22.00, ribuan orang sebagian besar dari golongan madzhab Syiah dari Iran,
Irak, Kuwait dan lainnya duduk berkumpul dimuka kuburan Baqi’ (yaitu kuburan yang letaknya
berhadapan dengan Kubah kuburan Nabi saw di Masjid Nabawi Madinah) untuk
membaca bersama do’a Kumail (do’anya Kumail bin Ziyad) dengan pengeras
suara, dan sekitar tempat itu dijaga oleh tentara-tentara Saudi Arabia
hanya untuk menjaga keamanan saja.
Kami, waktu naik haji dan Umrah, kebetulan melihat dan menyaksikan hal
tersebut serta memotonya. Kami kira jama’ah Haji lainnya bila bertepatan malam
jum’at berjalan didaerah itu akan bisa menyaksikan sendiri hal tersebut.
Padahal dahulunya ulama-ulama Saudi sangat melarang adanya
kumpulan-kumpulan pembacaan do’a dimuka umum seperti itu, apalagi sambil
menggunakan pengeras suara. Mungkin dengan adanya dialog antara para ulama
Saudi dengan ulama madzhab lainnya mengenai hal tersebut, mereka tidak bisa
melarangnya karena tidak adanya dalil yang jelas dan tegas tentang larangan
tersebut malah sebaliknya banyak dalil yang mengarah kebolehan dan kesunnahan
berkumpul bersama untuk membaca dzikir. Begitu juga dahulu para muthowik
melarang orang memoto masjidil Haram walaupun dari luar, tetapi sekarang
didalam masjid Haram pun boleh orang memoto.
Peringatan maulid memang tidak pernah dilakukan orang
pada masa kehidupan Nabi saw., itu memang bid’ah (rekayasa), tetapi rekayasa
yang baik, karena sejalan dengan hukum syara’ dan sejalan pula
dengan kaidah-kaidah umum agama. Sifat rekayasanya/ bid’ahnya terletak pada
bentuk berkumpulnya jama’ah, bukan terletak pada per-orangan (individu)
yang memperingati hari kelahiran Nabi saw. Sebab masa hidup beliau saw dengan
berbagai cara dan bentuk setiap muslim melakukannya meski pun tidak disebut ‘perayaan
atau peringatan’. Begitu juga tidak adanya contoh pada zaman Rasulallah saw
atau para sahabat, itu bukan sebagai dalil untuk melarang atau mensesatkan
peringatan maulidin Nabi saw. Tidak lain semua itu adalah ijtihad para pakar
Islam untuk mengumpulkan muslimin guna memperingati maulid Nabi saw.
secara bersama/massal. Jadi bid’ah (rekayasa) seperti itu adalah rekayasa yang
baik sekali karena banyak hikmah dan manfaat pada majlis tersebut. .
Lupa adalah salah satu ciri kelemahan
yang ada pada setiap orang, tidak pandang apakah ia berpikir cerdas atau tidak.
Kita sering mendengar orang berkata : Summiyal-Insan liannahu mahallul
khatha’i wan-nisyan (dinamakan manusia/Insan karena ia tempat kekeliruan
dan kelupaan/nisyan). Dengan demikian lupa sering digunakan orang untuk beroleh
maaf atas suatu ke salahan atau kekeliruan yang telah diperbuat. Bahkan
di Al-Qur’an dalam surat Al-Kahfi : 63 terdapat isyarat bahwa lupa adalah
dorongan setan, yaitu ketika murid (pengikut) Nabi Musa as. menjawab
pertanyaan nabi Musa, dengan mengatakan: ‘Tidak ada yang membuatku lupa
mengingat (makanan) itu kecuali setan’.
Satu-satunya obat untuk dapat mencegah atau
menyembuhkan penyakit lupa yaitu peringatan. Bila orang telah
di-ingatkan atau diberi peringatan, ia tidak mempunyai alasan lagi untuk
menyalahgunakan lupa agar beroleh maaf atas perbuatannya yang salah itu.
Kata dzikir, dzakkara atau dzikra (ingat, mengingatkan, peringatan dan
seterusnya) adalah sempalan kata lain dari akar kata dzikir yang
berulang-ulang ditekankan dalam Al-Qur’an.
Bahkan para Nabi dan Rasul termasuk junjungan kita Nabi
Muhammad saw disebut juga sebagai Mudzakkir
yakni Pemberi ingat. Dengan tekanan makna yang lebih tegas dan keras,
para Nabi dan Rasul disebut juga sebagai Nadzir yakni pemberi peringatan
keras kepada manusia yang menentang kebenaran Allah swt.
Dengan keterangan singkat diatas jelaslah betapa besar
dan penting masalah peringatan dan mengingatkan. Tujuannya adalah
agar manusia sebatas mungkin dapat terhindar dari penyakit lupa dan lalai
yang akan menjerumuskannya kedalam pemikiran salah dan perbuatan sesat. Itulah
masalah yang melandasi pengertian kita tentang betapa perlunya kegiatan
memperingati maulid Nabi Muhammad saw.. Peringatan maulid Nabi saw. ini
merupakan amal kebaikan yang sangat dianjurkan. Banyak sekali dalil naqli maupun ‘aqli yang mendukung dan membenarkan
kegiatan yang baik itu. Bukan lain adalah Al-Qur’an sendiri telah
mengisyaratkan betapa mulianya dan betapa terpujinya kegiatan memperingati
kelahiran para Nabi dan Rasul.
Cara-cara memperingati hari-hari Allah
Allah swt.. berfirman: “Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat kami, (dan
Kami perintahkan kepadanya), ‘Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada
cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari
Allah”. Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur. ” (QS. Ibrahim
[14] : 5).
Yang dimaksud dengan hari-hari Allah pada ayat
itu ialah peristiwa yang telah terjadi pada kaum-kaum dahulu serta nikmat dan
siksa yang dialami mereka. Umat nabi Musa disuruh oleh Allah swt. untuk
mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang telah lalu ,baik itu yang berupa
nikmat atau berupa adzab, dari Allah swt.. Dengan adanya peringatan maulid itu
kita selalu di-ingatkan kembali kepada junjungan kita Rasulallah saw. sebagai
penghulu para Nabi dan Rasul!
Mengapa justru golongan pengingkar melarang dan
membid’ahkan munkar orang yang sedang memperingati hari kelahiran Rasulallah
saw.?
Tidak ada ketentuan syari’at cara mengingat
atau memperingati hari-hari Allah yang harus diselenggarakan pada hari-hari
tertentu. Juga tidak ditetapkan peringatan itu harus dilakukan secara berjama’ah
ataupun secara individual. Begitu juga halnya dengan peringatan maulid,
dapat diadakan setiap waktu, boleh secara individu atau berjama’ah. Sudah tentu
waktu yang paling tepat ialah pada hari turunnya nikmat Allah. Dalam hal
memperingati maulid Nabi saw. waktu yang paling sesuai adalah pada bulan
Rabiul-awal (bulan kelahiran Rasulallah saw.). Akan tetapi mengingat besarnya
manfaat peringatan maulid ini dan mengingat pula bahwa dengan cara berjama’ah
lebih utama dan lebih banyak barakah, maka peringatan maulid dapat diadakan
pada setiap kesempatan yang baik secara berjama’ah.
Misalnya pada hari-hari mengkhitankan anak-anak, pada
waktu hari pernikahan, pindah rumah, pelaksanaan nadzar yang baik, beroleh
rizki yang banyak dan lain sebagainya. Bagaimana pun juga setiap acara-acara
yang penting yang di-isi atau diselenggarakan maulid Nabi saw. menurut pandangan Islam pasti jauh lebih baik dan lebih
bermanfaat daripada di-isi dengan acara-acara lain yang hanya bersifat
bersenang-senang saja tanpa makna.
Mengenai diselenggarakannya peringatan hari-hari
Allah pada hari-hari ulang tahun turunnya nikmat, terdapat hadits shohih
yang dapat dijadikan dalil, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan
Muslim tentang puasa pada hari ‘Asyura. Karena puasa sunnah ‘Asyura dianjurkan
oleh Rasulallah saw. setelah beliau saw melihat kaum Yahudi di Madinah puasa
pada hari 10 Muharram tersebut. Beliau saw. bertanya kepada kaum Yahudi mengapa
mereka ini berpuasa pada hari itu? Mereka menjawab; ‘Pada hari ini Allah swt.
menyelamatkan Nabi mereka dan menenggelamkan musuh mereka’. Kemudian
Nabi saw. menjawab: ‘Kami lebih berhak memperingati Musa dari
pada kalian’! (Nahnu aula bi muusaa minkum).
Kecuali itu terdapat hadits lainnya, diketengahkan
oleh Ibnu Taimiyah dari hadits Ahmad bin Hanbal yang menuturkan sebagai
berikut: “Aku mendengar berita, pada suatu hari sebelum Rasulallah saw. tiba
(disuatu tempat di Madinah) diantara para sahabatnya ada yang berkata:
‘Alangkah baiknya jika kita menemukan suatu hari dimana kita dapat berkumpul
untuk memperingati nikmat Allah yang terlimpah kepada kita’. Yang
lain menyahut: ‘Hari Sabtu!’. Orang yang lain lagi menjawab; ‘Jangan (karena)
berbarengan dengan harinya kaum Yahudi’! Terdengar suara yang mengusulkan;
‘Hari Minggu saja’! Dijawab oleh yang lain: ‘Jangan (karena) berbarengan dengan
harinya kaum Nasrani’! Kemudian menyusul yang lain lagi berkata; ‘Kalau begitu,
hari ‘Arubah saja’! Dahulu mereka menamakan hari Jum’at hari
‘Arubah. Mereka lalu pergi berkumpul dirumah Abu Amamah Sa’ad bin Zararah.
Dipotonglah seekor kambing cukup untuk dimakan bersama“. (Iqtidha’us Shirathil
Mustaqim).
Kecuali dua hadits tersebut diatas terdapat hadits
lainnya lagi yang juga di ketengahkan oleh Bukhori dan Muslim mengenai nyanyian
yang didendangkan oleh sekelompok muslimin, untuk memperingati hari
bersejarah. Peristiwanya terjadi dikala Rasulallah saw. masih hidup
ditengah ummatnya. Nyanyian itu justru didendangkan orang ditempat kediaman
Rasulallah saw. sekaitan dengan datangnya hari raya ‘Idul Akbar.
Peringatan demikian itu dilakukan juga oleh sekelompok muslimin sekaitan dengan
hari bersejarah lainnya, yakni hari Biats yaitu hari kemenangan
suku-suku Arab melawan Persia, sebelum Islam. Pada hari itu Abubakar dan ‘Umar
[ra] berusaha mencegah sejumlah wanita berkumpul dan menyanyikan
lagu-lagu yang biasa dinyanyikan oleh orang-orang Anshar. Melihat Abubakar dan
‘Umar berbuat demikian itu, Rasulallah saw. menegor dua orang sahabatnya ini.
Beliau saw. minta agar kedua-duanya membiarkan mereka merayakan hari besar
dengan cara-cara yang sudah biasa dipandang baik menurut tradisi dan tidak
bertentangan dengan ajaran Islam.
Hadits yang berasal dari Ummul mukminin ‘Aisyah ra itu
lengkapnya sebagai berikut:
“Pada suatu hari Abubakar Ash-Shiddiq ra datang kepada
‘Aisyah ra (putri nya). Pada saat itu dikediaman ‘Aisyah r.a. ada dua orang
wanita Anshar sedang menyanyikan lagu-lagu yang biasa dinyanyikan oleh kaum
Anshar pada hari Bi’ats. Siti ‘Aisyah ra. memberitahu ayahnya, bahwa dua orang
wanita yang sedang menyanyi itu bukan biduanita. Abubakar menjawab: ‘Apakah
seruling setan dibiarkan dalam tempat kediaman Rasulallah?’ Peristiwa
tersebut terjadi pada hari raya. Menanggapi pernyataan Abubakar ra., Rasulallah
saw. berkata: ‘Hai Abubakar, masing-masing kaum mempunyai hari raya, dan
sekarang ini hari raya kita’ “. (Shohih Muslim III/210 dan Shohih
Bukhori 1/170).
Yang dimaksud dalam hadits kata hari raya kita
ialah hari terlimpahnya nikmat Allah swt.kepada kita, oleh karenanya
kita boleh merayakannya. Berdasarkan riwayat yang berasal dari Ummul Mukminin
‘Aisyah ra. itu imam Bukhori dan Muslim memberitakan, bahwa “didalam tempat
kediaman Nabi saw. pada saat itu terdapat dua orang wanita sedang bermain
rebana (gendang)”.
Dalam shohih Bukhori 1/119 diriwayatkan sebuah hadits
dari ‘Aisyah ra yang berkata: “Pada suatu hari Rasulallah saw. datang kepadaku.
Saat itu dirumah terdapat dua orang wanita sedang menyanyikan lagu-lagu Bi’ats.
Beliau saw. lalu berbaring sambil memalingkan muka. Tak lama kemudian datanglah
Abubakar (ayah ‘Aisyah). Ia marah kepadaku seraya berkata; ‘Apakah seruling
setan dibiarkan berada dirumah Rasulallah ?’….Mendengar itu Rasulallah saw.
segera menemui ayahku lalu berkata: ‘Biarkan sajalah mereka’! Setelah
Abubakar tidak memperhatikan lagi keberadaan dua orang wanita itu, mereka lalu
keluar meninggalkan tempat”.
Riwayat lainnya memberitakan, bahwa “pada hari-hari perayaan
Muna, Abubakar ra. datang kepada Siti ‘Aisyah ra. Ketika itu dirumah isteri
Nabi saw. terdapat dua orang wanita sedang menyanyi sambil menabuh/memukul
rebana. Saat itu Rasulallah saw. sedang menutup kepala dengan burdahnya. Oleh
Abubakar dua orang wanita itu dihardik. Mendengar itu Rasulallah saw.
sambil menanggalkan burdah dari kepalanya berkata : ‘Hai Abubakar, biarkan
mereka, hari ini hari raya’ “!
Siti ‘Aisyah ra juga pernah menceriterakan
pengalamannya sendiri; “Aku teringat kepada Rasulallah saw.disaat beliau sedang
menutupi diriku dengan bajunya (yang dimaksud adalah hijab/kain penyekat), agar
aku dapat menyaksikan beberapa orang Habasyah (Ethiopia) sedang bermain hirab
(tombak pendek) didalam masjid Nabawi (di Madinah). Beliau saw. merentang
bajunya didepanku agar aku dapat melihat mereka sedang bermain. Setelah itu aku
pergi meninggalkan tempat. Mereka mengira diriku seorang budak perempuan Arab
yang masih muda usia dan gemar bersenang-senang”.
Dalam shohih Muslim ketika itu ‘Aisyah ra mengatakan:
“Aku melihat Rasulallah saw. berdiri didepan pintu kamarku, pada saat beberapa
orang Habasyah sedang bermain hirab didalam masjid Nabawi. Kemudian beliau saw.
merentangkan baju didepanku agar aku dapat melihat mereka bermain. Setelah itu
aku pergi. Mereka mengira diriku seorang budak perempuan Arab yang masih muda
usia dan gemar bersenang-senang”.
Dalam hadits yang lain lagi Siti ‘Aisyah
ra.menuturkan: “ Pada suatu hari raya beberapa orang kulit hitam negro dari Habasyah bermain darq (perisai
terbuat dari kulit tebal) dan hirab. Saat itu, entah aku yang minta
kepada Rasulallah saw. ataukah beliau yang bertanya kepadaku: ‘Apakah engkau
ingin melihat’? Aku menjawab: ‘Ya’. Aku lalu diminta berdiri di belakang
beliau demikian dekat hingga pipiku bersentuhan dengan pipi beliau. Kepada
orang-orang yang bermain-main itu Rasulallah saw. bersabda: ‘Hai Bani
Arfidah…teruskan, tidak apa-apa’! Kulihat mereka terus bermain hingga
merasa jemu sendiri. Kemudian Rasulallah saw. bertanya kepadaku; ‘Sudah
cukup’? Kujawab; ‘Ya’. Beliau lalu menyuruhku pergi, ‘kalau begitu
pergilah’ “!.
Dalam Shohih Muslim diriwayatkan juga sebuah hadits
berasal dari ‘Atha ra yang menuturkan bahwa yang bermain-main itu entah
orang-orang Persia, entah orang-orang Habasyah (Ethiopia). Mereka bermain hirab
didepan Rasulallah saw. Tiba-tiba ‘Umar Ibnul Khattab datang, ia lalu mengambil
beberapa buah kerikil dan dilemparkan kepada mereka. Ketika
melihat kejadian tersebut Rasulallah saw. berkata: ‘Hai Umar, biarkan saja
mereka’!
Sekarang telah kita ketahui, bahwa bentuk
perayaan atau peringatan ,sebagaimana yang dituturkan oleh hadits-hadits
tersebut diatas, ternyata bermacam-macam. Ada yang berupa ibadah puasa,
ada yang dengan cara memotong kambing lalu dimakan bersama, ada yang
merayakan dengan nyanyian, dan mendeklamasikan syair-syair sambil
memukul rebana dan ada pula yang merayakan dengan bermain-main tombak
serta perisai. Semua ini diriwayatkan oleh para sahabat Nabi terdekat,
bahkan oleh isteri beliau saw. sendiri yang langsung menyaksikan. Semua riwayat
ini kemudian dicatat dan diberitakan oleh para Imam ahli hadits seperti Imam
Ahmad bin Hanbal, Bukhori dan Muslim radhiyallahu ‘anhum agar diketahui oleh segenap kaum
muslimin.
Dalam hadits-hadits itu telah diketahui pula bahwa
Rasulallah saw. membenarkan dan membolehkan diadakannya perayaan-perayaan atau
peringatan-peringatan hari bersejarah, terutama sekali hari-hari pelimpahan
nikmat Allah swt. kepada ummat manusia. Beliau saw. tidak pernah
mengatakan perayaaan atau peringatan itu perbuatan kufur atau bid’ah
dhalalah/sesat! Kita mengetahui pula bahwa Abubakar ra menyebut nyanyian
sebagai seruling setan dan ‘Umar ra melempari orang-orang yang bermain
tombak dengan kerikil. Akan tetapi kita pun mengetahui juga bahwa Rasulallah
saw. seketika itu juga menegor Abubakar dan ‘Umar karena dua orang
sahabat Nabi itu berusaha melarang nyanyian (yang baik, tentunya) ter-iring bunyi
rebana, dan menghalangi orang-orang bermain tombak dalam merayakan hari
besar bersejarah itu.
Beliau saw. menegor dua orang sahabat tersebut karena
beliau tidak memandang permainan-permainan atau perayaan-perayaan itu sebagai
perbuatan kufur, ma’siyat dan tidak keluar dari garis-garis yang
ditentukan oleh syari’at Islam. Dua sahabat Nabi saw. menerima tegoran
Nabi saw. dengan jujur dan ikhlas.
Dalam shohih Muslim halaman 168 juga memperkuat
dalil-dalil keabsahan peringatan maulid (kelahiran) Nabi saw. yaitu mengenai puasa
setiap hari Senin yang dilakukan oleh Nabi saw. Beberapa orang sahabat
beliau saw. bertanya apa sesungguhnya motifasi beliau berpuasa tiap hari Senin?
Beliau saw. menjawab: “Pada hari itu yakni hari Senin adalah hari kelahiranku dan hari
turunnya wahyu (pertama) kepadaku”. Dengan adanya hadits ini kita
memandang bahwa hari Senin sebagai hari yang bersejarah, karena mencakup
dua peristiwa besar. Jika Rasulallah saw sendiri berpuasa setiap
hari Senin untuk memperingati dan mensyukuri hari kelahiran beliau sendiri,
bukankah sangat utama jika kita sebagai ummat beliau saw. berbuat mengikuti jejak beliau
yaitu giat memperingati hari maulid beliau setiap tahun, bahkan tiap minggu
(tiap hari Senin)? Dalam hal ini mengapa harus di munkarkan atau
disesatkan…?
Pernyataan beliau saw. itu bisa dipandang sebagai
dalil syar’i mengenai keabsahan peringatan maulid Nabi saw. Jawaban beliau saw.
yang menghubungkan hari kelahiran beliau dengan hari turunnya wahyu pertama
(hari bi’tsah kenabian) kepada beliau, menunjukkan ketinggian martabat hari
kelahiran (maulid) nabi sebagai hari terlimpahnya nikmat Allah swt.
Dengan demikian sudah semestinyalah kita memandang hari maulid beliau saw.
sebagai hari besar dan mulia yang perlu diperingati sewaktu-waktu.
Dalil-dalil lain dan hikmah yang berkaitan dengan
kebolehan peringatan Maulid
Dengan adanya majlis-majlis peringatan maulid tersebut
meneguhkan iman kita serta membangkitkan kita lagi untuk selalu
ingat dan cinta pada Allah dan Rasul-Nya, karena kehidupan manusia dibumi ini
senantiasa berubah dan berkembang. Itu telah menjadi hukum kehidupan Sunnatulllah
yang tidak mungkin dicegah oleh siapa pun. Kewajiban untuk meningkatkan kecintaan
dan penghormatan terhadap Rasulallah saw. itu sejalan dengan sunnahnya
dan firman Allah. Firman Allah swt. yang mengingatkan ummat Muhammad yang
mengakui mencintai Allah, untuk mencintai Rasul-Nya Muhammad saw.,
sebagaimana firman-Nya:
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْن الله فاتّبِعُوْنِي
يُحْبِبْكُمُ
اللهُ
Artinya: "Jika kamu mencintai Allah, ikutlah (dan cintai dan hormati) aku (Muhammad)
, dan Allah akan mencintai kamu".( Surat Aal-Imran : 31).
Dalam surat Ibrahim ayat 5, Allah
swt. berfirman: "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan
membawa ayat-ayat Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya): “Keluarkanlah kaummu
dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka
kepada hari-hari Allah. Sesunguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak
bersyukur". (QS Ibrahim 5).
Dalam surat Al-Maidah [5] :114, Allah swt. berfirman: “ ’Isa
putera Maryam berdo’a, ‘Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu
hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari Raya
bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami,
dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezekilah kami, dan
Engkaulah pemberi rezeki yang paling Utama’ ”.
Turunnya makanan dari Allah swt. untuk ummat nabi ‘Isa
saja sudah sebagai suatu kenikmatan dan hari Raya untuk ummat
‘Isa dan untuk yang datang sesudah mereka. Bagi ummat Muhammad Allah
swt. telah memberikan berbagai kenikmatan dan kemuliaan karena lahirnya dan
turunnya makhluk yang paling mulia yaitu Habibullah Rasulallah saw.
kedunia ini.
Kami ingin bertanya lagi 'Mengapa golongan pengingkar
selalu melarang kita menyambut dan merayakan hari yang bersejarah yakni maulid
beliau saw., sebagai suatu kenikmatan dan kebahagiaan buat kita?
Dalam surat Yusuf ayat 111, Allah
swt. berfirman:
لقدْ كان في قصصِهِمْ عِبْرةٌ لأوْلِى
الألْبابِ
Artinya: “Sungguh,pada kisah-kisah mereka itu (para Nabi dan Rasul)
terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal”.
Dalam
surat Hud: 120, Allah swt berfirman:
وكُلاًّ نقُصُّ عليْك مِنْ أنْباءِ
الرُسُلِ ما نُثبِّتُ بِهِ فُؤادك
Artinya: “Dan semua kisah para
Rasul kami ceriterakan kepadamu, yang dengan kisah-kisah itu Kami teguhkan
hatimu “.
Dalam surat
Al-Hajj: 32, Allah swt berfirman: "Demikianlah (perintah Allah)
dan barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah (lambang
kebesaran) Allah, itu sesungguhnya (timbul) dari hati yang takwa”
Dalam surat
Al-Haj: 30, Allah swt berfirman : “Demikianlah (perintah Allah),
dan barangsiapa mengagungkan apa yang mulia disisi Allah, itulah yang
terbaik baginya disisi Tuhannya”.
Allah swt. didalam kitab suci Al-Qur’an telah menceriterakan riwayat-riwayat
para Nabi dan Rasul berulang–ulang dibeberapa Surah. Umpama riwayat Nabi Isa
as. dalam surah Maryam, disini kisah beliau mulai kelahirannya hingga dewasa,
bahkan dikisahkan juga da’wah dan mu’jizatnya. Juga riwayat Nabi Ibrahim as
banyak dalam Al-Qur’an, Nabi Yusuf as., Nabi Sulaiman as. dan nabi-nabi
lainnya. Allah mengisahkan bagaimana kehidupan, kemuliaan/kedudukan para Rasul
ini dan lain sebagainya. Tidak lain tujuan dan maksud Allah swt. untuk
mengisahkan riwayat para Nabi dan Rasul sebagaimana firman-Nya yang telah dikemukakan tadi adalah jelas
untuk dijadikan pelajaran dan memperteguh iman dalam hati.
Jadi kalau kisah para Nabi dan Rasul yang lain saja sudah sedemikian besar arti
dan manfaatnya, apalagi kisah kelahiran dan kehidupan junjungan kita
Nabi besar Muhammad saw., yang telah diriwayatkan sebagai penghulu para
Nabi dan Rasul!
Begitu juga telah dikemukakan bahwa diantara tanda-tanda orang yang
bertaqwa adalah orang yang mau mengagungkan syi’ar Allah swt. dan
orang yang mengagungkan apa yang mulia disisi Allah swt. itu adalah yang
terbaik baginya disisi Allah swt. Tidak diragukan
lagi Rasulallah saw. adalah makhluk yang paling mulia diantara makhluk-makhluk
Ilahi, dengan kenabian dan kerasulan-nya, dengan segala mu’jizat termasuk mu’jizat yang
terbesar yaitu Al-Qur’an yang dikaruniakan Allah kepada beliau saw
adalah lambang kebenar an dan kebesaran (syi’ar) serta
lambang kekuasaan Allah swt.. Memuliakan dan mengagungkan syi’ar Allah ini
adalah bukti dari hati yang bertakwa kepada Allah swt.
Didalam majlis maulid ini selalu dikumandangkan
sholawat, riwayat kisah Rasulallah saw. dan ceramah agama yang mana semuanya
ini sangat baik dan sejalan dengan dalil-dalil hukum syara’
serta sejalan dengan kaidah-kaidah umum agama. Bahkan sholawat ini adalah
perintah Allah swt. sebagaimana firman-Nya :
إنّ الله
ملائِكتهُ يُصلُّون على النّبِي
Artinya: "Sesungguhnya Allah dan para Malaikat sentiasa bersalawat
kepada Nabi" (QS 33:56). Seterusnya ayat ini disambung dengan perintah
Tuhan,
يآايُّها الذِّيْن آمنوْا صلُّوا عليْهِ وسلِّمُوْا
تسْلِيْمًا
Artinya: " Wahai orang-orang yang beriman berselawatlah kamu
kepadanya ".
Arti shalawat Allah swt.pada ayat ini menurut ahli tafsir berarti pujian
Allah swt. terhadap Nabi saw., pernyataan kemuliaannya serta maksud meninggikan
dan mendekatkannya, begitu juga sholawat para Malaikat kepada beliau saw. untuk
memuji dan memuliakan Rasulallah saw.. Dan orang yang beriman disuruh
juga bersholawat dan bersalam pada beliau saw.
Ayat ini saja sudah menjadi bukti bahwa iman seseorang itu
bergantung kepada dan dilahirkan melalui sholawat kepada Nabi saw. Ya Allah !
Limpahkanlah sholawat serta salam kepada Nabi, ahli keluarga beliau saw. dan
para sahabat.
Kita juga
dianjurkan oleh Allah swt agar ingat-mengingatkan sesama muslim karena hal ini
sangat bermanfaat bagi kita sebagaimana Firman-Nya:
وذكِّرْ فإنّ الِّكْرى تنْفعُ المُؤْمِنِين
Artinya: “Dan ingatkanlah, karena peringatan itu sesungguhnya
bermanfaat bagi orang orang yang beriman”. (Adz Dhariyat :
55)
Juga kita
dianjurkan selalu berbuat kebaikan yang mana kebaikan itu bisa
menghapuskan dosa kita sebagaimana firman Allah swt:
اِنّ الحسناتِ
يُذْهِبْن السّيِّآتِ
Artinya: “Sungguhlah bahwa kebaikan meniadakan keburukan”. (QS.
Hud : 114)
Tidak diragukan lagi bahwa orang yang membaca riwayat maulidin Nabi saw. baik secara individu maupun berjama’ah adalah termasuk berbuat kebaikan.
Sekali lagi, menarik kesimpulan arti firman-firman Allah dan hadits-hadits
diatas ini bahwa kesempurnaan iman seseorang itu amat bergantung pada
kecintaannya terhadap Rasulallah saw.. Kecintaan, ketaatan dan keimanan
pada Allah swt. dan Rasul-Nya, ini akan bertambah tebal dan mantep dihati
kita bila selalu di-ingatkan berulang-ulang dengan membaca dan mendengar riwayat
kisah kehidupan Rasulallah saw. serta bersholawat pada beliau saw.!!
Hadits riwayat
Bukhari dan Muslim, Rasulallah saw. telah bersabda:
لا يُؤْمِنُ أحدُكُمْ حتّى اكُون احبّ
اِليْهِ مِنْ والِدِهِ و ولدِهِ و النّاسِ اجْمعِيْن.
Artinya: "Tidak sempurna iman kamu sehingga aku lebih
dicintainya daripada anak, ibu-bapa dan manusia seluruhnya."
Dalam sebuah
hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari, Nabi saw. bersabda; "Tidak
sempurna iman kamu sehingga aku kamu lebih cintai daripada diri kamu
sendiri." Umar bin Khattab ra berkata; "Ya Rasulallah aku
mencintaimu lebih daripada diriku sendiri”.
Dalam hadits Rasuallah saw. kita diperintahkan untuk
mencintai Rasulallah saw. melebihi dari anak-anak kita sendiri, orang tua dan
manusia seluruhnya. Keimanan kita tergantung dengan besarnya kecintaan
kita kepada beliau saw. dan cinta kepada beliau saw. berarti kita cinta kepada
Allah swt. yang mengutus Rasul-Nya ini. Dengan sering memperingati hari
kelahiran Rasulallah saw. akan menambah kecintaan kita kepada Allah swt.
dan kepada beliau saw. serta memantepkan hati kita untuk bisa mencontoh pribadi
dan perjalanan beliau saw.
Pendapat para ulama dan tokoh cendekiawan Muslim yang
berkaitan dengan peringatan maulidin Nabi saw
Ibnu Taimiyyah
dalam kitab Iqtidha'us-Shriathil-Mustaqim, mengatakan: "Memuliakan
hari maulid Nabi dan menyelenggarakan peringat annya secara rutin banyak
dilakukan orang. Mengingat maksudnya yang baik dan bertujuan memuliakan
Rasulallah saw., adalah layak jika dalam hal itu mereka beroleh ganjaran
pahala besar. Sebagaimana telah saya katakan kepada anda, bahwa bisa jadi
sesuatu yang dianggap buruk oleh seseorang mu'min yang lurus ada kalanya
dianggap baik oleh orang lain".
Ibnu Taimiyyah dalam Majmu‘ Fatawa Ibn
Taymiyyah,jld.
23, hal. 133, dan kitabnya Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal.
294-295, bab “Perayaan yang diada-adakan pada waktu dan tempat tertentu,
(Ma Uhditsa min al-A‘yad al-Zamâniyyah wa al-Makaniyyah)” mengatakan; “Demikian halnya apa
yang diada-adakan oleh sebagian orang dengan menganalogikan pada orang-orang
Nasrani yang merayakan kelahiran Isa, atau karena rasa cinta kepada Nabi saw
dan untuk memujanya, Allah swt akan memberi mereka pahala atas cinta dan
usahanya ini, bukan atas kenyataan bahwa itu suatu bid’ah …".
Merayakan dan menghormati kelahiran Nabi
saw dan menjadikannya sebagai saat-saat yang dihormati, Ibn Taymiyyah tentang
maulid sebagaimana diuraikan
dalam kitabnya sebagaimana dilakukan
oleh sebagian orang adalah baik, dan padanya ada pahala yang besar, karena niat
baik mereka dalam menghormati Nabi saw..
Dalam teks yang disebutkan diatas, Ibn
Taymiyyah juga menyebutkan fatwa Imam Ahmad ibn Hanbal, imamnya madzhab fikih
Ibn Taymiyyah, tatkala orang-orang bercerita kepada Imam Ahmad mengenai seorang
pangeran yang membelanjakan 1000 dinar untuk membuat hiasan Alquran, beliau
(Imam Ahmad) mengatakan: “Itulah tempat terbaik baginya untuk menggunakan
emas”.
Seorang editor majalah golongan Salafi
(baca: Wahabi) ,Iqtidha’, Muhammad al-Fiqqî, menulis dua halaman catatan
kaki untuk teks tersebut. Di dalamnya ia berteriak keras, “Kayfa
yakunu lahum tsawab ‘ala hadza? … Ayyu ijtihâd fi hadza? (Bagaimana
mungkin mereka dapat memperoleh pahala untuk hal tersebut? … Ijtihad macam apa
ini??)”.
Para ulama Salafi kontemporer bisa
dikatakan berlebihan dan menyimpang menyangkut peringatan maulid ini.
Mereka merubah sikap Ibn Taymiyyah tersebut dengan ketetapan hukum mereka
sendiri, padahal Ibn Taymiyyah adalah tokoh ulama panutan golongan ini.
Pengarang Salafi yang lain, Manshur
Salman, juga bersikap serupa diatas ketika menerangkan isi kitab al-Bâ‘its
‘alâ Inkâr al-Bida‘ karya Abû Syâmah. Karena Abû Syâmah bukannya
mengkritisi peringatan maulid, tetapi justru menyatakan, “Sungguh itu
(peringatan maulidin Nabi saw.) suatu bid’ah yang patut dipuji dan
diberkati”.
Pembolehan peringatan hari kelahiran Nabi
saw. oleh Ibn Taymiyyah ini ─yang oleh para pendukungnya telah diartikan
secara keliru sebagai suatu kritikan atas peringatan maulid─ telah
disebut-sebut oleh para ulama Sunni seperti Sa‘id Hawwa dalam al-Sîrah bi
Lughat al-Syi‘r wa al-Hubb; Ibn ‘Alawi al-Maliki dalam, Mafahim
Yajibu an Tushahhah; al-Sayyid Hâsyim al-Rifâ‘î dalam Adillat Ahl
al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah; dan ‘Abd al-Hayy al-Amrunî dan ‘Abd al-Karîm Murâd
dalam Hawla Kitâb al-Hiwar ma‘a al-Mâlik.
Al-Hafidh Al-Qasthalani dalam Al-Mawahibulladunniyyah juz
1 hal. 148 cet. almaktab al-Islam berkata : 'Maka Allah akan menurunkan
rahmat-Nya kepada orang yang menjadikan kelahiran Nabi saw. sebagai hari
besar'.
Al-Hafidh Assakhawiy dalam Sirah al-Halabiyah
berkata: 'Tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ketiga, tetapi
dilaksanakan setelahnya dan tetap ummat Islam diseluruh pelosok dunia
melaksanakann dan bersedekah pada malamnya dengan berbagai macam sedekat dan
memperhatikan bacaan maulid dan terlimpah terhadap mereka keberkahan yang
sangat besar'.
Imam Al-Hafidh Ibnul Jauzi dengan kitab maulidnya yang
terkenal al-aruus berkata tentang pembacaan maulid sebagai
berikut; 'Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira
dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya dan
merayakannya'.
Imam Al-Hafidh Ibn Abidin dalam syarahnya maulid Ibn
Hajar berkata: ‘Ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan
maulid dibulan kelahiran Nabi saw.’.
Imam Ibn Hajar al-‘Asqalânî dalam al-Durar
al-Kâminah fî ‘Ayn al-Mi’ah al-Tsâminah menyebutkan; bahwa Ibn Katsîr
–seorang ahli hadits pengikut Ibn Taymiyyah– pada hari-hari terakhir hayatnya
menulis sebuah kitab berjudul Mawlid Rasulallah yang tersebar luas.
Kitab tersebut menyebutkan kebolehan dan anjuran memperingati maulid Nabi saw.”
(Ibn Katsîr, Mawlid Rasulallah, editor Shalah al-Din Munajjad
(cet. Dâr al-Kitâb al-Jadîd, beirut 1961).
Dalam kitab Ibn Katsîr tersebut, ia mengatakan, “Malam
kelahiran Nabi saw. adalah malam yang agung, mulia, diberkati, dan suci, suatu
malam yang membahagiakan bagi orang-orang beriman, bersih, bersinar cemerlang,
dan tak ternilai harganya.” (Ibid., h. 19).
Jalal al-Dîn al-Suyûthî berkata: Syekh-Islam –seorang
tokoh hadits pada masanya, Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalani– pernah ditanya
mengenai kebiasaan memperingati kelahiran Nabi saw.. Beliau memberikan jawaban
sebagai berikut:
"Sehubungan dengan asal muasal dari kebiasaan
memperingati kelahiran Nabi saw, itu merupakan suatu bid’ah yang kita tidak
menerimanya dari para saleh di antara kaum muslim terdahulu pada masa tiga abad
pertama Hijriah. Meskipun demikian, praktek tersebut melibatkan bentuk-bentuk
yang terpuji dan bentuk-bentuk yang tak terpuji. Apabila dalam praktek
peringatan tersebut, orang-orang hanya melakukan hal-hal terpuji saja, dan
tidak melakukan yang sebaliknya, maka itu bid’ah yang baik, tetapi bila tidak
demikian, maka tidak baik. Dalil dasar dari nas yang bisa dipercaya untuk
merujuk keabsahannya telah saya temukan, yaitu suatu hadits sahih yang dimuat
dalam kumpulan Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, bahwa Nabi
saw. datang ke Madinah dan menemukan orang-orang Yahudi berpuasa pada tanggal
sepuluh Muharam (Asyura), maka beliau bertanya kepada mereka tentang hari itu
dan mereka menjawab: 'Hari ini adalah hari Allah swt menenggelamkan Fir’aun dan
menyelamatkan Musa a.s., maka kami pun berpuasa untuk menyatakan syukur kepada
Allah Taala'.
Dalil ini menunjukkan keabsahan berterima kasih kepada
Allah swt atas karunia-Nya yang diberikan pada suatu hari tertentu, baik dalam
bentuk pemberian nikmat dan peng- hindaran dari bencana. Kita mengulang rasa
syukur kita dalam peringatan hari tersebut setiap tahun, dengan menyatakan
syukur kepada Allah swt dalam berbagai bentuk peribadatan seperti sujud syukur,
puasa, memberi sedekah atau membaca Alquran… Lantas, karunia apa lagi yang
lebih besar daripada kelahiran Nabi saw., Nabi pembawa rahmat, pada hari ini?
Melihat kenyataan demikian, kita seharusnya memastikan untuk memperingatinya
pada hari yang sama, sehingga sesuai dengan cerita tentang Musa a.s. dan
tanggal sepuluh Muharam di atas. Akan tetapi, orang yang tidak melihat
persoalan ini penting, merayakannya pada hari apa saja dalam bulan itu, bahkan
sebagian meluaskannya lagi pada hari apa saja sepanjang tahun,
pengecualian apa pun dapat diambil dalam pandangan semacam ini”.( Al-Suyûthî, al-Hâwî
li al-Fatâwî seperti disebutkan dalam The Reliance of the Traveller
karya al-Mishrî, terjemahan oleh Nuh Ha Mim Keller, bagian w58.0.).
Dalam pandangan mufti
Mekah, Ahmad ibn Zaini Dahlan, “Memperingati hari kelahiran Nabi saw. dan
mengingat Nabi saw. itu dibolehkan oleh ulama muslim.” (al-Sîrah
al-Nabawiyyah wa al-Âtsâr al-Nabawiyyah, hal. 51. Kutipan-kutipan selanjutnya
kebanyakan diambil dari karya ini).
Imam al-Subki mengatakan; “Pada saat kita
merayakan hari kelahiran Nabi saw, rasa persaudaraan yang kuat merasuk ke hati
kita, dan kita merasakan sesuatu yang khas”.
Imam Al-Jauzi (Al-Hafidz
Jamaluddin ‘Abdurrahman Al-Jauzi) seorang imam madzhab Hanbali wafat tahun
567 H mengatakan; “Manfaat
istimewa yang terkandung dalam peringatan maulid Nabi saw. ialah timbulnya perasaan
tenteram disamping kegembiraan yang mengantarkan ummat Islam kepada tujuan
luhur. Dijelaskan pula olehnya bahwa orang-orang pada masa Daulat ‘Abbasiyah
dahulu memperingati hari maulid Nabi saw. dengan berbuat kebajikan
menurut kemampuan masing-masing, seperti mengeluarkan shadaqah, infak dan
lain-lain. Selain hari maulid, mereka juga memperingati hari-hari bersejarah
lainnya, misalnya hari keberadaan Nabi saw. di dalam goa Hira sewaktu
perjalanan hijrah ke Madinah. Penduduk Baqdad memperingati dua hari bersejarah
itu dengan riang gembira, berpakaian serba bagus dan banyak berinfak.
Imam al-Syawkani dalam al-Badr
al-Thali‘. mengatakan, “Dibolehkan merayakan hari kelahiran Nabi saw.”.
Beliau pun mengatakan bahwa Mulah ‘Alî al-Qârî memiliki pandangan yang sama
dalam kitabnya, al-Mawrid al-Rawi fi al-Mawlid al-Nabawi, yang ditulis secara
khusus untuk mendukung perayaan hari kelahiran Nabi saw..
Imam Abu Syamah, guru Imam al-Nawawî,
dalam kitabnya tentang bid’ah, al-Ba‘its ‘ala Inkar al-Bida‘ wa al-Hawadits,
berkata: Bid’ah yang paling baik pada masa kita sekarang ini adalah peringatan
hari kelahiran Nabi saw.. Pada hari tersebut orang-orang memberikan
banyak sumbangan, melakukan banyak ibadah, menunjukkan rasa cinta yang besar
kepada Nabi saw., dan menyatakan banyak syukur kepada Allah swt. karena telah
mengutus Rasul-Nya kepada mereka, untuk menjaga mereka agar mengikuti sunah dan
syariah Islam.
Imam al-Syakhawi mengatakan, “Peringatan
hari kelahiran Nabi saw. dimulai pada tiga abad setelah Nabi saw. wafat.
Seluruh muslimin merayakannya dan seluruh ulama membolehkannya, dengan cara
beribadah kepada Allah swt, bersedekah, dan membaca riwayat hidup Nabi saw.”.
Al-Hafidh Ibn Hajar al-Haitami mengatakan,
“Sebagaimana orang-orang Yahudi merayakan Hari Asyura dengan berpuasa untuk
bersyukur kepada Allah swt, kita pun mesti merayakan maulid”. Beliau pun
mengutip hadits yang telah disebutkan di depan, “Tatkala Nabi saw. tiba di
Madinah …”. Ibn Hajar kemudian melanjutkan: (Selayaknya) orang bersyukur
kepada Allah swt atas rahmat yang telah Dia berikan pada suatu hari tertentu,
baik berupa kebaikan yang besar ataupun keterhindaran dari bencana. Hari
tersebut dirayakan setiap tahun setelah peristiwa itu. Ungkapan syukur
terlahir dalam berbagai bentuk peribadat an seperti sujud syukur, puasa,
sedekah, dan membaca Alquran. Lantas, kebaikan apa lagi yang lebih besar
dari kedatangan Nabi saw., seorang Nabi penyebar rahmat, pada hari
maulid?
Ibn al-Jawzi (w. 579) menulis sebuah buku
kecil yang berisi syair dan riwayat hidup Nabi saw untuk dibacakan dalam
perayaan maulid. Buku itu berjudul Mawlid al-‘Arus, (Ibn
al-Jawzi, Mawlid al-‘Arus, Damaskus: Maktabat al-Hadharah, 1955)
dan beliau membuka dengan kata-kata, “Al-hamd li Allah al-ladzi
abraza min ghurrat ‘arus al-hadhrah shubhan mustanirah (Segala puji bagi
Allah swt yang telah mengeluarkan dari pancaran cahaya hadirat-Nya pagi hari
yang semburat dengan sinar cemerlang)”.
Imam Nawawi (Al-Hafidz
Muhyiddin bin Syarat An-Nawawi) yang wafat dalam tahun 676 H bahkan mensunnahkan
peringatan maulid Nabi saw.. Fatwa Imam Nawawi tersebut diperkuat oleh Imam
Al-Asqalani (Al-Hafidz Abul-Fadhl Al-Imam bin Hajar Al-‘Asqalani) yang
wafat dalam tahun 852 H. Dengan berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan, Imam
Al-‘Asqalani memastikan bahwa memperingati hari maulid Nabi saw. dan
mengagungkan kemuliaan beliau merupakan amalan yang mendatangkan pahala.
Soal bentuk dan cara pelaksanaan peringatan
maulid dapat selalu berubah, berbeda dan berkembang sesuai dengan perubahan,
perbedaan dan perkembangan masyarakat setempat pada setiap zaman. Syari’at
Islam hanya menetapkan kewajiban mengingat nikmat Allah swt., dan ini
dapat dilaksanakan pada tiap kesempatan dan tiap keadaan. Adapun bentuk dan
caranya boleh saja mengikuti kelaziman yang biasa berlaku dalam masyarakat,
asalkan tidak menyalahi prinsip-prinsip ajaran agama Islam. Hal yang demikian
ini banyak sekali contohnya yang dapat dikemukakan, misalnya:
> Soal thawaf, sa’yu, wuquf dipadang ‘Arafah dan
beberapa manasik haji yang lain, semuanya itu adalah ketentuan-ketentuan yang
tidak boleh diubah dan diganti, semuanya telah ditetapkan oleh nash. Ibadah
haji adalah suatu kewajiban bagi tiap muslim yang mampu dan memenuhi syarat. Akan
tetapi orang boleh memilih bagaimana cara dia berangkat kesana misalnya
dengan berjalan, berkendara- an mobil, dengan kapal laut, dengan pesawat
terbang dan sebagainya.
> Pembacaan Al-Qur’an; orang boleh juga memilih apakah ia
lebih suka membaca ayat demi ayat yang tertulis dalam kitab suci itu, ataukah
hendak membacanya secara hafalan. Dia boleh memilih juga cara membacanya dengan
sendirian atau membaca bersama dengan jama’ah.
> Cara pembacaan do’a; orang boleh mengutarakan sendiri
apa yang menjadi isi hati dan permohonannya atau dengan membaca
kumpulan-kumpulan kalimat tertentu yang telah disiapkan oleh para ahli penyusun
do’a.
> Dalam hal menunaikan zakat dan shadaqah
atau infak; orang boleh memilih cara yang dipandangnya terbaik. Ia boleh
menyerahkan langsung kepada orang-orang yang berhak menerimanya, atau lewat
panitia-panitia pengumpul zakat, badan-badan amal atau lembaga lembaga social.
> Demikian juga masalah menyusun kekuatan yang
diperintahkan Allah swt. kepada ummat Muhammad saw.. Kita tidak terikat harus
meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya
Nabi saw., lalu menolak atau melarang penggunaan pesawat-pesawat tempur,
tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, roket-roket dan persenjataan modern
lainnya. Banyak sekali kewajiban yang diperintahkan syari’at, yang
pelaksanaannya kita sesuaikan dengan keadaan masyarakat pada kurun waktu
tertentu. Mengenai soal-soal itu banyak sekali dalil dapat kita ketemukan.
Kesimpulan keterangan diatas ini ialah segala sesuatu
yang menghasilkan maslahat/kebaikan bagi dirinya atau masyarakat itu boleh dan
baik diamalkan dengan cara bagaimana pun, selama cara ini tidak keluar dari
garis-garis yang ditentukan oleh syari’at Islam. Lebih utama lagi jika pilihan
kita itu sejalan dengan ijma’ (kesepakatan) para alim-ulama. Imam Syafi'i
menegaskan: "Hal ihwal baru yang diadakan, jika itu menyalahi Kitabullah
atau Sunnah, atau ijma' atau hadits (atsar), itu adalah bid'ah dhalalah
(bid'ah sesat). Hal ihwal baru berupa kebajikan, yang diadakan tidak
menyalahi ketentuan-ketentuan tersebut, itu terpuji”. Imam Al-'Izz bin
'Abdi-Salam, Imam Nawawi demikian juga Ibnu Atsir semuanya sependapat dengan
apa yang ditegaskan oleh Imam Syafi'i.
Sebagaimana juga yang telah dikemukakan bahwa para
sahabat sering pada zamannya Nabi saw mengerjakan bid’ah/soal-soal baru
mengenai bacaan-bacaan didalam sholat yang mana sebelum dan sesudahnya
tidak pernah dianjurkan atau diperintahkan oleh Nabi saw.. Setelah
dipertimbangkan masalah-masalah tersebut oleh beliau saw. dan dipandang tidak
menyalahi ajaran-ajaran pokok agama dan tidak berlawanan dengan hukum-hukumnya,
beliau saw. membiarkan dan malah meridhai perbuatan-perbuatan mereka. Atas
dasar itulah para ulama Figih (hukum Islam) bersepakat menetapkan, ‘pada
dasarnya segala sesuatu kaidah adalah mubah atau halal, kecuali ada nash yang
sah dan tegas dari Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw. (hadits-hadits)
yang mengharamkan masalah itu’.
Untuk lebih jelasnya silahkan baca keterangan apa
yang dimaksud kata-kata Bid'ah, yang tercantum dalam hadits Rasulallah
saw. pada bab "Bid’ah yang dipermasalahan" di
website ini. Dengan demikian, insya Allah kita bisa menilai sendiri mana yang
disebut bid'ah dholalah/sesat dan bid'ah yang dibolehkan oleh syari'at.
Doktor Abdul Ghaffar Muhammad Aziz, guru besar ilmu da’wah pada
Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo, dalam makalahnya mengenai
maulid yang dimuat di majalah Al-Islam antara lain sebagai berikut:
“Memang ada sementara orang yang berpendapat terlampau keras dan secara
mutlak tidak membenarkan adanya peringatan-peringatan keagamaan dalam bentuk
apa pun juga dan menganggapnya bid’ah yang tidak diakui oleh agama. Akan
tetapi, saya berpendapat, peringatan–peringatan itu tidak ada buruknya, asal
saja diselenggarakan menurut cara-cara yang sesuai dengan ajaran
syari’at.
Tidak ada salahnya kalau peringatan Maulid, Isra Mi’raj atau
peringatan-peringatan keagamaan lainnya, dengan mengadakan pidato-pidato,
ceramah ceramah dan pelajaran khusus, baik di masjid-masjid, balai-balai
pertemuan maupun lewat segala macam mas media. Peringatan akan dapat
mengingatkan kaum muslimin pada soal-soal yang bersangkutan dengan agama.
Selama peringatan-peringatan itu berlangsung, mereka sekurang-kurangnya
memperoleh kesegaran jiwa dan melepaskan sementara kesibukan sehari-hari
mengenai urusan hidup kebendaan yang tiada habis-habisnya dan terus-menerus. Mengenai manfaat peringatan, Allah swt. telah berfirman
sebagai berikut:
وذكِّرْ فإنّ الِّكْرى تنْفعُ
المُؤْمِنِين
Artinya: “Dan ingatkanlah, karena
peringatan itu sesungguhnya bermanfaat bagi orang-orang yang beriman “. (Adz-Dhariyat
: 55)
Peringatan keagamaan seperti ini, yang diselenggarakan tanpa
berlebih-lebihan atau pemborosan yang tidak perlu, dapat dipandang
sebagai sunnah hasanah (perjalanan baik) yang diakui oleh hukum syara’
bahkan diterima dengan baik dalam zaman kita sekarang. Zaman sekarang ini
seakan-akan Allah swt. hendak meratakan dan melestarikan berlangsungnya
per- ingatan-peringatan keagamaan itu sepanjang tahun. Seakan-akan Allah
menghendaki supaya setiap orang Muslim dari saat kesaat selalu berada di dalam
suasana Al-Qur’an, suasana sunnah Rasul-Nya dan suasana ke hidupan Islam, yang
dari suasana segar seperti itu Allah menghendaki kebaikan bagi umat manusia.
Mulai dari bulan Muharram dengan segala kegiatan yang ada didalamnya sampai
dengan bulan Rabiul Awal yang penuh peringatan-peringatan Maulid Nabi saw,
sampai bulan Rajab dengan peringatan Isra Mi’raj, terus hingga bulan Sya’ban
dan bulan turunnya Al-Qur’an Ramadhan disambung lagi dengan tiga bulan musim
haji yaitu Syawal, Dzul Qi’dah dan Dzul Hijjah. Demikianlah suasana keagamaan
berlangsung terus menerus dan berulang-ulang setiap tahun”.
Seorang penulis Islam, Al-Ustadz Abdurrahim
Al-Jauhari dalam makalah-nya antara lain menginginkan agar
peringatan maulid Nabi saw. tidak hanya berlangsung dalam waktu sehari saja,
tetapi supaya berlangsung selama sebulan penuh, agar para ulama memperoleh
waktu yang cukup untuk menyebarluaskan nilai-nilai abadi yang terdapat didalam
kehidupan Nabi saw. Karena dilihat dari besarnya pengaruh ajaran Rasulallah
saw. didalam kehidupan bangsa-bangsa, baik secara sosial mau pun secara
individual, maka kelahiran Nabi Muhammad saw. dapat dipandang sebagai suatu peristiwa
terbesar dalam sejarah. Oleh karenanya perayaan peringatan-peringatan
maulid Nabi saw. yang mulia itu harus disesuaikan dengan keagungan pribadi
beliau dan harus pula disesuaikan dengan kebesaran pengaruhnya di seluruh
dunia.
Ada pun mengenai resepsi-resepsi resmi yang diadakan untuk memperingati
maulid Nabi saw. itu hanya dapat dianggap sebagai perayaan nasional bagi seluruh
Negara yang mengakui Islam sebagai agama resmi.
Doktor Muhammad Sayyid Ahmad Al-Musir, gurubesar ilmu
‘Aqidah dan Filsafat pada Fakultas Ushuluddin, dalam wawancara khusus dengan
wartawan majalah Al-Liwa’ul Islami menerangkan antara lain sebagai
berikut:
“Perayaan peringatan maulid Nabi saw. itu dengan jamuan/pesta makan dan
minum sama sekali tak ada kaitannya dengan teladan mulia yang telah di berikan
oleh Rasulallah saw. Akan tetapi perlu dimengerti, bahwa kami tidak melarang
atau mengharamkan jenis-jenis tertentu dan makanan dan minuman yang
disuguhkan dalam peingatan tersebut, tetapi yang kami sesali ialah ada
sementara orang yang beranggapan bahwa bentuk-bentuk peringatan yang
bersifat kebendaan itu merupakan bagian daripada peringat an maulid Nabi
saw.
Pendapat sementara orang yang memandang peringatan maulid Nabi saw. atau
peringatan keagamaan lainnya sebagai bid’ah, perbedaan kami
dengan mereka (yang membid’ahkan peringatan-peringatan keagamaan--pen)
ialah mengenai pengertian atau ta’rif
tentang bid’ah dan sunnah. Mereka mengata kan bahwa ‘setiap
bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka’ sebagaimana
yang terdapat di dalam hadits shahih.
Akan tetapi mereka itu melupakan sesuatu yang amat penting yaitu bid’ah
yang disebut sesat (dholalah) dan yang tempatnya di neraka bukan
lain adalah bid’ah yang di-isyaratkan oleh Al-Qur’an, yakni
firman Allah swt.: ‘Mereka mensyari’atkan sebagian dari agama sesuatu
yang tidak diizinkan Allah
” (Asy-Syura:21).
Jadi bid’ah yang terlarang itu ialah penambahan bentuk peribadatan (yang
pokok--pen) didalam agama. Hal ini sama sekali tidak terdapat dalam
peringatan keagamaan yang diadakan, seperti peringatan maulid Nabi saw. dan peringatan
keagamaan lainnya”.
Pendapat Al-Ustadz Mahmud Syaltut tentang peringatan maulid
Nabi saw. antara lain sebagai berikut:
“Setelah abad-abad pertama Hijriyah (abad ke tujuh Masehi) di
kalangan kaum muslimin mulai berlangsung kebiasaan mengadakan perayaan
memperingati hari maulid Nabi saw. pada bulan Rabiul-Awal tiap tahun. Cara
mereka memperingati maulid ini berbeda-beda menurut keadaan
lingkungan dinegeri mereka masing-masing. Ada yang merayakan hari
kelahiran Nabi saw. dengan menyiapkan makanan-makanan khusus yang pada
umumnya tidak biasa dimakan sehari-hari, kemudian mereka makan bersama
keluarganya pada malam 12 Rabiul awwal dalam suasana riang gembira.
Ada yang merayakan dengan menyediakan beberapa macam kue-kue manis yang
khusus dibuat dalam aneka ragam bentuknya oleh para pedagang. Kue-kue ini
diletakkan secara teratur dan serasi didepan toko mereka untuk menarik para
pembeli. Ada juga yang merayakan dengan menyelenggarakan pertemuan-pertemuaan
yang dibuka dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Kebanyakan para qari
membacakan ayat-ayat yang sesuai dengan sifat peringatan maulid tersebut.
Setelah itu dibacakan kisah maulid Nabi saw. dengan mengetengahkan sifat-sifat
dan akhlak beliau saw., juga kisah lainnya yang menerangkan keadaan masyarakat
pada masa kelahiran beliau saw.. Pada zaman pertama generasi-generasi
berikutnya, orang mulai menulis buku dan menghimpun ucapan orang-orang yang
menyampaikan berita-berita riwayat dan hadits-hadits. Kemudian buku ini disebar
luaskan kepada kaum muslimin untuk mengingatkan mereka tentang kebesaran
Nabi Muhammad saw. dan perangai mulia yang telah menjadi fitrah
beliau, yang telah dikenal baik oleh keluarga, sanak kerabat dan kaumnya
(yakni orang Quraish--pen). Antara lain diriwayatkan berita dalam buku-buku
tersebut:
‘Ketika beliau masih sebagai anak penggembala kambing, ketika beliau masih
remaja muda turut bersama pamannya beliau dalam perang Fijjar (peperangan yang
terjadi setelah tahun Gajah antara orang-orang Quraish dan sekutunya
orang-orang Kinanah disatu pihak, melawan orang orang dari Bani Hawazin.
Konon waktu itu Rasulallah saw. umur 14 th. ada riwayat mengatakan umur beliau
waktu itu 20 th.—red.) dan persekutuan Fudhul. Juga dibuku tersebut
meriwayatkan ketika beliau saw. telah mencapai kematangan fitrah dalam hubungan
dengan Allah dan masih banyak lagi keterangan-keterangan riwayat beliau saw.
yang tercantum dalam buku-buku tersebut. Demikian itulah peringatan-peringatan
maulid Nabi saw. yang lazim dilakukan oleh kaum muslimin sebagai sunnah setelah
abad-abad pertama Hijriyah’ ”!
Imam Abu Syamah gurunya Imam Nawawi ketika
mengomentari peringatan maulid Nabi saw. berkata sebagai berikut: “Diantara
kegiatan terbaik yang diada-adakan pada masa kita sekarang ini adalah kegiatan
yang dilakukan setiap tahun bertepatan dengan kelahiran Nabi kita Muhammad saw.
yakni memperbanyak sedekah, mengerjakan hal-hal yang baik serta menampakkan
keriangan dan kegembiraan. Karena demikian itu selain didalamnya terkandung
perbuatan yang baik terhadap fakir miskin juga mengesankan suatu kecintaan dan
pengagungan kepada Nabi saw. serta juga rasa syukur kepada Allah swt.atas
karunia-Nya yang telah menciptakan beliau saw. dan mengutusnya sebagai rahmat
bagi sekalian alam”.
As-Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani rohimahullah,
beliau adalah seorang ulama dan anak seorang ulama besar Al-Allamah Ustadz Alawi, dikerajaan Arab Saudi yang
berkedudukan sebagai Mufti Makkah. Sekali pun secara format kerajaan Arab
Saudi madzhab Wahabi/ Salafi tapi beliau tetap sebagai ulama yang bermadzhab Maliki. (Akhir-akhir
ini ada golongan Salafi/Wahabi ,sebagaimana kebiasaannya, berani mengkafirkan
seorang ulama yang bertauhid ini yakni Ustadz Muhammad al-Maliki ini karena
tidak sepaham dengan mereka! Ya Allah janganlah kami dimasukkan kegolongan
yang mudah mengkafirkan sesama muslimin yang meng-Esakan Engkau dan
beriman kepada Malaikat-Malaikat-Mu, Rasul-Rasul-Mu serta mempunyai kiblat yang
sama dengan kaum muslimin lainnya. Amin--pen.).
Maulid Nabi saw. yang tertulis dalam makalahnya Haulal–Ihtifal
Bil-Maulidin Nabawiyyisy-Syarif (Sekitar Peringatan Maulid Nabi yang Mulia)
tersebut merupakan salah satu karya tulis dari beberapa orang ulama dan penyair
Islam kenamaan, yang dimuat dalam buku koleksi pilihan tulisan para ulama
dan para penyair Islam berjudul Baaqah Ithrah, cetakan pertama tahun
1983, yang terbit di Makkah. Pendapatnya mengenai peringatan maulid Nabi saw.
dalam makalahnya itu antara lain:
Sebenarnya sudah terlalu banyak orang berbicara tentang perayaan atau
peringatan Maulid Nabi saw. Sesungguhnya masih banyak soal lain yang lebih
memerlukan pemikiran kita. Pembicaraan masalah ini seolah-olah menjadi
permasalahan rutin setiap tahun, sehingga orang merasa jemu. Selama masih
banyaknya pikiran yang secara diam-diam menyalahkan –bahkan mengharamkan–
perayaan atau peringatan maulid Nabi saw., maka tidak ada jeleknya jika saya
(sayid Muhamad Al-Maliki) berusaha memenuhi harapan kaum muslimin awam, yang
masih merasa butuh kepada penjelasan mengenai jaiz atau bolehnya
penyelenggaraannya.
Lebih baik saya tekankan lebih dahulu bahwa bentuk peringatan Maulid
Nabi saw. seperti berkumpul untuk mendengarkan riwayat hidup beliau, menyatakan
pujian-pujian dan sholawat yang memang sudah menjadi hak beliau saw., kemudian
dilanjutkan dengan suguhan-suguhan makanan dan lain sebagainya guna
menyemarakkan/ menggembirakan kaum muslimin, semuanya itu boleh/jaiz, tidak
dilarang oleh syara’. Perayaan atau peringatan maulid ini dapat dan boleh
diselenggarakan kapan saja. Memang benar peringatan ini diadakan pada bulan
kelahiran beliau saw. adalah lebih baik, karena lebih menggugah
ingatan orang kepada peristiwa besar yang terjadi dalam bulan itu dimasa silam.
Dengan demikian orang lebih mudah mengkaitkan masa kini dengan masa lampau.
Tidak dapat disangkal bahwa mengumpulkan orang banyak untuk memperingati
Maulid ini merupakan salah satu cara terpenting untuk menda’wahkan kebenaran
Allah dan Rasul-Nya. Ini merupakan kesempatan emas yang tidak boleh
disia-siakan. Dalam kesempatan itupun para ulama dapat mengingatkan umat kepada
junjungan kita Rasulallah saw. Bagaimana sesungguhnya beliau itu, bagaimana
keagungan dan keluhuran budi pekerti serta akhlaknya, bagaimana kehidupan beliau
saw. sehari-hari, bergaul dengan para sahabatnya, bagaimana beliau menunaikan
ibadah kepada Allah dan sebagainya. Jadi kegiatan perayaan maulid ini adalah
kegiatan yang sangat baik dan bermanfaat.
Peringatan maulid Nabi saw. tidak lain memantulkan kegembiraan kaum
muslimin menyambut junjungan mereka Rasulallah saw.. Bahkan orang kafir pun
beroleh manfaat dari sikapnya yang menyambut gembira kelahiran beliau, seperti Abu
Lahab, misalnya.
Sebuah hadits dalam Shahih Bukhori menerangkan bahwa tiap hari
Senin Abu Lahab diringankan siksanya, karena ia memerdekakan budak
perempuannya, Tsuwaibah, sebagai tanda kegembiraannya menyambut
kelahiran putera saudaranya Abdullah bin Abdul Mutthalib, yaitu Muhammad saw..
Jadi, jika orang kafir saja beroleh manfaat dari kegembiraannya
menyambut kelahiran Rasulallah saw., apalagi orang yang beriman!
(Begitu juga Al-Hafidh Syamsuddin Muhammad bin Nashiruddin al-Dimasyqi
berkata: “Jika orang kafir yang nyata-nyata telah dicela oleh Allah melalui
firman-Nya ‘Celakalah dua tangan Abu Lahab’ serta dia kekal dalam
neraka justru ada keterangan bahwa selamanya disetiap hari Senin dia
memperoleh keringanan siksa lantaran kegembiraannya dengan kelahiran Nabi
Muhamad saw. Lalu bagaimanakah dengan orang yang sepanjang hidupnya
bergembira dengan kelahiran beliau dan diapun mati dalam keadaan
bertauhid?--pen.)”.
Selanjutnya Ustadz Muhammad Al-Maliki berkata: Rasulallah saw. sendiri
menghormati hari kelahiran beliau, dan bersyukur kepada Allah atas karunia
nikmat-Nya yang besar itu. Beliau dilahirkan dialam wujud sebagai hamba Allah
yang paling mulia dan sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Cara beliau
menghormati hari kelahirannya dengan berpuasa. Hadits dari Abu Qatadah
yang mengatakan, bahwa ketika Rasulallah saw. ditanya oleh beberapa orang
sahabat mengenai puasa beliau tiap hari Senin, beliau menjawab:
ذالِك يوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ ويوْمٌ
بُعِثْتُ اوْ اُنْزِل عليّ فِيْهِ
Artinya: ‘Pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu juga Allah swt.
menurunkan wahyu kepadaku”. (HR Shahih Muslim)
Puasa yang beliau lakukan itu merupakan cara beliau memperingati
hari maulidnya sendiri. Memang tidak berupa perayaan, tetapi makna
dan tujuannya adalah sama, yaitu peringatan. Jadi peringatan dapat
dilakukan dengan cara berpuasa, dengan memberi makan kepada pihak yang membutuhkan,
dengan berkumpul untuk berdzikir dan bershalawat atau dengan menguraikan
keagungan perilaku beliau sebagai manusia termulia dan sebagainya.
(Jawaban Rasulallah saw. waktu ditanya tentang puasa hari
Senin: 'hari itu, hari kelahiranku....', beliau saw. tidak menjawab
misalnya : “Puasa hari senin itu mulia dan boleh-boleh saja..”. Ini menunjukkan
bahwa hari kelahiran beliau saw. ada mepunyai nilai tambahan dari
hari-hari lainnya, sekaligus diperbolehkannya puasa dihari itu. Maka jelaslah
sudah bahwa Nabi saw. termasuk perhatian terhadap hari kelahiran
beliau saw, karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya islam---pen.).
Pernyataan senang dan gembira menyambut kelahiran Nabi saw.
merupakan tuntunan Al-Qur’an. Allah swt. berfirman:
قُلِ بِفضْلِ اللهِ
وبِرحْمتِهِ فبِذالِك فلْـيفْرحُوا
Artinya: “Katakanlah: ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya hendaklah
(dengan itu) mereka bergembira’ “. (QS.Yunus: 58)
Allah swt. memerintahkan kita bergembira atas rahmat-Nya dan Nabi Muhammad
saw. jelas merupakan rahmat Allah terbesar bagi kita dan semesta alam,
sebagaiman firman-Nya:
وما أرْسلـْناك
إلا رحْمةً لِلعالمِـيْن
Artinya: “Dan Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam
semesta”. (QS.Al-Anbiya:107)
Rasulallah saw. memperhatikan kaitan antara suatu masa dan
peristiwa-peristiwa besar keagamaan yang pernah terjadi dimasa silam
(sebelum beliau). Manakala masa terjadinya peristiwa itu berulang, itu
dipandang sebagai kesempatan untuk mengingatnya, menghormati hari terjadinya
dan suasana yang meliputinya. Mengenai itu beliau telah menetapkan sendiri
kaidahnya. Sebagaimana di riwayatkan dalam sebuah hadits, setiba Rasulallah di
Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura (10
Muharram). Ketika beliau saw. menanyakan hal itu, dijawab: ‘Mereka (orang
Yahudi) berpuasa karena Allah telah menyelamatkan Nabi mereka (Musa as) dan
menenggelamkan musuh mereka’. Mendengar itu Nabi saw. menjawab:
نحْنُ أوْلى
بِمُوسى مِنْكُمْ
Artinya: ‘Kami lebih berhak memperingati Musa daripada kalian (orang-orang
Yahudi)’. Beliau
kemudian berpuasa pada hari itu dan menyuruh para sahabat berpuasa juga.
Peringatan maulid memang tidak pernah dilakukan orang pada masa hidup nya
Nabi saw. Itu memang bid’ah (rekayasa), tetapi bid’ah hasanah (rekayasa
baik), karena sejalan dengan dalil-dalil hukum syara’ dan sejalan pula dengan
kaidah-kaidah umum agama. Sifat bid’ahnya terletak pada bentuk berkumpulnya
jama’ah (secara massal), bukan terletak pada perorangan (individu) yang
memperingati maulid Nabi. Sebab masa hidup beliau, dengan berbagai cara dan
bentuk setiap muslim melakukannya, meski pun tidak disebut ‘perayaan atau
peringatan’.
Tidak semua yang tidak pernah dilakukan oleh kaum Salaf (terdahulu) dan
yang belum pernah terjadi pada masa pertumbuhan Islam adalah bid’ah dholalah
(sesat) dan harus ditolak. Masalah demikian itu harus dihadapkan pada
dalil-dalil syara’. Yang mendatangkan maslahat bagi kaum muslimin
adalah wajib, yang membahayakan kehidupan Islam dan kaum muslimin
adalah haram. Adapun soal cara hukumnya tergantung pada maksud dan
tujuannya (niatnya).
Dalam peringatan maulid ini pasti dikumandangkan ucapan-ucapan
shalawat dan salam bagi junjungan kita Nabi besar Muhammad saw. Shalawat dan
salam, keduanya ini dikehendaki oleh Allah swt. Dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat (melimpahkan
rahmat dan ampunan) kepada Nabi. Hai orang-orang yang beriman, hendaklah
kalian bershalawat (mendo’akan rahmat) baginya dan ucapkanlah salam
penghormatan kepadanya”. (QS.Al-Ahzab : 56).
Betapa banyak pahala kebaikan yang didapat oleh orang yang banyak
mengucapkan shalawat Nabi, sehingga Rasulallah saw. sendiri menjanjikan sepuluh
kali lipat balasan do’a beliau bagi orang dari umatnya yang bershalawat kepada
beliau. Dalam peringatan Nabi itu pasti mencakup uraian mengenai riwayat-riwayat
beliau, mu’jizat-mu’jizat beliau, sejarah kehidupan beliau dan pengenalan
beliau akan berbagai segi kemuliaan beliau. Bukankah kita diharuskan
mengenal beliau dan dituntut supaya berteladan kepada beliau serta
mengimani Al-Qur’an sebagai mu’jizat yang besar dan membenarkannya? Dikitab-kitab
maulid banyak memaparkan semuanya itu.
Dengan selalu mengenal/mengingat keagungan perangai beliau serta
mu’jizat-mu’jizat dan pembinaan serta tuntunan beliau pasti akan lebih
menyempurnakan keimanan kita kepada beliau saw.. Mengenal keadaan beliau
dan menyakini tiada sesuatu (makhluk) yang lebih indah, lebih sempurna dan
lebih utama daripada semua sifat yang ada pada beliau saw., pasti semuanya ini
akan menambah kecintaan kita dan lebih menyempurnakan keimanan kita pada
beliau sebagai Nabi dan Rasul. Kedua-duanya itu merupakan tuntunan syara’ dan
upaya/jalan untuk bisa mencapai dua hal itu wajib kita lakukan. Allah swt
berfirman: “Dan semua kisah dari para Rasul, Kami ceriterakan
kepadamu, yang dengan kisah-kisah itu Kami teguhkan hatimu”. (QS Hud
: 120)
Dari firman tersebut tampak jelas banyak hikmah yang terkandung dalam kisah
para Nabi dan Rasul, dan menambah keteguhan hati Nabi Muhammad saw. Sudah
pasti, umat Islam terutama saat ini sangat memerlukan keteguhan hati dalam
menghadapi berbagai godaan dan cobaan hidup. Untuk itulah kita sangat
membutuhkan kisah kehidupan junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw..
Pada umumnya semua ulama dan kaum muslimin berpendapat tidak ada cara
tertentu atau cara khusus bagi peringatan maulid Nabi saw. yakni
tidak ada cara tertentu yang harus dilakukan orang. Sebab, tujuan pokok
peringatan ini mengajak orang kepada kebaikan yang bermanfaat bagi mereka
didunia dan diakhirat. Seumpama kita hanya menyatakan pujian-pujian dengan
menyebut-nyebut junjungan kita Nabi Muhammad saw., baik mengenai keutamaanya,
perjuangannya dan lain-ain sebagainya, itu sudah berarti terlaksanalah sudah
peringatan maulid Nabi saw. Menurut hemat kami pengertian demikian itu
tidak akan dipertengkarkan orang dan tidak pula menimbulkan pertikaian.
Masalah Berdiri waktu Pembacaan Maulid.
Mengenai soal berdiri dalam peringatan maulid, yaitu pada saat disebut
detik-detik kelahiran Nabi saw. dialam wujud ini, dikalangan sementara orang
memang terdapat dugaan-dugaan yang tidak benar dan tidak berdasar.
Sepanjang pengetahuan kami sangkaan yang salah itu tidak terdapat di kalangan
para ahli ilmu (ulama). Bahkan dikalangan yang hadir dan turut berdiri
didalam peringatan maulid itu sendiripun tidak ada sangkaan batil itu.
Sangkaan batil itu adalah pada waktu berdiri itu percaya bahwa Nabi saw.
keluar dari kuburnya dengan jasad beliau hadir ditengah jama’ah yang
sedang asyik mendengarkan kisah kelahiran beliau. Sangkaan yang lebih buruk
lagi bahwa mereka beranggapan kemenyan, ukup atau wewangian lainnya, dan
air dingin yang terletak ditengah jama’ah merupakan air minum yang disediakan
khusus untuk beliau saw. Semua sangkaan dan dugaan-dugaan demikian itu sama
sekali tidak pernah terbayang dalam pikiran kaum muslimin, dan kita
berlindung kepada Allah swt. jangan sampai berpikir seperti itu. Sebab hal-hal
semacam ini termasuk 'kekurang-ajaran' terhadap kedudukan
Rasulallah saw.
Tidak ada orang yang berani memastikan kehadiran Rasulallah saw. dengan jasadnya
kecuali orang mulhid (atheis, kafir) dan pendusta besar. Anggapan
seperti itu adalah suatu kebohongan yang sengaja diada-adakan, suatu
kekurang-ajaran dan kejahatan yang tidak mungkin ada kecuali pada orang
yang benci, dungu dan menentang beliau saw.. Kita yakin bahwasanya Nabi
saw. hidup dialam barzakh yang sempurna dan sesuai dengan kedudukan beliau. Ruh
(bukan jasad) beliau berkeliling dialam malakut Allah swt., dapat pula
menghadiri tempat-tempat kebaikan dan tempat-tempat lain yang memancarkan
cahaya ilmu dan pengetahuan. Demikian juga ruh-ruh para pengikut beliau saw.,
orang-orang beriman yang setia kepada beliau saw..
Imam Malik ra
mengatakan: “Saya mendengar hadits Nabi saw. yang menyatakan bahwa ’ruh’
adalah lepas bebas dapat bepergian kemana saja menurut kehendaknya”.
Salman Al-Farisi ra (sahabat Nabi saw) berkata: Bahwa ia mendengar
dari Rasulallah saw; “bahwa arwah (ruh-ruh) kaum mu’minin berada di alam
barzakh (tidak jauh) dari bumi, dan dapat bepergian menurut
keinginannya”. Demikian itulah menurut kitab ‘Mengenai Soal Ruh’
yang ditulis oleh Ibnul Qayyim, halaman 144.
(Lihat dua hadits terakhir diatas ini, kalau bahwa seorang mu’min bisa
bepergian kemana saja menurut keinginannya, apalagi ruh suci junjungan kita
Muhamad saw.! Ini semua tidak lain kenikmatan dan rahmat yang diberikan Allah
swt. terhadap hamba-Nya yang mu’min. Memang soal alam ruh itu repot dijangkau
oleh akal manusia yang terbatas ini, sebagaimana yang Allah swt firmankan
berikut ini: “Mereka bertanya kepadamu (hai Muhamad) tentang ruh,
jawablah: ‘Itu termasuk urusan Tuhanku’, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit “.(Al-Isra : 85).. --pen--.)
Karenanya soal berdiri dalam peringatan maulid Nabi bukan soal
wajib dan bukan soal sunnah. Mempercayainya sebagai soal wajib atau sunnah sama
sekali tidak dapat dibenarkan. Itu bukan lain hanya suatu harakah (gerak)
yang mencerminkan keriangan dan kegembiraan para hadirin dalam peringatan
maulid. Pada saat mereka mendengar kisah kelahiran Nabi saw. disebut, tiap
pendengarnya ( yang memahami maknanya) membayangkan seolah-olah pada
detik-detik itu seluruh alam wujud gembira menyambut ni’mat besar yang
dikaruniakan Allah swt. Soal kegembiraan adalah soal biasa, bukan soal
keagamaan, bukan soal ibadah, bukan syari’at dan bukan sunnah. Itu hanya
merupakan kebiasaan yang lazim dilakukan orang, dan pernyataan sukaria demikian
itu dipandang baik oleh para ulama pakar dan dilakukan oleh kaum muslimin
diberbagai negeri, kawasan dan daerah. Para ulama di Timur mau pun di Barat
juga memandangnya sebagai kebiasaan yang baik.
Hal itu dikatakan sendiri oleh pengarang kitab maulid terkenal yaitu
Syeikh Al-Barzanji. Beliau mengatakan: “Para Imam ahli riwayat dan
ahli rawiyyah (ahli pikir) memandang baik orang berdiri pada saat kisah
kelahiran Nabi saw. disebut. Bahagialah orang yang memuliakan beliau saw.
dengan segenap pikiran dan perasaannya”.
Dalam sebuah pantunnya/syairnya beliau juga menyatakan: ‘Para ahli ilmu,
ahlul-fadhl (orang-orang utama) dan ahli takwa mensunnahkan berdiri
diatas kaki sambil berenung sebaik-baiknya. Membayangkan pribadi Al-Mushthofa (Rasulallah
saw.) karena beliau senantiasa Hadir di tempat mana pun beliau disebut,
bahkan beliau mendekatinya’.
Jelaslah sudah bagi kita, bahwa Syeikh Al-Barzanjiy tidak mengatakan
‘Nabi saw. yang mensunnahkan, dan tidak mengatakan para Khalifah
Rosyidun yang mensunnahkan. Beliau juga tidak mengatakan pensunnahan
mereka itu mutlak, beliau hanya mengatakan bahwa para ahli ilmulah yang
mensunnahkan berdiri.
Syeikh Al-Barzanjiy berkata: 'Soal berdiri itu hanya untuk
membayangkan pribadi Al-Mushthafa (Rasulallah saw.) didalam imajinasi
(dzihn). Membayangkan pribadi beliau saw. adalah suatu yang terpuji, diminta
dari setiap muslim, bahkan perlu sering dilakukan oleh setiap muslim yang mukhlish.
Sering membayangkan pribadi beliau akan menambah kepatuhan dan kecintaan kepada
beliau saw., yang pada akhirnya gemar sekali mengikuti ajaran dan teladan yang
beliau saw. berikan kepada ummatnya. Berdiri ini hanya soal kebiasaan, maka
orang yang tidak berdiri pun tidak apa-apa, ia tidak berdosa dan tidak
melanggar ketentuan syari’at '.
Memang benar, sikap tidak mau berdiri itu dapat menimbulkan penafsiran atau
kesan pada orang yang melihatnya (para hadirin), bahwa sikap seperti itu
dianggapnya tidak sopan, tidak berperasaan. Jadi, persoalannya sama dengan
orang yang meninggalkan adat-istiadat yang sudah menjadi tradisi masyarakat.
Berdiri menghormati ahlul-Fadhl (manusia utama) adalah disyari’atkan
oleh agama. Dalil-dalil yang menetapkan hal itu banyak terdapat didalam Sunnah.
Mengenai masalah itu Imam Nawawi menulis bab khusus, diperkuat oleh Ibnu
Hajar. Ia menjawab sanggahan ‘Ali Ibnul-Haj yang secara
khusus menolak pendapat Imam Nawawi dengan menulis bab tersendiri yang
berjudul Raf’ul-Mulam ‘Anil-Qail bin Istihsanil-Qiyam Min Ahlil-Fadhl.
Sebuah hadits Muttafaq ‘alaih ( HR.bukhori nr.2878, Muslim hadits
nr.1768) meriwayatkan bahwa Rasulallah saw. dalam salah satu khutbahnya
dihadapan kaum Anshor berseru: ‘Hendaklah kalian berdiri untuk menghormat
pemimpin kalian’.
Yang dimaksud pemimpin kalian ialah Sa’ad ra.. Rasulallah saw.
menyuruh mereka berdiri bukan karena Sa’ad dalam keadaan sakit sementara fihak menafsirkan mereka
disuruh berdiri untuk menolong Sa’ad turun dari kendaraannya, karena dalam
keadaan sakit sebab jika Sa’ad dalam keadaan sakit,
tentu Rasulallah saw. tidak menyuruh mereka semua menghormat kedatangan Sa’ad,
melainkan menyuruh beberapa orang saja untuk berdiri menolong Sa’ad. Begitu
juga mengenai berdirinya Thalhah ra untuk Kaáb bin Malik ra.
Imam
al-Khattabi berkata bahwa berdirinya orang bawahan untuk majikannya, murid
untuk kedatangan gurunya dan berdiri untuk kedatangan Imam yang adil dan
semacamnya itu, semuanya merupakan hal yang baik, berkata Imam Bukhori yang
dilarang adalah berdiri untuk pemimpin yang duduk.
Imam Nawawi berpendapat bila berdiri untuk penghormatan tidak apa-apa,
sebagaimana Nabi saw. berdiri saat kedatangan putrinya Fathimah
ra., namun adapula pendapat lain yang melarang berdiri untuk penghormatan
(Fathul Baaari Almasyhur juz 11 dan Syarh Imam Nawasi ala shohih Muslim
juz 12 hal. 93)
Ada sementara golongan yang mengatakan bahwa peristiwa tersebut diatas
terjadi semasa beliau masih hidup, dan beliau sendiri berada ditengah
kaum Anshor, sedangkan dalam peringatan maulid, beliau saw. tidak berada di
tengah para hadirin. Sebagai jawaban mengenai ini ialah: Sebagaimana yang telah
saya kutip sebelumnya bahwa orang yang membaca kisah maulid Nabi saw.
membayangkan kehadiran beliau saw. dalam imajinasinya. Meng-imajinasikan
kehadiran beliau jelas akan menambah penghormatan dan pemuliaan orang kepada
beliau saw. Beliau datang ditengah alam jasmani dari alam nurani jauh sebelum
waktu kelahirannya. Meng-imajinasikan kehadiran beliau berupa kehadiran nurani
(ruhani) beralasan kuat, karena beliau saw. seorang Nabi dan Rasul yang
menghayati sepenuhnya akhlak Robbani. Dalam hadits Qudsi beliau saw. mengatakan:
انا جلِيْسُ منْ ذكرنِي
Artinya: “Aku duduk menyertai orang yang
menyebutku”.
Menurut sumber riwayat lain
:
انا مع منْ ذكرنِي
Artinya: “ Aku bersama orang yang menyebutku”.
Mengingat kepatuhan dan kecintaan beliau saw. kepada Allah swt. dan
kecintaan Allah swt pada Rasulallah saw. serta mengingat pula akhlak Rabbani
yang beliau hayati sepenuhnya, maka dengan ruh beliau yang mulia dan
agung itu beliau saw. bisa selalu menghadiri ditempat mana saja beliau
disebut.
Begitu pula
hadits mengenai bacaan salam kepada Rasulallah saw. dari Abu Hurairah ra
yang berkata bahwa Rasulallah saw. bersabda:
ما
مِنْ أحدٍ يُسلِّمُ عليّ إلاّ ردّ اللهُ عليّ رُوْحِي حتّى أرُدّ عليْهِ السّلامُ
Artinya:“Tiada seorang yang mengucapkan salam kepadaku melainkan
Allah mengembalikan ruhku hingga dapat menjawab salam “. (HR.
Abu dawud)
Juga hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah bahwa
Rasulallah saw. bersabda: “Jangan kamu jadikan kubur (makam) saya sebagai
tempat perayaan, dan bacakan selawat untukku, maka bacaan selawatmu itu akan
sampai kepadaku dimana saja kamu berada”.
Dengan adanya dalil-dalil diatas tersebut maka para ulama untuk membiasakan
berdiri dalam peringatan maulid pada detik-detik membaca kisah kelahiran
Rasulallah saw., memberi salam serta selawat kepada beliau
saw. Berdiri dalam acara maulid ini banyak dilakukan oleh kaum muslimin
baik dari golongan awam atau ulamanya dalam berbagai madzhab di berbagai
negeri, kawasan dan daerah.
Ada orang yang menafsirkan hadits riwayat Abu Daud terakhir diatas ini
secara keliru, yang mana mereka berkata bahwa kita tidak boleh (bid’ah) ziarah
pada Rasulallah saw. karena cukup dengan membaca selawat dan salam untuk beliau
dimana saja akan sampai. Ini adalah penafsiran yang salah. Sebenarnya yang
dimaksud sabda Nabi tersebut adalah “janganlah kita bersusah payah harus
menempuh perjalanan jauh (ke Madinah) semata-mata hanya untuk
mengucapkan selawat dan salam dimuka makam Rasulallah saw., karena membaca
selawat dan salam akan sampai pada beliau saw. dimana kita berada, jadi tidak
harus menunggu berada dimuka makam Rasulallah saw.”.
Sedangkan kalimat hadits ‘sebagai tempat perayaan’ artinya
ialah agar kita tidak bicara keras, ramai-ramai (dimuka makam Rasulallah
aw.) seperti halnya orang yang pergi berpesta, tapi kita harus dengan tenang
memberi salam dan selawat dimuka kuburan beliau saw. dan berdo’a pada Allah
swt. Karena ini termasuk anjuran Allah swt yang mendidik tatakrama kepada ummat
Islam terhadap Nabi saw..
Sebagaimana firman-Nya pada surat Al-Hujurat: 2/3/4 (Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi
...sampai akhir ayat).
Menurut pandangan ulama ,antara lain Imam Malik bin Anas ra, firman Ilahi
ini juga berlaku baik dikala beliau saw. masih hidup mau pun beliau setelah
wafat. Begitu juga bila kita ziarah kepada kuburan Rasulallah saw. di
Madinah, di masjid haram ini ada tertulis ayat
Al-hujurat tersebut, dengan demikian orang-orang yang membaca dan mengerti
artinya akan tidak berisik dimuka makam Nabi saw. tidak lain semuanya sebagai
tata krama terhadap junjungan kita Rasulallah saw.
Para hadirin pada umumnya tidak memahami makna kitab maulid Barzanji
atau kitab maulid lainnya, yang dibaca dalam bahasa Arab. Mereka hanya
menikmati irama, lagu dan kemerduan suara. Itu memang merupakan kekurangan yang
harus menjadi perhatian kita. Tetapi walau pun adanya kekurangan tersebut,
tidak mengurangi kekhusyu’an jalannya peringatan maulid, mereka mengharap
kan berkah dan pahala karena ikut hadir dalam mengagungkan
kebesaran Allah dan mencintai Rasul-Nya. Kegembiraan mereka menyambut
peringatan kelahiran Nabi besar Muhammad saw. adalah kebajikan,
lebih-lebih lagi jika kegembiraan itu disertai dengan kegiatan-kegiatan yang
bersifat ma’ruf dan ihsan, seperti menyediakan makanan dan
minuman bagi kaum fakir miskin, walimah-walimah, dan memanjatkan do’a kepada
Allah swt. mohon diberi kemantepan iman, mohon keselamatan bagi semua kaum
muslimin dan lain sebagainya. Semuanya ini merupakan kegiatan yang baik dan
patut dipuji, karena dalam jama’ah/ kumpulan tersebut terdapat barokah (baca
bab Tawassul/Tabarruk dibuku ini).
Dalam hadits yang diketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dari ‘Abdullah
bin Mas’ud ra. mengatakan: bahwasanya Rasulallah saw. pernah menyatakan: 'Apa
yang dipandang baik oleh kaum muslimin baik dalam pandangan Allah swt. dan apa
yang dipandang buruk oleh kaum muslimin buruk dalam pandangan Allah'. Hadits
ini memperkuat fatwa jumhurul ulama (pada umumnya ulama) yang
menganjurkan kaum muslimin supaya melaksanakan peringatan-peringatan maulid
Nabi saw. dengan acara-acara yang sudah lazim berlaku. Yaitu; membaca uraian
riwayat kehidupan Nabi Muhammad saw., ucapan-ucapan sholawat, berdzikir,
tilawatul Qur’an, ceramah-ceramah agama dan lain sebagainya, yang semuanya
ini disunnahkan oleh syari’at, mathlub syar’iy (tuntutan syari’at).
Demikianlah sebagian uraian para pakar Islam mengenai peringatan
maulid Nabi saw. Hanya orang-orang yang egois, fanatik sajalah yang
melarang hal-hal tersebut sampai berani mensesatkan, membid’ahkan munkar dan
lain sebagainya, dengan memasukkan dalil-dalil yang semuanya itu tidak ada
kaitannya dengan masalah tersebut.
Nama kitab-kitab yang menulis riwayat hidup Rasulallah
saw.
Menurut riwayat pada malam Rasulallah saw. dilahirkan
tidak seperti malam-malam manusia lain dilahirkan. Peristiwa yang tertulis
didalam hadits termasuklah getaran yang dirasakan di istana ‘Chosroes’
dan padamnya api yang telah menyala selama 1000 tahun di Persi dan beberapa
peristiwa lain yang ditulis oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidaya jilid 2
halaman 265-268.
Dalam kitab al-Madhkal oleh Ibnu al-Hajj jilid
1 halaman 261 disebutkan: “Menjadi satu kewajiban bagi kita untuk memperbanyak
kesyukuran kepada Allah setiap hari Senin bulan Rabi’ul Awwal karena Dia
(Allah swt.) telah mengurniakan kepada kita nikmat yang besar yaitu
diutus-Nya Nabi saw. untuk menyampaikan Islam".
Sering kita baca dalam kitab-kitab maulid yang ditulis
oleh para pakar Islam setelah zaman Nabi saw dan para
sahabat. sejarah tentang kelahiran Nabi saw., keutamaan, kebesaran
dan mukjizat-mukjizat beliau saw. dan lain sebagainya. Diantara kitab-kitab
maulid itu serta nama penulisnya, yang
kadangkala dibaca dimajlis-majlis atau perkumpulan adalah sebagai
berikut:
Dalam kitab Kasyfudz-Dzunun dikemukakan
bahwa orang pertama yang menulis kitab Maghazi (Manakib atau perilaku
kehidupan Nabi Muhammad saw.) ialah Muhammad bin Ishaq terkenal dengan
nama Ibnu Ishaq wafat pada tahun 151 H (pada zaman tabi’in). Dengan indah dan
cemerlang ia menguraikan riwayat maulid Nabi serta menjelaskan berbagai
manfaat yang dapat dipetik dari bentuk-bentuk peringatan, seperti walimah,
shadaqah dan kebajikan-kebajikan lainnya yang semuanya bersifat
ibadah.
Dapat dipastikan masa hidupnya Muhammad bin Ishaq
ini pada zaman yang menurut sejarah Islam disebut zaman kaum Tabi’in.
Karenanya dapatlah di simpulkan, bahwa semua yang ditulis dan diterangkan
olehnya berasal dari orang-orang yang menyaksikan sendiri kehidupan para
sahabat Nabi saw.. Hasil penulisannya kemudian diteruskan pada zaman berikutnya
oleh Ibnu Hisyam, wafat dalam tahun 213 H. Ia menulis riwayat tentang
perilaku kehidupan Nabi saw., dan berhasil menyelesaikannya dengan baik,
sehingga ia dianggap sebagai penulis pertama riwayat kehidupan Nabi saw.
Dengan menulis kitab mengenai itu Ibnu Hisyam tidak bermaksud menghimpun semua
nash yang pernah diucapkan oleh Rasulallah saw. atau oleh para sahabat terdekat
beliau saw.. Meski pun demikian ternyata buah karyanya beroleh sambutan baik
dan dibenarkan oleh para ulama dan para pemuka masyarakat Islam. Tidak lain
semuanya ini bertujuan memelihara dan melestarikan data sejarah kehidupan Nabi
saw.
Adapun orang pertama yang menulis
kitab maulid Nabi dan kemudian dibaca didepan umum dalam
pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh para penguasa daulat ‘Abassiyah, adalah Imam
Al-Hafidz Hujjatul Islam Al-Qadhi ‘Askar Amirul Mu’minin Muhammad Al-Mahdi
Al-‘Abbasi wafat tahun 207 H. Imam ini adalah orang pertama yang menghimpun
hadits-hadits para sahabat Nabi saw. mengenai kebajikan dan pahala membaca
riwayat maulid Nabi saw.. Sedangkan para imam lainnya dalam menulis kitab-kitab
maulid banyak mengambil dari Al-Waqidi, kitab rujukan yang banyak dibaca
dalam peringatan-peringatan maulid yang diadakan oleh para Khalifah dan
menteri-menterinya. Kecuali itu kitab tersebut juga banyak dibaca didalam
perguruan-perguruan agama Islam pada hari-hari peringatan dan hari-hari raya,
pada bulan-bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan. Sehingga kitab maulid karya Al-Waqidi
ini banyak dihafal oleh kaum muslimin dan anak-anak keturunan mereka.
Allamah Nuruddin ‘Ali dalam kitabnya
yang berjudul Wafa-ul-Wafa bi Akhbari Daril-Mushtofa mengatakan bahwa Siti
Khaizuran, bunda Musa Amirul Mu’minin, pada tahun 170 H sengaja datang ke
Madinah, lalu menyuruh penduduk menyelenggarakan peringatan maulid Nabi saw. di
dalam masjid Nabawi.
Seorang ulama terkenal, Imam Taqiyyuddin
‘Ali bin ‘Abdul-Kafi As-Sabki wafat tahun 756 H menulis kitab khusus tentang kemuliaan dan kebesaran
Nabi Muhammad saw. Bahkan ia menfatwakan, barangsiapa menghadiri pertemuan
untuk mendengarkan riwayat maulid Nabi Muhammad saw. serta keagungan
maknanya ia memperoleh barokah dan ganjaran pahala.
Imam Syihabuddin Ahmad bin Muhammad
bin ‘Ali bin Hajar Al-Haitsami As-Sa’di Al-Anshari Asy-Syafi’i wafat tahun 973 H menulis kitab khusus mengenai
kemuliaan Nabi saw.. Ia memandang hari Maulid Nabi saw. sebagai hari raya besar
yang penuh barokah dan kebajikan.
Imam ‘Abdur-Rabi’ Sulaiman At-Thufi
As-Shurshuri Al-Hanbali terkenal dengan nama Ibnul-Buqiy wafat tahun 716 H. Ia menulis sajak dan sya’ir-sya’ir
bertema pujian memuliakan keagungan Nabi Muhammad saw., keagungan yang tidak
ada pada manusia lain mana pun juga. Tiap hari maulid Nabi para pemimpin Muslim
berkumpul dirumahnya. Ia lalu minta salah seorang dari hadirin supaya
mendendangkan sya’ir-sya’ir Al-Buqiy itu.
Dalam kitab Insanul-‘Uyun Fi
Siratil-Amin Al-Ma’mum bab 1, Imam ‘Ali bin Burhanuddin Al-Halabi
mengatakan: “Kebiasaan berdiri pada saat orang mendengar pembaca riwayat
maulid menyebut detik-detik kelahiran Nabi saw., memang merupakan bid’ah
hasanah/baik, bid’ah mahmudah/terpuji, sama sekali bukan bid’ah
dholalah atau bid’ah madzmumah/tercela atau munkarah (bid’ah buruk yang
tercela). Khalifah Umar Ibnul Khattab ra. sendiri menamakan shalat tarawih berjama’ah
sebagai bid’ah hasanah. Dengan demikian maka orang yang berdiri sebagai tanda penghormatan pada saat mendengar detik-detik
kelahiran Nabi saw. disebut, apalagi jika peringatan maulid itu dibarengi
dengan kegiatan infak dan shadaqah, semua nya itu jelas merupakan
kegiatan terpuji.
Ibnu Bathuthah dalam buku catatan
pengembaraannya menceriterakan kesaksiannya sendiri tentang bentuk dan cara
memperingati maulid Nabi saw. yang dilakukan oleh Sultan Tunisia, Amirul
Mu’minin Abul-Hasan, pada tahun 750 H. Ia mengatakan bahwa Sultan ini pada
hari maulid Nabi Muhammad saw. mengadakan pertemuan umum dan terbuka
dengan rakyat nya dan bagi semua yang hadir disediakan hidangan makan-minum
secukupnya. Untuk itu Sultan menyediakan anggaran belanja beribu-ribu dinar
(uang emas). Ia membangun kemah-kemah raksasa untuk tempat pejabat pemerintahan
dan undangan-undangan lainnya. Dalam pertemuan itu di dengungkan sajak-sajak
dan sya’ir-sya’ir pujian kepada Nabi Muhammad saw. dan diuraikan pula riwayat
kehidupan beliau saw..Peringatan maulid dalam bentuk seperti ini juga
dituturkan oleh penulis kitab Murujudz-Dzahab. Ia menyebut berbagai
peristiwa yang terjadi pada tahun 738 H.
Sultan Ibril, Mudzaffar wafat tahun 620 H semasa
hidupnya sangat menaruh perhatian terhadap peringatan-peringatan maulid Nabi
saw. yang di selenggarakan tiap tahun. Dua bulan sebelum bulan Rabi’ul-awwal,
ia sudah mulai sibuk mempersiapkan segala kegiatan guna memeriahkan peringatan
maulid. Tidak terhitung banyaknya ulama-ulama dari berbagai negeri Islam
yang datang ke Ibril untuk menghadiri peringatan maulid Nabi Muhammad
saw.. Mereka mengharap beroleh keberkahan dengan datangnya hari yang mulia itu.
Konon biaya yang dihabiskan untuk keperluan peringatan maulid seperti itu tidak
kurang dari dua ratus ribu dinar tiap tahun. Demikian juga menurut
pengembara yang lain lagi, Ibnu Khalkan. Dalam sebuah buku yang
ditulisnya ia mengetengahkan keanehan-keanehan Sultan Mudzaffar.
Nama para ulama lain dan kitabnya ialah:
1. Imam Al-Hafidz Syihabul-Millah wa Ad-Din Ahmad bin
Hajar wafat tahun 973 H;
2. Imam Abul-Khattab ‘Umar bin Al-Hasan Dzun-Nasabain
wafat tahun 604 H atas permintaan Sultan Ibril ia menulis kitab maulid;
3. Imam Al-Hafidz Abul-Faraj Ibnul-Jauzi nama kitabnya
Al-Arus terkenal dengan nama Kitab Maulid Ibnul-Jazi ditulis olehnya
pada tahun 590 H ;
4. Allamah Imam Yusuf An-Nabhani ;
5. Imam Jamaluddin As-Sayuti ;
6. Imam Rabi’ At-Thufi Ash-Shurshuri nama kitabnya Maulid
Ash-Shurshuriy, ia menulis kitab ini sekitar tahun 700 H ;
7. Imam Al-Hafidz Abul-Hasan ‘Ali Al-Mas’udiy wafat tahun 346 H kitab maulidnya terkenal dengan
nama Kitab Maulid Al-Mas’udi.;
8. Imam Ash-Shalih As-Sayyid Al-Bakri dikenal dengan
kitabnya Kitab Maulid Al-Bakri ;
9. Imam Mar’i bin Yusuf Al-Maqdisi wafat tahun 1033 H nama kitab maulidnya Kitab
Maulid Al-Maqdisi Al-Hanbali ;
10. Allamah ‘Utsman bin Sind wafat tahun 205 H menulis kitab maulid dalam bentuk
sya’ir dengan tema memuji dan mengagungkan Rasulallah saw.;
11. Syeikh Hasan Asy-Syathi wafat tahun 1274 H dan 12. Al-‘Allamah Abus-Surur
Asy-Sya’rawi wafat tahun 1136 H kedua-duanya telah menulis kitab
maulid.
13. Seorang ulama ahli tafsir dari madzhab Hanbali Muhammad
bin ‘Utsman bin ‘Abbas Ad-Dumani Al-Manawi menulis kitab maulid terkenal
sangat indah;
14. Al-‘Allamah Al-Ustadz As-Sayyid Rasyid Ridha,
pemimpin majalah Al-Manar telah menulis kitab maulid yang banyak dibaca
oleh kaum Muslimin di Mesir ;
15. kitab Attanwir fi maulid basyir an nadzir
oleh Imam Al-Hafidh al-Muhaddits Abulkhattab Umar bin Ali bin Muhamad yang
terkenal dengan nama Ibn Dihyah alkalbi ;
16. kitab urfu at ta’rif bi maulid assyarif oleh
Imam Al-Hafidh al-Muhaddits Syamsuddin Muhamad bin Abdullah aljuzri ;
17. kitab maulid Ibn Katstir oleh Imam
Al-Hafidh Ibn Katsir ;
18. kitab maurid alhana fi maulid asana oleh
Imam Al-Hafidh Al-‘Iraqy ;
19. kitab al fajr al ulwi fi mauldi an nabawi
oleh Imam Assyakhawiy ;
20. kitab al mawarid al haniah fi maulid kahiril
bariyyah oleh ‘Allamah al fagih Ali Zainal Abidin As Syamhudi ;
21. kitab maulid Ad-diba’i oleh Al-Imam
Al-Hafidh Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhamad As-Syaibaniy terkenal
dengan nama ibn diba’ ;
22. kitab itmam anni’mah alal alam bi maulid
sayyidi waladu adam oleh Iamam Ibn Hajar al-Haitsami ;
23. kitab maurud arrowi fi maulid nabawi oleh
Al-‘Allamah Ali Al Qari’ ;
24. kitab maulid Barzanji oleh
Al-‘Allamah Al-Muhaddits Ja’far bin Hasan Al-Barzanji ;
25. kitab Al yaman wal is’ad bi maulid khari al
ibad oleh Al-‘Allamah Al-Muhaddits Muhamad bin Ja’far al Kattani ;
26. kitab jawahir an nadmu al badi’ fi maulid as
syafi’ oleh Al-‘Allamah Syeikh Yusuf bin Ismail An-Nabhaniy ;
27. kitab al-maulid mushtofa adnaani oleh Imam
Ibrahim Assyaibaniy ;
28. kitab Al Alam Al Ahmadi fi maulid muhammadi oleh
Imam Abdulghaniy Annablisiy ;
29. kitab fath al latif fi syarah maulid assyarif
oleh Syihabuddin al-Halwani ;
30. kitab Al kaukab al azhar alal ‘iqdu al jauhar
fi maulid nadi al azhar oleh Imam Ahmad bin Muhamad Addimyati ;
31. kitab nur as shofa’ fi maulid al mushtofa oleh
Syeikh Ali Attanthowiy;
32. kitab at tajaliat al khifiah fi maulid khoir al
bariah oleh Syeikh Muhamad Al maghribi ;
33. Imam Ibrahim Baajuri mengarang hasiah atas maulid
Ibn Hajar dengan nama kitab tuhfa al basyar ala maulid ibn hajar ;
34. Imam Al-Hafidh Nasruddin Addimasyqiq telah
mengarang beberapa kitab maulid yaitu kitab Jaami’ al astar fi maulid nabi al
mukhtar 3 jilid, Al-lafad arra’iq fi maulid khair al khalaq dan Maurud asshadi fi
maulid al hadi.
35.
As-Sayyid Muhammad Shalih As-Sahruwardi judul kitabnya Tuhfatul-Abrar fi
Tarikh Masyru’iyyatil-hafl Bi Yaumi Maulid An-nabiyyil-Mukhtar. Dalam
kitabnya ini dia mengemukakan dalil-dalil meyakinkan tentang keabsahan
peringatan maulid Nabi Muhamad saw. sebagai ibadah sunnah yang
ditekankan (sunnah mu’akkadah), agar kaum muslimin melaksanakannya dengan baik.
36. Al-államah Sayyid Ali bin Muhammad
Alhabsyi judul kitab maulidnya Simtud Durar. Kitab
maulid ini sering dibaca juga di pesantren atau dimajlis-majlis, khususnya
dinegara kita. Dan masih banyak lagi nama-nama para ulama yang menulis
kitab-kitab mengenai maulidin Nabi saw, yang tidak tercantum disini.
Dengan adanya keterangan diatas ini kita bisa bertanya-tanya:
Mengapa golongan pengingkar berani mengharamkan, mensesat kan, membid'ahkan
dan lain sebagainya peringatan maulidin Nabi saw. yang mulia ini, tanpa
berdalil dengan nash yang jelas, hanya sering berdalil bahwa Nabi saw. dan para
sahabatnya tidak pernah melakukan atau memerintahkannya? Apakah para pakar
Islam yang telah dikemukakan diatas itu tidak mengerti hukum syari’at
Islam dan hanya ulama golongan pengingkar ini saja yang mengerti?
Insya Allah dengan adanya beberapa dalil dan pendapat para ulama yang
berkaitan dengan peringatan keagamaan itu, cukup jelas bagi kita untuk menilai
kebaikan dan manfaatnya. Ingatlah sekali lagi walau pun pada zaman Nabi saw.
atau para sahabat tidak menjalankan hal tersebut bukan berarti tidak boleh
dijalankan atau dilarang/haram oleh agama. Semua yang dilarang oleh
agama itu harus mempunyai nash/dalil yang jelas dan tegas masalah
tersebut.
Insya Allah juga buat para pembaca lebih mantep dan jelas bahwa peringatan
Maulid ini sudah ratusan tahun yang lalu dikenal dan diamalkan
oleh para ulama, para Salaf serta Khalaf.
Peringatan-peringatan maulid Nabi sudah biasa juga diadakan oleh raja-raja
serta sultan-sultan di Turki, Mesir, Iraq, India dan diberbagai negeri Islam
lainnya, termasuk Indonesia. Tentu saja dengan cara dan dalam bentuk yang
berbeda-beda sesuai dengan adat kebiasaan setempat, tetapi inti dan motifnya
sama yaitu memperingati hari besar yang bersejarah yakni lahirnya junjungan
kita nabi besar Muhamad saw.
Begitu juga semua yang telah tercantum di website ini mengenai keabsahan
peringatan maulid Nabi saw., semuanya itu hanya berlaku jika peringatan maulid
yang diadakan itu sama sekali tidak bercampur-aduk dengan
kemungkaran-kemungkaran tercela yang harus ditolak. Jika peringatan maulid
mencakup hal-hal yang harus ditolak seperti bercampur baurnya lelaki dan wanita
tanpa dipisah tempat duduknya serta diselingi dengan hal-ihwal yang diharamkan
agama, pengeluaran biaya yang berlebih-lebihan sehingga banyak makanan yang
terbuang, semuanya itu tidak disenangi Rasulallah saw. dan tentu saja penyelenggaraan peringatan
maulid yang demikian tersebut harus dicegah. Dalam hal seperti ini yang
dilarang bukanlah peringatan maulidnya, tetapi sisipan dan cara
penyelenggaraannya yang salah itulah yang harus diperhatikan!!. Wallahu a’lam.
Sekelumit makalah
Pernah kami baca dari lembaran internet Salafi tanggal 25/01/2004 sebagai
penulis Syekh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz salah seorang ulama madzhab Wahabi/Salafi, yang mengatakan pada majlis peringatan
maulid Nabi saw. tersebut berkumpulnya lelaki dan wanita-wanita yang bukan
muhrim sehingga itu semua adalah munkar dan haram. Dan didalam
majlis maulid Nabi saw. tersebut banyak hal-hal yang haram dijalankan oleh kaum
muslimin tersebut diantaranya: minum khamar/alkohol, main judi, minum ganja
dan sebagainya. Ini fitnahan yang membuat kaum muslimin pecah dan saling
benci membenci.
Sayang sekali Syekh ini tidak menyebutkan pada majlis maulid apa dan dimana
yang pernah dihadiri oleh beliau, sehingga adanya minuman alkohol, main judi
dan sebagainya? Mungkin beliau ini hanya mendengar ceritera dongengan dari
kawan-kawannya yang anti pada majlis maulid tersebut. Syekh ini mudah sekali
menulis kata-kata bahwa majlis-majlis Maulid mungkar dan sebagainya dengan
berdalil pada ayat Ilahi dan hadits-hadits Nabi saw. yang mana tidak ada
kaitannya dengan majlis peringatan maulidin Nabi saw. Beliau dan kawan-kawannya
ini mudah sekali mensesatkan, mengkafirkan amalan-amalan yang baru, yang tidak
sependapat dengan faham mereka, walaupun amalan itu sejalan dan tidak
bertentangan dengan syari’at Islam.
Lebih mudahnya mari kita baca bukunya Ustadz Quraish Shihabseorang ulama di Indonesia yang berjudul Fatwa-Fatwa Seputar
Ibadah dan Muamalah, disini menerangkan bahwa ajaran hukum Islam ada dua
macam haram;
Pertama; haram karena zatnya, misalnya babi itu haram dimakan,
karena zat daging babi itu sendiri najis dan haram. Demikian juga dengan
berzina.
Kedua; haram karena dia dapat mengantarkan ke sesuatu yang
haram karena zatnya, misalnya ; berkumpulnya dua orang berlainan jenis disuatu
tempat yang terpisah dari khalayak ramai (berduaan saja) adalah haram, ini
diharamkan karena dapat mengantarkan pada perzinaan.
Sedangkan berkumpulnya banyak orang pria dan wanita dalam satu majlis
terbuka, umpama dalam majlis peringatan keagamaan atau lainnya, dimajlis
terbuka ini tidak mungkin dapat mengantarkan perzinaan, apalagi bila tempat
duduk mereka terpisah. Dengan demikian hal tersebut tidak dinilai sebagai
sesuatu yang haram atau terlarang dalam agama. (Umpama dimajlis tersebut ada
orang yang bermaksiat atau perbuatan munkar, maka orang itulah yang bertanggung
jawab pada Allah swt., jadi bukan majlis dzikirnya yang harus dilarang atau
diharamkan karena perbuatan maksiat pribadi tersebut--pen).
Pada masa Rasulallah saw., kaum wanita pernah ikut bahu membahu dan
bekerja sama dengan kaum pria dalam berbagai aktivitas. Imam Bukhori dalam
kitab haditsnya menjelaskan betapa kaum wanita terlibat dalam pengobatan para
korban perang atau ikut dalam expedisi perang dilaut. Umar bin
Khattab ra. mengangkat Al-Syifa’ seorang wanita yang pandai menulis
untuk mengurus pasar di Madinah yang sudah tentu disana bercampur baur antara
lelaki dan wanita! Juga dalam Shahih Bukhori dikemukakan banyak riwayat tentang
dialog wanita dengan pria. Tentunya dalam dialog tersebut wanita berbicara
dengan lelaki.
Agama Islam pada hakekatnya hanya melarang pergaulan bebas, bukan
menganjurkan pergaulan yang terbatas (berlainan jenis hanya berduaan disatu
ruang). Agama melarang segala sesuatu yang dapat mengantarkan keperzinaan atau
kedurhakaan. Sedangkan berkumpulnya banyak wanita dan lelaki diruang terbuka,
apalagi tempatnya terpisah, tidak dapat dinilai sebagai sesuatu
yang terlarang. Demikianlah keterangan Ustadz Quraish
Shihab.
Sedangkan mengenai suara wanita; Al-Hafidh Ibnu Hajar
ketika mengomentari hadits ‘Aisyah yang menyatakan bahwa Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan wanita
ketika baiat, hanya dengan ucapan mengatakan; dalam hadits ‘Aisyah ini
ada hukum bolehnya (mendengarkan) suara wanita yang bukan muhrim,
dan suara mereka itu bukanlah aurat..... (Fathul-Bari, 16/330)
Kalau sekiranya pendapat Syekh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz ini benar
yaitu haramnya berkumpul antara wanita dan lelaki yang bukan muhrimnya di majlis
terbuka, mengapa para Muthawwi’ Saudi Arabia yang sepaham akidahnya
dengan Syeikh ini membiarkan para wanita shalat berdampingan dengan
kaum lelaki yang bukan muhrimnya di Masjidil Haram, Makkah pada musim haji,
atau bulan-bulan Rajab, Sya’ban?, yang mana kami alami sendiri pada waktu musim
haji dan bulan-bulan suci lainnya. Padahal ada riwayat hadits yang
menganjurkan tempat wanita shalat bila berjama’ah adalah di belakang lelaki,
juga letak seorang ibu di belakang anak lelakinya. Dan hal ini di setujui oleh
jumhur ulama ahli Fiqih. Dalam hal ini ibadah sholat seharusnya malah lebih diperhatikan
daripada berkumpulnya lelaki dan wanita pada peringatan keagamaan itu yang
duduk mereka sering
berpisah.
Bila kejadian tersebut diatas mereka katakan darurat, tidaklah mungkin
karena mereka bisa mengatur untuk memisahkannya. Sebagaimana mereka bisa
mengatur dan memeriksa tas-tas ratusan ribu orang yang mau masuk ke Masjid
Makkah ini dan memisahkan tempat duduk para wanita serta menghalangi ratusan
ribu orang masuk ke masjid kalau didalam masjid sudah sangat penuh. Sedangkan
di-masjidil Haram Madinah sholat wanita berdampingan dengan lelaki yang bukan
muhrim ini tidak pernah kami alami, walau pun di Madinah waktu itu juga ribuan
muslimin yang sholat disana.
Begitu juga Rasulallah saw. memerintahkan agar orang berthawaf di sekitar
Baitullah (Ka’bah) yang mana dalam ibadah ini dilakukan bersama-sama
antara lelaki dan wanita, baik thawaf sunnah atau thawaf wajib pada waktu haji
atau lainnya. Pada waktu thawaf ini sering terjadi perbuatan dosa yaitu
tangan-tangan jahil lelaki yang tidak bertujuan untuk ibadah waktu penuh
sesak akan sengaja menyentuh aurat wanita atau merapatkan tubuhnya pada wanita
didepannya, mencuri dan lain sebagainya. Syari'at Islam tidak melarang
pelaksanaan thawaf bersama lelaki dan wanita dalam ruangan terbuka,
tetapi yang dilarang oleh agama ialah perbuatan haram/dosa yang disengaja yaitu
perbuatan orang-orang jahil yang telah kami kemukakan tadi. Sebenarnya hal
inilah yang harus lebih diperhatikan oleh para ulama Saudi khususnya agar
sebisa mungkin memisahkan atau membatasi tempat-tempat thawaf antara
wanita dan lelaki, sehingga tidak mungkin akan terjadi pergesekan atau
persentuhan tubuh antara lelaki dan wanita pada waktu-waktu penuh
sesak!!.
Bila thawaf bersamaan antara lelaki dan wanita diruangan yang
terbuka tersebut dilarang oleh agama, tidak mungkin Rasulallah saw. makhluk
Ilahi yang paling taqwa memerintahkan thawaf kepada kaum
lelaki dan kaum wanita baik diwaktu menjalani manasik Haji maupun thawaf
sunnah lainnya. Begitu juga beliau saw. tidak memerintahkan agar wanita
diberi waktu-waktu khusus untuk mereka! Tidak lain karena beliau saw.
telah meneliti dan melihat pada tempat yang terbuka tersebut tidak mungkin akan
terjadi perzinaan, sedangkan bila ada terjadi tangan-tangan jahil yang
dilakukan perorangan yang
tidak niat ibadah ditempat
tersebut itu adalah dosa besar yang ditanggung oleh pribadi itu sendiri. Jadi
ibadah/amalan thawaf tidak perlu dilarang atau dimungkarkan
karena perbuatan perorangan tersebut, sebagaimana pendapat syekh Bin Baz yang
memungkarkan peringatan maulud karena disana terjadi bercampur nya lelaki dan
wanita diruangan terbuka yang bukan muhrim.
Jadi sekali lagi bahwa agama Islam pada hakekatnya hanya melarang pergaulan
bebas, melarang segala sesuatu yang dapat mengantarkan keperzinaan atau
kedurhakaan. Sedangkan berkumpulnya banyak wanita dan lelaki diruang terbuka
(dimajlis-majlis dzikir, maulid, pengajian dan sebagainya), apalagi tempat
mereka terpisah, ini tidak dapat dinilai sebagai sesuatu yang terlarang/ haram.
Baik wanita maupun lelaki selalu dianjurkan oleh syariat agama agar menutup
auratnya seperti yang dianjurkan syari’at Islam. Begitu juga dianjurkan kepada
para pengurus/organisator majlis-majslis dzikir agar mengatur sebaik
mungkin tempat-tempat kaum lelaki dan kaum wanita, yang sejalan dengan syari'at
atau yang tidak mungkin akan terjadinya maksiat didalam majlis-majlis itu.
Bila masih ada orang yang melanggar syari’at baik ditempat majlis dzikir atau
lainnya, itu adalah berdosa dan tanggung jawab pribadi orang itu terhadap
Allah swt., jadi bukan majlisnya yang harus ditutup atau diharamkan.
Wallahu A’lam.
Semoga kita semua diberi hidayah dan taufiq oleh Allah swt. dan tidak
saling cela-mencela sesama saudara muslimnya dikarenakan amalan-amalan sunnah
tersebut.
Sekelumit
tentang peringatan Isra dan Mi'raj Rasulallah saw.
Isra dan Mi’raj termasuk
hari-hari Allah yang layak diperingati, karena berkaitan langsung dengan
Nabi Besar Muhammad saw. ke alam jabarut atas kehendak dan kekuasaan Allah
swt. Kejadian Isra dan Mi’raj Rasulallah saw. ini telah disebutkan dalam
firman Allah swt. (QS.Al-Isra), sedangkan riwayat perjalanan Isra dan Mi’raj
Rasulallah saw. ini diriwayatkan dalam berbagai hadits diantaranya oleh Imam
Bukhori, Imam Muslim dan lainnya.
Peristiwa Isra dan
Mi’raj ternyata merupakan ujian tentang sejauh mana orang benar-benar mengimani
kebenaran Allah dan Rasul-Nya. Diantara sejumlah kaum muslimin yang masih
sedikit pada masa itu, sebagian goyah dan goncang keimanannya. Bagi mereka yang
tidak beroleh hidayat dari Allah swt. bahkan keluar meninggalkan Islam, kembali
ke kepercayaan semula.
Bagi mereka ini memang
sulit sekali mempercayai sesuatu yang dirasa tidak masuk akal, bahkan mereka
ketika mendengar berita tentang peristiwa itu mengolok-ngolok Rasulallah saw,
bahkan menuduhnya ‘keranjingan setan’. Ada lagi yang menganggap peristiwa Isra
dan Mi’raj itu perbuatan sihir. Memang demikianlah keadaan manusia yang hanya
mengenal nikmat lahiriyah (fisik-material), tetapi terjauhkan dari nikmat
bathiniah (mental-spritual), yaitu nikmat Iman dan Islam.
Tidak dapat dipungkiri,
bahwa peristiwa Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad saw. merupakan sebagian dari
nikmat dan kebesaran Allah swt yang mengandung banyak hikmah dan pelajaran
bagi ummat manusia, khususnya bagi kaum Muslimin. Peristiwa Isra yang
mendahului Mi’raj dan terjadi pada malam yang sama, juga merupakan mu’jizat
yang meyakinkan manusia akan kebenaran Risalah dan agama yang dibawakan oleh
junjungan kita Nabi Muhammad saw., terutama mengenai pemberitaan bentuk
bangunan Masjid Al-Aqsha di Yerussalem yang disampaikan oleh beliau saw. kepada
para sahabat.
Riwayat singkatnya:
Setelah beliau saw.
sholat dua rakaat didalam masjid Al-Aqsha, dan beliau saw. mengimami sholat
jama’ah para Nabi dan Rasul terdahulu di Masjidul-Aqsha ini, Jibril as. membawa
beliau Mi’raj yakni naik kelangit pertama sampai ke langit ketujuh. Setiap
langit yang beliau saw. hampiri, beliau saw. disambut oleh para Rasul yang
terdahulu, misalnya Nabi Adam as berada dilangit yang pertama, Nabi Isa dan
Yahya –‘alaihimas salaam- berada dilangit yang kedua, Nabi Yusuf as. dilangit
yang ketiga, Nabi Idris as dilangit yang keempat, Nabi Harun as. dilangit yang
kelima, Nabi Musa as. dilangit yang keenam dan Nabi Ibrahim as. berada dilangit
yang ketujuh, sedang bersandar pada Al-Baitul-Makmur. Tiap hari tujuh puluh
ribu malaikat masuk kedalamnya (Baitul Makmur) tanpa keluar lagi. Kemudian
Rasulallah saw. naik ke Sidratul-Muntaha. Pada waktu peristiwa Mi’raj ini Allah
swt. mewahyukan kepada beliau saw. tentang ketetapan lima waktu sholat wajib
sehari semalam. Beliau saw. adalah manusia satu-satunya yang mengalami
kejadian itu, Ini tidak lain menunjukkan betapa luhur dan agungnya kedudukan
beliau saw..
Peristiwa ini bisa kita
ambil pelajaran beberapa soal penting umpamanya, setiap beliau saw. sampai
disatu lapis langit selalu disambut gembira oleh para Nabi dan Rasul terdahulu,
dan semua mendo’akan kebajikan bagi beliau saw.. Dalam perjalanan Isra ke
Palestina di Yerussalem beliau saw. mengimami sholat jama’ah para Nabi dan
Rasul terdahulu di Masjidul-Aqsha. Tidak kurang pentingnya dari semuanya
itu ialah do’a kebajikan yang dipanjatkan oleh para Nabi dan Rasul di alam
baqa bagi junjungan Nabi kita Muhammad saw. Dengan demikian riwayat disini
menunjukkan bahwa arwah orang yang telah wafat bisa berdo’a dan terbang
kemana-mana menurut kehendaknya sebagaimana yang diriwayatkan oleh perawi
hadits (lebih mendetail baca kehidupan ruh-ruh manusia yang telah wafat pada
bab Ziarah kubur dibuku ini).
Seperti yang telah
dikemukakan sebelumnya bahwa tidak ada ketentuan syari’at cara mengingat
atau memperingati hari-hari Allah yang harus diselenggarakan pada hari-hari
tertentu, begitu juga bentuk perayaan atau peringatan sebagaimana yang
dituturkan dalam hadits-hadits ternyata bermacam-macam. Ada yang berupa
ibadah puasa, ada yang dengan cara memotong kambing lalu dimakan bersama, ada
yang merayakan dengan nyanyian, dan mendeklamasikan sya’ir-sya’ir sambil
memukul rebana dan ada pula yang merayakan dengan bermain-main tombak serta
perisai.
Begitu juga halnya dengan peringatan Isra’
dan Mi’raj Nabi Muhammad saw., walaupun sementara orang berpendapat bahwa tidak
ada nash yang jelas menyebut pada malam apa, tanggal berapa dan bulan apa Isra
dan Mi’raj itu terjadi, itu sama sekali bukan halangan atau larangan
untuk memperingati peristiwa penting dan besar dalam sejarah itu. Keabsahan
peringatan Isra Mir’raj menurut syara’ sama dengan keabsahan peringatan
maulid. Alasan-alasan dan dalil-dalil yang telah dikemukakan untuk
memperkokoh keabsahaan maulid, pada dasarnya memperkuat juga
keabsahan peringatan Isra dan Mi’raj. (silahkan rujuk dalil-dalil yang
telah kami kemukakan sebelumnya).
Peringatan Isra Mi’raj ini dapat
diselenggarakan kapan saja, tetapi yang lebih tepat dan afdhal ialah pada waktu
yang telah diisyaratkan dalam berita-berita riwayat (yaitu pada bulan
Rajab). Tujuan utama memperingati ini tidak lain sama halnya dengan peringatan
maulid Nabi saw. dan hari-hari Allah lainnya adalah mensyukuri nikmat Allah
swt. yang tidak terhingga besarnya. Hari hijrah Rasulallah dari Makkah ke
Madinah pun sangat banyak sekali hikmahnya. Banyak sekali pelajaran yang dapat
ditarik oleh kaum muslimin dari peristiwa besar dalam sejarah Islam ini. Untuk
mengetahui lebih mendetail mengenai perjalanan Isra dan Mi’raj Nabi Besar
Muhammad saw. silahkan membaca kitab Shohih Bukhori atau dalam shohih Muslim
dan kitab lainnya. Demikianlah sekelumit tentang peringatan Isra dan Mi’raj
Sayyidul Mursalin Rasulallah saw.
Mengagungkan Nabi Muhammad saw.
Sebenarnya dalil-dalil tentang kewajiban ummat muslimin untuk mengagungkan
Nabi Muhammad saw. yang telah kami kemukakan, insya Allah jelas
bagi kita bahwa pengagungan pada Rasulallah saw. dan hamba-hamba yang sholeh
itu termasuk anjuran agama dan bukan sebagai penyembahan atau perbuatan
berlebihan. Tetapi selama masih ada kata-kata yang sering kita dengar dari
saudara-saudara muslimin yang melarang untuk mengagungkan Nabi saw.
sampai-sampai ada yang mensyirik kannya, maka tidak ada salahnya kami
tambahkan kuitpan berikut ini yang berkaitan dengan pengagungan/penghormatan
terhadap Rasulallah saw..
Pengagungan/penghormatan tinggi kita pada Rasulallah saw. oleh golongan
pengingkar dianggap sebagai penyembahan pada beliau saw.. Mereka
melarang ini berdalil pada sabda Nabi saw. sebagai berikut:
لا تُطْرُوْنِى كما أطْرتِ
النّصارى عِيْسى بْن مرْيم
Artinya: “Janganlah kalian mengagung-agungkan diriku seperti kaum
Nasrani mengagung-agungkan ‘Isa putra Maryam’ “.
Dengan beralasan hadits diatas ini mereka menganggap mengagungkan beliau
saw. merupakan sikap ghuluw (berlebih-lebihan) yang dapat membawa orang
kepada perbuatan syirik. Juga mereka berpendapat bahwa menyanjung beliau saw.
lebih tinggi dari manusia yang lain, dan memandang beliau saw. mempunyai
kelebihan-kelebihan lebih dari manusia biasa itu adalah bid’ah
keagamaan dan perbuatan yang menyalahi sunnah beliau saw..
Pengertian serta pemikiran mereka seperti itu adalah sangat naif sekali.
Kalau kita teliti hadits diatas tersebut yang dilarang oleh Rasulallah saw.
yaitu orang yang mengagungkan beliau saw.seperti orang Nasrani yang
mengagungkan nabi Isa as. Pengagungan orang-orang Nasrani terhadap nabi
Isa as. adalah melampui batas yang mana mereka menganggap bahwa nabi Isa itu anak
Tuhan apalagi orang-orang Katolik disamping menganggap nabi Isa anak Tuhan
juga beliau sebagai Tuhan dibumi/ didunia. Pengagungan seperti inilah yang
dilarang oleh agama agama Islam dan dianggap syirik karena menyekutukan Allah
swt..
Sedangkan orang yang mengagungkan Rasulallah saw. dengan cara yang tidak
melampaui batas kedudukan beliau sebagai hamba Allah dan Rasul-Nya yang paling
mulia dan taqwa serta tidak disertai kepercayaan seperti kaum Nasrani, maka
cara itu tidak bertentangan dengan Tauhid, malah diperintahkan oleh Allah
swt. untuk menghormat dan mengagungkan beliau saw.. Mari kita rujuk
,berikut ini, firman-firman Allah swt. yang berkaitan dengan pribadi para Rasul
dan khususnya pribadi Rasulallah saw. :
firman Allah swt. :
الّذِيْن آمنُوْا بِهِ و عزّرُوْهُ و
نصرُوْهُ واتّبعُوا النُّوْر الذِّي اُنْزِل معهُ أوْلائِك هُـمُ
الْمُفـْلِحُوْن
Artinya: Maka orang-orang yang beriman
kepadanya (Nabi Muhammad saw.)
mengagungkannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang diturunkan
bersamanya (yakni Al-Qur’an) mereka itulah orang-orang yang memperoleh
keberuntungan”. (QS.Al-A’raf : 157)
Firman-Nya juga :
و قال اللهُ اِنِّي معكُمْ لئِنْ
اقمْتُمُ الصِّلاة واتيْتُمُ الزّكاة وامنْتُمْ بِرُسُلِيْ وعزّرْتُمُوْهُمْ
واقْرضْتُمُ الله
قرْضًا حسنًا لاُكفِّرنّ عنْكُمْ
سيِّئاتِكُمْ ولاُدْخِلنّكُمْ جنّاتٍ تجْرِى مِنْ تحْتِها
الانْهارُ
Artinya: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, jikalau kamu benar-benar
mendirikan sholat, menunaikan zakat, beriman terhadap para Rasul-Ku, mengagungkan
mereka dan kamu memberikan pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik,
maka Aku akan bebaskan daripadamu sebagian dosa-dosa kesalahanmu dan Aku akan
masukkan kamu kedalam surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai’”.
Menurut tafsir Qurtubi jilid 6 halaman 151, arti daripada ‘azzartumuuhum’
adalah ‘memuliakan atau mengagungkan mereka’. Jadi memuliakan para Rasul
termasuk salah satu amalan yang dapat mendatangkan maghfirah/ ampunan
dan menurunkan rahmat. Terbukti dalam ayat diatas bahwa mereka yang
mengagungkan dan memuliakan para Rasul akan diampunkan sebagian dosanya
dan akan dimasukkan kedalam surga. Apalagi kalau yang kita agungkan dan
muliakan itu adalah Asyroful Anbiya wal Mursalin (yang paling mulia
antara para nabi dan Rasul) yakni junjungan kita Nabi besar Muhammad saw.
Allah
swt. berfirman :
ذالِك ومنْ يُعظِّمْ شعائِراللهِ
فإنّها مِنْ تقْوى القُلًوْبِ
Artinya: “Demikianlah (perintah Allah) dan
barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah (lambang
kebesaran) Allah, itu sesungguhnya (timbul) dari hati yang takwa” (QS. Al-Hajj : 32)
Tidak diragukan lagi Rasulallah saw. dengan kenabian dan ke Rasul-annya,
dengan segala mu’jizat termasuk mu’jizat yang terbesar yaitu Al-Qur’an yang
dikaruniakan Allah kepada beliau saw. adalah lambang kebenaran dan kebesaran
(syi’ar) serta lambang kekuasaan Allah swt. Memuliakan syi’ar Allah ini
adalah bukti dari hati yang bertakwa kepada Allah swt.
Dalam firman Allah swt. :
ذالِك ومنْ يُعظِّمْ حُرُماتِ اللهِ
فهُو خيْرٌ لّهُ عِنْد ربِّهِ
Artinya: “Demikianlah (perintah Allah),
dan barangsiapa mengagungkan apa yang mulia disisi Allah, itulah
yang terbaik baginya disisi Tuhannya”. ( QS Al-Haj : 30)
Rasulallah saw. adalah yang paling mulia dan taqwa dari semua makhluk
Ilahi. Begitu juga para ahli taqwa termasuk juga makhluk yang mulia
disisi Allah swt.
Allah swt. berfirman :
إنّ الله وملائِكتهُ يُصلُّون على النّبِي يآايُّها الذِّيْن
آمنوْا صلُّوا عليْهِ وسلِّمُوْا تسْلِيْمًا
Artinya:
"Sesungguhnya Allah dan para Malaikat sentiasa bersalawat kepada Nabi,
Wahai orang-orang yang beriman
berselawatlah kamu kepadanya ". (QS 33:56).
Shalawat Allah swt. pada ayat diatas menurut ahli tafsir berarti pujian
Allah swt. terhadap Nabi saw., pernyataan kemuliaannya, serta maksud meninggikan
dan mendekatkannya. Dan orang-orang beriman disuruh juga bershalawat
(memuji/meninggikannya) dan bersalam pada beliau saw.
Firman Allah swt. agar manusia bersikap sopan dan hormat dalam
bercakap-cakap dengan beliau saw. atau tidak memanggil beliau saw. sebagaimana
memanggil sesama kita.
ياأيّهالذِّيـن آمنُوا لا ترْفعُوا أصْواتكُمْ فوْقِ صوْتِ
النّبِي
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah mengeraskan suara kalian lebih tinggi dari suara Nabi”. (Al-Hujurat: 2)
Juga firman-Nya sebagai berikut :
لا تجْعلُوا دُعاء الرّسُولِ بيْنكُمْ
كدُعاءِ بعْضِكُمْ بعْضا
Artinya: “Janganlah
kalian memanggil Rasul sebagaimana kalian memanggil satu sama lain diantara
kalian”. (An-Nur :
63)
Firman-Nya juga :
إنّ
الذِّيْن يُنادُوْنك مِنْ وراءِ الحُجُراتِ اكْثرُهُمْ لا يعْقِلُون
Artinya: “Orang-orang yang
memanggil-manggilmu (hai Muhammad) dari luar kamarmu, mereka itu
kebanyakan tidak mengerti". (Al-Hujurat : 4)
Allah swt. memuji budi pekerti Nabi saw dan kita juga dianjurkan
mengagungkan beliau saw. :
لقدْ كان لكُمْ فِى رسُوْلِ اللهِ إُسْوةٌ حسنةٌ لِمنْ كان يرْجُ الله و اليوْمِ الآخِر وذكر اللهُ
كثِيْرًا
Artinya: “Sesungguhnya pada diri Rasulallah itu
menjadi contoh utama bagi orang-orang yang mengharapkan keridhaan Allah dan
hari akhirat serta banyak mengingat Allah”. (Al-Ahzab : 21)
Firman-Nya sebagai berikut :
وإنّك لعلى خُلُقٍ عظِيْمٍ
Artinya:“Dan sungguhlah bahwa engkau (hai Muhammad)
berbudipekerti luhur”. (Al-Qalam : 4
)
Firman-Nya :
إنّا أرْسلْناك شهِيْدًا ومُبشِّرًا ونذِيْرًا لِتُؤْمِنُوْا
بِاللهِ ورسُولِهِ وتُعزِّرُوهُ وتُوقِّرُوهُ
Artinya:“Sungguhlah
Kami telah mengutusmu (hai Muhammad )sebagai saksi, sebagai pembawa
kabar gembira dan sebagai pemberi peringatan, maka hendaklah kalian (manusia)
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, memperkuat (agama) dan mengagungkannya”. (Al-Fath : 8-9)
Firman-Nya :
لقدْ جاءكُمْ رسُوْلٌ مِنْ انْفُسِكُمْ
عزِيْزٌ عليْهِ ما عنِتُّمْ حرِيْصٌ عليْكُمْ بِالمُؤْمِنِيْن رؤُفٌ
رحِيْمٌ
Artinya:“Sesungguhnya
telah datang kepadamu seorang Rasul (Muhammad)
dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan
dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan (rouufun) lagi penyayang (rohimun)
terhadap orang-orang mu’min”. (At-Taubah
: 128)
Ayat-ayat diatas ini bisa kita tarik
kesimpulan bahwa Allah swt. memuji budi pekerti Rasulallah saw. dan siapa yang
selalu memuji dan mengagungkan beliau saw. berarti dia termasuk orang yang
beriman, yang cinta dan mengharapkan ridho Allah swt. dan Rasul-Nya serta
termasuk orang ahli takwa.
Dengan adanya firman-firman Allah yang telah dikemukakan tadi, maka dengan
jelas bahwa Allah swt. sendiri dan para malaikat memuji dan mengagungkan
beliau saw. dan orang yang beriman disuruh mengagungkan, memberi salam pada
beliau saw.. Allah swt. melarang kita memperlakukan beliau saw. dengan
perlakuan yang biasa kita berikan kepada sesama kita atau memanggil nama beliau
dengan cara seperti memanggil teman kita sendiri. Allah swt juga memerintahkan
agar para sahabat pergi ke Rasulallah saw agar dimintakan ampun atas kesalahan
mereka (An-Nisa:64).Dengan semuanya ini menunjukkan bahwa pribadi serta
kedudukan Rasulallah saw. adalah sangat tinggi sekali, yang pantas
dipuji dan diagung-agungkan dan bukan termasuk sebagai perbuatan
ghuluw!
Disamping itu banyak firman Allah swt. yang menyifatkan Rasul-Nya sebagai
sifat-Nya (Haalim, Kariim, dan sebagainya), sedangkan sifat Allah Rouf
hanya disifatkan untuk Rasulallah saw (QS.At-Taubah:128) tidak kepada para
Rasul-Nya lainnya. Sifat Allah saw yang disifatkan kepada para Rasul-Nya
ini mempunyai makna majazi/kiasan, sedangkan sifat yang ada pada Allah
swt. adalah sifat yang hakiki/sebenarnya. Jadi pada saat Allah swt.
berfirman Dialah yang mempunyai sifat Rahiim, Haliim, Ghofuur, Qawi,
Nashiir, Waliyyan dan sebagainya itu, maka Rasulallah saw. dan para Rasul
lainnya atas izin-Nya termasuk didalamnya (baca keterangan dibab 2 pada bab Apakah
Al-Qur’an hanya bisa diartikan secara tekstual dan literal). Begitu juga
dalam riwayat yang telah kami kemukakan bahwa para sahabat memohon hujan dengan
tawassul kepada Abbas bin Abdul Muttalib. Sewaktu
orang-orang dianugerahi hujan, mereka berebut untuk menyentuhi Abbas dan
mengatakan: 'Selamat atasmu wahai Penurun hujan untuk Haramain'. Para sahabat mengerti dan mengetahui
bahwa Penurun hujan sebenarnya adalah Allah swt. sedangkan Abbas ra. Penurun
hujan secara kiasan. Dan tidak ada seorang pun dari para sahabat mengatakan
bahwa julukan seperti itu adalah ghuluw dan bisa menjerumuskan orang
kepada kesyirikan!!
Nah, apa salahnya kalau kita memuji dan mengagungkan pribadi beliau
saw. dengan menyebut beliau saw. sebagai penolong, pengampunkan dosa
dan sebagainya yang mana Allah swt. sendiri telah memerintahkan para sahabatnya
untuk datang kepada beliau saw. agar Rasulallah saw. memohonkan ampun kepada
Allah swt. untuk para sahabat ini (An-Nisaa:64)?. Hal tersebut masih dilakukan
oleh sahabat beliau saw. setelah wafatnya. (baca bab tawassul/tabarruk). Sudah
tentu semua orang tahu bahwa bukan Rasulallah saw. yang bisa mengampunkan dosa
para sahabat, tetapi dengan perantaraan beliau saw. dosa para sahabat yang
bersangkutan itu diampunkan oleh Allah swt. Dengan demikian Rasulallah saw.
bisa dijuluki secara kiasan sebagai Pengampunkan dosa.
Itulah juga yang dimaksud oleh pengarang-pengarang kitab Burdah, Barzanji, Dhiba’ dan lain-lain yang ditulis oleh penyair dan ulama
terkenal ini yang sebagian besar isinya memuliakan, mengagungkan Allah swt. dan
Rasulallah saw. serta mensifati beliau saw. secara kiasan sebagai Penolong, Pengampunkan
dosa dan lain sebagai nya? Sudah tentu para ulama itu sadar dan yakin serta
mengetahui bahwa pemuliaan, pengagungan dan pensifatan terhadap Rasulallah saw.
sebagai hamba Allah (Makhluk) tidak setaraf dengan pemuliaan,
pengagungan dan pensifatan kita terhadap Allah swt. sebagai Pencipta
(Al-Khalik). Bila ada pikiran yang memandang secara hakiki/sebenarnya makhluk
setaraf dengan Sang Pencipta itulah baru dikatakan syirik ! Apakah
mungkin para ulama dan penyair yang terkenal itu menulis kitab yang mengandung
atau berbau kekufuran, kesyirikan ? Sudah tentu tidak mungkin! Apakah
hanya ulama golongan pengingkar saja yang paling mengetahui, paling pandai dan
paling hati-hati dalam syari’at Islam? Sudah tentu tidak!!
Golongan pengingkar ini mempercayai riwayat-riwayat yang telah kami kemukakan pada bab 2, yang berkaitan dengan Tajsim/penjasmanian
dan Tasybih/ penyerupaan Allah swt. kepada Makhluk-Nya, umpamanya Allah
swt. mempunyai tangan, jari kelingking, kaki, nafas dan lain sebagainya secara hakiki/
sebenarnya, dan mereka melarang orang mentakwil atau mengartikan maknanya yang
sesuai dengan sifat ke Mahaagungan dan ke Mahasucian-Nya. Disatu sisi mereka
melarang orang mengagungkan Rasulallah saw. karena hal itu sebagai perbuatan
berlebih-lebihan yang dilarang oleh agama walau pun jelas banyak ayat Ilahi yang menunjukkan
kebolehannya tetapi disisi lain mereka sendiri
mempercayai Tajsim dan Tasybih Allah swt. kepada makhluk-Nya secara hakiki
(baca keterangannya pada bab 2 diwebsite ini), yang mana hal ini sudah jelas
dilarang oleh Allah swt. ! Ini pikiran yang sangat aneh sekali !
Syair-syair untuk Nabi saw.dan para sahabat
Pada zaman Nabi saw terdapat banyak penyair yang terkenal dan hebat datang
kepada Rasulallah saw. dan mempersembahkan kepada beliau berhalaman-halaman
syair yang memuji dan mengagungkan beliau saw.. Ini
dibuktikan dengan banyaknya syair yang dikutip di dalam Sirah Ibnu Hisham,
al-Waqidi dan lain-lain. Penyair-penyair tekenal mengagung-agungkan
Rasulallah saw dihadapan beliau dan para sahabat, tidak dilarang oleh
Rasulallah saw. dan tidak ada para sahabat yang mencela atau mengatakan hal
tersebut berlebih-lebihan (ghuluw) dan sebagainya.
Rasulallah saw. amat menyenangi syair yang indah seperti yang diriwayatkan
Bukhari didalam al-Adab al-mufrad dan kitab-kitab lain. Rasulallah
saw. bersabda: "Terdapat hikmah didalam syair". Paman Nabi
saw. Al-'Abbas mengarang syair memuji kelahiran Nabi saw. diantara bait
terjemahannya sebagai berikut: ‘Dikala dikau dilahirkan, bumi bersinar
terang hingga nyaris-nyaris pasak-pasak bumi tidak mampu untuk menanggung cahayamu,
dan kami dapat terus melangkah lantaran karena sinar dan cahaya dan jalan yang
terpimpin’ ( Imam as-Suyuti dalam Husn al-Maqsid : 5 dan Ibnu Katsir dalam
kitab Maulid : 30 dan juga didalam kitab Ibnu Hajar, Fath al-Bari).
Ibnu Katsir
menerangkan didalam kitabnya bahwa para sahabat ada meriwayatkan bahwa Nabi
saw. memuji nama dan nasabnya, serta membaca syair mengenai diri beliau semasa
peperangan Hunain untuk menambah semangat para sahabat dan menakutkan para
musuh. Pada hari itu beliau saw berkata: ‘Aku adalah Rasulallah! Ini
bukanlah dusta. Aku anak 'Abdal–Muttalib !’ Beliau saw. juga
sering berkata:
أنا خيْرُ
أصْحابِ اليمِيْنِ , أنا خيْرُالسّابِقِيْن, أنا أتْقى ولدِ آدم وأكْرمُهُمْ على اللهِ
ولا فخرْ
Artinya: Akulah ashabul-yamin yang terkemuka (dalam Dala’ilun
Nubuwwah :5 , .....Akulah khairussabiqin (dalam Syarhul Mawahib
1:62) ....dan akulah anak Adam yang paling bertakwa dan paling mulia di sisi
Allah dan aku tidak sombong....” (HR. At-Thabrani dan Al-Baihaqi didalam
Dala’ilun Nubuwwah),
Sabda beliau saw. :
أنا سيْدُ ولدِ آدم يوْمِ القِيامةِ
Artinya: “Saya adalah sayyid (orang yang paling mulia) anak Adam
di hari Kiamat nanti’ (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Turmudzi) atau sabda beliau
saw. :
أنا سيْدُ
النّاس يوْمِ القِيامةِ
Artinya: ‘Aku adalah sayyid semua manusia di hari kiamat’ (HR. Ahmad, Bukhori dan Muslim).
Riwayat Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi hadits
dari Abu Hurairah ra: Nabi saw bersabda: ”Aku adalah penghulu
putra Adam pada hari kiamat, dan aku adalah orang pertama yang keluar dari
kubur (jasadnya), dan aku adalah orang pertama pemberi syafa’at dan orang
pertama diberi syafa’at”.
Sedangkan dalam redaksi
Tirmidzi disebutkan: “Aku adalah penghulu putra Adam pada hari kiamat di
tanganku terdapat Liwaaul Hamdi / panji pujian dan aku tidak
sombong.Tidak seorang Nabi pun pada hari itu baik Adam dan yang lainnya
terkecuali dibawah naungan panji-panjiku dan aku adalah orang
pertama yang keluar dari kubur dan aku tidak sombong”.
Masih banyak lagi kata-kata beliau saw. untuk dirinya. Kalau pujian-pujian
ini semuanya dilarang dan dikatakan ghuluw, maka tidak akan diucapkan
dari lisan orang yang paling taqwa dan mulia Rasulallah saw. serta dari lisan
para sahabat yang ditujukan kepada beliau saw.
Rasulallah saw. sendiri sering menerangkan betapa mulia dan tingginya
kedudukan beliau saw. disisi Allah swt., ini tidak lain agar kita kaum muslimin
sadar dan dapat membedakan serta mengakui bahwa Allah swt. memberi kedudukan
Rasulallah saw.paling tinggi dan mulia daripada makhluk-makhluk Allah lainnya,
dan sabda beliau tersebut sejalan dengan firman Ilahi untuk pribadi beliau
saw. Dengan demikian kita tidak boleh menyamakan kedudukan dan kemuliaan beliau
saw. dengan manusia biasa!
Hasan bin
Tsabit ia mendendangkan syair yang bunyinya antara lain: ‘Anda lah (Rasulallah
saw.) makhluk suci pilihan Allah... Andalah seorang Nabi dan keturunan
terbaik Adam, keagungannya bagaikan ombak samudra..dan seterusnya’.
Hasan bin Tsabit ra. sering melagukan dan membacakan syair-syairnya di depan
Sayyidul Mursalin Muhammad saw. dan didepan para sahabat beliau. Tidak ada
satupun yang mencela atau mengatakan berlebih-lebihan (ghuluw)!
Tertera di batu nisan Hasan ibnu Tsabit beliau menulis mengenai Nabi
saw.:
“Bagiku tiada siapa dapat mencari kesalahan didalam diriku, Aku hanya
seorang yang telah hilang segala derita rasa, Aku tidak akan berhenti
dari pada memujinya (nabi saw.), karena hanya dengan itu mungkin aku
akan kekal didalam syurga bersama-sama 'Yang Terpilih', yang
daripadanya aku mengharapkan syafa’at, dan untuk hari itu, aku kerahkan seluruh
tenagaku kearah itu”.
Hasan bin
Tsabit waktu membaca syair di masjid Nabawi ditegur oleh Umar bin Khattab ra.,
lalu Hasan bin Tsabit berkata kepada Umar ra. : 'Aku sudah baca syair nasyidah
disini dihadapan orang yang lebih mulia dari engkau wahai Umar (yakni Nabi
saw.)', lalu Hasan berpaling kepada Abu Hurairah ra dan berkata; 'bukankah
engkau dengar Rasul saw. menjawab syairku dengan doá 'Wahai Allah bantulah
ia dengan ruhulqudus'. Abu Hurairah ra. menjawab; Benar. (HR.bukhori hadits
nr. 3040, Muslim hadits nr. 2485).
Jadi tidak semua syair yang dibaca didalam masjid semuanya haram, hadits
yang meriwayatkan keharaman baca syair didalam masjid yaitu syair-syair yang
membawa kepada ghaflah (kelupaan), hanya bersifat keduniaan. Tetapi
syair yang memuji Allah swt. dan Rasul-Nya itu diperbolehkan malah dipuji dan
didoakan oleh beliau saw.
Rasulallah saw.
mendirikan mimbar khusus dimasjid agar ia (Hasan bin tsabit ra)
berdiri untuk melantunkan syair-syairnya (Mustadrak ala shohihain hadits
nr. 6058, sunan Attirmidzi hadits nr. 2846).
Menurut riwayat
yang berasal dari Abu Bakar Ibnul Anbari, ketika Ka’ab bin Zuhair dalam
mendendangkan syair pujiannya sampai kepada sanjungan bahwa beliau saw. adalah sinar
cahaya yang menerangi dunia dan beliau laksana pedang Allah yang ampuh
terhunus. Sebagai tanda kegembiraan beliau saw., maka beliau menanggalkan
kain burdahnya (kain penutup punggung) dan diberikan pada Ka’ab.
Mu’awiyyah bin Abi Sufyan pada masa kekuasaannya berusaha membeli burdah itu
dari Ka’ab dengan harga sepuluh ribu dirham, tetapi Ka’ab menolaknya. Setelah
Ka’ab wafat, Mu’awiyah membeli burdah pusaka Nabi saw. itu dari ahli waris Ka’ab
dengan harga dua puluh ribu dirham.
Banyak sekali hadits yang diriwayatkan para sahabat Nabi saw. tentang
bagaimana mereka membaca bait-bait syair untuk memuliakan dan mengagungkan
Nabi saw. seperti Amr bin ‘Ash, Anas bin Malik, Usamah bin Syarik dan
lain-lain. Semua pujian dan syair-syair ini tidak dilarang oleh beliau saw.!
Juga syair-syair tersebut boleh dilagu kan dan diiringi dengan bermain
gendang.
Didalam kitab Madarij
al-salikin, Ibnu Qayyim menulis bahwa Nabi saw. memberi izin untuk menyanyi
pada hari perkawinan dan membenarkan syair dipersembahkan untuk
beliau saw.. Beliau mendengar Anas dan para sahabat memujinya dan membaca syair
ketika beliau saw. sedang menggali parit semasa peperangan Khandaq dan
mereka pernah berkata," Kamilah yang telah memberi bai'ah kepada Muhammad
untuk berjihad selama kami hidup."
Ibnu Qayyim
juga telah menceritakan mengenai 'Abdullah ibnu Rawaha membaca syair
yang panjang memuji-muji Nabi Muhammad saw. semasa penaklukan kota
Makkah, dan Nabi pun berdo’a untuk beliau ra. Rasulallah saw. juga pernah
mendo’akan untuk Hasan ibnu Tsabit agar Allah senantiasa memberi bantuan
kepadanya dengan ruh suci (the holy spirit) selama beliau memuji-muji
Nabi saw melalui syairnya. Nabi juga pernah meminta Aswad bin Sarih
untuk mengarang syair memuji-muji Allah dan beliau saw. Nabi saw. pernah
meminta seseorang untuk membaca syair puji-pujian yang memuat seratus halaman
yang dikarang oleh Umayya ibnu Abi Halh.
Menurut Ibnu
Qayyim lagi, 'Aisyah ra selalu membaca syair memuji baginda saw. dan beliau
amat menyenanginya." Ditulis juga oleh Ibnu Qayyim di dalam kitabnya,
Allah memberi keizinan kepada Nabi saw. agar membaca Al-Qur’an dengan berlagu.
Pada suatu hari Abu Musa al-Ash'ari sedang membaca Al-Qur’an dengan berlagu dan
suara yang merdu dan ketika itu Nabi saw. sedang mendengar bacaan beliau
.
Setelah beliau selesai mengaji, Nabi saw. mengucapkan tahniah kepada beliau
karena bacaan beliau yang begitu merdu dan Nabi saw. bersabda: ‘Engkau
mempunyai suara yang merdu’ beliau saw. bersabda lagi bahwa: ‘Abu
Musa al-Ash'ari telah dikurniakan Allah 'Mizmar' (seruling) diantara
mizmar-mizmar Nabi Daud’. Abu Musa pun berkata, ‘Ya Rasulallah jika aku
tahu yang engkau sedang mendengarkan bacaanku niscaya aku akan membaca dengan
suara yang lebih merdu dan lagu yang lebih enak lagi yang engkau belum pernah
dengar’.
Ibnu Qayyim
menulis lagi, Nabi saw. bersabda : ”Hiasilah al-Qur’an dengan suara kamu’,
dan siapa-siapa yang tidak melagukan al-Qur’an bukanlah dari kalangan
kami." Ibnu Qayyim mengatakan juga: ‘Untuk menyenangi suara yang merdu
adalah dibenarkan seperti juga kita menyenangi pemandangan yang indah,
gunung-gunung, alam semesta ataupun harum-haruman dan wangi-wangian ataupun
hidangan yang lezat selama semua itu tidak melanggar batas-batas
syari’at’.
Seorang ahli
hadits, Ibnu 'Abbad telah memberikan fatwa tentang hadits Rasulallah
saw. berikut ini: “Seorang wanita telah datang menemui Nabi di
waktu beliau saw. baru pulang dari medan peperangan, dan wanita itu pun
berkata; ‘Ya Rasulallah, aku telah bernadzar jika sekiranya, Allah
menghantarkan engkau kembali dalam keadaan selamat, aku akan bermain gendang
disebelahmu.’ Nabi pun bersabda; ‘Tunaikanlah nadzarmu’ ."
(HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Imam Ahmad)
Lihat hadits terakhir diatas yang diriwayatkan oleh para rawi yang
cukup terkenal bahwa Rasulallah saw. mengizinkan wanita tersebut untuk
melaksanakan nadrnya yaitu bermain gendang sebelah Rasulallah saw..
Bilamana hal tersebut dilarang maka akan dilarang pula oleh beliau saw., walau
pun hal itu sebagai nadr. Karena nadr tidak boleh dilaksanakan bila
bertentangan dengan syari’at Islam.
Riwayat-riwayat diatas mengenai syair-syair pengagungan, permainan gendang dengan niat yang
baik dihadapan Rasulallah saw. dan para sahabatnya telah membuktikan bahwa beliau
saw. gembira dan mendo’akan serta memberi hadiah pada para penyair yang
memuji-muji beliau saw tersebut. Dengan demikian kita ingin bertanya lagi
kepada golongan pengingkar pengagungan kepada Rasulallah saw :
Alasan apa orang menyalahkan dan mengharamkan pembacaan
syair atau qosidah-qosidah pujian pada
majlis peringatan agama baik
untuk Rasulallah saw. maupun untuk para ahli takwa lainnya sambil di-iringi dengan suara gendang agar lebih menarik
bagi pendengarnya? Mereka semua mempunyai niat yang baik untuk membaca,
mendengar syair, qosidah pujian-pujian itu dan semuanya ini tidak
bertentangan dengan syari’at Islam! Bila menulis, membacakan dan melagukan
syair pujian itu, permainan gendang haram, haram pula lah
perkara-perkara yang telah disebutkan dalam hadits-hadits Rasulallah saw..
Rasulallah saw. khususnya dan para sahabat adalah para
tokoh Salaf Sholeh begitu juga para hamba Allah yang sholihin, mengapa golongan
pengingkar yang mengaku madzhab dan pengikut Salaf Sholeh justru melarangnya
dan mengatakan sebagai perbuatan qhuluw?
Mencampur aduk antara Ta’dhim/pengagungan/penghormatan
dan ’Ibadah
Masih ada orang yang keliru memahami antara ta’dhim
(penghormatan atau pengagungan tinggi) dan ‘ibadah. Kekeliruan ini
mengakibatkan pencampur-adukan antara dua kata tersebut sehingga mereka mudah
menarik kesimpulan bahwa pengagungan berarti penyembahan.
Berdasarkan pengertian yang salah ini mereka berpendapat bahwa bersikap
khidmat dan bersikap rendah diri dimuka makam beliau saw. ini dianggap
juga sebagai sikap berlebih-lebihan (ghuluw) yang dapat menyeret orang
pada sesembahan selain Allah swt. Demikian juga mencium tangannya
orang-orang yang shalih/wali atau adat istiadat dan tradisi yang berlaku
dikalangan masyarakat Jawa, yang tiap hari Raya pada umumnya orang Jawa juga
yang beragama Islam mereka berjongkok (bersungkem) didepan ayah ibunya
masing-masing. Semuanya ini oleh orang yang bepengertian salah dianggap
merupakan sikap yang berlebih-lebihan dan perbuatan mungkar/ haram yang harus
diberantas.
Sebenarnya semuanya itu sama sekali tidak bisa diartikan penyembahan dan
tidak terlintas sama sekali dalam hati dan pikiran mereka bahwa mereka itu menyembah
pada orang-orang sholeh/wali yang dicium tangannya atau berjongkok didepan ayah
bundanya sebagai Tuhan! Tidak lain semuanya itu disebut ta’dhim
(pengagungan dan penghormatan tinggi). Sama halnya kalau kita ber-rukuk,
bersujud didepan bangunan Ka’bah bukan berarti bahwa kita menyembah
Ka’bah tapi yang kita sembah adalah Allah swt. Bila ada orang yang mempunyai
pikiran bahwa bersujud dihadapan bangunan Ka’bah sebagai penyembahan maka dia
bukan termasuk orang yang beriman! Jadi yang penting disini adalah keyakinan
kita terhadap orang (obyek) yang diagungkan atau dihormati tersebut.
Kita semua mengetahui bahwa yang tidak boleh dilakukan ialah bila orang
memandang Rasulallah saw., para ahli waliyullah serta orang-orang sholih
memiliki sifat-sifat Rububiyyah (ketuhanan) secara hakiki/sebenarnya
dan mengagung-agungkan mereka sebagai Tuhan! Inilah yang dilarang oleh syariat
Islam. Selama kita masih menyakini bahwa beliau saw. adalah manusia yang paling
mulia diantara makhluk-makhluk Ilahi dan dimuliakan serta dipuji-puji oleh
Allah swt., begitu pun juga para ahli taqwa termasuk makhluk Ilahi yang mulia,
maka itu sama sekali tidak menyalahi syariat dan sunnah !
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya mengenai sujudnya Malaikat
terhadap nabi Adam as. dan sujud saudara-saudara Nabi Yusuf as. terhadap nabi
Yusuf as. (QS Al-Isra’: 61-62 dan Surat Yusuf: 100). Ahli tafsir bersepakat
bahwa arti sujud didua ayat tersebut bukanlah sujud
penyembahan tapi sujud penghormatan, pengagungan dan pemuliaan
kepada Nabi Adam as. dan Nabi Yusuf as. Allah swt. sendiri malah memerintahkan
para malaikat-Nya menghormati dan memuliakan Adam as dengan cara
bersujud pada Adam as. Juga Dia berfirman dalam kitab-Nya bahwa
saudara-saudara Nabi Yusuf bersujud pada Nabi Yusuf as. tanpa dicela oleh Allah
swt. perbuatan mereka itu.
Kalau masalah sujudnya para malaikat kepada Adam as yang diperintahkan
oleh Allah swt. dan sujudnya saudara-saudara Yusuf pada
nabi Yusus tidak harus berarti menyembah atau mempertuhankan
sesuatu, bagaimana tercelanya sebagian saudara kita muslimin yang berani
melontarkan kata-kata penyembahan, perbuatan mungkar kepada orang
yang sekedar cium tangannya para sholihin, berdiri khidmat
didepan makam Rasulallah saw. atau makam para ahli takwa, membaca
syair-syair pemuliaan serta pengagungan terhadap Nabi saw., para ahli
takwa? Tidak lain golongan pengingkar ini tidak bisa membedakan antara Ta’dhim
dan ‘Ibadah!
Mengapa mereka tidak mengecam sujudnya para malaikat terhadap Adam
as. dan sujudnya saudara-saudara Yusuf as. terhadap Nabi Yusuf as
sebagai perbuatan sesat, berlebih-lebihan (ghuluw) atau syirik
juga, padahal inti dan maknanya toh sama yaitu sujud tersebut untuk
penghormatan dan pemuliaan? Apakah mungkin Allah swt. akan memerintahkan
para malaikat-Nya sujud pada Adam as sebagai penyembahan bukan sebagai
penghormat an saja? Tentu Tidak Mungkin, karena penyembahan selain kepada Allah
swt. adalah perbuatan syirik, sedangkan syirik adalah amalan yang dibenci oleh
Allah swt.!
Golongan pengingkar ada yang melarang dan membid'ahkan orang yang menyebut sayidina atau maulana
Muhamad saw (keterangan baca sayidina, silahkan baca bab Bid'ah di
website ini) dan mereka berkata kita cukup sebut dengan nama beliau saja,
misalnya: ‘Muhammad mengatakan begini dan begitu…’. Tapi mereka sendiri bila menyebut
seorang pejabat tinggi pemerintahan, seorang Raja atau menteri baik yang
masih hidup atau sudah wafat selalu menggunakan kata-kata Pemimpin kita yang
mulia, Bapak yang terhormat, dan lain sebagainya terhadap mereka .
Seolah-olah dihati mereka tidak terdapat sama sekali perasaan wajib menghormati
seorang Nabi dan Rasulallah yang di imani dan ditaatinya serta diperintahkan
oleh Allah swt untuk menghormati dan tidak memanggil Rasulallah saw.
sebagaimana memanggil satu sama lain diantara kalian. Dengan sikap demikian itu
mereka seakan-akan juga menempatkan Rasulallah saw. dibawah martabat para Raja
dan pejabat pemerintahan! Kami berlidung pada Allah swt. dalam hal ini. Dan
lebih heran lagi diantara mereka sendiri sering menyebut nama seseorang dengan
kata-kata sayid... !! Semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah
swt.Amin
Rasulallah saw bukan manusia biasa tetapi Insan
Kaamil (manusia sempurna)
Makalah-makalah yang
sederhana di website ini, cukup jelas sebagai bukti bahwa Nabi saw.
adalah bukan manusia biasa tapi beliau adalah manusia sempurna (Insan
Kaamil). Walau pun demikian masih ada saja golongan pengingkar yang
mengatakan bahwa Rasulallah saw. adalah manusi biasa seperti kita kita
ini, bedanya hanya beliau saw. menerima wahyu dari Allah swt.. Mereka dengan berdalil pada
firman Allah sebagai berikut: “Katakanlah, sesungguhnya aku hanyalah manusia
seperti kamu. Hanya saja kepadaku disampaikan wahyu.” (QS. 18:110).
Berdasarkan ayat ini dan ditambah ayat-ayat senada, misalnya; “Katakan:
‘Mahasuci Tuhanku. Bukankah aku hanya seorang manusia yang diutus?”.
Golongan ini percaya bahwa Nabi Muhammad saw. adalah manusia biasa
seperti manusia lainnya, oleh karena itu golongan ini menganggap mengagungkan
dan memuji Rasulallah saw. merupakan sikap berlebih-lebihan (ghuluw) dan
pengkultusan yang tidak perlu serta dapat membawa orang kepada perbuatan
syirik.
Mereka menafsirkan firman Allah swt. diatas secara tekstual.
Jika kita telusuri dengan seksama semua ayat-ayat ilahi dibuku ini atau buku
lainnya yang menyinggung tentang Nabi saw. atau yang berkenaan dengan Nabi saw,
maka dengan yakin kita akan menganut pandangan para pakar islam yang
menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad saw. memang bukan manusia biasa tapi Insan
Kaamil. Beliau saw. adalah manusia utama, “superman” yang telah
berhasil melewati tingkat umum manusia dan mencapai derajat keutamaan yang
tiada taranya.
Apa yang dimaksud ayat Ilahi diatas bahwa Rasulallah
saw. adalah manusia (basyar), seperti manusia lainnya? Apakah
maksudnya bahwa kedudukan beliau saw. di hadapan Allah sama dengan manusia
lainnya?
Kami kira golongan pengingkar pemujian/pengagungan
kepada Rasulallah saw. pun tidak membenarkan anggapan seperti ini. Mereka juga
yakin bahwa Rasulallah saw. adalah seorang Rasul dan memiliki kedudukan yang
sangat khusus di sisi Allah. Kita coba mengkajinya, bagaimana kita harus
menyikapi Rasulallah saw.? Disatu sisi, beliau adalah Nabi dan Rasul
dengan kemuliaan yang tiada tara dan kedudukan beliau saw. dalam al-Qur’an
sungguh luar biasa, tapi disisi lain al-Qur’an menegaskan bahwa ia juga adalah manusia
seperti kita. Terdapat puluhan ayat didalam al-Qur’an yang memuji Rasulallah
saw., apakah dalam bentuk pujian langsung atau dalam bentuk penyebutan
sifat-sifat terpuji yang dimiliki Nabi seperti yang telah kami kemukakan
sebelumnya. Beberapa contoh lagi mengenai keagungan Rasulallah saw. yang tidak
dimiliki oleh manusia biasa adalah sebagai berikut:
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kw. berkata:
‘Setiap kali Allah swt. mengutus seorang nabi, mulai dari Nabi Adam
sampai seterusnya, maka kepada nabi-nabi itu Allah swt. menuntut janji setia
mereka bahwa jika nanti Rasulallah saw. diutus, mereka akan beriman padanya,
membelanya dan mengambil janji setia dari kaumnya untuk melakukan hal yang
sama’.
Sebagaimana yang difirmankan Allah swt. dalam surat
Aal- Imran : 81:
“Dan ketika Allah mengambil janji dari para nabi:
‘Aku telah berikan kepada kalian al-kitab dan al-hikmah, maka ketika Rasul itu (Muhammad
saw.) datang kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada pada kalian,
kalian benar-benar harus beriman kepadanya dan membelanya.” Dia (Allah)
berkata: ’Apakah kalian menerima dan berjanji akan memenuhi perintah-Ku ini’?
Mereka berkata: ‘Ya, kami berjanji untuk melakukan itu’. Dia berkata: ‘Kalau
begitu persaksikanlah dan Aku menjadi saksi bersama kalian’ “.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa para penganut Ahlul-Kitab
tahu betul tentang kedatangan Rasulallah saw. sebagaimana mereka
mengenal anak-anak mereka sendiri. Bahkan mereka saling memberi kabar gembira
tentang kedatangannya itu (QS. 2: 89,146).
Dan itu pula yang dimohonkan Nabi Ibrahim as. dalam
do'anya:
“Tuhan kami, utuslah pada mereka seorang Rasul dari
kalangan mereka sendiri (Muhammad) yang membacakan kepada mereka
ayat-ayat-Mu, mengajarkan mereka al-kitab dan al-hikmah, dan menyucikan mereka.
Sesungguhnya Engkau Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”. (QS. 2:129).
Rasulallah saw. ditetapkan sebagai perantara (wasilah)
antara dirinya dengan manusia. Bahkan merupakan salah satu syarat
terkabulnya do’a. Firman Allah swt.:
وما أرْسلـْنا مِنْ رسُـوْلٍ إلاّ
لِيُطاع بِإِذْنِ اللهِ ولـوْ أنّهُـمْ إذْ ظلمُواانْفُسهُمْ
جاءوُك فاسْتغْفِرُوْا الله واسْتغْفرلهُمُ الرّسُوْلُ لوجدُوْا الله
توّابًا الرّحِيْمًا
Artinya: “Kami tidak utus seorang Rasul kecuali untuk
ditaati, dengan seizin Allah. Dan seandainya mereka mendatangimu ketika mereka
berbuat dosa, lalu memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampun
buat mereka, pastilah mereka dapati Allah Maha Pengampun dan Maha
Pengasih”. (QS. 4:64).
Bahkan sebagai perantara tawassul kepada Rasulallah saw. ini sudah dilakukan para
nabi dan orang-orang sholeh jauh sebelum kelahiran beliau saw. (baca bab
Tawassul dibuku ini). Kita dapat membaca riwayat yang mengatakan bahwa Adam dan
Hawa telah bertawassul kepada Rasulallah saw. saat mereka berdua
dikeluarkan dari surga. Dikisahkan bahwa tatkala Nabi Adam as dikeluarkan dari
surga, ia memohon ampun kepada Allah atas perbuatannya.
Penciptaan Nabi saw.lebih dahulu daripada Nabi Adam
as. hanya beliau saw. masih dalam wujud “nur” atau cahaya. Ketika Allah
menciptakan Adam, Ia menitipkan nur itu pada sulbi Adam as yang kemudian
berpindah-pindah dari satu sulbi ke sulbi yang lain hingga sulbi Abdullah, ayah
Nabi.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dari
Jabir bin ‘Abdullah al-Anshari ra. bahwasanya dia pernah bertanya kepada nabi
saw.; “Demi ayah dan ibuku, ya Rasulallah, beritahukanlah padaku tentang suatu
yang di ciptakan Allah sebelum segala sesuatu yang lain. Jawab beliau saw.;
‘Wahai Jabir, sesungguhnya Allah sebelum menciptakan segala sesuatu yang lain,
telah menciptakan Nur Nabimu, Muhammad dari Nur-Nya’”. Dan hadits dari Abu
Hurairah ra. bahwasanya Nabi saw. telah bersabda: “Aku adalah yang pertama
diantara para Nabi dalam penciptaan, namun yang terakhir dalam
kerasulan…”.
Ibnu Abbas meriwayatkan, Rasulallah saw bersabda:
“Allah telah menciptakanku dalam wujud nur yang bersemayam di bawah ‘arasy dua
belas ribu tahun sebelum menciptakan Adam as. Maka ketika Allah menciptakan
Adam, Ia meletakkan nur itu pada sulbi Adam. Nur itu berpindah dari sulbi
ke sulbi; dan kami baru berpisah setelah ‘Abdul Muthalib. Aku ke sulbi
‘Abdullah dan ‘Ali ke sulbi Abu Thalib”.
Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa
sulbi-sulbi orang-orang suci. Ini berarti bahwa orang-tua dan nenek-moyang
Rasulallah sampai ke Nabi Adam as. dalam Istilah al-Qur’anal-
Sajidîn orang-orang
patuh. Sebagaimana firman-Nya: “Dan bertawakallah kepada Tuhan Yang Maha
Perkasa lagi Maha Penyayang. Yang melihatmu saat engkau bangun dan
perpindahanmu dari sulbi kesulbi orang-orang patuh”. (QS.
26 :217-219).
Rasulallah saw. adalah manusia suci,
tidak pernah berbuat dosa (ma’sum). Namun demikian, ia tetap manusia biasa
seperti manusia lainnya, dalam secara biologis tidak ada perbedaan
antara Rasulallah saw. dengan yang lain. Allah berfirman dalam Al-Ahzab:33: “Sesungguhnya
yang di kehendaki Allah ialah menjauhkan kamu wahai Ahlul Bait dari segala
kotoran dan mensucikan kamu sesuci-sucinya”.
Rasulallah saw. adalah teladan yang sempurna, uswatun
hasanah (QS.33:21). Oleh karenanya; “Apapun yang dibawanya harus
kamu terima dan apa pun yang dilarangnya harus kamu jauhi.” (QS. 59:7)
Dibukakan rahasia kegaiban kepada
Rasulallah saw. sebagaimana firman Allah swt.; “Tuhan Maha Mengetahui yang
gaib. Maka Dia tidak akan mem- bukakan kegaibannya itu kepada seorang pun,
kecuali kepada Rasul yang di kehendaki”. (QS. 72:
26-27). Tentu saja Rasulallah saw. berada di urutan paling atas di
antara para Rasul, beliau penghulu dari semua Nabi dan Rasul yang menerima
anugrah utama ini.
Allah memuji Rasulallah saw. dengan
berbagai pujian, karena keluhuran akhlaknya (QS. 68:4); kepeduliannya dan kasih
sayangnya kepada umat manusia (QS. 9:128) dan pengorbanan diri, tidak
mementingkan diri demi kebahagiaan orang lain (QS. 20:2-3). Selain itu Allah
swt. memberi perhatian yang khusus kepada Nabi Muhammad saw jika ada sedikit
saja “masalah” yang dihadapinya (QS. 93:1-3 & QS 94:1-4).
Siapa saja yang berhadapan dengan
Rasulallah saw. maka berhadapan dengan Allah swt.. Sebaliknya, siapa saja yang
membelanya, Allah berada di belakangnya (QS. 9:61).
Orang-orang beriman diperintahkan untuk
tidak memperlakukan Rasul- Allah saw. sebagaimana perlakuan mereka terhadap
sesama mereka. Jika berbicara kepada Rasulallah saw. harus dengan suara yang
pelan, tidak boleh teriak-teriak, karena hal itu akan meng- hapus pahala
amal mereka (QS. 49:2-3).
Allah akan melakukan apa saja demi
menyenangkan hati Rasulallah saw.: “Dan Tuhanmu akan memberimu sehingga
membuatmu senang” (QS. 93:5). Ayat ini menunjukkan betapa Allah swt. amat
mencintai Rasul-Nya. Ia akan memberikan apa saja yang di-inginkan Rasulallah
saw. dan akan melakukan apa saja demi menyenangkan hati Rasulallah saw. Dan
salah satu anugerah Allah swt. yang paling besar kepada Rasulallah saw. ialah wewenang
memberi syafa’at kepada umatnya yang berdosa. Bukan saja di akhirat, tapi
juga di dunia, yaitu dalam bentuk pengabulan do’a yang di sampaikan oleh
Rasulallah saw. untuk umatnya, baik ketika Rasulallah saw. masih hidup mau pun
sesudah wafatnya (baca bab Tawassul/Tabarruk).
Dari sekian ayat yang telah kami kemukakan didalam bab
ini tidak dapat disangkal bahwa Rasulallah saw bukan manusia biasa,
dalam arti bahwa kedudukannya paling mulia di sisi Allah swt.. Ia telah
diciptakan Allah swt. sebelum menciptakan yang lainnya. Rasulallah saw. telah
dipersiapkan membawa amanat-Nya jauh sebelum utusan-utusan lainnya. Bahkan
utusan-utusan itu diperintahkan untuk mengimaninya dan mengabarkan kepada umat
manusia tentang kedatangannya. Rasulallah saw. ditetapkan sebagai perantara
antara manusia dengan Tuhan, dan sebagainya. Akan tetapi semua ini tidak harus
membuat kita menempatkan beliau saw. sebagai anak Tuhan atau Tuhan
dibumi/didunia, bukan dari golongan manusia, seperti yang dilakukan
kaum Nasrani terhadap Nabi ‘Isa as.
Rasulallah saw. tetap manusia sebagaimana manusia
lainnya, sebagaimana isyarat al-Qur’an dalam beberapa ayatnya di atas. Pada
diri Rasulallah saw. terdapat segala sesuatu yang ada pada manusia, yakni dimensi
biologis manusia. Karena itu Rasulallah saw. makan, minum, sakit,
tidur, berdagang, berkeluarga, senang, sedih, dan sebagainya, seperti umumnya
manusia. Al-Qur’an sengaja menegaskan bahwa Rasulallah saw. adalah
manusia/basyar seperti manusia lainnya untuk membantah penolakan
kaum musyrikin terhadap Rasulallah saw. bahwa ia bukan dari golongan malaikat
atau paling tidak bekerjasama dengan malaikat (QS. 25:7) dan juga mengingatkan
kaum Muslimin supaya tidak membuat kesalahan seperti yang dilakukan kaum
Nasrani terhadap Nabi ‘Isa as yang menganggapnya sebagai anak Tuhan
atau Tuhan dibumi! Akan tetapi ketika kita mengatakan bahwa Rasulallah saw.
adalah manusia biasa seperti manusia lainnya tidak berarti bahwa kita harus
menganggap beliau salah, keliru, melanggar, atau berakhirlah segalanya sesudah
beliau saw. wafat. Sama sekali tidak demikian.
Kesucian, keterpeliharaan dari dosa ma’sum hidup
abadi bersama Allah sesudah kematian atau kemampuan berhubungan dengan-Nya
sesudah kematian adalah perkara ruhani yang dapat saja dicapai oleh
manusia mana pun jika ia telah mencapai kedudukan ruhani yang tinggi, apalagi
dengan ruhani Rasulallah saw. yang paling mulia dari segala orang yang
bertaqwa.
Allah swt. memang menciptakan manusia dari unsur
tanah, yang menghasilkan dimensi biologisnya, akan tetapi pada manusia,
Allah swt. ciptakan juga unsur lainnya, yakni ruh Allah swt. yang justru
dapat membuat manusia lebih tinggi dari makhluk mana pun, termasuk malaikat
karena melalui ruh itu manusia mampu mengatasi unsur biologisnya. Oleh karena
itulah mengapa malaikat dan jin atau Iblis diperintahkan untuk sujud
(penghormatan tinggi) kepada Adam atau manusia. Itulah pula mengapa Nabi
Muhammad saw. dapat menembus Sidratul-Muntaha (waktu peristiwa Isra
Mi’raj), sementara Jibril as akan hangus terbakar jika berani mencoba
melangkah- kan kaki meski un hanya setapak. Padahal Jibril adalah
penghulu para malaikat. Tidak lain karena Nabi Muhammad saw. telah mencapai
derajat kesempurnaan mutlak insani (Insan Kaamil).
Kesalahan terbesar golongan yang menolak mengakui
kesempurnaan Rasul saw. dan menolak memujinya, bahkan menganggap pelakunya
sebagai bertindak berlebih-lebihan dan kultus yang diharamkan! Golongan
ini tidak lain melihat Rasulallah saw. dengan kacamata materi. Mereka
hanya melihat Rasulallah saw. sebagai makhluk biologis. Mereka lupa bahwa
manusia memiliki dimensi yang jauh lebih tinggi dari sekadar dimensi biologis
atau fisik. Bahkan dimensi ruhani merupakan jati diri manusia yang
sesungguh- nya. Melihat seorang hanya dari dimensi biologisnya adalah logika
orang-orang kafir, bukan logika orang-orang beriman. Orang-orang kafir
menolak mengakuinya sebagai Nabi atau Rasul dengan alasan bahwa para utusan
Allah itu hanya manusia seperti mereka.
Sebagaimana firman Allah swt.: “Dan tidak ada
sesuatu yang menghalangi orang-orang (kafir) untuk beriman tatkala
datang kepada mereka petunjuk kecuali perkataan mereka: ‘Apakah Allah mengutus
Rasul dari golongan manusia?’ ”.(QS. 17:94). Tapi orang-orang beriman
berkata: “Kami mengimaninya. Semuanya dari sisi Tuhan kami”. (QS.
3:7).
Peagungan dan penghormatan terhadap Rasulallah
saw. adalah tuntutan Allah swt. untuk menghormati dan mengagungkan
Rasul-Nya. Coba perhatikan ayat shalawat. Adakah perintah yang sama
dengan perintah shalawat, selain shalawat kepada Rasulallah saw.? Tidak ada!
Ayat sholawat ini didahului dengan pernyataan bahwa Allah dan malaikat-Nya
telah melakukannya terlebih dahulu, oleh karena itu kitapun diperintahkan untuk
melakukannya.
Perintah itu berarti kita harus selalu melihat
Rasulallah saw. dengan penuh ta’dhim (hormat) dan agar kita selalu
membalas jasa-jasanya. Oleh karena itu pula, Rasulallah saw. selalu
mengingatkan bahwa orang yang tidak mau bershalawat kepadanya adalah bakhil
atau kikir. Bahkan orang yang datang ke tanah suci tapi tidak mampir ke
Madinah untuk berziarah kepada beliau saw. telah memutus hubungan silatur-rahmi
dengannya.
Sebenarnya ini semua bukan kultus; karena kultus ialah
melebih-lebihkan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pengagungan Rasulallah saw.
justru mendudukkan posisi Rasulallah saw. sebagaimana mestinya, seperti yang di
perintahkan Al-Qur’an. Justru jika kita tidak melakukan itu,
dikhawatirkan telah mendzalimi beliau. Ingat firman Allah swt.: “Sesungguhnya
orang-orang yang menggangu Allah dan Rasul-Nya dikutuk oleh Allah di dunia
maupun di akhirat dan Allah siapkan baginya siksa yang menghinakannya”. (QS.
33:57).
Penghormatan, pengagungan pada Rasulallah saw., mustahab baik
semasa hidup beliau saw. maupun setelah wafatnya. Karena
pujian dan perintah Allah swt. yang tercantum pada ayat Al-Ahzab:56, al-Haj 30-
32, Al-Hujuraat 2 dan lain-lainnya itu tetap berlaku, begitu juga tawassul/
tabarruk (baca bab tawassul/tabarruk) setelah wafatnya beliau saw. diamalkan
juga oleh para sahabat, para salaf (orang-orang terdahulu) dan para khalaf
(orang-orang belakangan) serta para pakar Islam lainnya sepanjang zaman. Kalau
hal tersebut menyalahi syari’at, sudah tentu diketahui oleh para
sahabat, para salaf dan para ulama itu dan tidak mungkin juga akan dilakukan
oleh mereka.
Sudah tentu kita semua sadar, yakin dan mengetahui
bahwa pemuliaan dan pengagungan terhadap Rasulallah saw. sebagai hamba Allah
(Makhluk) tidak setaraf dengan pemuliaan dan pengagungan kita terhadap Allah
swt. sebagai Pencipta (Al-Khalik). Bila ada pikiran yang memandang makhluk setaraf
dengan Khalik itulah baru dikatakan syirik!
Lalu mengapa kita harus menentang
Allah dan Rasul-Nya hanya karena takut jatuh dalam hantu “kultus” yang kita
ciptakan dan karang-karang sendiri?
Pada ayat tawassul (QS 4:64) yang telah
dikemukakan, kita bahkan diperingatkan oleh Allah swt. jika ingin
dosa-dosa kita diampuni oleh-Nya harus bertawassul kepada beliau saw. Jika
tidak, Allah tidak akan mengabulkan permohonan ampun kita. Allah juga
mengingatkan agar kita tidak memperlakukan beliau saw. sama dengan kita, sebab
hal itu dapat menghapus pahala amal ibadah kita (QS. 49:2-3). Selain
itu, kita juga diperingatkan untuk tidak menganggap apa yang dilakukan atau
diucapkan beliau saw. lahir karena emosi atau hawa nafsunya. Tapi
semuanya atas bimbingan Allah yang menjaga beliau saw. dari dosa dan kesalahan
serta menjadikan manusia yang sempurna. “Ia (Muhammad) tidak bertutur
kata atas dasar hawa nafsunya, melainkan berdasarkan wahyu yang diterimanya”. (QS.
53:3-4). Namun demikian, beliau tetap manusia biasa seperti manusia lainnya,
dalam secara biologis tidak ada perbedaan antara Rasulallah saw. dengan
yang lain.
Abdullah bin Amr berkata: “Aku menulis segala sesuatu
yang aku dengar dari Rasulallah saw., aku bermaksud menghafalnya. Tapi
orang-orang Quraisy melarangku dan mereka berkata: ‘Engkau menulis segala
sesuatu yang engkau dengar dari Rasulallah saw.? Padahal beliau hanyalah
seorang manusia yang berbicara saat marah dan senang’. Aku berhenti
menulis. Tetapi kemudian aku ceritakan hal itu kepada Rasulallah saw. Beliau
kemudian menunjuk kepada mulutnya dan berkata: ‘Tulis saja! Demi yang jiwaku
berada di tangan-Nya, sesungguhnya tidak ada yang keluar dari sini (sambil
menunjuk mulut beliau saw.) kecuali kebenaran’ “!!
Dari sekelumit ayat dan hadits yang kita baca diatas,
kita tidak akan menyangkal atau meragukan lagi bahwa Rasulallah saw. bukan
manusia biasa melainkan manusia sempurna (Insan Kaamil), dalam arti
bahwa kedudukannya paling tinggi dan mulia di sisi Allah swt.? Akan tetapi
semua ini, sekali lagi, tidak harus membuat kita memposisikan beliau saw.
sebagai anak Tuhan atau Tuhan dibumi/didunia, bukan dari golongan
manusia, seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi ‘Isa as.
Insya Allah dengan kutipan dalil-dalil diatas yang berkaitan dengan Maulid/hari kelahiran beliau saw.
ini atau berkaitan dengan pribadi junjungan kita Nabi besar
Muhammad saw. sebagai manusia sempurna/insan Kaamil yang diciptakan
Allah swt. para pembaca bisa menilai sendiri apakah semuanya ini perbuatan
berlebih-lebihan sebagaimana yang dikultuskan oleh golongan pengingkar atau
memang perintah Ilahi untuk mengagungkan beliau saw. ? Semoga Allah swt.
memberi hidayah dan taufiq kepada kita semua. Amin
Sebagai manusia yang penuh kekurangan, kami mengharap
masukan dan saran dari segenap
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda