Fakta Bab 11
BAB 11
KEMULIAAN KETURUNAN RASULALLAH SAW.
Daftar isi Bab 11 ini diantaranya:
|
11.1. Sekelumit sejarah dinasti Bani Umayyah dan dinasti
Bani Abbasiyyah
11.2. Dalil-dalil
tentang kewajiban untuk mencintai Ahlul-Bait/Keturunan Rasulallah saw.
11.3. Tafsir
Surat Al-Kautsar
11.4. Ramalan
akan datangnya Rasul dalam catatan kitab Hindu, kristen, yahudi dan persi
11.5. Pendapat
Syekh Ali Tantawi dan saudara Segaf Ali Alkaff/Jeddah
11.6. Hadits
yang diriwayatkan cucu Nabi saw. yang keenam
11.7. Pendapat
Syeikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
11.8. Pendapat Prof.Dr.HAMKA
11.9. Hadits-hadits tentang akan munculnya Imam
Al-Mahdi
11.10.Pendapat
para ulama tentang "Siapakah yang dimaksud Ahlul-Bait" ?
11.11.Pengertian mengenai kata dzurriyyat
atau keturunan
11.12.Keturunan
yang dijuluki Syarif/Sayyid
11.13.Kalimat
hadits Al-Kisa’
11.14.Keterangan
mengenai hadits Tsaqalain dan hadits Kitabullah wa sunnati
11.15.Kalimat
hadits Tsaqalain (dua bekal berat)
11.16.Hadits
tentang kemuliaan dan kedudukan keturunan Rasul
saw.
11.17.Kalimat
hadits Safinah (Perahu)
11.18.Pendapat Imam Turmudzi tentang makna hadits
Tsaqalain, Safinah
11.19.Sanggahan/Jawaban para
ulama terhadap pendapat Imam Turmudzi
11.20.Peranan
keturunan Nabi saw (‘Alawiyyin)
termasuk Wali Songo dalam penyebaran agama Islam
11.21. Ajaran-ajaran pokok Wali
Songo dan cara dakwah mereka pada masa lalu
11.22.Siapakah Syeikh Siti Jenar?
|
Didalam bab ini kami ingin mengutip dan mengumpulkan
riwayat-riwayat mengenai kemuliaan Ahlul-Bait nasab atau keturunan Rasulallah
saw. di dalam pandangan Islam, yang ditulis oleh para ulama. Didalam bab ini
kami mengutip juga makalah-makalah diantaranya:
Ramalan seorang Nabi dalam catatan kitab Hindu akan
datangnya seorang Rasul dan keturunannya; Sebagian isi makalah yang
ditulis oleh Syeikh Segaf Ali Alkaff, Jeddah sebagai sanggahan makalah
yang ditulis oleh Syeikh Ali Tantawi; Jawaban Syeikh Abdul Aziz bin Baz, Saudi
Arabia pada seorang Iraq mengenai nasab keturunan Rasulallah saw.; Makalah
Prof. Dr. HAMKA mengenai gelar Sayid atau Habib. Pada terakhir bab ini kami menulis peranan
keturunan Rasulallah saw (Kaum Alawiyyin) dalam penyebaran agama Islam yang
pertama di Indonesia, termasuk para Wali Songo dan ajaran-ajaran
mereka. Dengan adanya semua keterangan ini, insya Allah para pembaca khususnya
bisa mengetahui bahwa keturunan Rasulallah saw. itu belum punah dan akan wujud
sampai akhir zaman.
Pembahasan mengenai keturunan
Rasulallah saw. ini sama sekali tidak bermaksud hendak membuka perdebatan atau
polemik, tidak lain bermaksud menyampaikan wasiat Rasulallah saw. kepada
kaum muslimin yang belum pernah mendengar atau mengenalnya. Karena semua yang
diwasiatkan serta dianjurkan oleh Rasulallah saw. harus kita terima dan
amalkan, sebagaimana firman Allah swt.:
وَمَا
اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
Artinya:
“Apa yang diberikan Rasul (Muhammad) kepadamu maka terimalah, dan apa
yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.
(QS Al-Hasyr : 7)
Semua ucapan Rasulallah saw. adalah
kebenaran yang diwahyukan Allah swt. pada beliau saw. sebagaimana firman-Nya :
وَمَا
يَنْطِقُ عَنِ الهَـوَى إنْ هُوَ إلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى
Artinya: ‘Dan dia (Muhammad saw.)
tidak mengucapkan sesuatu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya bukan lain
adalah wahyu yang diwahyukan Allah kepadanya’. ( Surat An-Najm :
3-4)
Memberi pengertian mengenai soal
yang belum banyak dimengerti atau belum jelas merupakan hal yang perlu
diupayakan, apalagi soal-soal yang berkaitan dengan agama Islam hukumnya adalah
wajib. Soal-soal yang kita maksudkan disini ialah masalah dzurriyyatu
(keturunan) Rasulallah saw. atau keturunan Ahlul-Bait Rasulallah saw.
Sejak masa kelahiran dan pertumbuhan
Islam hingga zaman terakhir tidak ada orang muslim yang mempermasalahkan
soal keturunan Nabi saw. ini, karena memang merupakan kenyataan yang sangat
jelas. Kenyataan ini disaksikan oleh semua sahabat Nabi saw, oleh semua kaum
Salaf, kaum Tabi’in, Tabi’it-Tabi’in dan oleh kaum muslimin yang hidup dalam
zaman-zaman berikutnya hingga zaman kita dewasa ini. Selama lebih dari 1400
tahun hingga sekarang kaum muslimin dimana-mana dimuka bumi ini selalu
mengucapkan Selawat kepada Nabi saw. dan keluarganya sekurang-kurangnya lima
kali sehari semalam Allahumma sholli ‘ala (sayyidinaa) Muhammad wa ‘ala aali
(sayyidina) Muhammad.
Namun dalam zaman belakangan ini
terdengar bisikan berbisa yang berusaha menanamkan kepercayaan bahwa
Rasulallah saw. tidak mempunyai dzurriyat atau keturunan
yang masih hidup hingga sekarang. Mereka (golongan pengingkar) ini secara
terselubung menyebarkan riwayat, bahwa Al-Husain ra cucu Rasulallah saw. yang
diharap menjadi cikal-bakal keturunan beliau saw. semuanya telah tewas dimedan perang
Karbala.
Golongan pengingkar menanamkan
keraguan tentang kenyataan adanya putera Al-Husain ra, bernama ‘Ali Zainal
‘Abidin, yang luput dari pembantaian pasukan Bani Umayyah di Karbala,
berkat ketabahan dan kegigihan bibinya Zainab ra. dalam menentang kebengisan
penguasa Kufah, ‘Ubaidillah bin Ziyad. Ketika itu ‘Ali Zainal ‘Abidin masih
kanak-kanak berusia kurang dari 13 tahun. ‘Ali Zainal-‘Abidin bin Al-Husain
cikal bakal keturunan Rasulallah saw. itulah yang mereka sembunyikan
riwayat hidupnya, dengan maksud hendak memenggal tunas-tunas
keturunan beliau saw.
Lebih jauh lagi golongan pengingkar
ini sesungguhnya orang-orang yang mengerti, tetapi atas dorongan maksud
tertentu mereka tidak mau mengerti. Secara terus-terang mereka berkeinginan
agar jangan ada orang didunia ini khususnya di Indonesia yang menyebut nama
orang-orang keturunan Ahlul-Bait dengan kata Habib, Sayyid atau
Syarif. Akan tetapi mereka merasa sangat kecewa karena hingga sekarang kaum
muslimin masih tetap menyebut keturunan Ahlul-Bait dengan kata kehormatan
tersebut.
Julukan/panggilan kehormatan Habib
dan lain sebagainya itu diberikan oleh kaum muslimin bukan permintaan dari
keturunan Nabi saw. sebagai penghargaan kepada orang-orang keturunan Rasulallah
saw.. Kita sering bertanya-tanya mengapa justru keturunan Nabi saw. fihak yang
diberi julukan yang menjadi sasaran golongan pengingkar ini, bukan terhadap
kaum muslimin yang sebagai pihak pemberi julukan? Sayang sekali golongan
pengingkar ini belum mau berterus terang, apakah perbuatan mereka ini karena
dengki ataukah iri hati terhadap golongan Ahlul-Bait ?!
11.1. Sekelumit Sejarah Dinasti
Bani Umayyah Dan Dinasti Bani Abbasiyyah
Dengan adanya kebencian dan kedengkian sebagian orang
terhadap keturunan Ahlul-Bait Rasulallah saw., mengingatkan kita kembali kepada
sejarah Islam yaitu zaman dinasti Bani Umayyah dan dinasti Bani Abbasiyyah.
Menurut riwayat, kaum
muslimin mulai dilanda perselisihan, pertengkaran dan perpecahan sejak
masa-masa terakhir kekhalifahan ‘Utsman bin ‘Affan ra.’ yakni kurang
lebih dalam periode terakhir dasawarsa ke empat Hijriah, perang-perang
saudara berkecamuk diantaranya:
Antara
kekuatan trio Aisyah, Thalhah, Zubair [radhiyallahu ‘anhum] dan kekuatan
Amirul-Mu’minin Imam ‘Ali bin Abi Thalib ra. Perang saudara ini ber kobar di
Bashrah, yang dalam sejarah Islam terkenal dengan nama ‘Waq’atul-Jamal’,
disusul kemudian oleh perang saudara yang tidak kalah hebatnya, yaitu perang ‘Shiffin’,
antara kekuatan Amriul-Mu’minin Imam ‘Ali ra, dan kekuatan pemberontak dibawah
pimpinan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Kemudian disusul dengan perang yang
berkobar dikawasan yang terkenal dengan sebutan ‘Bainan-Nahrain’
(Diantara dua Bengawan), yakni daerah antara dua bengawan Tigris dan Eferat
(Dajlah dan Al-Furat).
Pertengkaran
dan perpecahan yang diakibatkan oleh perang saudara Bainan-Nahrain’ ini
jauh lebih parah daripada yang diakibatkan perang saudara yang sebelumnya.
Dalam perang saudara ini kekuatan Imam Ali ra, terpecah dan sempal menjadi dua.
Sebagian tetap setia kepada Amirul Mu’minin ‘Ali dan yang sebagian lainnya
memberontak dan memerangi Imam Ali ra. Sempalan atau pecahan inilah yang dalam
sejarah Islam terkenal dengan kaum ‘Khawarij’, dibawah pimpinan
‘Abdullah bin Wahb Ar-Rasiby.
Kemudian
disusul perang saudara yang berkobar dalam rangka kebijakan Imam ‘Ali ra.
menumpas pemberontakan kaum Khawarij, di Nahrawand. Perang saudara ini
lebih memperparah lagi perpecahan kaum muslimin. Dalam perang saudara di
Nahrawand ini, kekuatan Imam Ali ra. unggul dan berhasil menghancurkan kekuatan
bersenjata kaum Khawarij, yang sejak terjadinya pembangkangan sudah mengkafir-kafirkan Imam ‘Ali
ra. (silahkan baca kitab ‘Imamul-Muhtadin Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib ra’
penerbit Yayasan Al-Hamidiy, Jakarta dan ‘Al-Fithatul-Kubra’ penerbit
Pustaka Jaya, Jakarta).
Kekuatan-kekuatan
anti Bani Hasyim yang sudah ada sebelum Islam, dengan kemenangan Imam
‘Ali itu mereka makin bertambah dendam. Sedangkan dalam perang ‘Shiffin’
kekuatan Imam ‘Ali ra. mundur teratur akibat pertengkaran dan pertikaian intern
mengenai masalah ‘Tahkim bi Kitabillah ‘ (Penyelesaian secara damai
berdasarkan Kitabullah). Setelah kekuatan Imam ‘Ali ra mundur
dan kembali ke Kufah, disana Amirul-Mu’minin menjadi sasaran pembunuhan gelap
yang dilakukan oleh komplotan Khawarij. Beliau tewas di tangan Abdurrahman
Muljam. Kekhalifahannya diteruskan oleh puteranya, Al-Hasan ra., tetapi
sisa-sisa kekuatan pendukung ayahnya sudah banyak mengalami kemerosotan mental
dan patah semangat. Bahkan terjadi penyeberangan ke pihak Mu'awiyah
untuk mengejar kepentingan-kepentingan materi, termasuk Ubaidillah bin
Al-‘Abbas (saudara misan Imam ‘Ali ra.), yang oleh Al-Hasan ra. diangkat
sebagai panglima perangnya !
Hilanglah
sudah imbangan kekuatan antara pasukan Al-Hasan ra dan pasukan Mu’awiyah, dan
pada akhirnya diadakanlah perundingan secara damai antara kedua belah pihak.
Dalam perundingan itu Al-Hasan ra. menyerahkan kekhalifan kepada Mu’awiyah atas
dasar syarat-syarat tertentu, berakhirlah sudah kekhalifahan Ahlu-Bait
Rasulallah saw. Seluruh kekuasaan atas dunia Islam jatuh ketangan Mu’awiyah
bin Abi Sufyan.
Dengan
hilangnya kekhalifahan dari tangan Ahlul-Bait, mulailah masa pembasmian,
pengejaran dan pembunuhan terhadap anak-cucu keturunan Ahlul-Bait dan
pendukung-pendukungnya, yang dilancarkan oleh Daulat Bani Umayyah. Untuk
mempertahankan kekuasaan Daulat Bani Umayyah, Mu’awiyah mengerahkan segala dana
dan tenaga untuk mengobarkan semangat kebencian, terhadap Imam ‘Ali ra
khususnya dan anak cucu keturunannya. Semua orang dari ahlul-bait Rasulallah
saw. direnggut hak-hak asasinya, direndahkan martabatnya, dilumpuhkan
perniagaannya dan diancam keselamatannya jika mereka berani menyanjung atau
memuji Imam ‘Ali ra. dan tidak bersedia tunduk kepada kekuasaan Bani Umayyah.
Perintah
dari para penguasa untuk mencaci maki, melaknat Imam ‘Ali ra itu sudah
suatu perbuatan yang biasa-biasa saja, misalnya sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim dan Imam Turmudzi dari Sa’ad Ibnu Waqqash yang
mengatakan:
“Ketika
Mu’awiyah menyuruh aku untuk mencaci maki Abu Thurab (julukan untuk Imam
‘Ali ra), maka aku katakan kepadanya (kepada Mu’awiyah); Ada pun jika aku
sebutkan padamu Tiga perkara yang pernah diucapkan oleh
Rasulallah saw. untuknya (untuk Imam ‘Ali ra), maka sekali-kali aku tidak akan
mencacinya. Jika salah satu dari tiga perkara itu aku miliki, maka hal itu
lebih aku senangi dari pada unta yang bagus. (Yang pertama) Ketika Rasulallah
saw. meninggalkannya (meninggalkan ‘Ali ra) didalam salah satu peperangannya,
maka ia (‘Ali ra) berkata; ‘Wahai Rasulallah, mengapa engkau tinggalkan aku
bersama kaum wanita dan anak-anak kecil ?’.
Pada
waktu itu aku (Sa’ad Ibnu Abi Waqqash) mendengar Rasulallah saw. bersabda; ‘
Apakah engkau tidak cukup puas jika engkau disisiku seperti Harun disisi Musa?,
hanya saja tidak ada kenabian sepeninggalku.’ [HR.Bukhori, Muslim, Turmduzi
--pen]. (Yang kedua) Dan aku pun mendengar beliau bersabda pada hari Khoibar; ‘Aku
akan berikan panji-panji ini pada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya
dan ia pun dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya’. Pada waktu itu kami
sama-sama penuh berharap (agar dipilih oleh Nabi saw.), tetapi beliau saw.
bersabda ; ‘Panggilkan ‘Ali kepadaku’ ! ‘Ali ra dihadapkan pada
beliau saw. sedang ia sakit kedua matanya. Nabi saw. meludah pada mata ‘Ali
kemudian beliau saw. memberikan panji-panji perang padanya sehingga Allah swt.
memberi kemenangan kepadanya [Sahih Bukhari jilid 4 hal. 30/207,dll.]. (Yang
ketiga) Ketika Allah swt. menurunkan ayat Marilah kita panggil
anak-anak kami dan anak-anak kamu….. sampai akhir ayat Mubahalah
Aal-Imran:6--pen. maka Rasulallah saw. memanggil
‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, kemudian beliau saw. berdoa: ‘Ya Allah,
mereka adalah keluargaku’ “. (dikutip dari kitab At-Taaj Al-Jaami’ Lil
Ushuuli Fii Ahaadiitsir Rasuuli jilid 3 hal.709 cet. pertama th.1994 oleh Syeikh Manshur Ali
Nashif Al-Husaini diterbitkan oleh CV Asy-Syifa’
Semarang)
Dalam
kitab yang sama diatas, pada halaman 708, dikemukakan sebuah hadits
diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim dari Sahal Ibnu Sa’ad ra
yang mengatakan:
“Ketika
kota Madinah dipimpin oleh seorang dari keluarga Marwan (baca:
Marwan Ibnu Hakam), maka sang penguasa memanggil Sahal Ibnu Sa’ad dan
menyuruhnya untuk mencaci maki ‘Ali. Ketika Sahal tidak mau melakukannya,
maka sang penguasa berkata kepadanya; ‘Jika engkau tidak mau mencaci-maki
‘Ali, maka katakan semoga Allah swt mengutuk Abu Thurab’. Kata Sahal; ‘Bagi
‘Ali tidak ada suatu nama yang disenangi lebih dari pada nama Abu Thurab
(panggilan Rasulallah saw. kepada Imam ‘Ali ra—pen.), dan ia amat bergembira
jika dipanggil dengan nama itu’…sampai akhir hadits’ “.
Dan
masih banyak lagi riwayat tentang pelaknatan, pencacian terhadap Imam
‘Ali ra dan penyiksaan kepada para pendukung dan pencinta ahlul-Bait yang tidak
kami cantumkan disini.
Keadaan
seperti itu berlangsung selama masa kekuasaan Daulat Bani Umayyah,
kurang lebih satu abad, kecuali beberapa tahun saja selama kekuasaan berada
ditangan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz ra. Kehancuran daulat Bani Umayyah diujung
pedang kekuatan orang-orang Bani ‘Abbas, ternyata tidak menghentikan gerakan
kampanye ‘anti Ali dan anak-cucu keturunannya’. Demikianlah yang terjadi
hampir selama kejayaan Daulat ‘Abassiyyah, lebih dari empat abad !
Dengan
adanya perpecahan politik, peperangan-peperangan diantara sesama kaum muslimin
yang tersebut diatas hingga runtuhnya daulat ‘Abbasiyyah, tidak hanya
memporak-porandakan kesatuan dan persatuan ummat Islam, tetapi juga tidak
sedikit merusak ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya. Berbagai macam pandangan,
pemikiran dan aliran serta faham bermunculan. Hampir semuanya tak ada yang
bebas dari pengaruh politik yang menguasai penciptanya. Yang satu
menciptakan ajaran-ajaran tambahan dalam agama untuk lebih memantapkan tekad
para pengikutnya dalam menghadapi lawan. Yang lain pun demikian pula,
menafsirkan dan mentakwilkan nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. sampai
sesuai dengan prinsip pandangan mereka untuk membakar semangat para pengikutnya
dalam menghadapi pihak lain yang dipandang sebagai musuh. Belum lagi
persaingan dikalangan intern masing-masing, sehingga bukan hanya
golongan-golongan, paham dan aliran saja yang bermunculan, melainkan
bermunculan juga berbagai macam sekte atau sempalan dari masing-masing
golongan (baca “Sejarah Islam Dari Andalus Sampai Indus”,
hal.114-149, penerbit Pustaka Jaya, Jakarta)
Permusuhan
tiga pihak yang tersebut diatas itulah yang secara pokok mewarnai sikap kaum
muslimin terhadap ahlul-bait Rasulallah saw.. Selama kurun waktu
kekuasaan daulat Bani Umayyah dan daulat Bani ‘Abasiyyah
khususnya selama kekuasaan daulat bani Umayyah sukar sekali dibayangkan adanya kebebasaan
dan keleluasaan menuturkan hadits-hadits Rasulallah saw. tentang
ahlul-bait beliau saw, apalagi berbicara tentang kebijakan adil yang dilakukan
oleh Amirul Mu’minin ‘Ali bin Abi Thalib ra. dimasa lalu. Itu merupakan hal
yang tabu.
Banyak
tokoh-tokoh masyarakat yang pada masa itu sengaja menyembunyikan hadits-hadits
Nabi yang berkaitan dengan ahlul-bait beliau saw., atau tidak meriwayatkan
hadits-hadits dari ahlul-bait beliau saw. (yakni Imam ‘Ali, Al-Hasan,
Al-Husain [ra] dan anak cucu keturunan mereka). Ada sebagian dari mereka yang
sengaja melakukan dengan maksud politik untuk ‘mengubur’ nama-nama
keturunan Rasulallah saw., tetapi banyak juga yang menyembunyikan hadits-hadits
demikian itu hanya dengan maksud membatasi pembicaraannya secara
diam-diam, demi keselamatan dirinya masing-masing.
Disamping tiga
cara tersebut, ada juga yang menempuh cara lain dan tidak kurang buruknya,
yaitu mengubah dan mengganti kalimat hadits dari sumber aslinya (yaitu
ucapan Rasulallah saw. atau ucapan keluarga beliau saw.). Kita ambil contoh
sebuah hadits yaitu Hadits Al-Kisa. Sumber pertama/aslinya hadits ini
diriwayatkan oleh isteri beliau sendiri yang bernama Ummu Salamah ra..
Ia menuturkan peristiwanya atas dasar kesaksiannya sendiri sebagai berikut:
“Pada
suatu hari Rasulallah saw. berada ditempat kediamanku bersama ‘Ali, Fathimah,
Hasan dan Husain. Bagi mereka kubuatkan khuzairah (makanan terbuat dari
tepung gandum dan daging). Usai makan mereka tidur, kemudian Rasulallah
menyelimutkan diatas mereka Kisa (jenis pakaian yang lebar) atau qathifah
(semacam kain halus). Beliau lalu berdo’a: ‘Ya Allah, mereka itulah
ahlu-baitku, hilangkanlah kotoran dari mereka dan sucikanlah mereka
sesuci-sucinya”. (HR. At-Thabari didalam ‘Tafsir-nya’).
Penuturan
Ummu Salamah ra diatas ini diriwayatkan juga oleh sumber-sumber lain
dengan beberapa perubahan kalimat dan tambahan pada bagian terakhir kalimat
(yaitu setelah akhir kalimat ‘mereka sesuci-sucinya’), contohnya
berikut ini:
-
Ketika itu Ummu Salamah bertanya:‘Apakah aku tidak termasuk mereka’? Rasulallah
saw. menjawab: ‘Engkau berada dalam kebajikan’ .
-
Ada pula hadits semakna dengan tambahan pada bagian akhir kalimat sebagai
berikut: Ummu Salamah ra bertanya: ‘Aku, ya Rasulallah, apakah aku tidak
termasuk ahlul-bait’? Rasulallah saw. menjawab: ‘Engkau beroleh
kebajikan, engkau termasuk isteri-isteri Nabi’.
-
Hadits semakna yang lain lagi dengan tambahan kalimat terakhir: Ummu Salamah
berkata: ‘Ya Rasulallah, masukkan aku bersama mereka’. Rasulallah saw.
menjawab: ‘ Engkau termasuk ahliku (ahlu-baitku)’.
-
Hadits semakna juga dengan tambahan kalimat terakhir sebagai berikut:
Ummu
Salamah bertanya : ‘Apakah aku bersama mereka?’ Rasulallah saw.
menjawab: ‘Engkau berada ditempatmu, engkau berada dalam kebajikan’.
-
Hadits semakna juga yang agak panjang, dengan tambahan kalimat terakhir sebagai
berikut: Ummu Salamah bertanya: ‘ya Rasulallah, dan aku’?...Demi Allah,
beliau saw. tidak menjawab; ’Ya’. Beliau saw. menjawab: ‘Engkau beroleh
kebajikan’”.
Demikianlah
kita mengetahui dengan jelas, hadits-hadits tersebut diatas ada kesamaan
dalam menyebutkan Imam ‘Ali, Fathimah Az-Zahra, Al-Hasan dan Al-Husain [ra] sebagai
ahlu-bait Rasulallah saw.. Akan tetapi dalam “apakah Ummu Salamah (isteri
Nabi saw) termasuk ahlu-bait Rasulallah saw”. tidak terdapat kesamaan! Ada
yang akhir kalimatnya menegaskan, ‘Engkau berada dalam kebajikan’ ; ada yang
menegaskan, ‘Engkau dalam kebajikan, engkau termasuk isteri-isteri Nabi saw.’ ;
ada lagi yang menegaskan ‘Engkau termasuk ahliku (ahlu-baitku)’ ; ada lagi yang
menegaskan ‘Engkau berada di tempatmu, engkau berada dalam kebajikan’ ; dan
masih ada yang menegaskan ‘ Engkau beroleh kebajikan’. (lihat Tafsir At-Thabari
jilid XXII ; 5,6,7,8 ; Tuhfatul-Ahwadzi jilid IX ;66 dan Keutamaan Keluarga
Rasulallah saw. oleh K.H.Abdullah bin Nuh).
Perbedaan
kedudukan isteri Nabi saw. Ummu Salamah ra yang diriwayatkan oleh hadits-hadits
diatas masih tidak seberapa menyolok. Sebab bagaimana pun, juga isteri Nabi
saw. adalah termasuk keluarga beliau saw., kendati tidak disebut ‘ahlul-bait’.
Yang sangat menyolok dan mengejutkan ialah hadits semakna yang
memasukkan orang lain kedalam ahlu-bait Rasulallah saw.!! Marilah kita
teliti hadits berikut ini:
“Abu
‘Ammar berkata: ‘Aku duduk dirumah Watsilah bin Al-Asqa bersama beberapa
orang lain yang sedang membicarakan ‘Ali ra dan mengecamnya. Ketika
mereka berdiri (hendak meninggalkan tempat) Watsilah segera berkata:
‘Duduklah, kalian hendak kuberitahu tentang orang yang kalian kecam itu’ (Imam
‘Ali ra). Disaat aku sedang berada di kediaman Rasulallah saw. datanglah ‘Ali,
Fathimah, Hasan dan Husain. Beliau kemudian melemparkan Kisa’nya (jenis
pakaian yang lebar) kepada mereka seraya bersabda: ‘Ya Allah, mereka ini
ahlu-baitku. Ya Allah, hapuskanlah kotoran dari mereka dan sucikanlah mereka
sesuci-sucinya’. Aku (Watsilah) bertanya: ‘Ya Rasulallah, bagaimanakah
diriku’? Beliau menjawab: ‘Dan engkau’! Watsilah bin Al-Asqa’
melanjutkan kata-katanya: ‘Demi Allah, bagiku peristiwa itu merupakan kejadian
yang sangat meyakinkan’ “. (Hadits ini tercantum dalam Tafsir At-Thabari
jilid XXII : 6, yaitu hadits dari Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dakkain. Ia
menerimanya dari ‘Abdussalam bin Harb. ‘Abdussalam menerimanya dari Kaltsum
Al-Muharibi yang menerimanya dari Abu ‘Ammar).
Dari
semua hadits tersebut diatas yang semakna tapi berbeda kalimatnya pada akhir
hadits itu, dapat ditarik pengertian adanya tiga maksud yang hendak
dicapai oleh para perawinya:
Pertama:
Para perawi semua sepakat bahwa Imam ‘Ali, Siti Fathimah, Al-Hasan dan
Al-Husain [ra] adalah ahlu-bait Rasulallah saw.
Kedua:
Diantara para perawi tersebut ada yang memasukkan isteri Nabi saw. kedalam ahlu-bait
Rasulallah saw. dan ada yang tidak.
Ketiga:
Ada pula diantara para perawi yang hendak memasukkan orang lain
(pengikut Nabi saw.) kedalam pengertian ‘ahlul-bait’. (mengenai makna
ahlul-bait silahkan baca halaman selanjutnya)
Periwayatan para perawi yang berbeda-beda dari peristiwa/kejadian
yang sama itu menunjukkan dengan jelas, bahwa “kelainan tidak
terletak pada peristiwanya, melainkan pada orang-orang yang meriwayatkannya (para
perawi)”. Sadar atau tidak sadar masing-masing terpengaruh oleh suasana
persilangan sikap dan pendapat akibat pertikaian politik masa lalu dan
permusuhan antar golongan diantara sesama ummat Islam. Kenyataan yang
memprihatinkan itu mudah dimengerti, karena ,menurut riwayat, pencatatan atau pengkodikasian hadits-hadits baru dimulai orang
kurang lebih pada tahun 160 Hijriah, yakni setelah keruntuhan kekuasaan
daulat Bani Umayyah dan pada masa pertumbuhan kekuasaan daulat
‘Abbasiyyah.
Masalah hadits merupakan masalah yang sangat pelik dan rumit.
Kepelikan dan kerumitannya bukan pada hadits itu sendiri, melainkan pada
penelitian tentang kebenarannya. Identitas para perawi sangat menentukan,
apakah hadits yang diberitakan itu dapat dipandang benar atau tidak. Untuk
meyakini kebenaran hadits-hadits Rasulallah saw., ada sebagian orang-orang dari
keturunan ahlul-bait Nabi saw., dan para pengikutnya menempuh jalan yang
dipandang termudah yaitu menerima dan meyakini kebenaran hadits-hadits yang diberitakan
oleh orang-orang dari kalangan ahlul-bait sendiri.
Cara demikian ini dapat dimengerti, karena bagaimana pun juga
orang-orang dari kalangan ahlul-bait pasti lebih mengetahui peri kehidupan
Rasulallah saw., mereka ini lebih menyadari kewajiban menjaga kemuliaan
martabat dan kedudukannya ditengah kaum muslimin. Mereka ini tinggal seatap
dengan beliau saw., sejak kecil hingga dewasa. Mereka ini adalah
orang-orang yang langsung berada dibawah asuhan Rasulallah saw., langsung ber
oleh pendidikan dan pengajaran dari beliau saw. Kita tidak sukar
membayangkan bagaimana hasil asuhan, pendidikan dan pengajaran yang di
berikan oleh seorang Sayyidul-Anbiya wal Mursalin Muhammad saw.. Mereka adalah
orang-orang yang besar ketakwaannya kepada Allah swt., membentang tangan untuk
beramal kebajikan sebanyak-banyaknya dan menjaga keluhuran akhlak dan budi
pekerti. Ini bukan sebagai pengkultusan dan bukan pula pendewa-dewaan jika
orang mengatakan, bahwa diantara para ahlu-bait Rasulallah saw.
-sesudah Rasulallah saw- Imam 'Ali bin Abi Thalib ra yang paling terkemuka
pengetahuan tentang agama Islam. Ini tidak aneh, karena beliau berada dalam
jajaran pertama diantara para ahlul-bait beliau saw.. Beliau saudara misan
Rasulallah saw, putera asuhan dan anak didik Rasulallah saw. dan
sebagai mantu beliau saw..
Beliau tidak pernah absen (kecuali dalam perang Tabuk, dan itu
atas permintaan Rasulallah saw.) dalam semua peperangan membela agama Allah dan
Rasul-Nya. Beliau tidak hanya seorang yang terluas dan terdalam pengetahuan
agamanya dan pengetahuan mengenai bahasa Arab, tetapi beliau juga seorang
pendekar dan panglima perang yang paling disegani dan ditakuti lawan. Wajarlah
jika mereka itu dipandang sebagai sumber berita-berita hadits yang benar dan
dapat dipercaya! Demikianlah pandangan para pengikut dan pencinta ahlul-bait
Rasulallah saw. pada mulanya.
Dalam perkembangan zaman-zaman berikutnya, karena para pengikut
dan pencinta ahlul-bait teus-menerus dimusuhi oleh hampir semua kekuatan
pendukung Bani Umayyah dan Bani ‘Abbas, mereka merasa perlu menyusun kekuatan
untuk mempertahankan kelestarian hidupnya. Makin keras pengejaran dan
penindasan yang dialami para pengikut dan pencinta ahlu-bait Nabi saw., mereka
makin keras berusaha mengkonsolidasi kekuatan, baik mental maupun fisik. Untuk
mengimbangi ekstremitas pihak-pihak yang membenci dan mengejar-ngejar
mereka, pada akhirnya ada sebagian para pengikut dan pencinta ahlu-bait
Nabi saw. yang terperosok pula kedalam ekstremitas yang sama,
khususnya dalam hal mengkultuskan pemimpin-pemimpin mereka dari kalangan
Ahlul-Bait Rasulallah saw.. Mereka menciptakan teori ajaran tambahan
dalam agama Islam untuk membajakan semangat dan kesetiaan kepada ahlul-bait, diluar
pengetahuan Imam-imam mereka (dari ahlul-bait) yang telah wafat.
Lebih jauh lagi para pengikut dan pencinta ahlul-bait Rasulallah
saw. yang ekstremitas sama sekali tidak mau menerima penafsiran
apa pun atau hadits apa pun yang diriwayatkan oleh pihak selain pihak
ahlul-bait Rasulallah saw.. Demikianlah pula sebaliknya, pihak lawan pun yang
ekstremitas tidak mau menerima penafsiran dan hadits apa pun yang
diberitakan oleh pencinta dan pengikut ahlul bait itu. Hadits yang
bersumber dari Imam ‘Ali bin Thalib ra pun kadangkala masih mereka tolak,
kecuali yang diberitakan oleh ‘Abdullah bin Mas’ud ra. dan rekan-rekannya.
Demikianlah sekelumit sejarah Islam mengenai ahlul-bait pada zaman Bani Umayyah
dan Bani Abbassyiyah.
Lepas dari itu semua, yang sudah
pasti Bani Umayyah dan Bani ‘Abbas itu sudah punah, tapi rupa-rupanya pengaruh
politiknya masih berpengaruh sampai zaman kita sekarang, karena sampai detik
ini jarang sekali di kumandangkan atau dikenal merata oleh kaum muslimin
hadits-hadits mengenai keturunan/nasab (Ahlul-Bait) Rasulallah saw. ini,
walaupun sudah banyak dalil-dalil yang gamblang dan jelas baik dari firman
Allah swt. atau hadits shohih Nabi saw. mengenai ahlul-bait dan keturunan
beliau saw.
Ada sebagian dari golongan ulama
yang memutar balik atau menggeser (mentakwil) makna hadits-hadits mengenai
ahlul-bait beliau saw. hadits tsaqalain, Safinah dll. hanya berdasarkan pemikiran mereka sendiri dari segi dan istilah
bahasa atau dari bidang ilmu atau ketaqwaan, bukan
berdasarkan hujjah/dalil dari sunnah Rasul saw.. Ada lagi yang tidak mau
menerangkan atau sengaja menyembunyikan riwayat-riwayat mengenai keutamaan
ahlul-bait dan keturunannya. Yang lebih jauh dan aneh, ada orang yang masih
meragukan dan mengatakan seenaknya sendiri tanpa berdalil sunnah Rasulallah
saw. bahwa keturunan Nabi saw. atau cucu Rasulallah saw. semuanya tidak ada,
sudah punah dan telah terbantai semuanya pada waktu peperangan antara
Sayidina Husain bin Ali bin Abi Thalib dan pengikutnya [ra] dengan golongan
Yazid bin Muawiyyah di Kerbala. (Mengenai peperangan di Kerbala bagi
orang yang ingin membaca sejarahnya lebih mudahnya silahkan baca buku
dalam bahasa Indonesia yang berjudul Husain bin Ali r.a. Pahlawan Besar dan
kehidupan islam pada zamannya oleh H.M.H ALHAMID AL-HUSAINI
dan tulisan beliau mengenai pribadi-pribadi ahlul-bait Rasulallah saw
[imam Ali, Sayidah Fathimah, Imam Ali Zainal Abidin dan lain
sebagainya] ).
Begitu juga ada golongan pengingkar ini mengatakan bahwa
kita semua keturunan Nabi Adam as., jadi tidak ada perbedaan antara
keturunan Rasulallah saw. dengan keturunan lainnya, kecuali orang yang paling
bertakwa dan sebagainya. Padahal
masalah kemuliaan nasab keturunan keluarga Rasulallah saw. banyak dikemukakan
dalam hadits shohih. Kalau memang benar omongan golongan pengingkar ini, kita
ingin bertanya; Apa kekhususan atau keistemewaan ayat Ilahi dan
hadits-hadits yang akan kami kutip berikut ini dan masih banyak hadits
yang tidak tercantum dihalaman ini yang diakui juga oleh para pakar
hadits tentang kemuliaan, keutamaan Rasulallah saw, Ahlul-Bait dan
keturunannya, kalau semuanya ini sama?! Kami berlindung pada
Allah swt. atas kebohongan golongan ini.
Ada lagi karena tidak senang
atau dengki kepada keturunan Nabi saw. berani mengatakan dengan konkrit
bahwa keturunan ini telah putus dan tidak ada sama sekali atau
masih belum konkrit adanya nasab tersebut. Omongan mereka ini menjiplak omongan
orang kafir Quraisy kepada Rasulallah saw. waktu putra beliau saw. yang
terakhir wafat dan belum sempat memiliki keturunan.
Mendengar bisikan-bisikan golongan pengingkar ini kita teringat akan peristiwa
nyata pada masa-masa kelahiran agama Islam. Kisah ringkasnya seperti
berikut:
“Ketika putera
Rasulallah saw. yang bernama Qasim wafat dalam usia kecil, salah seorang
tokoh musyrikin Quraisy bernama ‘Ash bin Wa’il bersorak-sorak gembira.
Ia bersorak bahwa Rasulallah saw. tidak akan mempunyai keturunan lebih lanjut.
Ulah-tingkah dan ucapan ‘Ash bin Wa’il inilah yang menjadi sebab turunnya wahyu
Ilahi Surah Al-Kautsar kepada Rasulallah saw. Ayat terakhir surat
Al-Kautsar (uraian singkat ayat ini dihalaman berikutnya) telah menegaskan: ‘Sungguhlah,
orang yang membencimu itulah yang abtar (putus keturunan)’. Firman Allah
swt. terbukti dalam kenyataan yaitu: Keturunan Rasulallah saw. berkembang-biak
dimana-mana, sedangkan keturunan ‘Ash bin Wa’il putus dan hilang ditelan
sejarah” ! ‘Ash bin Wa’il sudah tiada bersisa, tetapi teriakannya masih
mengiang-ngiang ditelinga golongan pengingkar pembenci keturunan Rasulallah
saw. tersebut.
Bila Rasulallah saw.
tidak mempunyai keturunan, tentu beliau saw. tidak menantang kaum Nasrani,
Najran bermubahalah. Kisah peristiwanya terabadikan dalam Al-Qur’an surat Aali
‘Imran : 61 (baca keterangan singkat selanjutnya). Kecuali ini pun, Rasulallah
saw. tidak akan diperintah Allah swt. supaya berkata kepada kaum musyrikin
Quraisy: “Katakanlah (hai Muhammad) Aku tidak minta upah apa pun dari
kalian kecuali kasih sayang dalam (hubungan) kekeluargaan (yakni keluarga/ahlul-bait
Muhammad saw.)”. (Asy-Syura : 23). Ayat Asy-Syura ini turun untuk
keluarga Rasulallah saw. yakni Imam ‘Ali, Siti Fathimah Az-Zahra,
Al-Hasan dan Al-Husain [ra]. Kita bisa rujuk dalam:
Syawahidut Tanzil, oleh
Al-Hakim Al-Haskani Al-Hanafi jilid 2, hal.130, hadits ke 822 s/d 828 dan
hadits ke 832, 833, 834 dan 838 ; Ash-Shawa’iqul Muhriqah, oleh Ibnu Hajar
Asy-Syafi’i cet.Al-Maimaniyah, Mesir hal. 101,135 dan 136, dalam
cet.Al-Muhammadiyah, Mesir hal. 168 dan 225 ; Tafsir Ath-Thabari jilid 25,
hal.25 cet.ke 2 Mushthafa Al-Halabi, Mesir, hal.14 dan 15 cet.Al-Maimaniyah,
Mesir ; Manaqib Ali bin Abi Thalib oleh Ibnu Al-Maghazili Asy-Syafi’i hal.307
hadits ke 352 ; Dzhakhairul ‘Uqba oleh Ath-Thabari Asy-Syafi’i hal.25 dan 138 ;
Kifayah Ath-Thalib oleh Al-Kanji Asy-Syafi’i hal.91,93,313 cet.Al-Haidariyah,
hal.31,32,175,178 cet.Al-Ghira ; Al-Fushul Al-Muhimmah oleh Ibnu Shabagh
Al-Maliki hal.11 ; Ad-Durrul Mantsur oleh As-Suyuthi jilid 6 hal.7;
Al-Mustadrak Al-Hakim jilid 3 hal.172 ; Ihyaul Mayt oleh As-Suyuthi Asy-Syafi’i
(catatan pinggir) Al-Ittihaf hal.110 ; Tafsir Al-Qurthubi jilid 16 hal.22 ;
Tafsir Ibnu Kathir jilid 4 hal.112 ; Tafsir Fakhrur Razi jilid 27 hal.166
cet.Abdurrahman Muhammad, Mesir jilid 7 hal.405-406 ; Tafsir Al-Baidhawi jilid
4 hal.123, cet.Mushthafa Muhammad, Mesir, jilid 5 hal.53 cet.Darul Kutub, hal.
642 cet.Al’Utsmaniyah ; Tafsir An-Nasafi jilid 4, hal. 105 ; Majma’uz Zawaid
jilid 7, hal.103 dan jilid 9 hal. 168 ; Fathul Bayan fi Maqashidil Qur’an oleh
Shiddiq Al-Hasan Khan jilid 8 hal.372 ; Yanabi’ul Mawaddah oleh Al-Qundusi
hal.106,194,261 cet.Istanbul, hal.123,229,311 cet.Al-Haidariyah ; Fathul Qadir
oleh Asy-Syaukani jilid 4 hal.537 cet.kedua, jilid 4 hal.22 cet.pertama,
Mesir…Dan masih banyak lagi yang tidak saya cantumkan disini.
Memandang ahlulbait dan keturunan
Rasulallah saw. sebagai orang-orang yang mulia sama sekali tidak mengurangi
makna atau arti firman Allah swt. dalam surat Al-Hujurat : 13 berikut ini:
يَآ
اَيُّهَا النَّـاسُ إنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَّ أنْثىَ وَجَعَلنَاكُمْ شُعُوبًا وَّ قَبَآئِل َلِـتَعَارَفُوْا, إنَّ أكْرَمَكُمْ عِنْدَ
اللهِ أتقَاكُم
Artinya: “Wahai manusia
sesungguhnya Kami menciptakan kamu laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kalian terhadap Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu “.
Dan tidak pula mengurangi makna
sabda Rasulallah saw. yang mengatakan : “Tiada kelebihan bagi orang Arab
atas orang bukan Arab (‘ajam), dan tiada kelebihan bagi orang bukan Arab
atas orang Arab kecuali karena taqwa”.
Begitu juga firman Allah Al-Hujurat
: 13 dan hadits Rasulallah saw. diatas ini tidak bertentangan dengan surat
Al-Ahzab : 33 yang menegaskan :
إنَّمَا
يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ
تَطْهِيْرًا
Artinya: “Sesungguhnya Allah
hendak menghapuskan noda dan kotoran (ar-rijsa) dari kalian, ahlul-bait,
dan mensucikan kalian sesuci-sucinya”
Kemuliaan yang diperoleh seorang
beriman dari kebesaran taqwanya kepada Allah dan Rasul-Nya adalah kemuliaan
yang bersifat umum, yakni hal ini dapat diperoleh setiap orang
yang beriman dengan jalan taqwa. Lain halnya dengan kemuliaan ahlul-bait dan
keturunan Rasulallah saw. Mereka memperoleh kemuliaan berdasarkan kesucian yang
dilimpahkan dan dikaruniakan Allah swt. kepada mereka sebagai keluarga dan
keturunan Rasulallah saw. Jadi kemuliaan yang ada pada mereka ini bersifat khusus,
dan tidak mungkin dapat diperoleh orang lain yang bukan ahlul-bait dan bukan
keturunan Rasulallah saw..
Akan tetapi itu bukan berarti bahwa
keturunan Rasulallah saw. tidak diharuskan bertaqwa kepada Allah dan Rasul-Nya.
Malah sebaliknya, Allah swt. berfirman dalam surat Al-Ahzab:30-31 bahwa bila
mereka (ahlul-bait) berbuat maksiat akan dilipatkan dua kali dosanya dan
bila mereka berbuat kebaikan akan dilipatkan dua kali pahalanya. Dengan
memperbesar ketaqwaan pada Allah dan Rasul-Nya mereka ini memperoleh dua
kemuliaan yaitu kemuliaan khusus dan kemuliaan umum. Sedangkan
orang-orang selain mereka ini dengan ketaqwaan kepada Allah dan Rasul-Nya hanya
memperoleh kemuliaan umum. Itulah yang membedakan martabat kemuliaan
ahlul-bait dan keturunan Rasulallah saw. dengan martabat kemuliaan orang-orang
selain ahlul-bait dan keturunan Rasulallah saw.. Ketinggian martabat yang di
berikan Allah swt. kepada mereka (ahlul-bait) ini merupakan penghargaan
Allah swt. kepada Rasul-Nya junjugan kita Muhammad saw..
Begitu pun juga kemuliaan para sahabat
yang setia dan patuh pada Nabi saw. Allah swt. telah menyatakan pujian dan
penghargaan-Nya atas kesetiaan mereka kepada Allah swt. dan Rasul-Nya
serta keikhlasan mereka dalam perjuangan menegakkan kebenaran Allah swt.
dimuka bumi. Hal ini diungkapkan dalam firman-firman Allah swt. (Aali Imran ;
110 ; Al-Baqarah ; 143 ; At Tahrim ; 8 ; Al-Fath ; 18 ; At-Taubah ; 100 ;
Al-Anfal : 64 dan lain-lain).
Keturunan nabi saw. merupakan
orang-orang yang memiliki fadhilah dzatiyyah (keutamaan dzat) yang
dikaruniakan Allah swt. kepada mereka melalui hubungan darah/pertalian nasab
dengan manusia pilihan Allah swt. dan paling termulia Rasulallah saw. Jadi
bukan pilihan atau maunya mereka sendiri untuk menjadi keturunan
nabi saw. dan bukan berdasarkan fadhilah pengamalan baik mereka
melainkan telah menjadi qudrat dan kehendak Ilahi sejak mula.
Karena itu tidak ada alasan apapun untuk merasa iri hati,dengki terhadap
keutamaan mereka. Hal inilah justru yang dipertanyakan Allah swt. dalam
firman-Nya:
اَمْ يَحْسُدُوْنَ النَّاسَ عَلَى مَا آتَاهُمُ اللهُ
مِنْ
فَضْلِهِ
Artinya:
“..Ataukah (apakah)
mereka (orang-orang yang dengki) merasa irihati (hasut) terhadap orang-orang
yang telah diberi karunia oleh Allah “ (An-Nisa’ : 54)
Orang-orang yang dihasuti dan yang
diberi karunia dalam ayat tersebut adalah Keturunan/Ahlul Bait Rasulallah saw.
silahkan rujuk:
Syawahidut Tanzil, oleh Al-Hakim
Al-Haskani Al-Hanafi, jilid 1, hal.143 hadits ke 195, 196,197,198;
Manaqib Al-Imam Ali bin Abi Thalib, oleh Al-Maghazili Asy-Safi’I, hal.467
hadits ke 314 ; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, hal.142, 328
dan 357 cet, Al-Haidariyah hal.121, 274 dan 298, cet.Istanbul ;
Ash-Shawa’iqul Muhriqah, oleh Ibnu Hajar Asy-Syafi’i, hal.150 cet.Al-
Muhammadiyah, hal. 91 cet. Al-Maimaniyah, Mesir ; Nurul Abshar
oleh Asy-Syablanji hal.101, cet.Al-'Utsmaniyah, hal.102 cet.As-
Sa’idiyah ; Al-Ittihaf Bihubbil Asyraf, oleh Asy-Syibrawi Asy-Syafi’i, hal. 76
; Rasyafah Ash-Shadi, oleh Abu Bakar Al-Hadrami, hal. 37 ; Al-Ghadir, oleh
Al-Amini jilid 3, hal. 61 dan masih banyak lagi lainnya.
Juga fadhilah dzatiyyah yang dikaruniakan Allah swt. kepada para
keturunan Rasulallah saw. sama sekali tidak lepas dari rasa tanggung jawab mereka
yang lebih berat dan lebih besar daripada yang harus dipikul orang lain. Mereka
ini harus selalu menyadari kedudukannya ditengah-tengah ummat Islam. Mereka
wajib menjaga diri dari ucapan-ucapan, perbuatan dan sikap yang dapat
mencemarkan kemuliaan keturunan Muhammad Rasulallah saw. Mereka wajib pula
menyadari tanggung jawabnya yang lebih besar atas citra Islam dan ummatnya.
Dengan demikian maka kewajiban menghormati mereka yang dibebankan oleh
syari’at kepada kaum muslimin dapat diwujudkan dengan sebaik-baiknya. Tidak
akan ada kesan bahwa para keturunan Rasulallah saw. menonjol-nonjol diri
menuntut penghormatan dari orang lain, karena kaum muslimin yang menghayati
syari’at Islam pasti menempatkan mereka pada kedudukan sebagaimana yang
telah menjadi ketentuan syari’at. Kami rasa kemuliaan dan kedudukan mereka
perlu dipahami oleh kaum muslimin, terutama oleh orang-orang keturunan Ahlul
Bait sendiri sebagai pihak yang paling berkewajiban menjaga kemuliaan martabat
Rasulallah saw. dan Ahlul Bait beliau saw.
Al-Ustadz (gelar yang diberikan penduduk hadlramaut/yaman selatan untuk
As-Sayid Al-’Allamah Abdullah bin Alwi Al-haddad ra.) mengatakan dalam kitab An-Nashoih:
"Memuji dan menyanjung diri sendiri, membanggakan leluhur dari ahli
agama dan orang-orang utama dan juga menyombongkan nasab, semua itu merupakan
perbuatan tercela dan sangat buruk sekali. Banyak sekali keturunan orang mulia
yang tidak punya bashiroh dan tidak tahu hakikat agama, mendapat cobaan
seperti ini. Barangsiapa membanggakan nasab dan leluhurnya, seraya memandang
rendah kepada orang lain, maka dia akan kehilangan berkahnya para
leluhur...." (Is’adur-Rofiq juz II, hal.85).
Begitu juga suatu kesalahan atau kekeliruan tidak akan disorot oleh
masyarakat setajam kesalahan atau kekeliruan yang diperbuat oleh
orang-orang keturunan Ahlul-Bait. Apalagi pandangan masyarakat yang dengki atau
tidak senang dengan Ahlul-Bait, mereka ini akan lebih memperuncing dan
mempertajam kesalahan dan kekeliruan yang diperbuat oleh orang keturunan
Ahlul-Bait serta menyembunyikan hadits-hadits yang berkaitan dengan
kemuliaan mereka ini.
11.2.Dalil-Dalil Tentang Kewajiban Untuk Mencintai
Ahlul-Bait/Keturunan Rasulallah Saw.
Dalil dan fatwa para
ulama agar mencintai, memuliakan ahlul-bait/keturunan Rasulallah
saw.
Ayat Asy-Syura:23 yang telah kami kemukakan,
lazim dikenal dengan nama ayat mawaddah, memberi peringatan kepada kaum
muslimin, bahwa cinta kasih kepada ahlu-bait Rasulallah saw. adalah diminta
oleh beliau saw. Sesuatu yang diminta oleh beliau saw, hukumnya wajib, sebab permintaan
dalam hal seperti itu sama artinya dengan perintah yang diajukan dengan
rendah hati, kata-kata sopan dan halus. Selain itu berarti pula, permintaan
beliau mengenai itu mempunyai kedudukan hukum kuat, karena telah menjadi
ketetapan yang di firmankan Allah swt.
Para imam ahli tafsir
banyak membicarakan ayat tersebut, terutama mengenai kata al-qurba
(orang-orang terdekat), yakni keluarga, ahlul-bait, aal dan kerabat.
Sebagaimana telah kita ketahui makna umum dari kata tersebut adalah para
isteri Rasulallah saw., anak cucu beliau saw. dan kerabat beliau (orang-orang
Bani Hasyim) yakni mereka yang diharamkan menerima shodaqah. Sedangkan makna
khususnya dalam hal itu ialah sebagaimana yang dikatakan oleh Imam As-Suyuthi
dan lain-lain ialah Imam ‘Ali bin Abi Thalib ra, Siti Fathimah Az-Zahra
ra. dan dua orang puteranya, Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma.
Atas pertanyaan Thawus, Ibnu ‘Abbas ra,
menjawab bahwa yang dimaksud Al-qurba dalam ayat tersebut ialah ahlul-bait
Muhammad saw.
Al-Muqrizy
menafsirkan ayat al-mawaddah itu
sebagai berikut: “Aku tidak minta imbalan apa pun kepada kalian atas agama yang
kubawakan kepada kalian itu, kecuali agar kalian berkasih-sayang kepada keluargaku
(keluarga Rasulallah saw.)”.
Abul-‘Aliyah
mengatakan bahwa Sa’id bin Jubair ra. menafsirkan kata al-qurba dalam
ayat tersebut ialah Kerabat Rasulallah saw..
Abu Ishaq
mengatakan, ketika ia menanyakan makna al-qurba dalam ayat itu kepada
‘Amr bin Syu’aib ia beroleh jawaban, bahwa yang dimaksud ialah kerabat Rasulallah
saw.
Imam Zamakhsyari didalam Al-Kasy-syaf
sekaitan dengan penafsirannya mengenai ayat al-mawaddah itu, ia
mengetengahkan sebuah hadits panjang, yang kemudian dikutip oleh Imam
Al-Fakhrur-Razi didalam Al-Kabir. Hadits itu menuturkan bahwasanya
Rasulallah saw. mengingatkan ummatnya agar mencintai keluaga (aal) Muhammad
saw.: “Barangsiapa wafat dalam keadaan mencintai keluarga (aal)
Muhammad ia mati syahid. Sungguhlah, siapa yang wafat dalam keadaan mencintai
keluarga Muhammad, orang itu beroleh ampunan atas dosa-dosanya.. …dan
seterusnya” .
Minta imbalan atas
da’wah Risalah memang suatu hal yang tidak pada tempatnya, karena itu Allah
swt. menegaskan lagi dalam firman-Nya yang lain: “Katakanlah hai
Muhammad Aku tidak minta imbalan apa pun atas hal itu dakwah Risalah dan
aku bukan orang mengada-ada” (As-Shad:86)
Menurut penafsiran Al-Khatib dan Al-Khazin
makna kata minta dalam ayat Asy-Syura:23 tersebut harus ditafsirkan seruan,
yakni seruan Rasulallah saw. kepada ummatnya agar menjunjung tinggi dan
melaksanakan prinsip kekeluargaan dan kasih sayang diantara sesama kaum
muslimin, khususnya kasih sayang terhadap ahlu-bait beliau saw..
Ath-Thabrani dan lain-lain juga mengetengahkan beberapa hadits Nabi saw.
mengenai kecintaan kepada ahlu-bait Rasulallah saw. antara lain:
“Seorang hamba Allah
belum sempurna keimanannya sebelum kecintaannya kepadaku melebihi kecintaannya
kepada diri sendiri, sebelum kecintaannya kepada keturunanku melebihi
kecintaannya kepada keturunannya sendiri, sebelum kecintaannya kepada ahlu-baitku
(keluargaku) melebihi kecintaan kepada keluarganya sendiri dan sebelum
kecintaannya kepada dzat-ku melebihi kecintaan kepada dzat-nya sendiri”.
“Ahlu-baitku dan para pencintanya dikalangan
ummatku akan bersama-sama masuk surga seperti dua jari telunjuk ini”.
“Hendaklah kalian tetap
memelihara kasih-sayang dengan kami ahlu-bait sebab (pada hari kiamat kelak)
orang yang bertemu dengan Allah dalam keadaan mencintai kami akan masuk surga
dengan syafa’at kami. Demi Allah yang nyawaku berada ditangan-Nya, amal seorang
hamba Allah tidak bermanfaat baginya tanpa mengenal hak-hak kami”.
Ath-Tabrani dalam Al-Ausath mengetengahkan
hadits dari Ibnu ‘Umar ra. mengatakan: “Perkataan terakhir yang
diucapkan Rasulallah saw. adalah; ’Teruskanlah perlaku- an yang telah
kuberikan kepada ahlu-baitku’ ”.
Dari sumber yang sama, Ath-Thabrani
mengetengahkan hadits berikut:
“Allah swt.menetapkan tiga
hurumat (hal-hal yang wajib dihormati dan tidak boleh dilanggar).
Barangsiapa menjaga baik-baik tiga hurumat itu, Allah akan menjaga urusan
agamanya dan keduniannya. Dan barang siapa tidak mengindahkannya, Allah tidak
akan mengindahkan sesuatu baginya. Para sahabat bertanya: ‘Apa tiga hurumat
itu, ya Rasulallah’?. Beliau saw. menjawab: ‘Hurumatul -Islam, hurumatku dan
hurumat kerabatku’ ”.
Ath-Thabrani dalam Al-Ausath juga
meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Jabir bin Abdullah yang mengatakan, ia
mendengar sendiri dari Rasulallah saw. dalam suatu khutbah bersabda: “Hai
manusia, barangsiapa membenci kami, ahlu-bait, pada hari kiamat
Allah akan menggiringnya sebagai orang Yahudi”.
Abu Sa’id Al-Khudri ra meriwayatkan bahwasanya
ia mendengar Rasulallah saw. tegas berkata: “Orang yang membenci kami
ahlul-bait pasti akan di masukkan Allah kedalam neraka”.
Ad-Dailami mengetengahkan sebuah hadits,
bahwasanya Rasulallah saw. memberitahu ummatnya: “Barangsiapa yang hendak bertawassul
(berwasilah) dan ingin mendapat syafa’atku pada hari kiamat kelak, hendaklah ia
menjaga hubungan silatur-rahmi dengan ahlu-baitku dan berbuat
menggembirakan mereka”.
Dalam hadits lainnya Ad-Dailami
mengetengahkan berasal dari Imam ‘Ali kw. yang menuturkan: “Diantara kalian
yang paling mantap berjalan diatas sirath ialah yang paling besar kecintaannya
kepada ahlu-baitku dan para sahabatku ”.
Imam Ahmad bin Hanbal mengetengahkan sebuah
hadits bahwa Rasulallah saw. menuturkan: “Empat golongan yang akan memperoleh
syafa’atku pada hari kiamat: Orang yang menghormati keturunanku,
orang yang memenuhi kebutuhan mereka, orang yang berusaha membantu urusan
mereka pada saat diperlukan dan orang yang mencintai mereka dengan hati dan
lidahnya”. Dua buah hadits lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal
yaitu:
“Barangsiapa mencintaiku
dan mencintai keduanya itu yakni Al-Hasan dan Al-Husain serta mencintai
ibu dan bapak mereka yakni Siti Fathimah Az-Zahra dan Imam ‘Ali bin Abi Thalib
[ra] kemudian ia meninggal dunia sebagai pengikut sunnahku, ia bersamaku
didalam surga yang sederajat”.
“Pada hari kiamat aku
akan menjadi syafi’ (penolong) bagi empat golongan Yang menghormati keturunanku;
yang memenuhi kebutuhan mereka; yang berupaya membantu urusan mereka
pada waktu diperlukan dan yang mencintai mereka sepenuh hati”.
Imam Ahmad bin Hanbal mengetengahkan lagi hadits
marfu’, bahwasanya Rasulallah saw. telah menegaskan: “Siapa yang membenci
ahlul-bait ia adalah orang munafik”. Sekaitan dengan hadits ini Imam
Ahmad bin Hanbal mengetengahkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulallah saw. telah
menyatakan juga: “Surga diharamkan bagi orang yang berlaku dzalim
terhadap ahlu-baitku dan menggangguku melalui keturunanku”.
Sebuah hadits yang diketengahkan oleh Al-Hakim
dari Zaid bin Arqam ra. Rasulallah saw. menegaskan antara lain:
“…Mereka (Ahlu-Bait
beliau) adalah keturunanku, diciptakan dari darah-dagingku dan
dikarunia pengertian serta pengetahuanku. Celakalah orang dari ummatku
yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan hubungan denganku
melalui (pemutusan hubungan dengan) mereka. Kepada orang-orang seperti itu
Allah tidak akan menurunkan syafa’atku (pertolonganku)”.
Abu Sa’id didalam kitab Syarafuddin
Nubuwwah mengetengahkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulallah saw. berkata
kepada Siti Fathimah ra: “Hai Fathimah, engkau marah Allah marah, dan
engkau ridho (puas) Allah ridho”.
Al-‘allamah Ibnu Hajar dalam kitabnya Ash-Shawaiqul-Muhriqah
menerangkan sebagai berikut: “Barangsiapa mengganggu salah seorang
putera (Siti) Fathimah, ia akan menghadapi bahaya karena perbuatannya itu
membuat marah (Siti) Fathimah ra. Sebaliknya, barang siapa mencintai
putera-putera (termasuk keturunannya), ia akan memperoleh keridhoannya.
Para ulama Khawash (para ulama yang mempunyai keistemewaan khusus)
merasa didalam hatinya terdapat keistemewaan yang sempurna karena kecintaan
mereka kepada Rasulallah saw., dan ahlul-bait serta keturunannya atas
dasar pengertian, bahwa ahlul-bait dan keturunan beliau saw. adalah orang-orang
suci (dimuliakan oleh Allah swt.). Selain itu mereka (para ulama khawash) juga
mencintai anak-anak (keturunan) sepuluh orang (sahabat Nabi saw.)
yang telah dijanjikan masuk surga, disamping itu mereka (para ulama khawash)
juga mencintai anak-anak keturunan para sahabat Nabi yang lain. Mereka
memandang semua keturunan sahabat Nabi sebagaimana mereka memandang para
orang tua mereka.
Selanjutnya Ibnu Hajar
mengatakan: “Orang harus menahan diri jangan sampai mengecam mereka (ahlul-bait
dan keturunan Rasulallah saw.). Jika ada seorang diantara mereka yang berbuat
fasik berupa bid’ah (baca keterangan apa yang dimaksud Bid’ah dibuku
ini) atau lainnya, yang harus di kecam hanyalah perbuatannya, bukan dzatnya, karena dzatnya itu
merupakan bagian dari Rasulallah saw., sekali pun antara dzat beliau dan
dzat orang itu terdapat perantara (wasa’ith)”.
Semua pemimpin dan para ulama kaum Salaf
(generasi terdahulu) dan Khalaf (generasi belakangan/berikutnya) memupuk
kecintaan masing-masing kepada ahlu-bait Rasulallah saw.. Imam Bukhori didalam Shohihnya
mengetengahkan ucapan khalifah Abubakar ra.: “Jagalah baik-baik wasiat Muhammad
saw. mengenai ahlu-bait beliau”.
Khalifah Abubakar sendiri dengan tegas pernah
berkata: “Kerabat Rasulallah saw. lebih kucintai daripada kerabatku
sendiri”.
Al-Mala dalam kitab Sirah-nya mengetengahkan sebuah hadits
bahwasanya Rasulallah saw mewanti-wanti: “Wasiatkanlah kebajikan bagi
ahlu-baitku. Pada hari kiamat besok kalian akan kugugat mengenai ahlu-baitku.
Orang yang kelak menjadi lawanku ia menjadi lawan Allah dan siapa yang menjadi
lawan Allah ia akan dimasukkan kedalam neraka”.
Ibnu Taimiyyah seorang ulama yang diandalkan
juga oleh golongan pengingkar didalam kitabnya Risholatul-Furqan halaman
163 mengetengahkan pembahasan mengenai aal (ahlul-bait) Muhammad Rasulallah
saw. Banyak hadits shohih yang dikemukakan sebagai dasar dan sekaligus juga
sebagai dalil. Salah satu diantaranya ialah Hadits Tsaqalain (baca
hadits Tsaqalain—pada halaman lain—pen) yang diriwayatkan oleh Zaid bin Arqam
ra. Hadits ini oleh Ibnu Taimiyyah disebut dalam pembahasannya mengenai ta’rif
(definisi) aal Muhammad saw. Hadits tersebut ialah:
“..Dan kutinggalkan
kepada kalian dua bekal (berat). Yang pertama adalah Kitabullah,
didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang. Ambillah (terimalah) Kitabullah
itu dan berpeganglah teguh padanya… dan (yang kedua) ahlu-baitku. Kalian
kuingatkan kepada Allah mengenai ahlu-baitku...kalian kuingatkan kepada Allah
mengenai ahlu-baitku ! Kalian ku ingatkan kepada Allah mengenai ahlu-baitku”.
Dalam pembicaraannya mengenai hak-hak
ahlu-bait Rasulallah saw. dalam kitabnya yang berjudul Al-Washiyyatul-Kubra halaman 297, Ibnu
Taimiyyah mengatakan: “Demikianlah, para anggota keluarga (ahlu-bait)
Rasulallah saw. mempunyai beberapa hak yang harus dipelihara dengan baik oleh
umat Muhammad. Kepada mereka Allah swt. telah memberi hak menerima bagian
dari seperlima ghanimah (harta rampasan perang), yang
ketentuannya telah ditetapkan Allah swt. dalam Al-Qur’anul Karim
(S.Al-Anfal:41). Selain hak tersebut mereka juga mempunyai hak lain lagi, yaitu
hak beroleh ucapan shalawat dari ummat Muhammad saw., sebagaimana yang telah
diajarkan oleh beliau saw. kepada ummatnya, agar senantiasa berdo’a sebagai
berikut:
“Ya Allah limpahkanlah
sholawat kepada Muhammad dan kepada aal (ahlu-bait, keluarga) Muhammad,
sebagaimana yang telah Engkau limpahkan kepada Ibrahim dan aal Ibrahim.
Sesungguhnyalah Engkau Maha Terpuji lagi maha Agung. Berkatilah Muhammad dan
aal Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberkati Ibrahim dan aal Ibrahim”.
Sekaitan dengan hak atas ucapan sholawat yang
diperoleh aal atau ahlu-bait Rasulallah saw., Ibnu Taimiyyah
dalam kitabnya yang sama ini mengetengahkan sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Ka’ah bin Syajarah beberapa saat setelah surat Al-Ahzab : 56 turun. Kata
Ka’ah: “Kami para sahabat bertanya: ‘Ya Rasulallah, kami telah mengetahui
bagaimana cara mengucapkan salam kepada anda, tetapi bagaimanakah cara kami
mengucapkan sholawat kepada anda’? Rasulallah saw. menjawab: ‘Ucapkanlah: Ya
Allah, limpahkan lah sholawat kepada Muhammad dan kepada aal Muhammad’ ”.
Ibnu Taimiyyah mengemukakan juga hadits lain
yang berasal dari para sahabat Nabi saw, bahwasanya Rasulallah saw.
mengingatkan para sahabat nya: “Janganlah
kalian bersholawat untukku dengan sholawat batra, (yakni sholawat terputus
tanpa lanjutan). Para sahabat bertanya:
‘Ya Rasulallah, apakah yang dimaksud sholawat batra’?. Beliau saw. menjawab: ‘Kalian mengucapkan: ‘Ya
Allah limpahkanlah sholawat kepada Muhammad, lalu kalian berhenti disitu’ ! Ucapkanlah: ‘Ya Allah
limpahkanlah sholawat kepada Muhammad dan kepada aal Muhammad’ “. (Lihat Mahmud Syarqawi ‘Sayyidatu Zainab ra :21).
Ibnu Taimiyyah ini tidak berbeda pendapat
dengan Ibnul-Qayyim mengenai pengertian yang dimaksud aal Muhammad yaitu
semua orang yang di haramkan menerima shodaqah dan mempunyai hak atas
bagian dari seperlima ghanimah. Mereka ini adalah keturunan Rasulallah saw,
semua orang Bani Hasyim dan para isteri Rasulallah saw.
(Ummahatul-Mu’minin).
Didalam kitabnya yang lain yaitu Risalah Al-‘Aqidah
Al-Washithiyyah, Ibnu
Taimiyyah dalam menerangkan keyakinan kaum Ahlus-Sunnah dan mengecam kaum Rawafidh (kelompok sesat yang
mendewa-dewakan dan menuhankan Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw.) dan kaum Nawashib (kelompok sesat yang
memusuhi keluarga dan kerabat Rasulallah saw.), berkata antara lain: “Mereka
(kaum Ahlus-Sunnah) mencintai aal (ahlu-bait, keluarga) Rasulallah saw.
Mereka memandang aal beliau sebagai para pemimpin agama yang wajib
dihormati dan dijaga baik-baik kedudukan dan martabatnya. Itu sesuai dengan
wasiat yang diucapkan Rasulallah saw. di Ghadir Khum: ‘…Kalian kuingatkan kepada
Allah mengenai ahlu-baitku !’ (baca hadits Tsaqalain—pada halaman lain--pen).
Mengenai cinta kasih kepada aal Muhammad saw. yang wajib diberikan oleh kaum
muslimin, Ibnu Taimiyyah menyebut dua bait sya’ir dari Imam Syafi’i
rahimahullah:
“Hai ahlu-bait
Rasulallah, bahwa kecintaan kepada kalian
Kewajiban dari Allah
yang diturunkan dalam Al-Qur’an
Cukuplah bukti betapa
tinggi nilai martabat kalian
Tiada sempurna shalat
tanpa sholawat bagi kalian “
Setelah menunjuk beberapa kitab sebagai
rujukan dan menyebut juga be berapa hadits, Ibnu Taimiyyah menyebut jawaban
Rasulallah saw. kepada pamannya, Al-‘Abbas, ketika ia mengadu kepada beliau
adanya perlakuan kasar dari sementara orang terhadap dirinya. Dalam jawabannya
itu Rasulallah saw. menegaskan: “Demi Allah yang nyawaku berada ditangan-Nya, mereka tidak
akan masuk surga selama mereka belum mencintai kalian karena aku”.
Hadits semakna
disebut juga oleh Ibnu Taimiyyah, yaitu hadits yang diketengahkan oleh
Turmudzi, tercantum didalam Musnad Imam Ahmad bin Hanbal berasal dari Mutthalib
bin Rabi’ah yang menuturkan bahwa jawaban Rasulallah saw. kepada ‘Abbas ra.
ialah: “Demi Allah iman
tidak akan masuk kedalam hati seseorang selama ia belum mencintai kalian karena
Allah dan karena kalian itu kerabatku”! Konon beliau saw. mengucapkan jawaban
tersebut dalam keadaan wajah beliau tampak agak gusar.
Didalam kitabnya yang berjudul Darajatul-Yaqin
halaman 149, Ibnu Taimiyyah menyatakan: “Dalam kehidupan ummat manusia
tidak ada kecintaan yang lebih besar, lebih sempurna dan lebih lengkap daripada
kecintaan orang-orang beriman kepada Allah, Tuhan mereka. Di alam wujud ini
tidak ada apa pun yang berhak dicintai tanpa karena Allah. Kecintaan kepada apa
saja harus dilandasi kecintaan kepada Allah swt.. Muhammad saw. dicintai
ummatnya demi karena Allah, ditaati karena Allah dan di ikuti pun karena Allah.
Yakni sebagaimana yang difirmankan Allah swt. dalam Al-Qur’anul-Karim (S.Aali ‘Imran
: 31): ‘(Katakanlah hai Muhammad): Jika kalian benar-benar mencintai
Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian’ “!
Begitu juga sebagai
bukti tentang betapa hormat dan betapa besar kecintaan para sahabat Nabi kepada
ahlu-bait beliau saw, Ibnu Taimiyyah dalam Al-Iqtidha halaman 79
berkata: “Lihatlah ketika khalifah Umar ra. menetapkan daftar urutan pembagian
jatah tunjangan dari harta Allah (Baitul-Mal) bagi kaum muslimin. Banyak
orang yang mengusulkan agar nama Umar bin Al-Khattab ditempatkan pada urutan
pertama. Umar tegas menolak; ‘Tidak! Tempatkanlah Umar sebagaimana Allah
menempatkannya!’. Umar kemudian memulai dengan para anggota ahlu-bait
Rasulallah saw. Kemudian menyusul orang-orang lain hingga tiba urutan
orang-orang Bani ‘Adiy kabilah Umar ra sendiri. Mereka itu (para penerima
tunjangan) adalah orang-orang Quraisy yang sudah jauh terpisah hubungan
silsilahnya. Namun urutan seperti itu tetap dipertahankan oleh Khalifah
Umar dalam memberikan hak-hak tertentu kepada mereka. Pada umumnya ia lebih
mendahulukan orang-orang Bani Hasyim daripada orang-orang Quraisy yang
lain. Mengapa demikian?
Ibnu Taimiyyah
selanjutnya menjelaskan: Karena orang-orang Bani Hasyim adalah kerabat
Rasulallah saw., mereka diharamkan menerima shadaqah atau zakat, dan
hanya diberi hak menerima bagian dari seperlima jatah pembagian ghanimah.
Mereka adalah orang-orang yang termasuk dalam lingkungan ahlu-bait Rasulallah
saw. Dan ahlu-bait beliau adalah orang-orang yang dimaksud dalam firman Allah
swt. (Al-Ahzab : 33): “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak melenyapkan
kotoran (rijs) dari kalian, hai ahlul-bait, dan hendak mensucikan
kalian sesuci-sucinya”.
Karena shadaqah atau
zakat itu merupakan kotoran (dari harta orang lain), mereka diharamkan
menerimanya, dan sebagai gantinya mereka dihalalkan menerima bagian dari seperlima
pembagian ghanimah. Ibnu Taimiyyah mengetahui, bahwa dikalangan ummat Islam
terdapat dua pandangan terhadap cucu Rasulallah saw. Al-Husain ra..
Ada yang mencintainya sebagai ahlu-bait Rasulallah saw. dan ada pula yang
karena kepentingan kekuasaan mereka membencinya, bahkan memeranginya
turun-temurun.
Dalam sebuah Risalah khusus yang disusun
Ibnu Taimiyyah mengenai tragedi pembantaian Al-Husain ra. di Karbala oleh
pasukan daulat Bani Umayyah, ia (Ibnu Taimiyyah) berkata:
“Allah memuliakan Al-Husain
bersama anggota-anggota keluarganya dengan jalan memperoleh kesempatan gugur
dalam pertempuran membela diri, sebagai pahlawan syahid. Allah telah
melimpahkan keridhoan-Nya kepada mereka karena mereka itu orang-orang yang
ridho bersembah sujud kepada-Nya. Allah merendahkan derajat mereka yang
menghina Al-Husain ra. beserta kaum keluarganya. Allah menimpakan murka-Nya
kepada mereka dengan menjerumuskan mereka kedalam tingkah laku durhaka,
perbuatan-perbuatan dzalim dan memperkosa kehormatan martabat Al-Husain ra dan
kaum keluarganya, dengan jalan menumpahkan darah mereka. Peristiwa tragis yang
menimpa Al-Husain ra pada hakikatnya bukan lain adalah nikmat Allah yang
terlimpah kepadanya, agar ia beroleh martabat dan kedudukan tinggi
sebagai pahlawan syahid. Suatu cobaan yang Allah tidak memperkenankan
terjadi atas dirinya pada masa pertumbuhan Islam (yakni masa generasi pertama
kaum muslimin). Cobaan berat pun sebelum Al-Husain ra telah dialami langsung
oleh datuknya, ayahnya dan paman-pamannya (yakni Rasulallah saw., Imam Ali bin
Abi Thalib ra., Ja’far bin Abi Thalib ra dan Hamzah bin ‘Abdul Mutthalib ra)”.
Didalam kitabnya Al-Iqtidha halaman 144
Ibnu Taimiyyah tersebut lebih menekankan: “Allah melimpahkan kemuliaan besar
kepada cucu Rasulallah saw., Al-Husain ra, dan pemuda penghuni sorga bersama
keluarganya, melalui tangan-tangan durhaka. (Itu merupakan pelajaran)
musibah apa pun yang menimpa ummat ini (kaum muslimin) wajib mereka hadapi
dengan sikap seperti yang diambil oleh Al-Husain ra dalam menghadapi musibah”.
Ibnu Taimiyyah menyebut pula sebuah hadits
yang menerangkan bahwasanya Rasulallah saw. pernah berkata kepada para sahabat:
“Cintailah
Allah, karena Allah mengaruniai kalian berbagai nikmat, maka hendaknyalah
kalian mencintaiku karena kecintaan kalian kepada Allah, dan cintailah anggota-anggota
keluargaku (ahlu-bait dan keturunanku) demi kecintaan kalian kepadaku ”.
Demikianlah
Ibnu Taimiyyah dalam kitab-kitabnya yang tersebut diatas ini.
Syeikh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitabnya Jala’ul-Afham membicarakan
ahlubaitun-nubuwwah (keluarga para Nabi) secara menyeluruh. Mengingat
halaman dibuku ini, kami tidak menulis seluruhnya kutipan dari Syeikh Ibnu
Qayyim hanya sebagian saja yang berkaitan dengan kemuliaan keturunan
Rasulallah saw.. Ibnu Qayyim menulis dikitab tersebut diatas:
“Dari mulai nabi Ibrahim as.
hingga ahlu-bait Muhammad saw., keluarga silsilah keturunan Nabi Ibrahim as.
adalah keluarga-keluarga yang diberkati dan disucikan Allah swt. karena itu
mereka adalah silsilah keluarga yang paling mulia diantara semua ummat manusia.
Allah swt. berkenan menganugerahkan berbagai keistimewaan dan keutamaan kepada
mereka ini. Allah swt. telah menjadikan Nabi Ibrahim as. dan keturunannya
sebagai Imam (pemimpin) bagi seluruh ummat manusia sebagaimana firman Allah
swt. dalam surat Al-Baqarah:125. ‘Nabi Ibrahim dan putranya Ismail membangun
baitullah (rumah Allah) Ka’bah yang kemudian oleh Allah ditetapkan sebagai
kiblat kaum mu’minin dan untuk menunaikan ibadah haji’.
Begitu juga Allah swt. telah
memerintahkan semua orang yang beriman agar bersholawat pada Nabi Muhammad saw.
dan keluarga (aal) beliau seperti sholawat yang diucapkan bagi Nabi Ibrahim dan
keluarga (aal) beliau. Allah swt. telah menjadikan baitun nubuwwah
(keluarga Nabi Ibrahim as dan keturunannya hingga Nabi Muhammad saw. dan
keturunannya) sebagai ‘furqan’ (batas pemisah kebenaran dan kebatilan).
Bahagialah manusia yang mengikuti seruan dan jejak mereka dan celakalah mereka
yang memusuhi dan menentangnya.
Allah swt. telah menciptakan dua ummat
manusia terbesar didunia yaitu umat Musa as dan ummat Muhammad saw. sebagai
ummat-ummat terbaik dalam pandangan Allah, guna melengkapi jumlah 70 ummat yang
diciptakan-Nya. Allah swt. melestarikan kemuliaan baitun nubuwwah sepanjang
zaman dengan melalui disebut-sebutnya keagungan mereka dan keluarga
serta keturunan mereka, sebagaimana firman-Nya dalam surah Ash-Shaffat
:108-110.
Kesemuanya itu merupakan berkah
dan rahmat Allah swt. yang telah di limpahkan kepada baitun-nubuwwah.
Diantara mereka itu ada yang memperoleh martabat tinggi dan keutamaan-keutamaan
lain, seperti Nabi Ibrahim sebagai Khalilullah ; Nabi Isma’il diberi
gelar Dzabihullah , Nabi Musa didekatkan kepada-Nya dan dianugerahi
gelar Kalimullah, Nabi Yusuf dianugerahi kehormatan dan paras indah yang
luar biasa, Nabi Sulaiman dianugerahi kerajaan dan kekuasaan yang tiada
bandingnya dikalangan ummat manusia, Nabi Isa diangkat kedudukannya ke martabat
yang setinggi-tingginya dan Nabi Muhammad saw. diangkat sebagai penghulu
semua Nabi dan Rasul serta sebagai Nabi terakhir pembawa agama Allah, Islam.
Mengingat kemuliaan martabat baitun-nubuwwah yang dimulai
sejak nabi Ibrahim a.s. secara turun-temurun hingga Nabi Muhammad saw., maka
tidak lah mengherankan jika beliau saw. mewanti-wanti ummatnya supaya
menghormati, mengakui kemuliaan terhadap ahlubait dan keturunannya. Ini
bukan semata-mata hanya karena keagungan martabat beliau saw. sendiri sebagai
Nabi dan Rasul, melainkan juga karena kemuliaan baitun-nubuwwah yang
telah ditetapkan Allah swt. sejak Nabi Ibrahim a.s. Itulah rahasia besar
yang terselip didalam Hadits Tqalain dan hadits-hadits lainnya
yang berkaitan dengan kedudukan ahlubait keturunan Rasulallah saw.".
Demikianlah sebagian keterangan Syeikh Ibnu Qayyim dalam kitabnya Jala’ul-Afham
mengenai keutamaan baitun-nubuwwah.
Masih banyak lagi hadits
yang memberitakan pesan (wasiat) beliau saw. kepada ummatnya mengenai keluarga
dan keturunan beliau saw. setelah beliau saw. wafat. Tidak diragukan lagi,
cukup banyak hadits Nabi saw. membuktikan bahwa mencintai ahlu-bait (keluarga
atau aal) beliau saw. adalah wajib hukumnya. Menolak seruan beliau berarti
membangkang dan orang yang membangkang dalam hal agama ialah orang durhaka,
fasik dan fajir. Kita semua tahu bahwa dalam syari’at Rasulallah saw. mewajibkan
secara umum untuk mencintai sesama muslimin, menjaga hak-haknya dan saling do’a
mendo’akan. Bila ada orang yang melanggarnya maka dia akan mendapat
dosa.
“Mencintai sesama
muslimin itu sudah merupakan kebajikan yang harus ditaati apalagi
mencintai keturunan Rasulallah saw. malah lebih ditekankan lagi oleh
syari’at!! Bagaimanakah sekarang orang yang bersikap membenci, mendengki
atau mencerca Ahlu-bait Rasulallah saw.? Bagaimana pula jika
orang yang bersikap demikian itu mengaku dirinya beriman kepada Allah swt.
dan Rasul-Nya, Muhammad saw.?, jika dalam kenyataannya ia menusuk dan menyakiti
hati beliau saw. karena mencerca dan membenci keluarga dan keturunan beliau
saw. Mengingkari keutamaan mereka saja sudah merupakan kesalahan
besar, apalagi membenci dan melecehkan mereka !
Pernah juga di Indonesia berita yang
dimuat dikoran-koran beberapa silang waktu yang lalu pernyataan saudara Hasan
Basri bahwa Hasan bin Ali bin Abi Thalib tidak punya keturunan dan semua
keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib sudah dibantai di Karbala, pernyataan
seperti ini sering diutarakan pada hari ulang tahun Al-Irsyad. Pernyataan Hasan
Basri ini pernah ditanyakan oleh YAPI sumber dalil pernyataannya
tersebut tapi tidak
pernah terjawab. Pernyataan
seperti itu sudah tentu tidak ada dalilnya sama sekali baik secara aqli
(akal) maupun naqli (nash), tidak lain karena ketidak senangannya atau
kedengkian pada golongan ‘Alawiyyun (salah satu julukan keturunan Nabi
yang dari Hadramaut/Yaman Selatan), dan orang-orang semacam ini sangat bahaya
sekali karena bisa mengelabui atau menghancurkan kebenaran sejarah Islam.
Bila Ali bin Husain bin Ali bin Abi
Thalib ra. dianggap tidak ada dalam sejarah maka akan fiktif pula lah
teman-teman beliau seperti Az-Zuhri dan Sa’id bin Musayyab yang
kedua tokoh ini merupakan sumber banyak hadits sunni. Begitu juga kitab-kitab
hadits dan kitab-kitab fiqih serta sejarah Islam yang memuat banyak
nama-nama cucu dari sayyidina Hasan dan sayyidina Husain bin Ali bin Abi
Thalib, semuanya ini harus dihapus atau dibuang !
Begitu juga cucu keempat Rasulallah
saw. –Imam Ja’far Ash-Shodiq ra.– yang terkenal dalam sejarah dan dikenal oleh
empat Imam juga (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal [ra.] ) dan
pengikutnya, serta dikenal juga oleh semua madzhab baik itu Ahlus-sunnah Wal
jama’ah, Syiah, Zaidiyyah, Salafi/Wahabi dan lainnya. Cucu beliau yang
keempat ini banyak juga melahirkan tokoh-tokoh ulama besar Islam. Nama dan
nasabnya ialah Imam Ja’far Ash-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal
Abidin bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib kw. Beliau lahir tahun 80 H/699 M
dan wafat tahun 150 H/765M. Ibu beliau ialah cucu dari khalifah Abu Bakar ra.
yang bernama Ummu Farwah binti Al-Qasin bin Muhammad bin Abu Bakar As-Siddiq.
Menurut riwayat yang pernah berguru juga dengan Imam Ja’far ini yaitu Imam Abu
Hanifah (80-150 H/699-767M) dan Imam Malik bin Anas (93-179H/712-795M).
Kalau kita ziarah ke kuburan Baqi’
di Madinah maka disana akan kita dapati kuburan secara berurutan yang telah
dikenal baik dikalangan ulama-ulama pakar seluruh dunia maupun dikalangan ummat
muslimin yaitu kuburan Imam Hasan bin Ali bin
Abi Thalib, Imam Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, Imam
Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib kw.
dan kuburan Imam Ja’far As Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin
bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Segala sesuatu baik Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulallah saw. serta sejarah disampaikan melalui riwayat yang
ditulis oleh para perawi dan diteruskan serta dikembangkan oleh ulama-ulama
pakar baik dari zaman dahulu sampai akhir zaman nanti. Begitupun juga mengenai nasab
keturunan manusia banyak kita ketahui dengan melalui riwayat yang ditulis
dari zaman dahulu sampai akhir zaman. Karena semua itu anjuran agama agar
manusia selalu menulis hal-hal yang dianggap penting. Dengan adanya
riwayat-riwayat ini kita bisa mengenal sejarah Islam, datuk-datuk dan
keturunan Rasulallah saw., para Nabi dan Rasul lainnya, para sahabat dan
para tabi’in dan para ulama-ulama atau suku-suku lainnya !! Wallahu a’lam.
Marilah
kita rujuk lagi ayat Ilahi dan hadits Rasulallah saw. berikut ini yang
berkaitan dengan keturunan:
Firman Allah swt. itu “Surga ‘Adn mereka
masuk kedalamnya dan juga orang yang baik-baik dari bapak-bapak mereka
dan isteri-isteri mereka dan keturunan mereka”..
Juga firman-Nya lagi: ‘Dan orang-orang yang
beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan. Kami
hubungkan/kumpulkan anak cucu mereka dengan mereka…sampai akhir ayat‘.
(Ath-Thuur : 21). Dan masih ada lagi ayat yang menyebutkan mengenai keturunan
para Nabi.
Hadits Rasulallah saw.
dari Abu Sa’id Al-Khudri ra katanya: “Mengapa masih ada beberapa kaum
yang mengatakan bahwa tali kekeluargaan Rasulallah saw. tidak menguntungkan
kaumnya pada hari kiamat. Sungguh demi Allah bahwasanya tali kekeluargaan akan
tetap tersambung didunia mau pun di akhirat. Wahai, sekalian manusia!
Sesungguhnya aku akan mendahului kamu sampai di Telaga Haudh” (HR Ahmad dan
Al-Hakim dalam shohihnya, Al-Baihaqi dan Thabrani dalam kitab Al-Kabir).
Al-Bazzar meriwayatkan hadits
dari Ibnu Abbas ra. katanya: “Telah wafat seorang putri Safiah binti Abdul
Muttalib ra., kemudian beliau berceritera yang kesudahannya beliau katakan:
Kemudian Rasulallah saw. berdiri, setelah mengucapkan hamdalah dan memuji
kepada Allah lalu bersabda: ‘Mengapa masih ada beberapa kaum yang menuduh bahwa
hubungan kerabatku tidak akan memberi manfaat, ketahuilah bahwa semua
kemuliaan dan keturunan akan terputus pada hari kiamat kecuali
kemuliaan dan keturunanku dan sesungguhnya tali kekeluargaanku akan
tetap bersambung didunia mau pun akhirat’ ”. (Hadits ini dishohihkan oleh
Al-hafidh As-Sakhawi dan Ibnu Hajar dan disebutkan oleh Imam Ahmad dalam musnad-nya
dari tiga jalur).
Allah swt. sendiri dalam Al-Qur’an
telah menetapkan suatu hukum kepada keturunan-keturunan yang beriman yang mana
mereka akan menyertai datuk-datuknya begitu juga yang diungkapkan dalam
hadits-hadits diatas. Rasulallah saw. membantah keras bagi orang
yang beranggapan bahwa hubungan kerabat dan tali kekeluargaan beliau saw. akan
putus dan tidak memberi manfaat bahkan beliau menguatkan perkataannya itu
dengan bersumpah Demi Allah.....
Lalu bagaimana dapat dipastikan
keturunan tersebut itu kalau tanpa adanya ketetapan nasab silsilahnya?
Begitu juga hadits Nabi saw. yang
termasyhur dan sebagai bukti-bukti lagi tidak terputusnya keturunan beliau
saw. yaitu akan munculnya Imam Al-Mahdi ra pada akhir zaman dan Imam ini
dari keturunan Rasulallah saw. Hadits-hadits ini kita bicarakan pada halaman
selanjutnya.
Kami sering bertanya-tanya mengapa
yang hanya sering dicela dan diganggu keturunan/cucu Nabi saw.
yang riwayatnya banyak dalam hadits serta ditulis oleh ulama pakar ahli
sejarah. Ada gerangan apakah dibalik celaan atau tuduhan ini ? Kami berlindung
pada Allah swt. atas kebohongan golongan pencela atau pengingkar ini dan
penolakan mereka terhadap adanya keturunan Nabi saw.
11.3.Tafsir Singkat Surat Al-Kautsar
Mari sekarang kita
merujuk tafsir dan penjelasan singkat para ulama mengenai surat Al-Kautsar
ini dan sebab-sebab turunnya ini ayat. Bunyi Surat Al-Kautsar [108]
sebagai berikut:
إنَّا أعْطَيْنَاكَ الكَوْثرَْ فَصَلِّ لِرَبِّكَ
وَانْحَرْ إنَّ شَانِئَكَ هُوَالأبْتـَرْ
Artinya: “Dengan menyebut nama
Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Kami telah
memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah sholat
karena Tuhanmu dan berkorban lah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu
dialah yang terputus ”.
Surat ini
diturunkan sebagai jawaban terhadap tuduhan bahwa keturunan Rasulallah saw.
terputus. Jadi, yang dimaksud kalimat "Nikmat yang banyak"
dalam ayat itu adalah Rasulallah saw. memiliki keturunan yang banyak dan baik,
melalui pernikahan antara Siti Fathimah Az-Zahra' dan Sayyidina Ali bin Abi
Thalib kw.. Kebanyakan dari keturunan Siti Fathimah ini menjadi para Imam yang
memberi petunjuk masalah-masalah yang berkaitan dengan ketaatan kepada
Allah swt. dan keridhaan-Nya. Adapun yang dimaksud kalimat "Orang yang
membencimu dialah yang terputus" dalam ayat itu adalah orang yang
beranggapan bahwa Rasulallah saw. tidak memiliki keturunan! Tafsir seperti ini
dapat anda baca diantaranya dalam kitab-kitab berikut:
Tafsir Fathul Qadir,
oleh Asy-Syaukani, jilid 30, halaman 504 ; Tafsir Gharaibul Qur'an (catatan
pinggir) Majma'ul Bayan, jilid 30, halaman 175 ; Tafsir Majma'ul Bayan,
oleh Ath-Thabrasi, jilid 30, halaman 206, cet. Darul Fikr, Beirut ; Nurul Abshar, oleh Asy-Syablanji, halaman 52,
cet. Darul Fikr, tahun 1979 Miladiyah ; Al-Manaqib, oleh Syahraasyub, jilid 3,
halaman 127.
Menurut Ustadz Quraish Shihab seorang ulama di Indonesia
dalam bukunya yang berjudul Tafsir Al-Qur’an Tafsir atas surat-surat
pendek berdasarkan urutan wahyu terbitan Pustaka Hidayah mengatakan: Bahwa
surat Al-Kautsar ini diturunkan di Makkah dan merupakan surat ke-14 dalam
turunnya wahyu serta surat ke-108 dalam urutan mushaf. 'Al-Kautsar’ menurut arti kata berasal dari akar kata
yang sama dengan ‘Katsir’ yang berarti ’Banyak’. Jadi Al-Kautsar
berarti sesuatu nikmat yang banyak. Ustadz Quraish Shihab mengemukakan
bahwa Ulama berbeda pen dapat dalam mengartikan "Al-Kautsar" pada
surat ini:
Pendapat pertama: Sebagian berpegang
pada hadits nabi dari Anas bin Malik (HR Muslim dan Ahmad) yang menceritakan ‘Al-Kautsar’
sebagai sebuah nama telaga yang ada disurga yang dianugerahkan oleh Allah
kepada Nabi.
Menurut Ustadz Quraish Shihab, hadits ini, ditolak
oleh Muhammad Abduh sebagai penjelasan terhadap surat Al-Kautsar.
Pendapat kedua: Sebagian lagi berpegang sejarah pada hadits
lainnya mengenai ejekan ‘Abtar’ yang berarti ‘terputus keturunan’.
Sehingga Al-Kautsar berarti Allah menganugerahkan keturunan yang banyak
kepada Rasulallah saw. Pendapat kedua ini dikutip juga oleh Imam Suyuthi dalam
bukunya Asbab Annuzul serta Addur Al-Mantsur serta ulama pakar
tafsir lainnya seperti Al-Alusy, Al-Qasimy, Al-Jamal, Abu Hayyan,
Muhammad Abduh, Thabathabai dan lain lain. Pendapat kedua ini merupakan
pendapat yang paling banyak dipercaya oleh para ulama ahli tafsir.
Pendapat ketiga: Sebagian lagi
menganggap bahwa Al-Kautsar berarti keduanya yaitu nikmat Allah yang
banyak yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw.. Salah satunya berupa keturunan
yang banyak serta telaga di surga serta nikmat-nikmat lainnya.
Sejarah meriwayatkan juga waktu
putra beliau saw. yang terakhir wafat dan belum
sempat memiliki keturunan, sedangkan saat itu nabi saw. serta Khadijah ra.
dalam usia yang telah cukup tua. Waktu Khadijah sedang hamil, semua orang
menunggu apakah Khadijah akan memberikan seorang anak lelaki atau perempuan.
Ketika ternyata Khadijah melahirkan seorang puteri (yang kemudian diberi nama
Fatimah Az-Zahra), maka orang-orang Quraisy bersorak dan mengatakan bahwa
Muhammad "Abtar". Kata-kata Abtar ini adalah ejekan yang
diberikan kepada orang yang terputus keturunannya.
Pendapat terbanyak
dari ahli tafsir mengenai sebab-sebab turunnya surat Al-Kautsar ialah bahwa
Allah swt. memberikan nikmat kepada Nabi saw. berupa keturunan yang sangat
banyak. Dikatakan dalam bukunya Ustadz Quraish tersebut; "Jika
riwayat dari berbagai pakar tafsir ini diterima maka itu berarti Al-Qur’an
telah menggaris bawahi sejak dini tentang akan berlanjutnya keturunan Nabi
Muhammad saw., dan bakal banyak dan tersebarnya mereka itu".
Allah menurunkan wahyu
kepada nabi Muhammad saw. berupa surat Al-Kautsar ini menunjukkan bahwa Allah
swt. sesungguhnya telah memberikan nikmat yang banyak dengan kelahiran sayyidah
Fatimah ra. tersebut. Bahwa Rasulallah saw. tidaklah "Abtar"
bahkan dari rahim Siti Fatimah ra. akan lahir keturunan yang banyak.
Selanjutnya dalam ayat tersebut Rasulallah diperintahkan untuk bersholat dan
berkurban (aqiqah sebagai wujud rasa syukurnya). Dan pada ayat yang
ketiga disebutkan bahwa musuh-musuh Rasulallah yang mengejek itulah yang
kemudian diejek oleh Al-Qur’an sebagai "Abtar" (terputus).
Surat ini dimulai dengan
kata "Inna/Sesungguhnya" yang menunjukkan bahwa berita yang
akan diungkapkan selanjutnya adalah sebuah berita yang besar yang boleh jadi
lawan bicara atau pendengarnya meragukan kebenarannya. Ustadz Quraish Shihab
juga mengutip pendapat lainnya bahwa penggunaan kata "kepadamu"
pada ayat ketiga menunjukkan bahwa anugerah Allah tersebut (berupa keturunan
yang banyak) tidak terkait dengan kenabian melainkan merupakan pemberian
Allah kepada pribadi Nabi Muhammad saw. yang dikasihi-Nya.
Dalam buku tersebut juga
dikemukakan beberapa argumen yang mendukung bahwa dzurriyah/keturunan
Rasulallah saw memang dilanjutkan melalui rahim Fatimah ra. dan bukan melalui
anak lelakinya. Diantaranya dalam surat Al-An'am 84-85 bahwa Al-Qur’an
menganggap nabi Isa as. sebagai dzurriyah Ibrahim meski pun beliau as.
lahir dari Maryam (seorang perempuan keturunan Ibrahim as). Juga banyak
hadits yang mengutarakan bahwa Rasulallah memanggil Al-Hasan dan Al-Husain
sebagai "anakku".
Sejarah juga membuktikan
bahwa dari rahim Siti Fatimah, Rasulallah saw. memperoleh dua orang cucu
(putera) yang sangat dicintai beliau yaitu Al-Hasan dan Al-Husain ra. Kemudian
setelah peristiwa Karbala maka satu-satunya anak lelaki yang tersisa dari
keturunan Al-Husain yaitu Ali Awsath yang bergelar "Zainal
Abidin" atau "Assajad" (ahli sujud) kemudian beliau ini
meneruskan keturunan Nabi saw. dari Imam Husain. Demikian juga keturunan dari
Imam Hasan.
Imam Husain sendiri
memiliki enam anak lelaki, dan hanya satu yang selamat setelah peristiwa
Karbala . Sedangkan Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib kw. memiliki sebelas anak
lelaki, beberapa diantaranya meneruskan keturunan. Hingga saat ini Alhamdulillah ada banyak sekali
dzurriyah (keturunan) Nabi saw. dari Siti Fatimah ra terutama via Ali Zainal
Abidin Assajjad bin Husein bin Ali bin Abi Thalib [ra] dan kemudian menyebar di
seluruh muka Bumi. Bahkan menurut Ustadz Quraish Shihab, dzurriyah
(keturunan) Nabi saw. ini begitu banyaknya dibandingkan keturunan
manusia lainnya. Demikianlah sedikit keterangan dari bukunya Ustadz Quraish
Shihab.
Sebagaimana kami kemukakan tadi
bahwa kita sering baca dikitab-kitab sejarah atau sunnah Rasulallah saw.
biografi para Nabi, nama-nama mereka serta nama datuk-datuknya, nama-nama
keturunan mereka dan lain sebagainya, tidak lain semuanya ini disampaikan
melalui riwayat serta tersimpan dengan rapi sampai sekarang. Tidak
ada para sahabat atau tabi’in yang mencela atau menuduh semuanya itu!
Apalagi pada zaman modern sekarang ini dengan adanya computer dan internet
lebih mudah untuk menemukan kembali sejarah dan riwayat-riwayat para Rasul,
Nabi dan nasab keturunan Rasulallah saw. yang telah ditulis oleh para ulama
pakar.
Mari
kita teruskan dengan kajian berikut ini, yang berkaitan dengan masih
wujudnya keturunan Nabi saw.:
11.4. Ramalan Akan Datangnya Rasul Dalam Catatan Kitab
Hindu, Kristen, Yahudi Dan Persi
Ramalan ini pertama-tama dibukukan
tahun 1970 dengan judul Ke-Rasul-an/Ke-Nabi-an oleh Bilal Muslim Missie
dari Tanzania Daressalam. Setelah itu buku ini berkali-kali di print di
Daressalam dan Mombasa. Kemudian W.I.N. (The World Islamic Network) dari
Bombai menerbitkannya sebagai buku kecil yang berjudul: ‘Ramalan-ramalan
tentang Rasul yang suci dari Islam dalam catatan Hindu, Kristen dan Yahudi’.
Ketika mereka ingin mengeprint ulang
buku kecil itu, maka Ustadz Sayid Saeed Akhtar Rizvi tanggal 04 september 2001
memeriksa kembali isi buku itu dengan teliti dan menambahkan (ramalan) menurut
catatan Persi kedalamnya. Dengan demikian Ramalan akan datangnya Rasul yang
suci (Muhammad saw.) sudah tercantum dalam catatan Hindu, Kristen, Yahudi
dan Persi.
Penulis tidak mencantumkan isi
semuanya diwebsite ini, tapi hanya yang kami anggap penting saja, yang
berkaitan dengan Keturunan Nabi saw. yaitu ramalan tertulis dalam catatan kitab
Hindu saja yang bernama Barm Uttar Khand tentang akan datangnya
Rasul yang suci dan anak keturunannya (ahlul baitnya), yang telah
diterjemahkan oleh Ustadz Abdurrahman Christi dari India pada abad kesebelas
Hijriyyah (1631-1632 Masehi) dalam bukunya ‘Mir’atul Makhluqat’.
Dalam catatan kitab Hindu ini
menceriterakan ada seorang Nabi yang terkenal bernama Mahadevij.
Mahadevij ini berceritera pada istrinya Parbati sewaktu berada digunung Kailash
Parbat yang ditulis oleh muridnya Bishit Muni. Bagian-bagian yang
terpenting diatas telah diterjemahkan dari buku Muqaddamah Anwarul Qur’an
oleh Sayid Raha Husain Gopalpuri halaman 40-43. Dalam kitab Hindu Barm
Uttar Khand ini Mahadevij berkata:
“Setelah enam ribu tahun, Tuhan yang
Maha Kuasa akan menciptakan seorang manusia yang indah dari keturunan Adam di Mundane
yaitu tempat antara lautan-lautan (yang dimaksud Negara Arab yang diliputi oleh
tiga lautan).
..Oh Parbati, dia akan dilahirkan
dari Kant Bunjih (pengabdi/hamba Tuhan, yang dalam bahasa arabnya Abdullah).
Dan dia (Abdullah) akan lurus dan memiliki pengetahuan tentang Tuhan sebagai
sungai (luas). (Dari sungai –Abdullah– ini) akan muncul/lahir mutiara. Dan
nama isterinya (istri Abdullah) Sank Rakhiya (yang berarti kedamaian
atau keamanan yang dalam bahasa arabnya Aminah). Dan dia (Abdullah) akan
sudah membaca tiga kitab, dan dia akan mengenyampingkan kitab keempat setelah
membaca Alif Laam Miim.
Oh Parbati dia (Abdullah) akan
menjadi kepala dari sukunya, orang-orang dari semua desa akan datang kepintunya
dan akan mengikutinya. (anak lelaki Abdullah) akan tidak mengenal takut kepada
makhluk, dia akan sangat gigih, berani dan akan memiliki pengetahuan tentang
Tuhan dan namanya Mahamat. Orang-orang akan keheran-heranan bila melihat
dia (Mahamat) dan dia tidak akan menyembah apa yang disembah oleh sukunya dan
dia akan menerangkan pada orang-orang: ‘Telah turun pada saya wahyu dari
yang Esa (Tuhan) agar kamu tidak selalu menyembah yang tidak ada
manfaatnya dan saya tidak bertujuan apa-apa hanya kecuali karena Tuhan maka
dari itu ikutilah aku’. (kata-kata yang serupa juga tercantum di Al-Qur’an
13:36).
Oh Parbati, Mahamat akan mengajarkan
syari’atnya (hukum Islam) pada seluruh makhluk dengan menghapus cara yang
dahulu (jahiliyyah) serta semua syari’at yang sebelumnya. Dan dia akan mencoba
setiap manusia untuk mengikutinya (mengikuti agamanya). Lama kelamaan agamanya
akan di-ikuti oleh manusia yang tidak terhitung jumlahnya dan banyak dari
mereka akan sampai pada Tuhan. Dan seperti halnya sekarang yang kita kenal
yaitu waktu/zaman Sakh, begitu juga orang-orang pada akhir Kaljg akan
menggunakan waktu/zaman yang menunjukkan zamannya Mahamat ( yaitu tahun
Hijriyyah).
Oh Parbati, setelah dia (setelah
wafat anak lelaki Muhammad saw.--pen) Sang Kuasa yang tidak ada bandingannya
akan mengarunia seorang putri pada Mahamat, dia (putri ini) akan
lebih baik dari 1000 anak lelaki dan dia (Siti Fathimah ra--pen) sangat cantik
sekali, sangat hebat dan sangat sempurna amal ibadahnya pada Tuhan. Dia (Siti
Fathimah ra) tidak mengucapkan kata-kata yang salah dan dia akan dilindungi
(oleh Tuhan) dari segala dosa baik kecil mau pun besar. Dan dari ayahnya dia
akan selalu dekat pada Tuhan. Yang Kuasa akan mengarunianya dua anak
lelaki (Al-Hasan dan Al-Husain--pen) dari putri Mahamat ini. Kedua anak ini
bagus/ganteng, kuat dan dicintai oleh Tuhan, mempunyai ilmu pengetahuan luas
tentang Tuhan (pandai dalam ilmu agama), berani, gigih dan sangat sempurna
dalam mengerjakan kebaikan. Dan yang Maha Kuasa setelah (penciptaan) mereka
ini, tidak akan menciptakan manusia yang sempurna seperti mereka, baik secara
bathin maupun lahir dalam
kebaikan.
Dua anak lelaki Mahamat ini akan
mempunyai penerus (penggantinya) dan mereka akan dikarunia keturunan yang tidak
terhitung jumlahnya. Mereka akan membimbing pada agama Mahamat hari kehari
dengan argumentasi yang benar dan mereka akan membuat agama mudah (sesuai
dengan hadits bahwa agama itu mudah--pen), dan Mahamat akan mencintai mereka
melebihi dari ummatnya sampai-sampai melebihi dari putrinya sendiri. Dan dua
anak lelaki ini (Al-Hasan dan Al-Husain) akan sempurna sekali menjalankan agama
Mahamat. Mereka tidak mau berbuat hanya untuk memenuhi hawa nafsu dan setiap
yang mereka bicarakan dan perbuat semata-mata karena Tuhan yang Maha Kuasa.
Oh Parbati, beberapa tahun setelah
wafat Mahamat akan ada orang yang buruk membunuh anak cucu Mahamat ini tanpa
alasan yang benar. Tidak lain perbuatan (pembunuh) hanya untuk meraih
kepentingan urusan duniawi. Seluruh dunia akan merasa kehilangan pimpinan
karena kewafatan mereka. Pembunuh-pembunuh itu adalah Maliksh, ateis dan
dilaknat dalam dua alam (makhluk didunia dan dilangit--pen). Mereka tidak akan
dicintai oleh Mahamat dan mereka ini tidak pernah keluar dari Narkh (neraka).
Tetapi mereka (pembunuh-pembunuh) berpura-pura/seakan-akan tetap memegang
agama Mahamat dan lambat laun lain-lainnya akan mengikuti mereka. Mereka
akan menjalankan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Mahamat dan
kedua cucunya (Al-Hasan & Al-Husain). Hanya beberapa saja yang masih taat
mengikuti ajaran Mahamat. Kebanyakan mereka mengikuti perjalanan
pembunuh-pembunuh anak-anak Mahamat. Tapi mereka ini dalam samaran saja
menjuluki diri mereka sebagai pengikut Mahamat dan pada akhirnya Kaljug banyak
dari mereka Hypocriet (Munafiq) dan mereka akan membuat
kekacauan/keonaran didunia “.
Setelah ceritera semua diatas ini,
Mahadevij juga ceritera mengenai akan munculnya Imam Mahdi, datangnya hari
kiamat, masuknya surga Bibi Siti Fathimah dan pengikut-pengikutnya. Demikianlah
sebagian isi terjemahan ramalan mengenai akan datangnya seorang
Rasulallah dalam catatan kitab Hindu Barm Uttar Khand.
11.5. Pendapat Syekh Ali Tantawi Dan Saudara Segaf
Ali Alkaff/Jeddah
Bantahan Syeikh Segaf Ali Alkaff
terhadap Syeikh Ali Tantawi:
Makalah yang kami baca pada website,
yang ditulis oleh Syeikh Segaf Ali Alkaff dari Jeddah/Saudi Arabia, menjawab
makalah yang ditulis oleh seorang ulama bernama Syeikh Ali Tantawi, yang dimuat
disurat kabar As-Syarqul Awsat tanggal 20/12/1406 H bertepatan dengan
tanggal 05 september 1985 nomer edisi 2483 dengan judul Peringatan-peringatan
Syeikh At-Tantawi antara lain sebagai berikut:
“Dan orang-orang Hadramaut
berperingkat-peringkat diantara mereka terdapat Alawiyyun yang menamakan
dirinya sebagai Sadah yang mulia dan ada pula yang tidak mengaku
demikian, padahal nilai seseorang dalam agama Islam diukur dengan ilmu dan
takwanya bukan dengan sebab ayah atau datuk-datuknya. Sedangkan orang yang
mulia itu adalah orang yang bertakwa dan orang yang agung itu adalah orang yang
baik dalam perbuatan dan perilakunya, kemudian kebanyakan nasab-nasab yang
dikatakan bersambung dengan Rasulallah saw. tidak dapat dibuktikan dan
dipertanggung-jawabkan melainkan semata-mata adalah anggapan orang-orang
yang mempunyai nasab itu dan saya tidak menuduh nasab seseroang tapi saya
ingin menerangkan suatu kenyataan yang konkrit…”
(Sebagian
isi) jawaban dari Syeikh Segaf Ali Alkaff
“Syeikh Tantawi ini tidak hanya
mengemukakannya dalam surat kabar bahkan mengulangi perkataan yang sama
dalam suatu siaran radio ketika ditanya tentang syarat-syarat kafaah dalam
nasab dan hukum nikah dengan tujuan hendak menyebarluaskan
pandangannya yang kontroversial/ menimbulkan fitnah. Alangkah baiknya kalau
Syeikh ini menjawab pertanyaan yang diajukan padanya –mengenai kafaah
(sederajad atau sepadan) nasab– tersebut dengan merujuk pendapat para
ulama yang sudah dikenal di dunia yaitu Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan
Imam Ahmad bin Hanbal [ra.], yang menjadikan kafaah nasab sebagai syarat
dalam pernikahan, sementara Imam Malik tidak mensyaratkannya. Dalam
kegigihan beliau (Tantawi) menyebarluaskan makalahnya itu, Syeikh Ali Tantawi
mengulangi kata-kata yang sama lagi dalam peringatannya pada bagian
keenam halaman 133 baris ke 18.
Syeikh ini mengatakan bahwa;
“orang-orang hadramaut (Yaman selatan) mempunyai tingkat-tingkat, diantara
mereka terdapat golongan Alawiyyun yang mengaku sebagai
bangsawan dan diantara mereka ada yang tidak mengaku demikian”. Juga
beliau berkata, “nilai seseorang dalam agama Islam diukur dengan ilmu
dan takwanya serta orang yang mulia bukan karena ayah atau datuknya…”
dan katanya lagi “saya tidak menuduh nasab seseorang akan tetapi saya
menerangkan suatu kenyataan yang konkrit”.
Kata-kata yang keluar dari mulut
orang alim biasanya akan diterima dan ditelan oleh orang-orang awam atau jahil
tanpa dikaji lagi, sehingga dosanya akan ditanggung oleh si alim itu. Dengan
perkataan diatas ini beliau tidak mengetahui tentang susunan
masyarakat hadramaut. Orang-orang hadramaut mempunyai silsilah dan nasab
bagi kabilah-kabilahnya, disana terdapat golongan Masyaikh dari keluarga
Al-Amudi yang terkenal nasabnya, Bafadal, Baabad, Al-Khatib, Al-Kathiri,
Tamim, Syaiban, Nahd dan lainnya dari kabilah -kabilah Hadramaut yang terpelihara
nasabnya dan dihormati seperti kabilah-kabilah yang terdapat di jazirah
Arab dan lainnya.
Dan tingkat-tingkat masyarakat yang
beliau maksudkan, bukan pada tempatnya, karena pengertian tingkatan ialah suatu
perbedaan antara tingkatan masyarakat dalam segi kemasyarakatan,
umpamanya terdapat diantara mereka: a) masyarakat tingkatan
buruh, b) tingkatan kapitalis/majikan atau c) tingkatan
lainnya.
Adapun yang ada pada orang-orang
Hadramaut adalah tingkatan dalam segi kesukuan atau marga. Dengan
demikian seorang bangsa ‘Alawi dapat tergolong dalam tiga kelompok
tingkatan diatas (a,b,c ) ini, tapi bangsa ‘Alawi ini tidak dapat
digolongkan kepada kabilah selain dari kabilahnya dan tidak pula
digolongkan pada marga selain marganya.
Sebenarnya Syekh Tantawi sendiri
tahu bahwa orang-orang Arab sejak permulaan Islam sangat fanatik dengan nasab
keturunan mereka, sehingga Rasulallah saw. pernah menyebutkan nasab dirinya dan
khalifah Abu Bakar ra. dikenal sebagai orang yang memiliki pengetahuan
tentang nasab, hingga digelari sebagai pakar nasab Arab. Kemudian
terdapat puluhan kitab yang di karang mengenai ilmu nasab dan ratusan
kitab mengenai nasab dan silsilah keluarga Rasulallah saw.. Semua
orang tahu bahwa nasab keturunan keluarga Rasulallah saw. terutama ‘Alawiyyun
telah terbukti beritanya dengan luas dan mutawatir, tersusun dari ayah
hingga kedatuk mereka dari zaman kita hingga kezaman Rasulallah saw., sedangkan
orang yang mengingkari berita mutawatir jelas hukumnya dalam Islam.
Benar kata Syeikh ini bahwa nilai
seseorang itu dalam agama Islam terletak pada ilmu dan takwanya dan bukan
dengan sebab ayah atau datuk-datuknya, tapi ini adalah pengertian secara
umum. Adapun orang yang mulia yang dimaksudkan Syeikh disini bukanlah orang
mulia yang termasuk dalam pengertian umum diatas. Karena yang dimaksud
orang-orang mulia adalah orang yang mempunyai pertalian nasab dengan
keluarga Muhammad saw., yang kecintaannya adalah sebagian dari agama dan
kebenciannya adalah keluar dari agama. Agama tidak pernah melarang
seseorang menasabkan kepada ayah dan datuk bahkan diakuinya. Rujuklah kitab Thabaqat
yang menyebut nasab bagi setiap biografi seseorang, demikian juga
kitab-kitab sejarah dan kitab-kitab para perawi lainnya dan tidak ada orang
yang mencelanya. Kalau begitu mengapa golongan pengingkar ini selalu menuntut
keturunan Rasulallah saw. agar tidak menasabkan dirinya kepada ayah-ayah
dan datuk mereka? Padahal banyak kaum ‘Alawiyyun yang berilmu, bertakwa,
mempunyai kemuliaan serta memberi petunjuk dan mempunyai kelebihan yang
diberikan Allah swt. pada mereka. Demi Allah ini suatu ke tidak-adilan.
Islam juga tidak menafikan
pertaliannya dengan seseorang, bahkan Islam menetapkan beberapa hukum yang
diterangkan dalam kitab-kitab fikih para ulama diantaranya Abu Hanifah, Imam
Syafi’i dan Imam Ahmad yang berkenaan dengan orang yang mempunyai
pertalian nasab dengan Rasulallah saw. Sejak permulaan abad hingga ke abad ini
kitab-kitab fikih mereka diabadikan oleh para imam kenamaan lainnya dan mereka
tidak pernah menafikan atau mencelanya bahkan mereka menyediakan
bab-bab khusus dalam kitab mereka ini. Begitu juga para pakar ini belum pernah
menulis dan menyatakan ketiadaan keturunan Rasulallah saw. didalam
kitab-kitabnya, tidak lain karena wujudnya keturunan tersebut.
Syeikh ini mengatakan bahwa
kebanyakan nasab-nasab ini yang dikatakan berhubungan dengan Rasulallah saw. tidak
ada yang membuktikan dan menguatkannya selain dari kata-kata mereka sendiri.
Bagaimana beliau bisa mengatakan seperti ini, padahal banyak para ahli hadits
dan fikih serta ahli sejarah dan biografi telah menerangkan nasab keluarga Bani
Alawi dengan sejarah kewafatan mereka sekali, yang penulisnya bukan dari
golongan Bani Alawi seperti Imam As-Sakhawi, Ibnu Hajar Al-Haithami dan
lain-lainnya.
Mari kita rujuk salah satu
hadits Rasulallah saw. tentang kemuliaan bangsa Quraisy saja yang
diriwayatkan oleh Tabarani dalam kitabnya Al-Kabir dari Abu Hurairah
yang Rasulallah saw. bersabda: ‘Utamakanlah orang-orang Quraisy dan
jangan kamu mendahului mereka, belajarlah kamu dari orang-orang Quraisy dan
jangan mengajari mereka, kalau tidak karena aku khawatir kelak orang Quraisy
menjadi sombong, pasti telah kuberitahukan kedudukan mereka dan
orang-orang yang baik dikalangan mereka disisi Allah Ta’ala’ .
{{
Kami --pen.-- tambahkan lagi sabda Rasulallah saw.lainnya:
“Dahulukanlah orang Quraisy dan jangan kamu mendahuluinya, belajarlah darinya
dan jangan kamu saling mengajarinya”. Ibnu Fudhaik perawi hadits ini
ragu apakah sabda Rasulallah saw. tersebut berbunyi: Ta’aalimuuha [saling
mengajarinya] atau Tu’allimuuha [mengajari- nya].” (Tartib Musnad
Imam Syafi’i, pembahasan tentang manaqib, hadits ket 691, juz 2,
hal.194).
Dalam
kitab dan halaman yang sama diatas hadits ke 690, mengemukakan sabda Rasulallah
saw.: “Wahai manusia, sesungguhnya orang Quraisy adalah yang berhak menjadi
pemimpin. Barangsiapa mendurhakainya dengan menggali lubang [membuat
maker—penerjemah], maka Allah akan menelungkupkannya dengan kedua lubang
hidungnya (yakni membinasakannya—penerj..Rasulallah mengucapkannya
sebanyak tiga kali “). }}
Selanjutnya Syeikh Segaf mengatakan:
Syeikh Tantawi ini mengatakan juga dia ini tidak menuduh nasab tapi hanya
menerangkan sesuatu yang konkrit. Apa yang dimaksud dengan hakikat konkrit
ini? Padahal masalah nasab Alawi ini sudah banyak ditulis para perawi dan
terbukti dengan bukti-bukti dalil yang pasti. Bagaimana Syeikh ini bisa
menerangkan sesuatu yang konkrit ini, sedangkan beliau sendiri tidak
mengemukakan alasan (dalil) yang kuat dan hakikat yang beliau katakan
ini, dan darimana datangnya hakikat yang konkrit itu ?
Segala sesuatu ajaran dalam Islam
disampaikan dengan jalan riwayat misalnya Al-Qur’an dan sunnah Rasulallah saw.
disampaikan kepada kita melalui pertalian riwayat dan begitu juga sejarah,
tempat-tempat peperangan serta nasab keturunan. Kalau kita biarkan setiap orang
dengan seenaknya melepaskan kata-katanya karena tidak sepaham dengan orang ini
atau karena tidak dia senangi tentang perkara-perkara yang sudah terbukti
kebenarannya, maka akan timbul banyak tuduhan-tuduhan bohong terhadap
peristiwa-peristiwa sejarah atau hukum syar’i.
Dalam hukum Islam barangsiapa
terbukti kebenaran nasabnya kemudian ada orang lain yang menuduh sebaliknya,
maka penuduh ini harus mengemukakan bukti dalam hal itu. Bila penuduh ini tidak
bisa mengemukakan bukti maka dia harus dijatuhi hukum Had
sebagai Qazif karena menuduh tanpa bukti (seperti halnya si
Syeikh ini). Padahal Syeikh ini juga mengetahui hukum syar’i karena beliau
pernah menjabat sebagai hakim/qadi selama beberapa tahun.
Ulama Hadramaut, Yaman dan
Al-Haramain Asy-Syarifain telah bersepakat mengenai kebenaran nasab Bani ‘Alawi
yang bersambung kepada keturunan Rasulallah saw. Mereka semuanya menyebutkan
dalam tulisan-tulisan mereka tentang Bani ‘Alawi dan memberikan catatan
tentang biografinya sekali dengan sempurna, bahkan sebagian mereka menulis
secara khusus tentang pribadi-pribadi mereka. Tidak seorang pun mengatakan ketidakbenaran
nasab mereka, bahkan semuanya menerima nasab keluarga ini dengan penerimaan
yang mutlak karena hal ini sudah termasyhur dan mutawatir. Sehingga
orang yang mencela kepada keturunan Nabi saw. ini tidak akan mencela pada
nasab mereka, tapi mencela (yang tidak mereka senangi) kedudukan
yang mereka (Bani ‘Alawi) peroleh ditengah-tengah masyarakat Hadramaut.
Barangsiapa ingin meneliti
kitab-kitab yang tersebut berikut ini bisa didapati di perpustakaan umum atau
khusus di Hadramaut, Yaman, Al-Haramain As-Syarifain, Kuwait, Darul Kutub di
Mesir atau diperpustakaan manuskrip-manuskrip Arab. Nama-nama (sebagian)
penulis dari kalangan ulama Hadramaut, Yaman dan Al-Haramain As-Syarafain dan
Sejarah wafat mereka sebagai berikut:
Tabaqat Fugahail Yaman oleh
Bahauddin Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf Bin Ya’kub Al-Jundi Wafat
tahun 732 H; At-Tuhfatun Nuraniyyah oleh Abdullah bin Abdurrahman Bawazir wafat
tahun 850 H ; At-Tarfatu Gharbiyah Bi Akhbar Hadramaut Alajibah oleh Al-Maqrizi
wafat tahun 845 H ; Manaqib Al-Faqih Al-Muqaddam
Muhammad bin Ali Ba’Alawi dan Wafayat A’yanil Yaman oleh Abdurrahman bin Ali
Hasan tinggal di Raidah Almasyqa Hadramaut wafat tahun 818 H ; Al-Jauharus
Sayafaf Fi Fadhail Wa Manaqibis Sadah Al-Asyraf oleh Abdurrahman Sohibul Wa’al
Al-Khatib Al-Ansari Al-Hadrami wafat 855 H ; Tabaqatul Khawas Ahlis-Sidqi Wal
Ikhlas oleh Ahmad bin Ahmad Abdul Latif As-Syarji Az-Zubaidi Al-Yamani wafat
tahun 893 H ; Al-Barqatul Masyiqah oleh Ali bin Abu Bakar As-Sakran bin
Abdurrahman Assegaf wafat tahun 895 H ; Mawahibul Qudrus Fi Manaqib Abu Bakar
bin Abdullah Alaydrus oleh Muhamad bin Omar bin Mubarak Al-Hadrami terkenal
dengan sebutan Bahriq wafat tahun 930 H ; Tarikh Syambal oleh Ahmad bin
Abdullah bin Alwi dikenal dengan Ibnu Syambal Al-Hadrami wafat tahun 945 H ;
Tarikh Thaghri And Wa-Qalaidin Nahr oleh Muhammad At-Tayyib Ba-Makhramah wafat
tahun 947 H ; Tuhfatul Muhibbin Wal Ashab Fi Makrifati Ma Lil-Madaniyyina Minal
Ansab oleh Abdurrahman Al-Ansari wafat tahun 1195 H ; Nasyrun Nuri Wazzahr Fi
Tarajim Al-Qarnil Asyir Ilal Qarni Rabi’ Asyar oleh As-Syeikh Abdullah Murad
Abul Khair wafat tahun 1343 H ; Siyar Wa Tarajim Ba’dhi-Ulamana Fil Qarnir
Rabi’ Asyar oleh Omar Abdul Jabbar wafat tahun 1391 H.
Demikianlah sebagian jawaban saudara
Segaf Ali Alkaff terhadap Syeikh Tantawi.!! (Sebenarnya saudara Segaf Ali
Alkaff mencatat nama-nama kitab dan penulis yang tercantum diatas ini jumlah
semuanya adalah 26, tapi kami hanya mengutip sebagian saja karena takut
sipembaca jenuh jadinya—pen.).
Disamping dalil-dalil yang telah
kami kemukakan, Syeikh Segaf ini telah membuktikan terhadap Syekh Tantawi dan
para pembaca lainnya adanya nasab keturunan Rasulallah saw. sambil merujuk juga
puluhan kitab sejarah, kitab para ulama pakar ahli fiqih mengenai wujudnya
keturunan Rasulallah saw. tersebut. Sedangkan Syekh Tantawi ini dan orang-orang
pengingkar lainnya hanya bisa berkata seenaknya saja tanpa menyebutkan walau
pun satu dalil tentang terputusnya keturunan Nabi saw..!
11.6. Hadits Yang Diriwayatkan Cucu Nabi Saw. Yang Keenam
Mari kita rujuk sebuah hadits yang diriwayatkan dari
keturunan Rasulallah saw. yang keenam ,Ali Ridho ra, sehingga bagi
pembaca lebih jelas bahwa fitnahan atau tuduhan mengenai terputusnya keturunan
Rasulallah saw. yang dikeluarkan oleh golongan anti ‘Alawiyyun itu,
adalah tuduhan yang tidak berdasarkan dalil hanya berdasarkan kedengkian atau
emosi belaka.
“Dua orang ahli hadits yaitu Abu Zar’ah AR-Rozi
dan Muhammad bin Aslam At-Thusi bersama para penuntut ilmu dan ahli
hadits yang tidak terhitung jumlahnya menemui salah satu cucu Ali bin Husin bin
Ali bin Abi Thalib yaitu Imam Ali Ridho bin Musa Al-Kadhim bin Jakfar As-Shodiq
bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal ‘Abidin bin Al-Husain bin Ali bin Abi
Thalib kw. (keturunan
keenam dari Rasulallah saw.) yang sedang memasuki Naisabur melewati
sebuah pasar. Kedua tokoh hadits ini menghadang beliau dan minta padanya untuk
meriwayatkan hadits yang beliau dengar dari ayah atau kakeknya. Imam Ali Ridho
ra. menghentikan kereta tunggangannya baghal peranakan antara
keledai dan kuda serta berkata:
‘Ayahku Musa Al-Kadhim memberiku
sebuah hadits dari ayahnya Jakfar As-Shodiq, dari ayahnya Muhammad Al-Baqir,
dari ayahnya Ali Zainal Abidin dari ayahnya, Al-Husain dari ayahnya Ali bin Abi
Thalib ra.. Ali bin Abi Thalib berkata; Kekasihku dan penyejuk hatiku
Rasulallah saw. memberiku sebuah hadits. Beliau saw. bersabda: Jibril berkata
kepadaku, Aku mendengar Allah yang Maha Agung berfirman; Lailaha illallah
adalah benteng-Ku. Barangsiapa mengucapkannya, ia masuk kedalam benteng-Ku. Dan
barangsiapa memasuki benteng-Ku, selamat dari siksa-Ku’ “.
Setelah itu Imam Ali Ridho ra. pergi
meneruskan perjalanannya dan waktu itu ,menurut riwayat, lebih dari 20.000
orang yang menulis hadits diatas ini. (Dinukil dan disusun secara bebas dari
buku bahasa Indonesia yang berjudul sekilas tentang Habib Ali bin Muhammad
Al-Habsyi muallif Simtud Duror karya saudara Novel Muhammad Alaydrus).
Riwayat yang semakna diatas ini
hanya berbeda versinya diketengahkan juga oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya “as-Showa’iq
al-Muhriqoh” halaman: 310 pasal ketiga meriwayatkan tentang keturunan yang
keenam dari Rasulallah saw. tersebut (yakni Imam Ali Ridho ini). Didalam
kitabnya ini Ibnu Hajar menulis: “Ketika ar-Ridho (Ali Ridho bin Musa
Al-Kadhim) sampai di kota Naisabur, orang-orang berkumpul disekitar kereta
tunggangannya. Ia (Ar-Ridho) mengeluarkan kepalanya dari jendela kereta
sehingga dapat dilihat oleh khalayak. Kemudian (sambil memandanginya) mereka
berteriak-teriak, menangis, menyobek-nyobek baju dan melumuri dengan tanah,
juga menciumi tanah bekas jalannya kendaraannya…”. (Hal ini juga dinukil oleh
as-Sablanji dalam kitab “Nur al-Abshar” Halaman: 168, pasal Manaqib Sayid Ali
ar-Ridho bin Musa al-Kadzim).
11.7.Pendapat Syeikh Abdul Aziz Bin
Abdullah Bin Baz
Seorang Mufti resmi kerajaan Saudi Arabia salah satu
ulama dari golongan Wahabi ,Syeikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz, pernah
ditanya oleh saudara kita dari Iraq mengenai anak cucu Rasulallah saw.
yang memperlakukan orang lain dengan perlakuan yang tidak semestinya mereka
lakukan. Jawaban
Syeikh terhadap pertanyaan saudara dari Iraq ini dimuat dalam majalah ‘AL-MADINAH’
halaman 9 nomer 5692 tanggal 07- Muharram 1402 H bertepatan tanggal
24 oktober 1982 sebagai berikut:
“Orang-orang seperti mereka (cucu
Nabi saw.) itu terdapat diberbagai tempat dan negeri. Mereka terkenal juga
dengan gelar ‘Syarif ’. Sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang yang
mengetahui, mereka itu berasal dari keturunan ahlulbait Rasulallah saw.
Diantara mereka itu ada yang silsilahnya berasal dari Al-Hasan ra. dan ada pula
yang berasal dari Al-Husain ra. Ada yang dikenal dengan gelar ‘Sayyid’
dan ada juga yang dikenal dengan gelar ‘Syarif’. Itu merupakan kenyataan
yang diketahui umum di Yaman dan di negeri-negeri lain. Mereka itu sesungguhnya
wajib bertaqwa kepada Allah dan harus menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan
Allah bagi mereka. Semestinya mereka itu harus menjadi orang-orang yang paling
menjauhi segala macam keburukan.
Kemuliaan silsilah mereka wajib
dihormati dan tidak boleh disalah gunakan oleh orang yang bersangkutan. Jika
mereka diberi sesuatu dari Baitul-Mal itu memang telah menjadi hak yang
dikaruniakan Allah kepada mereka. Pem- berian halal lainnya yang bukan zakat,
tidak ada salahnya kalau mereka itu mau menerimanya. Akan tetapi kalau silsilah
yang mulia itu disalahgunakan, lalu ia beranggapan bahwa orang yang mempunyai
silsilah itu dapat mewajibkan orang lain supaya memberi ini dan itu,
sungguh itu merupakan per buatan yang tidak patut. Keturunan Rasulallah saw.
adalah keturunan yang termulia dan Bani Hasyim adalah yang
paling afdhal/utama dikalangan orang-orang Arab. Karenanya tidak patut
kalau mereka melakukan sesuatu yang mencemarkan kemuliaan martabat
mereka sendiri, baik berupa perbuatan, ucapan ataupun perilaku yang rendah.
Adapun soal menghormati mereka,
mengakui keutamaan mereka dan memberikan kepada mereka apa yang telah
menjadi hak mereka, atau memberi maaf atas kesalahan mereka terhadap orang lain
dan tidak mempersoalkan kekeliruan mereka yang tidak menyentuh soal
agama, semuanya itu adalah kebajikan. Dalam sebuah hadits Rasulallah saw. berulang-ulang
mewanti-wanti: ‘Kalian kuingatkan kepada Allah akan ahlulbaitku…kalian
kuingatkan kepada Allah akan ahlulbaitku’. Jadi, berbuat baik terhadap
mereka, memaafkan kekeliruan mereka yang bersifat pribadi, menghargai
mereka sesuai dengan derajatnya, dan membantu mereka pada saat-saat
membutuhkan, semuanya itu merupakan perbuatan baik dan kebajikan kepada
mereka”. Demikianlah pengakuan Syeikh Abdul Aziz bin Baz tentang masih wujudnya
cucu/ keturunan Nabi saw.
11.8. Pendapat Prof.Dr.HAMKA
H.Rifai, seorang Indonesia Islam yang tinggal di Florijn
211, Amsterdam Bijlmermeer, Belanda pada tanggal 30 desember 1974 telah
mengirim surat kepada Menteri Agama H.A. Mukti Ali dimana ia mengajukan
pertanyaan, ‘Benarkah habib Ali Kwitang dan habib Tanggul keturunan
Rasulallah saw. ?, dan mohon penjelasan secukupnya mengenai beberapa hal
'.
Oleh Menteri Agama hal ini diserahkan kepada Prof.Dr.H.
Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) untuk menjawabnya melalui Panji
Masyarakat, dengan pertimbangan agar masalahnya dapat diketahui umum dan
manfaatnya lebih merata. Sebagian isi yang kami kutip mengenai penjelasan
Prof.Dr.H. HAMKA tentang gelar Sayyid yang dimuat dalam majalah tengah bulanan
“Panji Masyarakat” No.169/ tahun ke XV11 15 februari 1975 (4 Shafar 1395 H)
halaman 37-38 sebagai berikut:
“Rasulallah saw. mempunyai empat
anak-anak lelaki yang semuanya wafat waktu kecil dan mempunyai empat anak
wanita. Dari empat anak wanita ini hanya satu saja yaitu (Siti) Fathimah yang
memberikan beliau saw. dua cucu lelaki dari perkawinannya dengan Ali bin Abi
Thalib. Dua anak ini bernama Al-Hasan dan Al-Husain dan keturunan dari dua anak
ini disebut orang Sayyid jamaknya ialah Sadat. Sebab Nabi
sendiri mengatakan, ‘kedua anakku ini menjadi Sayyid (Tuan) dari
pemuda-pemuda di Syurga’. Dan sebagian negeri lainnya memanggil keturunan
Al-Hasan dan Al-Husain Syarif yang berarti orang mulia dan jamaknya
adalah Asyraf. Sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan
Al-Hasan dan Al-Husain itu datang ketanah air kita ini. Sejak dari semenanjung
Tanah Melayu, kepulauan Indonesia dan Pilipina.
Harus diakui banyak jasa mereka
dalam penyebaran Islam diseluruh Nusantara ini. Diantaranya Penyebar Islam dan
pembangunan kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan
di Aceh. Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanao dan
Sulu. Yang pernah jadi raja di Aceh adalah bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail,
di Pontianak pernah diperintah bangsa Sayyid Al-Qadri. Di Siak oleh
keluaga Sayyid bin Syahab, Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa Sayyid
Jamalullail. Yang dipertuan Agung 111 Malaysia Sayyid Putera adalah Raja
Perlis. Gubernur Serawak yang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang dari keluarga Alaydrus.
Kedudukan mereka dinegeri ini yang
turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri dimana mereka
berdiam. Kebanyakan mereka jadi Ulama. Mereka datang dari hadramaut dari
keturunan Isa Al-Muhajir dan Fagih Al-Muqaddam. Yang banyak kita
kenal dinegeri kita yaitu keluarga Alatas, Assegaf, Alkaff, Bafaqih, Balfaqih,
Alaydrus, bin Syekh Abubakar, Alhabsyi, Alhaddad, Al Jufri, Albar, Almusawa,
bin Smith, bin Syahab, bin Yahya …..dan seterusnya.
Yang terbanyak dari mereka adalah
keturunan dari Al-Husain dari Hadra- maut (Yaman selatan), ada juga yang
keturunan Al-Hasan yang datang dari Hejaz, keturunan syarif-syarif Makkah Abi
Numay, tetapi tidak sebanyak dari Hadramaut. Selain dipanggil Tuan Sayid mereka
juga dipanggil Habib. Mereka ini telah tersebar didunia. Di negeri-negeri
besar seperti Mesir, Baqdad, Syam dan lain-lain mereka adakan NAQIB,
yaitu yang bertugas mencatat dan mendaftarkan keturunan-keturunan Sadat
tersebut. Disaat sekarang umum- nya mencapai 36-37-38 silsilah sampai kepada
Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidati Fathimah Az-Zahra ra.
Dalam pergolakan aliran lama dan
aliran baru di Indonesia , pihak Al-Irsyad yang menantang dominasi kaum Ba’alwi
(Alawiyyun), menganjurkan agar yang bukan keturunan Al-Hasan dan Al-Husain
memakai juga titel Sayyid dimuka namanya. Gerakan ini sampai menjadi
panas. Tetapi setelah keturunan Arab Indonesia bersatu, dengan pimpinan
A.R.Baswedan, mereka anjurkan menghilangkan perselisihan dan masing-masing
memanggil temannya dengan ‘Al-Akh’ artinya Saudara.
Selanjutnya kesimpulan dari makalah
Prof.Dr.HAMKA: Baik Habib Tanggul di Jawa Timur dan Almarhum Habib
Ali di Kwitang, Jakarta, memanglah mereka keturunan dari Ahmad bin Isa
Al-Muhajir yang berpindah dari Bashrah/Iraq ke Hadramaut, dan Ahmad bin Isa ini
cucu yang ke tujuh dari cucu Rasulallah saw. Al-Husain bin Ali bin Abi
Thalib.”. Demikianlah nukilan dan susunan secara bebas mengenai penjelasan
Prof.Dr.HAMKA tentang gelar Sayyid atau Habib.
11.9. Hadits-Hadits Tentang Akan
Munculnya Imam Al-Mahdi
Mari kita sekarang teliti
hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai cucu/keturunan beliau saw. Imam
Al-Mahdi yang akan lahir di akhir
zaman, dengan demikian insya Allah lebih jelas buat para pembaca
bahwa keturunan beliau ini masih wujud sampai akhir zaman/ kiamat.
Al-Mahdi menurut bahasa artinya
petunjuk jalan, pemimpin. Imam Muhammad Al-Mahdi adalah pemimpin yang akan
lahir atau datang di dunia apabila hari kiamat hampir tiba (kamus besar bahasa
Indonesia 1990, hal.543). Mahdi dari bahasa Arab (Al-Mahdiyy) artinya orang
yang dipimpin Allah kepada kebenaran.
Banyak dikitab-kitab para perawi dan ulama pakar yang
mengutip hadits Rasulallah saw. baik dari golongan madzhab Ahlus-Sunnah,
madzhab Syiah mau pun madzhab lainnya yang meriwayatkan Al-Mahdi ini,
umpama; tentang namanya, gelarannya, nasabnya dan sifat-sifatnya. Begitu juga
tentang apa yang akan dilakukannya, imamah dan khilafahnya serta kemunculannya
dan sebagainya. Sedangkan pengertian/makna ‘Siapa yang dimaksud
Ahlul-Bait’ kita bicarakan pada halaman berikutnya.
Hadits-hadits mengenai Imam Mahdi
Hadits yang menjelaskan secara implisit bahwa Nabi Isa
a.s. akan turun setelah Imam Mahdi ra. muncul dan beliau a.s. sholat dibelakang
Imam Mahdi, bisa dirujuk dalam shohih Bukhori 2 : 256 cet. Dar Al-Fikr.
Didalam Musnad
Imam Ahmad bin Hanbal 3:345 telah di riwayatkan dengan sanadnya dari Jabir
bahwa dia telah mendengar Nabi saw. bersabda: “Senantiasa
segolongan dari ummatku berperang diatas kebenaran mereka menang hingga hari
kiamat tiba, lalu turunlah Isa putra Maryam, kemudian berkatalah pemimpin
mereka (Imam Mahdi); ‘Mari Sholat (sebagai Imam) bagi kami’. Dia (Nabi Isa as.)
bersabda; ‘Tidak, sesungguhnya engkau (Imam Mahdi) pemimpin bagi mereka,
sungguh Allah telah memuliakan ummat ini ‘ “.
Didalam Al-Shawaiq Al-Mughirah hal.98, Ibnu
Hajar telah berkata At-Thabrani telah mengeluarkan hadits secara marfu’.
Rasulallah saw. bersabda: “Al-Mahdi akan memperhatikan ketika Isa bin Maryam
telah turun seolah air menetes dari rambutnya, kemudian Al-Mahdi akan berkata;
‘Silahkan kedepan sholat (sebagai imam) bagi manusia’. Isa as.berkata; ‘Sholat
telah di iqamahkan untukmu’. Kemudian dia (Isa as.) sholat di belakang seorang
lelaki (Imam Al-Mahdi) dari keturunanku’ ”.
Hadits yang sanadnya dari Ashim bin Bahdalah dari
Abdullah yang berkata bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Dunia tidak akan lenyap
sampai seorang lelaki dari Ahli-baitku yang namanya sama denganku
menguasai bangsa Arab”. (HR. Tirmidzi 2:36 cet.Bulaq).
Juga hadits
Rasulallah saw.: “Tidak akan terjadi saat (kiamat) hingga berkuasa seorang
lelaki dari Ahli Baitku yang namanya sama dengan namaku”. (HR. Ahmad bin
Hanbal 1: 376)
Hadits dari Ummu Salamah bahwa Rasulallah saw. bersabda:
“Al-Mahdi berasal dari ummatku dari keturunan anak
cucuku” (HR.Abu Daud, Ibnu Majah dan Al-Hakim). Imam Suyuthi menunjukkan
akan keshahihannya dalam kitab Al’Jami’, begitu juga Al-Albani mengakui
keshohihan hadits ini.
Hadits dari Ibnu
Mas’ud sabda Rasulallah saw.; ‘Akan tampil seorang lelaki dari Ahli Baitku
yang namanya sama dengan namaku dan perawakannya menyerupai perawakanku lalu ia
akan memenuhi bumi dengan keadilan dan kebenaran sebagaimana sebelumnya bumi
ini telah diliputi kedzaliman dan kesesatan’. (HR.At-Thabrani, Kanzal Ummal 7 :
188)
Hadits dari
Hudzaifah sesungguhnya Nabi saw telah bersabda: “Seandai- nya usia dunia
tinggal satu hari lagi, niscaya Allah akan memperpanjang hari itu sampai Dia
membangkitkan seorang lelaki dari (keturunan) anakku yang namanya
seperti namaku’, Salman berkata: ‘Dari anakmu yang mana ya Rasulallah’? beliau
bersabda: ‘Dari keturunan anakku ini’ sambil beliau saw. menepukkan
tangan- nya kepada Al-Husain ra.’ ”. (Dakhair Al-‘Uqba)
Abu Daud dalam Sunan-nya mengatakan: “Telah
memberitahu saya Ahmad bin Ibrahim dari Abdullah bin Ja’far Ar-Rugi, dari Abul
Malij Hasan bin Omar dari Ziyad bin Bayan dari Ali bin Nufail dari Said bin
Al-Musayyib dari Ummu Salamah katanya: Aku mendengar Rasulallah saw. bersabda:
‘Al-Mahdi adalah dari keturunanku dan dari cucu Fathimah’ “.
Dikeluarkan oleh
Ibnu Majah dari Said bin Musayyib katanya: ‘Kami pernah berada di rumah Ummu
Salamah ra dan kami menyebut-nyebut Al-Mahdi, maka katanya; Aku mendengar
Rasulallah saw. bersabda: ‘Al-Mahdi dari keturunan Fathimah’.
Hadits ini juga di shohihkan oleh As-Suyuti dalam kitab Al-Jami’
As-Saqhir.
Juga Abu Daud dalam Sunan-nya dari jalur Asim Bin
Ibnun Nujud dari Zar bin Abdullah bin Mas’ud ra. dari Rasulallah saw. sabdanya:
“Sekiranya tidak tinggal melainkan sehari umur dunia, niscaya Allah akan
memanjangkan hari itu sehingga dibangkitkan padanya seorang dariku atau dari
keluargaku yang namanya sama dengan namaku dan nama ayahnya sama dengan
nama ayahku, ia akan memenuhi bumi dengan keseksamaan dan keadilan setelah
dipenuhi dengan kedzaliman dan penganiayaan”. Hadits ini dishohihkan oleh Ibnu
Taimiyyah dalam kitabnya Minhajus Sunnah an-Nabawiyyah.
Begitu juga Abu Daud meriwayatkan lagi dalam Sunan-nya;
“Telah memberitahu aku Suhail bin Tamam bin Badi’ dari Imaran Al-Qattan dari
Abi Nadrah dari Abi Said Al-Khudri katanya, telah bersabda Rasulallah saw.:
‘Al-Mahdi dari keturunanku, lebar dahinya dan mancung hidungnya,
ia memenuhi bumi dengan keseksamaan dan keadilan setelah dipenuhi dengan kedzaliman
dan penganiayaan dan akan berkuasa selama 7 tahun“. Hadits ini dishohihkan
juga oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Al-Manar dan As-Suyuthi dalam
kitabnya Al-Jami’ As Saghir.
Selain riwayat-riwayat diatas masih banyak lagi riwayat
mengenai akan munculnya Imam Al-Mahdi dari keturunan Rasulallah saw.
pada akhir zaman. Silahkan rujuk kitab-kitab berikut ini: Sunan Abu Dawud
didalam kitabnya Al-Mahdi ; Musnad Imam Ahmad bin Hanbal
jilid 1 : 99, 376-377, 430, 448; jilid 2 : 336 ; jilid 3 : 17, 28, 98-99, 317,
345, 367, 384 ; Shahih Ibnu Majah dalam Abwab Al-Jihad dan Abwab
Al-Fitan ; Lihat Al-Mustadrak 4 : 460, 463, 502, 514, 554, 557-558 ;
Majma’ Al-Zawaid 7 : 314-317 ; Kanzal Ummal 7 : 189, 260-261 ; Shahih
Muslim dalam kitabnya Al-Fitan ; Qashash Al-Anbiya hal. 554 ; Hilyah
Al-Auliya 3 : 184 ; Usud Al-Ghabah 1: 259 dan lain lain.
Insya Allah buat pembaca sudah jelas dengan adanya firman
Allah swt., hadits-hadits dan wejangan para ulama yang telah dikemukakan
diatas, membuktikan bahwa keturunan Nabi saw. itu masih tetap ada
sampai akhir zaman. Akan sia-sialah golongan pengingkar atau penuduh yang
mengatakan bahwa nasab keturunan Nabi saw. sudah punah/putus dan belum
konkrit, omongan mereka ini sama sekali tidak didasari oleh dalil
walaupun hanya satu dalil tidak lain hanya berdasarkan kedengkian
dan kehasutan terhadap keturunan yang mulia tersebut yang dikaruniakan oleh
Allah swt. Semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah swt,amin.
11.10.Pendapat Para Ulama
Tentang "Siapakah Yang Dimaksud Ahlul-Bait" ?
Perbedaan
faham, pengertian atau pendapat mengenai kata Aal (Ahlul-bait atau
keluarga) Muhammad saw. bukan masalah baru. Kelainan mengartikan kata tersebut
telah berlangsung sejak masa lampau. Karena itu adanya perbedaan pendapat dalam
mengartikan kata tersebut pada zaman kita sekarang ini, tidak mengejutkan. Tidak
lain ini hanya merupakan kelanjutan dari perbedaan yang pernah terjadi zaman
dahulu. Hingga kapan perbedaan itu akan berakhir sepenuhnya ditangan Allah
swt.. Dalam kaitannya masalah tersebut, yang penting bagi kita ialah mengetahui
benar duduk persoalannya, dan untuk itu sangat diperlukan penjelasan.
Para ahli figih tidak semuanya sepakat dalam memberikan
makna Aali. Dengan adanya perbedaan tersebut mereka juga berbeda dalam
menentukan hukum.
Imam Hanafi, Maliki dan Ahmad telah
mengatakan bahwa Aali dan Ahli adalah sama arti atau maknanya, namun
masing-masing diantara mereka memberi ketentuan yang berlainan.
Imam Hanafi berpendapat bahwa Ahli Bait
seseorang, Aali dan jenisnya adalah satu yaitu setiap orang yang
mempunyai pertalian nasab, sekali pun kepada nenek moyangnya baik yang
muslim maupun yang tidak muslim. Ada pula yang mensyaratkan Islamnya ayah atau
datuk yang paling tinggi. Maka semua anak yang dinasabkan kepada ayah ini
termasuk lelaki, wanita dan anak-anak adalah ahli keluarganya.
Imam Malik berpendapat lain lagi bahwa kata Aali
adalah orang yang mendapat asobah dan setiap orang yang mendapat
asobah dan setiap wanita jika ia bergabung dengan lelaki maka ia menjadi
asobah. Imam Hanbali berpendapat bahwa Aali seseorang dan Ahli
Baitnya, kaumnya, keturunan dan kerabatnya adalah sama maknanya.
Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa Aali seseorang adalah kerabat
dan keluarga yang ditanggung nafkahnya, sedangkan Ahli Baitnya
adalah kerabat dan isteri nya.
Sedangkan arti Aali dalam kalimat selawat kepada
Nabi saw. dan arti kata ‘Ahlul-Bait’ dalam firman Allah swt. surat
Al-Ahzab : 33, ini mempunyai pengertian khusus yang bermakna: ‘keluarga/kerabat
Rasulallah saw.’. Pendapat terbanyak dari ulama mengatakan bahwa yang
dimaksud disini ialah kerabat beliau saw. yang diharamkan kepada
mereka menerima sedekah.
Ada lagi yang mengatakan Aali Muhammad berarti semua
umat Muhammad saw. yang menerima perintah beliau saw. atau orang yang
bertakwa, termasuk Imam Malik dan Al-Azhari cenderung dengan pendapat ini,
sedangkan Baihaqi dan lain-lain menolak pendapat ini.
Seandainya arti Aali Muhammad itu setiap mukmin
yang bertakwa seperti pendapat Imam Malik diatas niscaya sedekah tidak
dibolehkan dan diharamkan kepada mereka, sebagaimana diharamkan kepada keluarga
Rasulallah saw., Bani Hasyim dan Bani Abdul Muttalib, tetapi tidak ada yang
berpendapat demikian! Pendapat ini sangat jauh dari penafsiran yang
sebenarnya!!. (baca keterangan selanjutnya).
Pendapat yang terbanyak mengenai Aali Muhammad saw.
dalam kalimat selawat ialah Rasulallah saw. dan keturunannya termasuk disini
Bani Hasyim dan Bani Abdul Muttalib, begitu juga yang ditegaskan oleh Imam
Syafi’i dalam Harmalah yang dikutip dari Al-Azhari, Baihaqi dan
lain-lain, serta di kemukakan juga oleh mayoritas sahabat-sahabat baginda
Rasulallah saw. Mereka berdalil pada hadits Rasulallah saw. yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim bahwa beliau saw. bersabda: ‘Sesungguhnya sedekah
diharamkan kepada Muhammad dan juga kepada Aali Muhammad’.
Dalam kaitannya masalah tersebut, yang penting bagi kita
ialah mengetahui benar duduk persoalannya, dan untuk itu sangat diperlukan
penjelasan. Sebagai bahan pemikiran baiklah kita ketengahkan ,berikut ini,
pengertian/paham para ulama diantaranya Ibnul Qayyim dikitabnya Jala’ul-Afham dan
para ulama lainnya. Uraian/ penjelasan makna Aal (Ahlul-bait atau
keluarga) Muhammad Rasulallah saw. dan Ahlul-Bait dalam surat
Al-Ahzab:33, para ahli tafsir mempunyai beberapa pendapat diantaranya, sebagai
berikut:
Pengertian (paham) pertama:
Yang dimaksud dengan Aal Muhammad saw. ialah
mereka yang oleh Rasulallah saw. diharamkan menerima sedekah/shodaqah.
Mengenai siapa mereka ini terdapat tiga macam pendapat di kalangan
ulama:
a). Mereka itu adalah anak-cucu keturunan Bani Hasyim dan
Bani Al-Mutthalib. Pendapat ini sesuai dengan madzhab Syafi’i dan madzhab
Hanbali. Demikian juga menurut Ibnul-Qayyim, Ibnu Taimiyyah dan lain-lain..
b). Yang dimaksud Aal Muhammad saw. ialah khusus
anak cucu keturunan Bani Hasyim, pendapat ini termasuk dalam madzhab Hanafi.
Sebenarnya pendapat ini berasal dari Imam Ahmad bin Hanbal berdasarkan ta’rif
(kesimpulan) Abul Qasim, sahabat Imam Malik bin Anas.
c). Aal Muhammad ialah mereka anak cucu
keturunan Bani Hasyim dan kaum kerabat dekat mereka, baik menurut garis
silsilah keatas mau pun kebawah hingga anak cucu keturunan Ghalib. Kesimpulan
seperti ini dikemukakan oleh Asyhab, seorang sahabat Imam Malik.
Demikian juga menurut penulis kitab Al-Jawahir dan menurut Al-Lakhmiy
dalam kitab At-Tabasshur. Riwayat ini sesungguhnya berasal dari
Al-Ashba’, tetapi tidak disebut nama Al-Ashba’ sebagai salah satu sumbernya.
Pihak yang berpegang pada tiga macam pengertian (a,b,c)
tersebut sepakat menetapkan, bahwa Aal Muhammad saw. diharamkan
menerima shodaqah. Mengenai ini tidak ada perbedaan pendapat antara mereka,
sebab nash mengenai itu berasal dari Rasulallah saw. sendiri.
Dalil-dalil yang digunakan pengertian/paham pertama ini
ialah:
1). Yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori didalam Shohih-nya
dari Abu Hurairah ra. sebagai berikut: “Pada musim panen kurma datanglah
beberapa orang kepada Rasulallah saw. membawa buah kurma hingga terkumpul
banyak di rumah beliau saw.. Tidak lama kemudian datanglah Al-Hasan dan
Al-Husain ketika itu masih kanak-kanak lalu bermain-main dengan beberapa buah
kurma. Al-Hasan ra memasukkan kedalam mulut buah kurma yang diambilnya hendak
dimakan. Melihat itu Rasulallah saw.cepat-cepat mengeluarkan buah kurma itu
dari mulut cucunya sambil berkata: ‘Apakah engkau tidak mengerti bahwa
keluarga (aal) Muhammad tidak makan shadaqah’ “? Imam Muslim
meriwayatkan hadits ini dengan susunan kalimat ‘Shadaqah tidak dihalalkan
bagi kami’.
2a). Hadits shohih berasal dari Zaid bin Al-Arqam
yang menuturkan sebagai berikut: “Pada suatu hari Rasulallah saw. berkhutbah
didepan kami, dekat sumber air bernama Khuma, terletak diantara Makkah
dan Madinah. Setelah memanjatkan puji syukur kehadirat Allah, mengingatkan dan
memberi nasihat-nasihat kepada kami, beliau saw. lalu menyatakan: “Amma ba’du,
sesungguhnya aku adalah manusia. Tidak lama lagi akan datang kepadaku utusan
Allah (malaikat jibril) dan akan kuterima. Kutinggalkan kepada kalian dua
bekal. Yang pertama ialah Kitabullah, didalamnya terdapat petunjuk
dan cahaya terang. Ambillah Kitabullah itu dan berpeganglah teguh padanya.
Kemudian beliau saw. melanjutkan setelah berhenti sejenak; dan ahlu-baitku…Kuingatkan
kalian kepada Allah mengenai ahlu-baitku –beliau mengulangi tiga
kali”.
Mendengar hadits dari Zaid tersebut Hashin bin Sarbah
bertanya: “Hai Zaid, siapakah ahlu-bait (keluarga) beliau saw.? Bukankah para
ummul mu’minin (isteri-isteri beliau) ahlu-bait beliau? Zaid menjawab: ‘Para
isteri beliau termasuk ahlubaitnya, tetapi orang-orang selain beliau saw. yang diharamkan
menerima shadaqah juga termasuk ahlubait beliau'. Hashin bertanya; ‘Siapakah mereka itu’ ? Zaid menjawab:
‘Mereka ialah keluarga ‘Ali (bin Abi Thalib), keluarga ‘Aqil (bin Abi Thalib),
keluarga Jakfar (bin Abi Thalib) dan keluarga Al-‘Abbas (bin ‘Abdul
Mutthalib)’. Hashin bertanya; ’Apakah mereka semua diharamkan menerima
shodaqah’? Zaid menjawab; ‘Ya, itu telah menjadi ketentuan Rasulallah, karena
beliau telah menyatakan bahwa shadaqah tidak dihalalkan bagi aal (ahlu-bait,
keluarga) Muhammad’ “.
b). Tetapi Imam Muslim meriwayatkan nash yang serupa
diatas ini yang ber- asal dari sumber lain mengandung makna berlainan yaitu
sebagai berikut: “…Kami bertanya (kepada Zaid): ‘Apakah para isteri beliau saw.
termasuk ahlubait Rasulallah saw.’? Zaid menjawab: ‘Tidak, demi Allah! Sebab
isteri mungkin hanya untuk sementara waktu saja hidup bersama suami. Bila
terjadi perceraian, isteri akan kembali kepada orang tua atau sanak familinya.
Ahlubait beliau ialah orang-orang dari mana beliau berasal, dan kaum kerabat
beliau yang diharamkan menerima shodaqah, seperti beliau saw. sendiri ‘
“!
Imam Nawawi dalam uraiannya mengatakan, bahwa dua buah
riwayat hadits diatas tersebut (2a/b) tampak berlawanan. Yang jelas diketahui
ialah bahwa dalam kebanyakan riwayat yang diketengahkan oleh (Imam)
Muslim mengenai soal itu, Zaid bin Arqam mengatakan: para isteri Rasulallah
saw. bukan ahlubait beliau. Karena itu riwayat hadits yang pertama
diatas harus ditakwilkan, bahwa dimasukkannya para isteri Rasulallah saw.
kedalam lingkungan ahlulbait, karena mereka itu tinggal bersama Rasulallah
saw., dan diperlakukan oleh beliau sebagai keluarga. Beliau saw. memerintahkan
supaya mereka itu dihormati dan dimuliakan serta disebut sebagai ‘tsaqal’.
Beliau juga mengingatkan juga supaya hak-hak mereka dipelihara dan dipenuhi.
Atas dasar penta’wilan itu maka para isteri Rasulallah saw. memang termasuk
dalam lingkungan ahlulbait, tetapi mereka tidak termasuk orang-orang
yang diharamkan menerima shodaqah. Dengan demikian hilanglah sifat
berlawanan antara dua riwayat hadits yang diketengahkan oleh Imam Muslim.
3). Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhori dan Muslim dari Az-Zuhri yang menerimanya dari ‘Urwah dan ‘Urwah
menerimanya dari ‘Aisyah ra. yang menuturkan bahwa: “Pada suatu hari Fathimah
ra mengirim utusan kepada Abubakar Ash-Shiddiq ra.untuk menanyakan warisan yang
dapat diterima dari ayahandanya (Rasulallah saw.). Abubakar menjawab bahwa ia
mendengar sendiri Rasulallah saw.pernah menyatakan: ‘Kami tidak mewariskan. Apa
yang kami tinggal adalah shadaqah. Keluarga Muhammad diharamkan menerima
shadaqah’ “. Dengan demikian jelaslah bahwa ahlu-bait Muhammad saw.
mempunyai kekhususan-kekhususan tertentu, antara lain: Diharamkan menerima
shadaqah, tidak mewarisi harta Nabi (jika ada), mereka berhak menerima
seperlima bagian dari harta ghanimah (rampasan perang), dan berhak menerima
ucapan shalawat.
4). Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
dari Ibnu Syahab memberitakan atas anjuran beberapa orang sahabat, al-Fadhl bin
Al-‘Abbas pernah datang menghadap Nabi saw., minta kepada beliau agar dirinya
diangkat sebagai petugas pengumpul zakat. Nabi menjawab; ‘shadaqah bukan
lain adalah kotoran, karenanya tidak halal bagi Muhammad (saw).dan
ahlu-bait Muhammad (saw.)’.
5). Hadits riwayat Muslim dalam Shohih-nya
berasal dari ‘Aisyah ra yang menuturkan: “Pada suatu hari ketika Rasulallah
saw. siap menyembelih seekor kambing, beliau bersabda: ‘Ya Allah, terimalah
dari Muhammad, dari keluarga (ahlu-bait) Muhammad dan dari Ummat
Muhammad’, setelah itu barulah kambing disembelih”. Hadits ini menunjukkan kedudukan
yang berlainan antara ahlu-bait Muhammad saw. dan umat Muhammad
saw. Ummat beliau adalah umum, sedangkan ahlu-bait beliau adalah khusus.
Penafsiran kata aal (ahlu-bait atau keluarga) Muhammad saw. yang
diucapkan sendiri oleh Rasulallah saw pasti lebih benar dan lebih utama dari-
pada penafsiran orang lain.
Pengertian/paham kedua:
Paham pihak kedua ini mengatakan yang dimaksud Ahlul-Bait
hanya untuk lima orang saja. Mereka ini dengan berdasarkan riwayat dari Aisyah,
Ummu Salamah, Abu Said Al-Khudri dan Anas bin Malik [ra] bahwa surat
Al-Ahzab : 33, ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan noda dan
kotoran (dosa) dari kalian, ahlul bait , dan mensucikan kalian
sesuci-sucinya’ ini turun hanya untuk lima orang saja yaitu:
Rasulallah saw., Amirul mukminin Ali kw., Siti Fathimah, Al-Hasan dan
Al-Husain (ra). Rasulallah saw. juga telah bersabda seraya menunjuk kepada Ali,
Siti Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain: ‘Ya Allah mereka ini Ahli Baitku,
maka hilangkanlah noda kotoran (ar-rijsa) dari mereka dan
sucikanlah mereka sesuci-sucinya’.
Hadits-hadits yang semakna diatas, silahkan rujuk:
Shahih Muslim, kitab Fadhail Ash-Shahabah, bab Fadhail
Ahlul Bait Nabi, jilid 2, hal.368, cet.Isa Al-Halabi; jilid 15 hal.194,
syarah An-Nawawi, cet.Mesir ; Shahih At-Tirmidzi, jilid 5, hal. 30,
hadits ke 3258; hal. 328 hadits ke 3875, cet. Darul Fikr.; Musnad Ahmad bin
Hanbal jilid 5, hal.25, cet. Darul Ma’arif, Mesir; Musnad Ahmad jilid 3,
hal.259 dan 285; jilid 4, hal.107; jilid 6 hal.292, 296, 298, 304 dan 306 ,
cet. Mesir.; Al-Mustadrak Al-hakim, jilid 3, hal.133, 146, 147, 158 ; jilid 2,
hal. 416 ; Tafsir Ath-Thabari jilid 22 hal. 6, 7 dan 8, cet.Al-Halabi Mesir ;
Tafsir Al-Qurtubhi jilid 14, hal. 182, cet. Kairo ; Tafsir Ibnu Katsir jilid 3,
hal. 483, 494 dan 495, cet. Mesir ; Tafsir Al-munir Lima’alim At-Tanzil, oleh
Al-jawi, jilid 2 hal. 183 ; Al-Mu’jam Ash-Shaghir, oleh At-Thabarani jilid 1,
hal. 65 dan 135 ; Khashaish Amirul Mu’minin, oleh An-Nasa’i Asy-Syafi’i
hal.4, cet. At- Taqaddum Al-‘Ilmiyah, Mesir ; Cet.Beirut hal. 8 ;
cet.Al-Haidariyah hal.49 ; Tarjamah Al-Imam Ali bin Abi Thalib, dalam tarikh
Damsyiq, oleh Ibnu Asakir Asy-Syafi’i jilid 1, hal. 185 ; Kifayah Ath-Thalib,
oleh Al-Kanji Asy-Syafi’i , hal.45, 373-375 ; Usdul Ghabah fi Ma’rifati
Ash-Shahabah, oleh Ibnu Atsir Asy-Syafi’i, jilid 2, hal. 12, 20 ; jilid 3
hal.413 ; jilid 5 hal. 521, 589 ; Ad-Durrul Mantsur, oleh As-Suyuthi jilid 5, hal. 198,
199;Al-Itqan fi ‘ulumil Qur’an jilid 4 hal. 240, cet.Mathba’ Al-Masyhad
Al-Husaini, Mesir ; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi, hal. 107, 108, 228,
229, 230, 244, 260 dan 294, cet.Istanbul ; cet.Al-Haidariyah hal. 124, 125,
135, 196, 229, 269, 271, 272, 352 dan 353. Dan masih banyak lagi yang tidak
kami cantumkan disini.
Jawad Mughniyyah didalam kitabnya Al-Husain Wal Qur’an
mengatakan:
“Sebagian besar para ahli tafsir berpegang pada sebuah
hadits shohih yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri ra yang menuturkan
bahwasanya Rasulallah saw. telah menegaskan:’Ayat itu turun mengenai lima
orang; Aku sendiri, ‘Ali (bin Abi Thalib ra), (Siti) Fathimah, Al-Hasan dan
Al-Husain’. Atas dasar penegasan beliau itu maka yang dimaksud ahlul-bait adalah
lima orang keluarga Nubuwwah tersebut. Kebenaran tersebut diperkuat oleh
sebuah hadits shohih lainnya yang diketengahkan oleh banyak ulama hadits, yaitu
Haditsul-Kisa “.
Dengan demikian jelas menurut paham kedua ini yang
dimaksud Ahlu-Bait Rasulallah saw. adalah hanya lima orang yang tersebut diatas
ini (dan keturunan mereka), hal ini diperkuat lagi dengan adanya hadits Al-Kisa
dan hadits Tsaqalain. (baca keterangan selanjutnya tentang hadits
al-Kisa’ dan hadits Tsaqalain)
Menurut ulama, pendapat kedua ini adalah adalah pendapat
yang terbanyak diriwayatkan dalam hadits-hadits dibandingkan
pendapat-pendapat lainnya serta penafsiran yang paling tepat dan benar yang
banyak diterangkan oleh ulama-ulama pakar ahli tafsir dan hadits.
Pengertian/paham ketiga:
Aal Muhammad saw. adalah anak cucu keturunan beliau saw. dan khususnya
para isteri beliau saw. Hal itu dikemukakan oleh Ibnu ‘Abdul Bir dalam At-Tamhid.
Dalam kitab ini ia menguraikan sebuah hadits berasal dari Hamid As-Sa’idiy yang
menuturkan: “Ada sementara golongan yang menggunakan hadits sebagai
hujjah/dalil, bahwa Aal Muhammad saw. ialah para isteri dan anak cucu keturunan
(dzurriyyah) beliau saw. Hal ini didasarkan pada pernyataan Rasulallah saw.
didalam hadits Malik yang berasal dari Nu’aim Al-Mujmar, dan dalam hadits lain
yang tidak dikemukakan oleh Imam Malik. Yaitu sebuah hadits yang nashnya
berbunyi: ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad, kepada para
isteri dan anak cucu keturunan beliau’ “.
Pihak paham ketiga ini mengatakan bahwa hadits tersebut
menegaskan bahwa Aal Muhammad saw. ialah para isteri dan anak
cucu keturunan Rasulallah saw. Lebih jauh lagi mereka ini mengatakan: “Orang
yang bertemu dengan salah satu dari isteri Nabi saw. atau dengan salah
satu dari anak cucu keturunan beliau, boleh mengucapkan: ‘Allah telah
melimpahkan shalawat kepada anda (shollallahu ‘alaika)’. Bila
tidak bertemu langsung, bolehlah orang mengucapkan: ‘Allah telah melimpahkan shalawat
kepadanya (shollallahu ‘alaihi)’. Akan tetapi kepada selain mereka ini
tidak di perbolehkan”.
Selanjutnya mereka berpendapat, bahwa kata aal,
ahlul-bait dan ahl mempunyai arti yang sama. Keluarga dan anak
cucu keturunan seseorang adalah sama artinya, yaitu para isteri dan
anak cucu keturunannya. Persamaan arti kata-kata ini mereka dasarkan pada
hadits yang telah kami kemukakan tadi.
Dalil-dalil pengertian atau paham ketiga ialah:
a). Ibnu ‘Abdul-Bir menunjuk kepada hadits Ibnu
Hamid As-Sa’idi sebagai berikut: ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada
Muhammad, kepada isteri-isterinya dan kepada anak-cucu keturunannya’.
Sedangkan dalam hadits yang lain terdapat susunan kalimat: ‘Ya Allah,
limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan kepada aal (ahlu-bait)
Muhammad’. Maksud hadits yang terakhir ini menyimpulkan makna hadits yang
pertama.
b). Selain itu mereka ini berdalil dengan hadits
Abu Hurairah ra. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim. Abu
Hurairah ra menuturkan bahwa Rasulallah saw. pernah menyatakan dalam do’anya; “Ya
Allah, anugerahilah aal (keluarga) Muhammad rizki berupa makanan sehari-hari’
(yakni rizki untuk makan sehari-hari)”. Do’a beliau saw. ini
benar-benar terkabul dan ternyata tidak meliputi semua anak cucu keturunan Bani
Hasyim dan anak cucu keturunan Bani ‘Abdul Mutthalib. Diantara mereka itu
hingga sekarang banyak yang menjadi hartawan dan mendapat rizki lebih dari
sekedar cukup untuk makan sehari-hari. Lain halnya para isteri Nabi dan
anak-cucu keturunan Nabi saw. yang hanya beroleh rizki sekedar cukup untuk
makan sehari-hari.
c). Terdapat sebuah riwayat yang menuturkan
bahwa isteri Rasulallah saw., ‘Aisyah ra., pernah menerima hadiah kekayaan
cukup besar dari seorang penduduk. Akan tetapi begitu menerimanya seketika itu
juga dibagikan kepada kaum fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan
pertolongan, hingga habis semuanya. Melihat kenyataan itu jariyahnya
(pelayannya) tercengang, lalu berkata: ‘Seumpama ibu tinggalkan barang satu
dirham, tentu kita dapat membeli daging’. ‘Aisyah ra menjawab; ‘Seumpama engkau
tadi mengingatkan, itu tentu kulakukan’.
d). Sebuah hadits shohih dari ‘Aisyah ra. yang
pernah terus terang mengatakan:”‘Aal (keluarga) Muhammad saw. tidak pernah
kenyang makan roti gandum berturut-turut selama tiga hari”. Demikianlah
keadaannya hingga saat beliau pulang keharibaan Allah swt. Dari hadits ini
golongan paham ketiga menarik suatu pengertian, bahwa anak cucu keturunan
Al-‘Abbas dan anak-cucu keturunan ‘Abdul-Mutthalib tidak termasuk
didalam makna ucapan ‘Aisyah ra. yakni tidak termasuk aal (keluarga) Rasulallah
saw.
Mereka ini menegaskan bahwa isteri seseorang adalah
keluarganya dan tidak diragukan lagi bahwa para Ummul Mu’minin (para
isteri Rasulallah ) adalah keluarga beliau saw.. Kedudukan mereka ini disamakan
dengan keturunan beliau saw. karena mereka ini juga tidak mempunyai silsilah
(langsung) keatas dengan beliau saw., sebagaimana halnya dengan anak cucu
keturunan Nabi saw. kecuali putera-puteri beliau saw. tidak mem punyai hubungan
silsilah langsung dengan Nabi saw. yakni melalui Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw.
dan Siti Fathimah Az-Zahra ra.
Para isteri Nabi saw.adalah termasuk mereka-mereka yang diharamkan
nikah dengan pria lain sepeninggal Rasulallah saw. Mereka adalah
isteri-isteri beliau didunia dan akhirat. Karena hubungan khusus mereka dengan
Nabi saw. inilah mereka disamakan kedudukannya dengan keturunan beliau
dengan kata lain mereka ini termasuk juga aal (ahlu-bait, keluarga) Nabi saw..
Mereka memandang para isteri Nabi saw. termasuk juga orang-orang yang diharamkan
menerima sedekah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal karena sedekah adalah kotoran
dari orang lain. Allah swt. telah memelihara kemuliaan dan keagungan Nabi dan
Rasul-Nya beserta segenap anggota keluarga beliau dari setiap kotoran yang
diberikan kepada mereka sebagai sedekah. Hadits-hadits tersebut diatas
,menurut paham ketiga, menunjukkan bahwa para isteri Nabi saw. berhak menerima
sholawat.
Alangkah anehnya jika Rasulallah saw. sendiri telah
berdo’a: ‘Ya Allah anugerahilah keluarga Muhammad rizki berupa makanan
sehari-hari’; ‘Ya Allah terimalah (sembelihan) ini dari Muhammad, dari keluarga
Muhammad dan dari ummat Muhammad’; ’Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada
Muhammad, kepada isteri-isteri Muhammad dan kepada anak cucu keturunan
Muhammad… dan ‘Aisyah ra. sendiri terus terang mengatakan: ‘Keluarga Rasulallah
tidak pernah kenyang makan roti gandum selama tiga hari berturut-turut’, tetapi bersamaan dengan semuanya itu lalu orang
mengatakan bahwa para isteri Nabi saw. tidak termasuk dalam ucapan
beliau saw. ‘Bahwa sedekah tidak halal bagi Muhammad dan bagi aal
(keluarga) Muhammad’. Padahal jelaslah bahwa sedekah itu merupakan
kotoran!! Demikianlah argumentasi pengertian (paham) ketiga ini.
Ada pihak lain yang menyanggah paham ketiga ini
dengan mengatakan sebagai berikut: “Jika para isteri Nabi diharamkan
menerima sedekah, tentu mawali (budak-budak asuhan) mereka
diharamkan juga menerima sedekah”.
Sanggahan ini sangat lemah, sebab jauh untuk disamakan
antara para isteri Nabi saw. dan mawali mereka! Pengharaman
menerima sedekah yang berlaku bagi para isteri Nabi saw. sama sekali bukan
menurut dzatnya (esensi pribadinya masing-masing), melainkan semata-mata karena
terbawa oleh pengharaman sedekah bagi Rasulallah saw.. Mereka
sebelum menjadi isteri Nabi saw, mereka halal menerima sedekah,
yakni sebelum mempunyai hubungan dan ikatan khusus dengan Nabi saw.. Dengan
demikian pengharaman yang berlaku bagi mereka ini merupakan cabang (sempalan)
dari pengharaman yang berlaku bagi suami mereka, yakni Rasulallah
saw.. Dengan demikian sangat jelas bahwa budak-budak asuhan (mawali) tidak
bisa disamakan kedudukannya dengan para isteri Rasulallah saw.!
Pengertian/paham keempat:
Pihak ini berkata yang dimaksud Ahlul-Bait pada ayat
Al-Ahzab tersebut adalah para isteri Rasulallah saw. saja, karena
mulai dari ayat 28 sampai akhir ayat 34 dalam surat ini berkaitan dengan para
isteri Nabi saw. Jadi bagaimana mungkin ditengah-tengah terselip persoalan
lain? Tidaklah pada tempatnya jika para Ummul Mu’minin hendak dikeluarkan dari
pengertian aal atau ahlu-bait Rasulallah saw.
Penafsiran paham keempat ini dibantah oleh para ulama
tafsir lainnya yaitu yang mengartikan makna ahlul-bait dengan ahlul-aba
atau ahlul-Kisa’ berdasarkan dalil-dalil secara nash (baca hadits
Al-Kisa’ dihalaman berikutnya). Juga para ahli tafsir yang menyanggah paham
keempat ini mengatakan: Kalau yang dimaksud ahlul-bait hanya
para isteri Nabi saw. saja, tentu dalam ayat itu tidak menggunakan dhamir (kata
ganti nama) ’Kum’ (kalian lelaki dan wanita) melainkan
menggunakan dhamir ‘Kunna’ (kalian wanita)!!
Pihak paham keempat ini menjawab: Digunakannya dhamir ‘Kum’
karena ayat itu menunjuk kepada ‘Ahlu’. Menurut tata bahasa Arab
kata ahlu adalah mudzakkar (menunjukkan lelaki), bukan muannats
(menunjukkan wanita). Karena itulah Al-Qur’an menggunakan dhamir Kum tidak
menggunakan dhamir Kunna.
Mari kita teruskan kajian berikut ini.
Jumhurul-ulama (para ulama tafsir pada umumnya) berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan
kata ahlul-bait dalam surat Al-Ahzab:33 ialah dua pihak sekaligus
yaitu Lima orang (yang tersebut diatas) dan para isteri
Rasulallah saw. Para ulama tafsir ini yakin bahwa pengertian kata ahlul-bait
yang mencakup dua belah pihak itu lebih sesuai dengan semua dalil yang
ada. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Athiyyah: “Para Ummahatul-Mu’minin (para isteri
Nabi saw) tidak berada diluar pengertian ahlul-bait. Sebab, kata
ahlul-bait lazim berarti semua anggota keluarga, dan isteri-isteri adalah
termasuk anggota keluarga”. An-Nafsiy menegaskan; firman Allah yang menggunakan
dhamir Kum mengandung petunjuk, bahwa para Ummahatul-Mu’minin
termasuk dalam pengertian kata ahlul-bait. Sebab dhamir Kum
berlaku bagi lelaki dan wanita bersama-sama. Demikianlah pula pendapat
Zamakhsyariy, Al-Baidhawiy dan Abus-Sa’ud.
Imam Fakhrur-Raziy pun dalam pernyataannya mengatakan:
”Dikalangan para ahli tafsir memang terjadi perbedaan
pendapat mengenai arti kata ahlul-bait. Karena itu lebih baik dikatakan, mereka
itu terdiri dari para Ummahatul-Mu’minin, putri beliau saw. (Siti Fathimah ra)
bersama suaminya (Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw.) dan dua orang cucu beliau saw.
(Al-Hasan dan Al-Husain-radhiyallahu ‘anhuma). ‘Ali bin Abi Thalib termasuk
ahlul-bait karena ia menjadi suami putri Rasulallah saw. dan selalu bersama
beliau “.
Dengan keterangan diatas bisa kita simpulkan ,pada pihak
paham keempat, bahwa pendapat yang terbanyak dan penafsiran yang paling
tepat yang dimaksud Ahlu-Bait Rasulallah saw. ialah lima orang yang
tersebut diatas dan para isteri Rasulallah saw.
Pengertian/paham kelima:
Aal Muhammad saw. ialah semua pengikut Muhammad saw. hingga
hari terakhir kelak (hari kiamat). Hal ini dikemukakan oleh Ibnu ‘Abdul-Bir dan
sebagian ulama. Orang yang pertama-tama mengemukakan pendapat tersebut ialah
Jabir bin ‘Abdullah ra. Dialah yang disebut oleh Al-Baihaqi dan diriwayatkan
pula oleh Sufyan Ats-Tsauri. Beberapa ulama sahabat Imam Syafi’i pun menetapkan
penafsiran seperti itu, sebagaimana dikemukakan oleh At-Thabari dalam salah
satu tulisannya, kemudian dibenarkan oleh Syeikh Muyiddin An-Nawawi di dalam Syarh
Muslim dan dibenarkan oleh Al-Azhari.
Golongan paham kelima ini mengatakan: “Keluarga
Nabi dan Rasulallah yang diagungkan dan ditaati ialah semua orang yang
mengikuti dan mentaati agama beliau saw. asalkan mereka mematuhi perintah, larangan,
petunjuk dan tuntunan beliau, mereka itulah keluarga (aal) beliau, tidak
pandang apakah mereka itu mempunyai hubungan kekerabatan dengan beliau atau
tidak”. Mereka mengatakan juga; “bahwa kata aal dapat berarti pengikut,
kata kerja ya-uu-lu (fi’il mudhari’) yang berasal dari kata kerja aa-la
(fi’il madhi) dapat bermakna kembali (yakni kembali kepada yang
di-ikutinya sebagai pemimpin). Para pengikut tentu kembali kepada yang
di-ikuti, sebab yang di-ikuti itu dipandang sebagai pemimpin dan tempat
bernaung”.
Kata mereka selanjutnyna: Dengan pengertian itulah Allah
swt. berfirman “…kecuali aal (keluarga) Luth, mereka Kami selamatkan
sebelum fajar menyingsing”. Yang dimaksud aal Luth ialah para
pengikut Nabi Luth as. dan yang beriman kepada beliau, baik dari kaum
kerabat Luth sendiri mau pun dari kaumnya yang lain. Demikian pula firman Allah
swt.: “…Masukkanlah aal (keluarga) Fir’aun ke dalam siksa yang
berat”. Yang dimaksud dengan aal Fir’aun adalah para pengikut
Fir’aun.
Mereka ini juga berdalil sebuah hadits riwayat Al-Baihaqy
(telah kami kemukakan sebelumnya) dari Watsilah bin Al-Ashqa’
sebagaimana diketahui oleh para ahli hadits, Watsilah adalah seorang dari
kabilah Bani Laits bin Bakr bin ‘Abdimanaf, ia bukan kerabat dekat Nabi,
melainkan hanya pengikut beliau saw. yang menuturkan sebagai
berikut:
“Bahwasanya Rasulallah saw. pada suatu hari memanggil dua
orang cucunya, Al-Hasan dan Al-Husain –radhiyallahu ‘anhuma-. Dua-duanya beliau
dudukkan diatas pangkuan beliau, kemudian minta agar Fathimah Az-Zahra ra.
bersama suaminya (Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw.) mendekat. Setelah semuanya
berkumpul beliau lalu menyelimutkan sehelai kain lebar pada mereka berempat
seraya bersabda: ‘Ya Allah, mereka inilah keluargaku (ahlii)’. Watsilah
kemudian bertanya: Ya Rasulallah, apakah aku termasuk keluarga anda? Rasulallah
saw. menjawab: ‘Engkau termasuk keluargaku (ahlii)’ “.
Demikianlah argumentasi pihak yang berpegang pada
pengertian/ paham kelima ini.
Menurut para ulama, dalil pengertian pihak kelima ini sangat
lemah, alasan-alasan kelemahannya, antara lain sebagai berikut:
Pertama ialah: ‘Apakah
benar Watsilah yang meriwayatkan atau yang menjadi sumber riwayat hadits
tersebut’? Sebab terdapat sumber riwayat yang lebih dapat dipercayai
kebenarannya, yaitu hadits Al-Kisa yang bunyi kalimatnya (nash
haditsnya) sama dengan hadits dari Watsilah diatas ini hanya nama Ummu
Salamah ra berubah menjadi Watsilah. Begitu juga hadits yang
di tuturkan oleh isteri Rasulallah saw. Ummu Salamah ra. ini kejadiannya (waktu
Nabi saw. menyelimuti dirinya dan keluarganya) berada dirumah Ummu Salamah
ra.sendiri.
Kedua: Golongan yang
berpegang pada paham kelima ini bertentangan dengan hadits-hadits shohih yang
menuturkan bahwa keluarga (aal) Muhammad saw. haram untuk menerima
sedekah. Bila yang dimaksud aal Muhammad ialah semua pengikut Muhammad saw.
niscaya sedekah atau zakat tidak dibolehkan dan diharamkan kepada mereka padahal
banyak para sahabat yang menerima zakat sebagaimana di haramkan kepada keluarga
Rasulallah saw., Bani Hasyim dan Bani Abdul Muttalib, tetapi tidak ada yang
berpendapat demikian! Pendapat ini sangat jauh dari penafsiran yang
sebenarnya!!.
Ketiga adalah: Hadits riwayat Imam Muslim, waktu Rasulallah menyembelih seekor
kambing, beliau saw berdoa: ‘ Ya Allah, terimalah (korban) dari
Muhammad, dari keluarga (ahlu-bait) Muhammad
dan dari ummat Muhammad’ setelah itu barulah
kambing itu disembelih. Hadits riwayat Imam Muslim ini menunjukkan kedudukan
yang jelas berlainan antara ahlu-bait/keluarga Muhammad saw. dan ummat
Muhammad saw. Kalau ummat Muhammad saw. sama artinya dengan aal Muhammad,
maka Rasulallah saw. cukup berdoa: ‘ Ya Allah, terimalah dari Muhammad, dari
keluarga (ahlu-bait) Muhammad’ tanpa menambah kalimat ‘dan
dari ummat Muhammad ‘.
Ummat beliau saw. adalah umum, sedangkan ahlu-bait
beliau saw. adalah mempunyai makna yang khusus. Penafsiran kata aal
Muhammad saw. yang diucapkan sendiri oleh Rasulallah saw. pasti lebih
benar dan lebih utama daripada penafsiran orang lain. Lebih tidak
pada tempatnya lagi, bahkan sama sekali tidak semestinya kata aal Muhammad
dalam sholawat saat membaca tasyahhud (tahiyyat) dalam sholat, diartikan
ummat Muhammad saw.! Masih banyak lagi riwayat yang berlawanan
dengan pendapat pihak kelima ini. Jadi golongan pihak kelima ini tidak
bisa diterima dan di pertanggung jawabkan kebenarannya.
Pengertian paham keenam:
Pengertian golongan ini ,mengenai Aal Muhammad saw, hampir
sama dengan pengertian golongan kelima diatas, hanya golongan ini
menambahkan adalah ummat Muhammad yang bertakwa. Pendapat
demikian itu diketengahkan oleh Al-Qadhi Husain dan Ar-Raghib bersama
jama’ahnya. Mereka ini berdalil kepada sebuah hadits yang
dituturkan Jakfar bin Ilyas dan dikatakan berasal dari Anas bin Malik sebagai
berikut:
“Rasulallah saw. pernah ditanya oleh seseorang tentang
siapakah sebenarnya yang dimaksud dengan kata aal Muhammad saw.? Beliau
saw. menjawab: ‘Semua orang yang bertakwa’. Beliau lalu mengucapkan
firman Allah swt.: ‘Sesungguhnya para waliyullah itu tidak mengkhawatirkan
sesuatu dan tidak pula mereka itu merasa sedih. Mereka adalah orang-orang yang
beriman dan ber takwa’ . (QS.Yunus:62-63).
Akan tetapi Imam Thabrani yang menyebut hadits tersebut
sangat meragukan kebenarannya. Sebab menurut Jakfar, hadits itu didapatnya dari
Nu’aim bin Hammad, didengar oleh seorang bernama Nuh bin Abi Maryam yang
menurut dia berasal dari Yahya bin Sa’id Al-Anshari, yang mendengarnya dari
Anas bin Malik.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Thabrani, tidak
ada yang meriwayatkan hadits seperti itu selain Nuh bin Abi Maryam.
Hadits semakna berasal dari Nu’aim. Imam Baihaqi mengetengahkan hadits ini dari
‘Abdullah bin Ahmad bin Yunus, dari Nafi’ bin Hurmuz, oleh para ulama ahli
hadits dipandang sebagai hadits yang tidak dapat diterima sebagai dalil,
karena dua orang tersebut terkenal sebagai pembohong.
Pihak keenam ini juga menggunakan hadits Watsilah bin
Al-Ashqa’ (telah kami kemukakan pada kolom paham pihak ke lima) sebagai
dalil. Alasan lain yang dikemukakan oleh pihak penganut paham keenam ini ialah:
Firman Allah swt. didalam Al-Qur’an ,berikut ini, yang tertuju kepada Nabi Nuh
as. mengenai nasib anak lelakinya disaat banjir melanda bumi; “Hai Nuh,
sesungguhnya dia (anak lelakimu itu) tidak termasuk keluargamu (yang
dijanjikan keselamatannya). Perbuatan (dan sikap tingkah lakunya)
bukanlah perbuatan baik” (QS Hud : 46).
Selanjutnya golongan ini berkata: Karena anak lelaki Nabi
Nuh as.itu menyekutukan Allah (berbuat syirik) dia dikeluarkan dari
lingkungan keluarga (aal) Nabi Nuh as.. Dengan demikian maka jelaslah kata
pihak keenam ini aal Muhammad saw. adalah para pengikut beliau
saw. yang bertakwa.
Dengan menghadapi masalah tersebut, Imam Syafi’i
membantah dalil diatas ini, dengan jawaban yang tepat. Imam Syafi'i
mengatakan: “Yang dimaksud dengan kalimat ‘sesungguhnya dia tidak termasuk
keluargamu (ahlimu)’ dalam ayat tersebut ialah, bahwa anak lelaki
Nabi Nuh as. itu tidak termasuk orang-orang yang harus diangkut dalam
bahtera, yakni orang-orang yang hendak diselamatkan dari bencana banjir
besar. Karena sebelum ayat itu Allah swt. telah memerintahkan Nabi Nuh as.
sebagai berikut: ‘Angkutlah didalamnya (bahtera) dua dari tiap pasang
(jodoh) hewan dan (angkutlah juga) keluargamu kecuali yang terkena
keputusan Allah (untuk dibinasa- kan)’ [QS.Hud:40]. Dengan
demikian maka anak lelaki Nuh as. termasuk orang-orang yang tidak dijamin
keselamatannya “.
Ibnul-Qayyim mengatakan: “Kalimat ayat itu sendiri telah menunjukkan kebenaran jawaban
Imam Syafi’i, karena ayat tersebut menyatakan lebih lanjut ‘dan barangsiapa
yang beriman’ (QS Hud:40). Kalimat ini menunjuk kepada orang-orang
beriman diluar keluarga Nabi Nuh as. Kalimat tersebut (dan yang beriman) berdiri
sendiri disamping kalimat keluargamu (ahlaka) dan dua dari tiap
pasang hewan. Dengan demikian maka kata ahlaka dalam ayat tersebut tidak
mencakup pengertian pengikut yang beriman dan bertakwa”.
Demikianlah sebagian pengertian/paham dan uraian para
ulama ahli tafsir mengenai makna Aal Muhammad dan kalimat Ahlul-Bait
dalam ayat Al-Ahzab : 33. Sudah tentu masih banyak lagi pandangan para ulama
lainnya yang tidak tercantum diwebsite ini.
Setelah adanya keterangan diatas, kita bisa menarik garis
besar bahwa golongan yang berpegang pada paham kelima dan keenam yang
tersebut diatas ini sangat lemah sekali dan tidak perlu kita
permasalahkan. Karena pendapat ini bertentangan dengan hadits-hadits shohih
yang riwayatnya lebih banyak dan bisa lebih dipercaya bahwa aal Muhammad adalah
lima orang saja atau lima orang dan para isteri-isteri beliau saw. serta amat
jauh dari permasalahan yang sebenarnya, begitu juga bertentangan dengan
pendapat jumhur ulama!!
Lepas dari berbagai pendapat dan penafsiran semua yang
tersebut diatas, yang sudah pasti dan tidak dapat disangkal menurut para
ulama tafsir pada umumnya, yang lebih dekat dan sesuai dengan dalil-dalil yang
ada yang dimaksud ahlul-bait dalam ayat Al-Ahzab: 33 ialah
mencakup dua pihak sekaligus yaitu lima orang yang disebut dalam
hadits-hadits shohih Nabi saw. dan para Ummahatul-Mu’minin (para isteri
Nabi saw). Karena mereka ini tidak lain adalah hubungan keluarga Nabi
saw. secara hakiki/sebenarnya.
Begitu juga lepas dari perbedaan pendapat mengenai masuk
atau tidaknya para isteri Rasulallah saw. dalam pengertian Ahlu-Bait beliau
saw., yang sudah pasti lima orang ialah Imam ‘Ali bin Abi Thalib dan
Siti Fathimah Az-Zahra beserta kedua puteranya Al-Hasan dan Al-Husain
–radhiyallahu ‘anhum– adalah ahlul–bait Rasulallah saw.. Hal ini telah
dengan bulat di benarkan oleh semua ulama Salaf dan Khalaf, dan
dibenarkan pula oleh semua pakar sejarah Islam sejak zaman dahulu hingga
zaman akhir ini serta diakui keabsahannya oleh segenap kaum muslimin. Dengan
demikian maka dzurriyatu (keturunan) Rasulallah saw. bukan lain adalah
keturun- an Ahlu-Bait beliau saw.!!
Begitu juga kedudukan dan martabat Siti Fathimah dan Imam
‘Ali serta dua orang puteranya sebagai Ahlu-Bait Rasulallah lebih diperkuat
lagi dengan turunnya ayat Mubahalah (Aali-Imran:61) kepada beliau saw.
sekaitan dengan bantahan kaum Nasrani Najran yang menolak kebenaran Al-Qur’an
mengenai kedudukan Nabi ‘Isa as.(keterangan singkatnya pada kajian
selanjutnya).
Sedangkan orang-orang Bani Hasyim dan keturunannya
termasuk dalam pengertian ahlul-bait atau tidak, jawabannya jelas; Mereka bukan
ahlu-bait Rasulallah saw, tapi hanya dapat dimasukkan kedalam pengertian
kata aal dengan tekanan pada arti kerabat. Wallahu
a’lam .
11.11.Pendapat Para Ulama
Tentang "Siapakah Yang Dimaksud Ahlul-Bait" ?
Ibnul-Qayyim menjelaskan sebagai berikut: Di kalangan
para ahli bahasa (Arab) tidak ada perbedaan pendapat mengenai makna kata dzurriyyat.
Yang dimaksud dengan kata itu ialah anak-cucu keturunan, besar mau pun
kecil. Kata tersebut dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat, antara lain pada
Surat Al-Baqarah:124: “....Sesunguhnya Aku hendak menjadikan dirimu sebagai
Imam bagi ummat manusia, (Ibrahim) bertanya; Dan anak-cucu keturunanku’ (apakah
mereka juga akan menjadi Imam?)... sampai akhir ayat.
Dari pengertian ayat tersebut pastilah sudah bahwa kata dzurriyyat
tidak bermakna lain kecuali anak-cucu keturunan. Akan tetapi apakah keturunan
dari anak perempuan termasuk dalam pengertian dzurriyyat? Mengenai
ini ada dua pendapat kalangan para ulama. Pendapat pertama, yaitu
seperti yang dikatakan Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa keturunan dari anak
perempuan adalah termasuk dalam pengertian dzurriyyat. Demikian
pula menurut madzhab Imam Syafi’i.
Pendapat pertama ini sepakat bahwa semua anak cucu
keturunan Siti Fathimah Az-Zahra ra binti Muhammad saw. termasuk dalam
pengertian dzurriyyat yakni dzurriyatun-Nabiy (Keturunan
Rasulallah saw.). Sebab tidak ada puteri Nabi saw. selain Siti Fathimah ra yang
dikarunia keturunan yang hidup hingga dewasa. Oleh sebab itu wajarlah jika
Rasulallah saw. menyebut Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma sebagai putera-putera
beliau. Banyak hadits yang memberitakan pernyataan beliau, antara lain ‘Al-Hasan
ini adalah anak lelaki-ku, ia seorang sayyid’ (kelak akan jadi pemimpin).
Juga ayat Mubahalah. dalam surat Aali ‘Imran:61 ’....maka katakanlah marilah
kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu....’ sampai akhir ayat.
Setelah itu Rasulallah saw. segera memanggil ‘Ali bin Abi Thalib, Siti Fathimah
Az-Zahrah, Al-Hasan dan Al-Husain kemudian mereka berangkat untuk bermubahalah
dengan kaum musyrikin.
Ibnul Qayyim berkata lebih jauh, Allah swt. telah
berfirman mengenai keturunan Ibrahim as. dalam surat Al-An’am:84: ‘...Dan
dari keturunannya (Ibrahim), Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan
Harun. Demikianlah Kami beri balas kebajikan kepada orang-orang yang berbuat
baik. Dan (dari keturunan Ibrahim juga), Zakariya, Yahya, ‘Isa dan
Ilyas.. .sampai akhir ayat'.
Sebagaimana diketahui, Nabi Isa putera Maryam as. tidak
mempunyai hubungan silsilah dengan Nabi Ibrahim a.s. selain dari bundanya.,
Maryam. Jelaslah bahwa keturunan dari seorang perempuan termasuk dalam
pengertian dzurriyat.
Sedangkan
pendapat kedua, yang mengatakan bahwa keturunan dari anak perempuan
tidak termasuk dalam pengertian dzurriyyat berdalil: Keturunan dari seorang perempuan pada
hakikatnya adalah keturunan dari suaminya. Karena itu jika ada seorang wanita
keturunan Bani Hasyim melahirkan anak dari suami bukan dari Bani Hasyim,
maka keturunannya itu bukan keturunan Bani Hasyim. Pihak pendapat kedua ini
mengatakan juga bahwa orang merdeka (bukan budak) keturunannya adalah mengikuti
silsilah ayah, sedangkan budak keturunannya mengikuti silsilah ibu.
Namun dalam pandangan agama, yang terbaik diantara keduanya ialah yang terbesar
ketakwaannya.
Mereka
ini juga mengatakan bahwa dimasukkannya anak-anak Fathimah Az-Zahra ra.
dalam dzurriyyat Nabi saw semata-mata karena kemuliaan dan keagungan
martabat ayahnya (Muhammad saw), yang tiada tolok bandingnya didunia. Jadi dzurriyyat
(keturunan) Nabi dari putri beliau itu merupakan kelanjutan dari
keagungan martabat beliau saw.. Kita mengetahui bahwa keagungan seperti itu
tidak ada pada orang-orang besar, raja-raja dan lain sebagainya. Karena itu
mereka tidak memandang keturunan dari anak-anak perempuan mereka sebagai dzurriyyat
yang berhak mewarisi kebesaran atau kemuliaan mereka. Yang dipandang
benar-benar sebagai dzurriyyat oleh mereka adalah keturunan dari
anak-anak lelaki mereka. Kalau keturunan dari anak perempuan dipandang
sebagai dzurriyyat, itu hanyalah disebabkan oleh faktor kemuliaan dan
ketinggian martabat ayah anak perempuan itu. Demikianlah pendapat
pihak kedua.
Menanggapi dalil yang dikemukakan pendapat pihak kedua
diatas ini, Ibnul-Qayyim berkata; bahwa pandangan seperti itu mengenai dzurriyyat
Rasulallah saw. tidaklah pada tempatnya dan tidak dapat dibenarkan, sebab
itu merupakan penyamaan antara soal-soal keduniaan dan soal-soal keagamaan.
Tanggapan beliau lebih jauh dapat diteliti dalam kitabnya yang berjudul Jala’ul-Afham
halaman 177.
11.12.Keturunan Yang Dijuluki
Syarif/Sayyid:
Sehubungan dengan masalah-masalah mengenai siapakah
ahlul-bait dan nasab keturunan Rasulallah saw. yang telah dikemukakan tadi pada
dasarnya semua keturunan Ahlul Bait Rasulallah saw. ialah yang diharamkan
terima sedekah/zakat. Mereka itu khususnya adalah yang dari keturunan Al-Hasan
dan Al-Husain radhiyallah-‘anhuma ,bukan orang yang berasal dari keturunan dua
orang saudara perempuan mereka berdua, walaupun semuanya ini adalah putri-putri
Siti Fathimah binti Rasulallah saw..
Ketentuan seperti ini juga berdasarkan pada
hadits berasal dari Jabir ra. yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam
Mustadraknya dan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya. Menurut hadits
tersebut Siti Fathimah ra. menuturkan bahwa ayahndanya (Rasulallah
saw.) pernah berkata: “Setiap orang dari anak Adam (yang dilahirkan
oleh seorang ibu) termasuk didalam suatu ‘ashbah (kelompok dari satu
keturunan), kecuali dua orang putra (Siti) Fathimah. Akulah wali dan
‘ashbah mereka berdua’. Yang dimaksud dua orang putra Siti Fathimah disini
yaitu Al-Hasan dan Al-Husain.
Juga dalam hadits Rasulallah saw. pernah bersabda:
“Semua anak Adam bernasab kepada orangtua lelaki (ayah mereka), kecuali
anak-anak Fathimah (Al-Hasan dan Al-Husain). Akulah ayah
mereka dan akulah yang menurunkan mereka”.
Dua hadits diatas itu diperkuat dengan sabda Rasulallah
saw. yang diriwayat kan oleh Imam Bukhori dalam kitabnya Al-Ahkam dan
Imam Muslim dalam kitabnya Al-Imarah yang mana beliau saw.
menyatakan dengan tegas bahwa Al-Hasan dan Al-Husain sebagai putra
beliau, bunyi hadits sebagai berikut: “Dua orang puteraku ini (beliau
sambil menunjuk pada Al-Hasan dan Al-Husain) adalah Imam-Imam, baik
disaat mereka sedang duduk atau pun sedang berdiri ”.
Begitu juga Allah swt. sendiri berfirman dalam surat
Aal-Imran ayat 61: “Maka katakanlah (Hai Muhammad kepada mereka),
Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, wanita kami dan wanita
kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah
dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta”.
Peristiwa singkat ayat Mubahalah (Aal-Imran
:61) diatas ini turun pada tahun ke 10 Hijriyyah berkenaan dengan adanya
tantangan dan pendustaan dari beberapa orang utusan kaum Nasrani dari daerah
Najran yang datang menghadap Rasulallah saw. untuk mempersoalkan agama Islam.
Maksud mereka menghadap beliau saw. ini untuk menyanggah kebenaran
berita-berita Al-Qur’an mengenai Nabi Isa as. Pembicaraan itu tidak menghasilkan
persetujuan apa pun selain kesepakatan bersama untuk bermohon kepada Allah swt.
untuk menurunkan kutukan dan siksa kepada pihak yang berdusta. Dalam hal itu
kedua belah pihak menentukan tempat dan waktu yang telah disetujui oleh kedua
belah pihak.
Ketika waktu yang ditentukan tersebut tiba, Rasulallah
saw. mengajak orang-orang yang terdekat yaitu kerabat beliau saw. yang
dipandang paling mulia dan terhormat. Rasulallah saw. berjalan menuju tempat
tersebut dengan menggendong Al-Husain ra. yang masih kanak-kanak dan
menggandeng Al-Hasan ra. yang sudah agak besar. Dibelakang beliau saw. berjalan
Siti Fathimah ra. dengan kain kerudung, sedangkan Imam ‘Ali kw. berjalan di
belakangnya.
Beliau saw. bertemu dengan Kaum Nasrani tersebut sambil
bersabda: “Mereka ini adalah anak-anak kami, diri kami, dan wanita kami, maka
panggil lah anak-anak kamu (kaum kafir), diri kamu dan wanita-wanita
kamu, kemudian mari kita bermubahalah kepada Allah dan minta supaya laknat
Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta”.
Menurut ahli tafsir dan hadits yang dimaksud kata-kata anak-anak
kami dalam ayat itu ialah Al-Hasan dan Al-Husain [ra] ; yang di maksud wanita-wanita
kami adalah Siti Fathimah ra. dan yang dimaksud diri-diri
kami dalam ayat tersebut yaitu Rasulallah saw. dan Imam Ali
kw.
Umat Islam sepakat bahwa ayat Mubahalah diatas ini turun
untuk Nabi saw. , Imam Ali kw., Siti Fathimah ra., Al-Hasan dan Al-Husain (ra).
Kita bisa rujuk hal ini diantaranya dalam:
Shahih Muslim, kitab Al-Fadhail, bab Fadhail Ali bin Abi
Thalib, jilid 2 hal.360 cet. Isa Al-Halabi; Syarah An-Nawawi jilid 15 hal. 176
cet.Mesir ; Shahih At- Tirmidzi, jilid 4 hal. 293, hadits ke 3085 ;
jilid 5 hal.301 hadits ke 3808 ; Al-Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, hal. 150 ;
Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1 hal.185 cet.Al-Maimaniyah, jilid 3 hal. 97
hadits ke 1608, cet.Darul Ma’arif ; Tafsir
Ath-Thabari jilid 3, hal. 299, 330, 301 ; jilid 3 hal.192 cet.Al-Maimaniyah
Mesir ; Tafsir Ibnu Kathir jilid 1, hal. 370-371 ; Tafsir Al-Qurthubi jilid 4
hal. 104 ; Kifayah Ath-Thalib oleh Al-kanji Asy-Syafi’i hal. 54, 85, 142 cet.
Al-Haidariyah ; hal.13, 28, 29, 55, 56 cet. Al-Ghira ; Ahkamul Qur’an oleh Ibnu
Al-‘Arabi jilid 1 hal. 275 cet.kedua Al-Halabi; jilid 1 hal.115, cet.
As-Sa’adah Mesir ; Jami’ul Ushul oleh Ibnu Atsir, jilid 9 hal. 470. Dan masih
banyak lagi lainnya.
Dengan memperhatikan ayat dan kalimat hadits-hadits
diatas, kita dapat mengetahui bagaimana Rasulallah saw. sendiri telah
mengkhususkan pengelompokan Al-Hasan dan Al-Husain sebagai keturunan
beliau sendiri, meski pun keduanya adalah putra-putra pasangan Imam ‘Ali
bin Abi Thalib dan Siti Fathimah binti Muhammad saw. Sedangkan dua orang
saudara perempuan Al-Hasan dan Al-Husain yaitu Siti Zainab dan Siti
Ummu Kaltsum -radhiyallahuma- anak-anak mereka berdua ini, dikecualikan
dari pengelompokan nasab dengan Rasulallah saw., karena anak-anak dari
dua orang putri Siti Fathimah ra ini akan bernasab kepada ayahnya
(suami dua orang putri Siti Fathimah) masing-masing yang bukan dari keluarga
Ahlul-Bait.
Itulah sebabnya kaum salaf (kaum dahulu) dan
khalaf (kaum belakangan) memandang anak lelaki seseorang syarifah
(wanita dari keturunan Rasulallah saw.) tidak dapat disebut syarif atau sayyid
jika ayahnya bukan dari golongan Ahlul-Bait (keturunan) Rasulallah saw..
Karena itulah Rasulallah saw. menetapkan kekhususan tersebut hanya berlaku bagi
dua orang putra Siti Fathimah ra dan tidak berlaku bagi anak-anak yang
dilahirkan oleh putri-putri Rasulallah saw. selain Siti Fathimah ra.
Seperti Siti Zainab binti Muhammad saw., ia tidak
mempunyai anak lelaki hanya mempunyai anak perempuan dari seorang ayah yang bukan
Ahlul Bait ,Abul-‘Ash bin Rabi’, sehingga dengan sendirinya anak
tersebut tidak termasuk kelompok Ahlul-Bait. Ketentuan Rasulallah saw. itu
ditetapkan oleh beliau semasa hidupnya. Atas dasar itu maka anak-anak
Amamah binti Abul-‘Ash binar-Rabi’ tidak dinasabkan kepada Rasulallah
saw, karena ayah Amamah bukan lelaki dari kalangan Ahlul Bait. Seandainya
Zainab binti Muhammad saw. melahirkan anak lelaki dari seorang suami dari
kalangan Ahlul Bait, tentu bagi anak lelakinya itu berlaku ketentuan yang
berlaku juga pada Al-Hasan dan Al-Husain ra yaitu dinasabkan kepada
Muhammad saw. Wallahua'lam.
Bolehkah (zaman sekarang) keturunan Nabi saw. menerima zakat ?
Kami ingin mengutip sedikit lagi pendapat ulama tentang
kalimat hadits yang berbunyi semua (ahlul-bait) diharamkan
menerima sedekah atau zakat. Memang pada dasarnya –menurut hadits–
semua keturunan ahlul-bait Rasul Allah saw. termasuk disini orang-orang Bani
Hasyim dan Bani ‘Abdul Mutthalib ( yang lazim disebut kaum sayid atau kaum
syarif) diharamkan menerima sedekah atau zakat dalam bentuk apa pun
juga, tapi mereka diberi hak untuk memperoleh bagian dari harta ghanimah
atau dari harta kekayaan umum (Baitul-Mal). Mereka boleh menerima bagian dari harta warisan atau
harta wakaf dengan syarat bunyi kalimat wasiat atau wakaf tersebut jelas dan
tegas sebagai hak mereka ini.
Akan tetapi dalam zaman kita
sekarang ini tidak ada lagi ghanimah dan tidak ada pula atau
jarang sekali dana Baitul-Mal sebagaimana yang dahulu pernah terjadi
pada zaman pertumbuhan Islam. Dengan terjadinya perkembangan ini maka sebagai
akibatnya para keturunan Ahlulbait Rasulallah saw. yang hidup kekurangan tidak
dapat menerima tunjangan yang oleh syari’at telah ditetapkan sebagai hak
mereka. Dalam keadaan seperti itu apakah oleh syari’at mereka sekarang ini
diperkenankan menerima zakat dari orang-orang kaya untuk meringankan beban
penghidupan sehari-hari?
Menurut Imam Syafi’i,
dalam keadaan bagaimana pun juga mereka tidak boleh atau haram menerima sedekah
atau zakat. Akan tetapi menurut Imam Al-Qady Abu Sa’id Al-Hurawi, para
keturunan ahlul bait yang dalam keadaan seperti diatas itu diperbolehkan
menerima sedekah atau zakat asal benar-benar mereka itu tidak mungkin lagi
dapat memperoleh haknya dari bagian harta ghanimah (rampasan perang)
atau Baitul Mal. Demikian pula fatwa yang dikeluarkan oleh Imam Muhammad
bin Muhammad bin Yahya dan Imam Fakruddin Ar-Razi dan dibenarkan
juga oleh Abu Syakil. Dalam kitabnya yang berjudul “Al-Khadim’ ,
Abu Syakil setelah mengutarakan pendapat Ar-Rafi’i masalah tersebut, ia pun
mengemukakan pendapat Imam Al-Ashthakhri, Al-Hurawi dan Ibn Yahya,
yang semuanya memperbolehkan keturunan ahlulbait menerima shadaqah atau
zakat, jika mereka benar-benar tidak mungkin lagi memperoleh
hak-haknya dari harta ghanimah atau jarahan perang.
Abu Hafsh An-Narsami mengatakan, shadaqah atau zakat
boleh diberikan kepada orang-orang yang menurut syari’at berhak
memperoleh bagian dari harta ghanimah. Dan masih banyak lagi pendapat para
ulama yang semakna, diantaranya Syarif Abul ‘Abbas Al-Fara dalam
kitabnya Mu’tamadut Tanbih; Ibnun-Nahwi dalam kitabnya Al-‘Ajaalah
dan lain-lain. Demikianlah keterangan singkat dari para ulama mengapa sekarang
keturunan Rasulallah saw. mau menerima zakat dan sedekah. Wallahua'lam.
11.13.Kalimat Hadits Al-Kisa’
Allah
swt. berfirman yang aritnya; "Sesungguhnya Allah berkehendak
menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu
sesuci-sucinya." (QS. al-Ahzab: 33).
Menurut
para ulama bahwa argumentasi terdekat dan terjelas yang berkenaan dengan
penafsiran ayat diatas ini ialah sebuah hadits yang dikenal dikalangan para
ahli hadits dengan sebutan hadits Al-Kisa`, yang tingkat keshohihan dan
kemutawatirannya tidak kalah dengan hadits Tsaqalain. Ayat diatas ini
menurut mayoritas ulama turun kepada Imam Ali bin Abi
Thalib, Siti Fathimah, al-Hasan dan al-Husain [ra] adalah termasuk perkara yang
amat jelas bagi mereka yang mengkaji kitab-kitab hadits dan tafsir. Dalam hal
ini Ibnu Hajar berkata: "Sesungguhnya mayoritas para
mufassir mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ali, Fathimah, Hasan
dan Husain". (Ash-Shawa'iq, hal 143).
Hadits ini terkenal dengan julukan Al-Kisa’
artinya selendang atau selimut, karena Nabi saw. menutupi dirinya beserta empat
orang keluarganya dengan selimut tersebut. Nash-nash hadits ini banyak
diriwayatkan oleh berbagai sumber dan oleh banyak perawi dengan tekts yang
berbeda-beda tapi mempunyai makna yang sama.
Sebagian para mufassirin (ahli tafsir) telah kami
kemukakan pada pengertian/paham kedua mengatakan yang dimaksud Ahlul-Bait
dalam surat Al-Ahzab:33 hanyalah: Rasulallah saw., Imam Ali bin Abi Thalib kw.,
Siti Fathimah Az-Zahra ra, Al-Hasan dan Al-Husain [ra]. Mereka berdalil dengan
hadits-hadits Al-Kisa’ berikut ini:
Al-Hakim telah meriwayatkan didalam kitabnya al-Mustadrak
'ala ash-Shahihain fi al-Hadits:
"Dari Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib yang
berkata: “Ketika Rasulullah saw. memandang kearah rahmat yang turun, Rasulullah
saw. berkata, 'Panggilkan untukku, panggilkan untukku.' Shafiyyah bertanya;
'Siapa, ya Rasulullah’? Rasulullah menjawab; 'Ahlul Baitku, yaitu Ali,
Fathimah, Hasan dan Husain’. Maka mereka pun dihadirkan kehadapan Rasulullah,
lalu Rasulullah saw. meletakkan pakaiannya keatas mereka, kemudian
Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya dan berkata, 'Ya Allah, mereka inilah
keluargaku (maka sampaikanlah shalawat kepada Muhamad dan keluarga Muhamad).'
Lalu Allah swt. menurunkan ayat 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu
sesuci-sucinya' ". (Mustadrak
al-Hakim, jilid 3, hal 197–198, dan beliau berkata; ‘Hadits
ini shohih sanadnya’.)
Al-Hakim meriwayatkan hadits serupa dari Ummu
Salamah yang berkata; "Dirumah saya turun ayat yang berbunyi, 'Sesungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilang- kan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan
mensucikan kamu sesuci-sucinya'. Lalu Rasulullah saw mengirim Ali,
Fathimah, Hasan dan Husain, dan kemudian berkata, 'Mereka inilah Ahlul Baitku'
". (Mustadrak
al-Hakim, jilid 3, hal 197-198, kemudian, al-Hakim
berkata, ‘Hadits ini shohih menurut syarat Bukhari’).
Dihalaman lain al-Hakim juga meriwayatkan hadits ini dari
Watsilah, dan kemudian berkata, "Hadits ini shohih menurut
syarat mereka berdua".
Imam Muslim meriwayatkan hadits ini di dalam
kitab shohih-nya dari Aisyah yang berkata; “Rasulullah saw. pergi
keluar rumah pagi-pagi sekali dengan mengenakan pakaian (yang tidak dijahit
dan) bergambar. Hasan bin Ali datang, dan Rasulullah saw. memasukkannya kedalam
pakaiannya, lalu Husain datang, dan Rasulullah saw. memasukkannya kedalam
pakaiannya; lalu datang Fathimah, dan Rasulullah saw. pun memasukkannya ke
dalam pakaiannya; berikutnya Ali juga datang, dan Rasulullah saw memasukkannya
kedalam pakaiannya; kemudian Rasulullah saw berkata; ’Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan
kamu sesuci-sucinya." (Shohih Muslim,
bab keutamaan-keutamaan Ahlul Bait.)
Berita
ini dapat ditemukan di dalam banyak riwayat yang terdapat di dalam kitab-kitab
shohih, kitab-kitab hadits dan kitab-kitab tafsir (Baihaqi di dalam Sunan al-Kubra, bab keterangan
Ahlul-Baitnya (Rasulullah saw); tafsir ath-Thabari, jilid 22, hal 5; tafsir
Ibnu Katsir, jilid 3, hal 485; tafsir ad-Durr al-Mantsur, jilid 5, hal 198 -
199; Shohih Turmudzi, bab keutamaan-keutamaan Fathimah; Musnad Ahmad, jilid 6,
hal 292 - 323.)
Imam Muslim dalam shohih-nya (1V:1883 nr.2424)
dari Umar bin Abu Salamah anak tiri Rasulallah saw. sebagaimana dicantumkan
dalam At-Turmudzi (V:663). Redaksinya dari beliau dan lain-lainnya
dengan isnad shohih. Dia berkata; “Ayat berikut ini turun kepada Nabi
Muhammad saw., ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan, dosa dari
kamu hai ahlul-bait dan membersihkan sebersih-bersihnya’ (QS Al-Ahzab:33).
Ayat tersebut turun kepada Nabi Muhammad saw. dirumah Ummu Salamah ra. Lalu
Nabi Muhammad saw. memanggil Siti Fathimah ra, Hasan dan Husain. Lalu
Rasulallah saw. menutupi mereka dengan kiswah (baju,kain) sedang Imam
Ali kw. ada dibelakang punggungnya (Nabi). Beliau saw. pun menutupinya dengan
pakaian (kiswah). Kemudian beliau saw. bersabda; ‘Allahumma (Ya Allah), mereka
itu ahli-baitku, maka hilangkanlah dosa (kekejian dan kekotoran) dari
mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya’ (bersihkanlah mereka
sebersih-bersihnya).
Ummu Salamah ra. berkata; ‘Dan (apakah) aku beserta mereka wahai
Rasulallah’? Beliau saw. bersabda; ‘Engkau mempunyai tempat tersendiri, dan
engkau menuju kepada kebaikan’ “.
Diantara riwayat di dalam bab ini —didalam
menentukan siapa Ahlul-Bait— ialah riwayat yang dinukil oleh as-Suyuthi
di dalam kitab tafsirnya ad-Durr al-Mantsur, yang berasal dari Ibnu
Mardawaih, dari Ummu Salamah yang berkata; "Dirumahku turun
ayat, 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai
Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya’. Saat itu di rumahku ada
tujuh orang yaitu Jibril, Mikail, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, sementara
aku berada di pintu rumah. Kemudian saya berkata, 'Ya Rasulullah, tidakkah aku
termasuk Ahlul Bait’? Rasulullah saw menjawa; 'Sesungguhnya engkau berada pada
kebajikan, dan sesungguhnya engkau termasuk istri Rasulullah saw.'
". (Tafsir ad-Durr
al-Mantsur, jld 5, hal 198.)
Pada riwayat al-Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya
disebutkan, Ummu Salamah bertanya; "Ya Rasulullah, saya tidak termasuk
Ahlul Bait”? Rasulullah saw. menjawab, ‘Sesungguhnya engkau berada dalam
kebajikan, mereka itulah Ahlul Baitku. Ya Allah, mereka inilah Ahlul Baitku
yang lebih berhak’ “. (Mustadrak
al-Hakim, jld 2, hal 416.)
Pada riwayat Imam Ahmad disebutkan;
"Saya (ummu Salamah ra) mengangkat pakaian penutup untuk masuk bersama
mereka namun Rasulullah saw. menarik tangan (tidak memasukkan) saya sambil
berkata, 'Sesungguhnya engkau berada dalam kebajikan' ". (Musnad Ahmad, jld 3, hal 292 - 323.)
Dalam satu riwayat yang mengatakan bahwa
setelah turunnya ayat ini Nabi saw. mendatangi pintu Ali bin Abi Thalib setiap
waktu sholat selama sembilan bulan berturut-turut dengan mengatakan;
"Salam, rahmat Allah dan keberkahan atasmu, wahai Ahlul-Bait. 'Se-sungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hal Ahlul Bait, dan
mensucikan kamu sesuci-sucinya’ “. Itu dilakukan oleh Rasulullah saw.
sebanyak lima kali dalam sehari. (Penfasiran ayat dari Ibnu Abbas, di dalam kitab tafsir ad-Durr al-Mantsur,
jilid 5, hal 199.)
Didalam Shohih Turmudzi, Musnad Ahmad,
Musnad ath-Thayalisi, Mustadrak al-Hakim 'ala ash-Shahihain, Usud al-Ghabah,
tafsir ath-Thabari, Ibnu Katsir dan as-Suyuthi disebutkan bahwa Rasulullah
saw mendatangi pintu rumah Fathimah selama enam bulan setiap kali keluar
hendak melaksanakan sholat Subuh dengan berseru; "Salat, wahai Ahlul Bait.
'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul
Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya’ “. (Mustadrak 'ala ash-Shahihain, jld 3, hal 158).Dan riwayat-riwayat
lainnya yang serupa yang berkenaan dengan bab ini.
Hadits dari
Aisyah ra. katanya: “Pada suatu pagi Nabi saw. keluar dengan berselimut
sebuah kain wol berwarna hitam, ketika Hasan putra Ali (abi Thalib) datang,
maka beliau memasukkan ia kedalam selimut, demikian pula ketika Husain,
Fathimah dan Ali datang, maka beliau memasukkan mereka kedalam selimut,
kemudian beliau berkata; ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan
dosa bagi kamu, hai ahli bait dan mensucikan kalian sesuci-sucinya’ (surat
Al-Ahzab :33) ”. (HR. Muslim)
Sedangkan dalam riwayat Tirmidzi disebutkan: “Ketika
Allah menurunkan firman-Nya: ‘.........’ (surat Al-Ahzab:33), dirumah
Ummu Salamah (isteri Nabi), maka Nabi memanggil (Siti) Fathimah, Al-Hasan dan
Al-Husain, kemudian beliau menutupi mereka dengan sebuah kain selendang sedang
(Imam) Ali yang berada dibelakang punggung beliau juga ditutupi dengan kain
tersebut, kemudian beliau berdoa; ‘Ya Allah, mereka adalah ahli baitku, maka
hilangkanlah dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersih- nya’.
Ketika Ummu Salamah berkata; ‘Wahai Nabiyullah, aku pun bersama mereka’, maka
beliau saw. bersabda; ‘Engkau berada di tempatmu dan engkau dalam kebaikan’
“.
(Ada pula riwayat hadits lain dari Ummu Salamah yang pada
waktu terjadinya Haditsul Kisa’ beliau bertanya pada Rasulallah saw.; Ya
Rasulallah, bukankah aku dari mereka juga ? Beliau menjawab; Ya, benar! Tapi
hadits ini bertentangan dengan hadits-hadits Al-Kisa’ lainnya yang lebih
kuat dan lebih dipercaya kalimat haditsnyayang menyatakan bahwa yang
dimaksud ahlul-bait hanya lima orang saja, dan isteri-isteri beliau
saw. tidak termasuk didalamnya.
Riwayat hadits-hadits lainnya yang senada atau semakna
hanya berbeda versinya saja dengan hadits terakhir diatas diantaranya
yaitu:
Hadits dari Zaid, dari Syahr bin Hausyab ; Hadits
dari Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dakkain yang mengatakan menerima hadits dari
Abdus-Salam bin Harb dari Kaltsum Al-Muharibiy berasal dari Abu ‘Ammar ; Hadits
dari Waki’ dari Abdulhamid bin Bahram dari Syahr bin Hausyab dari Fudhail bin
Marzuq dari ‘Athiyyah dari Abu Sa’id Al-Khudry berasal dari Ummu Salamah ra..;
Hadits dari Zarbayi dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah dan berasal dari
Ummu Salamah ra. ; Hadits dari Ibnu Marzuq dari ‘Athiyyah dari Abu Sa’id
berasal dari Ummu Salamah ; Hadits dari Hasyim bin ‘Utbah bin Abi Waqqash,
berasal dari ‘Abdullah bin Wahab bin zam’ah ; Hadits dari Muhammad bin Sulaiman
Al-Ashbahaniy dari Yahya bin ‘Ubaid Al-Makky dari ‘Atha bin Abi Rabbah berasal
dari Umar bin Abi Salamah ; Hadits dari Bukair bin Asma dari ‘Amir bin Sa’ad
berasal dari Sa’ad ; Hadits dari ‘Abdullah bin ‘Abdulquddus dari
Al-A’masy dari Hakim bin Sa’ad berasal dari ‘Ali bin Abi Thali kw. dan masih
banyak lagi lainnya.
Menurut jumhur ulama, semuanya ini cukup membuktikan
bahwa yang dimaksud Ahlul-Bait dalam ayat Al-Ahzab:33 ialah mereka Ash-habul
Kisa, sehingga dengan demikian mereka itu adalah partner al-Qur'an, yang
kita telah diperintahkan oleh Rasulullah saw. juga dalam hadits Tsaqalain
untuk berpegang teguh kepada mereka.
Orang yang mengatakan bahwa 'itrah itu artinya keluarga,
sehingga merubah maknanya, itu tidak dapat diterima! Karena tidak ada
seorang pun dari para pakar bahasa yang mengatakan demikian.
Ibnu Mandzur menukil di dalam kitabnya Lisan al-'Arab:
“Sesungguhnya 'itrah Rasulullah saw. adalah keturunan Fathimah ra.
Ini adalah perkataan Ibnu Sayyidah. Al-Azhari berkata, 'Didalam hadits
Zaid bin Tsabit yang berkata, 'Rasulullah saw bersabda, '... …lalu dia menyebut
hadits Tsaqalain'. Maka disini Rasulullah menjadikan 'itrah-nya
sebagai Ahlul Bait'. Abu Ubaid dan yang lainnya berkata, ‘Itrah seorang
laki-laki adalah kerabatnya'. Ibnu Atsir berkata, ‘Itrah seorang
laki-laki lebih khusus dari kaum kerabatnya’. Ibnu A'rabi
berkata, ‘Itrah seorang laki-laki ialah anak dan keturunannya yang
berasal dari tulang sulbinya’.' Ibnu A'rabi melanjutkan perkataannya, 'Maka
'itrah Rasulullah saw adalah keturunan Fathimah.’ " (Lisan al-Arab, jld 9, hal 34)
Dari makna-makna ini telah jelas bahwa yang dimaksud
Ahlul-Bait bukan mutlak kaum kerabat, melainkan kaum kerabat yang paling
khusus. Oleh karena itu, di dalam riwayat Imam Muslim disebutkan bahwa tatkala
Zaid bin Arqam ditanya, siapa yang dimaksud dengan Ahlul-Bait Rasulullah?
Apakah istri-istrinya? Zaid bin Arqam menjawab, "Tidak, demi
Allah. Sesungguhnya seorang wanita tidak selamanya bersama suaminya, karena
jika dia ditalak maka dia akan kembali kepada ayah dan kaum- nya. Adapun yang
dimaksud Ahlul Bait Rasulullah saw. ialah keluarga nasabnya, yang diharamkan
sedekah atas mereka sepeninggalnya (Rasulullah saw)".
Menjadi anggota Ahlul-Bait, tidak pernah diklaim
oleh seorang pun dari kaum kerabat Rasulullah saw, dan tidak pernah diklaim
juga oleh istri-istri beliau saw.. Karena jika tidak demikian, maka
tentunya sejarah akan menceritakan hal itu kepada kita. Tidak ada di
dalam sejarah dan juga di dalam hadits shohih yang menyebutkan bahwa para
istri Rasulullah saw. mengakui/ berdalil dengan ayat Al-Ahzab:33 ini.
Adapun argumentasi Ibnu Katsir tentang keharusan
memasukkan istri-istri Rasulullah saw tidaklah dapat diterima, karena
kehujjahan dhuhur bersandar kepada kesatuan ucapan. Sebagaimana di ketahui
bahwa ucapan telah berubah dari bentuk ta'nits (wanita) pada ayat-ayat
sebelumnya kepada bentuk tadzkir (lelaki) pada ayat ini. Jika yang di
maksud dari ayat ini adalah istri-istri Rasulullah saw. maka tentunya kalimat
ayat tersebut berbunyi :
إنَّمَا يُرِيْدُ
اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُنَّ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُنَّ
تَطْهِيْرًا
Oleh karena itu, Allah swt. memulai firman-Nya setelah
ayat ini, "Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah
dan hikmah...." (QS. al-Ahzab: 34)
Tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa ayat Tathhir
(Al-Ahzab:33) turun kepada para isteri Rasulullah saw. selain dari Ikrimah
dan Muqatil. Perkataan mereka ini tidak dapat diterima, disebabkan bertentangan
dengan riwayat-riwayat shohih yang dengan jelas mengatakan bahwa Ahlul-Bait itu
ialah para ashabul Kisa’, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas..
Begitu juga banyak hadits shohih yang mutawatir bertentangan dengan pendapat Ikrimah
dan Muqatil.
Info: Hadits al-Kisa` termasuk hadits yang
shohih dan mutawatir dan diakui baik dari kalangan Salaf mau pun Khalaf.
Dengan keterangan-keterangan tadi, dapat kita simpulkan
bahwa bahwa terbanyak pendapt dari para ulama yang di maksud dengan
Ahlul-Bait ialah: Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib, Siti Fathimah, al-Hasan
dan al-Husain [ra]. Demikianlah sekilas mengenai keterangan para pakar Islam
tentang makna hadits al-Kisa’. Wallahua'lam.
11.14.Keterangan Mengenai Hadits
Tsaqalain Dan Hadits Kitabullah Wa Sunnati
Kita hanya sering mendengar dimasjid-masjid atau tempat lainnya tentang
hadits Rasulallah saw. agar kita memegang dua bekal yaitu: ‘Kitabullah wa
sunnati’ artinya (berpegang) Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw. atau hadits lainnya yaitu:
‘Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin
sepeniggalku, dan peganglah erat-erat serta gigitlah dengan gigi gerahammu’.
Tetapi belum pernah atau jarang sekali dikumandangkan
dan dikenal oleh kaum muslimin hadits Nabi saw. agar kita memegang dua bekal,
yaitu: ‘Kitabullah dan Itrah-ku (keturunan-ku)
Ahlu baitku’.
Padahal hadits ‘Kitabullah wa Sunnati’ diatas ini
,menurut ulama, sanadnya masih diperselisihkan para ulama, begitu
juga bukan termasuk hadits tsaqalain. Kami akan kutip masalah ini dari
kitab Shalat Bersama Nabi saw., dari halaman 269, karya Syeikh
Hasan ‘Ali As-Saqqaf, terbitan Dar al-Imam an-Nawawi,Oman Jordania, yang
diterjemahkan oleh Drs. Tarmana Ahmad Qasim diterbitkan oleh Pustaka Hidayah,
Bandung, sebagai berikut:
{{ Syeikh Saggaf pernah ditanya mengenai hadits, ‘Aku
tinggalkan pada kalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat setelah
berpegang teguh kepada keduanya; Kitabullah dan …’. Apakah hadits itu
tersebut shohih jika ditambah dengan kata-kata (pada akhir hadits) ’ ‘ithraty
wa ahli baitii ’ (keluargaku yaitu ahli baitku) . Atau
mungkin yang benar, ‘wa sunnati ‘ (dan sunnahku)? Orang ini berharap
agar dapat menjelaskan sanad hadits tersebut.
Syeikh
Sagqaf menjawab: Sebenarnya sanad hadits yang tsabit dan shohih adalah
hadits yang berakhir dengan wa ahli baity. Sedangkan yang berakhir
dengan kata-kata wa sunnaty itu bathil (salah) dari sisi matan
dan sanad-nya. Berikut ini, kami kutip sebagian/garis besar penjelasan
mengenai sanad dua hadits:
Hadits
yang shohih diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya ( IV : 1873 nr.2408
cet.Abdulbaqy) dari Zaid bin Arqam ra yang katanya: “Suatu hari Rasulallah saw.
pernah berdiri di hadapan kami seraya berkhutbah disuatu tempat (kebun) kosong
diantara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya. Lalu
menasihati dan mengingatkan (ummatnya) dengan sabdanya: ‘Amma ba’du
(adapun sesudah itu), ingatlah wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku ini
hanya manusia biasa, hampir-hampir (sebentar lagi) akan datang utusan Tuhanku
(yang akan memanggilku ke hadhrat-Nya), maka aku pun (pasti) mengabulkannya.
Dan aku (akan ) meninggalkan pada kalian dua pusaka. Pertama, Kitabullah
(Al-Qur’an), didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Maka ambil lah kitabullah
itu dan peganglah teguh-teguh. Beliau saw. memerintahkan untuk berpegang
teguh pada Al-Qur’an sebagai kitabullah dan mendorong untuk mengamalkannya.
Kemudian beliau saw. bersabda: ‘Dan (yang kedua)ahli baitku (keluargaku)“.
Itulah
lafadh atau redaksi dari Imam Muslim, dan diantara perawi lainnya
meriwayatkan dengan redaksi seperti itu ialah; Al-Darimy dalam Sunan-nya
(II:431-432) dengan isnad shohih dan ada lagi perawi lainnya yang meriwayatkan
seperti redaksi Imam Muslim itu.
Sedangkan
dalam riwayat Imam Turmudzi terdapat kata-kata Wa ‘ithraty ahli-baity
(Dan keturunanku yaitu ahli baitku [keluarga rumahku] ). Dalam Sunan
Turmudzi (V:663 nr. 3788) menyebutkan: “Rasulallah saw. bersabda:
‘Sesungguhnya aku meninggalkan pada kalian apa yang jika kalian pegang
(erat-erat) pasti kalian tidak akan sesat sesudah aku (wafat).
Salah satunya lebih agung daripada yang lainnya, (yaitu) Kitabullah. Dia
merupakan tali yang memanjang dari langit kebumi. Dan keturunanku
(yaitu) ahli-baitku. Kedua-duanya (dua pusaka) tidak akan berpisah
sehingga kembali/bertemu dengan aku di Haudh (telaga di surga).
Perhatikanlah (berhati-hatilah dan pikirkanlah) bagaimana kalian memperlakukan
mereka sepeninggalku’ “. Hadits shohih.
Sedangkan
kalimat hadits ‘wa sunnati’ (dan sunnah-ku), Syeikh Saqqaf tidak
meragukan ke-maudhu’-annya, karena kelemahan sanadnya dan
factor-faktor lainnya yang sangat mempengaruhi kelemahannya. Berikut ini isnad
dan matan hadits tersebut:
Imam
Al-Hakim meriwayatkan hadits (Kitabullah wa sunnah Rasulallah) ini dalam
kitabnya Al-Mustadrak (I : 93) dengan isnadnya dari jalan Ibn Abi
Uwais dari ayahnya, dari Tsaur bin Zaid Al-Daily, dari Ikrimah, dari Ibnu
Abbas yang diantara isinya sebagai berikut: ‘ Wahai sekalian manusia,
sesungguhnya aku (Muhammad saw.) telah meninggalkan pada kamu apa yang jika
kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya, yaitu Kitabullah
dan sunnah Rasul-Nya…..’.
Dalam sanad hadits itu terdapat Ibn
Abi Uwais dan ayahnya. Al-Hafidz Al-Mizzi dalam Tahdzib Al-Kamal
(III:127), mengenai biografi Al-Ibn yakni Ibn Abi Uwais dan saya (Al-Mizzi)
akan mengutip perkataan orang yang mencelanya, “Berkata Mu’awiyah bin Shalih
dari Yahya bin Mu’in, ‘Abu Uwais dan putranya itu (keduanya) dhoif
(lemah), dan dia itu suka mengacaukan (hafalan) hadits (Mukhallith) dan suka
berbohong, dia tidak mengapa (dalam hadits)’ “.
Menurut Abu Hatim, “Ibn Abu Uwais
itu tempat kejujuran (mahalluhu ash-shidq), dia terbukti lengah
[dilengahkan/dibiarkan orang (mughaffa)]”.
Imam Nasa’i menilai: “Dia
dhoif/lemah, dan dia tidak tsiqah”. Menurut Abu Al-Qasim Al-Alka’i;
“Imam Nasa’i sangat jelek menilainya sampai kederajat matruk (Ibn Abi
Uwais itu ditinggalkan orang)”.
Menurut komentar Abu Ahmad bin ‘Adi;
“Ibn Abi Uwais itu meriwayatkan dari pamannya (yakni) Malik berupa beberapa
hadits gharib yang tidak di ikuti oleh seorang pun (dari periwayat lain
yakni tidak ada mutaba’ah-nya)”.
Al-Hafidz Ibn Hajar dalam muqaddimah
Al-Fath Al Bari halaman 391 Dar Al-Ma’rifah mengenai Ibn Abi Uwais
mengatakan; “Atas dasar itu hadits dia tidak dapat dipakai hujjah/dalil selain
yang terdapat dalam Ash-Sahih, karena celaan yang dilakukan oleh Imam
Nasa’i dan lain-lainnya”.
Al-Hafidz Sayyid Ahmad bin
Ash-Shiddiq dalam Fath Al-Mulk Al-Ali halaman 15 mengatakan; “Berkata
Salamah bin Syabib, saya pernah mendengar Ismail bin Abi Uwais mengatakan,
‘Mungkin saya (Ismail bin Abi Uwais) membuat hadits (adha’u al-hadits) untuk
penduduk Madinah jika mereka berselisih pendapat mengenai sesuatu diantara
mereka’ “.
Jadi
dia Ibn Abi Uwais dituduh suka membuat hadits
(maudhu’) dan Ibn Mu’in menilainya sebagai pembohong. Dan
haditsnya yang mengandung kalimat ..wa sunnati tidak terdapat dalam
salah satu dari Shohihain !!
Adapun mengenai ayahnya, Abu
Hatim Ar-Razi mengatakan, sebagaimana disebutkan dalam kitab anaknya Al-Jarh
wa At-Ta’dil (V:92), “Ditulis haditsnya, tetapi tidak dapat dijadikan
hujjah, dan dia tidak kuat”. Dalam sumber yang sama, Ibn Abi Hatim mengutip
dari Ibn Mu’in bahwa dia berkata dalam kitab Al-Jarh wa At-Ta’dil tersebut
; ‘Abu Uwais itu tidak tsiqah’.
Menurut
Syeikh Saqqaf, sanad yang dimasuki atau dicampuri oleh dua orang yang telah
disebutkan diatas itu tidak dapat menjadi shohih, kecuali jika ada unta
yang dapat masuk ke lubang jarum (mustahil). Apalagi jika telah terbukti bahwa
apa yang mereka bawa dan datangkan itu bertentangan dengan hadits tsabit/kuat
dan shohih. Al-Hakim sendiri telah mengakui ke-dhaif-an hadits
tersebut, sehingga dia tidak menshohihkannya dalam Al-Mustadrak
tersebut. Dia hanya menarik (mencarikan) syahid atau saksi penguat bagi hadits
tersebut, tetapi tetap saja lemah (wahin) dan isnadnya jatuh (saqith), sehingga
tampaklah betapa sangat lemahnya hadits tersebut. Kami telah membuktikan bahwa Ibn
Abi Uwais dan ayahnya sungguh-sungguh, salah satu diantara keduanya
telah mencuri (membuat) hadits yang sedang kita bahas itu. Dan, dengan tegas,
Ibn Mu’in menilai bahwa kedua orang tersebut suka mencuri (membuat) hadits,
(sehingga haditsnya disebut maudhu’, dibuat-buat).
Al-Hakim meriwayatkan (I:93) hadits
itu, dia berkata: “Saya telah menemukan syahid atau saksi penguat bagi hadits
tersebut dari hadits Abu Hurairah ra., kemudian diriwayatkan dengan sanadnya
melalui (jalan) Al-Dhaby: Tsana (telah menghaditskan kepada kami) Shalih
bin Musa At-Thalhy dari Abdul ‘Aziz bin Rafi’ dari Abu Sholih dari
Abu Hurairah ra secara marfu’ (Rasulallah saw. bersabda): ‘Sesungguhnya
aku meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang kalian tidak akan
sesat setelah keduanya. Kitbullah dan Sunnah-ku. Keduanya tidak
akan berpisah sehingga keduanya mendatangkan/mengembalikan (bertemu)
kepadaku di Haudh’ “.
Menurut
saya (pengarang), hadits ini juga maudhu’ (dibuat-buat). Disini yang
dibicarakan atau yang dikomentari hanya satu orang yaitu Shalih bin Musa
At-Thalhy.
Berikut
ini, penilaian para imam pakar hadits dari kalangan kibar al-huffazh
(penghafal terkenal) yang mencela Shalih bin Musa Ath-Thalhy:
Dalam kitab Tahdzib Al-Kamal
XIII : 96: ‘Berkata Yahya bin Mu’in, Laisa bi-syai’in (riwayat hadits
tersebut tidak ada apa-apanya)’. Abu Hatim Ar-Razy berkata : ‘Dhaif
Al-Hadits (Hadits itu lemah)’.
Dia
sangat mengingkari hadits dan banyak kemungkaran terhadap perawi yang tsiqah.
Menurut penilaian Imam Nasa’i , haditsnya tidak perlu ditulis. Atau pada
kesempatan lain Imam Nasa’i berkata : ‘Dia itu matruk al-hadits
(haditsnya ditinggalkan)‘.
Al-Hafidh Ibn Hajar Al-‘Asqalany
dalam Tahdzib At-Tahdzib IV:355 menyebutkan; “Ibn Hibban berkata bahwa Shalih
bin Musa meriwayatkan dari Tsiqat apa yang tidak menyerupai hadits
itsbat (yang kuat), sehingga yang mendengarkannya bersaksi bahwa riwayat
tersebut ma’mulah (diamalkan) atau maqbulah (diterima) tetapi
tidak dapat dipakai untuk ber-hujjah. Abu Nu’aim berkata: ‘Dia itu matruk
al-hadits sering meriwayatkan (hadits-hadits) munkar’ “.
Al-Hafidh dalam At-Taqrib
juga menghukuminya sebagai rawi matruk /perawi yang harus ditinggalkan
(Tarjamah : 2891).
Demikian pula Al-Dzahaby
dalam Al-Kasyif : 2412 yang menyebutkan bahwa dia wahin
(lemah). Menurut Al-Dzahaby dalam Al-Mizan II:302, hadits Shalih bin
Musa tersebut termasuk dari kemungkaran yang dilakukannya.
Al-Hafidh Ibn Abdilbar dalam At-Tamhid
XXIV:331 menyebutkan sanad ketiga mengenai hadits dhaif tersebut: “Dan
telah menghaditskan kepada kami Abdurrahman bin Yahya, dia berkata, telah
menghaditskan kepada kami Ahmad bin Sa’id, dia berkata, telah menghaditskan
kepada kami Muhammad bin Ibrahim Al-Daibaly, dia berkata, telah menghaditskan
kepada kami Ali bin Zaid Al-Faraidhy, dia berkata, telah menghaditskan kepada
kami Al-Haniny dari Katsir bin Abdullah bin ‘Amr bin ‘Awf, dari ayahnya,
dari kakeknya (mengenai hadits tersebt) “ .
Terdapat dalam sanad hadits tersebut
yaitu Katsir bin Abdullah, Imam Syafi’i berkata: ‘Dia (Katsir bin
Abdullah) adalah salah satu punggung kebohongan’. Sedangkan menurut Abu
Dawud; ‘Dia (Katsir bin Abdullah) adalah salah satu pembohong’.
Ibn Hibban berkata: “Dia (Katsir bin
Abdullah) meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya suatu nuskhah (tekts)
yang maudhu’ yang tidak halal atau tidak pantes untuk dicantumkan dalam
berbagai kitab dan tidak perlu di riwayatkan kecuali untuk ta’ajjub
(aneh karena keberaniannya dalam berbohong)
Imam Nasa’i dan Al-Daraquthni,
berkata Dia (Katsir bin Abdullah) matruk al-hadits (haditsnya
ditinggalkan orang).
Imam Ahmad berkata: ‘Dia itu
pengingkar hadits, dia tidak (mempunyai peran) apa-apa‘. Demikian pula menurut
penilaian Yahya bin Mu’in bahwa ‘Dia (Katsir bin Abdullah) tidak (bukan)
apa-apa (tidak berarti) ’.
Imam Malik menyebutkan hadits
tersebut dalam Al-Muwathha’ (I : 899 nr.3) tanpa menyebutkan
sanad. Tetapi hal ini bukan suatu soal, karena mengenai kelemahannya hadits itu
sangat jelas.
Selanjutnya
Syeikh Saqgaf berkata, bahwa Al-Hafidh Ibn Hajar –rahima hullah ta’ala– dalam At-Tagrib
menilainya (hadits itu) sebagai dhoif/lemah saja, kemudian dia (Ibn
Hajar) berkata: ‘Sungguh berlebihan jika ada orang yang menuduhnya sebagai pembohong’.
Menurut saya (Syeikh Saqgaf), hal itu sama sekali tidak salah dan tidak
berlebihan. Karena, seperti terlihat dari penilaian para imam dan pakar
hadits, dia memang pendusta. Bukankah Al-Dzahaby juga telah
menilai dia (dalam Al-Kasyif) sebagai wahin (lemah). Dan memang dia
demikian, haditsnya maudhu’ (dibuat-buat), hadits itu tidak cocok untuk
di ikuti (mutaba’ah) dan tidak perlu dicarikan syahid (saksi penguatnya).
Bahkan harus dijauhi. Allah lah yang memberi taufik kepada kita semua.
Begitu
juga menurut Mutanaqidh penentang atau sang kontroversial (yang dimaksud
adalah Al-Albani--pen) dalam Dha’ifatih (IV:361), hadits shohih dan
tsabit yang menyebutkan ‘Wa ‘itrati ahli baiti’ (dan keturunanku yaitu
ahli baitku), menjadi syahid (saksi) atas (kebenaran dan keshohihan) hadits
yang mengandung wa sunnati (dan sunnahku). Yang demikian itu menurut
Syeikh Saqqaf termasuk layak untuk ditertawakan. Hanya Allah yang memberi
hidayah kepada kita semua.
Selanjutnya
Syeikh Saqqaf mengatakan, bahwa sabda Rasulallah saw. ‘Itrati Ahli Baiti’
(Keturunankau [yaitu] ahli baitku atau keluargaku), maksudnya adalah
isteri-isterinya, keturunannya (dzurriyyahnya) dan yang paling terkemuka adalah
Siti Fathimah, Sayyidina ‘Ali semoga Allah memuliakannya di surga , Sayidina Hasan
dan Sayidina Husain a.s. dan semoga mereka mendapat keridhaan-Nya. Dalilnya
ialah (baca yang telah kami kemukakan diatas—pen.).
Dengan
penjelasan yang telah dikemukakan, jelaslah bahwa hadits, Kitabullah wa
‘Itrati (Kitabullah Alqur’an dan keturunanku) adalah hadits shohih
dan tsabit, yang terdapat dalam Shohih Muslim dan lain-lainnya.
Dan kalimat hadits Kitabullah wa Sunnati (Kitab Allah dan Sunnahku) itu bathil
dari sisi sanad dan tidak shohih. Maka, saya (Syeikh Saqqaf)
menganjurkan kepada para khatib, imam dan muballigh untuk segera meninggalkan
pengucapan hadits-hadits yang tidak diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw..
Dan,
hendaklah mereka ini juga tidak segan-segan untuk mengungkapkan
hadits shohih dari Nabi Muhammad saw. yang terdapat dalam Shohih Muslim
yang antara lain menyebutkan ‘Kitabullah wa ‘Itrati ahli baiti atau wa
ahli baiti’. Kami pun berpesan kepada para penuntut ilmu (santri dan
pelajar pada umumnya) untuk mempelajari ilmu hadits. Dan hendaklah mereka juga
mau menyediakan waktu untuk mengenali hadits yang shohih dan dho’if sekaligus.
Allah swt. menfirmankan yang hak dan benar. Dia menunjuki manusia dan
makhluk-Nya kejalan yang lurus dan benar. Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin. ]
Demikianlah jawaban dan keterangan Syeikh Saqqaf.}}.
Hadits
yang kedua, ‘Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para
Khulafa` Rasyidin…, terdapat di dalam Sunan Turmudzi, Sunan Abu Dawud
dan Sunan ibnu Majah. Sedangkan Imam Bukhori dan Imam Muslim tidak
meriwayatkannya.
Mari
kita teliti mengenai hadits yang kedua berikut ini:
Sanad
hadits (' ...berpegang teguh sunnahku dan sunnah khulafa Rasyidin..'
) dalam riwayat Imam Turmudzi:
Imam Turmudzi telah meriwayatkan hadits ini dari Bughyah
bin Walid. Pandangan diantara para ulama ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil
tentang Bughyah bin Walid sebagai berikut:
Ibnu Jauzi berkata tentangnya
didalam sebuah perkataan, "Sungguh kami ingat bahwa Bughyah telah
meriwayatkan dari orang-orang yang majhul dan orang-orang lemah.
Mungkin saja dia tidak menyebutkan mereka dan tidak menyebutkan orang-orang
yang meriwayatkan baginya." ( Al-Mawdhu'at, Ibnu Jauzi, jld. 1, hal. 109).
Ibnu Hiban berkata, "Tidak bisa
berhujjah (berdalil) dengan Bughyah." (Al-Mawdhu'at, Ibnu Jauzi, jld. 1, hal. 151). Ibnu
Hiban juga berkata, "Bughyah seorang penipu. Dia meriwayatkan dari
orang-orang yang lemah, dan para sahabatnya tidak meluruskan perkataan- nya dan
membuang orang-orang yang lemah dari mereka”. (Al-Mawdhu'at, Ibnu Jauzi, jld. 1, hal. 218)
Abu Ishaq
al-Jaujazani berkata, "Semoga Allah merahmati Bughyah, dia tidak peduli
jika dia menemukan khurafat pada orang tempat dia mengambil hadits”. (
Khulashah 'Abagat al-Anwar, jld. 2, hal. 350). Begitu juga ucapan-ucapan
lainnya dari para huffadz dan ulama ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil.
Sanad Hadits (' ...berpegang teguh sunnahku dan
sunnah khulafa Rasyidin..' ) dalam riwayat Abu Dawud:
Walid bin Muslim meriwayatkan hadits dari Tsaur
an-Nashibi. Sebagaimana kata Ibnu Hajar al-'Asqolani: "Kakeknya telah
terbunuh pada hari Muawiyah terserang penyakit sampar. Adapun Tsaur, jika nama
Ali (bin Abi Thalib) disebut dihadapannya dia mengatakan, ‘Saya tidak menyukai
laki-laki yang telah membunuh kakek saya’ " (Khulashah 'Abaqat al-Anwar, jld. 2, hal. 344).
Adapun
berkenaan dengan Walid bin Muslim, adz-Dzahabi berkata, "Abu Mushir
mengatakan Abu Walid seorang penipu, dan mungkin dia telah
menyembunyikan cacat para pendusta”. (Mizan al-I'tidal, jld. 4, hal. 347)
.
Abdullah
bin Ahmad bin Hanbal berkata, "Ayah saya ditanya tentangnya (tentang Walid
ini), dia menjawab, 'Dia seorang yang suka mengangkat-angkat’ ". (Tahdzib at-Tahdzib, jld. 11, hal. 145).
Sanad Hadits (' ...berpegang teguh sunnahku dan
sunnah khulafa Rasyidin..' ) dalam riwayat Ibnu Majah:
Pada sanad hadits terdapat Abdullah
bin 'Ala.
Adz-Dzahabi berkata tentangnya,
"Ibnu Hazm berkata, 'Yahya dan yang lainnya telah mendaifkannya/
melemahkannya’ “. (Mizan al-I'tidal, jld. 2,
hal. 343). Dia telah meriwayatkan hadits dari Yahya, dan Yahya adalah seorang
yang majhul dalam pandangan Ibnu Qaththan (Tahdzib
at-Tahdzib, jld. 1, hal. 280).
Hadits ini juga
diriwayatkan dari Tsaur —seorang nashibi— Abdul Malik bin Shabbah. Di
dalam kitab Mizan al-I'tidal disebutkan, "Dia dituduh mencuri
hadits." (Tahdzib at-Tahdzib, jld. 2,
hal. 656). Di samping itu, hadits tersebut sebagai hadits ahad/tunggal.
Seluruh riwayatnya kembali kepada seorang sahabat, Urbadh bin Sariyah.
Hadits ahad tidak bisa digunakan sebagai hujjah/dalil.
Demikianlah pendapat beberapa ulama hadits.
Lepas dari semua keterangan diatas itu, yang sudah pasti
hadits yang lebih kuat dan lebih dipercaya, yang diucapkan
Rasulallah saw. sebagai wasiatnya didepan ummatnya serta
diriwayatkan dan diakui keshohihanya oleh semua ulama yaitu agar
kita disuruh berpegang teguh kepada Kitabullah dan ‘Ithrah Ahli-baitku
(Al-Qur’an dan ahlul-bait Rasulallah saw). Sedangkan hadits yang
menyebut kan “Kitabullah wa sunnatii” dan hadits “berpegang teguh kepada
sunah Rasulallah saw. dan sunah para Khulafa` Rasyidin” bukan sebagai
hadits tsaqalain dia termasuk hadits yang lain. Karena telah terbukti
dua hadits diatas ini bertentangan dengan kalimat hadits tsaqalain yang
sudah tsabit dan shohih . (untuk kalimat dan perawi hadits tsaqalain silahkan
baca halaman berikutnya)
Jumlah Perawi Hadits (Kitab Allah dan 'itrahku) dari kalangan Sahabat:
1. Zaid bin Arqam.2. Abu sa'id al-Khudri.3.
Jabir bin Abdullah.4. Hudzaifah bin Usaid.5. Khuzaimah bin Tsabit.6. Zaid bin
Tsabit.7. Suhail bin Sa'ad.8. Dhumair bin al-Asadi, 9. 'Amir bin Abi Laila
(al-Ghifari).10. Abdurrahman bin 'Auf.11. Abdullah bin Abbas.12. Abdullah bin
Umar.13. 'Uday bin Hatim.14. 'Uqbah bin 'Amir.15. Ali bin Abi Thalib.16. Abu
Dzar al-Ghifari.17. Abu Rafi'.18. Abu Syarih al-Khaza'i.19. Abu Qamah
al-Anshari.20. Abu Hurairah.21. Abu Hatsim bin Taihan.22. Ummu Salamah.23. Ummu
Hani binti Abi Thalib. [ RA ] 24. Dan masih banyak lagi laki-laki dari kalangan
Quraisy.
Jumlah Perawi dari kalangan Thabi'in hadits "Kitab
Allah dan
‘Itrahku":
1. Abu Thufail 'Amir bin Watsilah.2. 'Athiyyah bin Sa'id
al-'Ufi.3. Huns bin Mu'tamar.4. Harits al-Hamadani.5. Hubaib bin Abi Tsabit.6.
Ali bin Rabi'ah.7. Qashim bin Hisan.8. Hushain bin Sabrah.9. 'Amr bin
Muslim.10. Abu Dhuha Muslim bin Shubaih. 11. YahyabinJu'dah. 12. Ashbagh bin
Nabatah. 13. Abdullahbin Abirafi'.14. Muthalib bin Abdullah bin Hanthab.15.
Abdurrahman bin Abi sa'id.16. Umar bin Ali bin Abi Thalib.17. Fathimah binti
Ali bin Abi Thalib.18. Hasan bin Hasan bin bin Ali bin Abi Thalib.19. Ali
Zainal Abidin bin Husain, dan yang lainnya.
Kita sering bertanya-tanya, mengapa hadits tqalain
jarang sekali di kumandangkan dimasjid-masjid atau tempat lainnya,
padahal hadits tsqalain ‘Kitabullah wa ‘Itrati ahli baiti
atau wa ahli baiti’ ini ebih
kuat dan lebih banyak diriwayatkan daripada hadits ‘Kitabullah wa sunnati’
ini. Berpuluh-puluh sahabat Nabi saw. yang meriwayatkan hadits tsqalain serta
dikutip dalam beratus-ratus kitab para ulama pakar berbagai madzhab.
Ada gerangan apakah sebagian ulama tidak mau menerangkan
atau mengumandangkan dalam pidatonya atau ceramahnya hadits tqalain ini?,
padahal kita semua dianjurkan untuk menerangkan semua firman Allah swt. dan
Sunnah Rasul-Nya dan tidak boleh menyembunyikannya !
Hadits tsqalain ini diucapkan oleh Rasulallah saw.
didalam pidato/khutbahnya ketika beliau saw. selesai menunaikan ibadah haji
wada’ bersama kaum muslimin didepan ribuan ummat dan disaksikan oleh para
sahabat beliau saw.. Didalam pidatonya beliau saw. menekankan sebagai wasiat
beliau agar ummatnya berpegang teguh pada dua bekal berat dan penting yaitu Kitabullah
dan Keturunannya (ahlul baitnya), yang akan menjamin keselamatan ummatnya.
Wasiat beliau saw. ini perlu diperhatikan dan dijaga baik-baik, agar dalam
perjalanan hidup didunia ini ummat Islam tidak akan sesat dan akan mencapai
tujuan yang didambakan, yaitu meraih keridhoan Allah swt. di dunia dan akhirat.
Walau pun sudah jelas siapa yang dimaksud ahlul-bait itu
dalam ayat Al-Ahzab dan dalam hadits-hadits shohih, masih ada ulama yang
membatasi maknanya yakni mengartikan itrah atau ahlu bait
Rasulallah saw. hanya terdiri dari para ulama
dari keturunan Rasulallah saw. saja. Pengakuan mereka seperti itu
tidak berdasarkan hujjah atau dalil naqli, hanya berdasarkan pikiran mereka
sendiri mengartikan makna dari Ahlul-Bait dari segi dan istilah
bahasa dan dari bidang ilmu atau ketaqwaan.
Sebenarnya yang dimaksud ithrah dan ahlul-bait dalam
firman Allah swt. dan hadits Rasulallah saw .agar dicintai, dijaga hak-hak
mereka dan diakui kemuliaan dan kedudukan mereka ialah semua keturunan
dari Nabi saw.. Tidak pandang apakah mereka itu Imam, ulama atau bukan.
Mengenai para ahli Fiqih, para ulama dan para Imam dari keturunan Rasulallah
khususnya, mereka itu memang teladan bagi ummat Islam dan merupakan pelita yang
menerangi kegelapan. Akan tetapi itu tidak berarti bahwa hanya mereka itu saja
yang dimaksud dari keluarga keturunan Rasulallah saw.. Kalau makna
ahlul-bait itu hanya terbatas pada ulama-ulama atau ahli Fiqih dari kalangan
ahlul-bait, maka Rasulallah saw. dalam pidatonya akan mengatakan: “Aku
tinggalkan kepada kalian dua bekal; ’Kitabullah dan para ulama atau
ahli Fiqih dari ahlubaitku’, ternyata pidato beliau saw. hanya mengatakan ‘Kitabullah
dan ithrah-ku, ahlubaitku’ “ !
Kita ummat muslimin terutama para ulama, para ahli fiqih
dan para Imam itu justru orang-orang yang paling pertama berkewajiban
memperhatikan wasiat Nabi saw.. Secara umum mereka itu wajib mencintai,
menghormati kedudukan dan memelihara hak-hak semua keluarga keturunan
Rasulallah saw. dengan sebaik-baiknya. Tidak diragukan diantara para hadirin
saat itu, yang mendengarkan khotbah Rasulallah saw., pasti terdapat orang-orang
yang sudah lebih mendalam ilmu pengetahuannya tentang Fiqih dibandingkan dengan
kebanyakan anggota ahlul-bait dan anak-anak mereka.
- Apakah ada diantara para hadirin yang sebanyak itu
menyimpulkan bahwa Rasulallah saw. dalam pidatonya itu mewasiatkan para anggota
keluarganya supaya memuliakan kedudukan para ulama dan para ahli Fiqih?
- Apakah ketika itu ada orang yang mengatakan bahwa yang
dimaksud ‘itrah’ atau ‘ahlul-bait’ itu bukan keturunan Rasulallah
saw. melainkan orang-orang lain yang tidak mempunyai hubungan darah
dengan beliau saw.?
- Apakah waktu itu beliau saw. berwasiat bahwa
anggota-anggota keluarga beliau saw. adalah: Abu Bakar As-Siddiq, ‘Umar Ibnul
Khattab, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, ‘Abdullah bin Salam
[ra] atau para sahabat lainnya, baik yang berasal dari kaum Muhajirin maupun
kaum Anshor?
- Apakah kaum muslimin yang sebanyak itu tidak ada
yang memahami, bahwa Rasulallah saw. berpesan kepada segenap kaum muslimin
supaya menjaga dengan baik kedudukan para keluarga keturunan dan kaum kerabat
beliau saw.?
- Apakah diantara kaum muslimin ribuan yang hadir waktu
itu tidak ada yang mengerti, bahwa yang dimaksud ‘itrah’ atau ‘ahlul
bait’ itu ‘keluarga keturunan Rasulallah saw’. dan bukan orang selain ini?
Sudah tentu khotbah wasiat Rasulallah saw. itu cukup jelas dimengerti oleh para
hadirin waktu itu ! Sebab arti ‘itrah’ atau ‘ahlul-bait’ Rasulallah saw.
dalam pidatonya itu tidak bisa diartikan kecuali keluarga Rasulallah
saw. dan keturunan beliau saw.!
11.15.Kalimat Hadits Tsaqalain
(Dua Bekal Berat)
Hadits tsaqalain banyak dikutip oleh
para perawi hadits dan beragam kalimatnya, tapi maknanya sama. Berikut ini kami
kutip beberapa hadits tqalain yang sebagian telah kami kemukakan.
يَا اَيُّهَا النَّاسُ اِنِّي تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا اِنْ
اَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوْا كِتَابَ اللهِ وَعِطْرَتِي أهْلَ بَيْتِي
Artinya: “Wahai manusia, sungguh kutinggalkan kepada
kalian sesuatu yang jika kalian berpegang teguh dengannya kalian tidak akan
tersesat: ‘Kitabullah dan Itrahku Ahlu baitku’ ”.
Hadits ini bisa kita rujuk dalam:
Shahih Tirmidzi jilid 5, hal. 328, hadits ke 3874
cet.Darul Fikr Beirut, jilid 13 hal.199 cet.Maktabah Ash-Shawi, Mesir, jilid 2
hal.308 cet. Bulaq Mesir.; dalam Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 5 hal. 182 ;
dalam Al-Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, halaman 149 ia mengatakan hadits ini
adalah hadits shahih ; dalam Ad-Durrul Mantsur oleh Jalaluddin As-Suyuthi jilid
6 hal.7 ; dalam Ash-Shawa’iqul Muhriqah oleh Ibnu Hajar Al-Haitsami hal. 184 ;
dalam Al-Fadhail, oleh Ahmad bin Hanbal hal.28.; dalam Tarikh Al-Khulafa’ oleh
As-Suyuthi hal.109 ; dalam Tafsir Ibnu Kathir, jilid 4 hal.113, cet.Dar Ihya’
Al-Kutub Al-‘Arabiyah, Mesir. ; dalam Tafsir Al-Khazin jilid 1 hal.4, cet.Dar
Ihya’ Al-Kutub Al-‘Arabiyah, Mesir. ; dalam Usdul Ghabah fi Ma’rifati
Ash-Shahabah oleh Ibnu Atsir Asy-Syafi’i jilid 2 hal.12. Dan dalam kitab
lain-lainnya.
Rasulallah saw.bersabda :
إنَّي تَارِكٌ فِيْكُمْ خَلِيْفَتَيْنِ : كِتَابَ اللهِ
حَبْلٌ مَمْدُوْدٌ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالاَرْضِ وَعِتْرَتِي أهْلَ
بَيْتِي وَإنَّهُمَا لَنْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ
الْحِوْضَ
Artinya: “Kutinggalkan kepada kalian
dua peninggalan: Kitabullah sebagai tali yang terbentang antara langit
dan bumi, dan keturunanku ahlulbaitku. Sesungguhnya kedua-duanya itu
tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Haudh (telaga di surga)”.
(dikeluarkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dari hadits Zaid bin Tsabit dan dari
dua shohih Bukhori-Muslim. Yang pertama pada halaman 182 dan yang kedua pada
akhir halaman 189 jilid V. Dikeluarkan juga oleh Abu Syaibah, Abu Ya’la dan
Ibnu Sa’ad. ‘Kanzul Ummal’ jilid 1, halaman 47 hadits no.945).
Juga hadits yang serupa diatas hanya berbeda
versinya tapi sama makna- nya, bisa kita rujuk juga dalam Ad-Durrul Mantsur
oleh As-Suyyuthi Asy-Sayfi’i jilid 2, hal.60 ; Yanabi’ul Mawaddah oleh
Al-Qundusi Al-Hanafi hal.38 dan 183, cet.Istanbul; cet.Al-Haidariyah hal.42 dan
217.; Dalam Majma’uz Zawaid oleh Al-Haitsmi jilid 9, hal. 162 ; ‘Abaqat
Al-Anwar jilid 1, hal.16 cet.pertama Ishfahan; Al-jami’ Ash Shaqhir oleh
As-Suyuthi jilid 1, hal. 353 cet. Mesir ; Al-Fathul Kabir oleh An-Nabhani,
jilid 1 hal. 451 dan kitab-kitab rujukan lainnya.
Rasulallah saw. bersabda :
إنَّي اُوْشِكُ اَنْ اُدْعَى فَاُجِيْبَ وَإنَّي تَارِكٌ
فِيكُمُ الثَّقَلَيْنِ: كِتَابَ اللهِ عَزَّ
وَجَلَّ وَعِتْرَتِي كِتَابُ اللهِ حَبْلٌ مَمْدُوْدٌ مِنَ السَّمَاءِ
اِلَى الاَرْضِ وَعِتْرَتِي أهْلَ بَيْتِي وَإنَّ اللَّطِيْفَ الْخَبِيْرَ
اَخْبَرَنِي اَنَّهُمَا لَنْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ
الْحِوْضَ فَانْظُرُوْا كَيْفَ تَخْلِفُوْنِي فِيْهِمَا
Artinya: “Bahwasanya aku merasa hampir
dipanggil dan aku akan memenuhi panggilan itu. Sesungguhnya aku tinggalkan
kepadamu dua pusaka (bekal) yang berharga (berat): Kitabullah
‘Azza wa jalla dan ‘Ithrahku (keturunanku). Kitabullah adalah tali yang
terbentang dari langit ke bumi, dan Itrahku ialah Ahlu baitku. Sesungguhnya
Yang Maha Halus dan Maha Mengetahui (Allah swt.) memberitakan kepadaku bahwa
keduanya tidak akan terpisahkan sehingga keduanya kembali kepadaku di Haudh,
maka perhatikan bagaimana kalian mempertentangkan aku terhadap keduanya
“.(Hadits ini dikeluar kan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya jilid 111
hal.17 dan 18)
Hadits yang serupa diatas ini bisa kita rujuk juga dalam:
Ash-Shawa’iqul Muhriqah oleh Ibnu Hajar, hal. 148, cet.
Al-Muhammadiyyah, disini disebutkan ‘Lam Yaftariqa’ yang benar ‘ Lan Yaftariqa
’sebagaimana yang terdapat pada cet.pertama hal. 89, cet. Al-Maimaniyah Mesir.;
As-Sirah An-Nabawiyyah oleh Zaini Dahlan (catatan pinggir As-Sirah Al-Halabiyah
jilid 3, hal.331 cet.Al-Bahiyah, Mesir. ; Al-Mu’jam Ash-Shaqier oleh
Ath-Thabrani jilid 1, hal.131 cet.Dar An-Nashr, Mesir. ; Maqtal Al-Husain, oleh
Al-Khawariz mi jilid 1, hal.104, cet.Mathba’ah Az-Zahra’.; Jami’ul Ushul oleh
Ibnu Atsir jilid 1, hal. 187, cet.As-Sunnah Al-Muhammadiyah dan lain-lainnya.
Rasulallah saw.bersabda :
إنَّي
تَارِكٌ فِيكُمُ الثَّقَلَيْنِ: كِتَابَ اللهِ وَاَهْلَ بَيْتِي وَإنَّهُمَا لَنْ
يَفْتَرِقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ
الْحِوْضَ
Artinya: “Kutinggalkan kepada kalian dua bekal. ‘Kitabullah
dan ahlu baitku’. Sesungguhnya kedua-duanya itu tidak akan berpisah hingga
kembali kepadaku di haudh”. (Dikeluarkan oleh Al-hakim dalam
Al-Mustadrak jilid 111 hal. 148. Dikatakan olehnya bahwa hadits ini mempunyai
kebenaran isnad yang diakui oleh Bukhori dan Muslim, tetapi tidak dikeluarkan
oleh dua orang Imam ini. Dikeluarkan juga oleh Adz-Dhahabi dalam Talkhishul
Mustadrak dan dinyatakan kebenarannya berdasarkan pembenaran Bukhari &
Muslim ).
Hadits Rasulallah saw. dari Zaid bin Arqam ra katanya:
“Pada suatu hari Rasulallah saw.berdiri sedang menyampaikan khutbahnya
dihadapan kami disuatu telaga air bernama Khom yang terletak antara Makkah dan
Madinah. Setelah mengucapkan hamdalah dan memuji kepada Allah, memberi
peringatan dan nasihat lalu beliau saw. bersabda: ‘‘Amma ba’du, wahai sekalian
manusia, sesungguhnya aku adalah seorang basyar (manusia) dan tidak lama lagi
aku akan menyahut seruan tuhanku (wafat), maka aku tinggal- kan ditengah-tengah
kamu dua perkara yang berat (Tsqalain); pertama Kitab Allah Ta’ala
yang didalamnya mengandung petunjuk dan cahaya, maka ambillah kitab Allah itu
dan berpeganglah padanya, dan Ahli Baitku, aku peringatkan kamu
terhadap Ahli Baitku’. (kalimat terakhir ini diulangi oleh beliau
saw. tiga kali ). Husain bertanya (pada Zaid ini); ‘Siapakah Ahli Bait baginda
wahai Zaid’? ‘Bukankah isteri-isteri beliau adalah Ahli Baitnya’? Zaid
menjawab; ‘Sesungguhnya isteri-isteri beliau saw. bukanlah
daripada Ahlil Baitnya, (yang tercantum dalam pidato beliau ini) akan tetapi
Ahli Bait beliau saw. adalah orang-orang yang diharamkan pada
mereka menerima sedekah selepas kewafatan beliau saw.’. Ia bertanya lagi;
‘Siapakah mereka itu’? Jawabnya; ‘Mereka itu adalah keluarga Ali, keluarga
Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga Al-Abbas [ra.]’. Tanyanya lagi; ‘Apakah
semua mereka itu diharamkan padanya sedekah’? Jawabnya ; ‘Ya’ “. (HR. Muslim,
Ahmad bin Hanbal, Tirmidzi dan Nasa’i)
11.16.Hadits Tentang Kemuliaan
Dan Kedudukan Keturunan Rasul Saw.
Mari kita teruskan lagi hadits-hadits Rasulallah
saw. mengenai keutamaan dan kedudukan keturunan beliau saw.. Sabda Rasulallah
saw.:
مَنْ سَرَّهُ اَنْ يَحْيَا حَيَاتِي وَيَمُوْتَ مَمَاتِيْ
وَيَسْكُنَ جَنَّةَ عَدْنٍ غَرَسَهَا
رَبِّي فَلْيُوَلِّ عَلِيًّا مِنْ بَعْدِيوَلْيُوَالِ وَلِيَّهُ وَاليَقْتَدِ بِأَهْلِ
بَيْتِي مِنْ بَعْدِي فَإِنَّهُمْ عِتْرَتِي خُلِقُوْا مِنْ طِيْنَتِي
وَرُزِقُوْا فَهْمِي وَعِلْمِي فَوَيْلٌ لِلْمُكَذِّبِيْنَ بِفَضْلِهِمْ مِنْ
أُمَّتيِّ القَاطِعِيْنَ مِنْهُمْ صِلَتِي لاَ أَتْزَلَهُمُ
اللهُ شَفَاعَتِي.
Artinya: “Barangsiapa senang hidup seperti hidupku
dan mati seperti matiku, lalu ia ingin menjadi penghuni surga ‘Adn yang ditanam
oleh Tuhanku, hendaknya ia mengangkat ‘Ali sebagai pemimpin sepeninggalku, dan
orang itu pun hendaknya mengikuti pimpinan yang diangkat olehnya (‘Ali kw )
sebagai pemimpin, dan supaya berteladan kepada ahlubaitku sepeninggalku.
Sebab mereka itu adalah keturunanku dan diciptakan dari darah dagingku
serta dikarunia pengertian dan ilmuku. Celakalah orang dari ummatku yang
mendustakan keutamaan mereka, dan memutuskan hubungan denganku melalui
(pemutusan hubungan dengan) mereka. Allah tidak akan menurunkan syafa’atku
kepada orang-orang seperti itu“ (hadits ini dikeluarkan oleh Thabrani dalam
kitabnya ‘Al-Kabir’ dan di keluarkan juga oleh Ar-Rafi’i dalam ‘Musnad-nya’
berdasarkan isnad Ibnu ‘Abbas. Kanzul ‘Ummal jilid 6 hal. 217 hadits no. 3819).
Juga sabda Rasulallah saw :
مَنْ اَحَبَّ اَنْ يَحْيَا حَيَاتِي وَيَمُوْتَ مَيْتَتِيْ
وَيَدْخُلَ الجَنَّةَ الَّتِي وَعَدَنِي رَبِّي وَهِيَ جَنَّةُ الخُلْدِ
فَالْيَتَوَلَّ عَلِيًّا وَذُرِّيَتَهُ مِنْ بَعْدِهِ فَإِنَّهُمْ لَنْ
يُخْرِجُوكُمْ بَابَ هُدًي وَ لَنْ
يُدْخِلُوكُمْ
بَابَ ضَلاَلَةٍ.
Artinya:" Siapa yang ingin hidup seperti hidupku wafat
seperti wafatku serta masuk ke surga yang telah dijanjikan kepadaku oleh
Tuhanku yaitu Jannatul Khuld, maka hendaklah ia berwilayah (berpemimpin)
kepada ‘Ali dan keturunan sesudahnya, karena sesungguhnya mereka tidak
akan mengeluar kan kamu dari pintu petunjuk dan tidak akan memasukkan
kamu kepintu kesesatan ". Hadits semacam ini terdapat didalam: Shahih Bukhari, jilid 5, hal. 65, cet. Darul Fikr; jilid
5 halaman 159, cet.Mathabi’ Asy-Sya’b.; Shahih Muslim, jilid 2, halaman 51,
cet. Al-Halabi, jilid 5, halaman 119, cet.Syirkah Al-I’lanat. ; Mizanul
I’tidal, oleh Adz-Dzahabi, jilid 4, halaman 415
cet. Dar Ihya’ Al-Kutub Al-‘Arabiyah.; Al-Manaqib, oleh Al-Khawarizmi, halaman
34. ; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, halaman 149 dan 150, cet.
Al-Haidariyah, halaman 126 cet. Istanbul. ; Al-Ishabah, oleh Ibnu Hajar
Al-‘Asqalani Asy-Syafi’i, jilid 1, halaman 541, cet. Mushthafa Muhammad; jilid
1, halaman 559, cet. As-Sa’adah.
11.17.Hadits Safinah (perahu):
Disamping hadits-hadits yang telah dikemukakan tadi,
marilah kita ikuti lagi Hadits Safinah (Perahu) berikut ini:
Rasulallah saw. bersabda:
اَلاَ إِنَّ مَثَلَ أَهْلَ بَيْتِي فِيْكُمْ كَمَثَلِ
سَفِيْنَةِ نُوْح مَنْ رَكِبَهَا
نَجًا, وَمَنْ تَخَلَّفَ عَنْهَا غَرَقَ
Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya perumpamaan Ahlu
Baitku bagi kalian seperti bahtera Nuh, siapa yang menaikinya selamat dan
siapa yang tertinggal akan tenggelam”.
Hadits ini bisa kita baca didalam:
Al-Mustaddrak Al-Hakim jilid 3, hal.151. ; Nizham Durar
As-Samthin, oleh Az-Zarnadi Al-Hanafi hal. 235. ; Ash-Shawa’iqul Muhriqah, oleh Ibnu Hajar hal. 184 dan
234, cet. Al-Muhammadiyah, Mesir, hal. 111 dan 140 cet.Al-Maimaniyah, Mesir. ;
Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, hal. 30 dan 370
cet.Al-Haidariyah, hal. 27 dan 308 cet.Istanbul. ; Tarikh al-Khulafa’ oleh
As-Suyuthi Asy-Syafi’i. ; Is’afur Raghibin oleh Ash-Shabban Asy Syafi’i hal.109
cet.As-Sa’idiyah, hal.103 cet.Al-‘Utsmaniyah. ; Faraid As-Samthin jilid 2 hal.
246 hadits ke 519.
Juga sabda beliau
saw.
إِنَّمَا مَثَلُ أَهْلِ بَيْتِي فِيْكُمْ كَمَثَلِ
سَفِيْنَةِ نُوْحٍ مَنْ رَكِبَهَا نَجًا,
وَمَنْ تَخَلَّفَ عَنْهَا غَرَقَ وَ إِنَّمَا مَثَلُ أَهْلِ بَيْتِي
فِيْكُمْ مَثَلُ بَابِ حِطَّةٍ فِيْ بَنِى إِسْرَائِيْلَ منْ دَخَلَهُ غُفِرَ
لَه
Artinya: “Sungguh perumpamaan Ahlu Baitku
bagi kalian seperti bahtera Nuh, siapa yang menaikinya selamat dan siapa yang
tertinggal akan tenggelam. Dan perumpama- an Ahlu-Baitku bagi kalian
seperti pintu Hith- thah Bani Israil, siapa yang memasukinya ia akan
diampuni”.
Hadits ini bisa kita baca didalam:
Al-Mu’jam Ash-Shaqir oleh Ath Thabrani jilid 2, hal.22. ;
Kifayah Ath-Thalib, oleh Al-Kanji Asy-Syafi’i hal.378, cet.Al-Haidariyah,
hal..234, cet.Al-Ghira.; Majma’uz Zawaid,oleh Al-Haitsami Asy-Syafi’i
jilid 9, hal.168. ; Ihyaul Mayyit oleh As-Suyuthi (catatan pinggir)
Al-Ittihaf oleh Syibrawi hal.113. ; Ash-Shawa’iqul
Muhriqah oleh Ibnu Hajar, hal. 91 cet.Al-Maimaniyah, hal.150 cet.
Al-Muhammadiyah Mesir. ; Yanabi’ul Mawaddah oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, hal.28
dan 298, cet. Istanbul, hal.30 dan 358, cet.Al-Haidariyah dan masih banyak
lainnya lagi
Makna perumpamaan ahlul Bait sebagai pintu pengampunan
ialah bahwa Allah swt. telah menjadikan pintu itu sebagai perwujudan sikap
merendahkan diri terhadap keagungan-Nya. Sikap seperti ini akan menyebabkan
datangnya maghfirah atau ampunan-Nya. Demikian pula bila ummat ini
dengan segala keikhlasan mau mengikuti petunjuk penerus Nabi saw. yaitu para
Imam dan Ulama dari kalangan keturunan Rasulallah saw. akan
merupakan perwujudan sikap patuh serta tunduk pada kehendak Allah swt. Sikap
seperti ini lah yang akan mendatangkan maghfirah/ampunan Allah swt. bagi
mereka! Demikian juga Ibnu Hajar dalam kitab As-Sawaiq bab 11 halaman 91
telah mencoba membuat persamaan dalam hal ini. Setelah beliau menukil
hadits-hadits yang serupa dan semakna diatas dan lain-lainnya.
Juga sabdanya lagi:
اَلنُّجُوْمُ أَمَانٌ ِلأَهْلِ الأَرْضِ مِنَ الْغَرَقِ وَ
أَهْلُ بَيْتِي أَمَانٌ
ِلأُمَّتِي مِنَ الإِخْتِلاَفِ (فِي الدِّيْنِ) فَإِذَا خَالَفَتْهَا قَبِيْلَةٌ مِنَ الْعَرَبِ (يَعْنِىْ فِي أَحْكَامِ اللهِ
تَعَالَى) إِخْتَلَفُوْا
فَصَارُوْا حِزْبَ إِبْلِيْس
Artinya: “Bintang-bintang adalah keselamatan
bagi penghuni bumi dari (bahaya) tenggelam (didasar laut) dan ahlubaitku
adalah keselamatan bagi ummatku dari perselisihan (masalah agama).
Apabila ada kabilah Arab yang membelakangi ahlubaitku (masalah
hukum-hukum Allah swt) mereka akan berselisih kemudian akan menjadi kelompok
iblis“. (Hadits ini dikemukakan oleh Al-Hakim dan dibenarkan oleh Bukhori
dan Muslim, juga hadits ini bisa kita rujuk didalam Ash-Shawa’iqul Muhriqah
oleh Ibnu Hajar hal. 91 dan 140 cet. Al-Maimaniyah, hal. 150 dan 234
cet.Al-Muhammadiyah; Muntakhab Kanzul ‘Ummal (catatan pinggir) Musnad
Ahmad jilid 5 hal.93 ; Jawahirul Bihar oleh An-Nabhani jilid 1, hal. 361
cet.Al-Halabi Mesir dan lain-lainnya).
Demikianlah antara lain kalimat hadits Tsaqalain, hadits
Safinah dan lainnya serta hadits mengenai Sayyidina Ali kw.serta
keturunannya, yang dimuat juga dalam Muntakhab al-Kanz
(baca catatan pinggir Musnad Imam Ahmad jilid 5 halaman 32). Semuanya ini
jarang sekali, hampir tidak pernah, dikumandangkan oleh ulama kita Ahlusunnah
wal Jama’ah dimasjid-masjid, padahal ini termasuk wasiat Rasulallah saw.
yang penting untuk kaum muslimin.
Lafadh hadits tqalain, hadits Al-Kisa’, hadits Safinah
dan lafadz hadits lainnya mengenai kemuliaan, kedudukan keturunan Rasulallah
saw. banyak di riwayatkan ,para sahabat dan perawi dari ulama pakar dari
berbagai madzhab, seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, madzhab
Imamiyah, madzhab Zaidiyyah dan lain sebagainya, dengan bermacam-macam
ragam tapi makna atau intinya sama yaitu kita diperingatkan oleh beliau
saw.harus berpegang teguh pada dua bekal berat Kitabullah dan Ahlul Bait (keturunan)
Rasulallah dan celakalah orang yang mengingkari dan
mendustakan keutamaan keturunan beliau saw..
11.18.Pendapat Imam Turmudzi Tentang Makna
Hadits Tsaqalain, Safinah
Persoalan hadits yang telah dikemukakan, yang
mana Rasulallah saw menegaskan bahwa ‘ahlubaitku adalah keselamatan bagi
ummatku’ mengundang perhatian beberapa ulama untuk memper masalahkan makna ini
hadits. Masing-masing mengajukan hujah dan dalil-dalil sendiri untuk memperkuat
pendapatnya, dan dalam tiap diskusi perbedaan pendapat itu selalu ada.
Mari kita ikuti pendapat Imam Turmudzi
masalah hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai ahlu-baitnya. Kami akan kutip
pendapat Turmudzi dan langsung sanggahan dari ulama lainnya atas pendapat Imam
Turmudzi ini.
{{ Imam Turmudzi dalam kitabnya Nawadirul-Ushul
menerangkan, bahwa ahlul-bait Rasulallah saw. yang dimaksud dalam hadits
tersebut, ialah “Orang-orang yang meneruskan jalan hidup Rasulallah saw
setelah beliau wafat. Mereka adalah orang-orang shiddiq, orang-orang abdal
(keramat) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw dengan
ucapannya:
“Akan muncul orang-orang abdal (keramat) di
Syam. Mereka berjumlah empat puluh orang. Tiap ada seorang dari mereka wafat,
Allah mengganti kedudukannya dengan orang lain. Karena abdal (kekeramatan) mereka
Allah menurunkan hujan, karena kekeramatan mereka Allah memenangkan mereka atas
musuh-musuhnya dan karena kekeramatan mereka Allah menyelematkan penghuni bumi
dari malapetaka…”. Mereka itulah –kata Imam Turmudzi– ahlul-bait Rasulallah saw
yang menjadi sebab keselamatan ummat ini. Bila mereka itu lenyap, rusaklah bumi
ini dan hancurlah dunia…. Selanjutnya Imam Turmudzi mengatakan:
1). Pengertian mengenai ahlul-bait tidak bisa
didasarkan pada makna hadits yang berbunyi: “Manakala ahlulbaiku lenyap maka
datanglah kepada umatku apa (bencana) yang dijanjikan”. Bagaimana dapat
dibayangkan kalau ahlulbait sudah tidak ada lagi, tidak akan ada seorangpun
dari umat Muhamad saw yang masih tinggal? Jumlah umat Muhamad jauh lebih banyak
daripada ahlulbait yang dapat dihitung dan Allah swt senantiasa melindungi
mereka (ummat Muhamad) dengan berkah dan rahmat-Nya. Pengertian mengenai
ahlulbait juga tidak dapat didasarkan pada hadits yang berbunyi: ‘Semua sebab
dan nasab akan terputus kecuali sebabku dan nasabku’.
2).Menurut hadits tersebut, ahlulbait
Rasulallah saw ialah nasab beliau, yakni Bani Hasyim dan Bani ‘Abdul Mutthalib.
Akan tetapi mereka bukan merupakan sebab bagi keselamatan ummat Islam, sehingga
orang boleh berkata: “Kalau mereka lenyap akan lenyap pula dunia ini”!
3). Dikalangan mereka pun terdapat keburukan
(fasad) seperti yang terdapat didalam golongan lain. Diantara mereka ada yang
baik (muhsin) dan ada pula yang buruk (musi’). Lalu bagaimana dapat dikatakan
bahwa mereka itu merupakan sebab bagi keselamatan penghuni bumi? Jadi jelaslah,
bahwa yang dimaksud (ucapan) Rasulallah saw ialah; orang- orang yang karena
mereka itu dunia ini tetap lestari. Mereka itulah lambang kehidupan dan para
pembimbing manusia kejalan hidayat pada setiap zaman. Tanpa mereka tak ada
kehormatan apa pun dimuka bumi dan bencana akan merajalela…
Imam Turmudzi melanjutkan: Kalau ada yang
mengatakan bahwa kemuliaan ahlulbait dan dekatnya hubungan mereka dengan
Rasulallah saw itu yang membuat mereka menjadi sebab keselamatan bagi penghuni
bumi, orang lain tentu dapat menjawab: ‘Kehormatan dan kemuliaan Rasulallah saw
jauh lebih agung’! Dibumi ini ada sesuatu yang lebih mulia dan lebih agung
dibandingkan dengan keturunan Rasulallah saw yaitu Kitabullah Al-Qur’an, walau
tidak disebut dalam hadits diatas tadi. Selain itu kehormatan dan kemuliaan ada
juga pada para ahli takwa.
Dalam penjelasannya mengenai sebab-sebab yang
membuat Muhamad Rasulallah saw menjadi manusia besar, mulia dan agung, Turmudzi
mengatakan: ‘Kehormatan, kebesaran dan keagungan Rasulallah saw. adalah berkat
kenabian dan kemuliaan yang dilimpah- kan Allah swt kepada beliau’. Sebagai
dalil mengenai hal itu dapat dikemukakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah sebagai berikut:
“Pada suatu hari Rasulallah saw mendatangi
(Siti) Fathimah. Ditempat ke diaman (Siti) Fathimah terdapat Shafiyyah (bibi
Rasulallah saw). Beliau kemudian bersabda: ‘Hai Bani ‘Abdu Manaf, Hai Bani
‘Abdul Mutthalib, Hai Fathimah binti Muhamad, Hai Shafiyyah bibi
Rasulallah. Dihadirat Allah aku tidak bermanfaat bagi kalian. Mintalah berapa
saja dari hartaku yang kalian inginkan. Ketahuilah, bahwa orang yang terbaik
bagiku pada hari kiamat ialah mereka yang bertakwa. Jika kalian hanya
mengandalkan kekerabatan kalian dengan- ku, disaat orang lain datang kepadaku
membawa amal kebajikan lalu kalian datang kepadaku hanya membawa keduniaan
dileher kalian. Kemudian memanggil-manggil ‘Hai Muhamad’, aku menjawab dengan
memalingkan wajahku dari kalian. Kalian lalu memanggil lagi ‘Hai Muhamad’.
Akupun menjawab begitu lagi. Kemudian kalian berkata: ‘Hai Muhamad, Aku ini si
Fulan bin Fulan’. Aku menjawab: ‘Tentang nasab kalian aku memang kenal, tetapi
tentang amal kebajikan kalian aku tidak tahu. Kalian telah meninggalkan
kitabullah, karena itu kalian kembali kepada kekerabatan (yang kalian andalkan)
antara aku dan kalian’ “.
Diriwayatkan pula, bahwa saat itu Rasulallah
saw menegaskan: “Diantara kalian, orang-orang yang memperoleh perlindunganku
bukan- lah mereka yang berkata: ‘ayahku si Fulan’, tetapi diantara kalian yang
memperoleh perlindunganku ialah mereka yang bertakwa siapa pun mereka itu dan
bagaimana pun keadaan mereka”. }}
11.19.Sanggahan/Jawaban Para
Ulama Terhadap Pendapat Imam Turmudzi
Jawaban atas pendapat Imam Turmudzi
Penafsiran dan pendapat Imam Turmudzi mengenai hadits
diatas tentang ahlul-bait, ternyata memperoleh tanggapan dari para ulama yang
lain diantaranya, Yusuf bin Ismail An-Nabhani dalam kitabnya Ashsyaraful
Muabbad li Aal Muhamad, menuturkan:
Sementara jama’ah ahli hadits meriwayatkan sebuah hadits
(hadits Safinah) yang diriwayatkan oleh banyak sahabat Nabi saw bahwasanya
Rasulallah saw bersabda: ‘Ahlubaitku ditengah-tengah kalian ibarat bahtera
Nuh. Barangsiapa menaikinya ia selamat, dan yang ketinggalan ia celaka
(sumber riwayat lain mengatakan … ia tenggelam, dan sumber yang lainnya
mengatakan.....ia digiring ke neraka)’.
- Abu Dzar Al-Ghifari berkata: Aku mendengar Rasulallah
saw bersabda: “Jadikanlah ahlubaitku bagi kalian seperti kedudukan kepala bagi
tubuh dan seperti kedudukan dua mata bagi kepala’”.
- Imam Al-Hakim meriwayatkan sebuah hadits yang
dibenarkan oleh Bukhori dan Muslim: “‘Bintang-bintang adalah keselamatan bagi
penghuni bumi dari (bahaya) tenggelam (didasar laut) dan ahlubaitku adalah
keselamatan bagi ummatku dari perselisihan. Apabila ada kabilah Arab yang
membelakangi ahlubaitku mereka akan berselisih kemudian mereka akan menjadi
kelompok iblis’.
- Hadits yang lain dikemukakan juga oleh jama’ah ahli
hadits, yaitu bahwasanya Rasulallah saw. bersabda: “Bintang-bintang adalah
keselamatan bagi penghuni langit dan ahlubaitku adalah keselamatan bagi
ummatku. (Menurut sumber riwayat lain keselamatan bagi penghuni bumi). Manakala
ahlubaitku lenyap (binasa) maka yang dijanjikan dalam ayat-ayat Al-Qur’an akan
tiba (yaitu bencana)”. Hadits seperti itu juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin
Hanbal: “Apabila bintang-bintang lenyap, lenyaplah penghuni langit dan apabila
ahlul- baitku lenyap, lenyaplah penghuni bumi’.
Setelah mengemukakan hadits-hadits tersebut diatas
An-Nabhani kemudian mengatakan: ‘Bagaimanapun juga ahlulbait Rasulallah dan
keturunan beliau saw dipermukaan bumi ini merupakan sebab atau syarat bagi
keselamatan umat manusia, dan pada khususnya merupakan syarat keselamatan ummat
Muhammad saw. dari adzab/siksa neraka. Yang dimaksud oleh hadits itu bukan
hanya khusus anggota keluarga yang sholeh saja. Sebab cirri kemuliaan yang ada
pada unsur keturunan beliau saw sama sekali tidak tergantung pada sifat-sifat
mereka’.
Sebagai dalil mengenai itu An-Nabhani menunjuk kepada
pernyataan Ash-Shabban didalam kitabnya Is’afur Raghibin, yang mengata- kan
bahwa pengertian tersebut diatas diperoleh dari isyarat yang terkandung dalam
surat Al-Anfal: 33 : ‘Dan Allah sekali-kali tidak akan menyiksa mereka
(orang-orang durhaka) sedang engkau berada ditengah-tengah mereka’. Sekali pun
ayat itu ditujukan kepada Rasulallah saw, namun ahlulbait dan keturunan beliau
dapat didudukkan pada tempat beliau, karena mereka itu berasal dari beliau dan
beliau pun berasal atau senasab dengan mereka, sebagaimana yang di riwayatkan
oleh beberapa hadits.
Kemudian An-Nabhani mengetengahkan sebuah hadits bahwa
Rasulallah saw menegaskan: ‘Orang-orang pertama yang mengalami bencana adalah
Quraisy, dan orang-orang Quraisy yang pertama mengalami bencana adalah
ahlulbaitku..(riwayat lain mengatakan bukan bencana [halak] melainkan kepunahan
[fana] dan bukan pula ahlulbaitku melainkan Bani Hasyim )’.
Para ahli syarah ilmu hadits, termasuk Al-manawi
dan lain-lain menjelaskan makna hadits tersebut sebagai berikut: ‘Bencana yang
menimpa mereka merupakan pertanda akan datangnya hari kiamat, sebab hari kiamat
akan terjadi akibat perbuatan manusia-manusia jahat, sedangkan para keluarga
keturunan Rasulallah saw adalah (keturunan) orang-orang baik’.
Menanggapi penjelasan Al-Manawi tersebut, An-Nabhani
mengatakan: ‘Rasanya penjelasan Al-manawi itu dapat dijadikan tafsir bagi
hadits tersebut diatas, bahkan lebih baik daripada penafsiran kami. Dengan
demikian maka teranglah bahwa penafsiran Turmudzi tidak dapat diterima, yaitu
penafsiran yang mengartikan dzurriyatu (keturunan) Rasulallah saw dengan abdal
(orang-orang keramat) sebagai- mana yang terdapat didalam hadits dari imam ‘Ali
bin Abi Thalib ra’.
– An-Nabhani menyanggah pernyataan Imam Turmudzi,
‘Bagaimana bisa dibayangkan bahwa dengan lenyapnya ahlulbait dari muka bumi ini
maka tidak akan ada lagi seorangpun dari ummat Muhammad yang tinggal? Padahal
jumlah ummat Muhamad jauh lebih banyak dan Allah selalu melindungi mereka
dengan berkah dan rahmat-Nya’ !
An-Nabhani menjawab: ‘Tidak ada halangan dan tidak ada
salahnya jika orang membayangkan hal sedemikian itu. Lebih-lebih karena
Rasulallah saw sendiri telah menegaskan: ‘Orang-orang pertama yang mengalami
bencana adalah Quraisy dan orang-orang Quraisy yang pertama mengalami bencana
adalah ahlul-baitku’. Hadits ini merupakan salah satu petunjuk tentang rahmat
yang dilimpahkan Allah swt kepada keluarga dan keturunan Rasulallah saw’.
– An-Nabhani menyanggah penafsiran Imam Turmudzi tentang
hadits yang mengatakan: ‘Semua sebab dan nasab akan terputus kecuali sebab dan
nasabku’. An-Nabhani berkata: ‘Kata putus (dalam hadits ini) tidak berarti
kepunahan atau kebinasaan keturunan Rasulallah saw. Itu hanya dikhususkan pada
saat terjadinya hari kiamat, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits-hadits
shohih. Kata putus juga berarti nasab (silsilah) tidak bermanfaat, sebagaimana
ditegaskan Allah swt dalam surat Al-Mu’minun:101: ‘Maka tiada lagi hubungan
nasab diantara mereka pada hari itu’.
Hanya Rasulallah saw sajalah yang memperoleh pengecualian
(kekhususan) dalam hal sebab (melalui pernikahan) dan dalam hal nasab (melalui
keturunan). Bagi beliau saw kemanfaatan sebab dan nasab tetap berkesinambungan
baik didunia maupun diakhirat. Hal itu diperkuat (dalam hadits lainnya) oleh
Rasulallah saw yang diucapkan dari atas mimbar: ‘Mengapa sampai ada orang-orang
yang mengatakan, bahwa kekerabatan Rasulallah saw tidak bermanfaat pada
hari kiamat? Ya (pasti)..kekerabatanku berksinambungan di dunia dan
akhirat’.
– Terhadap uraian Imam Turmudzi yang mengatakan: ‘Bahwa
Bani Hasyim dan Bani ‘Abdul Mutthalib bukan merupakan syarat bagi keselamatan
ummat Muhamad saw dan bukan pula merupakan orang-orang yang akan mengakibatkan
lenyapnya dunia bila mereka lenyap’.
An-Nabhani menjawab: ‘Yang diartikan mereka itu syarat
bagi keselamatan umat ini, bahkan penghuni bumi ini, ialah bahwa dengan masih
adanya mereka didunia berarti saat kepunahan dunia ini belum tiba. Bila
mereka telah punah, maka penghuni bumi ini akan menyaksikan apa yang
telah dijanjikan Allah dalam Al-Qur’an tentang tibanya hari kiamat dan
kepunahan dunia ini’.
– Terhadap uraian Imam Turmudzi yang mengatakan:
‘Diantara mereka (keturunan Rasulallah saw) juga terdapat kerusakan (fasad)
seperti yang terdapat didalam golongan-golongan dan ada pula yang berlaku
buruk. Jadi, bagaimana dapat dikatakan bahwa mereka itu syarat bagi keselamatan
ummat ini dan penghuni bumi ?’.
An-Nabhani menjawab: ‘Mereka (keturunan Rasulallah saw)
menjadi syarat bagi keselamatan ummat ini dan penghuni bumi ini bukan karena
amal kebajikan mereka, melainkan karena mereka itu adalah unsur suci kenabian
yaitu suatu anugerah yang dikhususkan Allah bagi mereka sejak asal. Mereka
dianugerahi keistemewaan itu ialah Rahmat Allah yang dilimpahkan kepada mereka
sebagai anggota-anggota ahlulbait Rasulallah saw. Ditengah-tengah mereka Allah
menurunkan wahyu-Nya. Dalam hal-hal seperti itu mereka tidak mungkin dapat
disamakan dengan orang lain (selain anggota ahlulbait)’.
– Terhadap uraian Imam Turmudzi yang mengatakan: ‘Dibumi
ini ada yang lebih mulia daripada keturunan Rasulallah saw yaitu Al-Qur’an,
sekali pun hal itu tidak disebut dalam hadits yang bersangkutan’.
An-Nabhani menjawab: ‘Tidak ada keharusan bagi Rasulallah
saw untuk menyebut didalam sebuah hadits (tentang) kemuliaan anak cucu
keturunan beliau bersama-sama dengan kemuliaan Al-Qur’an, walau pun jelas bahwa
kemuliaan Kitabullah Al-Qur’an jauh lebih besar daripada kemuliaan keturunan
Rasulallah saw. Walaupun hal itu bukan merupakan keharusan, namun beliau
menyebut kedua-duanya itu dalam hadits Tsaqalain (lihat kalimat haditsnya pada
halaman sebelumnya). Lagi pula diantara ahlulbait Rasulallah saw tidak ada
seorangpun yang mengaku dirinya lebih mulia atau sejajar dengan Kitabullah, dan
mereka pun tidak beranggapan bahwa kemulia- an Kitabullah itu disebabkan adanya
keistemewaan yang ada pada diri mereka (ahlulbait)’.
Kitabullah menjelang hari kiamat pun akan diangkat. Ibnu
Mas’ud ra mengatakan: “Bacalah Al-Qur’an sebelum diangkat! Hari kiamat akan
terjadi dekat sebelum Al-Qur’an diangkat’! Seorang sahabat bertanya: ‘Hai Abu
Abdur- Rahman (panggilan Ibnu Mas’ud), bagaimanakah arti Kitabullah akan
diangkat, padahal itu telah menetap didalam dada dan dilembaran-lembaran mushaf
kita’? Ibnu Mas’ud menjawab: ‘Kitabullah memang tetap didalam dada, tetapi
tidak di-ingat dan dibaca orang’ “.Tidak diragukan lagi bahwa Ibnu Mas’ud tidak
berkata menurut pendapatnya sendiri, karena persoalan itu berada diluar pikiran
orang. Dari keterangannya itu jelaslah bahwa Kitabullah menjadi syarat bagi
keselamatan ummat manusia. Selama Kitabullah masih berada ditengah-tengah ummat
manusia, dunia ini tidak akan dimusnahkan Allah. Mengenai keturunan suci
Rasulallah saw tidak boleh diberi penilaian lebih dari apa yang telah kami
terangkan.
– Mengenai penegasan Imam Turmudzi bahwa ‘kemuliaan hanya
ada pada para ahli taqwa’ berdasarkan dalil sebuah hadits yang meriwayatkan
kedatangan Rasulallah saw dikediaman (Siti) Fathimah ra disaat Shafiyyah (bibi
beliau) berada ditempat itu, kemudian Rasulallah saw bersabda: “Hai Bani ‘Abdu-
Manaf, hai Bani ‘Abdul Mutthalib, hai Fathimah binti Muhammad, hai
Shofiyyah…....dan seterusnya (baca hadits terdahulu)”.
An-Nabhani memberi tanggapan atas penegasan Imam Turmudzi
ini, sebagai berikut:
Mengenai soal itu Al-Muhib Ath-Thabrani telah memberikan
jawaban meyakinkan, yang kemudian dikutip oleh Al-Manawi dalam kitab Al-Kabir
dan oleh Ash-Shabban dalam kitab Is’afur-Raghibin. Jawaban tersebut mengatakan:
“Benarlah bahwa Rasulallah saw tidak mempunyai apa-apa yang (bisa) mendatangkan
manfaat dan madharat (yang telah ditimpakan oleh Allah swt) bagi orang lain,
hanya Allah sajalah yang memiliki hal itu. Namun, dengan kekuasaan-Nya Allah
membuat Rasul-Nya bermanfaat bagi kaum kerabatnya, bahkan bagi semua ummatnya,
berupa syafa’at khusus dan umum. Beliau saw tidak mempunyai suatu apa pun
selain yang dikarunia- kan Allah kepadanya, yaitu seperti yang ditunjukkan oleh
sebuah hadits Al-Bukhori mengenai sabda beliau: ‘Kalian –yang pria maupun yang
wanita– mempunyai hubungan silaturrohmi (denganku), yang akan kusambung
hubungannya..’.
Demikian pula makna ucapan Rasulallah saw : ‘Dihadirat
Allah aku tidak berguna apa pun bagi kalian’. Maknanya (hadits itu) ialah:
‘Kalau hanya diriku sendiri tanpa anugerah syafa’at dan ampunan yang
dilimpahkan Allah kepada-ku, aku tidak dapat memberikan manfaat apapun kepada
kalian‘. Rasulallah saw menyatakan demikian itu untuk memperingatkan
mereka agar banyak berbuat kebajikan, dan agar mereka memperoleh rahmat Allah
karena kebesaran takwanya masing-masing”.
Ash-Shabban mengatakan: “Konon hadits tersebut diatas
diucapkan oleh Rasulallah saw sebelum beliau diberitahu Allah mengenai
manfaatnya bernasab kepada beliau. Akan tetapi tampaknya bahasa Arab kurang
membantu At-Turmudzi dalam menafsirkan hadits-hadits tentang ahlulbait. Adakah
orang yang mengartikan ahlulbait dengan orang-orang keramat (abdal)? Demi Allah
tidak ada! Tidak ada seorang pun yang mendengar kata ahlulbaitku dari
Rasulallah saw lalu ia memahaminya dengan makna selain ahlulbait yang bernasab
kepada beliau saw. Memang hanya itu sajalah makna ahlul baitku dalam bahasa
Arab, bahasa beliau saw sendiri! Mengenai orang-orang keramat, kemanfaatan
mereka bagi kita, atau mengenai ketinggian derajat mereka dan dekatnya mereka
itu dengan Allah dan Rasul-Nya, tak ada seorang Muslim pun yang meragukannya.
Namun orang-orang keramat itu sendiri tentu merasa tidak senang jika diberi
perhiasan yang diambilkan dari keluarga atau dari keturunan orang yang paling
mereka cintai, yaitu Rasulallah saw.
Saya yakin –demikian kata Ash-Shabban lebih jauh– bahwa
Imam Al- Hakim At-Turmudzi sendiri termasuk salah seorang keramat terkemuka.
Karena itu saya berani memastikan bahwa uraiannya (mengenai ahlulbait) yang
ditulis dalam kitabnya itu mengandung salah satu dari dua kemungkinan:
Pertama; –dan ini
yang paling besar kemungkinannya– tulisan tersebut dipalsukan oleh orang yang
dengki kepadanya (Turmudzi) dan kepada ahlulbait Rasulallah saw. Hal seperti
itu sering dialami oleh para ulama dan orang-orang keramat lainnya, seperti
Syeikh Al-Akbar Sidi Muhyiddin bin Al ‘Arabi, Syeikh ‘Abdul Wahhab Asy-Sya’rani
dan lain lain….
Kedua; Imam
Turmudzi pernah bergaul dekat dengan orang-orang ekstrim Syiah yang
berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan (sampai-sampai mengkultuskan)
ahlulbait Rasulallah saw, sehingga mereka sesat karena tidak mau mempercayai
kejujuran para sahabat Nabi saw terutama Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. dan ‘Umar
Ibnul Khattab ra. Dengan uraiannya itu mungkin Turmudzi hendak mengecam mereka,
dan itu tampak jelas pada rumus-rumus kalimat yang dipergunakan olehnya.
Kecaman itu dituangkan olehnya dalam uraian mengenai ahlulbait, tetapi
bersamaan dengan itu ia tetap mencintai Ahlulbait dan memberikan penilaian yang
baik serta tetap mengakui kemuliaan dan keistemewaan mereka
(ahlul-bait)”.
Demikianlah jawaban An-Nabhani tentang penafsiran
At-Turmudzi mengenai Ahlulbait/ keturunan Rasulallah saw.
– Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al-‘Aqidatul-Washiyyah
memberi tanggapan atas penafsiran Imam Turmudzi tentang makna hadits
tsaqalain –'Dua-duanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku
diHaudh, dan sesuatu yang jika kalian berpegang teguh kepadanya kalian tidak
akan sesat’–, tidak hanya berlaku bagi para Imam atau orang-orang terkemuka
dari keluarga keturunan Rasulallah saw saja, melainkan berlaku juga bagi semua
orang yang berasal dari eluarga keturunan beliau saw, baik yang awam mau pun
yang khawash, yang menjadi imam maupun yang tidak.
Pernyataan Rasulallah saw yang menegaskan; ‘Dua-duanya
tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Haudh’ tidak mengandung makna,
bahwa mereka (keluarga Nabi saw) itu harus sanggup melaksanakan semua ketentuan
yang telah ditetapkan dalam Kitabullah, sehingga Turmudzi mengatakan,bahwa
diantara mereka itu ada orang-orang berbuat buruk atau orang yang amalan
baiknya bercampur-aduk dengan amalan buruknya..’ dan seterusnya. Pernyataan
Rasulallah saw itu adalah dorongan supaya orang menghormati mereka, dan merupakan
berita menggembirakan bahwa mereka itu tidak akan meninggalkan agama Islam
(wafat dalam kekafiran) hingga saat mereka memasuki surga (haudh) dengan
selamat. Itulah makna pernyataan Rasulallah saw bahwa mereka itu tidak akan
berpisah dari Kitabullah hingga saat mereka kembali kepada beliau di surga
kelak…
Sebagaimana telah saya (Ibnu Taimiyah) katakan, makna
‘noda’ atau ‘kotoran’ (ar-rijsa) dalam ayat (Al-Ahzab:33) tersebut diatas,
mencakup segala macam dosa dan kesalahan lainnya, dan yang paling buruk ialah
‘kufur’ (mati dalam kekafiran). Orang-orang dari keluarga keturunan Rasulallah
saw adalah orang-orang yang telah disucikan langsung oleh Allah swt, dalam hal
keteguhan berpegang pada agama Islam mereka itu tidak akan goyah atau
tergelincir.. (tidak sampai wafat dalam kekafiran--pen).
Mungkin orang ingin berkata kepada kami: ‘Dalil itu tidak
dapat diterima oleh Turmudzi, karena ia berpendapat bahwa surat Al-Ahzab:33
ditujukan khusus kepada para isteri Rasulallah saw… Kami menjawab: Benar,
sekali pun ia berpendapat seperti itu, namun telah nyata terdapat pembuktian
kuat, bahwasanya Rasulallah saw pernah memanggil ‘Ali bin Abi Thalib, (Siti)
Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain –radhiyallahu ‘anhum– kemudian beliau saw
membacakan surat Al-Ahzab:33…(ditambah dalil kuat lainnya adalah hadits
Al-Kisa--pen.). Turmudzi sendiri dalam penjelasannya mengatakan, bahwa
‘keturunan mereka (ahlul-bait) memang termasuk dalam lingkungan ahlul-bait,
karena itu mereka adalah orang-orang shafwah (suci)’. Dikatakan juga olehnya: ‘
Hal itu dilakukan oleh Rasulallah saw setelah ayat 33 S. Al-Ahzab turun, karena
beliau saw ingin memasukkan mereka kedalam makna ayat tersebut’.
Dengan keterangan seperti ini berarti Turmudzi sendiri
yakin bahwa Rasulallah saw pernah memanggil Ali bin Abi Thalib, (Siti)
Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain –radhiyallahu ‘anhum– dan mereka telah
memenuhi panggilan beliau itu dan mendengarkan beliau saw membacakan ayat
tersebut didepan mereka. Dengan demikian jelaslah, bahwa mereka termasuk dalam
makna ayat tersebut. Jadi, pada hakikatnya keterangan Turmudzi itu sama dengan
pendapat para ulama yang lain (yaitu orang lima ini termasuk yang dimaksud
dalam surat Al-Ahzab:33--pen.). Mengenai tidak akan terpisahnya mereka
(keluarga keturunan Rasulallah saw) dari Kitabullah, bermakna bahwa mereka itu
tidak akan menyeleweng (keluar) dari agama Islam hingga saat mereka kembali
kepada Rasulallah saw disurga. Makna tersebut diperkuat dalilnya oleh Firman
Allah dalam surat Adh-Dhuha:5: ‘Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan
karunia-Nya kepadamu sehingga engkau (Muhamad) menjadi puas”.
Al-Qurthubi dalam tafsir-nya yang dikutip dari
Ibnu ‘Abbas ra, mengatakan: ‘Kepuasan Muhamad Rasulallah saw ialah karena tidak
ada seorangpun dari ahlubaitnya yang akan masuk neraka’. Dalil-dalil hadits
mengenai hal itu banyak sekali, antara lain sabda Rasulallah saw: “Fathimah
telah sungguh-sungguh menjaga kesucian dirinya. Karena itu ia dan keturunannya
dihindarkan Allah dari siksa neraka” (Al-Hakim menegaskan bahwa hadits ini shohih).
Dalil hadits lainnya berasal dari ‘Imran bin Hashin ra. Ia mengatakan bahwa
Rasulallah saw pernah bersabda: “Aku telah mohon kepada Tuhanku supaya tidak
memasukkan seorangpun dari keluargaku (ahlubaitku) ke dalam neraka, dan Dia
mengabulkan permohonanku “.
– Penafsiran Imam Turmudzi bahwa ‘hadits tsaqalain hanya
berlaku bagi para Imam dan orang-orang terkemuka dari golongan Ahlul- bait’,
Ibnu Taimiyyah mengetengahkan riwayat hadits yang berasal dari Zaid bin Arqam,
yaitu: “…Kutinggalkan kepada kalian dua bekal. Yang pertama ialah Kitabullah,
didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang….. dan ahlu-baitku...sampai
akhir hadits (silahkan rujuk kembali haditsnya)”. Dari hadits ini
kita dapat mengetahui bahwa Rasulallah saw pertama-pertama mengkhususkan pesan
beliau supaya kaum muslimin berpegang teguh pada petunjuk dan hidayat
Kitabullah Al-Qur’anul-Karim. Hikmah mengenai hal itu beliau menyebutnya dengan
kata-kata ‘didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang’. Setelah itu barulah
beliau menyebut ahlul-bait (keluarga, keturunan) dengan ucapan “kalian
kuingatkan kepada Allah mengenai ahlu-baitku”. Pesan beliau itu diucapkan dua
kali untuk lebih menekankan perlunya memelihara hak-hak mereka sebagai keluarga
keturunan beliau saw.
Dalam pesan beliau itu samasekali tidak terdapat
pengistemewaan yang seseorang daripada yang lain diantara semua keluarga
ahlul-bait. Jelaslah kiranya, bahwa yang dimaksud dengan keluarga keturunan
Rasulallah saw atau ahlul-bait ialah mereka semua yang di haramkan menerima
shodaqah atau zakat, sebagaimana yang dikatakan oleh Zaid bin Arqam dalam hadits
Tsaqalain. Oleh Rasulallah saw mereka itu disebut secara ber-iringan dengan
penyebutan Kitabullah. Sudah pasti itu bermaksud menghormati kedudukan mereka,
dan untuk menekankan wasiat beliau, agar hak-hak mereka dipelihara
sebaik-baiknya oleh kaum muslimin.
– Ibnu Taimiyyah merasa aneh dan heran mengenai uraian
imam Turmudzi yaitu kalimat yang berbunyi: ‘Apabila orang-orang yang tidak
seunsur atau seasal keturunan dengan mereka (keluarga keturunan ahlulbait)
benar-benar menguasai ilmu-ilmu agama secara mendalam, maka kita pun wajib
berteladan kepada mereka, sama seperti kita berteladan kepada orang-orang
(imam-imam) terkemuka yang berasal keturunan Rasulallah saw’.
Perumusan Turmudzi kalimat seperti itu oleh Ibnu
Taimiyyah dianggap menarik garis persamaan antara keluarga keturunan
Rasulallah saw dan orang-orang dari unsur lain yang bukan keluarga keturunan
Rasulallah saw. Jadi, tidak ada keistemewaan apapun pada orang-orang
keturunan Rasulallah saw. Yang dipandang oleh Turmudzi sebagai ciri istemewa
ialah ‘kedalaman ilmu’ yang ada pada orang-orang keluarga keturunan
Rasulallah saw. Dengan demikian maka yang diartikan ‘itrah’ dan
‘ahlul-bait’ (dalam hadits Nabi saw) ,menurut Turmudzi, bukan lain
hanyalah para ulama, para imam dan para ahli fiqih dikalangan ummah Islam!
Benarkah itu yang dimaksud oleh Rasulallah? Tentu Tidak!
Yang dimaksud oleh Rasulallah saw ialah keluarga
keturunan dan kaum kerabat, tidak pandang apakah mereka itu imam, ulama atau
bukan. Mengenai para ahli fiqih, para ulama dan para imam, mereka itu memang
teladan bagi ummat Islam dan merupakan pelita yang menerangi kegelapan. Akan
tetapi itu tidak berarti bahwa mereka itu keluarga keturunan Rasulallah saw.
Para ulama, para ahli fiqih dan para imam itu justru orang-orang yang paling
pertama berkewajiban mengindahkan wasiat Nabi saw, yakni secara umum mereka itu
wajib menghormati kedudukan dan memelihara hak-hak keluarga keturunan
Rasulallah saw. dengan sebaik-baiknya”.
Demikianlah sanggahan Ibnu Taimiyyah atas pendapat
Imam Turmudzi.
Dengan adanya keterangan tadi, jelas bagi kita bahwa para
ulama –antara lain Yusuf bin Ismail An-Nabhani dalam kitabnya Ashsyaraful
Muabbad li Aal Muhammad dan Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al-‘Aqidatul-Washiy–
menyanggah pendapat Imam Turmudzi tersebut diatas. Apa yang dikatakan Imam
Turmudzi dalam Nawadirul-Ushul itu perlu dihargai. Tetapi sayangnya
beliau ini tidak mengemukakan hujjah atau dalil bahwa yang dimaksud
oleh Rasulallah saw dalam hadits Tsaqalain, hadits Safinah itu ialah sebagaimana
yang beliau kemukakan tadi. Imam Turmudzi ini membatasi makna itrah
(keluarga keturunan) yang terdapat dalam kalimat hadits tersebut hanya kepada
para pemuka atau imam-imam yang terdiri dari keturunan Rasulallah saw
saja, berdasarkan pemikiran beliau sendiri dari segi dan istilah bahasa
atau dari bidang ilmu atau ketaqwaan. Padahal kalau kita teliti dan
baca, banyak wasiat Rasulallah saw –mengenai ahlulbait dan keturunannya–
umpama dalam hadits-hadits shohih yang telah di kemukakan tadi, disitu beliau
saw menegaskan agar umatnya menghormati, memuliakan dan mendahulukan semua
ahlul-bait dan keturunannya –tidak memandang apakah diantara mereka ini seorang
imam atau awam, ada yang baik atau ada yang buruk– karena didalam hadits-hadits
itu tidak adanya isyarat hanya berlaku untuk para imam, para ahli taqwa
dari ahlul-baitnya.
Para imam yang menyanggah pendapat Imam Turmudzi merasa
heran dan belum percaya kalau hal itu diucapkan oleh Imam Turmudzi
sendiri, karena pendapatnya tidak sejalan dengan makna ayat Ilahi dan
hadits Rasulallah saw yang berkaitan dengan ‘itrah ahlul-bait beliau saw. Maka
dari itu Ash-Shabban sendiri berani mengatakan uraian Imam Al-Hakim
At-Turmudzi yang ditulis dalam kitabnya itu mengandung salah satu dari dua
kemungkinan:
Pertama; –dan ini yang paling besar kemungkinannya– tulisan
tersebut di palsukan oleh orang yang dengki kepadanya (Turmudzi) dan
kepada ahlul- bait Rasulallah saw. Hal seperti itu sering dialami oleh para
ulama dan orang-orang keramat lainnya, seperti Syeikh Al-Akbar Sidi Muhyiddin
bin Al- ‘Arabi, Syeikh ‘Abdul Wahhab Asy-Sya’rani dan lain lain.
Kedua; Imam Turmudzi pernah bergaul dekat dengan orang-orang ekstrim
Syiah yang berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan sampai-sampai meng-
kultuskan ahlulbait Rasulallah saw. Dengan uraiannya itu mungkin Imam Turmudzi
hendak mengecam mereka, dan itu tampak jelas pada rumus kalimat yang di
pergunakan olehnya!
Lepas dari penafsiran diatas, jelas Allah swt dalam
firman-firmanNya –baik untuk ahlulbait Rasulallah saw (Al-Ahzab: 33 dan
lain-lain) maupun untuk para sahabat beliau saw (Al-Fath:18,
At-Taubah:100 dan lain-lain)– tersebut menunjukkan kemuliaan dan penilaian
tinggi yang diberikan oleh Allah swt kepada mereka. Namun sebagai manusia, para
ahlulbait dan keturunan Rasulallah saw adalah sama dengan para sahabat Nabi saw
serta keturunannya, yakni bisa berbuat kesalahan. Mereka ini bisa saja berbuat
suatu kekeliruan atau terkena dosa, karena bukan orang-orang ma’shum,
yakni yang terpelihara dari kemungkinan berbuat kekeliruan. Orang-orang yang
ma’shum –menurut ahlus sunnah wal jama’ah– hanyalah para Nabi dan Rasul,
sebagai pembawa syari’at Ilahi dan hukum-hukum-Nya untuk disampaikan kepada
umat manusia. Betapa pun tingginya martabat, keutamaan (fadha’il) dan
ketakwaan mereka (keluarga keturunan Nabi saw dan para sahabat), sebagai
manusia mereka tetap menghadapi kemungkinan berbuat kekeliruan. Bisa saja
terjadi suatu perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang sahabat
yang tidak menyenangkan ahlulbait Rasulallah saw dan sebaliknya. Hal itu
bukan merupakan kejadian aneh, karena setiap manusia ,selain Rasulallah saw,
dapat saja berbuat kekeliruan dan kesalahan, karena mereka itu bukan
orang-orang yang ma’shum (dihindarkan dari dosa).
Kita kaum muslimin wajib melaksanakan wasiat Nabi saw
yaitu mencintai dua golongan tersebut –ahlulbait, keturunan Nabi saw
khususnya dan para sahabat Nabi saw– agar kita Insya Allah dapat
memperoleh kebajikan didunia dan akhirat. Kita wajib memandang mereka semua
dengan sikap yang adil, mengingat jasa-jasa yang telah mereka berikan kepada
agama Islam dan kepada umat Islam. Pandangan kita terhadap mereka semua harus
bertitik tolak pada keinginan memperoleh keridhoan Allah dan Rasul-Nya. Kita
harus menjauhkan dari hati dan pikiran kecenderung- an nafsu berpihak kepada
yang satu dan mengecam yang lain. Orang yang berpikiran sehat tidak akan
membiarkan dirinya tercekam oleh pikiran dan perasaan yang tidak selaras dengan
ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah saw.
Dalil-dalil atau hujjah-hujjah baik yang berupa ayat
Al-Qur’an, hadits mau pun contoh yang telah diberikan oleh para sahabat Nabi
saw dan para imam –baik yang tercantum atau tidak tercantum diwebsite
ini–, kiranya itu cukup meyakin kan bagi setiap muslim yang mendambakan
keridho- an Allah dan Rasul-Nya. Setiap muslim, apa pun madzhab dan aliran yang
dianutnya, tentu menyadari bahwa hakikat ajaran agama Islam ialah iman kepada
Allah dan Rasul-Nya, taat kepada kedua-duanya dan patuh melaksanakan
semua perintahnya.
Berbicara tentang keridhoan Allah dan Rasul-Nya, yang
pokok pertama adalah keridhoan Allah, sedang keridhoan Rasulallah saw adalah
kesinambungan dari keridhoan Allah swt. Tiap perbuatan yang diridhoi
Allah pasti diridhoi oleh Rasul-Nya, tiap perbuatan yang dimurkai Allah pasti
dimurkai pula oleh Rasul-Nya. Demikian juga sebaliknya, Allah ridho terhadap
apa yang diridhoi oleh Rasul-Nya, dan murka terhadap apa yang dimurkai
oleh Rasul-Nya. Jadi ke dua-duanya tidak dapat dipisahkan! Tidak mungkin
seorang beriman taat melaksanakan perintah Allah tanpa melaksanakan perintah
Rasul-Nya, dan tidak mungkin pula orang taat melaksanakan perintah Rasulallah
saw tanpa mentaati perintah Allah swt. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’anul
Karim antara lain: “Barangsiapa taat kepada Rasul berarti taat kepada
Allah”. (An-Nisa :80). Dan firman-Nya: “..Dan Allah beserta Rasul-Nya
itulah yang lebih berhak didambakan keridhoan-Nya”.(An-Nisa:136). Masih
banyak lagi ayat Al-Qur’an yang semakna dengan ayat-ayat diatas ini.
Sekali pun yang terpokok adalah iman kepada Allah swt,
namun iman kepada Rasul-Nya sama sekali tidak boleh dipisahkan dari iman kepada
Allah. Atas dasar ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulallah saw itu –menurut
pengertian yang benar– kita harus menjaga kehormatan dan memelihara hak-hak semua
ahlulbait dan keturunan Rasulallah saw sebagaimana yang beliau saw wasiatkan
dalam hadits Tsaqalain dan lain-lainnya. Begitu juga kita harus
menghormati dan mencintai para sahabat beliau saw. Itu merupakan
kewajiban umat Islam dalam rangka melaksanakan ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya!
Insya Allah buat kita sudah jelas dengan adanya firman Allah swt,
hadits-hadits serta wejangan para ulama tadi, membuktikan bahwa keturunan
Nabi saw itu masih tetap ada sampai akhir zaman.
Riwayat-riwayat tersebut
telah diperkuat oleh perawi-perawi yang bisa dipercaya. Dengan demikian
cukuplah jelas bagi kita bahwa Itratur-Rasul (keturunan Rasulallah saw)
akan senantiasa berada ditengah umat manusia sepanjang masa, selama Allah swt
menghendakinya hingga hari kiamat kelak. Juga dengan berdasarkan dalil-dalil tersebut
diantaranya; –”Kutinggalkan kepada kalian dua peninggalan, Kitabullah
sebagai tali yang terbentang antara langit dan bumi, dan keturunanku
ahlulbaitku. Sesungguhnya kedua-duanya itu tidak akan berpisah hingga kembali
kepadaku di Haudh”– menunjukkan dan menerangkan dengan jelas adanya kaitan
antara Kitabullah Al-Qur’anul-Karim dengan keturunan dan ahlu-bait beliau
saw. Pertama, adalah kaitan kelestarian bersama antara yang satu
dengan yang lain yakni antara Kitabullah dan ‘ithrah (keturunan,
ahlu-bait) Rasulallah saw. Kedua, kaitan antara Kitabullah dan
keturunan beliau saw yang kedua-duanya akan kembali (pertanggung- jawabannya)
kepada Rasulallah saw di akhirat kelak. Kaitan ini begitu erat sehingga beliau
saw menyatakan ‘tidak akan berpisah’ hingga saat
kedua-duanya kembali kepada beliau di surga yakni hingga hari kiamat kelak.
Al-Qur’anul Karim akan kekal dan akan kekal pula hukumnya
serta bukti kebenarannya diatas permukaan bumi sampai hari kiamat, dan
ahlul-Baitnya adalah patner Al-Qur’an yang senantiasa berdamping
dengannya, kedua-duanya tidak akan terpisah sampai hari kiamat. Semua itu
menunjukkan bahwa keturunan Rasulallah saw senantiasa akan dikenal dan
dipercayai sampai hari kiamat, sebagaimana Al-Qur’an yang dipercayai, karena
keduanya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan”. Dengan perkataan
lain adalah: “Selama Al-Qur’an masih terdapat di muka bumi
(tertulis maupun terhafal) selama itu pula ‘ithrah (keturunan)
Rasulallah saw akan tetap ada di dunia, dan sebaliknya: Selama masih terdapat
keturunan Rasulallah saw dimuka bumi ini, Kitabullah Al-Qur’an akan tetap ada
didunia”! Akan sia-sialah golongan pengingkar atau penuduh yang mengatakan
bahwa keturunan Nabi saw sudah punah/putus dan belum konkrit,
omongan mereka ini sama sekali tidak didasari oleh dalil –walaupun hanya
satu dalil–, tidak lain hanya berdasarkan kedangkalan ilmu agama atau
kedengkian, kehasutan terhadap keturunan yang mulia tersebut, yang
dikaruniakan oleh Allah swt.
Sebagaimana yang telah kami kemukakan diwebsite ini,
bahwa memandang ahlulbait dan keturunan Rasulallah saw sebagai keturunan yang
mulia sama sekali tidak mengurangi makna atau arti firman Allah swt dalam surat
Al-Hujurat:13, dan tidak pula mengurangi makna sabda Rasulallah saw yang
mengatakan: “Tiada kelebihan bagi orang Arab atas orang bukan Arab (‘Ajam), dan
tiada kelebihan bagi orang bukan Arab atas orang Arab kecuali karena takwa”.
Firman Allah dan hadits Rasulallah saw yang terakhir diatas ini tidak ber
tentangan dengan surat Al-Ahzab : 33 yang menegaskan: “Sesungguhnya
Allah hendak menghapuskan noda dan kotoran (ar-rijsa) dari kalian, ahlul-bait,
dan mensucikan kalian sesuci-sucinya”.
Sekali lagi, fadhilah dzatiyyah (keutamaan dzat)
yang dikaruniakan Allah kepada para keturunan Rasulallah saw sama sekali
tidak lepas dari rasa tanggung jawab mereka yang lebih berat dan lebih
besar daripada yang harus dipikul orang lain. Mereka ini harus selalu
menyadari kedudukannya ditengah-tengah umat Islam. Mereka wajib menjaga diri
dari ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan dan sikap yang dapat mencemarkan
kemuliaan keturunan Rasulallah saw. Mereka wajib pula menyadari
tanggung-jawabnya yang lebih besar atas citra Islam dan umatnya. Dengan
demikian maka kewajiban menghormati mereka yang dibebankan oleh syari’at kepada
kaum muslimin dapat terwujud dengan sebaik-baiknya. Tidak akan ada kesan
bahwa para keturunan Rasulallah saw menonjol-nonjolkan diri menuntut
penghormatan dari orang lain, karena kaum muslimin yang menghayati syari’at
Islam pasti menempatkan mereka pada ke dudukan sebagaimana yang telah menjadi
ketentuan syari’at. Kedudukan mereka perlu dipahami oleh kaum muslimin,
terutama oleh orang-orang keturunan Ahlul Bait sendiri sebagai pihak
yang paling berkewajiban menjaga martabat Rasul saw dan Ahlul Bait
beliau.
Begitu juga suatu kesalahan atau kekeliruan tidak akan
disorot oleh masyarakat setajam kesalahan atau kekeliruan yang diperbuat
oleh orang-orang keturunan Ahlul-Bait. Apalagi pandangan masyarakat yang dengki
atau tidak senang dengan Ahlul-Bait, mereka ini akan lebih memperuncing
dan mempertajam kesalahan dan kekeliruan yang diperbuat oleh orang
keturunan Ahlul-Bait. Keturunan ahlul-Bait adalah manusia biasa ,bukan manusia
yang maksum, bisa saja berbuat dosa atau menjalani amalan yang fasiq. Janganlah
dengan adanya perbuatan fasiq, yang dilakukan keturunan Nabi saw itu,
langsung kita merendahkan, tidak mengakui nasabnya atau meniadakan wujudnya
keturunan Rasulallah saw, yang boleh kita cela adalah perbuatannya yang fasiq
tersebut.
Dengan demikian orang yang mencela nasabnya –baik
sadar maupun tidak sadar– telah membantah dan menentang riwayat-riwayat hadits
Nabi saw yang berkaitan dengan keutamaan nasab beliau saw serta masih wujudnya
keturunan beliau saw dan sebagainya.
Al-’Allamah Ibnu Hajar dalam kitabnya Ash-Shawaiqul-Muhriqah
menerangkan sebagai berikut: “Barangsiapa mengganggu salah seorang
putera (Siti) Fathimah, ia akan menghadapi bahaya karena perbuatannya itu
membuat marah (Siti) Fathimah ra. Sebaliknya, barang siapa mencintai
putera-putera (termasuk keturunannya), ia akan memperoleh keridhoannya.
Para ulama Khawash (para ulama yang mempunyai keistemewaan khusus)
merasa didalam hatinya terdapat keistemewaan yang sempurna karena kecintaan
mereka kepada Rasulallah saw, ahlul-bait serta keturunannya atas dasar
pengertian, bahwa ahlul-bait dan keturunan beliau saw adalah orang-orang yang
dimulia kan oleh Allah swt. Selain itu mereka (para ulama khawash) juga
mencintai anak-anak (keturunan) sepuluh orang sahabat Nabi
saw yang telah dijanjikan masuk surga, disamping itu mereka (para ulama
khawash) juga mencintai anak-anak keturunan para sahabat Nabi yang lain.
Mereka memandang semua keturunan sahabat Nabi sebagaimana mereka memandang
para orang tua mereka.
Selanjutnya Ibnu Hajar mengatakan: ‘Orang harus menahan
diri jangan sampai mengecam mereka (ahlul-bait dan keturunan Rasulallah
saw). Jika ada seorang diantara mereka yang berbuat fasik berupa bid’ah
atau lainnya, yang harus dikecam hanyalah perbuatannya, bukan dzatnya,
karena dzatnya itu merupakan bagian dari Rasulallah saw, sekali pun
antara dzat beliau dan dzat orang itu terdapat perantara (wasa’ith)”.
Kami sayangkan masih ada orang muslimin yang
ekstrem, yang sering mencaci maki sampai-sampai melaknat dan mengkafirkan para
sahabat Rasulallah saw, mencaci-maki sesama muslimin, padahal para imam
–terutama para imam dari golongan ahlul-bait Rasulallah saw– tidak pernah
mencaci maki umat muslimin, walaupun terhadap golongan muslimin yang pernah
mencaci mereka. Para imam dari ahlul-bait Rasulallah saw (antara lain Imam Ali,
Siti Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain, Imam Ali Zainal Abidin, Imam Muhamad
Al-Baqir, Imam Jakfar As-Shodiq dan lainnya.[r.a.] ), selalu menjaga mata,
mulut, telinga dan semua organ tubuhnya dari perbuatan-perbuatan keji yang bisa
mengakibatkan murka Allah dan Rasul-Nya. Alangkah baiknya
kalau orang-orang ekstrem ini meniru akhlak para imam yang sangat tinggi
itu dan tidak meniru kepada golongan muslimin yang sering caci mencaci para
sahabat Rasulallah saw. Akhlak yang baik inilah yang diajarkan dan diamalkan
oleh junjungan kita Muhamad saw dan para ahlul-baitnya (ingat firman Allah swt.
dalam surat An-Nahl:90).
Diantara golongan ekstrim ini -dari fanatiknya- ada yang
tidak mau mendengar nama sebagian sahabat yang disebut, umpama
khalifah Abubakar, khalifah Umar bin Khattab -radhiyallahu ‘anhuma-, apalagi
memberi nama anak-anak mereka yang sama dengan nama dua khalifah ini. Padahal
kalau kita teliti dalam sejarah, diantara anak-anak Imam Ali kw -yang bukan
dari Siti Fathimah ra- ada yang diberi nama Abubakar, Umar dan Utsman.
Seorang ulama yang bermadzhab Syi’ah ,Syeikh Syarafuddin
al-Musawi, dalam kitab Dialog Sunnah-Syi’ah (Al-Muroja’at) cet.1 th.1983
hal.119 dan hal.122 ,terjemahan Indonesia, telah menyebutkan seratus nama
dari kalangan madzhab Syi’ah. Antara lain nama ke 83 yang
disebutkan dibuku tersebut ialah Mu’awiyah bin ‘Ammar ad-Dubni
al-Bujali dan nama yang ke 99 ialah Yazid bin Abi Ziyad
(Abu Abdillah) al-Kufi. Nama Muawiyah dan Yazid itu masih
dipegang oleh dua ulama syiah diatas tersebut dan tidak digantinya.
Marilah kita tidak saling melaknat atau mengkafirkan
sesama muslimin, walaupun antara satu sama lain mempunyai madzhab yang
berlainan.
Perbedaan pendapat antara golongan muslimin selalu ada,
kita tidak perlu mensyirikkan, mensesatkan satu sama lain antara
kaum muslimin karena adanya perbedaan dan sudut pandang diantara kita. Karena
masing-masing pihak berpedoman pada Kitabullah dan sunnah Rasulallah saw, namun
berbeda dalam hal penafsiran dan penguraiannya. Setelah menguraikan atau
menafsirkan ayat-ayat Allah swt dan hadits Nabi saw, janganlah mensesatkan atau
berani mengkafirkan kaum muslimin dalam suatu perbuatan atau amalan karena
tidak sepaham dengannya. Orang seperti ini sangatlah egois dan fanatik serta
ekstrem dalam sudut pandangnya sendiri, yang menganggap dirinya paling benar
dan paham sekali akan dalil-dalil syar’i/agama.
Pokok perbedaan pendapat soal-soal sunnah, nafilah, mubah
yang dibolehkan ini hendaknya dimusyawarahkan oleh para ulama kedua belah
pihak, jadi bukan dengan cara tuduh menuduh, kafir mengkafirkan, cela
mencela antara sesama kaum muslimin.
Begitu juga janganlah kita mudah menvonnis amalan-amalan
nawafil/sunnah atau mubah sebagai amalan bid’ah munkar/haram, sesat, syirik dan
lain sebagainya karena tidak sepaham dengan madzhabnya, atau dengan alasan
bahwa amalan tersebut tidak ada contoh sebelumnya baik dari Rasul maupun
sahabat beliau saw dan sebagainya. Karena untuk mengharamkan suatu amalan harus
mengemukakan nash-nash baik yang umum maupun yang khusus mengenai amalan tersebut,
jadi tidak bisa seenak pikirannya sendiri. Wallahu A’lam
11.20. Beberapa catatan sejarah
tentang kedatangan orang-orang Arab ,khususnya keturunan Nabi saw (‘Alawiyyin),
termasuk Wali Songo ke Indonesia khususnya, dan negeri-negeri Timur
Jauh serta peranan mereka dalam penyebaran Islam .
Pemusnahan peran bangsa Arab ,khususnya kaum
sayid Alawiyin, dalam penyebaran Islam di Indonesia merupakan agenda utama
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dengan berbagai cara mereka mencoba untuk
menghilangkan peran kaum Alawiyin (julukan keturunan Nabi saw. yang
berasal dari hadramaut/yaman selatan) membumikan Islam di Nusantara. Anehnya
beberapa sejarawan Indonesia ikut terpengaruh dengan isu tersebut dengan
tulisannya yang terdapat dalam buku-buku sejarah, yang beredar dikalangan umum
maupun pelajar. Mereka ini menyatakan bahwa Islam yang datang ke Nusantara
dibawa oleh pedagang Gujarat, bukan berasal dari tanah Arab atau Timur
Tengah. Pendapat mereka ini bertentangan dengan pendapat para sejarawan,
baik yang ditulis oleh penulis Barat maupun penulis Timur.
Mayoritas sejarawan, mengatakan bahwa para
pedagang Arablah ,khususnya kaum Alawiyin dari hadramaut, yang menyebarkan
agama Islam dikepulauan Hindia Timur (Indonesia). Teori ini dikenal sebagai
teori Arab, dan dipegang oleh Crawfurd, Niemann, de Hollander (Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XV11 dan XV111).
Teori Arab yang di kemukakan oleh Niemann dan de Hollander, keduanya mengatakan
bukan Mesir sebagai sumber Islam di Nusantara, melainkan Hadramaut [yaman
selatan]. (Azyumardi Azra, loc cit, hal.27).
Teori Gujarat ini sejak tahun 1958 juga
mendapat koreksi dan kritik dari HAMKA, yang melahirkan teori baru yakni
teori Mekkah. Koreksi tersebut dikuatkan dalam sanggahannya dalam Seminar Sejarah
Masuknya Agama Islam ke Indonesia, di Medan tahun 1963. Hamka menolak pandangan
yang menyatakan bahwa agama Islam masuk ke Nusantara pada abad ke 13 berasal
dari Gujarat. HAMKA lebih mendasarkan pandangannya pada peranan bangsa Arab
sebagai pembawa agama Islam ke Indonesia. Gujarat dinyata- kan sebagai tempat
singgah semata, dan Mekkah sebagai pusat, atau Mesir sebagai tempat pengambilan
ajaran Islam. Hal itu sesuai pula dengan pendapat Keijzer, yang
memandang Islam di Nusantara berasal dari Mesir atas dasar pertimbangan
kesamaan pemeluk- an penduduk muslim di kedua wilayah, yang berpegang
kepada madzhab imam Syafi’i.
Kini banyak sudah dilakukan penelitian
intensif oleh beberapa sejarawan Indonesia. Hasil penelitian itu menyatakan
adanya para pedagang Arab di Sumatra Utara atau lebih tepatnya di Aceh, sebelum
lahirnya Islam. Penelitian ini menamakannya sebagai ‘Wajah Arab di
Indonesia’. Bangsa Arab mempunyai pengaruh kuat dalam kebudayaan Indonesia
yang memantul juga dalam sastra dan bahasanya. Sebelum penjajahan Belanda
memasukkan huruf latin, sebagian besar bahasa di Indonesia menggunakan bahasa
Arab. Kata-kata bahasa Arab hingga kini banyak yang diterima sebagai resmi
Indonesia. Sudah tentu pengaruh Arab itu terutama dalam bidang kebudayaan terlihat
makin kuat sesudah masuknya Islam keseluruh kepulauan ini.
Kedatangan para syarif Hadramaut ke India dan
dari sana ke Asia tenggara, merupakan sebab dari ketidakpahaman sebagian
sejarawan khususnya sejarawan Eropa. Kesalahan mereka adalah bahwa mereka
menganggap para Da’i yang datang ke Asia Tenggara adalah dari India. Dalam
kitab Hadhir al-Alam al-Islami karya Amir Syakib Arsalan mengatakan,
bahwa para sejarawan Eropa menerangkan secara serampangan. Satu ketika
sejarawan Eropa mengatakan bahwa para Da’i ini berasal Gujarat dan pada
kesempatan lain mereka mengatakan bahwa para Da’i ini adalah orang-orang Parsi.
Jadi dalam masalah ini mereka (sejarawan Eropa) hanya berputar-putar dan tidak
lepas dari kebodohan.
Marilah kita ikuti ,kajian berikut ini, sekelumit
catatan sejarah tentang kedatangan orang-orang Arab ,khususnya keturunan Nabi
saw, ke Indonesia dan peranan mereka dalam penyebaran agama Islam.
Seorang penulis sejarah penduduk pulau Jawa
yang bernama Haji ‘Ali bin Khairuddin, didalam bukunya ‘Keterangan-keterangan
Kedatengan Bongso Arab Ing Tanah Jawi Saking Hadhramaut’ halaman 113,
mengatakan antara lain:
Kedatangan orang-orang Arab dikepulauan ini
(Indonesia) terjadi pada akhir abad ke-7 H. Mereka datang dari India, terdiri
dari sembilan orang yang oleh penduduk Jawa disebut Wali Songo yakni Sembilan
Waliyullah. Mereka adalah bersaudara, yaitu:
Sayid Jamaluddin Agung, Sayid Qamaruddin,
Sayid Tsana’uddin, Sayid Majduddin, Sayid Muhyiddin, Sayid Zainul ‘Alam, Sayid
Nurul ‘Alam, Sayid ‘Alawi dan Sayid Fadhl Sunan Lembayung. Mereka semua ini
adalah putra-putra dari Ahmad bin Abdullah bin Abdulmalik bin ‘Alawi bin
Muhamad Shahib Marbath bin ‘Ali Khali’ Qasam bin ‘Alawi bin Muhamad bin ‘Alawi
bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir bin ‘Isa Al-Bashiri bin Muhamad An-Naqib bin
‘Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhamad Al-Baqir bin ‘Ali Zainal
Abidin bin Al-Imam Husain bin Al-Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw dan Fathimah
Az-Zahra ra binti Muhammad Rasulallah saw. Mereka semua adalah dzurriyatun-Nabi
(keturunan Nabi saw).
Datuk ketiga sembilan orang waliyullah
tersebut adalah Sayid Abdulmalik bin ‘Alawi, lahir dikota Qasam, sebuah kota di
Hadramaut/Yaman Selatan, sekitar tahun 574 H. Beliau meninggalkan Hadramaut
pergi ke India bersama rombongan para Sayid dari kaum ‘Alawiyyin (julukan
keturunan Nabi saw yang dari Hadramaut/yaman selatan). Di India beliau bermukim
di Nashr Abad. Beliau mempunyai beberapa orang anak lelaki dan
perempuan, diantaranya ialah Sayid Amir Khan Abdullah bin Sayid Abdulmalik , lahir
dikota Nashr Abad, ada juga yang mengatakan dia lahir disebuah desa dekat Nashr
Abad. Dia anak kedua dari Sayid Abdulmalik. Sayid Amir Khan ini mempunyai anak
lelaki bernama Amir Al-Mu’adzdzam Syah Maulana Ahmad.
Maulana Ahmad Syah Mu’adzdam ini mempunyai
banyak anak lelaki. Sebagian dari anak lelaki itu, meninggalkan India berangkat
mengembara. Ada dari mereka ini yang kenegeri Cina, Kamboja, Siam (thailand)
dan ada pula yang pergi kenegeri Anam dari Mongolia Dalam (negeri Mongolia yang
termasuk wilayah Cina). Diantara mereka itu yang pertama tiba di Kamboja ialah
Sayid Jamaluddin Al-Husain Amir Syahansyah bin Sayid Ahmad. Di Kamboja Sayid
Jamaluddin ini nikah dengan anak perempuan salah seorang Raja dinegeri itu
(menurut versi lain yang nikah dengan anak Raja Kamboja ialah putera Jamaluddin
Al-Akbar yaitu Ibrahim Asmoro). Dari isterinya ini dia mempunyai dua anak
lelaki yang bernama Sayid Ibrahim Al-Ghazi dan Sayid Jalal Al-Mu’adzdzam
Maulana Zahid Alhakim Abdulmalik. Sayid Al-Ghazi seorang pejuang besar yang
berhasil mengislamkan beberapa daerah di Cina, Melayu dan Sumatra. Sedangkan
saudaranya Sayid Jalal tidak diketahui riwayat hidupnya dan tidak pernah ada
berita tentang nasibnya.
Maulana Sayid Al-Ghazi ini meninggalkan India
pergi ke Siam, kemudian bersama ayahnya ,Sayid Jamaluddin, ia mendarat di Aceh
(Sumatra Utara). Disana ia menggantikan ayahnya dalam kegiatan menyebarkan
agama Islam. Sedangkan ayahnya Sayid Jamaluddin bersama beberapa orang saudara
sepupunya berangkat naik perahu menuju pulau Jawa. Mereka mendarat dikawasan
pesisir Semarang, kemudian melalui jalan darat tibalah di Pajajaran. Disinilah
Sayid Jamaluddin bertempat tinggal. Hal ini terjadi pada masa akhir kekuasaan
raja-raja di Pajajaran, yakni beberapa tahun sebelum kekuasaan Raja Jawa di
Pajajaran berpindah ketangan Majapahit. Sayid Jamaluddin lalu berangkat ke Jawa
Timur, dan tibalah di Surabaya. Pada waktu itu Surabaya merupakan sebuah desa
kecil, tidak banyak penduduk, dikelilingi hutan-hutan dan sungai-sungai. Pada
masa itu desa tersebut dikenal dengan nama Ampel, disinilah Sayid
Jamaluddin bertempat tinggal.
Satu setengah tahun kemudian Sayid Jamaluddin
ini bersama lima belas pengikutnya dan beberapa pembantu –yang semuanya terdiri
dari kaum muslimin yang baru saja memeluk agama Islam– berangkat kepulau
Sulawesi di Makasar (Ujung Pandang) . Dia tinggal ditanah Bugis dan tidak lama
kemudian dia wafat dikota Wajo. Sedangkan tentang anak lelakinya, Sayid
Al-Ghazi Maulana Ibrahim Alhakim, ia masih selalu pulang pergi dari Aceh ke
Kamboja. Di Kamboja ia nikah dengan wanita Cina, yang kemudian melahirkan dua
orang anak lelaki, yang bernama Maulana Ishaq dan Maulana Rahmatullah. Atas
didikan ayah mereka, baik dalam hal agama maupun amal penerapannya,
kedua-duanya menjadi Imam dan Alim (luas pengetahuan agamanya). Maulana Ishak
kemudian berangkat seorang diri ke Malaka (Tanah Melayu), lalu tinggal di Riau
dan menyebarluaskan agama Islam dikalangan penduduk.
Sayid Maulana Ishaq ini cukup lama tinggal di
Pulau Pinang. Sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli tasawuf disana ia
mengajarkan thariqat Syathariyah. Suatu thariqat yang dihayati oleh para orang
tuanya pada masa itu dan yang mereka ambil dari ajaran-ajaran datuknya, yang
diberikan kepada para ulama Islam di India. Kemudian Maulana Ishaq pindah
ke Banyuwangi dengan tujuan untuk berdakwah disini. Di Banyuwangi dia
memperoleh sambutan kehormatan dari penduduk, sehingga Raja Blambangan, Menakjinggo,
mengundangnya datang di istananya. Blambangan terletak dikawasan pesisir utara
Banyuwangi. Maulana Ishaq ini nikah dengan putri Menakjinggo, yang konon
putrinya sudah memeluk agama Islam, dan ayahnya pun telah memeluk Islam, tetapi
ia menyembunyikan keislamannya karena takut menghadapi serangan orang-orang
Budha (Hindu). Dari perkawinannya ini Maulana Ishaq dikarunia seorang anak
lelaki, yang diberi nama Sayid Muhamad ‘Ainulyakin. Sayid Muhamad oleh
orang-orang Jawa ia disebut dengan nama Pangeran Prabu, sedangkan penduduk
Banyuwangi menamainya Raden Paku. Dialah Sunan Giri yang mendirikan zawiyah
(pondok khusus bagi para penganut aliran tasawuf) dan dialah datuk (kakek)
Sunan Perapen.
Adapun Maulana Rahmatullah bin Ibrahim
Alhakim yang dijuluki dengan nama Zainal Akbar Jamaluddin Alhusain, yang
disebut juga dengan nama Sunan Ampel ia lahir dikota Campa, sebuah kota
dinegeri Kamboja. Atas perintah ayahnya ,Maulana Ibrahim, dia datang
kekepulauan Hindia Timur (Indonesia) pada tahun 751 H. Ia tiba di Jawa dan
bermukim di Surabaya dan mempunyai hubungan baik dengan raja Prabu Wijaya V yang
beragama Hindu Brahmana. Prabu Wijaya berhubungan intim dengan budak perempuan
berkebangsaan India yang pada akhirnya budak ini hamil. Karena Prabu takut
diketahui istrinya, maka budak ini dibuang ke Palembang dan meminta kepada
saudaranya,Raden Damar, di Palembang agar sudi mengakui bahwa budak itu hamil
dari Raden Damar ini. Anak yang lahir dari budak ini diberi nama Raden
Joyowisnu. Anak ini setelah dewasa ia pergi ke Jawa dan berhubungan baik dengan
Imam Rahmatullah (Sunan Ampel) dan sekaligus menjadi muridnya. Pada akhirnya
Raden Joyowisnu ini memeluk agama Islam dan oleh Sunan Ampel diganti namanya
dengan Abdul Fattah (dikenal dengan Raden Patah). Dia mengetahui bahwa
ayahnya itulah yang mengusir dan membuang ibunya, yang sedang hamil ke
Palembang.
Raden Fattah melancarkan balas dendam untuk
memerangi ayahnya sendiri yang masih beragama Hindu Brahmana. Gurunya ,Sunan
Ampel, telah mencegahnya dengan keras untuk memerangi kerajaan ayahnya dan
menasihatinya, bahwa agama Islam adalah agama akal yang mengutamakan
kebijaksanaan, bukan agama perang atau agama kekerasan. Tetapi Abdul Fattah
tetap melaksanakan peperangan dengan kerajaan ayah nya, sehingga ia dijauhi
oleh gurunya karena tidak mentaati petunjuk dan nasihatnya. Dua tahun kemudian,
Sunan Ampel menyaksikan sendiri ketabahan dan kemantapan Abdul Fattah dalam
membela dan menegakkan agama Islam, barulah ia dibiarkan mendekatinya kembali.
Raden Abdul Fattah mendirikan kesultanan Islam pertama ,terpisah dari kerajaan
Majapahit, di Demak dekat Kudus, tidak jauh dari Semarang. Panji dan bendera
kesultanan Demak pada masa itu berwarna dasar hitam dan bertuliskan kalimat : “Laa
ilaaha illallah Muhamad Rasulallah, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali Radhina
billahi Rabban wa bil Islami diinan wa bi Muhammadin Nabiyyan”.
Melihat kenyataan tersebut ayah Raden Fattah
sangat gusar. Sebagai Raja Majapahit ia mengeluarkan keputusan untuk memerangi
melawan kaum Muslimin. Bertahun-tahun Raden Abdul Fattah berkecimpung dalam
peperangn melawan kerajaan Majapahit, sehingga ayahnya raja Prabu Wijaya
bersama pasukannya meninggalkan istananya menuju kepula Bali. Di Bali ini dia
mendirikan kerajaan Hindu yang baru bertempat di sebuah kota bernama
Kelungkung. Sejak dahulu sampai detik ini sebagian besar penduduknya beragama Hindu.
Sedangkan anak lelaki Sunan Ampel yang
bernama Maulana Ibrahim Al-Ghazi, yang oleh kaum muslimin Jawa disebut dengan
nama Sunan Bonang selalu menyertai Raden Abdul Fattah dalam peperangan.
Setelah Maulana Ibrahim wafat ia dimakamkan di Bonang, namun kemudian oleh
orang-orang Madura kuburannya dibongkar dan kerangka jenazahnya diangkut ke
Madura untuk dimakamkan dipulau itu. Akan tetapi baru saja perahu yang
mengangkutnya sampai kepesisir (pantai Tuban) tiba-tiba pecah. Jenazahnya
dibawa kedarat dan dimakamkan kembali di Tuban, disebuah tempat terkenal dengan
nama Istanah. Ia wafat tidak meninggalkan keturunan karena selama hidupnya
tetap membujang, tidak pernah nikah sama sekali. Ia seorang yang gemar
ber’uzlah, menjauhkan diri ditempat-tempat terpencil.
Tulisan-tulisan para sejarawan tentang
peranan bangsa Arab ,khususnya kaum ‘Alawiyyin, dalam penyebaran Islam di
Indonesia khususnya dan negeri Timur lainnya.
Beberapa sejarah ,baik yang ditulis oleh
penulis Barat maupun penulis Timur, mengatakan bahwa para pedagang Arab lah
,khususnya kaum Alawiyyin, yang menyebarkan agama Islam di kepulauan Hindia
Timur (Indonesia). Sebagian dari mereka menambahkan penjelasan dengan menyebut,
bahwa beberapa orang yang menyebarkan agama Islam itu tidak termasuk golongan
pedagang, tetapi orang-orang yang khusus mendakwahkan agama Islam dan
menyebarkannya dikalangan penduduk setempat. Para pakar sejarah antara lain
adalah:
Gustave Le Bon dalam bukunya La
Civilisation des Arabs, menceriterakan tentang perjalanan bangsa Arab
kedaerah-daerah lain, ia berkata bahwa bangsa Arab dahulu adalah kaum pelancong
terkemuka. Mereka tidak gentar dengan jauhnya jarak yang akan mereka tempuh.
Selanjutnya ia berkata, kita belum pernah melihat dalam sejarah ada satu bangsa
yang mempunyai pengaruh yang nyata seperti bangsa Arab. Kebudayaan Arab
diterima, walaupun dalam beberapa waktu saja, oleh semua bangsa yang
berhubungan dagang dengan mereka. Setelah bangsa Arab lenyap dari panggung
sejarah, maka bangsa-bangsa yang menaklukkan bangsa Arab seperti bangsa Turki
dan Mongol dan lainnya, mengambil adat istiadat mereka dan menyebarkan pengaruh
mereka didunia. (Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, hal.31).
L. van
Rijck Vorsel dalam bukunya yang diterjemahkan dalam bahasa Melayu ‘Riwayat Kepulauan
Hindia Timur’ menyebut, bahwa orang-orang Arab sudah datang dipulau Sumatra
750 tahun lebih dulu sebelum orang-orang Belanda. Akan tetapi kedatangan
orang-orang Arab untuk menyebarkan agama Islam dikepulauan itu baru terjadi
dalam tahun 1292 M dan penyebaran agama tersebut dilaku- kan dikalangan
kerajaan-kerajaan Pasai.
Pakar
sejarah asing seperti Rowland Son, Sturrock dan Frracis Dai, mengatakan
bahwa semenjak abad ke 7 M, bahkan sebelum- nya, orang-orang Arab telah
bermukim di Hindia Barat, kemudian mereka berpencar keberbagai tempat. Namun
mereka lebih mengutamakan tempat tinggal di Malabar.
Didalam ‘Encyclopedie Van Nederlandsche Indie’
vol.II P.P. 567 9 Doctor Snouck Hurgronje menyebut, bahwa pengaruh orang-orang
Arab dalam penyebaran agama Islam lebih besar daripada (bangsa) yang lain.
Pakar sejarah, Prof.Husain Jayadiningrat didalam majalah ‘Bahasa dan Budaya’
menunjuk kepada Encyclopedie tersebut dalam pembicaraannya mengenai Syarif
Hidayatullah.
R.O.Winstedt,
misalnya, ia mengatakan bahwa mereka (para penyebar agama Islam ke Timur) itu
datang dari Gujarat. Akan tetapi bersamaan dengan itu ia menunjuk kepada
orang-orang Arab yang menuju Kedah, di Semenanjung Melayu, dengan maksud
berniaga. Bahkan ia mengatakan juga bahwa agama Islam tersebar dikawasan
tersebut pada tahun 915 M.
Von Ronkel dan G.E.Marrison, dua-duanya
berpendapat bahwa mereka (para penyebar agama Islam ke Timur) datang dari India
Selatan, tetapi dua-duanya tidak dapat menentukan nama tempat dari mana aslinya
mereka itu datang. Bahkan Marrison mengatakan, peranan orang-orang yang datang
dari Gujarat baru terjadi setelah agama Islam tersebar di Samudera, yakni Aceh.
Kaum orientalis yang mengatakan demikian itu, tidak memperhatikan kenyataan
bahwa kaum muslimin gujarat bermadzhab Hanafi, sedangkan kaum muslimin
dinegeri-negeri Timur tidak demikian (bermadzhab Syafi’i).
Jones
didalam bukunya ‘Sufisme Merupakan Bagian Sejarah di Indonesia’
berpendapat, bahwa orang-orang Arab dan lainnya memulai kunjungan mereka secara
teratur ke Indonesia sejak abad ke 8 M.
Diago De Couto, pakar sejarah berkebangsaan
Portugal dapat memastikan, bahwa Aceh pada zaman dahulu sudah mempunyai
hubungan langsung dengan negeri-negeri Arab.
Wilbers bahkan mengatakan bahwa para penyebar
agama Islam datang dari negeri Arab. Sama dengan Wilbers, Robertson juga
mengatakan bahwa para penyebar agama Islam datang dari Mekkah dan daerah-daerh
pantai Laut Merah.
Hendrik Kern mengatakan, para pedagang Arablah
yang menyebarkan agama Islam. Disana terdapat pedagang-pedagang muslimin Arab,
dan merekalah yang menyebarkan agama Islam. Pedagang-pedagang Muslimin yang
sebagian besar terdiri dari orang Arab menempati pelabuhan-pelabuhan penting di
Sumatra dan pulau-pulau yang berdekatan. Mereka itulah yang menabur benih-benih
agama Islam. Demikian juga yang dikatakan oleh Thomas Arnold dan
sejarawan sebelumnya, Fransisco Geiter, bahwa orang-orang Arab bermukim
didaerah selatan dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk setempat.
Van
den Berg ,seorang penulis berkebangsaan Belanda, ia menyebut bahwa pengaruh
Islam terbesar dikalangan pribumi bersumber dari orang-orang Arab yang bergelar
Sayyid dan Syarif (yakni kaum Alawiyyin). Berkat upaya dan
kegiatan mereka itulah agama Islam tersebar dikalangan raja-raja Hindu di Jawa
dan dipulau-pulau lainnya. Meskipun ada orang-orang lainnya (selain kaum alawiyin) yang
berasal dari Hadramaut, mereka tidak mempunyai pengaruh Islami. Kenyataan
besarnya pengaruh kaum Sayid dan kaum Syarif kembali kepada
martabat mereka sebagai keturunan seorang Nabi dan Rasul pembawa agama Islam,
yakni Muhammad saw.
Menurut penelitian Van den Berg, orang Arab
memang sudah lama hadir dan bermukim di Nusantara, tetapi orang Hadramaut
secara massal datang ke Nusantara pada tahun-tahun terakhir abad ke 18 M
(LWC Van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara hal.72). Menurutnya,
setelah setengah abad, pada tahun 1844 koloni Arab di Batavia merupakan koloni
terbesar di Nusantara, sehingga pemerintah Belanda mengharuskan adanya kepala
koloni atau disebut Kapten Arab.
Di Batavia penduduk Arab terus bertambah,
mereka tinggal dikampung-kampung yang dekat dengan pemukiman orang pribumi atau
Betawi. Dalam hubungannya dengan aktivitas dakwah Islamiyah, golongan
alawiyin/sayid dan golongan syeikh banyak memainkan perannya, tetapi golongan
sayid jauh lebih menonjol. Kelompok elite yang dikenal orang Betawi hanya
berkaitan dengan agama, yaitu guru mengaji, para haji dan orang
Arab keturunan Nabi yang disebut Sayid atau Habib. Para sayid atau
habib sangat dihormati bukan hanya karena dipandang keturunan Nabi yang sudah
selayaknya menerima penghormatan, melainkan juga mengingat jasa kelompok ini
yang sejak lama sebagai penyebar Islam dan sumber kader ulama ((ibid, hal.39).
Ahli
sejarah dari Hadramaut, Sholah al-Bakri, dalam kitabnya Tarikh
Hadramaut tahun 1936, mengatakan tidak diragukan lagi bahwa hijrahnya orang
Arab Hadramaut ke Jawa dan ke pulau-pulau sekitarnya adalah hijrah terbesar
dalam sejarah mereka. Mereka memasuki Timur jauh pada masa lautan penuh dengan
bahaya. Lalu mereka turun di pulau-pulau yang subur itu. Diantara hasil
tersebar hijrah ini adalah lenyapnya agama Budha dan tegaknya agama Islam.
Dalam
surat kabar Samarat al-Funun tanggal 10 Sya’ban 1315 H tertulis:
Syarif-syarif ini adalah ulama, dan mereka mengantarkan penduduk kawasan ini
kepada agama Muhamad yang mulia. Sementara itu, agama ini sudah mantap, kecuali
di kalangan beberapa suku kecil di pulau Bali dan beberapa daerah pegunungan di
Sumatra dan Borneo.
Buku ‘Sejarah
Serawak’ di Perpustakaan ‘Rafles’ di Singapura menyebutkan, bahwa Sultan
Barakat adalah keturunan Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma.
Diterangkan bahwa ia datang dari Tha’if dengan sebuah kapal perang yang sangat
terkenal pada masa itu. Dijelaskan lebih jauh, orang itu bernama Barekat bin
Thahir bin Ismail (terkenal dengan nama julukan ‘Al-Bashri’, bin Abdullah bin
Ahmad Al-Muhajir bin Isa An-Naqib bin Muhamad An-Naqib…dan seterusnya sampai
kepada Al-Husain bin Ali bin Abdul Mutholib kw –red.). Kaum Syarif di Mekkah
pada umumnya adalah keturunan Al-Hasan ra (bin Ali bin Abi Thalib), sedangkan
Barekat adalah keturunan Al-Husain ra. Kaum Syarif di Mekkah tidak melakukan
penyebaran agama ke seberang lautan. Yang melakukan kegiatan demikian adalah
kaum Sayid keturunan Al-Husain ra yang bermukim di Hadramaut/Yaman Selatan.
Kegiatan itu mereka laku- kan terutama setelah terjadinya penyerbuan kaum Khawarij
sekte Abadhiyyah terhadap Hadramaut. Kota tempat mereka bermukim adalah
Bait Jabir, termasuk pusat perniaga an dinegeri itu. Mereka mengumpulkan bekal
dari Marbath, kemudian diangkut dengan kafilah ke Yaman.
Dalam
sejarah kaum muslimin Philipina dan dalam sejarah Sulu disebutkan, bahwa mereka
berasal dari keturunan Abdullah bin Alwi bin Muhamad (penguasa Marbath) bin Ali
Khali’ Qasam..dan seterusnya sampai Imam Ali bin Abi Thalib dan Fathimah
Az-Zahra binti Muhamad saw.
Nageeb
M.Saleeby didalam bukunya yang berjudul ‘Department of The Interior
Ethnological Survey Publication Studies in More History Law Relegion’
(Manila Bireau of Republic Printing 1905) dalam menyebut sejarah Mindanau
mengatakan antara lain:
“Sebelum kedatangan Islam tidak terdapat data
sejarah yang akurat, dan tidak terdapat pula kisah atau ceritera-ceritera yang
di-ingat orang. Setelah kedatangan Islam barulah tampak penyebaran ilmu
(pengetahuan), peradaban dan berbagai kegiatan. Undang-undang dasar yang baru
ditetapkan bagi Negara, ketentuan-ketentuan hukum tertulis ditetapkan dan
silsilah serta cabang-cabang keturunan dari orang-orang besar dibaku kan,
kemudian dengan hati-hati dan dijaga baik-baik oleh semua Sultan dan para
bangsawan”. Silsilah tersebut dibakukan dalam sebuah catatan sejarah yang
tertulis dengan bahasa Melayu Tinggi, terjemahannya dalam bahasa
Indonesia, sebagai berikut:
“Alhamdulillah, saya yakin sepenuhnya bahwa
Allah menjadi saksi atas saya. Buku catatan ini berisi silsilah Rasulallah saw
(yaitu mereka) yang tiba di Mandanau. Sebagaimana diketahui, Rasulallah saw
mempunyai seorang putri bernama Fathimah Az-Zahra. Putri ini melahirkan dua
orang syarif, Al-Hasan dan Al-Husain. Tersebut belakangan (Al-Husain) itulah
yang beranak Syarif (Ali) Zainal Abidin...”dan seterusnya.
Keturunan dari Muhamad (Al-Baqir) putera
Zainal Abidin (yakni mereka yang datang dari Johor) ialah Ahmad bin Abdullah
bin Muhamad bin Ali bin Abdullah bin Alwi (‘Ammul Faqih) bin Muhamad (Shahib
Marbath) bin Ali (Khali’ Qasam) bin Alwi bin Muhamad bin Alwi (orang yang
pertama disebut ‘Alawi’ dan darinya berasal semua kaum sayid Al-Alawiyyun di
Hadramaut) bin Abdullah bin Al-Muhajir bin Isa..dan seterusnya sampai kepada
Muhamad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin.
Musyawarah kaum muslimin yang berlangsung di
Sidogiri pada tanggal 30-april-1962, dihadiri oleh 165 orang ulama, Setelah
mendengarkan, membahas, dan mencari bukti-bukti, memutuskan bahwa yang pertama
menyebarkan Islam ke Indonesia adalah para syarif Alawiyin dari Hadramaut yang
bermadzhab Syafi’i. Naskah keputusan tersebut ditanda tangani oleh Ketua
Musyawarah, Haji Ahmad Khalil Nawawi dan wakil Sekretaris Abdulgani Ali.
Adapun mengenai orang-orang yang menyebarkan agama Islam dinegeri-negeri Timur
pada umumnya, dapat dituturkan sebagai berikut: Menurut beberapa buku sejarah
Jawa dan menurut sementara kaum orientalis (ahli ketimuran) Barat, dinyatakan bahwa
orang-orang Arab lah yang membawa benih-benih agama Islam kenegeri-negeri
Timur. Akan tetapi beberapa orang dari kaum orientalis zaman belakangan masih
tetap mengikuti pendapat Snouck Hurgronje, yang berpendapat bahwa penyebar
agama Islam datang dari India. Meskipun begitu mereka sendiri berbeda pendapat
mengenai tempat (di India) darimana (aslinya) para penyebar agama Islam itu
datang.
Kesimpulan seminar tentang masuk dan
berkembangnya Islam di Indonesia yang dihadiri oleh jumlah besar budayawan dan
sejarawan Indonesia, diantaranya memutuskan bahwa Islam untuk pertama kali
masuk ke Indonesia pada abad pertama hijrah dan langsung dari Arab. Daerah
pertama yang didatangi agama Islam adalah pesisir Sumatra (Risalah Seminar
Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia, hal. 265).
Menurut sejarawan Cina, bangsa Arab sudah
mendarat di pesisir pantai Sumatra sebelum lahirnya Islam. Dari hasil-hasil
barang galian yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Indonesia telah ditemukan tiga ribu tulisan pada batu dan logam yang ditulis
dalam bahasa Arab. Sebagian diukir dengan huruf Himyar, dan sebagian lainnya
ditulis dalam bentuk syair Arab pada batu-batu nisan dan lain-lain dengan
mencantumkan tahun hijrahnya pula.
Profesor Qaishar Makhul mengatakan, bahwa
orang-orang yang datang dari Gujarat dan yang datang dari India Selatan
memainkan peranan bersama-sama. Akan tetapi menonjol-nonjolkan peranan mereka
dapat meniadakan peranan yang dimainkan oleh kaum Syarif, para ulama dan
para pedagang Arab. Selain itu dapat juga meniadakan peranan kaum muslimin
Melayu dalam menyebarkan agama Islam.
Ia mengatakan juga, tidaklah bertentangan
dengan pemikiran kami sendiri jika kami mengatakan, bahwa sebagian besar
penyebar agama Islam di Malaysia (Semenanjung Melayu) yang datang melalui India
adalah orang-orang Arab atau orang-orang India peranakan Arab. Lebih lanjut ia
mengemukakan, tidaklah mustahil bahwa sebagian penduduk setempat (kaum pribumi)
memeluk agama Islam berkat kegiatan individual yang dilakukan oleh kaum Syarif
berkebangsaan Arab, dari keturunan Sayiduna Ali (bin Abi Thalib) dan
sejumlah kaum pedagang yang bertakwa.
Prof.Abdul
Mun’im Al-Adwiy didalam majalah ‘Al-Arab’ yang terbit di Karaci
(Pakistan) mengatakan: Kita mempunyai kenangan indah tentang saudara-saudara
kita orang-orang Hadramaut dan Yaman, yang telah memasukkan agama Islam ke
Indonesia, Malaysia, Thailand dan negeri-negeri dikawasan Timur Jauh lainnya.
Mereka telah meninggalkan berbagai pusaka yang baik dikerajaan Ashifiyyah
(Emirat Haidarabad), Malabar (India bagian Selatan) dan di Kitiyawara.
Lebih lanjut ia mengatakan: Orang-orang Arab lah yang pertama masuk ke
Citagong, di Teluk Benggala. Kemudian nama tersebut mereka gunakan untuk
menyebut nama sungai Qani’. Oleh orang-orang Inggris nama ‘Citagong’ dirubah
menjadi ‘Cinagong’ dan dalam bahasa Benggali disebut sungai Syanjim. Penduduk
pulau Akyah dekat perbatasan Burma (Myanmar) hingga sekarang penduduknya masih
berbicara dengan bahasa Arab diantara sesama mereka. Selain itu mereka juga hingga
sekarang masih tetap menjaga baik-baik nasab dan asal-usul serta tradisi
mereka. Mereka adalah keturunan orang-orang Arab Hadramaut dan Yaman. Demikian
juga, penduduk dipulau-pulau Maladef, hingga sekarang masih tetap
mempertahankan ke-arab-an tradisi mereka yang asli.
Doktor Hamka mengatakan, bahwa kaum pendatang
itu adalah orang-orang Arab atau asal keturunan Arab. Di antara mereka ada yang
datang dari Gujarat, dari Persia dan ada pula yang dari tanah Melayu. Pada
bagian lain dari bukunya ‘Sejarah Ummat Islam’, Doktor Hamka menegaskan bahwa
agama Islam datang langsung (di Indonesia) dari negeri Arab. Orang-orang
Indonesia berkeyakinan kuat dan secara turun-temurun percaya, bahwa mereka
menerima agama Islam dari orang-orang Arab, ada yang sebagai guru yang
mendakwahkan agama dan ada pula orang-orang sayid dan syarif dari keturunan
Rasulallah saw. Lebih jauh Hamka mengemukakan, tidak sedikit orang-orang
keturunan Sadah (kaum sayid) dan keturunan para sahabat Nabi yang datang dari
Malabar. Mereka mempunyai hubungan langsung dengan negeri-negeri Arab. Beliau
mengetahui bahwa seorang guru tasawwuf, Abu Mas’ud Abdullah bin Mas’ud Al-Jawi,
mengajar sebagai guru dinegeri Arab. Diantara murid-muridnya ialah seorang
ulama Sufi (ahli tasawwuf) bernama Abdullah Al-Yafi’i (1300-1376M), penulis
buku ‘Riyadhur-Rayyahin fi Hikayatis-Shalihin’. Disebut juga bahwa Syarif Ali
Ad-Da’iyah nikah dengan puteri saudara Sultan Muhamad, Sultan Brunai. Setelah
wafat, kesultanan diserahkan kepada saudaranya yang bernama Ahmad. Sebagaimana
diketahui Syarif Ali adalah Sultan ke tiga di Brunai. Beliau wafat pada
permulaan abad ke 15 dan kesultanannya diserahkan kepada puteranya yang bernama
Sulaiman.
Doktor Hamka mengatakan juga bahwa
orang-orang keturunan Arab, khususnya kaum Sayid, beroleh kedudukan dan
martabat sangat terhormat. Keturunan mereka memegang tampuk kesultanan Aceh.
Sultan yang pertama ialah Sultan Badrul-‘Alam Asy-Syarif Hasyim Jamalullail
(1699-1702M), kemudian Sultan Perkasa Alam Asy-Syarif Lamtsawiy Asy-Syarif
Ibrahim Abriy. Hingga tahun 1946 M beberapa orang perwira yang memimpin pasukan
bersenjata di Aceh terdiri dari keturunan Arab. Sultan-sultan Perlis dari
keluarga Jamalullail dan Sultan yang sekarang (yakni pada masa Hamka menulis
bukunya) ialah Tuanku Sayid Putera bin Almarhum Hasan Jamalullail. Sebagai
pembuktian tentang ke-arab-an para penyebar agama Islam beliau mengemukakan,
bahwa diantara mereka itu adalah Syeikh Islam’il dan Sayid Abdulaziz yang telah
berhasil mengislamkan ‘Prameswara’. Sedangkan Syeikh Abdullah Arif dan Malik
Ibrahim sendiri adalah keturunan (Ali) Zainal Abidin bin Al-Husain bin Ali bin
Abi Thalib bermukim di Gresik. Demikian juga Syarif Hidayatullah adalah
keturunan Muhamad Rasulallah saw. Kedatangan para sayid dari kaum Alawiyyin
dari Hadramaut terjadi pada masa hidupnya Sultan Iskandar Muda di Aceh. (semua
uraian yang bersumber dari Hamka ini didasarkan buku beliau ‘Sejarah Umat
Islam’ jilid 4 hal.21,42,46,47 dan buku beliau ‘Tuanku Rau Antara Fakta dan
Khayal’, hal. 332). Dalam buku Hamka “Seminar Sejarah” (Islam) hal.75,
mengatakan: Harus diakui bahwa kaum Sayid dan kaum Syarif (kaum Alawiyyin)
sudah sejak semula telah mengambil bagian dalam penyebaran agama Islam di
Indonesia.
Doktor Hamka didalam bukunya “Sejarah Ummat
Islam’ jilid 4 mengatakan, didalam ceritera-ceritera rakyat yang tertulis
banyak disebut tokoh-tokoh penting yang berasal dari keturunan Rasulallah saw.
Raja-raja dikepulauan Maluku, misalnya, disebut bahwa mereka itu berasal dari
keturunan Jakfar As-Shadiq (cicit Rasulallah saw). Disebut juga bahwa seorang
Sayyid dari kaum Alawiyyin datang dibeberapa daerah Timur Indonesia untuk
menyebarkan agama Islam. Banyak pula dibicarakan orang bahwa seorang Sayid
lainnya yang berada dikerajaan Kutai datang dari Demak. Ceritera-ceritera
seperti itu meskipun tidak ditunjang oleh data tertulis atau tidak diperkuat
dengan hujjah (argumentasi), bagaimanapun juga pasti mempunyai asal kenyataan
yang sebenarnya, bukan hanya sekedar ceritera yang menunjukkan betapa besar peranan
orang-orang Arab dalam penyebaran agama Islam dinegeri Melayu. Peranan yang
tidak dapat kita lupakan.
Prof.Abdulmun’im
An-Namr dalam bukunya yang berjudul ‘Sejarah Islam di India’ mengatakan,
bahwa pada zaman dahulu orang-orang Arab pergi ke Teluk Benggala, kenegeri
Melayu dan kepulauan Indonesia. Diantara mereka terdapat sejumlah pedagang dan
pelaut-pelaut Hadramaut dan lain-lain. Mereka datang kenegeri-negeri tersebut
membawa agama mereka yang baru (Islam) dan bermu’amalat dengan kaum pribumi.
Sumber-sumber yang terkenal dari penduduk setempat menuturkan bahwa agama Islam
sampai ke Philipina dibawa oleh tujuh orang Arab bersaudara, semuanya berasal
dari Semenanjung Arabia. Diantara mereka yang paling terkenal bernama Abubakar.
Ia datang sekitar tahun 1450M. Kemudian ia oleh penduduk setempat diberi gelar
Paduka Maha Sari Maulana Sultan Syarif Al-Hasyimi, yaitu sebagaimana tertulis
pada pusaranya. Kesultanannya diwarisi secara turun-temurun. Salah satu
diantara tujuh orang bersaudara tersebut diatas ialah Sayid Ali Al-Faqih,
penyebar agama islam dipulau Tawai-Tawai dan sekitarnya. Di Budi Datu, dipulau
Julu (Jolo), terdapat pusara seorang dari mereka tertulis diatasnya ‘tahun
710H. Mungkin ia orang pertama yang datang kepulau Sulu untuk menyebarkan agama
Islam dikalangan penduduk tempat.
Prof.Husain Naimar setelah tinggal di
Indonesia selama kurun waktu tertentu, menulis sebuah buku mengenai hubungan
India dengan Indonesia dan penyebaran agama Islam dikalangan penduduknya. Ia
berpendapat bahwa para penyebar agama Islam adalah kaum Sayid dari Alawiyyin
yang datang dari India. Ia pulang ke India untuk menerbitkan bukunya dalam
bahasa Inggris.
Salim Harahap berdasarkan penuturan Dauzi
menyebutkan, bahwa agama Islam masuk ke Kalimantan melalui sekelompok orang
Arab dari Palembang. Sebagaimana diketahui Palembang adalah tempat hijrah kaum
Alawiyyin dan tempat permukiman mereka. Sebagian besar kaum Alawiyyin yang
menuju ke Indonesia pada umumnya datang di Palembang. Kemudian ada sebagian
yang menetap disana dan ada pula yang berpencar dipulau-pulau lainnya. Karena
itu di Palembang kita temukan keluarga-keluarga kaum Alawiyyin lebih banyak
daripada yang kita temukan dikawasan-kawasan lain.
Tabloid
kebudayaan ‘Al-‘Ilm’, yang terbit di Rabat (Marokko) pernah menyebut, bahwa
agama Islam masuk ke Philipina pada pertengahan kedua abad ke 14 M melalui
sekelompok kaum Syarif Alawiyyin yang datang kenegeri itu. Lebih lanjut
dikatakan, bahwa merekalah yang telah membawa panji dakwah islam kesana dan
turut serta aktif dalam pembangunan negeri, turut mengembangkan lembaga-lembaga
sosial, kebudaya an dan politik.
Snouck
Hurgronje mengatakan: Sebagian besar penyebar agama Islam datang dari
negeri jauh. Pada galibnya mereka datang dari negeri Arab. Mereka digelari Sayid
karena mereka dari keturunan Al-Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad saw.
Snouck Hurgronje menuturkan dalam ‘Ancyclopedie van Nederlandsche Indie’
vol.IIXV P.P.576-9, bahwa orang-orang Persia dan India (Malabar dan Krumendal)
mempunyai pengaruh besar dalam penyebaran agama Islam di negeri ini (Hindia
Belanda). Kendati demikian tidak ada yang dapat mengingkari betapa besar
pengaruh orang-orang Arab yang datang dari Mekkah, khususnya dalam kehidupan keagamaan
Islam. Pengaruh mereka jauh lebih besar dari pengaruh Turki, atau India atau
Bukhari. Pengaruh mereka itu demikian
Snouck Hurgronje lebih lanjut sangat
terang dalam abad-abad ke 18 dan ke 19 M yaitu pada masa-masa mulai berkobarnya
semangat melawan kolonialisme, yakni ketika imprealisme Belanda berusaha
memperkokoh kekuasaannya di Indonesia, dan imperialisme Inggris di Malaya.
Dalam menghadapi imperialisme tumbuh rasa keagamaan sangat kuat dalam
berhubungan dengan orang-orang Arab.
Buku
‘Sejarah Alam Melayu’ menuturkan, bahwa di Hadramaut terdapat golongan kaum
Sayid dan kaum Syarif. Merekalah yang disebut ‘Kaum Alawiyyin’. Dari golongan
itu banyak bermunculan orang-orang besar, datang kepulau Jawa dan tanah Melayu.
Mereka beroleh kedudukan tinggi di Perak. Sebagian dari mereka berkedudukan
sebagai Sultan di Perlis dan di Siak. Pada masa-masa berikutnya jumlah orang
Arab pendatang semakin banyak dan menjadi lebih banyak lagi karena mereka
melahirkan banyak keturunan, sehingga jumlah haji di tanah Melayu makin
bertambah banyak juga.
Di
Brunai terdapat beberapa pusara kuno, antara lain sebuah pusara yang diatasnya
tertulis dengan huruf-huruf Arab sebagai berikut: “Al-Alawi Al-Bulqiyah
Ad-Dahriyah Sulthan Umar Ali Saifuddin”. Pada pusara yang lain tertulis:
“Hijrah 836 Jumadil-Ula Dahri Ali Sulthan Syarif Ali Sulthan Brunai”. Pada
pusara yang lain lagi tertulis: “Muhamad Alwi Raja Junjungan”.
Prof.
Al-Qari bin Haji Shaleh setelah membuktikan betapa lama sudah hubungan
orang-orang Arab dengan negeri-negeri Timur (berdasarkan buku-buku sejarah yang
ditulis oleh berbagai pihak), menyebutkan bahwa kedatangan orang-orang Arab
Alawiyyin dari Hadramaut kenegeri kita (yakni ditanah Melayu) membawa agama
Islam, membuat sebagian dari mereka beroleh kedudukan tinggi ditengah
masyarakat. Demikianlah yang dikatakan olehnya didalam bukunya ‘Pengkajian
Sejarah Islam’ hal. 315.
Di
Pariaman , menurut Doktor Hamka, dan Sumatra Barat terdapat banyak keturunan
raja-raja yang mempunyai hubungan darah dengan kerajaan Pagaruyung. Mereka
bergelar ‘Sultan’. Sedangkan mereka yang mempunyai hubungan darah dengan ke
sultanan di Aceh bergelar ‘Bagindo’. Keturunan para Sayid bergelar ‘Sidi’.
Saudara Syaaf, pemimpin redaksi surat kabar ‘Abadi’ adalah seorang dari
keturunan mereka, raut mukanya masih tetap seperti orang Arab. Hamka menyebut
juga bahwa seorang Sayid yang datang ke kerajaan Riau beroleh kedudukan
terhormat. Ia bernama Sayid Zainal Husaini Al-Qudsi (Engku Kuning) [tidak ada
silsilahnya, yakni tidak tercatat didalam daftar silsilah yang dihimpun oleh
Rabithah Alawiyyah, Jakarta]. Keturunannya masih terdapat di Daik dan Lingga.
Mengenai hubungan antara pulau Jawa dan
negeri-negeri Arab, menurut sumber berita sejarah dari negeri Cina, Hsin Tang
Shu, sudah terjadi semenjak abad ke 7 M. Hal itu dibenarkan oleh para
pengembara Arab sendiri. Tidak diragukan lagi pada masa itu pelabuhan-pelabuhan
dikawasan Asia Tenggara menjadi tujuan kaum pedagang Arab. Bahkan disemua kota
perniagaan terdapat pedagang-pedagang beragama Islam. Demikianlah menurut
penuturan Prof.Gabril Feyrand didalam bukunya (edisi Arab) ‘Ashlun-Nassh
Al-‘Arabiy’. Apa yang dikatakan olehnya itu disebut juga oleh Prof.Paul
Weathley dalam bukunya ‘The Golden Khersonese’. Dua naskah dari buku Feyrand
itu masih tersimpan didalam museum Inggris.
Seorang penulis wanita bernama Nia Kurnia
Solihat dalam makalah-nya menyebut adanya pusara Fatimah binti
Maimun yang wafat pada tanggal 7 Rajab 475 H (02-12-1083 M). Kenyataan itu
menunjukkan adanya masyarakat Islam pada zaman kerajaan Penjalu di Kediri.
Karenanya tidak anehlah jika dalam buku-buku ceritera rakyat banyak terdapat
kata-kata Arab, seperti buku-buku yang disusun oleh Panuluh. Penulis wanita ini
menyebutkan, bahwa surat kabar Indonesia ‘Berita Yuda’ tanggal 13-10-1980
memuat sebuah makalah yang ditulis oleh Suwarno, dibawah judul ‘Raja Jayabaya’.
Dikatakan bahwa raja Jayabaya telah memeluk agama Islam. Pernyataan itu
didasarkan pada buku-buku ceritera yang menyebut keisalaman Jayabaya ditangan
seorang Arab bernama Maulana Ali Syamsu Zain. Penuli ini mengatakan lebih
lanjut; Meskipun apa yang ditulis dalam buku-buku ceritera itu belum dapat
dipastikan kebenarannya, namun banyak sekali ceritera-ceritera didalamnya yang
benar-benar berasal dari sejarah yang menunjukkan bahwa agama Islam sudah masuk
ke Jawa pada masa kerajaan Penjalu. Tidaklah sulit bagi kita untuk sampai
kepada kesimpulan, bahwa agama Islam sudah masuk ke Jawa pada abad ke 12 dan ke
13 M, yakni pada masa kerajaan Singosari dan kerajaan Majapahit.
Hal itu diperkuat lagi oleh petunjuk-petunjuk
sejarah yang alin. Yaitu adanya pusara-pusara di Taralaya, dekat Trawulan. Pada
kuburan-kuburan itu terdapat tulisan-tulisan Arab dan ayat-ayat Al-Qur’an.
Sejarah pusara-pusara itu telah diteliti dan dipelajari oleh Prof.L.C.Damais.
Ternyata terdapat juga petunjuk berupa penanggalan tahun Saka, sesuai dengan
kebiasaan yang berlaku pada masa itu. Selain itu terdapat satu bukti yang
tertulis dengan penanggalan Hijriah, yaitu tahun 874 H (1469 M). Yang dimakamkan
dikuburan tersebut bernama Zainuddin. Tahun-tahun Saka yang tertulis diatas
kuburan-kuburan di Taralay, menurut penanggalan Hijriah adalah tahun 680 H atau
tahun 1281 M, yakni pada zaman raja Kartanegara, salah seorang dari raja-raja
Singosari.
Cho
Fan Cho, penulis kebangsaan Cina, mengatakan banyak pedagang asing yang menuju
ke Penjalu. Mata uang emas dan perak sudah dipergunakan dipasar-pasar.
11.21. Ajaran-Ajaran Pokok Wali
Songo Dan Cara Dakwah Mereka Pada Masa Lalu
Ajaran-ajaran pokok Wali Songo dan cara
dakwah mereka pada masa lalu
Untuk menarik orang-orang musyrik di
kepulauan Hindia Timur pada masa lampau, dakwah Islam dilakukan dengan menempuh
berbagai cara. Pelaksanaanya disandarkan pada kejernihan pikiran para Da’i,
keutamaan perilaku mereka, baik terhadap diri mereka sendiri maupun terhadap
orang lain. Kegiatan dakwah tidak dilakukan oleh badan-badan atau
organisasi-organisasi, melainkan oleh per-orangan atau sekelompok orang yang
mengikhlaskan dri dan waktunya untuk menyebarkan agama Islam dikalangan
penduduk musyrik dan belum mengerti atau belum pernah mendengar tentang Islam.
Para Da’i dengan sabar, tabah dan hati-hati mengikuti keadaan dan mengindahkan
tradisi yang sedang berlaku serta memperhatikan sungguh-sungguh tabiat dan jiwa
orang-orang yang hendak diberi pengertian. Dengan demikian mereka berhasil baik
dalam menjalankan tugas dakwah yang diwajibkan oleh agamanya. Salah satu factor
utama yang menyebabkan keberhasilan mereka ialah; mereka berakhlak mulia,
berbudi luhur, berbicara lembut, bersabar dan tidak menyentuh adat-istiadat
setempat dimana mereka (orang-orang yang hendak di-islamkan) tumbuh dan
dibesarkan.
Para Da’i memahami benar bahwa tradisi dan
kebiasaan yang sudah berlaku secara turun-temurun tidak mungkin dapat dihapus
dengan perdebatan atau dilawan dengan berdialog. Lembaran-lembaran buku sejarah
banyak yang memberitakan penyebaran agama Islam dikepulauan Indonesia, tanah
Melayu dan kawasan sekitarnya, termasuk cara-cara yang ditempuh oleh para da’i
pada masa dahulu. Diantara cara-cara yang ditempuh dan kegiatan yang dicurahkan
untuk berdakwah ialah menggunakan bentuk-bentuk kesenian indah yang
sangat digemari penduduk. Kedalam bentuk-bentuk kesenian itu para Da’i
memasukkan unsur-unsur ajaran islam dengan mengubah beberapa kata dan kalimat
(dalam liriknya) dan di-isi dengan ajaran-ajaran Islam yang mudah diserap.
Hingga sekarang nyanyian dan tarian masih tetap ada sebagai pusaka peninggalan
para Da’i zaman dahulu. Karena para Da’i bekerja atas dorongan hati yang ikhlas
dan semangat Tasawwuf yang tinggi, dengan kesabaran luar biasa mereka berpegang
pada metode ‘tut wuri handayani’ yakni ‘mengikuti sambil menarik
perlahan-lahan’. Dengan tekun dan tahap demi tahap mereka mengubah dan mengisi
lirik nyanyian dan lagu-lagu yang digemari penduduk dengan untaian kata dan
kalimat yang mengandung pengarahan akidah dan pendekatan diri kepada Allah swt
serta pendidikan akhlak Islam.
Misalnya cara yang ditempuh oleh seorang
waliyullah terkenal, Joko Sa’id yaitu menggunakan pagelaran ‘wayang’,
suatu kesenian Jawa yang sangat diegemari penduduk pada masa itu. Beliau
menggubah ceritera-ceritera pewayangan dengan di-isi prinsip-prinsip ajaran
Islam secara luwes, kemudian dipagelarkan (dipentaskan) didepan khalayak ramai.
Pementasan ini banyak digunakan untuk menyebar- kan pengertian tentang agama
Islam. Lirik nyanyian dan lagu-lagu yang biasanya digunakan untuk mengiringi tarian
Srimpi yang lazim dipentaskan di istana-istana kerajaan, diubah demikian
rupa menjadi hikayat yang diambil dari buku ‘Amri Hamzah’ yang mengisahkan
kepahlawanan paman Nabi Muhamad saw dalam membela agama Islam , yaitu Sayiduna
Hamzah bin Abdul Muthalib ra. Adapula Da’i yang bernama Sayid Ishaq bin
Ibrahim bin Al-Husain menempuh cara penyebaran Islam keberbagai daerah,
dengan pengobatan untuk menolong penduduk yang sakit. Ada lagi diantara para
Da’i antara lain Sayid Abubakar di Philipina, yang menempuh cara dengan
mendekati penguasa dan bangsawan yang berpengaruh untuk membantu mereka dalam
pekerjaan mengelola pemerintahan atau kesultanan sambil berdakwah mengajak
mereka masuk agama Islam. Ada lagi cara umum yang bercorak kesenian, yang
ditempuh oleh para Da’i. Diberbagai tempat yang telah direncanakan,
diselenggarakan hiburan semacam ‘pesta’, di-isi dengan nyanyian dan lagu-lagu
keagamaan (umpama sholawatan, mengucapkan kalimat-kalimat tauhid dan lain-lain
yang serupa) dengan di-iringi dengan rebana. Pesta demikian itu dihadiri oleh
banyak orang, ada yang telah masuk Islam dan ada juga yang belum. Mereka datang
berduyun-duyun tertarik oleh suara rebana dan nyanyian-nyanyian. Usai pesta
demikian itu orang-orang yang belum memeluk Islam makin dekat hubungannya
dengan mereka yang telah memeluk Islam.
Pada akhirnya mereka mengikuti jejak teman-temannya,
menyatakan keinginan memeluk Islam. Demikianlah ceritera atau sejarah para Da’i
dalam menyebarkan Islam dikepulauan Indonesia khususnya dan daerah-daerah
kawasan sekitarnya pada zaman dahulu.
Kyai Haji Raden Abdullah bin Nuh –rahimahullah- mengatakan didalam bukunya Wali
Songo,”bahwa sembilan orang Wali semuanya mengajarkan agama Islam secara
murni, bermadzhab Syafi’i dan termasuk Ahlus Sunnah wal jama’ah”.
Ada sementara pihak yang mengatakan
bahwa ajaran diantara Wali Songo itu mengawinkan atau mengasimilasikan
ajaran Islam dengan seni budaya lama (Syiwa Budha) di Jawa. Jelas ini tidak
mungkin, karena Wali Songo adalah para ulama yang sangat besar ketakwaannya
kepada Allah swt dan mengenal baik apa yang dihalalkan dan diharamkan oleh
Syari’at Islam.
Didalam Majalah Islam Al-Jami’ah nomer
5, tahun 1, bulan mei 1962 memuat sebuah makalah yang ditulis oleh Drs. Wiji
Saksono dengan judul ‘Islam menurut wejangan Wali Songo berdasarkan sumber
sejarah’ menuturkan beberapa hal, antara lain: Dari sembilan orang
wali itu hanya Sunan Bonang (silahkan rujuk bab Sunan Bonang) sajalah
yang hingga dewasa ini dapat diketahui dengan jelas pokok-pokok ajarannya dan
dapat dijadikan pegangan atau sumber rujukan. Sedangkan ajaran para Wali yang
lain masih sangat samar dan belum terungkapkan. Banyak sekali yang telah
ditulis orang tentang ajaran Wali Songo, tetapi belum dapat dinilai sebagai
sejarah dalam arti yang yang sebenarnya. Meskipun demikian, apa yang terdapat didalam
ajaran-ajaran Sunan Bonang itu sudah dapat dipastikan dan dijadikan ukuran
untuk dapat diketahui corak ajaran Islam yang pertama masuk dipulau Jawa
khususnya dan kepulauan Indonesia lainnya. Apabila kita menelaah dan
mempelajari naskah-naskah dan mempelajari naskah-naskah Primbon wejangan Sunan
Bonang, kita akan menjumpai nama-nama judul Kitab dan nama-nama tokoh sebagai
sumber pemikiran Wali Songo.
Nama-nama dan judul-judul kitab yang dimaksud
ialah:
Ihya ‘Ulumuddin karya Imam Al-Ghazaliy ; Talkhish
Al-Minhaj karya Imam Nawawi ; Qut Al-Qulub karya Abu Thalib Al-Makky (salah
satu kitab rujukan bagi kitab Ihya nya Al-Ghazaliy). Beberapa nama yang disebut
dalam Primbon tersebut ialah :
Pikantaki (Daud Al-Anthakiy) ; Abu Yazid
Al-Busthaniy ; Muhyiddin Ibn ‘Arabiy ; Seh (Syeikh) Samangu ‘Asarani (?) ;
Abdulkadir Al-Jailaniy ; Syeikh Rudadi (?) ; Syeikh Sabti (?) ; Pandita Sujadi
wa Kuwatihi (?). Tamhid Fi Bayanit-Taudih karya Abu Syukur As-Salamiy.
Fiqh, tasawwuf dan tauhid tersusun lengkap
dan rapih dalam Primbon Sunan Bonan sesuai dengan ajaran akidah Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah dengan madzhab Syafi’i. Dalam primbon tersebut disamping terdapat
ajakan kepada tauhid, juga terdapat seruan kepada pembacanya agar menjauhkan
diri dari perbuatan syirik (menyekutukan Allah swt dengan yang lain).
Sunan Bonang juga menegaskan adanya beberapa
pemikiran sesat mengenai soal ketuhanan, antara lain :
- Paham atau pemikiran yang menganggap Dzat
Allah adalah kekosongan hampa semesta.
- Paham atau pemikiran yang beranggapan bahwa
yang ada (maujud) adalah Allah, dan yang tidak ada (‘adam) pun Allah juga.
- Paham atau pemikiran yang menganggap asma
Allah itu adalah kehendakNya dan juga DzatNya. Demikian sebaliknya.
- Paham atau pemikiran kaum Batiniyah yang
antara lain mengatakan, bahwa semua makhluk adalah sifat Tuhan
- Paham atau pemikiran Kawula Gusti, yaitu
yang menganggap manusia dan Tuhan adalah bersatu
- Paham atau pemikiran Wahdatul-Wujud
(Pantheisme) yang mengatakan Tuhan itu identik dengan makhlukNya.
Semua paham, pemikiran dan aliran atau
ajaran-ajaran seperti yang dikemukakan tadi, oleh Sunan Bonang dinyatakan sesat
dan kufur. Dasar-dasar akidah yang ditegakkan dan harus dipelihara, menurut
ajaran Sunan Bonang, ialah:
- Allah adalah Al-Khaliq yang Maha Esa, mandiri,
tidak tergantung pada apa pun juga dan Maha Kuasa. Ini merupakan asas Tauhid.
- Manusia beroleh kebebasan berikhtiar, ini
merupakan asas tanggung jawab insani. Pada penutup primbon tersebut Sunan
Bonang menyerukan :“Hendaklah perjalanan lahir batinmu sesuai dengan jalan
syari’at, mencintai dan berteladan kepada Rasulallah saw.”
Dari sekelumit isi Primbon-nya Sunan Bonang
itu jelas tergolong Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Dan serupa itulah ajaran para
Wali Songo atau para Da’i lainnya yang tersebar di Hindia Timur dan kepulauan
lainnya. Demikianlah riwayat singkat para Wali Songo dan para Da’i serta
ajaran-ajaran pokoknya.
Nama dan sejarah singkat Sembilan orang Wali
(Wali Songo)
Untuk sedikit menambah riwayat-riwayat yang
telah dikemukakan tadi, marilah kita ikuti berikut ini nama dan silsilah para Wali
Songo (Sembilan orang Waliyullah) yang dikenal ,khususnya, dikepulauan
Jawa. Kaum muslimin di Jawa pada umumnya yakin bahwa tersebar luasnya agama
Islam di Jawa adalah berkat kegigihan, keuletan dan kesabaran sejumlah ulama
yang terkenal dengan sebutan: Wali Songo atau Sembilan orang Wali. Ada
sementara pendapat yang mengatakan bahwa jumlah wali pada masa itu hanyalah
sembilan orang. Adapula yang berpendapat jumlah mereka lebih dari sembilan,
namun yang sembilan orang itulah yang terkenal luas.
Sebutan Wali sesungguhnya adalah
singkatan dari kata Waliyullah, yakni orang yang beroleh limpahan
karunia dari Allah swt, karena ketinggian mutu ketakwaan mereka kepada Allah
dan kemantapan mereka dalam mengabdikan seluruh hidupnya demi kebenaran Allah
dan keridhoan-Nya. Para waliyullah adalah hamba-hamba ,diluar para Nabi dan
Rasul, yang dicintai Allah swt. Mereka benar-benar manusia sejarah bukan
manusia dongeng, sebagaimana yang dikatakan oleh sementara orang yang tidak
mempercayai adanya kekeramatan (karomah) yang di limpahkan Allah swt kepada
para Wali. Allah swt. telah memberikan penjelasan kepada kita tentang para Wali
itu, sebagaimananya firman-Nya:
Artinya: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya
para Wali Allah itu tidak khawatir terhadap mereka dan tidak pula mereka itu
bersedih hati. Mereka adalah orang-orang beriman dan senantiasa bertakwa”
(QS Yunus:62-63).
Allah swt menganugerahkan kehormatan atau
kemuliaan ,menurut kehendakNya, kepada siapa saja dari kalangan hamba-hambaNya
yang sholeh baik mereka yang dari kalangan umat Muhamad saw maupun dari
kalangan para pengikut para Nabi dan Rasul sebelum beliau saw. Sebagaimana yang
telah kami kemukakan pada bab 7 diwebsite ini ‘tentang pengertian Wali dan
fatwa para ulama’ bahwa Allah swt memberi keampunan kepada pihak yang satu
demi kemaslahatan pihak yang lain, memaafkan kesalahan pihak yang satu untuk
kebaikan pihak yang lain dan menolong pihak yang satu untuk keselamatan yang
lain. Demikianlah sebagaimana yang terdapat didalam hadits-hadits ‘Arafat
(dikemukakan oleh Al-hafidh Al-Mundziri dalam At-Targhib wat Targhib bab ibadah
haji jilid III hal. 323). Bahkan ada pula hadits-hadits yang menegaskan
bahwa diantara para hamba Allah yang sholeh, ada yang justru karena
kemuliaan (karomah) para waliyullah itu, Allah menurunkan rizki dalam kehidupan
dialam wujud. Karena mereka, Allah menurunkan air hujan, memberikan pertolongan
kepada hamba-hambaNya, mencegah datangnya bencana, mendatangkan kebajikan serta
menyayangi semua penghuni bumi (hadits-hadits semacam itu antara lain yang
diketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan rawi-rawinya adalah para perawi
hadits shohih dan diriwayatkan juga oleh Anas bin Malik ra dan Thabrani didalam
Al-Ausath.).
Nama-nama sembilan orang Wali yang sangat
dikenal oleh kaum muslimin dipulau Jawa ialah:
1. Maulana Malik Ibrahim. 2. Sunan Ampel 3.
Sunang Bonang 4. Sunan Giri. 5.Sunan Drajat. 6 Sunan Kalijaga. 7. Sunan Kudus.
8. Sunan Muria . 9. Sunan Gunung Jati. Riwayat hidup singkat Wali Songo ini,
sebagai berikut:
Maulana Malik Ibrahim:
Beliau adalah Wali pertama dalam jajaran
sembilan orang Waliyullah di Jawa. Nama lengkap dan silsilah nasabnya: Maulana
Malik Ibrahim bin Barokat Zainul-‘Alam bin Jamaluddin Al-Husain (Jamaluddin
Al-Akbar) bin Ahmad Syah Jalal bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Malik bin ‘Alawi bin
Muhamad Shahib Marbath bin ‘Ali bin ‘Alawi bin Muhamad bin ‘Alawi bin
Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin ‘Isa bin Muhamad bin ‘Ali bin Ja’far
Ash-Shadiq bin Muhamad Al-Baqir bin ‘Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Husain bin
Al-Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw dan Fathimah Az-Zahra ra binti Muhammad
Rasulallah saw. Tidak diragukan sama sekali bahwa Maulana Maulana Malik Ibrahim
adalah keturunan ‘Alawiyyin yakni keturunan Ahlu-Bait Rasulallah saw.
Amat besar jasa dan pengabdian beliau kepada
masyarakat dan mengeluarkan penduduk pulau Jawa yang pada zamannya masih banyak
terbenam didalam kekufuran yaitu penganut agama Hindu dan Budha atau dua-duanya
sekaligus Syiwa Budha. Dari penganut agama Hindu hanya golongan Wesya, Sudra
dan Paria yang dapat diajak memeluk Islam. Sedangkan dari kaum Brahma dan
Ksatria pada umumnya sukar menerima dakwah Islam karena agama Islam akan menyamakan
kedudukan social mereka dengan rakyat biasa, yakni kaum kaum Wesya, Sudra dan
Paria. Maka dari banyak dari mereka ini yang hijrah ke pulau Bali untuk
mempertahankan agama- nya, yang hingga sekarang dikenal dengan agama Hindu
Bali.
Ada yang mengatakan bahwa Maulana Malik
Ibrahim berasal dari Persia, bahkan dikatakan juga bahwa beliau nikah
dengan saudara wanita Raja Cermin. Akan tetapi riwayat seperti itu tidak
mempunyai dasar yang kuat. Stamford Raffles,seorang politikus Inggris, dalam
bukunya ‘History of Java’ yang ditulis tahun 1817 M menegaskan bahwa
Maulana Malik Maghribi (julukan Maulana Malik Ibrahim) seorang dari
keturunan dari (Ali) Zainal Abidin bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib yakni
suami Siti Fathimah binti Muhamad saw. Mengenai negeri Cermin hingga sekarang
tidak dapat dipastikan letak geografiknya. Menurut Raffles, terletak di
Hindustan, sedangkan pakar sejarah yang lain mengatakan terletak dikepulauan
Indonesia. Beberapa riwayat menuturkan bahwa Maulana Malik Ibrahim datang dari
Gujarat, India. Menurut petunjuk yang terdapat pada batu nisan makam Maulana
Malik Ibrahim, beliau wafat dalam tahun 882 H bertepatan dengan tahun 1419 M
dikota Gresik, sebuah desa yang bernama Gapura (sekarang namanya jalan Malik
Ibrahim).
Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Sunan Ampel dilahirkan sekitar tahun 1381 M
di Campa. Mengenai nama Campa para pakar sejarah berbeda pendapat. Menurut
Encyclopaedia Van Nederlandsche Indie, Campa adalah nama sebuah negeri kecil di
Kamboja. Akan tetapi Stamford Raffles mengata- kan bahwa negeri Campa bukan di
Kamboja, melainkan di Aceh (Sumatra) dan yang sekarang bernama Jeumpa. Pendapat
Raffles tampaknya lebih mendekati kebenaran, karena Aceh dalam sejarah terkenal
sebagai daerah islam pertama di Indonesia.
Sunan Ampel (Raden Rahmat), adalah saudara
sepupu dengan Maulana Malik Ibrahim, di Gresik. Nama asli dan silsilahnya ialah
Raden Rahmat bin Ibrahim Asmoro (Sunan Nggesik, Tuban) bin Jamaluddin Al-Husain
bin Ahmad Syah Jalal …dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Malik
Ibrahim.
Beliau menikah dengan puteri tumenggung
(hampir sama dengan bupati) Tuban Arya Teja, yang bernama Nyai Ageng Manila dan
dari perkawinannya ini ia beroleh empat orang anak, ialah: Puteri Nyai Ageng
Maloka, Maulana Makhdum Ibrahim (dijuluki Sunan Bonang), Syarifuddin (Hasyim)
yang dijuluki Sunan Drajat, yang keempat puteri, sebagai isteri Sunan Kalijaga.
Sunan Ampel dalam upayanya mengembangluaskan
pemeluk agama Islam di pulau Jawa menyelenggarakan pondok pesantren di Ampel,
Surabaya. Disanalah ia mendidik pemuda-pemuda Muslim sebagai calon-calon da’i
dan muballigh yang akan menyebar keberbagai daerah. Diantara mereka adalah:
Raden Paku yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Giri ; Raden Patah
(Abdul Fattah) yang kemudian menjadi sultan Bintoro Demak yang bergelar Sultan
Alam Akbar Al-Fattah, kerajaan Islam yang pertama di Jawa ; Raden Makhdum
Ibrahim putera Sunan Ampel sendiri, yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan
Bonang ; Syarifuddin (Hasyim, yang juga putera Sunan Ampel sendiri) yang
terkenal juga dengan sebutan Sunan Drajat ; para da’i muballigh yang pernah
diutus ke Blambangan untuk mengislamkan rakyat disana ; dan para pejuang Islam
lainnya. Semuanya itu adalah mantan-mantan murid gemblengan Sunan Ampel. Beliau
wafat di Surabaya dan dimakamkan di Ampel, Surabaya.
Sunan Bonang (Maulana Makhdum Ibrahim)
Beliau adalah putera Sunan Ampel dan silsilah
nasabnya sekaitan dengan silsilah nasab ayahnya. Menurut riwayat beliau lahir
dalam tahun 1465 M dan wafat dalam tahun 1524 M. Sunan Bonang sangat giat dan
semangat tinggi menyebarkan agama Islam di Jawa Timur, terutama di Tuban dan
sekitarnya. Beliau juga menyelenggarakan pendidikan agama Islam dan menempa
calon-calon da’i serta muballigh yang akan bertugas menyebarkan agama Islam keseluruh
pelosok pulau Jawa. Konon Sunan Bonang inilah yang menciptakan gending
Dhurmo,yang menghilangkan kepercayaan tentang adanya hari-hari sial menurut
ajaran Hindu dan menghapus nama dewa-dewa sakti. Sebagai penggantinya, Sunan
Bonang menanamkan pengertian dan kepercayaan tentang adanya para malaikat dan
para Nabi. Apa saja yang tidak bertentang an dengan ajaran dan kepercayaan
Islam oleh Sunan Bonang ditempuh sebagai jalan untuk mendekatkan rakyat kepada
agama Islam. Dimasa hidupnya beliau turut berperan dan membantu penyelesaian
pembangunan masjid agung Demak. Ini merupakan kenyataan yang membuktikan
dukungan Sunan Bonang kepada kerajaan Islam yang pertama di Demak. Menurut
makalah yang ditulis oleh Drs. Wiji Saksono yang berjudul ‘Islam Menurut
Wejangan Wali Songo berdasarkan Sumber Sejarah’ mengetengahkan bahwa Sunan
Bonang yang bergelar Prabu Hanyakrawarti dan berkuasa didalam ‘Sesuluking
Ngelmi lan Agami’ sama kedudukannya dengan seorang Mufti besar yang
berwenang memecahkan masalah-masalah keagamaan (Islam) dan ilmu. Ajaran-ajaran
Sunan Bonang sedikit atau banyak mewakili ajaran ayahnya Sunan Ampel dan
saudaranya Sunan Drajat. Sunan Bonang juga seperguruan dengan Sunan Giri dan
Sunan Gunung Jati yaitu berguru kepada Maulan Ishaq. Sunan Bonang adalah guru
pertama dari Sunan Kalijaga.
Sunan Giri ( dijuluki Raden Paku)
Nama asli dan silsilah nasabnya adalah:
Muhammad Ainul Yakin bin Makhdum Ishaq bin Ibrahim Asmoro bin Jamaluddin
Al-Husain bin Ahmad Syah Jalal dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah
Maulana Malik Ibrahim. Beliau ini juga keturunan Rasulallah saw sebagaimana Maulana
Malik Ibrahim, Sunan Ampel dan lain-lain.
Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa
Sunan Giri adalah salah satu murid Sunan Ampel. Waktu Sunan Giri berguru kepada
Sunan Ampel, beliau bertemu dengan Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang),
putera Sunan Ampel. Beberapa lama kemudian Sunan Ampel menyuruh puteranya ini
bersama Sunan Giri berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji sambil
menuntut ilmu lebih dalam lagi. Sebelum berangkat menuju tanah suci mereka
berdua singgah di Pasai untuk menambah bekal ilmu. Yang dimaksud ilmu dalam hal
ini ialah ilmu ketuhanan menurut ajaran Tasawwuf. Pada masa itu konon banyak
ulama berdatangan dari Persia dan India ke Pasai. Usai menunaikan ibadah haji
dua orang muda itu pulang ke Jawa. Sunan Giri berhasil memperoleh ilmu ladunniy,
sehingga gurunya di Pasai memberinya nama ‘Ainul Yakin’.
Yang menakjubkan banyak orang ialah Sunan
Giri justru lebih tersohor daripada gurunya. Dari berbagai pelosok orang
berdatangan untuk berguru kepadanya. Bahkan ada pula yang datang dari kepulauan
Maluku. Beberapa daerah dibagian timur Indonesia seperti Madura, Lombok,
Makassar dan lain-lain, bangga memperoleh ilmu dari Sunan Giri. Hingga abad ke
17 M semua perguruan agama Islam yang diselenggara kan oleh anak cucu keturunan
Wali ini kendati mereka tidak disebut sebagai wali terkenal dengan nama
perguruan ‘Giri’. Perguruan-perguruan tersebut banyak dikunjungi oleh anak-anak
para pembesar dan tokoh-tokoh terkemuka di Maluku. Di Hitu pernah terjadi
upacar penghormatan besar untuk menyambut kedatangan sepucuk surat dari sang
‘Raja Bukit’ demikianlah masyarakat di Hitu menyebut salah seorang keturunan
Sunan Giri (Giri dari bahasa Sansekerta yang artinya Bukit).Sungguh benar,
keturunan Sunan Giri banyak yang beroleh kekuasaan politik penting. Pengaruhnya
dalam penobatan raja-raja dipulau Jawa dan sekitarnya amat besar. Sunan Giri
dimakamkan dibukit Giri (Gresik). Sepeninggalnya, kegiatan menyebarkan agama
Islam diteruskan oleh Sunan Dalem, Sunan Sedam margi dan Sunan Prapen.
Sunan Drajat (Maulana Syarifuddin)
Maulana Syarifuddin terkenal dengan sebutan
Sunan Drajat (di Sedayu). Ia putra dari Sunan Ampel. Silsilah nasabnya juga
sama dengan silsilah ayahnya sendiri yakni Sunan Ampel, sebagai keturunan
dari Rasulallah saw. Dia juga seorang da’i yang gigih dan tekun menyebarkan
kebenaran agama Allah, Islam kepada rakayat. Beliau juga termasuk pendukung
setia Raden Patah dan turut serta mendirikan kerajaan Islam pertama di Demak
(Jawa). Tidak banyak riwayat yang menuturkan kehidupan Sunan Drajat, baik kapan
dilahirkan dan kapan dia wafat. Tetapi beliau dikenal sebagai waliyullah dan
orang yang berjiwa sosial. Kasih sayang dan bantuannya kepada orang-orang yang
hidup serba kekurangan, orang-orang sengsara, anak-anak telantar dan yatim
piatu menjadi buah bibir masyarakat luas. Kekhususan Sunan Drajat adalah ia
memberikan apa saja yang di milikinya bila diminta oleh orang yang membutuhkan.
Terdapat juga riwayat yang mengatakan bahwa Sunan Drajat itulah yang
menciptakan tembang ‘Pangkur’. Wallahu a’lam.
Sunan Kalijaga (Raden Mas Syahid)
Nama aslinya Raden Mas Syahid (R.M.Syahid)
putra Ki Tumenggung Wilatika, bupati Tuban. Tentang nasab atau silsilah Sunan
Kalijaga terdapat perbedaan pendapat dikalangan pakar sejarah Wali Songo.
Sebagian mengatakan dia seorang dari suku Jawa Asli. Sebagian lagi dari pakar
sejarah menegaskan nama asli Sunan Kalijaga ialah Zainal Abidin dan ia putra
Sunan Ampel yakni bersaudara dengan Sunan Drajat, Sunan Bonang dan Sunan Kudus.
Jika itu benar, berarti silsilah nasabnya sama dengan ayahnya yaitu Sunan Ampel
yang bersambung sampai Imam Ali bin Abi Thalib kw isteri Fathimah Az-Zahra
binti Muhamad saw. Ada sementara penulis yang mengatakan bahwa dia berdarah
keturunan Arab yang berpuncak kepada Sayiduna Abbas bin Abdul Mutthalib (paman
Rasulalallah saw). Menurut penulis ini Sunan Kalijaga adalah anak Tumenggung
Wila Tirto, gubernur Jepara, bin Ario Tejo Kusumo, gubernur Laku, bin Ario
Nembi bin Lembu Suro, gubernur Surabaya, bin Tejo Tuban bin Khurames bin
Abadallah bin Abbas bin Abadallah bin Ahmad bin Jamal bin Hasanuddin bin Arifin
bin Ma’ruf bin Abadallah bin Muzakir bin Wakhis bin Abadallah Azhar bin Abbas
bin Abdulmutthalib...bin Hasyim dan seterusnya. Tetapi pembuktian si penulis
seperti itu sukar diterima kebenarannya dan nama-nama yang disebutnya pun
janggal. Sunan Kalijaga kawin dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq dan beroleh
seorang putera dan dua orang puteri, yaitu: Raden Umar Sa’id, kemudian disebut
Muria, Dewi Rukayah dan Dewi Sofiah.
Sunan Kalijaga seorang waliyullah yang sangat
besar toleransinya, seorang pujangga (ahli hikmah) dan seorang filosof. Penulis
Belanda menyebutnya Reizende Mubalig (Muballigh Keliling). Tiap pergi
untuk bertabligh selalu di-ikuti oleh beberapa orang ningrat (kaum bangsawan
Jawa) dan cendekiawan. Mereka ini menaruh simpati besar kepada Sunan Kalijaga
bukan karena Wali ini orang Jawa Asli, melainkan karena ia berpikir kritis,
cermat dan berpandangan jauh kedepan. Dia termasuk Wali yang sangat dihormati
dan disegani, Sampai zaman sekarang ini dia dikenal oleh semua lapisan
masyarakat Jawa dari lapisan atas (bangsawan) sampai lapisan bawah (rakyat
jelata). Beliau tidak hanya mengislamkan manusia saja, tetapi juga mahir mengislamkan
(memasukkan unsur-unsur dan pandangan Islam) keberbagai cabang kebudayaan
Jawa seperti seni musik (gamelan dan gending), seni drama (dalam pementasan
wayang kulit) dan kesusasteraan. Dia ,meskipun bukan penggemar kesenian,
menguasai dengan baik ilmu karawitan (gending-gending dan lagu Jawa termasuk
teori musik gamelan). Dia memesan serancak (seperangkat) gamelan dari seorang
empu terkenal. Gamelan itu diberi nama ‘Kyai Sekati’, kemudian ditempatkan di
serambi masjid Demak. Media dakwah yang bercorak seni rebana dan lagu-lagunya
yang berirama Arab, yang sudah mulai dikenal oleh sebagian kaum Muslimin Jawa,
dibiarkan terus berlangsung dan Sultan Kalijaga menambah mediah dakwah nya
dengan gamelan. Rebana dan gamelan dihidupkan bersama, terutama pada tiap tahun
memperingati hari lahir Nabi Muhamad saw. Gamelan yang berada di bawah tarub
(atap terbuka) didepan serambi masjid Demak dihias dengan berbagai bunga agar
menarik perhatian orang banyak, dan gamelan itu ditabuh tiada henti-hentinya.
Sunan Kalijaga adalah seorang ulama yang sangat besar ketakwaannya kepada Allah
swt dan mengenal baik apa yang dihalalkan dan yang diharam kan oleh syari’at
Islam. Mengenai kapan Sunan Kalijaga dilahirkan dan kapan wafatnya tidak
diketahui dengan pasti oleh pakar sejarah Islam di Indonesia. Yang sudah pasti
ialah Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu, masih termasuk Kabupaten Demak,
disebelah Timur Laut kota Demak. Wallahu a’lam.
Sunan Kudus (Jakfar Shadiq)
Jakfar Shadiq atau yang terkenal dengan nama
Sunan Kudus adalah putera Raden Usman Haji yang bergelar Sunan Ngudung di Jipang
Panolan (ada yang mengatakan letaknya diutara kota Blora). Ada lagi sebagian
pakar sejarah Islam di Indonesia yang mengatakan bahwa Sunan Kudus adalah
putera Sunan Ampel. Jika ini benar maka nasab silsilahnya sama dengan nasab
silsilah Sunan Ampel dan termasuk keturunan Rasulallah saw atau kaum Alawiyyin
sama dengan tiga saudaranya Sunan Drajat, Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga (?).
Sunan Kudus disamping kegiatannya sebagai da’i penyebar agama Islam yang teguh
berpegang pada ketentuan hukum syariat ,seperti halnya para Wali lainnya, ia
pun mempunyai kedudukan resmi sebagai senopati (Panglima Perang) kerajaan Islam
Demak. Peninggalan Sunan Kudus yang paling menonjol adalah Masjid Agung
di Kota Kudus. Bahkan menara yang berada didepan masjid Agung pun diberi nama
Kudus. Nama Kudus diambil dari nama kota Baitul Makdis, yang oleh orang-orang
Arab disebut juga dengan nama Al-Quds (bermakna Suci). Beliau diperkirakan
wafat dalam tahun 1550M.
Sunan Muria (Raden Umar Sa’id)
Nama aslinya Sunan Muria adalah Raden Umar
Sa’id (ada yang menulis Raden Umar Syahid), termasuk Wali Songo yang kondang
ditanah Jawa. Beliau dijuluki Sunan Muria karena ia hidup dilereng gunung Muria
dan jenazahnya dimakamkan disana. Dalam riwayat disebut, Sunan Muria putera
Sunan Kalijaga. Dengan demikian nasab silsilahnya ada dua versi. Versi pertama
yaitu yang meriwayatkan Sunan Kalijaga orang Jawa Asli. Versi kedua
meriwayatkan bahwa Sunan Kalijaga berdarah keturunan Arab (silahkan rujuk
kembali riwayat Sunan Kalijaga). Sunan Muria menikah dengan puteri Sunan
Ngudung yang bernama Dwei Sujinah. Dari perkawinannya beroleh seorang putera
yang bernama Pangeran Santri, kemudian mendapat nama julukan Sunan Ngadilangu.
Sunan Muria termasuk pendukung setia Kerajaan Islam Demak, bahkan bersama-sama Raden
Patah dan lainnya, dia turut serta dalam mendirikan kerajaan tersebut dan ikut
serta dalam penyempurnaan pembangunan Masjid Agung Demak. Dalam kegiatan
mendakwahkan kebenarana agama Allah, Islam, ia lebih suka bergerak didesa-desa
pedalaman yang letaknya jauh dari keramaian kota. Ia sendiri lebih senang
tinggal didesa dan bergaul sehari-hari dengan rakyat jelata untuk ditarik masuk
kedalam agama Islam, meskipun demikian dia tidak menolak siapa saja yang datang
untuk menuntut agama Islam. Kawasan tempat ia berdakwah terletak dilereng
gunung Muria, 18 km dari kota Kudus. Dalam mempertahankan kelestarian seni
budaya Jawa ,sebagai media dakwah, dia menciptakan gending (lagu-lagu) ‘Sinom’
dan ‘Kinanti’, yang liriknya antara lain berbunyi: “Islam ageming urip, tan
kena tininggala’ (Agama Islam adalah busana kehidupan, tak boleh ditinggalkan).
Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Sunan Gunung Jati mempunyai banyak nama
antara lain Syarif Hidayatullah, Makhdum Gunung Jati dan masih banyak nama
lainnya, yang paling terkenal ialah dengan nama Faletehan atau Fatahillah.
Nasab silsilahnya ialah: Syarif Hidayatullah bin Abdullah (‘Umdatuddin) bin Ali
Nur Alam bin Maulana Jamaluddin Al-Akbar Al-Husain bin Sayid Ahmad Syah Jalal
bin Amir Abdulmalik bin Alwi bin Muhamad Shahib Marbath..dan silsilah
seterusnya sekaitan dengan silsilah Maulana Malik Ibrahim. Dengan demikian
Sunan Gunung Jati adalah keturunan Ahlu-Bait Rasulallah saw, yakni termasuk
kaum Alawiyyin. Silsilah dan Nasab Sunan Gunung Jati ini dipandang absah,
karena sudah dicocokkan dengan naskah yang ada di Palembang yaitu silsilah
nasab Sunan Palembang dan dengan silsilah nasab yang berada di Banyuwangi.
Menurut riwayat Sunan Gunung Jati datang dari Pasai (Sumatra utara) dan masa
itu Pasai diduduki oleh orang-orang Portugis yang datang dari Malaka. Malaka
direbut oleh Portugis pada tahun 1511 M. Sunan Gunung Jati pernah menuntut ilmu
dikota Mekkah, kemudian nikah dengan adik perempuan Sultan Trenggono (Sultan
Demak ke tiga). Sultan-sultan Banten adalah keturunan beliau. Pada masa
kekuasaan Sultan Trenggono ,berkat kegiatan dan jasa-jasa Sunan Gunung Jati,
banyak daerah Jawa Barat berhasil di Islamkan, kemudian dimasukkan kedalam
wilayah kekuasaan Demak. Untuk mempertahakan keislaman daerah-daerah itu Sunan
Gunung Jati tetap berada di Jawa. Pada masa itu Jawa Barat masih berada dibawah
kekuasaan kerajaan Hindu. Demikian pula Banten dan Sunda Kelapa. Atas izin dan
persetujuan Sultan Demak , Trenggono, berangkatlah sebuah ekspedisi Islam ke
Banten dibawah pimpinan Sunan Gunung Jati. Setelah berjuang sekian lama dengan
gigih dan tabah pada akhirnya Banten jatuh ketangan Muslimin dan Sunda Kelapa
pun dapat direbut dari kekuasaan Pajajaran. Dalam tahun 1526 M kolonial
Portugis menginjakkan kaki di Sunda Kelapa, tetapi tak lama kemudian mereka
dengan kekerasan diusir oleh Sunan Gunung Jati dan para pengikutnya. Serangan
Franciso De Sa pun oleh Sunan Gunung Jati dipukul mundur, kemudian mereka lari
meninggalkan Sunda Kelapa kembali ke Malaka (1527 M). Demikianlah perjuangan
beliau terhadap golongan kolonial Portugis yang berani mengacak-acak tanah
tumpah darahnya di Pasai. Sunan Gunung Jati wafat dalam tahun 1570 M dan
dimakamkan didaerah Cirebon (Jawa Barat).
11.22. Siapakah Syeikh Siti
Jenar?
Setelah adanya riwayat para wali dan ajarannya diatas,
kami ingin sedikit mengutip tentang Syeikh Siti Jenar. Dalam riwayat hidup
singkat sembilan wali di Jawa, tentang perjuangan dan kegiatan mereka
untuk menyebarkan agama Islam di Indonesia –khususnya dipulau Jawa–, bukan
tanpa menghadapi kendala dan rintangan. Rintangan tersebut tidak semata-mata
datang dari pihak kelompok-kelompok penganut animisme (kaum penyembah roh-roh),
para penyembah dewa-dewa dan berhala saja, melainkan juga datang dari oknum-oknum
yang disatu pihak mereka tidak mempercayai ajaran Hinduisme dan Budhisme,
tetapi dilain pihak mereka juga menolak agama Islam. Mungkin mereka itu
penganut sisa ajaran kepercayaan sebelum kedatangan Hinduisme dan Budhisme
dipulau Jawa. Tegasnya ialah mereka yang sedang mencari-cari kepercayaan yang
di anggap dapat memenuhi selera dan jalan pikiran sendiri. Menurut
Dr.P.J.Zoetmulder S.J Pantheisme en Monisme hal. 350-351, Wali Songo oleh
K.H.R. Abdullah bin Nuh dan Sekitar Wali Songo oleh Solichin Salam, mereka
adalah sekelompok orang penganut paham Pantheisme, yaitu suatu paham
yang memandang bahwa Tuhan dalam wujud adalah suatu kesatuan (Wahdatul-Wujud).
a). Ada sementara orang yang berpendapat
bahwa pelopor ajaran (Pantheisme) diatas tersebut ialah Syeikh Siti
Jenar, termasuk dalam jajaran para wali di Jawa. Kemudian ,menurut pendapat
sementara orang ini, karena Syeikh Jenar menyebarkan mistisisme yang menyesat-
kan dan sangat jauh menyimpang dari segi agama Islam, ia dikeluarkan dari
jajaran para wali, dikucilkan kemudian dilarang berdakwah dan pada akhirnya dia
dijatuhi hukuman mati.
b). Pendapat yang lain mengatakan, jika benar
Siti Jenar itu dalam jajaran para wali, sudah pasti ia termasuk dalam kelompok
sembilan orang wali di Jawa. Banyak penulis sejarah berpendapat bahwa nama Siti
Jenar adalah nama samaran/julukan bukan nama sesungguh- nya. Seperti Sunan
Kalijaga juga dikenal dengan nama samaran Syeikh Malaya dan masih banyak
contoh lainnya.
c). Ada lagi riwayat yang tidak menggolongkan
Syeik Siti Jenar didalam kelompok atau jajaran para wali. Sebab orang mukmin
dan muslim yang telah beroleh sebutan ‘Wali’ atau ‘Waliyullah’, ia pasti
seorang yang telah mencapai martabat takwa yang tinggi, dan orang sedemikian
itu tidak mungkin meleset jauh dari syariat seperti yang
dilakukan Syeikh Siti Jenar. Kalau ditinjau dari soal yang terpokok
(secara dhohir) dan terpenting dalam agama Islam ,yakni soal akidah,
Syeikh Siti Jenar tidak dapat dipandang sebagai Muslim atau Mukmin. Tidak
ada orang beriman atau pemeluk Islam yang menyatakan bahwa Tuhan manunggal
(menyatu) dengan dirinya atau dengan makhluk ciptaan-Nya.
Para wali yang menyebarkan agama Islam di
Indonesia ,di Jawa khususnya, mengajarkan prinsip akidah sebagaimana yang
menjadi keyakinan semua kaum muslimin, yaitu bahwa Allah bersifat wajibul-wujud,
Maha Pencipta…dan seterusnya. Sedangkan Syeikh Siti Jenar (terkenal juga dengan
nama Syeikh Lemah Agung) menyatakan dan mengajarkan kepada pengikutnya: “Aku
inilah Allah. Aku sesungguhnya yang bernama Prabu Satmata (atau Hyang Manon)
dan tiada yang lain dengan nama Ketuhanan”. Dia mengatakan:
“Awit Seh Lemah Bang iku,
Wajahing Pangeran jati,
Nadyan sira ngaturana,
Ing Pangeran kang sejati,
Lamun Seh Lemah Bang ora,
Mangsa kalakon yekti”.
Artinya ucapan tersebut : “Oleh karena Syeikh
Siti Jenar (Syeikh Lemah Bang/abang) itu sesungguhnya wajah wujud Tuhan sejati.
Meskipun engkau menghadap kepada Tuhan yang sejati, tetapi jika Siti Jenar
tidak, maka hal itu tidak akan terlaksana”.
Dengan ucapan seperti itu, maka Syeikh Siti
Jenar membantah ajaran akidah Wajibul Wujud yang diberikan oleh para Wali
kepada kaum muslimin. Siti Jenar juga berkata:
“Aja na kakehan semu,
Iya ingsun iki Allah,
Nyata, Ingsun kang sejati,
Jejuluk Prabu Satmata,
Tan ana liyan jatine,
Ingkang aran bangsa Allah”.
Artinya: “Jangan kebanyakan semu, saya inilah
Allah. Saya sebetulnya bernama Prabu Satmata, dan tiada yang lain bernama
Ketuhanan”.
Ajaran-ajaran Siti Jenar dan ucapan-ucapannya
seperti yang tersebut diatas bisa menyesatkan dan membahayakan pikiran
kaum muslimin dipulau Jawa yang pada umumnya waktu itu masih pada taraf
pertumbuhan. (lihat: sekitar wali songo oleh Solichin Salam).
Mengingat paham Siti Jenar itu dan mengingat bahaya-bahayanya, yang
akan merusak kesucian agama Islam, maka didalam suatu pertemuan khusus para
sembilan wali (wali songo) dengan bulat memutuskan hukuman mati terhadap Siti
Jenar.
Diriwayatkan juga bahwa diantara para
pengikut Syeikh Siti Jenar yang terkemuka ialah: Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng
Pengging, Pangeran Panggung dan Ki Lontang.
Sementara kalangan, menganggap
bahwa Syeikh Siti Jenar sebagai ‘Ahlul Bid’ah’ karena kesalahan-kesalahan
dalam mempelajari dan mengamalkan ilmu Tasawwuf. Kalau melihat paham dan
ajaran-ajarannya, Siti Jenar sudah lebih jauh dari Ahlul-Bid’ah,
karena paham dia bertentangan dengan sifat
Allah ---Wajibul-Wujud. Bahkan Siti Jenar menyebut dirinya Allah, karena
beranggapan bahwa Allah menyatu dengan dirinya. Untuk lebih jelas lagi sejauh
mana paham Siti Jenar alias Seh Lemah Abang itu, kita dapat membaca sebuah
buku klasik yang berjudul Widya Poestaka (Zoet Mulder S.J.Dr.P.J.:Phantheisme
en Monisme hal.350-351; Ringkasan sejarah Wali Songo oleh K.H.R. Abdullah bin
N. Pada halaman 21 dibuku tersebut, murid terkemuka Seh Lemah
Abang yang bernama Ki Ageng Pengging, mengatakan sebagai berikut:
“Kyageng Pengging tan rininga,
Angengkoki Jatining Maha Suci,
Allah kana-kene suwung,
Jatine among asma,
Asmaning manungsa ingkang linuhung,
Mengku sifat kalihdasa,
Agama Budha Islam iku,
Karone ora beda
Warno roro asmane mung sawiji”.
Artinya: Ki Ageng Pengging tanpa ragu
mempertahankan pendirian: Allah Yang Maha Suci disana-sini kosong (nonsense).
Allah sesungguh nya hanyalah nama, yaitu nama dari manusia yang maha luhur,
mempunyai sifat dua puluh. Agama Budha dan Islam itu kedua-duanya tidak
berbeda, berdua warna bentuknya tetapi hakekatnya hanya satu”.
Dari paham dan ajaran tersebut
diketahui, bahwa yang disebut Allah adalah nonsense (kosong, tidak ada),
‘Allah’, hanya nama manusia maha luhur. Kalimat terselubung itu menunjuk kepada
Sidharta Budha Gautama. Oleh karena itu pada akhirnya agama Islam disamakan dengan agama
Budha, hanya berbeda nama tetapi hakekatnya satu jua. Dengan demikian
ajaran semacam itu sudah lebih jauh dari ‘bid’ah’, bahkan jelas merupakan
ajaran ilhad (atheisme). Karenanya, tidak aneh jika ia memandang agama Islam
sama dengan agama Budha, bahkan mungkin memandang semua agama itu sama.
Pemikiran Siti Jenar mengenai surga dan
neraka, dapat kita temukan didalam buku Widya Poestaka halaman 28. Siti Jenar
mengatakan:
“Neraka miwah swarga di,
begja kalawan cilaka,
gumelar ing ngalam pati,
ya ngalam donya iki”.
“Swarga neraka sami,
nora langgeng bisa lebur,
dene dunung ira,
among neng tyase pribadi,
seneng pareng iku ingkang aran swarga”.
Artinya: “Neraka dan sorga indah, bahagia dan
celaka, tergelar dialam mati, yakni alam dunia ini. Sorga neraka itu keduanya
tidak kekal dan dapat lenyap. Adapun letaknya hanya didalam rasa hati
masing-masing pribadi (orang). Senang puas itulah sorga”.
Beberapa kutipan tersebut diatas diambil dari
makalah yang ditulis oleh Dr.Widji Saksono didalam majalah “Al-Jami’ah nomer
4-5 tahun I, bulan april-mei 1962, dibawah judul ‘Fragmenta Seh Lemah Abang’”.
Sebagai praktek peribadatan menurut ajaran
Seh Lemah Abang yang dilakukan dan dituturkan oleh salah seorang muridnya
yang terkemuka Ki (Lebe) Lontang, sebagai berikut:
“25...adikir ojrat ripangi
“26 Tinggalero gujeng junun,
Sadaya buka pribadi,
Jalwestri atutup muka,
Pambukaning roh idhopi.
“27 Samya aru pengujeripun,
wang weng gedeg gobag-gabig,
manthuk krep neratek nyengka,
napas winotan ing dikir,
sewu kalimah senapas,
keh unen-unen ing dikir.
“28 La ialahi illahu,
hailallah illallahi,
weneh Allah…Allah,
kang hu hu hu hu hi hi hi hi ,
eeiiaa,
la
la la la la hak hik hak hik.
“29 Sareng panarima junun,
ting karingkelan gulinting,
saujur-ujure niba,
wor jaler lan estri,
sundul bantal-binantal,
tan ana walang asisik.
“30 Sesangat denira kantu,
denya kalenger tan eling,
wus dangu antaranira,
kang sami ya pada birahi,
tangi saking pejununan.
Artinya :
“26 Hiruk pikuk
berputaran bermabukan,
semua buka pakaian dari sekujur badan,
lelaki wanita bertutup muka,
pembuka roh idhopi (idhafi)
“27 Semakin
meninggi hiruk pikuknya,
wang weng geleng kepala berputar-putar,
manggut kebawah mendongak keatas gemetar,
napas bersengal mendengus bercampur suara dikir,
seribu kalimat keluar serentak dengusan napas,
maka membanyaklah derunya dikir.
“28 (Lihat teks
atau kalimat aslinya dalam bahasa Jawa)
“29 Setelah
sampai puncak jununnya,
rebah bergelimpangan berkeleleran,
bercampur baur lelaki perempuan,
bertumpuk-tumpuk terlena tanpa sadar,
dalam suasana tiada suara berbisik.
“30 Sesaat
mereka terlena, pingsan,
dalam keadaan hilang ingatan,
lama nian masa berlalu,
semua tenggelam didalam fana,
fana dalam birahi barulah sadar kembali.
Sekarang orang sudah akan
bertanya, apakah ajaran keagamaan –baik dalam hal keyakinan maupun dalam
hal peribadatan– seperti tersebut diatas dapat ditolerir oleh Islam dan kaum
muslimin? Apakah masih ada yang hendak mengatakan bahwa ajaran Siti Lemah Abang
itu sama dengan aliran Sufisme? Karena aliran Sufisme itu tidak sama
dengan aliran Siti Jenar!
Ajaran Siti Jenar bertentangan dengan
ajaran para Wali yang mendakwahkan agama Islam di Jawa khususnya dan kepulauan
Indonesia pada umumnya. Para wali ini mengajarkan dan menyebarkan akidah yang
telah disepakati oleh para ulama dan yang berdalil menurut Kitabullah Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulallah saw. Dalam soal-soal furu’ hukum syariat (fiqih) mereka
berpegang pada madzhab Imam Syafi’i. Sedangkan dalam hal tasawuf mereka
mengikuti tasawuf Imam Ghozali, yaitu mengolah kesucian bathin dalam
mendekatkan diri kepada Al-Khaliq, tanpa meremehkan sedikitpun soal-soal
syari’at. Dari dua segi ini, sudah tampak jelas perbedaan paham antara
ajaran para wali (khususnya wali songo) dengan paham Syeikh Siti Jenar.
Apabila kita perhatikan sedikit saja soal
peribadatan (dzikir) yang diajarkan olehnya –menurut penuturan muridnya yang
kenamaan Ki (Lebe) Lontang- seperti yang telah kami kemukakan tadi, sukar
sekali untuk dapat disebut sebagai dzikir. Dengan berkedok kaling agung
Laa ilaaha illallah melakukan upacara-upacara yang porno, yang bertentangan
dengan syariat Islam.
Berbicara mengenai praktek seperti tersebut
diatas, mengingatkan kita suatu peristiwa yang terjadi pada tahun 60-an disuatu
tempat di Jawa Barat. Seorang penyebar agama Islam Hakeko bersama
beberapa orang muridnya mempraktekkan peribadatan seperti yang ditutur
kan oleh Ki (Lebe) Lontang. Berkat kewaspadaan masyarakat dan kesiagapan
alat-alat Negara mereka digrebeg dan dimintai pertanggung- jawaban. Kita tidak
dapat memastikan apakah mereka itu sisa-sisa penganut ajaran Siti jenar atau
bukan. Yang kita ketahui adalah bahwa peristiwa tersebut diketahui oleh
masyarakat luas melalui berita di masa media.
Menurut riwayat, dalam abad ke 16 M ,yakni
zaman kekosongan para wali, di Jawa masih berdiri beberapa kerajaan atau
kesultanan Islam. Yang terpenting diantaranya adalah Kerajaan Mataram,
Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon. Sedangkan kerajaan Bintoro Demak
telah kehilangan peranannya, karena kelemahannya terus-menerus akibat
rongrongan dari dalam maupun dari luar. Dengan berkurangnya da’i dan muballigh
yang hebat seperti para wali dimasa lalu, agama Islam di Jawa Tengah agak
mengalami gangguan. Kaum muslimim dari lapisan atas mulai memasukkan
pikiran-pikiran filsafat kedalam agama Islam, khususnya pikiran falsafat
peninggalan masa sebelum Islam.
Akibat pencampuradukan pikiran falsafat
dengan agama, pada gilirannya muncullah sejumlah orang Muslimin yang berpikir
bahwa yang terpenting didalam ajaran semua agama hanyalah; Kesadaran
mengenal dan senantiasa ingat kepada Tuhan. Mengenai ajaran-ajaran lainnya
yang ada pada semua agama, semuanya itu dipandang oleh golongan ini sebagai
nomer dua. Orang-orang yang berpikir seperti itu makin lama makin hilang
kepercayaannya mengenai wahyu Ilahi yang diturunkan kepada para Nabi, termasuk
Nabi Muhammad saw, dan mereka berpikiran bahwa masalah ibadah bukan suatu hal
yang harus ditunaikan. Pikiran mereka ini ,walaupun tidak sepenuhnya sama,
hampir serupa dengan pemikiran Sultan Akbar di India, raja ketiga dari dinasti
yang didirikan oleh Baber. Pikiran yang menjadi ciri khas dan menguasai
diri Sultan ini ialah bahwa ajaran Islam dan agama-agama lainnya tidak harus
dipegang teguh dan tidak harus dilaksanakan (Lihat: “Islam” karangan Henri
Masse ,seorang bangsa Perancis, ahli sejarah ketimuran.Collin,1930. “Sejarah
Islam dari Andalus sampai Indus” disusun oleh Muhamad Thohir, penerbit Pustaka
Jaya, Jakarta). Kendati berpikir demikian mereka itu tetap mengakui Islam
sebagai agamanya.
Lain halnya kaum muslimin di Jawa Barat
,dikawasan masa kesultanan Banten dan kesultanan Cirebon, yang pada masa itu
secara praktis telah mengambil alih peranan Bintoro Demak. Dari tahun 1524
hingga tahun 1568 M kesultanan Banten merupakan bagian dari kesultanan Demak.
Akan tetapi dari tahun 1568 hingga 1752 M Banten berdiri sendiri sebagai
kesultanan. Hal itu disebabkan oleh kelemahan Demak yang terus merosot
sepeninggal Sultan Trenggono. Dari tahun 1752 hingga 1832 M kesultanan Banten
berjuang keras membebaskan dri dari belenggu kolonialisme Belanda. Dalam kurun
waktu tersebut Banten berdiri sebagai pembela agama Islam dan menjadi salah
satu mata rantai penting dalam perjuangan mempertahankan agama Islam Indonesia.
Kesultanan Banten ini tidak mengalami rongrongan dari dalam seperti halnya
Demak. Yaitu rongrongan dari orang-orang yang masih merindukan kepercayaan lama
semasa kejayaan Hinduisme dan Budhisme dipulau Jawa. Banten hanya menghadapi
satu musuh dari luar yaitu kekuatan kolonialisme Portugis yang hendak
menancapkan penjajahannya di Sunda Kelapa. Meskipun Jawa Barat pernah juga
dikuasai oleh raja Pejajaran (raja Hindu), tetapi setelah kerajaan Hindu itu
runtuh, agama Islam meluas dengan cepat dan lebih berakar dikalangan rakyat.
Wallahu a'lam.
Demikianlah sekelumit riwayat ,yang ditulis
oleh ahli sejarah, mengenai ajaran dan pengikut Syeikh Siti Jenar.
Dari semua uraian tadi yang ditulis oleh
pakar sejarah baik penulis Barat maupun penulis Timur, dapat kita ambil
kesimpulan bahwa yang mendakwahkan agama Islam pada umumnya orang-orang
Arab atau keturunan Arab, yang datang melalui India atau negeri lain. Mereka
bertebaran diberbagai kawasan di Timur dan melalui mereka inilah agama Islam
tersebar. Dari semuanya itu dapat diketahui bahwa para penyebar agama Islam itu
banyak terdiri dari kaum Sayid Alawiyyin dari Hadramaut. Sebagaimana diketahui
bahwa para Sayid itu pada umumnya dipandang sebagai sumber pemikiran dan sumber
kehidupan spiritual dari pusat-pusat agama Islam, baik yang berada
dinegeri-negeri Arab, di India maupun dikawasan Timur Jauh. Sedang ada orang
yang mengatakan penyebaran agama Islam yang pertama adalah dari orang-orang
keturunan Cina atau keturunan Hindia, adalah tidak benar!!!
Mengenai nama-nama asli mereka (bukan
silsilahnya) sembilan orang wali –kecuali Maulana Malik Ibrahim– hingga
sekarang masih terdapat sedikit perbedaan diantara para penulis. Hal itu dapat
di maklumi karena mereka pada umumnya tidak meninggalkan pusaka-pusaka
tertulis. Adapun nama-nama yang didahului dengan sebutan Sunan semuanya adalah
nama-nama julukan atau gelar yang berasal dari kata Susuhunan artinya Yang
Mulia. Demikian pula gelar Maulana yang bermakna Pemimpin kita.
Semua nama julukan atau nama gelar tersebut diberikan oleh masyarakat muslimin
di Jawa pada masa dahulu, karena ketika itu mereka belum mengenal sebutan
Sayid, Syarif dan Habib yang lazim digunakan untuk menyebut nama-nama keturunan
Ahlu-Bait Rasulallah saw. Sampai sekarang, setiap hari berbondong-bondong para
penziarah –baik yang dari Indonesia maupun dari luar negeri– yang berkunjung
kepusara para wali Songo tersebut. Ditempat pemakaman mereka ini para
penziarah membaca tahlil, berdoa kepada Allah swt. sambil bertawassul serta bertabaruuk
kepada para wali tersebut. (baca bab Tawassul/Tabarruk disitus ini).
Insya Allah setelah membaca isi website
ini, para pembaca bisa menilai sendiri jalan mana yang akan kita tempuh agar
keridhoan Allah swt dan Rasul-Nya selalu mengiringi kita semua. Sebenarnya
masih banyak lagi dalil yang tidak semuanya tercantumkan disini. Semoga semua
yang tercantum diwebsite yang sederhana ini, bisa memberi manfaat bagi diri dan
keluarga kami khususnya serta semua umat muslimin umumnya. Semoga Allah
swt dan Rasul-Nya berkenan menerima serta meridhoi sedikit kebajikan yang kami
kutip didalam website ini bi haqqi (demi kebenaran) wa bi jaahi
(dan demi kedudukan/kemuliaan) junjungan kita Habibullah Muhamad saw, para
ahlul-bait dan keturunannya. Tidak lain tujuan dan harapan kami
menulis makalah-makalah dalam website ini agar kita semua tidak
sesat-mensesatkan sesama muslimin.
Sudah tentu kami sebagai manusia yang penuh
kekurangan dan tidak akan luput dari kesalahan dan kekhilafan, dengan
demikian kami mohon pada Allah swt untuk sudi mengampuni diri kami bila ada
kesalahan dan kekhilafan dalam website ini.
”Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami
jika kami lupa atau kami salah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada
kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang
sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang
tidak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami, ampunilah kami, dan
rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang
kafir”.
Bi Haqqi Muhammad Wa Aali Muhammad,
kabulkanlah ya Allah do’a kami.
Wa maa taufiqi illa billah, ‘alaihi
tawakkaltu wa ilaihi unib.
Sebagai manusia yang penuh kekurangan, kami mengharap masukan dan saran
dari segenap para pembaca budiman, silahkan kirim email: syafii_ali55@yahoo.com.
Juni
2007
Hamba
Allah yang lemah
A.Shihabuddin
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda