Kisah Inspirasi Haji Syibli
Asy-Syibli
adalah seorang sufi besar, dikenal sebagai penghulu para salikin dan guru
tasawuf di era-era awal Islam, terkenal hingga sekarang, khususnya pelaku salik
atau thariqah. Sementara As-Syekh Imam Ali Zainal Abidin adalah putera Imam
Al-Husein, cucu baginda Rasulullah saw. Kisah ini diilhami dan disarikan secara
bebas dari kitab Murad, Al-Mustadrak.
Sebagaimana lazimnya jika seseorang telah
menunaikan ibadah haji atau umrah, lalu pulang ke kampung halamannya. Banyaklah
tamu berdatangan, bahkan hingga larut malam. Demikian juga yang terjadi pada
seorang murid yang bernama Asy-Syibli. Setelah ia menunaikan rukun Islam ke
limanya itu, dengan menempuh perjalanan yang sangat jauh, yaitu dari Baghdad
menuju Hijaz ( Kota Suci). Banyak juga tamu berdatangan, baik kerabat dekat
maupun jauh, dari para sahabat dan juga tetangganya.
Setelah tamu-tamu itu mulai surut, pada
suatu malam Asy-Syibli mendatangi gurunya, Asy-Syekh Ali Zainal Abidin (Ra),
selain seperti biasanya , ingin memberikan sejumlah hadiah terbaik (oleh-oleh)
berupa air Zamzam dan yang lainnya, ia juga berniat menceritakan hal-hal yang
terkait dengan pengalamannya selama menunaikan ibadah haji.
Asy-Syekh Ali menerima hadiah itu dengan
cita dan penuh rasa syukur. Kedua orang shalih yang terdiri dari murid dan
mursyid inipun kemudian berpelukan layaknya sahabat yang sudah memendam rasa
dahaga rindu. Sesaat waktu berlalu. Hening. Lalu dalam petemuan itu terjadilah
percakapan yang cukup serius.
“Wahai
Syibli, Alhamdulillah rukun Islam sudah kau sempurnakan. Sebuah kenikmatan yang
hanya sedikit dari muslim yang bisa menunaikan ?” Puji Sang Guru.
“Alhamdulillahi
rabbil ‘Alamin, berkat doa dan bimbinganmu.” Sahutnya datar.
‘bolehkah
saya bertanya sesuatu kepadamu, Syibli ?” lanjut Syekh Ali, “Tentu saja Guru”,
jawabnya sigap. “Apakah yang kau lakukan dan pengalaman apa yang kau dapatkan
saat engkau berada di Miqat ?”
Mendapatkan
pertanyaan ini Asy-Syibli nampak sedikit gugup dan bingung, setelah beberapa
detik terdiam, ia ia lalu menjawab pelan, “Tentu sebagaimana muslim yang lain,
saat di Miqat, saya menanggalkan semua pakaian yang berjahit, kemudian mandi
besar dan shalat sunnah ihram dua rakaat.”
“Terangkan
satu persatu diantara ketiganya, pengalaman apa yang au dapatkan saat tubuhmu
kau mandikan dengan air bersih, lalu kau lilitkan kain ihram, dan kau teruskan
dengan shalat dua rakaat ?”
Mendengar
pertanyaan kedua kali yang serupa ini, tiba-tiba tubuh Syibli sedikit tergetak,
ia menggeledah ingatannya tentang peristiwa di Miqat itu, tapi sungguh dia tak
mendapatkan pengalaman apapun yang patut diceritakan. Satu-satunya yang ia
merasa tahu adalah seputar fiqihnya, jadilah ia terdiam.
“Ketika
berhenti di Miqat, apakah engkau merasa bahwa di tempat itu engkau seperti
bertemu dengan malaikat maut? Tubuh dan dagingmu yang selama ini kau puja
segera kan kau tinggalkan di alam fana? Lalu tubuh itu kau mandikan sendiri
dengan kedua tanganmu, lalu kau lilitkan dengan dua helai kain kafan dan segera
kau shalati sendiri jenazah tubuhmu itu?”
Asy-Syibli
menjawab,”Belum.”
“Apakah
kau belum merasa ada apapun? Padahal engkau pada waktu itu dalam keadaan mati,
tetapi tanganmu masih bisa memandikan tubuhmu sendiri, tanganmu masih bisa
melilitkan dua helai kain kafan dan tubuhmu yang tergeletak kaku di miqat
masih bisa kau shalati sendiri,
sementara saudara-saudaramu yang alain, yang tak jauh dari tempatmu itu
terbujur kaku saat demikian, ia terpaksa dimandikan, dililitkan kain kafan dan
dishaati ?”
Mendengarpertanyaan
bertubi-tubi seperti itu, Asy-Syibli seketika menitikkan air mata, entah begitu
saja dadanya sesak. Tubuhnya sedikit gemetaran. Lalu keringat dingin berlahan
merambah tubuhnya. Ia merasa sungguh belum mendapatkan pengalaman seperti itu.
“Lalu
selama engkau memakai pakaian ihram itu, apakah engkau bertekad untuk
menanggalkan semua pakaian maksiat dan menggantinya dengan pakaian taat? Dan
adakah engkau pun menanggalkan sifat riyak, nifaq serta segala syubhat? Ketika
mandi sebelum memulai ihram, adakah engkau berniat membersihkan dari segala
kotoran batin dan segala urusan dan ambisi duniawi yang selama ini membudakmu?”
Asy-Syibli
menjawab lagi, “Belum.”
“Kalau
begitu engkau belum berhenti di Miqat, belum juga bermiqat, menanggalkan
pakaian yang berjahit, dan belum pula membersihkan diri!”
Syekh
Ali bertanya kembali,”Ketika mandi dan berihram serta mengucapkan niat, adakah
engkau bertekad untuk membersihkan diri dengan cahaya taubat? Ketika berihram,
adakah engkau mengharamkan atas dirimu semua yang diharamkan Allah? Ketika
mulai mengikatkan diridalam ibadah haji, apakah engkau rela mellepaskan semua
ikatan selain Allah?”
“Belum,”
jawabnya.
“kalau
begitu kau belum membersihkan diri, belum berihram , belum pula mengikatkan
diri dalam haji? Bukankah engkau telah memasuki Miqat, lalu shalat dua rakaat,
dan setelah itu engkau mulai bertalbiyah?”
“YA,
betul.”
“apakah
ketika memasuki miqat engkaumeniatkannya sebagai ziarah menuju keridlaan Allah?
Ketika shalat dua rakaat, adakah engkau berniat mendekatkan diri kepada Allah?”
“Belum,
wahai Guru.”
“Kalau
begitu engkau belum memasuki Miqat, belum bertalbiyah dan juga belum shalat
ihram dua rakaat,” tagas Ali Zainal Abidin.
“Apakah
engkau memasuki Masjidil Haram, mengitari Ka’bah, berthawaf, serta shalat
sunnah di sana?”
“Benar.”
“Ketika
memasuki Masjidil Haram, dan berthawaf, apakah engkau merasa menjadi setitik
air hujan lalu jatuh ke sungai dan larut sampai ke samudra?”
“Belum,
wahai Guru.”
“Padahal
seandainya engkau tidak jatuh ke sungai, tidaklah sampai engkau di samudra?”
kau akan dibawa oleh angin dan sia-sia terhempas oleh waktu. Masjidil Haram dan
Ka’bah itulah samodra rahmat dan maghfirah (ampunan). Sementara dirimu hanyalah
setitik air hujan yang jatuh dari langit, mungkin malahan engkau lebih kecil
dari itu di antara besarnya jagad raya dan perkasanya sang waktu yang
melumatkan apa saja di dunia ini. Lalu apakah engkau berniat mengharamkan
dirimu dari segala macam kesia-siaan? Ketika sampai di Mekkah, apakah engkau
bertekad untuk menjadikan Allah satu-satunya tujuan?”
“Belum,
wahai Guru.”
“Sesungguhnya
engkau belum memasuki Masjidil Haram, belum bertemu Ka’bah, serta belum shalat
pula di sana!” Syekh Ali bertanya kembali, “Apakah saat engkau berthawaf engkau
merasa seperti mengikuti gelombang dan ombak lautan untuk berdebur dalam
taubat, dan berjalan atau berlari menuju ampunan (maghfirah) atau menuju
keridloan Allah?”
“Belum.”
“Kalau
begitu engkau belum berthawaf dan belum pula menyentuh rukun-rukunnya!”
Tanpa
mau berhenti Syekh Ali mencecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak diduga
oleh murid yang disayangi itu, iapun kembali bertanya,”Apakah engkau berjabat
tangan dengan Hajar Aswad dan shalat di Maqam Ibrahim?”
Dijawabnya,”Betul.”
Mendengar
jawaban itu, Ali Zainal Abidin menangis, seraya mengucap,”Astaghfirullahal’adhiim,
oh, barang siapa berjabat tangan dengan Hajar Aswad, seakan-akan ia berjabat
tangan dengan Allah. Maka ingatlah, saat itu emgkau telah berjanji kepada
Allah, janganla sekali-kali engkau menghancurkan perjanjian itu dan menyusutkan
kemulian yang elah diraih, serta membatalkan kehormatanmu dengan aneka dosa!”
Cicit
Rasulullah saw ini terus mencecar muridnya, “Saat berdiri di Maqam Ibrahim,
apakah engkau bertekad untuk tetap berada di jalan taat serta menjauhkan diri
dari maksiat? Ketika shalat dua rakaat di sana, apakah engkau bertekad untuk
mengikuti jejak Ibrahim serta menentang semua bisikan setan? Demi cintamu
kepada Allah, beranikah kau berkorban seperti Ibrahim atau dikorbankan seperti
Ismail? Atau tenggelam kepada ampunan dan penyesalan dosa-dosa seperti Adam dan
Hawa? Atau bertekad untuk berjuang sampai darah penghabisan seperti Baginda
Nabi Muhammad?
“Belum.”
“Kalau
begitu engkau belum berjabat tangan dengan Hajar Aswad dan belum berdiri di
Maqam Ibrahim, belum pula shalat dua rakaat!” lanjutnya. “Apakah ketika
melakukan sa’i, antara Shafa dan Marwah, engkau seperti Bunda Hajar, yang
menempatkan diri di antara usaha keras, harapan akan rahmat Allah dan berserah
diri total kepada-Nya? Ingat, Hajar saat itu mencari air untuk anak tercintanya,
Ismail yang masih mungil? Air adalah lambang materi, itu artinya mencari materi
demi kuatnya iman, ihsan dan Islam kita itu juga keharusan, dan saa dijalankan
dengan maksimal, kemudian tawakkal, apa yang terjadi? Keajaiban! Zam-zam mancur
dari tumit kanan kaki Ismail?”
“Sedikitpun
saya merasa belum seperti itu, wahai Guru.” Jawab Asy-Syibli
“Kalau
begitu engkau belum melakukan perjalanan antara dua bukit itu! Ketka pergi ke
Mina, apakah engkau bertekad agar orang-orang merasa aman dari gangguan lidah,
hati serta tanganmu?”
“Belum.”
Ali
menggelengkan kepala,” Kalau begitu engkau belum ke Mina! Apakah engkau telah
berwukuf di Arafah, mendaki Jabal Rahmah, mengunjungi Wadi Namirah, serta
memanjatkan doa-doa di bukit Shakharaat?”
“Belum
seperti itu.”
“Ketika
wukuf di Arafah, apakah engkau menghayati kebesaran Allah, engkau seperti
dibangitkan dari alam barzah (kubur) lalu digiring ke Padang Mahsyar? Apakah
ketika itu engkau merasa kehidupan yang sejati (abadi) sedang menghampirimu?
Ketika mendaki Jabal Rahmah, apakah engkau menghendaki rahmat Allah bgi setiap
Mukmin? Ketika berada di Wadi Namirah, apakah engkau berketetapan hati untuk
tidak mengamarkan yang makruf sebelum engkau mengamarkannya pada dirimu
sendiri? Serta tidak melarang seseorang melakukan sesuatu sebelum engkau
melarang diri sendiri? Ketika berada di antara bukit-bukit sana, apakah engkau
sadar bahwa tempat itu akan menjadi saksi akan segala perbuatanmu?”
“Belum.”
“Kalau
begitu, engkau belum wukuf di Arafah, belum mendaki Jabal Rahmah, belum
mengenal Wadi Namirah, belum pula berdoa di sana! Apakah engkau telah melewati
kedua bukit Al-‘Alamain, melakukan shalat dua rakaat sebelumnya, lalu
meneruskan perjalanan ke Muzdalifah untuk memungut batu-batu di sana, lalu
melewati Masy’aral Haram?”
“Ya,
benar.”
“Ketika
shalat dua rakaat, apakah engkau meniatkannya sebagai shalat syukur, pada malam
menjelang 10 Dzulhijjah, dengan mengharapkan tersingkirnya segala kesulitan
serta datangnya segala kemudahan? Ketika lewat di antara bukit itu dengan sikap
lurus tanpa menoleh kanan kiri, apakah saat itu engkau bertekad untuk tidak
bergeser dari Islam, tidak dengan hatimu, lidahmu dan semua gerak gerikmu?
Ketika berangkat ke Muzdalifah, apakah engkau berniat membuang jauh segala
maksiat serta bertekad untuk beramal yang diridloi-Nya? Ketika melewati
Masy’aral Haram, apakah engkau mengisyaratkanuntuk bersyiar seperti orang-orang
taqwa kepada Allah?”
“Belum.”
“Wahai
Syibli, sesungguhnya engkau belum melakukan itu semua!”
Ali
Zainal ‘Abidin melanjutkan,”Ketika engkau sampai di Mina, apakah engkau yakin
telah sampai di tujuan dan Tuhanmu telah memenuhi semua hajatmu? Ketika
melempar Jumrah, apakah engkau meniatkan untuk melempar dan memerangi Iblis,
musuh besarmu? Dengan tujuh batu jamarat (aqabah, ula dan wustha) sebagai
lambang dari kelewat batasannya hamba Allah seperti Fir’aun, Qarun dan Namrut?
Ketika mencukur rambut (tahallul), apakah engkau bertekad untuk mencukur
kenistaan? Ketika shalat di Masjid Khaif, apakah engkau bertekad untuk tidak
takut, kecuali kepada Allah dan tidak mengharap rahmat kecuali dari-Nya semata?
Ketika memotong hewan kurban, apakah engkau bertekad untuk memotong urat
ketamakan, memotong sifat=sifat kebinatangan yang ada pada dirimu, serta
mengikuti teladan Ibrahim yang rela mengorbankan apapun demi Allah? Ketika
kembali ke Mekkah dan melakukan Thawaf Ifadlah, apakah engkau meniatkannya
untuk berifadlah dari pusat rahmat Allah, kembali dan berserah kepada-Nya?”
Dengan
gemetaran yang tidak terkira, Asy-Syibli menjawab,”Belum, wahai Guru.”
“Sungguh
engkau belum mencapai Mina, belum melempar Jumrah, belum bertahallul, belum
menyembelih kurban, belum manasik, belum shalat di Masjid Khaif, belum Thawaf
Ifadlah, belum pula mendekat kepada Allah! Kembalilah! Kembalilah! Sesungguhnya
engkau belum menunaikan umrah dan haji!”
Asy-Syibli
menangis tersedu, menyesali ibadah haji yang telah dilakukannya hanyalah
sekedar fisik, dan tubuh belaka, dan belum menyentuh dinding batinnya. Sejak
itu ia giat memperdalam ilmunya, hingga tahun perikutnya ia kembali umrah dan
haji dengan ma’rifat serta kekhusyuan ibadah yang nikmat. Dlahir dan batin.
Para
calon tamu Allah yang dirahmati Allah, marilah kita renungkan hadits Nabi
dibawah ini:
لِكُلِّ أٰيَةٍ مِنَ
الْقُرْاٰنِ ظَهْرٌ وَ بَطِنٌ إِلَى سَبْعَةٍ أَبْطَنٍ
“Setiap
ayat A-Qur’an mempunyai sisi lahiriyah dan batiniyah, jumlahnya sampai tujuh
tingkat.” (HR. Ibnu Hibban)
Maka seperti itu
pula sisi lain dari sejumlah ritual, simbul dari gerakan-gerakan seputar haji
dan umrah, yaitu ada sisi kebatinan , ada makna yang terdalam yang bisa
menambah nikmatnya ibadah kita kepada Allah, sebagaimana kisah yang terjadi di
atas, yang sejatinya itu termaktub dari pesan-pesan Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’
dan Qiyas. Beribadah kepada Allah harus mengikuti aturan fiman-Nya, yang
disampaikan dan dicontohkan oleh Rasul-Nya, serta menggali warisan dari
orang-orang yang terdekat dengan Nabi. Selain shalat, zakat, puasa,ibadah haji
dan umrah adalah ibadah mahdlah yang dituntun langsung oleh Allah dan
Rasulullah dalam Al-Qur’an dan Hadits
Dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Hibbandi atas, Rasulullah saw menafsiri Al-Qur’an bahwa
setiap ayat mengandung aspek lahiriyah maupun batiniyah. Aspek batiniyah
berlapis sampai tujuh tingkatan. Termasuk dalam ibadah haji dan umrah,
ayat-ayat yang berkenaan dengannya juga berlapis tujuh.
Diambil dari buku "Totalitas Haji dan Umroh" oleh Aguk Irawan MN-Feb 2018