nurbuat.blog.com

Selasa, 05 Juni 2018

Masalah Pada Panel modul mesin cuci SXY 2200


Panel modul mesin cuci SXY 2200
Panel modul mesin cuci satu pintu SXY 2200 adalah buatan China, sangat membantu bila modul bawaannya sudah rusak dan mencari pengganti originalnya sulit. Dengan sedikit rekayasa maka mesin cuci dapat digunakan kembali.
SOKET
SOKET KIRI DARI ATAS
1.       Arus PLN
2.       Putaran lawan jarum jam
3.       Putaran searah jarum jam / Putaran Pengering
4.       Kran Atas
5.       Kran Bawah
6.      
7.       Arus PLN

SOKET KANAN DARI ATAS
8.       LEVEL AIR
9.       LEVEL AIR

10.   LEVEL AIR
11.   TUTUP /pintu (ATAS)
12.   TUTUP /pintu (ATAS)
Kasus / problem
1.       Keluar suara nggunnnnggg
-          Kran atas terbuka, air tidak masuk
-          Air masuk terlalu kecil (saringan kotor), kran terlalu lama terbuka.
2.       Mesin nggak hidup
-          PLN padam
-          Sekring putus
-          Stop kontak / kabel putus/ tidak ada setrum
3.       Mesin hidup, keluar suara gerak tapi nggak bisa putar
-          Cucian terlalu banyak
-          Kapasitor melemah
-          Motor melemah
4.       Mesin putar hanya searah
-          Kabel motor putus satu
-          Soket no, 2 atau 3 pada Modul lepas
-          Triac no. 1 atau 2 pada Modul putus
-          Transistor ke Triac no. 1 atau 2 pada Modul putus
5.       Air dari kran Atas nggak keluar
-          Air tandon habis
-          Saluran ke kran tersumbat
-          Saringan sebelum masuk kran kotor
-          Kran elektriknya rusak
-          Soket no. 4 pada Modul lepas
-          Triac no. 3 pada Modul putus
-          Transistor ke Triac no. 3 pada Modul putus
6.       Air dari kran Atas keluar terus
-          Kran elektriknya rusak
-          Triac no. 3 pada Modul bocor
-          Transistor ke Triac no. 3 pada Modul bocor
7.       Air dari kran bawah keluar terus
-          Ada benda ganjal penyumbat, mis; peniti
-          Triac no. 4 pada Modul bocor
-          Transistor ke Triac no. 4 pada Modul bocor
8.       Air dari kran bawah tidak bisa keluar
-          Soket no.5 pada Modul lepas
-          Kabel dari Soket no.5 pada Modul ke kran elektrik bawah putus
-          Triac no. 4 pada Modul rusak
-          Transistor ke Triac no. 4 pada Modul rusak
-          Tuas penarik klep putus
-          Motor penarik klep putus
9.       Proses Pengering mesin tidak jalan
-          Tutup Atas terbuka
-          Swit tutup atas terbaca terbuka
-          Pernarik kran bawah lepas / tidak bekerja
-          Geerbox rusak / pecah
-          Kabel motor putus
-          Soket no, 2 atau 3 pada Modul lepas
-          Triac no. 1 atau 2 putus pada Modul
-          Transistor ke Triac no. 1 atau 2 pada Modul putus



Minggu, 03 Juni 2018

Kisah Inspirasi Haji Syibli

Kisah Inspirasi Haji Syibli


Asy-Syibli adalah seorang sufi besar, dikenal sebagai penghulu para salikin dan guru tasawuf di era-era awal Islam, terkenal hingga sekarang, khususnya pelaku salik atau thariqah. Sementara As-Syekh Imam Ali Zainal Abidin adalah putera Imam Al-Husein, cucu baginda Rasulullah saw. Kisah ini diilhami dan disarikan secara bebas dari kitab Murad, Al-Mustadrak.
       Sebagaimana lazimnya jika seseorang telah menunaikan ibadah haji atau umrah, lalu pulang ke kampung halamannya. Banyaklah tamu berdatangan, bahkan hingga larut malam. Demikian juga yang terjadi pada seorang murid yang bernama Asy-Syibli. Setelah ia menunaikan rukun Islam ke limanya itu, dengan menempuh perjalanan yang sangat jauh, yaitu dari Baghdad menuju Hijaz ( Kota Suci). Banyak juga tamu berdatangan, baik kerabat dekat maupun jauh, dari para sahabat dan juga tetangganya.
       Setelah tamu-tamu itu mulai surut, pada suatu malam Asy-Syibli mendatangi gurunya, Asy-Syekh Ali Zainal Abidin (Ra), selain seperti biasanya , ingin memberikan sejumlah hadiah terbaik (oleh-oleh) berupa air Zamzam dan yang lainnya, ia juga berniat menceritakan hal-hal yang terkait dengan pengalamannya selama menunaikan ibadah haji. 
       Asy-Syekh Ali menerima hadiah itu dengan cita dan penuh rasa syukur. Kedua orang shalih yang terdiri dari murid dan mursyid inipun kemudian berpelukan layaknya sahabat yang sudah memendam rasa dahaga rindu. Sesaat waktu berlalu. Hening. Lalu dalam petemuan itu terjadilah percakapan yang cukup serius.
“Wahai Syibli, Alhamdulillah rukun Islam sudah kau sempurnakan. Sebuah kenikmatan yang hanya sedikit dari muslim yang bisa menunaikan ?” Puji Sang Guru.
“Alhamdulillahi rabbil ‘Alamin, berkat doa dan bimbinganmu.” Sahutnya datar.
‘bolehkah saya bertanya sesuatu kepadamu, Syibli ?” lanjut Syekh Ali, “Tentu saja Guru”, jawabnya sigap. “Apakah yang kau lakukan dan pengalaman apa yang kau dapatkan saat engkau berada di Miqat ?”
Mendapatkan pertanyaan ini Asy-Syibli nampak sedikit gugup dan bingung, setelah beberapa detik terdiam, ia ia lalu menjawab pelan, “Tentu sebagaimana muslim yang lain, saat di Miqat, saya menanggalkan semua pakaian yang berjahit, kemudian mandi besar dan shalat sunnah ihram dua rakaat.”
“Terangkan satu persatu diantara ketiganya, pengalaman apa yang au dapatkan saat tubuhmu kau mandikan dengan air bersih, lalu kau lilitkan kain ihram, dan kau teruskan dengan shalat dua rakaat ?”
Mendengar pertanyaan kedua kali yang serupa ini, tiba-tiba tubuh Syibli sedikit tergetak, ia menggeledah ingatannya tentang peristiwa di Miqat itu, tapi sungguh dia tak mendapatkan pengalaman apapun yang patut diceritakan. Satu-satunya yang ia merasa tahu adalah seputar fiqihnya, jadilah ia terdiam.
“Ketika berhenti di Miqat, apakah engkau merasa bahwa di tempat itu engkau seperti bertemu dengan malaikat maut? Tubuh dan dagingmu yang selama ini kau puja segera kan kau tinggalkan di alam fana? Lalu tubuh itu kau mandikan sendiri dengan kedua tanganmu, lalu kau lilitkan dengan dua helai kain kafan dan segera kau shalati sendiri jenazah tubuhmu itu?”
Asy-Syibli menjawab,”Belum.”
“Apakah kau belum merasa ada apapun? Padahal engkau pada waktu itu dalam keadaan mati, tetapi tanganmu masih bisa memandikan tubuhmu sendiri, tanganmu masih bisa melilitkan dua helai kain kafan dan tubuhmu yang tergeletak kaku di miqat masih  bisa kau shalati sendiri, sementara saudara-saudaramu yang alain, yang tak jauh dari tempatmu itu terbujur kaku saat demikian, ia terpaksa dimandikan, dililitkan kain kafan dan dishaati ?”
Mendengarpertanyaan bertubi-tubi seperti itu, Asy-Syibli seketika menitikkan air mata, entah begitu saja dadanya sesak. Tubuhnya sedikit gemetaran. Lalu keringat dingin berlahan merambah tubuhnya. Ia merasa sungguh belum mendapatkan pengalaman seperti itu.
“Lalu selama engkau memakai pakaian ihram itu, apakah engkau bertekad untuk menanggalkan semua pakaian maksiat dan menggantinya dengan pakaian taat? Dan adakah engkau pun menanggalkan sifat riyak, nifaq serta segala syubhat? Ketika mandi sebelum memulai ihram, adakah engkau berniat membersihkan dari segala kotoran batin dan segala urusan dan ambisi duniawi yang selama ini membudakmu?”
Asy-Syibli menjawab lagi, “Belum.”
“Kalau begitu engkau belum berhenti di Miqat, belum juga bermiqat, menanggalkan pakaian yang berjahit, dan belum pula membersihkan diri!”
Syekh Ali bertanya kembali,”Ketika mandi dan berihram serta mengucapkan niat, adakah engkau bertekad untuk membersihkan diri dengan cahaya taubat? Ketika berihram, adakah engkau mengharamkan atas dirimu semua yang diharamkan Allah? Ketika mulai mengikatkan diridalam ibadah haji, apakah engkau rela mellepaskan semua ikatan selain Allah?”
“Belum,” jawabnya.
“kalau begitu kau belum membersihkan diri, belum berihram , belum pula mengikatkan diri dalam haji? Bukankah engkau telah memasuki Miqat, lalu shalat dua rakaat, dan setelah itu engkau mulai bertalbiyah?”
“YA, betul.”
“apakah ketika memasuki miqat engkaumeniatkannya sebagai ziarah menuju keridlaan Allah? Ketika shalat dua rakaat, adakah engkau berniat mendekatkan diri kepada Allah?”
“Belum, wahai Guru.”
“Kalau begitu engkau belum memasuki Miqat, belum bertalbiyah dan juga belum shalat ihram dua rakaat,” tagas Ali Zainal Abidin.
“Apakah engkau memasuki Masjidil Haram, mengitari Ka’bah, berthawaf, serta shalat sunnah di sana?”
“Benar.”
“Ketika memasuki Masjidil Haram, dan berthawaf, apakah engkau merasa menjadi setitik air hujan lalu jatuh ke sungai dan larut sampai ke samudra?”
“Belum, wahai Guru.”
“Padahal seandainya engkau tidak jatuh ke sungai, tidaklah sampai engkau di samudra?” kau akan dibawa oleh angin dan sia-sia terhempas oleh waktu. Masjidil Haram dan Ka’bah itulah samodra rahmat dan maghfirah (ampunan). Sementara dirimu hanyalah setitik air hujan yang jatuh dari langit, mungkin malahan engkau lebih kecil dari itu di antara besarnya jagad raya dan perkasanya sang waktu yang melumatkan apa saja di dunia ini. Lalu apakah engkau berniat mengharamkan dirimu dari segala macam kesia-siaan? Ketika sampai di Mekkah, apakah engkau bertekad untuk menjadikan Allah satu-satunya tujuan?”
“Belum, wahai Guru.”
“Sesungguhnya engkau belum memasuki Masjidil Haram, belum bertemu Ka’bah, serta belum shalat pula di sana!” Syekh Ali bertanya kembali, “Apakah saat engkau berthawaf engkau merasa seperti mengikuti gelombang dan ombak lautan untuk berdebur dalam taubat, dan berjalan atau berlari menuju ampunan (maghfirah) atau menuju keridloan Allah?”
“Belum.”
“Kalau begitu engkau belum berthawaf dan belum pula menyentuh rukun-rukunnya!”
Tanpa mau berhenti Syekh Ali mencecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak diduga oleh murid yang disayangi itu, iapun kembali bertanya,”Apakah engkau berjabat tangan dengan Hajar Aswad dan shalat di Maqam Ibrahim?”
Dijawabnya,”Betul.”
Mendengar jawaban itu, Ali Zainal Abidin menangis, seraya mengucap,”Astaghfirullahal’adhiim, oh, barang siapa berjabat tangan dengan Hajar Aswad, seakan-akan ia berjabat tangan dengan Allah. Maka ingatlah, saat itu emgkau telah berjanji kepada Allah, janganla sekali-kali engkau menghancurkan perjanjian itu dan menyusutkan kemulian yang elah diraih, serta membatalkan kehormatanmu dengan aneka dosa!”
Cicit Rasulullah saw ini terus mencecar muridnya, “Saat berdiri di Maqam Ibrahim, apakah engkau bertekad untuk tetap berada di jalan taat serta menjauhkan diri dari maksiat? Ketika shalat dua rakaat di sana, apakah engkau bertekad untuk mengikuti jejak Ibrahim serta menentang semua bisikan setan? Demi cintamu kepada Allah, beranikah kau berkorban seperti Ibrahim atau dikorbankan seperti Ismail? Atau tenggelam kepada ampunan dan penyesalan dosa-dosa seperti Adam dan Hawa? Atau bertekad untuk berjuang sampai darah penghabisan seperti Baginda Nabi Muhammad?
“Belum.”
“Kalau begitu engkau belum berjabat tangan dengan Hajar Aswad dan belum berdiri di Maqam Ibrahim, belum pula shalat dua rakaat!” lanjutnya. “Apakah ketika melakukan sa’i, antara Shafa dan Marwah, engkau seperti Bunda Hajar, yang menempatkan diri di antara usaha keras, harapan akan rahmat Allah dan berserah diri total kepada-Nya? Ingat, Hajar saat itu mencari air untuk anak tercintanya, Ismail yang masih mungil? Air adalah lambang materi, itu artinya mencari materi demi kuatnya iman, ihsan dan Islam kita itu juga keharusan, dan saa dijalankan dengan maksimal, kemudian tawakkal, apa yang terjadi? Keajaiban! Zam-zam mancur dari tumit kanan kaki Ismail?”
“Sedikitpun saya merasa belum seperti itu, wahai Guru.” Jawab Asy-Syibli
“Kalau begitu engkau belum melakukan perjalanan antara dua bukit itu! Ketka pergi ke Mina, apakah engkau bertekad agar orang-orang merasa aman dari gangguan lidah, hati serta tanganmu?”
“Belum.”
Ali menggelengkan kepala,” Kalau begitu engkau belum ke Mina! Apakah engkau telah berwukuf di Arafah, mendaki Jabal Rahmah, mengunjungi Wadi Namirah, serta memanjatkan doa-doa di bukit Shakharaat?”
“Belum seperti itu.”
“Ketika wukuf di Arafah, apakah engkau menghayati kebesaran Allah, engkau seperti dibangitkan dari alam barzah (kubur) lalu digiring ke Padang Mahsyar? Apakah ketika itu engkau merasa kehidupan yang sejati (abadi) sedang menghampirimu? Ketika mendaki Jabal Rahmah, apakah engkau menghendaki rahmat Allah bgi setiap Mukmin? Ketika berada di Wadi Namirah, apakah engkau berketetapan hati untuk tidak mengamarkan yang makruf sebelum engkau mengamarkannya pada dirimu sendiri? Serta tidak melarang seseorang melakukan sesuatu sebelum engkau melarang diri sendiri? Ketika berada di antara bukit-bukit sana, apakah engkau sadar bahwa tempat itu akan menjadi saksi akan segala perbuatanmu?”
“Belum.”
“Kalau begitu, engkau belum wukuf di Arafah, belum mendaki Jabal Rahmah, belum mengenal Wadi Namirah, belum pula berdoa di sana! Apakah engkau telah melewati kedua bukit Al-‘Alamain, melakukan shalat dua rakaat sebelumnya, lalu meneruskan perjalanan ke Muzdalifah untuk memungut batu-batu di sana, lalu melewati Masy’aral Haram?”
“Ya, benar.”
“Ketika shalat dua rakaat, apakah engkau meniatkannya sebagai shalat syukur, pada malam menjelang 10 Dzulhijjah, dengan mengharapkan tersingkirnya segala kesulitan serta datangnya segala kemudahan? Ketika lewat di antara bukit itu dengan sikap lurus tanpa menoleh kanan kiri, apakah saat itu engkau bertekad untuk tidak bergeser dari Islam, tidak dengan hatimu, lidahmu dan semua gerak gerikmu? Ketika berangkat ke Muzdalifah, apakah engkau berniat membuang jauh segala maksiat serta bertekad untuk beramal yang diridloi-Nya? Ketika melewati Masy’aral Haram, apakah engkau mengisyaratkanuntuk bersyiar seperti orang-orang taqwa kepada Allah?”
“Belum.”
“Wahai Syibli, sesungguhnya engkau belum melakukan itu semua!”
Ali Zainal ‘Abidin melanjutkan,”Ketika engkau sampai di Mina, apakah engkau yakin telah sampai di tujuan dan Tuhanmu telah memenuhi semua hajatmu? Ketika melempar Jumrah, apakah engkau meniatkan untuk melempar dan memerangi Iblis, musuh besarmu? Dengan tujuh batu jamarat (aqabah, ula dan wustha) sebagai lambang dari kelewat batasannya hamba Allah seperti Fir’aun, Qarun dan Namrut? Ketika mencukur rambut (tahallul), apakah engkau bertekad untuk mencukur kenistaan? Ketika shalat di Masjid Khaif, apakah engkau bertekad untuk tidak takut, kecuali kepada Allah dan tidak mengharap rahmat kecuali dari-Nya semata? Ketika memotong hewan kurban, apakah engkau bertekad untuk memotong urat ketamakan, memotong sifat=sifat kebinatangan yang ada pada dirimu, serta mengikuti teladan Ibrahim yang rela mengorbankan apapun demi Allah? Ketika kembali ke Mekkah dan melakukan Thawaf Ifadlah, apakah engkau meniatkannya untuk berifadlah dari pusat rahmat Allah, kembali dan berserah kepada-Nya?”
Dengan gemetaran yang tidak terkira, Asy-Syibli menjawab,”Belum, wahai Guru.”
“Sungguh engkau belum mencapai Mina, belum melempar Jumrah, belum bertahallul, belum menyembelih kurban, belum manasik, belum shalat di Masjid Khaif, belum Thawaf Ifadlah, belum pula mendekat kepada Allah! Kembalilah! Kembalilah! Sesungguhnya engkau belum menunaikan umrah dan haji!”
Asy-Syibli menangis tersedu, menyesali ibadah haji yang telah dilakukannya hanyalah sekedar fisik, dan tubuh belaka, dan belum menyentuh dinding batinnya. Sejak itu ia giat memperdalam ilmunya, hingga tahun perikutnya ia kembali umrah dan haji dengan ma’rifat serta kekhusyuan ibadah yang nikmat. Dlahir dan batin.
Para calon tamu Allah yang dirahmati Allah, marilah kita renungkan hadits Nabi dibawah ini:
لِكُلِّ أٰيَةٍ مِنَ الْقُرْاٰنِ ظَهْرٌ وَ بَطِنٌ إِلَى سَبْعَةٍ أَبْطَنٍ
Setiap ayat A-Qur’an mempunyai sisi lahiriyah dan batiniyah, jumlahnya sampai tujuh tingkat.” (HR. Ibnu Hibban)
Maka seperti itu pula sisi lain dari sejumlah ritual, simbul dari gerakan-gerakan seputar haji dan umrah, yaitu ada sisi kebatinan , ada makna yang terdalam yang bisa menambah nikmatnya ibadah kita kepada Allah, sebagaimana kisah yang terjadi di atas, yang sejatinya itu termaktub dari pesan-pesan Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Beribadah kepada Allah harus mengikuti aturan fiman-Nya, yang disampaikan dan dicontohkan oleh Rasul-Nya, serta menggali warisan dari orang-orang yang terdekat dengan Nabi. Selain shalat, zakat, puasa,ibadah haji dan umrah adalah ibadah mahdlah yang dituntun langsung oleh Allah dan Rasulullah dalam Al-Qur’an dan Hadits
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibbandi atas, Rasulullah saw menafsiri Al-Qur’an bahwa setiap ayat mengandung aspek lahiriyah maupun batiniyah. Aspek batiniyah berlapis sampai tujuh tingkatan. Termasuk dalam ibadah haji dan umrah, ayat-ayat yang berkenaan dengannya juga berlapis tujuh.
Diambil dari buku "Totalitas Haji dan Umroh" oleh Aguk Irawan MN-Feb 2018